Professional Documents
Culture Documents
Presentasi Hukum Acara Pidana 1
Presentasi Hukum Acara Pidana 1
(BAGIAN 1)
OLEH:
RIZAL FIRMANSYAH
BIODATA SINGKAT
Nama Lengkap : Rizal Firmansyah
TTL : Bangka, 5 Mei 1986
Kebangsaan : Indonesia
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tinggal : Jalan Depati Said No.1 Kota Lubuklinggau
Agama : Islam
Pekerjaan : Hakim
Pendidikan : S2 Ilmu Hukum
PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA
Simon: Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal, yang
mengaturbagaimana negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan
haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dan dengan demikian termasuk
acara pidananya
Satochid Kertanegara: Hukum Acara Pidana sebagai hukum pidana dalam arti “concreto”
yaitu mengandung peraturan mengenai bagaimana hukum pidana in abstracto dibawa ke
dalam suatu in concreto.
(Prof. R. Satochid Kertanegara, S.H.,Lahir Karanganyar, 21 Januari 1899, meninggal 24 Juni 1971 merupakan mantan
Guru Besar Universitas Indonesia dan Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1946-1966)
SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia HIR diganti menjadi Reglemen Indonesia yang Dibaharui (RIB). Awal proses
rancangan KUHAP dimulai pada tahun 1965. Namun baru pada tahun 1979 RUU-HAP yang merupakan draft ke-5 diserahkan ke
DPR-RI untuk dibahas dan mendapatkan persetujuan. Tanggal 9 September 1981 RUU-HAP disetujui dan disahkan pada tanggal
31 September 1981 oleh presiden dan menjadi UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dikenal dengan Kitab
Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
HIR VS KUHAP
Memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya dan politik yang
dianut
Merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik
serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa,
atau terpidana sebagai manusia
Sebagai salah satu subsistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara
Bagian dari ilmu hukum pidana dalam pengertian luas yang berkaitan erat dengan proses peradilan pidana
yang melibatkan sejumlah institusi
MAKNA INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU ATAU INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM (ICJS)
Menurut Muladi: sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:
Sinkronisasi struktural (structural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar
lembaga penegak hukum
Sinkronisasi substansial (substantial syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal
dalam kaitannya dengan hukum positif;
Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan,
sikap-sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana
Prof. Dr. H. Muladi, S.H. (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Mei 1943 – meninggal di Jakarta, 31
Desember 2020 pada umur 77 tahun) adalah seorang akademisi, hakim, dan politisi Indonesia. Ia pernah
menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro, Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara
pada pemerintahan Presiden Soeharto dan B.J. Habibie (1998-99), dan Hakim Mahkamah Agung (2000-
01). Dari tahun 2005 hingga 2011, ia menjabat sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional.
4 KEMUNGKINAN TERJADINYA TINDAK PIDANA
1. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 angka 19 KUHAP);
2. Karena laporan (Pasal 1 angka 24 KUHAP);
3. Karena pengaduan (Pasal 1 angka 25 KUHAP);
Tertangkap tangan adalah
4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain
sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik seperti baca
tertangkapnya seorang pada waktu
di surat kabar, dengar di radio, dengar orang bercerita, dan sedang melakukan tindak pidana, atau
lain-lain. dengan segera sesudah beberapa saat
tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat
kemudian diserukan oleh khalayak
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan ramai sebagai orang yang
oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan melakukannya, atau apabila sesaat
undang-undang kepada pejabat yang berwenang kemudian padanya ditemukan benda
tentang telah atau sedang atau diduga akan yang diduga keras telah dipergunakan
terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 angka 24 KUHAP) untuk melakukan tindak pidana itu yang
menunjukkan bahwa ia adalah
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai pelakunya atau turut melakukan atau
permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada membantu melakukan tindak pidana itu
pejabat yang berwenang untuk menindak menurut (Pasal 1 angka 19 KUHAP)
hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana
aduan yang merugikannya (Pasal 1 angka 25 KUHAP);
PIHAK DALAM PROSES HUKUM ACARA PIDANA
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau Terdakwa adalah seorang tersangka yang
keadaaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang
sebagai pelaku tindak pidana. pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP).
(Pasal 1 angka 14 KUHAP)
Penyelidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia yang Penyidik adalah pejabat polisi Republik
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan Indonesia/pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang
penyelidikan (Pasal 1 angka 4 KUHAP). khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP).
Penuntut Umum adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Jaksa adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum undang ini untuk melakukan penuntutan dan
serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah melaksanakan penetapan hakim
memperoleh kekuatan hukum tetap . (Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP)
(Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP) NB: Menyangkut Fungsi dan NB: Menyangkut Jabatan
Wewenang
Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat
yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk
memberi bantuan hukum (Pasal 1 angka 13 KUHAP)
ASAS-ASAS DALAM HUKUM ACARA PIDANA
• Asas Legalitas dalam Upaya Paksa (perintah tertulis dari yang berwenang).
• Asas Legal Assistance (tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan hukum) (Pasal 54 KUHAP).
• Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan (Pasal 154, 155 KUHAP dst)
• Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of innocence) diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal HAM Tahun 1948, Pasal 14 ayat 2 ICCPR,
Pasal 9 UU No.48 Tahun 2009 lawan katanya Presumption of Qualty
• Asas Remedy and Rehabilitation (pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan dan salah tuntut). (Pasal 96 ayat 1, Pasal 97
KUHAP dst)
• Asas Fair, Impartial, Impersonal, and Objective (peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak) Pasal 2
ayat 4 UU No 48 Tahun 2009, Penjelasan Pasal 50, 56 UU No 8 Tahun 1981);
• Asas Keterbukaan (sidang/pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum). Pasal 153 ayat 3 KUHAP, batal demi hukum (Pasal 153 ayat 4 KUHAP dan
Pasal 13 ayat (3) UU No 48 Tahun 2009.
• Asas Pengawasan (Pasal 280 KUHAP, Hakim Wasmat)
• Asas Equality before the law/asas Isonamia/asas persamaan di muka hukum. (Pasal 4 ayat 1 UU No 48 Tahun 2009)
• Asas Presentasi (hadirnya terdakwa). Pasal 196 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 Pengecualian in absentia (lalu lintas, tipiring (acara cepat), tipikor,
tppu, perikanan,
• Asas “Miranda Rule”. KUHAP tidak mengenal asas Miranda Rule (kasus Miranda vs Arizona tahun 1966)
• Asas Oportunitas.
• Asas Akusator dan Inkisitor (Accusator dan Inquisitoir).
Mengapa Terdakwa tidak disumpah?
Asas non self incrimination yaitu seorang terdakwa berhak untuk tidak memberikan
keterangan yang akan memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan
Pengertian Penyelidikan
Pengertian Penyidikan
Upaya Paksa Dalam Penyidikan
PENGERTIAN PENYELIDIKAN
1. Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
2. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang
diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b.
3. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan
melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.
Tugas penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan adalah sesuai dengan undang-undang hukumnya masing-masing dan
dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri
PENYIDIK PEMBANTU & WEWENANGNYA
Pasal 11 KUHAP
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1),
kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari penyidik.
UPAYA PAKSA DALAM PENYIDIKAN
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
“bukti permulaan yang cukup” bermakna bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1
angka 14 KUHAP
Pasal 18 KUHAP
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum
atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
a. Tersangka atau terdakwa harus dapat mengetahui setelah ia ditahan sifat dari sangkaan atau dakwaan yang
dihadapkan kepadanya
b. Jika tersangka atau terdakwa menyadari pentingnya sangkaan atau dakwaan, ia harus mempunyai hak seketika
itu untuk mengadakan hubungan dan konsultasi dengan seorang penasihat hukum menurut pilihannya.
Prof. Oemar Seno Adji, S.H (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 5 Desember 1915, meninggal dunia 5 Desember 1984) Jaksa Agung Muda periode
(1950-1959), Jaksa Agung Muda, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1966-1968),
Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan I (1968-1973) dan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (1974-1982), Rektor Universitas
Krisnadwipayana (1981-1984).
MASA PENAHANAN
Pasal 29 KUHAP
1. Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27
dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat
diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter,atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
2. Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan
tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
ALASAN & SYARAT PENAHANAN
Alasan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal 21 ayat 1 KUHAP
Syarat Objektif:
karena undang-undang sendiri yang menentukan tindak pidana mana yang akan
dikenakan penahanan; hal ini ditentukan dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP yaitu perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau lebih atau perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 335, 351 dan sebagainya.
Syarat Subjektif:
alasan yang muncul dari penilaian subyektif pejabat yang menitikberatkan pada keadaan dan keperluan penahanan itu sendiri. hal ini
ditentukan dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu: adanya dugaan keras bahwa tersangka terdakwa melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup; adanya keadaan yang menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka dan terdakwa akan melarikan diri;
adanyakekawatiran tersangka atau terdakwa merusak dan atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
PENGGELEDAHAN
PENGGELEDAHAN TERDIRI ATAS PENGGELEDAHAN RUMAH ATAU BADAN
Menurut M. Yahya Harahap, penggeledahan adalah adanya seseorang atau beberapa orang petugas
mendatangi dan menyuruh berdiri seseorang. Lantas petugas tadi memeriksa segala sudut rumah
ataupun memeriksa sekujur tubuh orang yang digeledah
Prof. Muhammad Yahya Harahap, S.H. lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan Tahun 1932, mantan Hakim
Agung dan mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Yudisial
TEMPAT-TEMPAT YANG DILARANG DILAKUKAN PENGGELEDAHAN
Pasal 35 KUHAP
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata' atau karena pailit dapat juga disita untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
BEBERAPA HAL TENTANG PENYITAAN
Pasal 43 KUHAP
“Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya,
sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua
pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain”.
Nama lainnya adalah Rupbasan apabila tidak ada Rupbasan bisa di Kantor Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Bank
Pemerintah, dalam keadaan memaksa dapat disimpan dalam tempat khusus, atau pada tempat semula benda tersebut
berasal
Pasal 30 ayat (1) huruf a UURI Nomor 16 Tahun 2004 : "Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk
memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik,
mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta
memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara
tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan
BERKAS PERKARA
Koordinasi Fungsional antara penyidik dan penuntut umum yang sering menimbulkan polemik menyangkut
prapenuntutan adalah:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan
dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa ‘penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan
menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling
lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Sebelumnya, Pasal 109 ayat (1) KUHAP
berbunyi “dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.” Dengan adanya putusan MK, maka ada
batas waktu paling lambat 7 hari bagi penyidik untuk menyampaikan SPDP kepada penuntut umum, terlapor,
dan korban/pelapor
PENUNTUTAN
PENUNTUTAN adalah TINDAKAN PENUNTUT UMUM UNTUK MELIMPAHKAN PERKARA PIDANA KE
PENGADILAN NEGERI YANG BERWENANG DALAM HAL DAN MENURUT CARA YANG DIATUR DALAM UNDANG-
UNDANG INI DENGAN PERMINTAAN SUPAYA DIPERIKSA DAN DIPUTUS OLEH HAKIM DALAM SIDANG
PENGADILAN (PASAL 1 ANGKA 7 KUHAP)
Pasal 14 KUHAP
Penuntut umum mempunyai wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
PENGHENTIAN PENUNTUTAN
Pasal 140 ayat (2) KUHAP
Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut
umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum,
pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
Surat Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta
landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan
Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b KUHAP (syarat materil).
(Pasal 143 ayat 3 KUHAP) adalah batal demi hukum. Surat dakwaan bisa diubah baik atas inisiatif penuntut umum maupun
atas saran hakim namun sebelum pemeriksaan persidangan dimulai.
Bahwa suatu dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima akibat dari “syarat penuntutannya tidak terpenuhi”. yang
dimaksud “syarat penuntutan” tersebut antara lain yaitu dalam suatu perkara yang merupakan delik aduan namun
ternyata dalam proses pengajuan ke persidangan tidak disertai dengan pengaduan, atau delik dilakukan pada waktu dan
tempat dimana ketentuan undang-undang pidananya tidak berlaku, atau hak menuntut telah hapus dengan alasan
antara lain ne bis in idem, daluwarsa dan Terdakwa meninggal dunia;
Pasal 143 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka untuk dapat
menyatakan surat Dakwaan “batal demi hukum”. Surat Dakwaan dimaksud setidaknya telah terlebih dahulu dinyatakan
tidak menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan atau dengan kata lain Syarat Materiil Surat Dakwaan tidak terpenuhi;
Sedangkan apabila syarat formil Surat Dakwaan yaitu menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan Pencantuman
tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum serta identitas Terdakwa tidak terpenuhi maka Surat Dakwaan tersebut tidak
serta merta “batal demi hukum” melainkan “dapat dibatalkan”
BENTUK SURAT DAKWAAN
DASAR HUKUM: Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan
Dakwaan Tunggal
Dalam surat dakwaan ini hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk
mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya; Pasal 362KUHP
Dakwaan Alternatif
Dalam surat dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat
mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana
yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan
saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak
perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk Surat Dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung “ATAU”
Dakwaan Subsider
Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsidair juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud
lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam
dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah.
Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya. Lapisan yang tidak
terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan.
BENTUK SURAT DAKWAAN
Dakwaan Kumulatif
Dalam Surat Dakwaan ini, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi
satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut.
Dakwaan ini dipergunakan dalam hal Terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing merupakan
Tindak Pidana yang berdiri sendiri. “DAN”
Contoh Dakwaan
Tunggal : Pasal 362 KUHP
Alternatif : Kesatu Pasal 362 KUHP atau Kedua Pasal 480 KUHP
Subsideritas:
Primer: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP)
Subsider: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)
Lebih Subsider: Penganiayaan menyebabkan orang mati (Pasal 351 ayat 3 KUHP)
Kumulatif:
Kesatu: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)
dan
Kedua: Perkosaan (Pasal 285 KUHP)
BENTUK SURAT DAKWAAN
Dakwaan Kumulatif
Dalam Surat Dakwaan ini, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti
harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal Terdakwa melakukan beberapa
Tindak Pidana yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri. “DAN”
Dakwaan Kombinasi
Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan atau digabungkan antara dakwaan kumulatif
dengan dakwaan alternatif atau subsidair.
Contoh Dakwaan Dakwaan Kombinasi
Tunggal : Pasal 362 KUHP
Kesatu:
Alternatif : Kesatu Pasal 362 KUHP atau Kedua Pasal 480 KUHP Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP);
Subsideritas: Subsidair: Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP);
Primer: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) dan
Subsider: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)
Lebih Subsider: Penganiayaan menyebabkan orang mati (Pasal 351 ayat 3 KUHP) Kedua:
Primer: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP);
Kumulatif:
Kesatu: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) Subsider: Pencurian (Pasal 362 KUHP
dan
Kedua: Perkosaan (Pasal 285 KUHP)
PRAPERADILAN
(Pasal 1 angka 10 KUHAP)
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Pasal 77 KUHAP
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini tentang :
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.
PERUBAHAN OBJEK PRAPERADILAN
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang
Pengujian Undang-Undang (UU) 8/1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana
(KUHAP),. Putusan itu menyatakan, objek praperadilan tidak hanya yang telah
ditentukan oleh Pasal 77 KUHAP yaitu: “a) sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan b)
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”. Tetapi juga termasuk
“penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”.
YANG DAPAT MENGAJUKAN PRAPERADILAN
Pasal 3 PERMA No 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN
DIBAGI 2 MACAM:
ACARA PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING)
ACARA PEMERIKSAAN PELANGGARAN LALU LINTAS
TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING) & LALU LINTAS
Pasal 205 KUHAP
Perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu
lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP
Pasal 364, 373,379,384,407,dan pasal 482 KUHP denda Rp250,00 dibaca menjadi Rp2.500.000,00
Peraturan Daerah
PASAL 274 S/D PASAL 313 UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
PERMA 12 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN PERKARA PELANGGARAN LALU LINTAS
PEMERIKSAAN SIDANG ACARA SINGKAT
Diatur dalam Bagian Kelima Pasal 203 dan Pasal 204 KUHAP
Disebut juga dengan acara pemeriksaan sumir
PEMBUKTIAN
Pembuktian adalah membuktikan, sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,
melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan.
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. (Pasal 183 KUHAP)
Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti
yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya
suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya;
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
KETERANGAN SAKSI
Saksi tidak hanya orang yang ia lihat, dengar, alami sendiri, tetapi setiap orang yang punya
pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi
demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa.
(Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010)
KETERANGAN SAKSI
Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang
logis (conviction in raisone)
Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan ditutup hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu
diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang. (Pasal 182 ayat 3 KUHAP)
Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. (Pasal 182 ayat 4
KUHAP)
Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang
terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. (Pasal 182 ayat 5
KUHAP)
Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak
dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut : a. putusan diambil dengan suara terbanyak; b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat
diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. (Pasal 182 ayat 6 KUHAP)
Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu
dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. (Pasal 182 ayat 7 KUHAP)
Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum. (Pasal 182 ayat 8 KUHAP)
MUSYAWARAH HAKIM
Dalam musyawarah Hakim,Hakim Ketua memimpin musyawarah kemudian yang terlebih dahulu mengemukakan pendapat
adalah Hakim Anggota II, kemudian disusul Hakim Anggota I kemudian terakhir Hakim Ketua mengemukakan pendapat.
Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam
putusan.
Pasal 14 ayat 3 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Dalam hal sidang permusyawaratan
tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”.
Dissenting Opinion:semenjak awal pertimbangannya sudah berbeda. Mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusannya berbeda.
Concuring Opinion: fakta hukumnya sama, pertimbangannya sama, tapi amar putusannya yang berbeda atau apabila pendapat seorang Hakim mengikuti
sependapat dengan pendapat Hakim yang mayoritas tentang amar putusan, misalnya setuju koruptor tersebut dihukum 8 tahun, tapi dia hanya menyatakan
berbeda dalam pertimbangan hukum (legal reasoning) nya.
PUTUSAN HAKIM dan SYARAT SAH PUTUSAN
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 angka 11 KUHAP)
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. (Pasal 195
KUHAP)
Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada (Pasal
196 ayat 2 KUHAP)
Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa
yang menjadi haknya, yaitu : a. hak segera menerima atau segera menolak putusan; b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan
menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini; c. hak minta penangguhan pelaksanaan
putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan; d.
hak. minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia
menolak putusan; e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-
undang ini. (Pasal 196 ayat 3 KUHAP)
JENIS-JENIS PUTUSAN AKHIR
Putusan Lepas dari segala Tuntutan Hukum (onstlag van recht vervolging)
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat 2 KUHAP)
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.
MUATAN SURAT PEMIDANAAN
Pasal 200
Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI PASAL 197 AYAT 1 KUHAP
Pasal 197 ayat (1) huruf “k” sendiri menyatakan surat putusan pemidanaan harus memuat antara lain mengenai perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap
dalam tahanan atau dibebaskan. Sedangkan ayat (2) KUHAP menentukan jika tidak dipenuhi ketentuan tersebut maka mengakibatkan putusan batal demi
hukum.
Menurut Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya, Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP secara formal merupakan ketentuan yang bersifat imperative atau
mandatory kepada pengadilan, dalam hal ini hakim yang mengadili, yang manakala pengadilan atau hakim tidak mencantumkannya dalam putusan yang
dibuatnya, maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Meskipun demikian, menurut Mahkamah, secara materiil-substantif kualifikasi imperative atau
mandatory-nya seluruh ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat, terlebih lagi manakala membacanya dikaitkan
dengan pasal-pasal lain sebagai satu kesatuan sistem pengaturan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 197 ayat (2) bahwa, “Tidak dipenuhinya
ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”, namun dalam Penjelasannya dinyatakan,
“Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan
atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.”
“Dengan demikian maka, apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g dan huruf i karena tidak disebutkan
dalam Pasal 197 ayat (2), serta terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan materi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat
(1) yang mengecualikan huruf a, e, f, dan h, maka tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Oleh karenanya, secara materiil-substantif kualifikasi
imperative atau mandatory dari keseluruhan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) a quo tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat,
kapukboy Lkp BinaExcel Mandiri
rizalf_86 binaexcelmandiri.com
kapukboy1986 Lkp_binaexcelmandiri