You are on page 1of 24

TUGAS MKU PAI KELAS 66

DOSEN PENGAMPU : dr. Ichsan, M.Sc., Sp.KKLP

NAMA : M. ARIEF FARID RICHARD FERGIAN

NIM : 2107101010081

KELAS : MKU PAI 66

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

2022/2023
JENIS-JENIS PUASA DALAM ISLAM

1. Puasa Wajib
Sebagaimana kalian ketahui bahwa arti wajib adalah hal yang harus
dilakukan oleh orang yang sudah balig. Apabila kewajiban tersebut ditinggalkan
maka akan berdosa.

Macam-macam puasa wajib sebagai berikut.

Puasa Ramadhan

Pada tahun ke 2 Hijriah, Nabi Muhammad saw memerintahkan umat Islam untuk
melakukan puasa Ramadan. Puasa Ramadan adalah puasa yang dilaksanakan pada
bulan ramadan dan memiliki hukum fardu ain. Dalil puasa Ramadan adalah surat al-
Baqarah/2: 183.

Ketentuan puasa Ramadan sama dengan puasa yang lain, hanya saja pelaksanaan
niat dilakukan dengan hati ikhlas pada malam hari. Jika diucapkan berbunyi:

“Saya niat puasa ramadan esok hari untuk menjalankan kewajiban bulan
ramadan tahun ini karena Allah taala”.

Orang–orang yang diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadan diantaranya


sebagai berikut.

a) Orang yang sedang sakit dan tidak mampu berpuasa atau apabila ia
melaksanakan puasa maka akan memperparah penyakitnya. Orang yang
demikian wajib mengganti di hari lain apabila sudah sembuh.

b) Orang yang sedang dalam perjalanan jauh, namun wajib mengganti di hari
lain.

c) Orang lanjut usia yang lemah dan tidak kuasa berpuasa. Ia wajib membayar
fidiah (denda) tiap hari sebanyak ¾ liter beras atau yang setara dengan itu
kepada fakir miskin.

d) Wanita hamil dan menyusui. Cara menggantinya ada dua yaitu, apabila
wanita tersebut mencemaskan dirinya dan atau anak, maka dia wajib
mengganti di hari lain sebagaimana orang yang sakit, namun jika wanita
tersebut hanya mencemaskan terjadi bayinya maka ia wajib mengganti puasa
dan membayar fidiah.

Puasa Nazar

Puasa nazar yaitu puasa yang dilakukan karena telah berjanji dalam kebaikan
untuk melakukan puasa jika keinginannya tercapai. Pernahkah kalian
mengucapkan janji untuk berpuasa? Misalnya kalian pernah berjanji:
“Seandainya nilai agama dan matematika saya mendapatkan nilai 100 pada
Penilaian Akhir Semester, maka saya akan berpuasa tiga hari”. Apabila
keinginan kalian tercapai maka wajib melakukan puasa yang telah kalian
janjikan. Nazar yang harus dilaksanakan adalah jika berupa perilaku yang baik.
Dengan demikian kalian tidak boleh bernazar untuk perbuat maksiat.

Puasa Kifarat

Puasa kifarat yaitu puasa yang harus dilakukan apabila seseorang melanggar
suatu aturan yang telah ditentukan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut
diantaranya;

a) Berhubungan suami istri di siang hari bulan ramadan. Harus melakukan


puasa dua bulan berturut-turut.

b) Tidak memenuhi nazar, Jika ketentuan lain tidak dapat dilaksanakan maka
berpuasa selama tiga hari.

c) Menyebabkan orang lain meninggal secara tidak sengaja. Jika tidak mampu
memenuhi syarat-syarat lain maka harus melaksanakan puasa selama dua
bulan berturut- turut.

d) Melakukan z]ihar terhadap istrinya (menyamakan istri dengan ibunya) jika


tidak mampu memenuhi syarat-syarat yang lain maka harus melaksanakan
puasa selama dua bulan berturut turut.

e) Mencukur rambut saat ihram. Jika ketentuan lain tidak dapat dilaksanakan
maka harus berpuasa selama tiga hari.

f) Mengerjakan haji secara tamatuk atau kiran, Jika ketentuan lain tidak dapat
dilaksanakan maka harus berpuasa selama sepuluh hari.

Puasa Qadha Ramadhan

Qadha berarti memenuhi, melaksanakan, membayar, atau melunasi. Terkait


puasa, qadha berarti mengganti kekurangan hari dalam puasa wajib di bulan
Ramadhan ketika seseorang tidak bisa melakukannya dengan sempurna karena
ada halangan atau uzur yang diperbolehkan oleh syarat. Seperti sakit dan
bepergian. Sebagaimana Allah berfirman:

"Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa),
maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-
hari yang lain.

2. Puasa Sunah

Arti sunah dalam istilah agama adalah hal yang jika dilakukan oleh orang
yang sudah balig mendapatkan pahala, jika tidak mengerjakan tidak mendapat
dosa. Demikian pula puasa sunah , yaitu apabila kalian melakukan akan
mendapat pahala dari Allah Swt.

Macam-macam puasa sunah sebagai berikut.

Puasa enam hari bulan Syawal

Puasa ini disyariatkan berdasarkan hadits Nabi SAW berikut:

‫دهرز‬#‫يام ال‬#‫عن أبي أيوب قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من صام رمضان ثم اتبعه ستا من شوال كان كص‬
)‫(رواه مسلم‬

Dari Abi Ayyub r.a., Rasulullah SAW bersabda:”bang siapa puasa pada bulan
Ramadhan kemudian ia puasa pula enam hari pada bulan Syawal adalah seperti
puasa sepanjang masa.” (HR. Muslim)

Para ahli memahami hadits tersebut dengan mengaitkannya kepada hadits


yang menerangkan bahwa satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Jadi
satu bulan (30 hari) berpuasa pada bulan Ramadhan sama nilainya dengan
sepuluh bulan (300 hari) berpuasa di luar Ramadhan, dan enam hari berpuasa
pada bulan Syawal sama nilainya dengan dua bulan (60 hari). Dengan demikian
jadilah puasanya seperti 12 bulan (1 tahun)

Puasa hari senin dan hari kamis

sebagaimana dianjurkan Nabi SAW melalui sabdanya:

)‫عن عا ئشة رضي هللا عنها كان النبي صلى هللا عليه وسلم يتحر صيام اإلثنين والخمس (زواه ابو داود‬

dari Aisyah r.a., bahwa Nabi SAW memilih waktu puasa pada hari senin dan hari
kamis. (HR. Abu Daud).

Pada hadits lain, hadits shahih yang menerangkan bahwa Nabi saw.
mementingkan untuk melakukannya, sabdanya: Amal-amal perbuatan
dilaporkan pada hari senin dan kamis, maka aku senang bila amalku dilaporkan
dalam keadaan aku sedang berpuasa; maksudnya dilaporkan kepada Allah.

Adapun dibawanya amal-amal tersebut oleh Malaikat, adalah satu kali malam
dan satu kali siang hari; dan tentang dibawanya pada bulan sya’ban adalah
dibelokkan pada pengertian, dibawanya amal satu tahun secara keseluruhan.
Puasa hari senin lebih Afdhal dari pada kamis, karena anya kekhususan-
kekhususan yang banyak dikemukakan oleh para Ulama.

Puasa pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah)

bagi yang tidak sedang haji, sedangkan bagi orang yang haji puasa itu tidak
disunatkan, sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:

( ‫ة‬##‫وم غرف‬##‫ار من ي‬##‫ه من الن‬##‫ق هللا في‬##‫عن ابى قتادة أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال ما من يوم أكثر من أن يعت‬
) ‫زواه مسلم‬

Dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda: tiadalah dari hari yang paling banyak
Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka selain hari ‘Arafah (HR.
Muslim).

Hukum puasa ini sunnah muakad. Dosa yang dilebur adalah dosa-dosa kecil
yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak-hak Adam, sebab dosa besar bisa
dilebur hanya dengan bertaubat yang sah, sedangkan hak Adam terserah pada
kerelaan yang bersangkutan sendiri. Jikalau tak punya dosa kecil maka
kebajikan-kebajikannya akan ditambah.
Puasa tiga hari setiap bulan (hari Bidl)

yaitu pada hari 13, 14 dan 15. Tapi bila dilaksanakan pada selain hari-hari
tersebut dipandang sah. Nabi SAW bersabda:

‫عن ابي ذر قال رسول هلل صلى هللا عليه وسلم يا أبا ذر إذا صمت من الشهر ثالثة فثم ثالثة عشرة وأربع عشرة‬
)‫وخمس عشرة (رواه أحمد والنسائى‬

Dari Abi Zarr, Nabi SAW. Bersabda: “Hai Abu Zarr, apabila engkau hendak puasa
tiga hari dalam sebulan, hendaklah engkau puasa pada hari ke 13, 14, dan
15.” (HR. Ahmad dan Nasa’i)

Puasa hari ke-9 pada bulan Muharram (puasa Tasu’a)

sebagaimana dijelaskan pada hadits:

)‫عن ابن عباس رضي هللا عنه لو بقيت على قابل ألصومّن التسع والعاشر (زواه مسلم‬

Dari Ibn Abbas, berkata:” Jika aku masih hidup sampai masa (bulan) depan, aku
akan melaksanakan puasa pada hari yang ke-9 dan 10 (Muharram).”(HR.
Muslim)

Dari keterangan ini, bagi orang yang tidak bepuasa tasu’a disunnahkan
berpuasa pada tanggal 11-nya, bahkan telah berpuasa tanggal 9 sekalipun;
tersebut didalam Al-Umm : tidaklah mengapa, bila berpuasa pada tanggal 10
nya juga.

Puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram)

sesuai dengan hadits Nabi berikut:

)‫عن قتادة قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم صوم يوم عشوراء يكفر سئة ماضية (رواه مسلم‬

Dari Abi Qatadah, Rasulullah bersabda:”Puasa hari ‘Asyura itu menhapuskan


dosa satu tahun yang telah lalu.” (HR. Muslim)

Hukum puasa ini sunnah muakad. Diterangkan dalam haadits Muslim bisa
melebur dosa selama 1 tahun yang telah lewat. Adapun hadits-hadits tentang
bercelak mata, mandi, dan memakai harum-haruman di hari ‘Asyura adalah
palsuan para pemalsu hadits
Puasa bulan Sya’ban

Dalam hal ini Nabi Bersabda:

)‫عن عائشة رضي هللا عنها قالت لم يكن النبي صلى هللا عليه وسلم يصوم أكثر من الشعبان (رواه الخمسة‬

Dari Aisyah berkata:”Nabi tidak berpuasa lebih banyak selain dari pada bulan
Sya’ban.” (HR. Al-Khamsah)

Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa.
Bahkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan
Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan


bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa
beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain
pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih
banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim
no. 1156)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang
lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim
no. 1156)

Puasa berselang hari

yaitu puasa satu hari berbuka satu hari (Puasa Daud), sebagaimana hadits Nabi
SAW:

‫ا‬##‫ر يوم‬##‫ا ويفط‬##‫وم يوم‬##‫عن عبد هللا بن عمر أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال أفضل الصيام صوم داود كان يص‬
)‫(متفق عليه‬

Dari Abdullah bin Umar r.a., sesungguhnya Nabi SAW bersabda:”Puasa yang
lebih adalah puasa Nabi Daud, yaitu puasa satu hari dan buka puasa satu.” (HR.
Muttafaaq ‘alaih)

Puasa delapan hari bulan Dzulhijjah sebelum hari ‘Arafah (puasa


Tarwiyah).

Hukum puasa ini sunnah muakad. Puasa ini dianjurkan baik kepada orang yang
sedang haji maupun yang bukan melaksanakan haji, karena dalam sebuah
riwayat yang diterima dan hafshah diterangkan bahwa amal yang dilaksanakan
10 hari awal Dzulhijjah mempunyai keutamaan, termasuk kedalamnya amal
ibadah puasa. (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Puasa pada bulan-bulan yang terhormat (al-asyhar al-hurum)

yaitu bulan Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam hal ini Nabi
SAW bersabda:

‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال أفضل الصالة بعد المكتوبة جوف الليل وأفضل‬
)‫الصيام بعد زمضان شهز هللا المحترم (رواه مسلم‬

Dari Abi Hurairah ra., sesungguhnya Nabi SAW bersabda:”Shalat yang paling
baik setelah shalat yang diwajibkan adalah shalat ttengah malam dan puasa
yang lebih baik setelah bulan Ramadhan ialah puasa pada bulan-bulan
terhormat.” (HR. Muslim)

Menurut ahli fiqh Hanafiyah puasa yang dianjurkan itu ialah tiga setiap bulan
tersebut, yaitu hari Kamis, Jum’at dan Sabtu.

Barangsiapa mengalami Talabbus (terkacaukan) dengan puasa sunnah atau


shalat sunnah, maka diperbolehkan memotong di tengah jalan (tidak
diteruskan sampai akhir); tidak boleh bila itu haji sunnah. Barangsiapa
Talabbus dengan melakukan qadla wajib, maka tidak boleh memotong di
tengah jalan

Haram melakukan puasa pada hari-hari Tasyriq (11, 12, 13 bulan Dzul Hijjah),
Idul Fitri, idul Adha, dan juga hari Syak bagi selain yang telah membiasakan
puasa pada hari-hari tertentu misalnya senin kamis, hari syak yaitu tanggal 30
Sya’ban.
3. Puasa Makruh

1. Puasa khusus bulan Rajab

“umar berkata makanlah, karena bulan ini sangat diagungkan oleh orang-orang
jahiliyah”.

2. Puasa khusus hari jumat

“janganlah seorang diantara kalian berpuasa pada hari jumat saja, melainkan
kalau ia puasa sehari sebelumnya atau sesudahnya.” (H.R. Muslim)

3. Puasa khusus hari sabtu

“Janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu, kecuali puasa yang telah diwajibkan
atas kalian” (H.R. Muslim)

4. Puasa tapi tidak shalat

Adalah mereka yang semangat menjalankan ibadah puasa ramadhan. Tapi


sayang sekali mereka tidak semangat mendirikan sholat wajib. Tidak diragukan
lagi,bahwa ibadah sholat lebih berat timbangannya menurut timbangan islam
dari pada ibadah puasa.

4. Puasa Haram

1. Puasa Hari Raya

Ijma’ kaum muslimin mengharamkan puasa hari raya,baik hari raya Idul Fitri 1
Syawal maupun hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.”Barang siapa yang
berpuasa pada dua hari itu atau salah satunya maka ia berdosa dan puasanya
tidak sah.
2. Puasa Hari Tasyriq

Hari Tasyriq adalah sebagai pelengkap bagi hari hara Idul Adha dan pada hari
tersebut disyaria’atkan menyembelih binatang kurban.
3. Puasa khusus Rabiul Awal

Puasa pada hari kelahiran Nabi saw tidak disyariat kan kepada kita, tidak pernah
dijelaskan oleh hadist shahih dan tidak pula hadist dhaif.
4. Puasa Wishal

Puasa yang menyambungkan puasa kehari berikutnya tanpa berbuka di malam


hari. Pada hal kaum muslimin yang berpuasa diperintahkan untuk berkuka di
setiap malamnya.

PUASA SEBELUM DISYARIATKAN KEWAJIBAN PUASA RAMADHAN

Sejarah Puasa Ramadhan

Sejarah kewajiban puasa Ramadhan sejauh ini masih menjadi peristiwa yang
belum banyak diketahui oleh umat Islam. Sebagai salah satu rukun Islam yang
dikerjakan satu kali dalam setahun ini ternyata memiliki sejarah yang cukup
panjang dan unik. Umur ibadah puasa sama tuanya dengan umur manusia karena
merupakan salah satu dari tiga ibadah tua lainnya selain shalat dan qurban.
Jadi tidak hanya untuk umat zaman sekarang saja diwajibkan untuk berpuasa,
namun juga umat sebelum zaman Nabi Muhammad Saw,

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(QS. al-Baqarah [2]:183).

Mufassir berbeda pendapat mengenai maksud frasa “sebagaimana diwajibkan atas


orang-orang sebelum kamu.” Sebagian ada yang menyatakan, penekanan tasybîh
atau perumpamaan di sana adalah kewajiban puasanya. Sedangkan yang lain
menekankan orang-orang yang berpuasanya. Kendati demikian, kedua perbedaan
ini tetap bermuara pada maksud orang-orang terdahulu beserta tata cara, waktu,
dan lama puasa mereka.

Tercatat awal pelaksanaan puasa pertama kali dilaksanakan oleh Nabi Adam as.
Dikisahkan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa; “Nabi Adam, puasa selama tiga hari
tiap bulan sepanjang tahun”. Riwayat lain mengatakan bahwa Nabi Adam berpuasa
tiap tanggal 10 Muharram sebagai ungkapan rasa syukurnya lantaran Allah Swt,
telah mengizinkannya bertemu atau berjumpa dengan istrinya, Siti Hawa di Jabal
Rahmah Arafah.

Dijelaskan dalam hadis riwayat Ibnu Abbas ra, bahwa ketika Nabi Adam as,
diturunkan ke muka bumi seluruh tubuhnya terbakar oleh matahari, sehingga
tubuhnya menjadi hitam atau gosong. Kemudian Allah Swt, memberikan wahyu
kepadanya untuk berpuasa selama tiga hari berturut-turut yaitu tanggal 13, 14,
dan 15. Ketika berpuasa pada hari pertama, sepertiga badannya menjadi putih.
Puasa hari kedua, sepertiganya lagi menjadi putih. Dan puasa hari ketiga, sepertiga
sisa badannya menjadi putih.

Berikut terjemahan hadis tersebut:

"Sebab dinamai 'ayyamul bidh' adalah riwayat Ibnu Abbas ra, dinamai ayyamul
bidh karena ketika Nabi Adam as diturunkan ke muka bumi, matahari
membakarnya sehingga tubuhnya menjadi hitam. Allah Swt kemudian
mewahyukan kepadanya untuk berpuasa pada ayyamul bidh (hari-hari putih);
'Berpuasalah engkau pada hari-hari putih (ayyamul bidh)'. Lantas Nabi Adam as
pun melakukan puasa pada hari pertama, maka sepertiga anggota tubuhnya
menjadi putih. Ketika beliau melakukan puasa pada hari kedua, sepertiga anggota
yang lain menjadi putih. Dan pada hari ketiga, sisa sepertiga anggota badannya
yang lain menjadi putih."

Ada yang berpendapat bahwa puasa tersebut dinamai dengan istilah ayyamul
bidh karena malam-malam itu terang benderang disinari rembulan, dan rembulan
selalu menyinari bumi sejak matahari terbenam sampai terbit kembali.
Dalam buku Sejarah Puasa (2021) karya Ustaz Ahmad Sarwat, Lc dijelaskan
tentang persyariatan puasa umat-umat terdahulu, sebelum Islam datang.
Menurutnya, puasa pertama kali, apalagi di Bulan Ramadan, terjadi pada masa
Nabi Nuh as, ketika beliau keluar dari bahtera setelah banjir bandang yang
menyapu sebagian besar bumi. Mujahid berkata bahwa telah tegas pertanyaan dari
Allah Swt, bahwa setiap umat telah ditetapkan untuk berpuasa Ramadhan, dan
sebelum masa Nabi Nuh sudah ada umat manusia.”

Demikian juga menurut Imam al Qurthubi seperti yang dikutip dari buku Misteri
Bulan Ramadan karya Yusuf Burhanudin, yang pertama kali berpuasa saat
Ramadhan adalah Nabi Nuh as. Nabi Nuh melakukannya saat turun dari perahunya
setelah badai menimpa negeri umatnya. Puasa saat zaman Nabi Nuh ini dilakukan
sebagai tanda dan rasa syukur kepada Allah Swt, atas keselamatan dirinya dan
kaumnya dari badai dan banjir yang begitu dahsyat.

Nabi Musa as, puasa selama 40 hari 40 malam dalam persiapan menerima wahyu
dari Allah di Bukit Sinai. Orang-orang Yahudi menjawab berpuasa karena Allah
telah menyelamatkan Nabi Musa as dan kaumnya dari serangan Raja Fir’aun.
Nabi Musa as lalu berpuasa pada hari 10 Muharram sebagai bentuk syukur
kepada Allah karena selamat dari kejaran Fir’aun. Puasa ini kemudian dikenal
dengan istilah Puasa Asyura.

Nabi Daud as dan umatnya, mereka diwajibkan melaksanakan ibadah puasa untuk
seumur hidup, dengan setiap dua hari sekali berselang-seling yaitu sehari puasa
besoknya tidak dan seterusnya. Kini, umat Islam mengenalnya dengan puasa Nabi
Daud, yang dikerjakan sehari puasa dan sehari tidak.

Praktik yang dilaksanakan Maryam adalah ibunda Nabi Isa Al Masih. Dalam
persyariatanya, pada zaman sebelum Islam datang juga terdapat puasa. Hal ini
sebagaimana ayat khusus dalam Al-Qur’an yang juga disebut dengan istilah
Maryam,
Artinya: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat
seorang manusia, maka katakanlah, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa
untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang
manusia pun pada hari ini." (QS. Maryam [19]:26).

Ustaz Ahmad Sarwat juga mengisahkan, karena sedang berpuasa yang tidak
membolehkan makan, minum dan juga berbicara ini yang membedakan dengan
puasa yang dikenal umat muslim hari ini, maka itulah ketika ditanya tentang siapa
ayah dari putera yang ada di gendongannya.

Maryam saat itu tidak menjawab dengan perkataan, maka beliau hanya diam.
Lalu Maryam hanya menunjuk kepada Nabi Isa, anaknya itu. Lantas, sejarah
mencatat, lalu Nabi Isa yang masih bayi itu pun menjawab semua pertanyaan
kaumnya. Itu dalam Islam dianggap sebagai mukjizat Nabi Isa, bisa berbicara sejak
bayi atas seizin Allah Swt.

Demikian juga halnya bahwa ibadah puasa telah dikenal oleh orang-orang zaman
dahulu dari bangsa Mesir dan India. Juga dikenal oleh bangsa Yunani dan Romawi.

Jadi, sejarah puasa sangatlah tua; yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Ada
yang mengatakan bahwa orang-orang paganis (penyembah patung- patung) dari
bangsa India masih terus melestarikan puasa sampai sekarang ini. Hanya saja
tentu bukan karena Allah, namun untuk menenangkan dan mencari keridhaan
sesembahan-sesembahan mereka; bila mereka merasa bahwa mereka telah
melakukan hal yang mengundang murka sesembahan- sesembahan mereka.

Begitu pula kaum Yahudi dan Nasrani masih terus melestarikan puasa hingga saat
ini. Selain itu, ada juga puasa yang dilakukan dalam Katolik dan Yahudi. Keduanya
sudah melakukan puasa yang tentu saja berbeda dengan puasa yang dilakukan
umat Islam hari ini.

Sementara itu, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah semasa peristiwa
hijrah, Nabi melihat orang-orang Yahudi juga biasa berpuasa setiap tanggal 10
Muharram. Dalam sejarah Islam, saat Nabi Muhammad saw berhijrah ke Madinah
juga melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada 10 Muharram tersebut. Mereka
berpuasa karena pada 10 Muharram Allah menyelamatkan Nabi Musa dan
kaumnya dari serangan Fir'aun. Nabi Musa bersyukur kepada Allah dengan cara
melaksanakan puasa tersebut.

Masyarakat Arab yang menganut agama Kristen sebelum datangnya Islam juga
memiliki tradisi melaksanakan ibadah puasa. Tradisi puasa tersebut dilakukan
selama 50 hari. Namun, caranya berbeda dengan pelaksanaan puasa

Ramadhan atau puasa Asyura. Karena, dalam puasa umat Kristen tersebut
diperbolehkan makan dan minum, kecuali daging, telur, dan susu.

Ketika puasa pertama kali diwajibkan kepada umat Islam, maka tidak seperti
puasa kita pada saat ini. Menurut pendapat yang kuat, ada beberapa tahapan-
tahapan model puasa sejak disyariatkannya hingga saat ini, di antaranya:

Tahapan pertama, wajib puasa Asyura (10 Muharam). Dahulu, hukum puasa
Asyura wajib, bahkan orang Yahudi juga berpuasa pada waktu itu. Dalam riwayat
Ibnu Abbas ra, ketika Nabi Muhammad saw, memasuki kota Madinah al
Munawarah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa. Maka ketika
ditanyakan sebabnya, orang-orang Yahudi berkata,

Artinya: “Ini adalah hari yang agung, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa
dan menenggelamkan Firaun. Lalu Nabi Musa berpuasa sebagai wujud syukur
kepada Allah.”

Mendengar hal itu, maka Nabi Muhammad saw, mengatakan bahwa beliau dan
umat Islam lebih utama mengikuti Nabi Musa as daripada orang-orang Yahudi.
Maka, pada hari itu (hari Asyura) Nabi Muhammad saw berpuasa dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.

Tahapan kedua, puasa Ramadhan diwajibkan, setelah syariat wajibnya puasa


Asyura, maka tahapan selanjutnya adalah diwajibkannya puasa Ramadhan. Hal ini
berdasarkan firman Allah swt,

Artinya: “Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah [2]:185)

Namun, ketika itu berlaku aturan batas akhir makan dan menggauli istri adalah
setelah shalat Isya atau sebelum tidur. Sehingga, apabila ada seseorang yang telah
berbuka di awal malam, kemudian tertidur, lalu kemudian terbangun di tengah
malam, maka ia sudah tidak boleh lagi makan hingga magrib berikutnya. Praktik
itu benar-benar menyulitkan umat Islam sehingga banyak yang melanggar
larangan tersebut.

Tentunya, puasa ketika itu menjadi amalan yang cukup berat, sampai-sampai suatu
kejadian menimpa salah seorang sahabat, yaitu Qais bin Shirma ra. Qais bin Shirma
al-Anshari bekerja di siang hari sementara dia sedang berpuasa. Ketika pulang, ia
tidak mendapati makanan di rumahnya untuk berbuka. Istrinya pun berusaha
keluar mencari makanan. Qais bin Shirma pun menunggu, namun karena
kelelahan maka ia pun tertidur. Karena aturan ketika itu tidak boleh lagi makan
apabila telah tidur, maka ia pun kembali berpuasa esok hari tanpa berbuka. Ketika
kembali bekerja keesokan harinya, ia pun akhirnya pingsan. Ketika sampai kabar
tersebut kepada Nabi Muhammad saw, maka turunlah firman Allah swt,
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-
Baqarah [2]:187).

Riwayat lainnya mengatakan, turunnya ayat tersebut tidak terlepas dari kisah
Umar bin Khattab ra, yang diriwayatkan dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim ra.
Bahwa suatu malam di bulan Ramadhan Umar yang memang jarang tertidur
malam hari, menggauli istrinya yang saat itu sudah tertidur. Hal ini kemudian
disampaikan pada Rasulullah saw kemudian turunlah ayat tersebut di atas.

Tahapan ketiga, berubahnya aturan puasa, setelah turunnya sebagian firman Allah
swt, dalam surah Al-Baqarah ayat ke-187 tersebut, maka berubahlah aturan puasa.
Aturan tersebut berbunyi bahwa batas akhir waktu berhubungan dengan
pasangan, makan, minum di bulan Ramadhan adalah sebelum terbit fajar, dan
itulah yang berlaku hingga saat ini dan seterusnya.

Jadi dengan demikian bahwa pada awalnya, umat Islam diberikan pilihan antara
mengerjakan puasa Ramadhan dan fidyah sebagai dendanya jika tidak
melaksanakan puasa Ramadhan. Hal ini disebutkan oleh Al-Qur’an pada Surat Al-
Baqarah ayat 183-184. (Sya’ban Muhammad Ismail, Tarikh Tasyri’ Al-Islami,
Marahiluhu wa Mashadiruh, [Kairo, Darus Salam: 2015 M/1436 H], halaman 60).

Surat Al-Baqarah ayat 184 secara jelas memberikan pilihan kepada umat Islam
yang mampu melakukan puasa untuk berpuasa atau membayar fidyah sekiranya
ia memiliki beban atau kesulitan tambahan, yaitu memberikan makan kepada fakir
miskin setiap harinya. Meski demikian, pilihan puasa tetap lebih baik daripada
fidyah. (Ismail, 2015 M: 60).

Prinsip pemberlakuan hukum secara bertahap merupakan manhaj Al-Qur’an.


Tahapan ini yang juga dilakukan Al-Quran terhadap kewajiban puasa. Puasa
merupakan ibadah yang sulit, terlebih bagi masyarakat di negeri tertentu seperti
Hijaz; dan bagi masyarakat muslim-muslim awal yang umumnya faqir dan susah
sehingga butuh mengerahkan kemampuan fisik untuk mendapatkan penghasilan
harian. (Ismail, 2015 M: 60).

Ketika masyarakat telah terbiasa dengan ibadah puasa, Al-Qur’an menghapus


pilihan fidyah tersebut melalui Surat Al-Baqarah ayat 185. Al-Qur’an mewajibkan
puasa Ramadhan bagi mereka yang sehat dan mampu setelah sebelumnya
memberikan pilihan kepada mereka untuk berpuasa atau menggantinya dengan
fidyah. (Ismail, 2015 M: 60).

KEISTIMEWAAN PUASA RAMADHAN

Sesungguhnya Allah Ta’ala mengkhususkan bulan Ramadhan di antara bulan-bulan


lainnya dengan keutamaan yang agung dan keistimewaan yang banyak.
Allah Ta’ala berfirman,

‫َش ْهُر َر َم َض اَن اَّلِذ ي ُأْنِز َل ِفيِه اْلُقْر آُن ُهًدى ِللَّناِس َو َبِّيَناٍت ِم َن اْلُهَدى َو اْلُفْر َقاِن َفَم ْن َش ِهَد ِم ْنُك ُم الَّشْهَر َفْلَيُص ْم ُه َو َم ْن َك اَن‬
‫َم ِريًضا َأْو َع َلى َس َفٍر َفِع َّد ٌة ِم ْن َأَّياٍم ُأَخ َر‬

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan
barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Di dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala menyebutkan dua keistimewaan bulan
Ramadhan yang agung, yaitu:
Keistimewaan pertama, diturunkannya Al-Qur’an di dalam bulan Ramadhan
sebagai petunjuk bagi manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dengan kitab ini,
Allah memperlihatkan kepada mereka kebenaran (al-haq) dari kebatilan. Kitab
yang di dalamnya terkandung kemaslahatan (kebaikan) dan kebahagiaan
(kemenangan) bagi umat manusia, serta keselamatan di dunia dan di akhirat.
Keistimewaan ke dua, diwajibkannya berpuasa di bulan tersebut kepada umat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Allah Ta’ala memerintahkan hal
tersebut dalam firman-Nya (yang artinya),” Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam, di antara kewajiban yang
Allah Ta’ala wajibkan, dan telah diketahui dengan pasti bahwa puasa Ramadhan
adalah bagian dari agama, serta berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.
Barangsiapa yang mengingkarinya (kewajiban puasa Ramadhan), maka dia telah
kafir.
Barangsiapa yang berada di negeri tempat tinggalnya (mukim atau tidak
bepergian) dan sehat, maka wajib menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya),” Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185) Dan barangsiapa yang bepergian
(musafir) atau sakit, maka wajib baginya mengganti puasa di bulan yang lain,
sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Dari sini jelaslah bahwa tidak ada keringanan untuk tidak berpuasa di bulan
tersebut, baik dengan menunaikannya di bulan Ramadhan atau di luar bulan
Ramadhan kecuali bagi orang yang sudah tua renta atau orang sakit yang tidak
diharapkan kesembuhannya. Kedua kelompok tersebut tidaklah mampu berpuasa,
baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan. Bagi keduanya terdapat
hukum (aturan) lain yang akan datang penjelasannya, in syaa Allah.
Dan termasuk di antara keutamaan bulan Ramadhan adalah apa yang dijelaskan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shahihain dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو ُص ِّفَد ِت الَّشَياِط يُن‬،‫ َو ُغ ِّلَقْت َأْبَو اُب الَّناِر‬،‫ِإَذ ا َج اَء َر َم َض اُن ُفِّتَح ْت َأْبَو اُب اْلَج َّنِة‬

“Jika bulan Ramadhan tiba, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-
pintu neraka, dan setan-setan dibelenggu”.
Hadits ini menunjukkan atas keistimewaan yang agung dari bulan yang penuh
berkah ini, yaitu,
Pertama, dibukanya pintu-pintu surga di bulan Ramadhan. Hal ini karena
banyaknya amal shalih yang disyariatkan di bulan tersebut yang menyebabkan
masuknya seseorang ke dalam surga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

‫اْدُخ ُلوا اْلَج َّنَة ِبَم ا ُكْنُتْم َتْع َم ُلوَن‬

“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS.
An-Nahl [16]: 32).
Kedua, ditutupnya pintu-pintu neraka di bulan ini, disebabkan oleh sedikitnya
maksiat yang dapat memasukkan ke dalam neraka, sebagaimana firman Allah
Ta’ala,

)39( ‫) َفِإَّن اْلَج ِح يَم ِهَي اْلَم ْأَو ى‬38( ‫) َو آَثَر اْلَحَياَة الُّد ْنَيا‬37( ‫َفَأَّم ا َم ْن َطَغى‬

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)” (QS. An-Nazi’at [79]: 37-39).
Dan juga firman Allah Ta’ala,
‫َو َم ْن َيْع ِص َهَّللا َو َر ُسوَلُه َفِإَّن َلُه َناَر َجَهَّنَم َخ اِلِد يَن ِفيَها َأَبًدا‬

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya


baginyalah neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” (QS. Jin
[72]: 23).
Ketiga, setan-setan dibelenggu di bulan Ramadhan. Setan tidak mampu untuk
menggoda (menyesatkan) manusia, menjerumuskan manusia dalam kemaksiatan,
atau memalingkan manusia dari amal shalih, sebagaimana yang setan lakukan di
selain bulan Ramadhan. Tercegahnya manusia -di bulan yang penuh berkah ini-
dari melakukan berbagai hal yang keji merupakan rahmat untuk kaum muslimin,
sehingga mereka pun memiliki kesempatan untuk mengerjakan berbagai amal
kebaikan dan menghapus dosa-dosa mereka.
Dan termasuk dalam keutamaan bulan yang penuh berkah ini adalah
dilipatgandakannya amal kebaikan di dalamnya. Diriwayatkan bahwa amalan
sunnah di bulan Ramadhan memiliki pahala yang sama dengan amal wajib. Satu
amal wajib yang dikerjakan di bulan ini setara dengan 70 amal wajib. Barangsiapa
yang memberi buka puasa untuk seorang yang berpuasa, maka diampuni dosanya
dan dibebaskan dari api neraka, dan baginya pahala orang yang berpuasa tanpa
mengurangi pahala oarang yang berpuasa tersebut sedikit pun.
Semua kebaikan, berkah, dan anugerah ini diberikan untuk kaum muslimin dengan
datangnya bulan yang penuh berkah ini. Oleh karena itu, hendaklah kaum
muslimin menyambut bulan ini dengan kegembiraan dan keceriaan, memuji Allah
yang telah mempertemukannya (dengan bulan Ramadhan), dan meminta
pertolongan kepada-Nya untuk dapat berpuasa dan mengerjakan berbagai amal
shalih di bulan Ramadhan.
Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan yang agung dan mulia, bulan yang penuh
berkah bagi umat Islam. Kami memohon kepada Allah Ta’ala untuk
menganugerahkan keberkahan bulan Ramadhan kepada kami.

Puasa Ramadhan mempunyai kedudukan yang sangat agung. Ada keutamaan dan
ganjaran yang sangat besar di dalamnya. Buku Fiqih Praktis Puasa Ramadhan
karya Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi dan Abu Abdillah Syahrul Fatwa
menyebut ada lima keutamaan bagi mereka yang menjalankan puasa Ramadhan.

Pertama, termasuk rukun Islam

Islam itu dibangun di atas lima perkara. Tidak sempurna keislaman seseorang
kecuali dengan mengerjakan lima perkara tersebut. Puasa Ramadhan termasuk
rukun Islam berdasarkan hadis dari Abu Abdirrahman Abdullah ibn Umar ibn al
Khaththab , ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:

‫ َش َهاَد ِة َأْن ال ِإَلَه ِإاَّل ُهللا َو َأَّن‬: ‫ ُبِنَي اِإل ْس اَل ُم َع َلى َخ ْم ٍس‬:‫ َقاَل َر ُسوُل هللا ﷺ‬: ‫َع ِن اْبِن ُع َم َر َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َقاَل‬
‫ َو َص ْو ِم َر َم َض اَن‬، ‫ َو اْلَح ِّج‬، ‫ َو ِإيَتاِء الَّز َك اِة‬، ‫ َو ِإَقاِم الَّص اَل ِة‬، ‫ُمَحَّم ًدا َر ُسوُل ِهللا‬

Islam itu dibangun di atas lima perkara: syahadat(persaksian) bahwa tidak ada
ilah (sembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah dan
bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah, mendirikan shalat, membayar za
kat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.’” (HR al-Bukhari: 8 dan
Muslim: 16)

Kedua, menghapus dosa yang telah lalu

Dari Abu Hurairah Ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

‫َم ْن َص اَم َر َم َض اَن ِإيَم اًنا َو اْح ِتَس اًبا ُغ ِفَر َلُه َم ا َتَقَّد َم ِم ْن َذْنِبِه‬

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari
Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan
Muslim No. 860).

Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan
kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari
Allah Ta’ala. (Lihat Fathul Bari, 4: 115).
Ketiga, merupakan sebab masuk surga

Berdasarkan hadits:

‫ َأَر َأْيت إَذ ا َص َّلْيت‬: ‫ "َأَّن َر ُج اًل َس َأَل َر ُس وَل ِهَّللا َفَق اَل‬:‫َع ْن َأِبي َع ْبِد ِهَّللا َج اِبِر ْبِن َع ْبِد ِهَّللا اَأْلْنَص اِر ِّي َرِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا‬
." ‫ َنَعْم‬: ‫ َو َلْم َأِزْد َع َلى َذ ِلَك َشْيًئا؛ َأَأْدُخ ُل اْلَج َّن َة؟ َق اَل‬، ‫ َو َح َّر ْم ت اْلَح َر اَم‬، ‫ َو َأْح َلْلت اْلَح اَل َل‬، ‫ َو ُص ْم ت َر َم َض اَن‬،‫اْلَم ْكُتوَباِت‬
‫َر َو اُه ُم ْس ِلٌم‬

Abu Abdillah Jarir Al-Anshari RA menerangkan, ada seorang lelaki yang bertanya
kepada Rasulullah SAW, ''Bagaimana pendapatmu jika aku telah mengerjakan
sholat maktubah (sholat fardhu lima waktu), berpuasa Ramadhan, menghalalkan
yang halal dan mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambahnya dengan
suatu apapun. Apakah aku bisa masuk surga?'' Rasul menjawab, ''Ya.'' (HR Muslim
"15).

Keempat, do’anya terkabulkan

Rasulullah SAW bersabda:

‫َو ِإَّن ِلُك ِّل ُم ْس ِلٍم َد ْع َو ًة َيْدُع ْو ِبَها َفَيْسَتِج ْيُب َلُه‬, ‫ِإَّن ِهّلِل ِفى ُك ِّل َيْو ٍم ِع ْتَقاَء ِم َن الَّناِر ِفى َشْهِر َر َم َض اَن‬

”Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap
hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a, akan
dikabulkan.” (HR. Al Bazaar. Al Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10: 14
mengatakan bahwa perowinya tsiqoh -terpercaya-. Lihat Jami’ul Ahadits, 9: 224)

‫ ﻭﺇﻥ ﻟﻜﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺩﻋﻮﺓ‬, _ ‫ﺇﻥ ﻪﻠﻟ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﺘﻘﺎﺀ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ _ ﻳﻌﻨﻲ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬
‫ﻣﺴﺘﺠﺎﺑﺔ‬

“Sesungguhnya Allah mempunyai orang-orang yang akan dibebaskan (dari neraka)


setiap hari dan malam. Setiap hamba dari mereka punya do’a yang mustajab.” (HR
Ahmad 12/420. Hadits ini dishahihkan oleh asy-Syaikh al Albani di dalam Shahih
al-Jami’ no. 2169).
Ini merupakan keutamaan yang besar bagi bulan Ramadhan dan orang yang
berpuasa, menunjukkan keutamaan do’a dan orang yang berdo’a.” (Faidhul Qadir,
al-Munawi, 2/614)

Kelima, pahala yang berlipat ganda tanpa batas.

Berdasarkan hadis:

dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallalm


bersabda:

( ‫ ِإاَّل الَّصْو َم َفِإَّنُه ِلي َو َأَن ا‬: ‫ َقاَل ُهَّللا َع َّز َو َج َّل‬، ‫ُك ُّل َع َمِل اْبِن آَد َم ُيَض اَع ُف اْلَح َس َنُة َع ْش ُر َأْم َثاِلَها ِإَلى َس ْبعِم اَئة ِض ْع ٍف‬
‫) َأْج ِز ي ِبِه‬

"Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan kebaikan sepuluh kali sampai tujuh
ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku
dan Aku yang akan memberikan pahalanya."

Yakni Aku akan memberikan pahala yang banyak tanpa menentukan kadarnya. Hal
ini seperti firman Allah Ta’ala, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)

Makna ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’, maksudnya adalah bahwa dia termasuk ibadah
yang paling Aku cintai dan paling mulia di sisi-Ku.

Ibnu Abdul Bar berkata, "Cukuplah ungkapan ‘Puasa untuk-Ku’ menunjukkan


keutamaannya dibandingkan ibadah-ibadah lainnya.

Diriwayatkan oleh An-Nasa’i, 2220 dari Abu Umamah rahdiallahuanhu berkata,


Rasulullah SAW bersabda, "Hendaklah kalian berpuasa, karena tidak ada yang
menyamainya." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Nasai)
DAFTAR PUSTAKA

 Pudjiani, dkk.(2019).Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas VIII
SMP.Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI,
https://cendikia.kemenag.go.id/storage/uploads/file_path/file_18-01-
2021_6005c00804d22.pdf
 Universitas Islam An-Nur Lampung.(2022, 23 Desember).Macam-Macam Puasa
Sunah, https://an-nur.ac.id/macam-macam-puasa-sunnah/3/
 Mediaindonesia.com.(2023, 18 Februari).Mengenal Empat Macam Puasa Wajib
dalam Islam, https://mediaindonesia.com/humaniora/559182/mengenal-
empat-macam-puasa-wajib-dalam-islam
 Kartiwan, Iwan.(2023, 24 Maret).Menilik Sejarah Kewajiban Puasa
Ramadhan.Mahkamah Agung RI DIREKTORAT JENDRAL BADAN PERADILAN
AGAMA,
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/menilik-
sejarah-kewajiban-puasa-ramadhan-oleh-dr-al-fitri-johar-s-ag-s-h-m-h-i-24-3
 Islam.nu.or.id.(2019, 2 Mei).Bagaimana Puasa Umat Sebelum Nabi Muhammad,
https://islam.nu.or.id/puasa/bagaimana-puasa-umat-sebelum-nabi-
muhammad-3tWcs
 Academia.edu.(2015, 13 Juni).Keistimewaan Bulan Ramadhan,
https://www.academia.edu/15436196/Keistimewaan_Bulan_Ramadhan
 Yusuf, Abu Ubaidah.(2010).Fiqih Praktis Puasa Ramadhan.Jawa Timur: MA’HAD
AL-FURQON AL-ISLAMI, https://eperpus.kemenag.go.id/bdk-aceh/index.php?
p=show_detail&id=825
 Academia.edu.(2019).Macam-Macam Puasa Fiqih Ibadah,
https://www.academia.edu/40949449/Macam_macam_puasa_fiqih_ibadah

You might also like