You are on page 1of 87

KEGIATAN BELAJAR 1

SKETSA KEBERAGAMAAN DI INDONESIA

Capaian Pembelajaran (CP)

Menganalisis sketsa keberagamaan manusia, sketsa keberagamaan di Indonesia dan


berbagai tantangan kehidupan beragama dan bernegara yang merupakan kondisi
objektif yang menjadi latar belakang urgensi beragama secara moderat.

Tujuan Pembelajaran (TP)

1. Menganalisis sketsa keberagamaan dalam kehidupan manusia.

2. Menganalisis sketsa keberagamaan dalam kehidupan bangsa Indonesia.

3. Menganalisis Praktik Keberagamaan Substantif-Inklusif vs Legal Formalistik-


Eksklusif

4. Menganalisis urgensi beragama secara moderat.

Ruang Lingkup Materi

1. Sketsa Keberagamaan Dalam Kehidupan Manusia

2. Sketsa Keberagamaan Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia

3. Praktik Keberagamaan Substantif-Inklusif vs Legal Formalistik-Eksklusif

4. Urgensi Beragama Yang Moderat

1
Uraian Materi

A. Pengantar

Materi pembelajaran pada Kegiatan Belajar 1; Sketsa Keberagamaan Di


Indonesia ini diarahkan untuk mengantarkan para guru pada kemampuan untuk
melakukan analisis terhadap urgensi beragama secara moderat.

Untuk kepentingan tersebut, materi pembelajaran pada KB 1 ini disusun


dengan alur sebagai berikut :

✓ Diawali dengan uraian tentang sketsa keberagamaan dalam kehidupan


manusia, dimana uraian tersebut berisi gambaran yang menunjukkan bahwa
kehadiran agama dalam kehidupan manusia, secara umum, selalu disertai
“dua muka” (janus face). Secara inherent agama memiliki identitas yang bersifat
“exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada saat yang
bersamaan, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”,
“universalist”, dan “transcending”. Dengan kata lain, agama mempunyai energi
potensial yang bersifat konstruktif dan dalam waktu yang bersamaan agama
juga mempunyai energi potensial yang bersifat destruktif terhadap umat
manusia.

✓ Alur berikutnya adalah uraian tentang sketsa keberagamaan dalam kehidupan


bangsa Indonesia, dimana uraian tersebut berisi gambaran yang menunjukkan
bahwa sebagaimana dalam kehidupan manusia secara universal, kehadiran
agama dalam kehidupan bangsa Indonesia --bangsa yang beragama, bangsa
yang plural, dimana salah satu aspek pluralitas bbanggsa Indonesia terrsebutt
adalah pluralitas agama-- juga mempunyai energi potensial yang bersifat
konstruktif dan dalam waktu yang bersamaan juga mempunyai energi
potensial yang bersifat destruktif terhadap umat manusia.

✓ Berikutnya, uraian dilanjutkan dengan paparan yang menggambarkan


manifestasi dari potensi positif dan potensi negatif agama dalam kehidupan

2
bangsa Indonesia yaitu model keberagamaan substantif-inklusif sebagai
manifestasi dari potensi positif agama, dan model keberagamaan legal
formalistik-eksklusif sebagai manifestasi potensi negatif agama.

✓ Uraian berikutnya dilanjutkan dengan paparan bahwa dalam konteks


kehidupan bangsa Indonesia, model keberagamaan legal formalistik-inklusif
kemudian digambarkan sebagai variabel yang cukup deterministik dalam
melahirkan tiga tantangan bagi kehidupan beragama dan berbangsa, yaitu; 1)
berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan
(ekstrem), yang mengesampingkan martabat kemanusiaan, 2) berkembangnya
klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta
pengaruh kepentingan ekonomi dan politik yang berpotensi memicu konflik,
dan 3) berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan
kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.

✓ Uraian materi pembelajaran KB 1 ini diakhiri dengan pemaparan gambaran


bahwa beragama yang moderat adalah solusi untuk menghadapi dan
mengatasi tiga tantangan kehidupan beragama dan berbangsa, dimana untuk
membangun kehidupan beragama yang moderat tersebut dilakukan melalui
upaya; 1) memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, 2)
mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan
keberagamaan, dan 3) merawat keindonesiaan.

B. Sketsa Agama Dalam Kehidupan Manusia

Salah satu tesis yang sampai saat ini belum tergoyahkan menyatakan bahwa
agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan dasar setiap individu
dari sebuah masyarakat yang kemudian menjadi komponen dominan yang
mempengaruhi gerak langkah yang dilakukan oleh setiap individu yang menjadi
anggota masyarakat tersebut.1

1
Beberapa hasil kajian yang mendasari pernyataan tersebut antara lain lihat Max Weber, The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism, (New York : Scribner’s Sons, 1958), dan Robert N. Bellah, Tokugawa
Religion; the Cultural Roots of Modern Japan, (New York : the Free Press, 1985).

3
Tesis tersebut ternyata tidak hanya berlaku bagi komunitas yang berada di
kawasan yang berperan sebagai tempat lahirnya agama-agama besar, akan tetapi,
dalam intensitas dan scope yang beragam, juga berlaku bagi komunitas yang
berada di luar kawasan tersebut.

Salah satu bukti tentang apa yang dikemukakan terakhir di atas antara lain
adalah pengambilan sumpah jabatan Presiden Amerika Serikat. Di negara yang
sering dianggap sebagai prototipe negara sekuler tersebut, pengambilan sumpah
jabatan presiden selalu melibatkan kitab suci Bible. Demikian pula makna
simbolik dari realitas yang bisa kita lihat bahwa Ratu Inggris dan kepala-kepala
negara yang berada di kawasan Skandinavia --yang juga sering dianggap sebagai
prototipe negara-negara sekuler-- berperan sebagai kepala Gereja Anglikan.

Bukti tersebut tentu saja berimplikasi pada seluruh perkembangan sosial,


ekonomi, dan politik, dimana agama selalu hadir sebagai salah satu variabel yang
mempengaruhinya, meskipun hal tersebut terjadi dalam intensitas dan scope yang
beragam.2

Seorang tokoh pemikir Islam Indonesia, Almarhum Nurcholish Madjid


pernah menyatakan bahwa kehadiran agama dapat dianggap sebagai sesuatu
yang memiliki nilai comparative advantage. Agama diharapkan akan memberi nilai
tambah yang fundamental terhadap upaya menciptakan keseimbangan antara
kehidupan material dan immaterial, kehidupan yang profan dan yang sacral.3

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa agama sesungguhnya hadir


sebagai petunjuk bagi penciptaan kehidupan yang penuh keteraturan dan
keharmonisan.

Namun, kehadiran agama di muka bumi dalam bentuk “keberagamaan


manusia”, tidak tampil dalam wajah yang seragam sebagaimana juga
tidakseragamnya manusia itu sendiri. Hal ini, sebenarnya memiliki blessing
teologis-sosiologis terutama bagi upaya menciptakan keteraturan kosmik,

2
Lihat Phillipe E Hammond (ed.), The Sacred in A Secular Age, (Berkeley, Los Angeles, London :
University of California Press, 1985).
3
Lihat Nurcholis Madjid, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987), hal. 122.

4
sebagaimana Tuhan menghendaki keragaman (pluralitas) itu sebagai
sunnatullah.

Sayangnya, tidak semua komunitas umat beragama memiliki kesadaran


untuk mengambil dan mengembangkan sisi positif-konstrukrtif dari keragaman
tersebut. Terdapat sebagian komunitas umat beragama yang memiliki anggapan
bahwa sebagian komunitas agama lain yang berbeda sebagai musuh yang harus
dihindari dan dinafikan eksistensinya.

Hal terakhir tersebut di atas membuat seorang novelis sekaligus wartawan


dari Inggris, A. N. Wilson, mengemukakan fikiran yang bersifat pesimistis --
tepatnya, negatif-- tentang agama. Dalam buku yang ditulisnya yang berjudul
“Against Religion; Why We Should Try to Live Without It”, A. N. Wilson
mengemukakan bahwa jika dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang
adalah akar segala kejahatan, mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa
cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan.

Lebih lanjut Wilson mengemukakan bahwa agama adalah tragedi umat


manusia. Dalam pandangan Wilson, hampir tidak ada satupun agama yang tidak
ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan. Wilson
menambahkan bahwa agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya,
untuk mengagungkan perasaan dan pendapat sendiri di atas perasaan dan
pendapat orang lain, untuk mengklaim bahwa merekalah pemilik kebenaran.4

Selanjutnya Wilson juga sependapat dengan Marx yang menggambarkan


bahwa agama adalah candu bagi rakyat, bahkan Wilson berpendapat bahwa
agama jauh lebih berbahaya dari pada candu, karena menurut Wilson, agama bisa
membuat orang “tidak bisa tidur”.5

Pandangan Wilson bahwa agama bisa membawa kepada berbagai macam


konflik berbasis klaim kebenaran memang terasa terlalu berlebihan dan sangat
pesimistis. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pandangan Wilson tersebut

4
Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang”, dalam
Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam …, hal. 11.
5
Lihat, Ma’arif Jamuin, Manual Advokasi: Resolusi Konflik Antar Etnik dan Agama, (Surakarta, Penerbit
CISCORE, 2004), hal. 42 – 43.

5
didukung oleh berbagai bukti yang menunjukkan bahwa dalam suasana ekstrim
dan fanatik, agama bisa membawa manusia terjebak kepada situasi untuk saling
“menganiaya sesamanya”. Banyak catatan sejarah yang bisa dikemukakan
mengenai bermacam konflik antar agama dimana konflik tersebut “seolah-olah”
dibenarkan oleh agama.

Kita bisa melihat bahwa perjalanan sejarah agama-agama tidak pernah


luput dari masalah konflik hingga sekarang. Masih segar dalam ingatan kita, pada
dekade akhir dari abad dua puluh kejadian tragis berbau keagamaan, antara lain
konflik berdarah di Ayodhya antara pemeluk Hindu dan pemeluk Islam pada
tahun 1992, peperangan di Yogoslavia antara Bosnia Muslim dan Serbia Kristen
ketika negara itu pecah pada tahun 1989, konflik-konflik berdarah bernuansa
agama juga terjadi di Irlandia Utara, Srilangka, Israel, dan Sudan.6

Peristiwa yang muncul serta menggemparkan negara adikuasa, dan


beritanya mengumandang di seluruh pelosok dunia, yakni peristiwa hancurnya
Gedung World Trade Center (WTC) di New York Amerika Serikat, tepatnya 9
September 2001 dihubungkan juga dengan gerakan fundamentalisme beragama
yang berkembang di negara tersebut. Maraknya serangan bom dan aksi tembak-
menembak yang terjadi di berbagai negara belakangan ini seringkali dicap
sebagai bentuk terorisme yang dilatarbelakangi oleh radikalisme agama.

Dari berbagai kejadian itu, banyak pihak yang menuding aksi tersebut
dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras berlandaskan agama Islam,
seperti Al-Qaeda, ISIS atau Daesh, Boko Haram, Abu Sayyaf, dan afiliasi
kelompok-kelompok tersebut di berbagai negara.

Namun, sesungguhnya tindakan radikal dan aksi teror juga dilakukan oleh
kelompok dengan latar belakang agama lain (selain Agama Islam). Misalnya
kasus ledakan bom yang terjadi di Malegaon, Maharashtra, dan di Modasa,
Gujarat di India pada 29 September 2008 yang menewaskan 8 orang, dan melukai
lebih dari 80 orang yang mayoritas beragama Islam. Menurut otoritas setempat,

6
Abdullah Ismail, “Dilema Agama: Antara Pembebasan dan Konflik Telaah Sosiologis atas Konflik Islam-
Kristen di Maluku Utara”, dalam Jurnal Sains, Sosial Dan Humaniora (JSSH), Vol.1, No. 1, hal : 16 – 21.

6
aksi ini dilakukan oleh kelompok garis keras di India dengan latar belakang
agama Hindu.7

Hal yang sama juga terjadi di Myanmar, di mana sejumlah rahib beragama
Buddha melakukan aksi kekerasan terhadap warga Rohingya yang beragama
Islam, mulai dari tindakan diskriminasi hingga pengusiran paksa dari tempat
tinggal mereka. Pemerintah Myanmar sepertinya membiarkan hal itu terjadi,
bahkan dianggap mendukung gerakan kelompok radikal Buddha tersebut.
Begitu pula dengan kelompok teroris dan radikal Kristen seperti Army of God dan
Ku Klux Klan di Amerika Serikat yang kerap melakukan tindak kekerasan dan
membunuh masyarakat yang dianggap berbeda dengan iman Kekristenan
mereka. Kelompok radikal Kristen lainnya juga hadir di beberapa negara seperti
The Lord’s Resistance Army (LRA) di Uganda, The National Liberation Front of Tripura
di India.8

Pesimisme Wilson, dan berbagai fenomena yang dapat dijadikan sebagai


bukti yang mendasari pesimisme Wilson tersebut sebenarnya bukanlah satu
satunya sketsa atau wajah keberagamaan dalam kehidupan manusia.

Terdapat juga komunitas beragama yang menganggap bahwa komunitas


agama lain (yang berbeda) adalah partner dan memiliki eksistensi yang harus
dihargai sebagaimana mereka juga menghargai diri dan agama mereka. Hal ini,
karena menurut komunitas beragama dengan jenis yang disebut terakhir
tersebut, beragama adalah merupakan salah satu dari hak dasar
kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang.

Apa yang telah dipaparkan di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Jose Casanova bahwa kehadiran agama, secara umum, selalu disertai “dua
muka” (janus face). Secara inherent agama memiliki identitas yang bersifat
“exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada saat yang
bersamaan, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”,

7
Angel Damayanti,. “Radikalisme Pada Komunitas Non-Islam”, (Universitas Kristen Indonesia, 2018),
hal. 1.
8
Angel Damayanti,. “Radikalisme Pada Komunitas …”

7
“universalist”, dan “transcending”. Dengan kata lain, Jose Casanova ingin
mengatakan bahwa agama mempunyai energi potensial yang bersifat konstruktif
dan dalam waktu yang bersamaan agama juga mempunyai energi potensial yang
bersifat destruktif terhadap umat manusia.9

Dengan demikian, sekali lagi, pesimisme Wilson, dan berbagai fenomena


yang dapat dijadikan sebagai bukti yang mendasari pesimisme Wilson tersebut
sebenarnya bukanlah satu satunya sketsa atau wajah keberagamaan dalam
kehidupan manusia karena terdapat juga komunitas beragama yang
menganggap bahwa komunitas agama lain (yang berbeda) adalah partner dan
memiliki eksistensi yang harus dihargai sebagaimana mereka juga menghargai
diri dan agama mereka sebab beragama adalah merupakan salah satu dari hak
dasar kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang.

C. Sketsa Keberagamaan Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia

Sebagaimana yang telah dikemukakan di awal bagian A, yaitu Sketsa


Keberagamaan Dalam Kehidupan Manusia, bahwa agama adalah sesuatu yang
berkaitan dengan keyakinan dasar setiap individu dari sebuah masyarakat yang
kemudian menjadi komponen dominan yang mempengaruhi gerak langkah yang
dilakukan oleh setiap individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut, dan
ini berlaku di berbagai kawasan di dunia ini, termasuk di kawasan yang dianggap
sebagai prototipe sekuler.

Nah, jika pada komunitas yang berada di kawasan yang dianggap sebagai
prototipe sekuler saja kecenderungan terhadap agama ini nampak, maka
optimisme keagamaan pada komunitas di kawasan yang berperan sebagai tempat
lahirnya agama-agama besar, kawasan Asia misalnya, tentu lebih kental, dan
Indonesia adalah termasuk salah satu di dalamnya.

9
Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam,
Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Jogjakarta : Galang Press, 2001), hal. 42.

8
Karena itulah, agama memiliki posisi fundamental bagi bangsa Indonesia.
Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi yakni UUD 1945 dan Pancasila sila
pertama. Amanat itu tertuang secara jelas;

✓ Pertama, dalam Pembukaan UUD 1945. Penyebutan frasa “Atas Berkat


Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” di dalam alinea ketiga Pembukaan UUD
1945 adalah satu bentuk pengakuan rasa syukur Bangsa Indonesia kehadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya, tanpa ada “campur tangan” Tuhan
melalui Rahmat dan Berkat-Nya, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan
terwujud. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang religius, di mana ajaran agama tidak hanya diyakini, tetapi juga
menjadi faktor dominan yang mendrive gerak langkah yang dilakukan oleh
setiap warganya.

✓ Kedua, Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Ketuhanan


Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, UUD harus
mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara
lainnya untuk memelihara budi pekerti, kemanusiaan yang luhur, dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

✓ Ketiga, dalam Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, “Setiap orang berhak
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali”. Hal
ini bermakna bahwa kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya
merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.

Akan tetapi, penting untuk dicermati, bagi para penganutnya, ajaran agama
diyakini menjanjikan jaminan kebaikan atau kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Selain itu, menurut para penganutnya, agama juga memberikan jaminan

9
bagi mereka untuk dapat keluar dari kegelapan menuju keadaan yang terang
benderang.

Dari sebagian kecil ajaran agama tersebut, bagi Bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang religius, di mana ajaran agama tidak hanya diyakini, tetapi juga
menjadi faktor dominan yang mendrive gerak langkah yang dilakukan oleh setiap
warganya, kondisi ril yang seharusnya terjadi adalah Bangsa Indonesia --yang
seluruh penduduknya beragama-- menjadi bangsa yang maju, terdepan, sukses
menghadapi berbagai problem kehidupan, dan tentunya menjadi bangsa yang
makmur dan sejahtera.

Akan tetapi, apa yang terjadi saat ini justru menunjukkan kondisi yang
belum sesuai dengan idealitas tersebut. Dalam kehidupan sosial juga ada
kecenderungan yang sangat memprihatinkan dimana bangsa ini sedang
disibukkan dengan saling hujat dan bentrok antar sesama warga bangsa, yang
ironisnya seringkali disebabkan oleh hal-hal yang sangat sepele, seperti;
perbedaan cara beribadah formal, perbedaan organisasi, dan hal lain yang
seharusnya justru menjadi kekayaan khasanah yang dapat dimanfaatkan dalam
rangka optimalisasi kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dewasa ini angsa Indonesia sedang menghadapi situasi kehidupan sosial-


keagamaan yang memiliki daya destruksi terhadap kebinekaan bangsa.
Setidaknya, ada tiga tantangan kehidupan keagamaan yang dihadapi saat ini.

Tantangan pertama berkaitan dengan menguatnya pandangan, sikap, dan


perilaku keagamaan eksklusif yang bersemangat menolak perbedaan dan
menyingkirkan kelompok lain. Cara beragama ini tidak hanya mempertanyakan
keabsahan Indonesia sebagai rumah bersama bagi kelompok-kelompok yang
berbeda, tetapi juga berusaha membangun ulang Indonesia menjadi sebuah
negara eksklusif yang hanya dimiliki kelompok tertentu.10

10
Kelompok Kerja Moderasi Beragama, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Bagi
Aparatur Sipil Negara Kementerian Agama Republik Indonesia, (Jakarta : Kelompok Kerja Moderasi
Beragama, 2021), hal. 4

10
Pada 2012, CSIS melakukan survei nasional. Dari 1.200 total responden,
ditemukan bahwa 33,4% tidak mau bertetangga dengan orang yang berlainan
agama; 25% tidak percaya kepada umat agama lain, dan 68% menentang
pembangunan tempat ibadah agama lain di lingkungannya.11 Data-data di atas
menunjukkan betapa kuatnya sikap keberagamaan eksklusif, sebuah sikap
keberagamaan yang dibangun di atas hilangnya kepercayaan kepada kelompok
lain, yang jika dibiarkan akan berujung pada tindakan penyingkiran kepada
kelompok lain yang berbeda.

Tantangan kedua berkaitan dengan tingginya angka kekerasan bermotif


agama. Pandangan, sikap, dan cara beragama yang eksklusif pada akhirnya
melahirkan berbagai praktik intoleransi dan kekerasan keagamaan yang
menghancurkan dan mematikan.12 Setidaknya, sejak jatuhnya rezim Orde Baru
pada 1998, berbagai konflik sosial keagamaan muncul di berbagai wilayah seperti
yang terjadi di Poso dan Ambon

Pada 2002, meledak bom Bali yang menewaskan 202 orang.13 Peristiwa ini
disusul dengan pengeboman Hotel J.W. Marriot Jakarta, dengan korban 11 orang
meninggal dan 152 mengalami luka serius (2003).14 Pada 2004, 5 orang meninggal
dan ratusan lainnya mengalami luka berat karena ledakan bom di Kedutaan Besar
Australia Jakarta.15 Setahun kemudian, bom terbesar kedua meluluh-lantakkan
Kuta Bali dan menewaskan 22 orang dan melukai lebih dari 100 orang.16 Pada

11
Kompas, “Toleransi Jadi Tantangan,” Kompas.com, 2012,
https://nasional.kompas.com/read/2012/06/06/03234293/toleransi.jadi.tantangan?page=all.
12
Rizal Sukma, “Ethnic Conflict in Indonesia: Causes and the Quest for Solution”, dalam Kusuma
Snitwongse dan W. Scott Thompson (eds.), Ethnic Conflict in Souteast Asia (Singapura: ISEAS, 2005), hal. 1.
13
K. Ramakrishna, dan S.S. Tan, After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia (Singapore:
World Scientific and Institute of Defence and Strategic Studies, 2003); B. Singh, “The challenge of militant Islam
and terrorism in Indonesia,” Australian Journal of International Affairs, Vol. 58, No. 1 (2004), hal.47-68; J.
Magouirk, S. Atran, dan M. Sageman, “Connecting terrorist networks,” Studies in Conflict & Terrorism, Vol.
31, No. 1 (2008): 1-16; B. West, “Collective memory and crisis: the 2002 Bali bombing, national heroic archetypes
and the counter-narrative of cosmopolitan nationalism,” Journal of Sociology, Vol. 44, No. 4 (2008), hal. 337-
353; F. Galamas, “Terrorism in Indonesia: an overview,” Research Papers, Vol. 4 (2015), hal. 215; A.S. Zora,
“Terrorism in Indonesia: A review on rehabilitation and deradicalization,” Journal of Terrorism Research, Vol.
6, No. 2 (2015), hal. 36-56.
14
G.S. Oak, “Jemaah Islamiyah's fifth phase: the many faces of a terrorist group,” Studies in Conflict &
Terrorism, Vol. 33, No. 11 (2010), hal. 989-1018.
15
M. Subhan, “Pergeseran orientasi gerakan terorisme Islam di Indonesia (Studi terorisme tahun 2000-
2015),” Journal of International Relations, Vol. 2, No. 4 (2016), hal. 59-67.
16
M. Subhan, “Pergeseran orientasi gerakan terorisme Islam di Indonesia (Studi terorisme tahun 2000-
2015),” Journal of International …

11
2009, sepasang bom diledakkan di Hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton Jakarta,
dengan korban 7 orang meninggal dan 50 lainnya luka-luka.17

Peristiwa kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Pada 14 Januari 2016,
salah satu jaringan ISIS di Indonesia melakukan serangan dengan senjata api dan
meledakkan bom di Jalan Thamrin Jakarta dan mengakibatkan hilangnya nyawa
8 orang.18 Pada 2018, terjadi pengeboman di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI
Diponegoro, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan,
Rusunawa Wonocolo Sidoarjo, dan Markas Polrestabes Surabaya di tahun 2018.19

Pada akhirnya, di depan ideologi keagamaan yang tertutup, dipenuhi


kebencian dan kekerasan ini, Indonesia dipertaruhkan. Inilah tantangan ketiga,
yaitu berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan
berbangsa dalam bingkai NKRI. Atas nama agama, Pancasila mulai digugat dan
dipertanyakan. Indonesia dianggap sebagai berhala. Hormat bendera merah
putih diyakini mencederai iman. Di sinilah, kita menemukan ideologi khilafah
dijajakan sebagai alternatif pengganti NKRI.20

Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010 hingga
Januari 2011, melakukan survei kepada siswa dan guru Pendidikan Agama Islam
(PAI) se-Jabodetabek. Hasilnya: 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila
tidak relevan; 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat
Islam; 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.21

17
Rizal Sukma, J. Ma'ruf, dan K. Abdullah, “The attitude of Indonesian Muslims towards terrorism: an
important factor in counter-terrorism?,” Journal of Human Security, Vol. 7, No. 1 (2001), hal. 21; M. Subhan,
“Pergeseran orientasi gerakan terorisme Islam di Indonesia (Studi terorisme tahun 2000-2015).”
18
A. Fenton dan D. Price, “ISIS, jihad and Indonesian law: Legal impacts of the January 2016 Jakarta
terrorist attacks,” Issues in Legal Scholarship, Vol. 14, No. 1 (2016), hal. 1-26; Y.P. Suratman, “The
effectiveness of de-radicalization program in Southeast Asia: does it work? The case of Indonesia, Malaysia, and
Singapore,” Journal of Asian Studies, Vol. 5, No. 2 (2017), hal. 135-156
19
I.A. Irawan, “Pergeseran orientasi terorisme di Indonesia 2000-21018,” kumparan.com 17 Mei 2018,
https://kumparan.com/erucakra-garuda-nusantara/pergeseran-orientasi-terorisme-diindonesia-2000-2018
(Diakses 7 Juni 2019)
20
Kelompok Kerja Moderasi Beragama, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Bagi
Aparatur Sipil Negara Kementerian Agama Republik Indonesia, (Jakarta : Kelompok Kerja Moderasi
Beragama, 2021), hal. 5
21
BBC, “Survei: hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal,” www.bbc.com, 2011,
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/04/110426_surveiradikalisme..

12
Pada 2016, Jaringan GUSDURian melakukan pemetaan sosial media dan
internet, di mana hasilnya adalah narasi keislaman dan keindonesiaan
didominasi oleh pandangan keagamaan yang menganggap bahwa demokrasi
dan Indonesia dianggap sebagai musuh bagi Islam.22 Karena demokrasi dan
Indonesia dianggap sebagai musuh Islam, maka ideologi yang harus dipeluk
umat Islam adalah ideologi khilafah.

Di tahun yang sama, Wahid Foundation melakukan survei kepada para


siswa SLTA aktivis Unit Kerohanian Islam (Rohis), di mana 37 % sangat setuju
dan 41 % setuju Indonesia menjadi khilafah Islam.23

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri


(UIN) Jakarta dan Convey Indonesia Pada tahun 2018, melakukan survei tentang
intoleransi dan terorisme di kalangan guru, siswa, dosen, dan mahasiswa.
Penelitian tersebut melibatkan 1.859 siswa dan mahasiswa, serta 322 guru dan
dosen di 34 provinsi dan 68 kota di Indonesia.24 Penelitian tersebut menunjukkan,
86% siswa dan mahasiswa, dan 87.89% guru dan dosen yang menjadi responden
setuju pemerintah melarang keberadaan kelompok-kelompok keagamaan
minoritas yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Dari seluruh responden,
91.23% di antaranya setuju bahwa syariat Islam harus diterapkan pada level
negara, 37.71% setuju bahwa jihad bermakna “qitâl” atau mengangkat senjata
berperang melawan non-muslim, 37.71% setuju bahwa bom bunuh diri adalah
bagian dari ajaran jihad dalam Islam, dan 61.92% memahami bahwa sistem
kekhalifahan merupakan sistem pemerintahan Islam.

Itulah tadi sebagian dari wajah kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini.
Pemahaman, sikap, dan cara beragama yang eksklusif, intoleran, memuja
kekerasan, dan menolak NKRI terus menerus dipasarkan. Cara beragama seperti
ini akan menghancurkan sendi-sendi kebangsaan yang selama ini dibangun

22
Infid dan Gusdurian, “Laporan Mapping Internet dan Sosial Media” (Jakarta, 2016).
23
Berita Satu, “Survei Wahid Foundation: 86% Aktivis Rohis Ingin Berjihad ke Suriah,”
www.beritasatu.com, 2017, https://www.beritasatu.com/megapolitan/414934/survei-wahidfoundation-86-
aktivis-rohis-ingin-berjihad-ke-suriah
24
PPIM UIN Jakarta dan Convey, Api dalam Sekam: Keberagamaan Muslim Gen-Z, Survei nasional
tentang Keberagamaan di Sekolah dan Universitas di Indonesia (Jakarta: PPIM UIN Jakarta and Convey
Indonesia, 2018).

13
melalui tata kehidupan yang saling merangkul, menghargai, dan
mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan berbagai masalah bersama.
Karena itulah, perlu dibangun pemahaman keagamaan yang lebih moderat
dengan mengedepankan sikap inklusif, dialogis, humanis, toleran, adil, dan
damai.

D. Praktik Keberagamaan Substantif-Inklusif vs Legal Formalistik-Eksklusif25

Paradigma pemikiran politik Islam yang “substantif-inklusif” secara umum


ditandai dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan
konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik.
Adapun ciri-ciri yang menonjol pada pemikiran substantif-inklusif ada
empat. Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al-Qur’an sebagai kitab
suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia,
tetapi tidak menyediakan detail pembahasan terhadap setiap obyek
permasalahan kehidupan. Argumen utama dari pendukung paradigma ini
adalah, bahwa tak ada satu pun dari ayat Al-Qur’an yang menekankan bahwa
umat Islam harus mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al-
Qur’an memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin
masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan,
kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain.
Kedua, pendukung paradigma substantif-inklusif meyakini bahwa misi utama
Nabi Muhammad bukanlah untuk membangun kerajaan atau negara. Tetapi
seperti halnya para nabi lainnya, yakni mendakwahkan nilai-nilai Islam dan
kebajikan. Dengan demikian misi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan sebagai
langkah untuk membangun negara atau sistem pemerintahan tertentu.
Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain Fawzi al-Najjar, concern utama Nabi
Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk
mempersatukan para pemeluk Islam (al-wihda al-ijtimai) daripada membangun

Disadur dari M. Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita Membingkai Potret Pemikiran Politik
25

KH Abdurrahman Wahid,” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Wahid Institute, 2006), xix-xxii.

14
sebuah negara atau sistem pemerintahan. Kenyataan kemudian terbukti bahwa
sesudah Nabi Muhammad wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk
melakukan musyawarah dan memutuskan siapa penggantinya, yang kemudian
terpilih Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat Nabi Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sistem dan mekanisme yang
berbeda.
Ketiga, para proponen paradigma substantif-inklusif berpendapat bahwa
syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. Demikian pula syari’at tidak
berkaitan dengan gagasan-gagasan spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan
atau sistem politik. Karena Islam dipandang semata-mata sebagai agama dan
bukan-nya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara, syari’at
seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara, tetapi tetap diletakkan
dalam kerangka sistem keimanan Islam. Menurut Al-Ashmawi, mantan hakim
agung Mesir yang juga dikenal sebagai pemikir progresif Islam terkemuka,
bahkan Al-Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari
orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang berkaitan
dengan bentuk-bentuk negara. Syari’at adalah sebuah jalan dan gerak langkah
yang selalu dinamis dan membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar dan
orientasi-orientasi etis yang mulia.
Keempat, refleksi para pendukung paradigma substantif-inklusif dalam
bidang politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap
pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari
nilai–nilai Islam (Islamic injuctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam
penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan politik
mereka. Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung untuk
mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai Islam yang intrinsik, dalam
rangka mengembangkan wajah kultural Islam dalam masyarakat Indonesia
modern. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai
kekuatan kultural, dan Islam hanyalah satu di antara kekuatan kultural yang
bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan itu, proses
Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi dan bukannya politisasi.

15
Sementara itu, paradigma legal-eksklusif mempunyai ciri-ciri umum sebagai
berikut. Pertama, paradigma legal-eksklusif dalam pemikiran politik Islam
meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum
yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang
mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia. Para
pendukung paradigma legal-eksklusif sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah
totalitas integratif dari “tiga d”: din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia).
Konsekuensinya, seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didisain
untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari soal remeh temeh
masalah keluarga hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial,
politik, dan sebagainya.
Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma legal-eksklusif
mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam. Paradigma
ini menghendaki agar umat Islam selalu menjadikan kehidupan Nabi
Muhammad dan para sahabatnya (khulafa ar-rasyidun) dalam mengatur tatanan
kemasyarakatan, dijadikan sebagai referensi utama dan modal untuk me-
wujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik
terhadap konsep-konsep politik Barat. Akibatnya, paradigma ini mendorong um-
at Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka sebagai “alternatif”
terhadap sistem-sistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam.
Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa syari’at harus
menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, dan dunia tersebut. Syari’at
dengan demikian diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan
harus dijadikan sebagai dasar dari negara dan konstitusinya, serta
diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman
bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga menegasikan
adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang
implementasinya harus didukung oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini
menerapkan visi dan missi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim
untuk menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai alternatif
terhadap sistem-sistem dunia yang berlaku.

16
Keempat, dalam konteks politik paradigma legal-eksklusif menunjukkan
perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk
masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity); seperti
mewujudkan suatu “sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi
simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta ekspe-
rimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia, pendukung
paradigma legal-eksklusif sangat menekankan ideologis atau politisasi yang
mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal.

E. Urgensi Moderasi Beragama

Setiap agama mengajarkan penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan Yang


Maha Esa, sang Maha Pencipta. Penghambaan kepada Tuhan ini diwujudkan
dalam kesiapan mengikuti petunjuk-Nya dalam kehidupan. Manusia menjadi
hamba hanya bagi Tuhan, tidak menghamba kepada yang lain, dan juga tidak
diperhambakan oleh yang lain. Di sinilah esensi nilai keadilan antarmanusia
sebagai sesama makhluk Tuhan.
Manusia juga menjadi hamba Tuhan yang diberi mandat untuk memimpin
dan mengelola bumi, sebagai makhluk yang diciptakan dengan keunggulan budi
pikir. Bumi perlu dikelola agar tercipta kemaslahatan bersama. Inilah salah satu
visi kehidupan terpenting dan terkuat yang diajarkan agama.
Karena keterbatasan manusia, maka bangsa dan negara menjadi konteks
ruang lingkup tugas ini: bagaimana manusia mengelola bumi di mana ia tinggal,
agar tercapai kemaslahatan bersama yaitu bangsa dan negara yang adil, makmur,
dan sentosa. Kerangka pikir ini dapat ditemukan di setiap agama dalam bentuk
keyakinan bahwa mencintai negeri adalah sebagian dari keimanan.
Keseimbangan antara keagamaan dan kebangsaan justru menjadi modal besar
bagi kemaslahatan bangsa.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, “formalisme
beragama” dapat dikatakan sebagai suatu pola penghayatan keagamaan yang
hanya berhenti pada aspek legalistik formalnya, namun tidak sampai menyentuh

17
aspek substansi atau isi dan makna yang sejati serta hakikat yang sesungguhnya
dari beragama itu. Para formalis agama, dalam praktiknya, hanya beragama
secara buta, tidak refleksif, tidak kritis dan tidak cukup inklusif atau toleran
terhadap kelompok lain di luar mereka.
Ukuran yang dipakai untuk menilai dirinya maupun orang lain terletak
pada dogma, ajaran, aturan, norma dan hukum tertulis yang ketat dan kaku.
Mereka sering kali gampang menilai orang lain buruk dan negatif serta curiga
pada orang lain di luar kelompoknya. Akibatnya, mereka mengabaikan nilai-nilai
mendasar dan penting dalam kehidupan bersama dalam kondisi harmonis dan
selaras. Penganut formalis agama dalam hidupnya dapat saja merendahkan dan
mensubordinasi kelompok lain yang melakukan hal-hal baik lain di luar aturan
dan norma yang mereka (para formalis) yakini. Mereka sering kali abai terhadap
relasi intersubjektivitas yang mengandung nilai-nilai humanis, pluralis, toleran
dan inklusif.
Kaum formalis agama sering kali juga mengklaim diri berposisi lebih tinggi
dari pada orang atau kelompok lain di luar mereka secara rohani. Muncul
kesombongan rohani/religius dalam diri mereka karena hampir seluruh totalitas
praksis harian mereka dipenuhi dengan unsur penggunaan simbolisme agama
sebagai titik tumpu dan kriteria penilaian moral. Mereka menggunakan simbol-
simbol agama hampir di semua ruang kehidupan mereka, termasuk di ruang-
ruang publik eksistensi mereka. Mereka dapat saja bersikap munafik dalam hidup
beragama. Penggunaan simbol itu hanya sebatas formal saja (agar terlihat baik),
namun tidak sungguh bermakna dalam kehidupan internal batiniah mereka.
Terjadi pendangkalan rohani, karena bukan nilai substansi yang mereka kejar,
tetapi nilai artifisial, aksidental, popularitas dan egoisme diri yang diutamakan.
Umumnya para formalis aama tidak peduli pada sesama, kurang solider,
kurang berbagi, kurang berempati, kurang berpraksis untuk membangun
kehidupan nyata dan peningkatan kualitas kehidupan manusia secara
komprehensif. Mereka gampang melakukan pengadilan sosial dan pengadilan
moral kepada orang lain dengan ukuran dan kriteria formalis itu. Akibatnya

18
mereka mudah berkonflik atau berseteru dengan kelompok yang berbeda
pandangan.
Orang yang formalis juga sering tidak kritis dalam beragama. Karena hanya
norma dan aturan yang dijadikan patokan hidup, maka mereka seolah taat buta
dan malas berpilkir, kurang refleksif dan hanya menunjukkan ketaatan buta
terhadap aturan, simbol dan ajaran agama tanpa bersikap rasional apalagi
bersikap kritis atas agama dan imannya. Mereka bisa saja atas nama
norma/hukum agama melakukan tindakan kekerasan pada kelompok lain di luar
mereka. Akibatnya terjadi pendangkalan dalam praktik agama yang dihayatinya.
Formalis beragama berpikiran tertutup, eksklusif, kurang toleran dan cenderung
monoperspektif dalam mengevaluasi diri mereka maupun orang lain.
Sikap formalisme itu di satu sisi baik, karena menunjukkan kedisiplinan dan
ketaatan pada norma agama secara konsisten. Namun seharusnya tidak berhenti
sampai di tahap ini saja. Orang yang beragama dan beriman das
sollen (seharusnya) merefleksikan dan mengolah dunia batinnya agar kehidupan
rohani/religiusnya dipenuhi dengan kekayaan nilai religius yang substantif
yakni menjalin relasi yang seimbang dengan Tuhan, sesama manusia, alam dan
dirinya sendiri serta menunjukkan sikap/tindakan bertanggun jawab untuk
menciptakan situasi kerukunan, persaudaraan, perdamaian dengan semua orang
apapun agama, suku dan etnisnya dalam realitas sosialnya.
Oleh karena itu sudah seyogyanya orang beragama bertolak lebih ke dalam
lagi untuk mengolah kehidupan religiusnya, tidak hanya sebatas tahap formalis
saja, tetapi jauh menyentuh aspek yang lebih dalam dan lebih bermakna positif-
konstruktif bagi kehidupan, kemanusiaan dan peradaban. Ia melampaui yang
formalis dan menjangkau yang substansif. Ia melampaui norma menuju nilai
yang hakiki dan bermakna. Ia lebih toleran, inklusif dan solider dengan sesama
dalam seluruh dinamika kehidupannya.
Dalam konteks pencegahan tindak kekerasan yang mengatasnamakan
agama, Imam Besar Al-Azhar, Imam al-Thayib dalam forum penanggulangan
terorisme di Makkah, Arab Saudi menyerukan perlunya “reformasi pengajaran
agama-agama di negara muslim untuk mencegah penyebaran ekstremisme

19
agama, karena ekstremisme mempunyai korelasi dengan penafsiran yang buruk
terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah” (Kompas, 24/02/2015). Seruan al-Thayib ini
dilandasi oleh maraknya kekerasan berbasis agama yang terjadi di kawasan Timur
Tengah, terutama yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri Islamic
State of Irak and Syria (ISIS).
Di Indonesia, kekerasan yang bernuansa agama juga tidak kalah maraknya,
hanya intensitasnya tidak separah seperti yang terjadi di kawasan Timur Tengah,
seperti di Irak. Namun, keadaan ini akan berpengaruh ke Indonesia jika tidak
segera diantisipasi dengan melakukan pencegahan di berbagai lini, salah satunya
yang tidak kalah pentingnya adalah melalui lembaga pendidikan. Seiring dengan
era informasi dan globalisasi saat ini, bahwa pengaruh apapun baik ideologi,
agama, dan budaya sangat mudah menimpa generasi kita.
Perdebatan soal pendidikan agama di sekolah terkait dengan maraknya
distruksi sosial memang tidaklah baru. Tetapi yang menarik, analisis kebanyakan
pengamat selalalu menuding kegagalan itu pada sistem pendidikan Orde Baru,
yang dianggap normatif, verbalistik dst.
Lepas dari itu, siapapun biang keladinya memang perlu segera ada upaya
kongkret ke arah perbaikan itu, yaitu reorientasi pendidikan agama di
sekolah. Reorientasi pendidikan agama tidak cukup hanya menyangkut hal-hal
luar seperti upacara, ritus, hukum, lambang-lambang dan sederet kesalehan ritual-
formalistik lainnya. Pendidikan agama tidak bisa disamakan dengan segi-segi
formal itu, meski ia juga merupakan bagian yang penting dalam agama.
Bagaimanakah seharusnya arah dasar Pendidikan agama Islam di sekolah,
utamanya pada tingkat dasar dan menengah? Apakah pendidikan agama hanya
sekadar membawa peserta didik memahami apa itu agama? Sudah efektifkah
pendidikan agama yang selama ini diberikan kepada anak didik kita? Bagaimana
dengan muatan-muatan materi pendidikan agama yang tertuang dalam buku
ajar? Jika pendidikan agama bukanlah sekadar memberikan pelajaran agama
secara teratur oleh guru di sekolah, melainkan penanaman jiwa agama yang
dimulai dari pendidikan keluarga sejak kecil, dengan jalan membiasakan anak

20
untuk berbuat baik, maka seperti apakah pemaknaan pendidikan agama dalam
sekolah itu?
Pesan-pesan materi pendidikan agama setidaknya harus mencerminkan sifat
toleran, inklusif, humanis, dan pluralis. Pendidikan agama adalah upaya
menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan
agamanya melalui kegiatan bimbingan dan pengajaran secara berkesinambungan.
Dimensi kognitif, afektif dan psikomotorik tidak boleh dipisahkan, tetapi harus
integrated dan diberikan secara simultan.
Perbincangan soal upaya perbaikan kualitas pendidikan, khususnya pada
pendidikan agama terasa sangat dilematis. Di satu sisi guru masih dilihat sebagai
satu-satunya elemen terpenting, sehingga kualitas pendidikan apapun harus
dimulai dari guru. Sementara itu, muatan buku ajar sebagai elemen yang secara
bersamaan juga harus diperhatikan. Padahal selama ini perhatian serius di seputar
materi buku ajar yang ada di sekolah sebagaimana yang diteorikan belum banyak
dilakukan. Bahkan yang terjadi sering menimbulkan masalah dan polemik di
Masyarakat.
Memang yang terlihat selama ini, bahwa materi yang tertuang dalam buku
ajar agama baru menyentuh pada aspek formalnya, misalnya upacara, ritus,
hukum dan lambang-lambang. Sementara spirit atau ruh dari hukum tersebut,
yaitu iman dan amal saleh belum banyak disentuh. Dengan kata lain, pendidikan
agama selama ini terjebak pada upaya membuat orang sekadar memengerti
agama (kognitif), dan tidak mendorong untuk menghayati dan mengamalkan
(afektif dan psikomotorik), atau jika menggunakan terminologi sosiologi agama,
belum menyatu antara nilai ortodoksi dan ortpraksis. Padahal relijiusitas adalah
sikap dasar yang membuat orang beramal baik, penuh cinta dan kasih, lembut hati
dan mudah memaafkan sekaligus memiliki solidaritas kemanuisaan universal.
Inilah persoalan yang sangat inti dalam beragama yang seharusnya menjadi potret
pendidikan agama.
Dengan demikian konsep tentang pentingnya pendidikan bagi terciptanya
kesadaran sosial adalah sangat urgen. Dari sini pula, kita perlu menggali dimana
letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan

21
selama ini. Di sinilah perlu ada penelitian terhadap pesan-pesan materi yang
tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan tersebut. Persoalan ini
mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi
semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain agama yang dipentingkan bukan huruf-huruf yang
tersusun menjadi hukum, namun yang lebih penting dari itu semua adalah ruh,
semangat dari agama itu sendiri, yaitu iman dan kasih sayang. Karena dengan
pendidikan model terakhir ini, diharapkan anak didik akan menjadi manusia yang
memiliki kepribadian ideal, jiwa toleran, solidaritas yang tinggi, jujur, adil, jauh
dari perpecahan, kekerasan, konflik dan ketegangan antarumat beragama.
Reorientasi pendidikan semacam ini juga akan terlihat secara jelas ketika
dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama.
Di sini pluralisme agama setidaknya harus menjadi kekuatan konstruktif-
transformatif dalam model pendidikan kita. Potensi pertama, yaitu kekuatan
konstruktif-transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama
memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan melalui
pendidikan agama dan keteladanan sikap seorang guru.
Reorientasi pendidikan agama di atas sudah saatnya dimulai dari TK hingga
perguruan tinggi dengan merubah kurikulum kita yang selama ini dianggap
kurang memenuhi syarat sebagai kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai
kemanusiaan dan spiritualitas.
Moderasi beragama menjadi muatan nilai dan praktik yang paling sesuai
untuk mewujudkan kemaslahatan bumi Indonesia. Sikap mental moderat, adil,
dan berimbang menjadi kunci untuk mengelola keragaman kita. Dalam
berkhidmat membangun bangsa dan negara, setiap warga Indonesia memiliki
hak dan kewajiban yang seimbang untuk mengembangkan kehidupan bersama
yang tenteram dan menentramkan. Bila ini dapat kita wujudkan, maka setiap
warga negara dapat menjadi manusia Indonesia seutuhnya, sekaligus menjadi
manusia yang menjalankan agama seutuhnya.

22
Seperti telah dikemukakan, ajaran untuk menjadi moderat bukanlah semata
milik satu agama tertentu saja, melainkan ada dalam tradisi berbagai agama dan
bahkan dalam peradaban dunia. Adil dan berimbang, yang telah dijelaskan
sebelumnya, juga sangat dijunjung tinggi oleh semua ajaran agama. Tidak ada
satu pun ajaran agama yang menganjurkan berbuat aniaya/zalim, atau
mengajarkan sikap berlebihan.
Ajaran wasathiyah, seperti telah dijelaskan pengertiannya, adalah salah satu
ciri dan esensi ajaran agama. Kata itu memiliki, setidaknya, tiga makna, yakni:
pertama bermakna tengah-tengah; kedua bermakna adil; dan ketiga bermakna
yang terbaik. Ketiga makna ini tidak berarti berdiri sendiri atau tidak saling
berkaitan satu sama lain, karena sikap berada di tengah-tengah itu seringkali
mencerminkan sikap adil dan pilihan terbaik.

Contoh yang mudah dicerna dalam kehidupan sehari-hari adalah kata


“wasit”. Ia merupakan profesi seseorang yang menengahi sebuah permainan,
yang dituntut untuk selalu berbuat adil dan memutuskan yang terbaik bagi para
pihak. Contoh lain, kedermawanan itu baik, karena ia berada di tengah-tengah di
antara keborosan dan kekikiran. Keberanian juga baik karena ia berada di tengah-
tengah di antara rasa takut dan sikap nekad. Demikian seterusnya.

Dari sejumlah tafsiran, istilah “wasatha” berarti yang dipilih, yang terbaik,
bersikap adil, rendah hati, moderat, istiqamah, mengikuti ajaran, tidak ekstrem,
baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan duniawi atau akhirat, juga tidak
ekstrem dalam urusan spiritual atau jasmani, melainkan tetap seimbang di antara
keduanya. Secara lebih terperinci, wasathiyah berarti sesuatu yang baik dan berada
dalam posisi di antara dua kutub ekstrem. Oleh karena itu, ketika konsep
wasathiyah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak akan memiliki
sikap ekstrem.

Dalam berbagai kajian, ‘wasathiyat Islam’, sering diterjemahkan sebagai


‘justly - balanced Islam’, ‘the middle path’ atau ‘the middle way’ Islam, di mana Islam
berfungsi memediasi dan sebagai penyeimbang. Istilah-istilah ini menunjukkan
pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah untuk tidak terjebak

23
pada ekstremitas dalam beragama. Selama ini konsep wasathiyat juga dipahami
dengan merefleksikan prinsip moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), seimbang
(tawazun), dan adil (i`tidal). Dengan demikian, istilah ummatan wasathan sering
juga disebut sebagai ‘a just people’ atau ‘a just community’, yaitu masyarakat atau
komunitas yang adil.

Kata wasath juga biasa digunakan oleh orang-orang Arab untuk


menunjukkan arti khiyar (pilihan atau terpilih). Jika dikatakan, “ia adalah orang
yang wasath”, berarti ia adalah orang yang terpilih di antara kaumnya. Jadi,
sebutan umat Islam sebagai ummatan wasathan itu adalah sebuah harapan agar
mereka bisa tampil menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau
adil. Baik dalam beribadah sebagai individu maupun dalam berinteraksi sosial
sebagai anggota masyarakat, Islam mengajarkan untuk selalu bersikap moderat.
Ajaran ini begitu sentral dalam dua sumber utama ajaran Islam, Alquran dan
hadis Nabi. Salah satu ayat misalnya mengatakan:

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu “umat pertengahan” agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu”. (al-Baqarah, 2: 143)

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa atribut wasathiyah yang dilekatkan


kepada komunitas muslim harus ditempatkan dalam konteks hubungan
kemasyarakatan dengan komunitas lain. Seseorang, atau sebuah komunitas
muslim, baru dapat disebut sebagai saksi (syahidan) manakala ia memiliki
komitmen terhadap moderasi dan nilai-nilai kemanusiaan.

Karenanya, jika kata wasath dipahami dalam konteks moderasi, ia menuntut


umat Islam menjadi saksi dan sekaligus disaksikan, guna menjadi teladan bagi
umat lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad saw.
sebagai panutan yang diteladani sebagai saksi pembenaran dari seluruh
aktivitasnya.

Dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya komitmen seseorang terhadap


moderasi sesungguhnya juga menandai sejauh mana komitmennya terhadap
nilai-nilai keadilan. Semakin seseorang moderat dan berimbang, semakin terbuka

24
peluang ia berbuat adil. Sebaliknya, semakin ia tidak moderat dan ekstrem berat
sebelah, semakin besar kemungkinan ia berbuat tidak adil. Hal inilah yang
menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad saw. Sangat
mendorong agar umatnya selalu mengambil jalan tengah, yang diyakini sebagai
jalan terbaik. Dalam sebuah hadisnya, Nabi mengatakan:

“Sebaik-baik urusan adalah jalan tengahnya”

Di Indonesia, diskursus wasathiyah atau moderasi sering dijabarkan melalui


tiga pilar, yakni: moderasi pemikiran, moderasi gerakan, dan moderasi
perbuatan.

Terkait pilar yang pertama, pemikiran keagamaan yang moderat, antara


lain, ditandai dengan kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks,
yaitu pemikiran keagamaan yang tidak semata-mata bertumpu pada teks-teks
keagamaan dan memaksakan penundukan realitas dan konteks baru pada teks,
tetapi mampu mendialogkan keduanya secara dinamis, sehingga pemikiran
keagamaan seorang yang moderat tidak semata tekstual, akan tetapi pada saat
yang sama juga tidak akan terlalu bebas dan mengabaikan teks.

Pilar kedua adalah moderasi dalam bentuk gerakan. Dalam hal ini, gerakan
penyebaran agama, yang bertujuan untuk mengajak pada kebaikan dan
menjauhkan diri dari kemungkaran, harus didasarkan pada ajakan yang
dilandasi dengan prinsip melakukan perbaikan, dan dengan cara yang baik pula,
bukan sebaliknya, mencegah kemungkaran dengan cara melakukan
kemungkaran baru berupa kekerasan.

Pilar ketiga adalah moderasi dalam tradisi dan praktik keagamaan, yakni
penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat
setempat. Kehadiran agama tidak dihadapkan secara diametral dengan budaya,
keduanya saling terbuka membangun dialog menghasilkan kebudayaan baru.

25
Referensi

A. Fenton dan D. Price, “ISIS, jihad and Indonesian law: Legal impacts of the January
2016 Jakarta terrorist attacks,” Issues in Legal Scholarship, Vol. 14, No. 1 (2016),
hal. 1-26
Abdullah Ismail, “Dilema Agama: Antara Pembebasan dan Konflik Telaah Sosiologis
atas Konflik Islam-Kristen di Maluku Utara”, dalam Jurnal Sains, Sosial Dan
Humaniora (JSSH), Vol.1, No. 1, hal : 16 – 21.
Angel Damayanti,. “Radikalisme Pada Komunitas Non-Islam”, (Universitas Kristen
Indonesia, 2018)
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1999)
B. Singh, “The challenge of militant Islam and terrorism in Indonesia,” Australian
Journal of International Affairs, Vol. 58, No. 1 (2004), hal.47-68
B. West, “Collective memory and crisis: the 2002 Bali bombing, national heroic
archetypes and the counter-narrative of cosmopolitan nationalism,” Journal of
Sociology, Vol. 44, No. 4 (2008), hal. 337-353
Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan
Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Jogjakarta :
Galang Press, 2001)
Berita Satu, “Survei Wahid Foundation: 86% Aktivis Rohis Ingin Berjihad ke Suriah,”
www.beritasatu.com, 2017,
https://www.beritasatu.com/megapolitan/414934/survei-wahidfoundation-
86-aktivis-rohis-ingin-berjihad-ke-suriah

Conny Semiawan, “Relevansi Kurikulum Masa Depan”, dalam Basis, nomor 07-08,
tahun ke-49, Juli-Agustus 2000, hal. 34-35

Darlis. (2017). Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural.


Rausyan Fikr, Vol.13 No. 2 Desember 2017, 225-255.

26
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Jalan
Menuju Moderasi; Modul Penguatan Moderasi Beragama Bagi Guru, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia,
2021)

Djohar, Pendidikan Strategik; Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan,


(Yogyakarta: LESFI, 2003)

Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung : Zaman


Wacana Mulia, 1999)
F. Galamas, “Terrorism in Indonesia: an overview,” Research Papers, Vol. 4 (2015),
hal. 215; A.S. Zora, “Terrorism in Indonesia: A review on rehabilitation and
deradicalization,” Journal of Terrorism Research, Vol. 6, No. 2 (2015), hal. 36-56
G.S. Oak, “Jemaah Islamiyah's fifth phase: the many faces of a terrorist group,” Studies
in Conflict & Terrorism, Vol. 33, No. 11 (2010), hal. 989-1018
Infid dan Gusdurian, “Laporan Mapping Internet dan Sosial Media” (Jakarta, 2016)
J. Magouirk, S. Atran, dan M. Sageman, “Connecting terrorist networks,” Studies in
Conflict & Terrorism, Vol. 31, No. 1 (2008): 1-16
K. Ramakrishna, dan S.S. Tan, After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia
(Singapore: World Scientific and Institute of Defence and Strategic Studies, 2003)
Kelompok Kerja Moderasi Beragama, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi
Beragama Bagi Aparatur Sipil Negara Kementerian Agama Republik Indonesia,
(Jakarta : Kelompok Kerja Moderasi Beragama, 2021)
Kompas, “Toleransi Jadi Tantangan,” Kompas.com, 2012,
https://nasional.kompas.com/read/2012/06/06/03234293/toleransi.jadi.tanta
ngan?page=all.

Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 7272 Tahun 2019
Tentang Pedoman Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan
Islam.

M. Subhan, “Pergeseran orientasi gerakan terorisme Islam di Indonesia (Studi


terorisme tahun 2000-2015),” Journal of International Relations, Vol. 2, No. 4
(2016), hal. 59-67

27
M. Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita Membingkai Potret Pemikiran
Politik KH Abdurrahman Wahid,” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita
(Jakarta: Wahid Institute, 2006)
Ma’arif Jamuin, Manual Advokasi: Resolusi Konflik Antar Etnik dan Agama,
(Surakarta, Penerbit CISCORE, 2004)
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (New York : Scribner’s
Sons, 1958)

Mohamad Ali, “Pengembangan Kurikulum; Isi, Implementasi, Monitoring dan


Evaluasi”, dalam Laporan Eksekutif dan Rekomendasi Kebijakan pada
Lokakarya Penelaahan Makalah Kebijakan Pendidikan Nasional Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Bank Dunia/Dutch Trust Funds,
(Jakarta, 2002)

Nurcholis Madjid, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987)

Phillipe E Hammond (ed.), The Sacred in A Secular Age, (Berkeley, Los Angeles,
London : University of California Press, 1985)

PPIM UIN Jakarta dan Convey, Api dalam Sekam: Keberagamaan Muslim Gen-Z,
Survei nasional tentang Keberagamaan di Sekolah dan Universitas di Indonesia
(Jakarta: PPIM UIN Jakarta and Convey Indonesia, 2018)
Rizal Sukma, “Ethnic Conflict in Indonesia: Causes and the Quest for Solution”, dalam
Kusuma Snitwongse dan W. Scott Thompson (eds.), Ethnic Conflict in Souteast
Asia (Singapura: ISEAS, 2005)
Robert N. Bellah, Tokugawa Religion; the Cultural Roots of Modern Japan, (New
York : the Free Press, 1985)

Shihab, A., Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999)

Y.P. Suratman, “The effectiveness of de-radicalization program in Southeast Asia:


does it work? The case of Indonesia, Malaysia, and Singapore,” Journal of Asian
Studies, Vol. 5, No. 2 (2017), hal. 135-156

28
KEGIATAN BELAJAR 2
PENGERTIAN, INDIKATOR DAN KATA KUNCI MODERASI
BERAGAMA

Capaian Pembelajaran (CP)


Memahami pengertian, Indikator dan Kata kunci moderasi beragama

Tujuan Pembelajaran (TP)

Setelah melakukan kegiatan pembelajaran diharapkan mahasiswa dapat:


1. Menjelaskan Pengertian Moderasi beragama
2. Menjelaskan Indikator Moderasi beragama
3. Menjelaskan Kata kunci moderasi beragama
4. Menjelaskan Peta jalan pengarusutamaan moderasi beragama

Ruang Lingkup Materi

Ruang lingkup materi pembelajaran pada kegiatan belajar ini dideskripsikan sebagai
berikut.
1. Pengertian Moderasi beragama
2. Indikator Moderasi beragama
3. Kata kunci moderasi beragama
4. Peta jalan pengarusutamaan moderasi beragama

1
Uraian Materi

A. Pengertian Moderasi Beragama


Kata moderasi diadopsi dari Bahasa Inggris yakni moderation yang artinya
tidak berlebihan dan tidak memihak. Kemudian dalam Kamus besar Bahasa
Indonesia ditemukan arti dari kata moderasi adalah perbuatan dalam kewajaran dan
tidak menyimpang dan mau mempertimbangkan pendapat pihak lain. Dalam Bahasa
Arab moderasi beragama dikenal dengan istilah wasathiyyah yaitu suatu
karakteristik yang menjauhi seorang individu atau kelompok dari bersikap ekstrem.
Sementara bahasa Latin moderasi adalah moderâtio, yang artinya adalah ke-sedang-
an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata tersebut mengandung makna
penguasaan diri dari sikap sangat kelebihan dan sikap kekurangan
Dalam semua konteks ini, moderasi berfungsi untuk memahami,
mengendalikan, atau memoderasi suatu proses atau hubungan agar dapat berjalan
dengan lebih efektif, seimbang, atau sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Pengertian agama dapat sangat subjektif dan tergantung pada latar belakang dan
pandangan masing-masing individu atau para pakar. Wasatiyah merupakan suatu
karakteristik terpuji antara dua sisi yang berbeda atau berada di tengah-tengah.
Terminologi wasathiyyah berkamna sikap pengertian adil, berkonsekuensi kualitas
kesaksian yang dapat diterima.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin orang yang moderat adalah orang yang
bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem. Dia menambahkan lagi bahwa
dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average
(rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara
umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral,
dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika
berhadapan dengan institusi Negara.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, Quraish Shihab menambahkan,
bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang
dikehendaki Alah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat

2
dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut
kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.
Maka seharusnya adanya perbedaan ini menjadi Rahmat yang harus disikapi dengan
bijak dan penerimaan yang seutuhnya.
Nabi Muhammad, sebagaimana misi utamanya diutus oleh Tuhan,
mempunyai peran untuk menyempurnakan akhlak atau kebaikan. Dalam posisi ideal
inilah, merujuk kepada Nabi untuk melihat aspek moderasi Islam (wasatîyah)
menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Untuk memahami dan
mengimplementasikan konsep ini, perlu untuk melihat hadis-hadis Nabi secara lebih
komprehensif. Dengan hal tersebut, keteladanan Nabi akan mampu diterjemahkan ke
dalam konsep-konsep dan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, untuk selanjutnya
bisa menjadi pedoman masyarakat Muslim dalam menjalankan ritual dan sosial
keagamaannya.
Pengertian moderasi beragama mengacu pada pendekatan atau sikap dalam
beragama yang menekankan toleransi, keseimbangan, dan menghindari ekstremisme
dalam praktik beragama. Ini bisa berarti sebagai berikut.
a) Toleransi Antar Agama: Moderasi beragama menggagas penghargaan terhadap
beragam keyakinan agama dan budaya. Ini menekankan pentingnya
menghormati dan berdampingan dengan pemeluk agama lain tanpa
memaksakan keyakinan sendiri.
b) Keseimbangan dalam Praktik Keagamaan: Moderasi beragama mendorong
individu untuk menjalani keyakinan agama mereka dengan seimbang,
menghindari tindakan yang ekstrem atau radikal yang bisa membahayakan diri
sendiri atau orang lain.
c) Pencegahan Konflik Agama: Moderasi beragama bertujuan untuk mencegah atau
meredakan konflik antaragama dengan mempromosikan dialog dan pemahaman
yang saling menghormati antara kelompok agama yang berbeda.
d) Penghindaran ekstrimisme: Moderasi beragama berusaha untuk menghindari
pendekatan agama yang ekstremis, yang dapat menyebabkan intoleransi,
kekerasan, atau terorisme.

3
e) Keseimbangan antara Agama dan Kehidupan Sehari-hari: Ini menyoroti
pentingnya menjalani agama sebagai panduan etika dan moral dalam kehidupan
sehari-hari, tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan
sosial.
Pengertian moderasi beragama sering kali dianggap sebagai pendekatan yang
mempromosikan perdamaian, harmoni, dan penghargaan terhadap keragaman
agama di dunia yang semakin terhubung secara global. Ini juga dapat membantu
meminimalkan konflik agama yang seringkali timbul karena perbedaan keyakinan
dan praktik agama. Moderasi merupakan sebuah kondisi terpuji yang menjaga
seseorang dari kecenderungan menuju dua sikap ekstrem; sikap berlebih-lebihan dan
sikap muqashshir yang mengurang- ngurangi sesuatu yang dibatasi Allah swt. Sifat
wasathiyah umat Islam adalah anugerah yang diberikan Allah swt secara khusus.
Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah swt, maka saat itulah mereka
menjadi umat terbaik dan terpilih. Sifat ini telah menjadikan umat Islam sebagai umat
moderat; moderat dalam segala urusan, baik urusan agama atau urusan sosial di
dunia.
Dengan menimbang pengertian kebahasaan tersebut diatas, maka moderasi
beragama dapat dirumuskan sebagai: “Cara pandang, sikap, dan praktik beragama
dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama,
yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum,
berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan
berbangsa”

B. Indikator Moderasi Beragama


Indikator moderasi beragama dalam Buku Moderasi Beragama yang
diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, adalah sebagai berikut: “ Indikator moderasi
beragama yaitu:
1. Komitmen Kebangsaan
Komitmen kebangsaan adalah sikap atau tekad individu atau kelompok untuk
memprioritaskan dan mendukung kepentingan negara atau bangsa di atas
kepentingan pribadi atau kelompok. Ini mencerminkan rasa cinta dan loyalitas

4
terhadap negara, serta kesediaan untuk berpartisipasi secara aktif dalam membangun
dan menjaga persatuan, stabilitas, dan kesejahteraan negara tersebut. Komitmen
kebangsaan penting dalam memelihara persatuan, integritas, dan identitas nasional.
Contoh-contoh komitmen kebangsaan meliputi:
a) Pengabdian pada Militer: Anggota angkatan bersenjata yang berjuang untuk
melindungi kedaulatan dan keamanan negara adalah contoh nyata dari komitmen
kebangsaan. Mereka rela berkorban, bahkan hingga nyawa mereka, demi
kepentingan negara.
b) Partisipasi dalam Proses Politik: Warga negara yang secara aktif terlibat dalam
pemilihan umum, pemilihan umum, dan kegiatan politik lainnya adalah contoh
komitmen kebangsaan. Mereka memilih pemimpin, menyuarakan pendapat
mereka, dan berkontribusi pada proses demokratisasi negara.
c) Mendukung Kebijakan Publik: Mendukung kebijakan dan program pemerintah
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah tindakan
komitmen kebangsaan. Ini termasuk membayar pajak secara tepat waktu dan
patuh terhadap hukum dan regulasi negara.
d) Pelayanan Sosial dan Kemanusiaan: Berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan
kemanusiaan yang membantu sesama warga negara yang membutuhkan adalah
bentuk komitmen kebangsaan. Ini bisa melibatkan kerja sukarela, sumbangan, atau
dukungan terhadap berbagai program sosial.
e) Pemeliharaan Budaya dan Tradisi Nasional: Mempertahankan budaya, bahasa,
dan tradisi nasional adalah wujud komitmen kebangsaan. Ini termasuk
mendukung seni, budaya, dan pendidikan yang mempromosikan identitas
nasional.
f) Kesadaran terhadap Isu-isu Nasional: Berpartisipasi dalam diskusi dan tindakan
yang berkaitan dengan isu-isu nasional seperti keamanan, ketahanan, atau
kebijakan luar negeri adalah contoh lain dari komitmen kebangsaan.
g) Komitmen terhadap Persatuan: Menjaga persatuan dan menjauhi tindakan yang
dapat memecah-belah masyarakat adalah bentuk komitmen kebangsaan. Ini
mencakup penolakan terhadap ekstremisme, intoleransi, dan sebaran kebencian.

5
Komitmen kebangsaan penting untuk memelihara stabilitas dan kemajuan negara
serta membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis. Ini adalah salah satu aspek
kunci dari kewarganegaraan yang bertanggung jawab dan berkontribusi pada
pembangunan bangsa.

2. Toleransi
Toleransi beragama adalah sikap yang menghormati dan menerima perbedaan
keyakinan agama antara individu atau kelompok, bahkan jika mereka memiliki
keyakinan agama yang berbeda. Toleransi beragama mencakup penghargaan
terhadap kebebasan beragama, hak individu untuk memilih dan menjalani keyakinan
agama mereka tanpa diserang atau didiskriminasi, serta kemampuan untuk hidup
berdampingan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang agama tanpa
mengalami konflik atau ketegangan yang berkepanjangan.
Contoh-contoh toleransi beragama mencakup:
a. Menghormati Ibadah yang Berbeda: Masyarakat yang toleran akan menghormati
waktu dan tempat ibadah berbagai agama. Misalnya, mereka akan memungkinkan
orang-orang yang beragama Islam untuk menunaikan salat Jumat di masjid, orang-
orang Kristen untuk menghadiri misa di gereja, dan seterusnya.
b. Menerima Perbedaan dalam Pakaian atau Simbol Agama: Toleransi beragama
mencakup menerima pakaian atau simbol agama yang mungkin berbeda dari
tradisi agama kita sendiri. Contohnya adalah menghormati penggunaan hijab oleh
wanita Muslim atau pemakaian jilbab atau kopiah oleh orang-orang dari agama
tertentu.
c. Mendukung Kebebasan Beragama: Toleransi beragama juga mencakup dukungan
terhadap kebebasan beragama individu, yang mencakup hak untuk memilih,
menjalani, dan mengamalkan keyakinan agama mereka tanpa intimidasi atau
diskriminasi.
d. Menghindari Stereotip dan Prasangka Agama: Orang yang toleran beragama
berusaha untuk menghindari membuat generalisasi negatif atau prasangka
terhadap orang-orang dari agama tertentu. Mereka menghargai keragaman
individu dan tidak menilai seseorang berdasarkan keyakinan agama mereka.

6
e. Partisipasi dalam Dialog Antaragama: Toleransi beragama mempromosikan dialog
konstruktif dan pemahaman antara pemeluk agama yang berbeda. Ini mencakup
keikutsertaan dalam forum dialog antaragama untuk membangun jembatan
pemahaman dan kerjasama.
f. Pemberian Ruang untuk Konversi Agama: Toleransi beragama mencakup
penghargaan terhadap hak individu untuk memilih untuk berpindah agama atau
tidak beragama sama sekali tanpa tekanan atau diskriminasi.
g. Mendukung Proyek Bersama untuk Kemanusiaan: Toleransi beragama dapat
tercermin dalam dukungan terhadap proyek kemanusiaan bersama yang
melibatkan berbagai kelompok agama untuk membantu mereka yang
membutuhkan, terlepas dari keyakinan agama mereka.
Toleransi beragama adalah nilai yang penting untuk membangun masyarakat
yang inklusif, damai, dan harmonis, terutama dalam lingkungan yang geografisnya
atau budayanya kaya akan keragaman agama. Toleransi beragama membantu
menghindari konflik agama, mempromosikan kerukunan, dan mendukung hak asasi
manusia yang meliputi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
3. Anti-kekerasan
Anti-kekerasan adalah sikap atau gerakan yang menentang penggunaan
kekerasan fisik, verbal, atau psikologis sebagai cara untuk menyelesaikan konflik atau
mencapai tujuan tertentu. Prinsip dasar anti-kekerasan adalah bahwa konflik dapat
diatasi dengan cara yang damai, adil, dan konstruktif tanpa merugikan atau melukai
orang lain. Pendekatan ini mendorong dialog, negosiasi, dan pemecahan masalah
sebagai alternatif terhadap tindakan kekerasan.
Contoh-contoh anti-kekerasan mencakup:
a. Protes Damai: Demonstrasi atau protes yang dilakukan secara damai, seperti
berbaris, membawa spanduk, atau melakukan aksi simbolis, adalah contoh konkret
dari tindakan anti-kekerasan. Peserta dalam protes ini berusaha untuk
menyampaikan pesan mereka tanpa menggunaan kekerasan fisik atau vandalisme.
b. Pendidikan Non-kekerasan: Program-program pendidikan yang mengajarkan
keterampilan komunikasi, resolusi konflik, dan empati di sekolah dan masyarakat

7
adalah bagian dari pendekatan anti-kekerasan. Tujuannya adalah mengajarkan
orang-orang cara mengatasi konflik tanpa kekerasan.
c. Negosiasi Diplomatik: Dalam politik internasional, negosiasi diplomatik adalah
cara untuk menyelesaikan konflik antara negara-negara tanpa menggunakan
kekerasan. Contohnya adalah negosiasi untuk mengakhiri konflik bersenjata,
perundingan perdamaian, atau perjanjian perdagangan internasional.
d. Kampanye Anti-Penganiayaan: Organisasi dan kampanye yang berfokus pada
menghentikan penganiayaan terhadap kelompok tertentu, seperti hak asasi
manusia, hak-hak perempuan, atau hak-hak minoritas, merupakan contoh dari
gerakan anti-kekerasan.
e. Pelayanan Psikologis dan Rehabilitasi: Upaya rehabilitasi dan pelayanan
psikologis bagi pelaku kekerasan atau individu yang terpengaruh oleh kekerasan
juga merupakan pendekatan anti-kekerasan. Ini bertujuan untuk mencegah
tindakan kekerasan berulang dan membantu individu untuk mengatasi konflik
dengan cara yang lebih baik.
f. Mendukung Korban Kekerasan: Memberikan dukungan dan bantuan kepada
korban kekerasan, seperti perlindungan, konseling, dan sumber daya yang
diperlukan untuk pemulihan mereka, adalah aspek penting dari anti-kekerasan.
g. Penolakan terhadap Ekstremisme dan Terorisme: Menolak dan menghentikan
dukungan terhadap kelompok ekstremis atau terorisme adalah contoh konkrit dari
tindakan anti-kekerasan dalam konteks global. Ini melibatkan kerjasama
internasional dan tindakan pencegahan.
h. Media dan Kampanye Kesadaran: Melalui media, kampanye sosial, dan
pendidikan masyarakat, anti-kekerasan berusaha untuk meningkatkan kesadaran
tentang dampak negatif kekerasan dan mendorong orang-orang untuk memilih
jalur damai dalam menangani konflik.
Pendekatan anti-kekerasan bertujuan untuk membangun masyarakat yang
lebih damai, adil, dan beradab dengan menjauhkan diri dari kekerasan sebagai solusi
konflik. Pendekatan ini mendorong tindakan positif untuk mengatasi masalah,
mempromosikan pemahaman antarindividu dan kelompok, serta menciptakan
lingkungan yang lebih aman dan harmonis.

8
4. Penghormatan terhadap kebudayaan lokal
Penghormatan terhadap kebudayaan lokal adalah sikap atau pendekatan yang
menekankan penghargaan, pemahaman, dan integrasi terhadap nilai, norma, tradisi,
dan budaya lokal suatu masyarakat atau komunitas. Ini berarti individu atau
organisasi berusaha untuk beradaptasi dengan kebiasaan dan praktik budaya
setempat daripada mencoba mengimpor atau memaksakan budaya dari luar.
Pendekatan ini sering dianggap sebagai cara untuk membangun hubungan positif
dengan komunitas lokal, mencegah konflik budaya, dan mempromosikan keragaman
budaya yang sehat.
Contoh-contoh penghormatan terhadap kebudayaan lokal mencakup:
a. Bahasa: Organisasi atau perusahaan yang beroperasi di wilayah yang berbicara
dalam bahasa lokal mungkin akan memberikan dukungan untuk penggunaan
bahasa tersebut. Ini dapat mencakup menyediakan dokumen-dokumen resmi,
situs web, atau pelayanan pelanggan dalam bahasa lokal.
b. Tradisi dan Perayaan: Menghormati dan ikut serta dalam perayaan atau tradisi
budaya lokal adalah bentuk akomodasi. Misalnya, sebuah perusahaan mungkin
memberikan libur pada hari-hari besar agama atau perayaan budaya lokal.
c. Makanan dan Gaya Hidup: Restoran atau bisnis makanan yang beradaptasi
dengan preferensi dan selera makanan lokal adalah contoh nyata dari akomodasi
terhadap budaya lokal. Mereka dapat menyediakan menu yang mencakup
hidangan lokal atau bahan-bahan makanan khas daerah tersebut.
d. Kepercayaan dan Ritual Keagamaan: Pemerintah atau lembaga pendidikan
mungkin memberikan waktu atau fasilitas untuk kegiatan keagamaan yang
penting bagi komunitas lokal. Ini dapat mencakup pemberian izin untuk salat
Jumat atau menyediakan ruang ibadah di tempat kerja atau sekolah.
e. Konsultasi dan Partisipasi Komunitas: Dalam pengembangan proyek atau
kebijakan yang memengaruhi komunitas lokal, akomodatif terhadap kebudayaan
lokal berarti mengadakan konsultasi dengan warga lokal, memahami kebutuhan
dan keprihatinan mereka, dan memasukkan pandangan mereka dalam
perencanaan.

9
f. Seni dan Budaya Lokal: Mendukung seni, kerajinan, dan karya seni lokal adalah
contoh lain dari akomodasi terhadap kebudayaan lokal. Ini dapat mencakup
pembelian atau promosi produk-produk lokal atau penyelenggaraan acara seni
lokal.
g. Pendidikan Kebudayaan: Sekolah atau institusi pendidikan yang
mengintegrasikan kurikulum kebudayaan lokal atau sejarah lokal dalam
pengajaran mereka berkontribusi pada akomodasi terhadap kebudayaan lokal.
h. Penghargaan Terhadap Pengetahuan Tradisional: Penghargaan terhadap
pengetahuan tradisional seperti obat-obatan tradisional, metode pertanian lokal,
atau teknik kerajinan tangan adalah contoh lain dari akomodasi terhadap budaya
lokal.
Penghargaan terhadap kebudayaan lokal dapat memperkuat ikatan antara
individu atau organisasi dengan komunitas, menciptakan lingkungan yang inklusif,
dan mendukung pertumbuhan budaya yang beragam. Ini juga dapat membantu
mencegah konflik budaya dan mempromosikan harmoni dalam hubungan
antarbudaya.
Keempat indikator ini dapat digunakan untuk mengenali seberapa kuat
moderasi beragama yang dipraktikkan oleh seseorang di Indonesia, dan seberapa
besar kerentanan yang dimiliki. Kerentanan tersebut perlu dikenali supaya kita bisa
menemukenali dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melakukan
penguatan moderasi beragama..

C. Kata kunci Moderasi Beragama


Pada bagian-bagian sebelumnya telah dikemukakan dengan cukup mendalam
tentang pengertian, prinsip, dan indikator moderasi beragama. Moderasi beragama
menjadi modal awal pemikiran untuk melaksanakan khidmat kemanusiaan. Dari
definisi moderasi beragama dan indikator di atas dirumuskan kata kunci moderasi
beragama sebagai berikut ;
1. Kemanusiaan
Kemanusiaan (Insâniyah) menjadi salah satu nilai yang melandasi moderasi
beragama. Nilai insaniyah meniscayakan kesadaran bahwa keberadaan diri kita

10
sebagai manusia tidak berarti sama sekali tanpa keberadaan manusia-manusia
lainnya. Kesadaran itu juga mendorong manusia untuk senantiasa berbuat baik
kepada sesama manusia lain. Kesadaran itu juga mendorongnya untuk tidak merasa
paling baik, paling benar, dan paling manusia dibanding manusia-manusia lain.
Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Seluruh ajaran Islam
sejalan dan tidak bertentangan dengan kemanusiaan. Tidak ada ajaran Islam yang
merusak kemanusiaan. Dalam praktiknya, bahkan Islam membolehkan penundaan
ibadah demi keselamatan nyawa manusia. Agama mengalah dari kemanusiaan. Ini
tidak berarti agama tidak penting atau hawa nafsu diutamakan. Kemanusiaan
merupakan bagian dari ajaran agama. Maka, memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan termasuk ibadah. Misalnya, dibolehkan membatalkan shalat demi
menyelamatkan orang yang tenggelam. Boleh makan makanan yang diharamkan
dalam kondisi lapar yang dapat menghilangkan nyawa.
2. Kemaslahatan Umum
Kemaslahatan umat berarti kebaikan atau manfaat bagi umat, menjadi landasan
bagi penguatan moderasi beragama. Tatanan masyarakat yang moderat, damai, dan
sejahtera hanya bisa terwujud jika setiap anggotanya saling mengakui, saling
menerima, saling menghargai, dan saling memberi kebaikan atau saling memberi
manfaat. Rasulullah sendiri menegaskan bahwa kualitas seseorang itu sangat
ditentukan oleh seberapa besar manfaat atau kemaslahatan yang ia berikan kepada
orang lain—khayrukum anfa‘ukum li al-nâs. Tanpa kebaikan atau manfaat, keberadaan
seseorang dianggap tidak bernilai apa-apa. Dan sesungguhnya syariat yang
diturunkan oleh Allah melalui Rasulullah Muhammad Saw. bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
3. Adil
Adil merupakan perintah bagi orang-orang beriman, dalam bentuk kata lain
disebut “i’tidal”. Secara bahasa, i’tidāl memiliki arti lurus dan tegas, maksudnya
adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban secara proporsional. I’tidāl merupakan bagian dari penerapan keadilan
dan etika bagi setiap muslim. Keadilan yang diperintahkan Islam diterangkan oleh
Allah supaya dilakukan secara adil, yaitu bersifat tengah-tengah dan seimbang dalam

11
segala aspek kehidupan dengan menunjukkan perilaku ihsan. Adil berarti
mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di antara hak dan kewajiban.
4. Berimbang
Berimbang, atau Tawāzun adalah pemahaman dan pengamalan agama secara
seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi.
Tawāzun juga memiliki pengertian memberi sesuatu akan haknya tanpa ada
penambahan dan pengurangan. Tawāzun, karena merupakan kemampuan sikap
seorang individu untuk menyeimbangkan kehidupannya, maka ia sangat penting
dalam kehidupan seseorang individu sebagai muslim, sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat.
5. Komitmen kebangsaan
Menjaga Komitmen kebangsaan (mu‘âhadah wathaniyyah) menjadi bagian
penting moderasi beragama. Komitmen ini tidak boleh longgar, renggang, apalagi
putus. Komitmen kebangsaan harus tetap dijaga dan dipertahankan. Salah satu cara
mempertahankannya adalah dengan mengedepankan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi. Hal ini sebagaimana sudah dicontohkan oleh para pendiri
bangsa. Mereka tidak mengedepankan ego kesukuan, budaya, dan agama ketika
merumuskan konsep negara ini. Seandainya mereka egois, tidak bersepakat untuk
tujuan bersama, tentu Indonesia tidak akan seperti sekarang.
6. Taat konstitusi
Turunan dari komitmen kebangsaan adalah menaati aturan yang sudah
disepakati. Jadi tidak ada alasan bagi Muslim Indonesia untuk tidak menaati aturan
hukum yang berlaku di negara ini. Apalagi ketaatan terhadap aturan merupakan
kewajiban mutlak dalam Islam. Selama pemimpin atau peraturan yang berlaku di
negara ini tidak menyuruh kepada keburukan dan keharaman, tidak ada alasan bagi
kita untuk tidak menaatinya. Peraturan bersama ini bersifat mengikat semua pihak.
Setuju atau tidak dengan aturan yang dibuat, ketika sudah disepakati dan dibuat
sesuai dengan mekanisme yang berlaku pada suatu negara, wajib bagi siapa pun,
termasuk umat Islam, untuk mematuhinya.
Orang yang beragama secara moderat, tidak hanya mematuhi aturan yang ada
di dalam Islam, tetapi juga mematuhi aturan yang berlaku di negara tempat mereka

12
tinggal. Jika ada aturan hukum yang tidak disetujui atau dianggap merugikan
masyarakat, ajukanlah perbaikan aturan tersebut dengan cara-cara yang dilegalkan
undang-undang, seperti mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
7. Toleransi
Toleransi (Tasāmuh) diambil dari bentuk asal kata samah, samahah dengan makna
menoleransi atau menerima perkara secara ringan. Tasāmuh berarti menoleransi atau
menerima perbedaan dengan ringan hati. Tasāmuh merupakan pendirian atau sikap
seseorang yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai
pandangan dan pendirian yang beraneka ragam, meskipun tidak sependapat
dengannya.
Toleransi atau Tasāmuh ini erat kaitannya dengan masalah kebebasan atau
kemerdekaan hak asasi manusia dan tata kehidupan bermasyarakat, sehingga
mengizinkan berlapang dada terhadap adanya perbedaan pendapat dan keyakinan
dari setiap individu. Orang yang memiliki sifat tasāmuh akan menghargai,
membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan
kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya. Tasāmuh
berarti suka mendengar dan menghargai pendapat orang lain.
8. Anti Kekerasan
Anti kekerasan artinya menolak ekstremisme yang mengajak pada perusakan dan
kekerasan, baik terhadap dirinya sendiri ataupun terhadap tatanan sosial.
Ekstremisme dalam konteks moderasi beragama ini dipahami sebagai suatu ideologi
tertutup yang bertujuan untuk perubahan pada sistem sosial dan politik. Ini
merupakan upaya untuk memaksakan kehendak yang seringkali menabrak norma
atau kesepakatan yang ada di suatu masyarakat.
Ciri-ciri dari anti kekerasan pada moderasi beragama ini adalah
mengutamakan cara damai dalam mengatasi perselisihan, tidak main hakim sendiri,
menyerahkan urusan kepada yang berwajib dan mengakui wilayah negaranya
sebagai satu kesatuan. Sifat anti kekerasan bukan berarti lemah/lembek tetapi tetap
tegas dan mempercayakan penanganan kemaksiatan/pelanggaran hukum kepada
aparat resmi.

13
9. Penghormatan kepada tradisi
Dilihat dari aspek penerimaan terhadap budaya, substansi moderasi beragama
sebetulnya sudah lama dipraktikkan masyarakat Nusantara. Sejak awal, para
pendakwah Islam Nusantara mengadopsi tradisi lokal sebagai media untuk
menyebarkan dakwah Islam. Kesenian wayang misalnya digunakan para wali untuk
menyampaikan ajaran Islam. Praktik yang sudah berjalan turun-temurun itu perlu
dirumuskan kembali, didokumentasikan, dan dikonseptualisasi untuk menunjukkan
bahwa Islam adalah agama yang terbuka dengan budaya dan tradisi lokal, selama
tidak bertentangan dengan semangat dasar dari ajaran Islam itu sendiri.
Dengan kata lain, umat Islam diwajibkan tetap menjaga tradisi dan
melestarikan budaya yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan budaya yang
kosong tanpa warna agama, maka hendaknya diwarnai dengan nilai-nilai Islam.
Sementara budaya yang bertentangan dengan Islam, wajib diubah secara bijak
(ramah), dengan memperhatikan kearifan lokal dan selanjutnya menjadi bersih dan
positif dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Islam. Nilai moderasi beragama,
di antaranya adalah ramah budaya. Islam mengakui dan menghargai budaya yang
ada dalam masyarakat, karena budaya itu sendiri adalah bagian yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan sosial budaya pada masyarakat.

D. Peta jalan pengarusutamaan moderasi beragama


Kementerian Agama, sebagai lembaga pemerintah yang mencetuskan moderasi
beragama merumuskan Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama. Peta jalan ini
merupakan panduan strategis yang berorientasi pada pencapaian visi Kementerian
Agama, yaitu "Menguatkan Moderasi Beragama demi Harmoni Bangsa." Dokumen
ini bertujuan untuk menguraikan langkah-langkah strategis yang harus diambil oleh
Kementerian Agama dalam mewujudkan moderasi beragama sebagai pilar penting
bagi kemajuan dan stabilitas negara
Dalam tulisan ini, akan dipaparkan secara rinci tentang Peta Jalan Penguatan
Moderasi Beragama. Peta jalan ini meliputi dua jalur yakni peta jalan penguatan
mooderasi beragama pada kementerian agama dan peta jalan Penguatan Moderasi
Beragama pada Lingkup Nasional.

14
a. Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama pada Kementerian Agama, dilakukan Upaya
melalui beberapa kegiatan prioritas diantaranya : Penguatan cara pandang, sikap,
dan praktik beragama jalan Tengah, Penguatan harmonisasi dan kerukunan umat
beragama, Penyelarasan relasi agama dan budaya, Peningkatan kualitas pelayanan
kehidupan beragama, Pengembangan ekonomi dan sumber daya keagamaan
Peta jalan penguatan moderasi beragama pada kementerian agama dibagi dalam
beberapa tahap, sebagai berikut :
1. Penguatan 2021, difokuskan pada Penguatan Perspektif Moderasi Beragama
dalam Institusi.
Dalam hal ini program yang dilakukan kementerian agama diantaranya :
Pengembangan kerangka kerja tingkat Pusat dan Daerah, Penyiapan rencana
aksi dan instrumen implementasi Penguatan Moderasi Beragama, Pemenuhan
anggaran, Program Penguatan Moderasi Beragama berbasis tugas dan fungsi,
dan Peningkatan kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemenag.
2. Penguatan 2022, di fokuskan pada Penyelenggaraan Layanan dan Program
Keagamaan berperspektif Moderasi Beragama. Beberapa program
pendukungnya adalah : Pengembangan dan penguatan pelayanan publik
berperspektif Moderasi Beragama, Pelibatan pemangku kepentingan dalam
implementasi Moderasi Beragama, Sinergi dan sinkronisasi regulasi terkait
Penguatan Moderasi Beragama
3. Penguatan 2023, difokuskan pada Penguatan Peran Masyarakat dalam
Penguatan Moderasi Beragama. Dalam hal ini program yang dilakukan:
Penguatan pelibatan pemangku kepentingan dengan memfasiitasi program
masyarakat untuk implementasi Moderasi Beragama, Peningkatan fasilitasi
program masyarakat sesuai tugas dan fungsi, dan Penguatan peran media
dalam sosialisasi perspektif moderasi beragama
4. Penguatan 2024, difokuskan pada Peneguhan dan Apresiasi Negara dan Bangsa
Berperspektif Moderasi Beragama, dengan upaya: Tercapainya indeks-indeks
sesuai target, Pemenuhan regulasi akan hak sipil berbasis Moderasi Beragama,
Penurunan jumlah kasus konflik atas nama agama, dan Apresiasi implementasi
Moderasi Beragama

15
b. Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama pada Lingkup Nasional
Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama pada Lingkup Nasional dilakukan pula
Upaya melalui beberapa kegiatan prioritas diantaranya :
1. Penguatan 2021, difokuskan pada Pengembangan Infrastruktur Penguatan
Perspektif Moderasi Beragama, dengan melakukan bebrapa program kegiatan,
diantaranya : Sosialisasi dan penyelarasan konsep dan kerangka kerja
Moderasi Beragama, Penguatan regulasi perspektif Moderasi Beragama,
Penguatan dukungan kebijakan dan anggaran Kementerian/Lembaga di
tingkat pusat sampai pemerintah daerah, Pengembangan kelembagaan
Moderasi Beragama
2. Penguatan 2022, difokuskan pada Penguatan Perspektif dan Kapasitas
Penyelenggara Negara & Lembaga Keagamaan dalam Pengarusutamaan
Perspektif Moderasi Beragama, dengan beberapa Upaya yang dilakukan
seperti: Peningkatan perspektif dan kapasitas penyelenggara negara, Pelibatan
kelompok-kelompok kunci dalam Penguatan Moderasi Beragama, Sinergi dan
sinkronisasi regulasi terkait Penguatan Moderasi Beragama, Kajian awal
Program Pengarusutamaan Moderasi Beragama pada target utama RPJMN
3. Penguatan 2023, difokuskan pada Pengarusutamaan Perspektif Moderasi
Beragama dalam Kehidupan Keberagamaan Indonesia di semua lini. Hal ini
yang dilakukan pemerintah adalah: Implementasi penguatan Moderasi
Beragama oleh penyelenggara negara, Peningkatan pelibatan tokoh publik dan
organisasi berpengaruh dalam penguatan Moderasi Beragama, Kebijakan
afirmasi penguatan Moderasi Beragama, Pelibatan media dalam program
Penguatan Moderasi Beragama
4. Penguatan 2024, difokuskan pada Peneguhan Kerukunan Umat Beragama dan
Kehidupan Keberagamaan Berperspektif Moderasi Beragama, hal ini bisa
diukur keberhasilannya dengan beberapa hal diataranya : Tercapainya Indeks
KUB, Indeks Kesalehan Umat Beragama, dan Indeks Penerimaan Umat
Beragama atas keragaman budaya, Rekognisi dan afirmasi kepada pelaku
Moderasi Beragama, Tercapainya target rumah ibadah sebagai pusat syiar

16
agama yang toleran, Moderasi Beragama menjadi perspektif utama dalam
dunia Pendidikan, Media masa menjadi agen Penguatan Moderasi Beragama

Strategi Implementasi Penguatan Moderasi Beragama di Tingkat Nasional


Sebagai Upaya untuk menunjang keberhasilan program implementasi Penguatan
moderasi beragama di tingkat nasional dilakukan beberapa strategi yang harus
dilakukan oleh beberapa pihak, sebagai berikut :
a. Kementerian agama : dilakukan Kajian praktik keberagamaan, regulasi, bahan ajar
terkait moderasi beragama, Sosialisasi dan penyelarasan konsep dan kerangka
kerja moderasi beragama, Koordinasi tingkat unit eselon I, Kerangka kerja
implementasi per unit eselon I, penguatan moderasi beragama berdasar tusi bagi
(Aparatur Sipil Negara) ASN Kemenag , inovasi intervensi penguatan moderasi
beragama dalam layanan dan program, Pengusulan jabatan fungsional pranata
moderasi beragama, dan Peningkatan kapasitas pusdiklat Kemenag RI untuk
Penguatan Moderasi Beragama.
b. Penyelenggara negara: dilakukan Sosialisasi Kerangka Konseptual dan Kerangka
Kerja moderasi beragama, Koordinasi lintas KL/Pemda ,yang berpa : Strategi
komunikasi publik untuk promosi nilai-nilai modersi beragama, PPMB sebagai
bagian dari penilaian kinerja dalam Reformasi Birokrasi dan Revolusi Mental,
Penyediaan referensi dan peningkatan literasi Moderasi Beragama, Fasilitasi ruang
dialog dan ruang publik moderasi beragama.
c. Lembaga Keagamaan, di fokuskan pada : Pelibatan lembaga agama, tokoh agama,
Organisasi Berbasis Komunitas, Penguatan FKUB, Regulasi pengelolaan rumah
ibadah, Penyiaran agama offline dan online, Perayaan hari besar keagamaan.
d. Masyarakat, diupayakan hal-hal diantaranya : Pelindungan Hak Beragama,
Pendidikan Masyarakat, memfasilitasi inovasi program kerukunan umat
beragama, Peningkatan literasi Moderasi Beragama, dan Pengembangan referensi.

17
Referensi
Ardiansyah. 2016. Islam Wasatîyah Dalam Perspektif Hadis: Dari Konsep
Menuju Aplikasi. Jurnal Mutawâtir 6(2).
Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, Moderasi beragama berlandaskan Nilai-Nila Islam
Kementerian Agama. Tanya Jawab Moderasi Beragama
Kementerian Agama, Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam,
2019
Mustaqim Pabbajah, Ratri Nurinda Widyanti, and Widi Fajar Widyatmoko,
“Membangun Moderasi Beragama: Perspektif Konseling Multikultural Dan
Multireligius Di Indonesia,” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan
Pemikiran Hukum Islam 13, no. 1 (2021): 194
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama, 2014
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI
Sumarto, “Rumah Moderasi Beragama IAIN Curup Dalam
ProgramWawasanKebangsaan Toleransi Dan Anti Kekerasan,”Jurnal Literasiologi 5,
no. 2 (2021): 94
Tim Penyusun Ditjen Bimas Islam Kementerian Agam RI, Moderasi Beragama
Perspektif Bimas Islam, Jakarta: Sekretariat Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama,
2022.

18
KEGIATAN BELAJAR 3
WAWASAN KEBANGSAAN
MODERASI BERAGAMA

Capaian Pembelajaran (CP)

Mampu menjelaskan konsep wawasan kebangsaan dan pentingnya membangun


rasa cinta tanah air, berbangsa dan bernegara serta menganalisis urgensi posisi
kemenag dalam penguatan moderasi beragama dan mampu menjelaskan jati diri
guru sebagai agen dalam moderasi beragama.

Tujuan Pembelajaran (TP)

1. Mampu menjelaskan konsep wawasan kebangsaan


2. Mampu Menjelaskan pentingnya membangun rasa cinta tanah air.
3. Mampu menjelaskan pentingnya berbangsa dan bernegara.
4. Mampu menganalisis urgensi posisi kemenag dalam moderasi beragama.
5. Mampu menjelaskan jati diri guru.

Ruang Lingkup Materi

1. Konsep wawasan kebangsaan


2. Pentingnya membangun rasa cinta tanah air.
3. Pentingnya berbangsa dan bernegara.
4. Urgensi posisi kemenag dalam moderasi beragama.
5. Jati diri guru

1
Uraian Materi

A. Pengantar

Di era globalisasi yang semakin kompleks ini, pemahaman akan wawasan


kebangsaan menjadi sangat penting bagi seluruh masyarakat Indonesia
termasuk para guru. Wawasan kebangsaan mengacu pada kesadaran diri
sebagai warga negara terhadap identitas, nilai-nilai, dan peran dalam suatu
negara. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya
dan agama. Salah satu prinsip utama yang dianut bangsa ini adalah Bhinneka
Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi tetap satu. Dalam konteks keberagaman,
moderasi beragama memiliki peran penting untuk memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa. Moderasi beragama tercermin dalam prinsip kebangsaan yang
menjunjung keberagaman, toleransi yang menghargai perbedaan keyakinan,
penolakan terhadap segala bentuk kekerasan atas nama agama, serta
penerimaan dan akomodasi terhadap kekayaan budaya dan tradisi yang ada
dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatan bahwa moderasi beragama
merupakan pilar wawasan kebangsaan dan keaneka ragaman agama, ras,
budaya, bangsa Indonesia.

Melalui pembelajaran ini, diharapkan dapat merangkai pengetahuan dan


keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi kehidupan berbangsa
dengan bijak, berkelanjutan, dan berdasarkan nilai-nilai kebangsaan yang kuat
sehingga para guru dapat mengetahui jati dirinya sebagai warga negara
kesatuan Republik Indonesia dalam keberagaman, berkehidupan, berbagnsa
dan bernegara.

2
B. Konsep Wawasan Kebangsaan
Istilah Wawasan Kebangsaan terdiri dari dua suku kata yaitu “Wawasan”
dan “Kebangsaan”. Wawasan berarti tinjauan, pandangan, dan dapat juga
berarti konsepsi cara pandang. Kebangsaan berasal dari kata “bangsa” yang
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti kelompok masyarakat yang
bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan
sendiri. Kebangsaan mengandung arti ciri-ciri yang menandai golongan bangsa,
perihal bangsa, kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara. Dengan
demikian wawasan kebangsaan dapat diartikan sebagai konsepsi cara pandang
yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara yang
mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1
Wawasan kebangsaan merupakan konsep yang memandang Indonesia
sebagai satu kesatuan wilayah, yang meliputi tanah (darat), air (laut) dan udara
secara tidak terpisahkan, yang mempersatukan bangsa dan negara secara
menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi
aspek ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Wawasan
kebangsaan Indonesia menolak segala diskriminasi suku, ras, asal-usul,
keturunan, warna kulit, kedaerahan, golongan, agama dan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, kedudukan maupun status sosial. Konsep kebangsaan
Indonesia bertujuan membangun dan mengembangkan persatuan dan
kesatuan.2
Wawasan kebangsaan merupakan jiwa dan ruh atau semangat dari
kehidupan berbangsa dari suatu negara, jiwa dan semangat dari kehidupan
berbangsa ini akan sangat berpengaruh pada eksistensi negaranya. Negara
dengan jiwa dan semangat kebangsaan yang berkobar maka akan bisa
mempertahankan eksistensi negera tersebut dan akan diakui oleh negara lain.

1
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kamus versi online/daring (Dalam Jaringan). di akses pada
23 September. 2023. https://kbbi.web.id/didik
2
Inspektorat jenderal kemenkeu https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/pedulikah-asn-dengan-
wawasan-kebangsaan-1555c2ea/detail/

3
Sebaliknya apabila negara tersebut tidak memiliki jiwa dan semangat yang
tinggi, maka pada hakikatnya eksistensi dari bangsa dan negara yang
bersangkutan telah tidak ada lagi. Meskipun dalam bentuk fisik bangsa dan
negara tersebut masih berdiri.
Wawasan kebangsaan Indonesia muncul sebagai respons terhadap
dominasi kolonialisme Belanda dalam politik, eksploitasi ekonomi, dan
penetrasi budaya (sesuai dengan pidato Roeslan Abdulgani di depan sidang
konstituante pada tanggal 3 Desember 1957). Wawasan kebangsaan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan cara
pandangan bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya dalam mencapai
tujuan nasional yang mencakup perwujudan kepulauan Nusantara sebagai
kesatuan politik, sosial budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan, dengan
berlandaskan pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun wawasan kebangsaan menurut Perspektif agama, yaitu: Pertama,
terdapat konsep "Ukhuwah Islamiyah Wathoniyah Basyariyah," yang berarti
persaudaraan antara warga negara atau sesama bangsa. Kedua, terdapat konsep
"Hubbul Wathon Minal Iman," yang berarti cinta terhadap tanah air adalah
bagian dari iman. Ketiga, sesuai dengan Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13:

‫ّٰللا اَتْ ٰقى ُك ْم ۗا َِّن ه‬


َ‫ّٰللا‬ ِ ‫ارفُ ْوا ۚ ا َِّن اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْندَ ه‬ ُ ‫اس اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِم ْن ذَك ٍَر َّوا ُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم‬
َ ‫شعُ ْوبًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل ِلت َ َع‬ ُ َّ‫ٰ ٰٓياَيُّ َها الن‬
‫ع ِل ْي ٌم َخبِي ٌْر‬
َ

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang
paling mulia disisi kamu yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui dan maha mengenal".
Berdasarkan paparan di atas di pahami bahwa betapa pentingnya
memiliki pemahaman yang komprehensif tentang wawasan kebangsaan.
Sebagaimana peraturan/kebijakan yang ada berkenaan dengan hal tersebut,
antaralain:

4
1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2Penetapan Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama
2. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor:
01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadat Agama Oleh Pemeluknya
3. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 1
Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan
Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan
4. Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980 tentang Wadah
Musyawarah Umat BeragamaInstruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978
tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan
5. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9
Tahun 2006/8 Tahun 2006 yang melahirkan Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB)
Menurut Permendagri Nomor 71 Tahun 2012 tentang pedoman
pendidikan wawasan kebangsaan, ada empat konsensus dasar berbangsa
dan bernegara yaitu: 1) NKRI; 2) Bhinneka Tunggal Ika; 3) Undang-Undang
Dasar 1945; dan 4) Pancasila.

C. Pentingnya membangun rasa cinta tanah air


Nasionalisme merupakan konsep modern yang muncul pada abad ke-17
bersamaan dengan lahirnya konsep negara bangsa. Di Eropa, nasionalisme
muncul sebagai salah satu perwujudan perlawanan terhadap feodalisme
(kekuasaan absolut yang dimiliki oleh pemuka agama dan bangsawan).
Seiring munculnya negara bangsa, timbullah berbagai pemikiran tentang
nasionalisme sebagai basis filosofis terbentuknya negara bangsa tersebut.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan memiliki wilayah yang
sangat luas, dengan jumlah penduduk yang sangat besar dengan berbagai
macam ras, suku, budaya, dan agama yang menjadikan sebuah ciri khas

5
tersendiri dari perbedaan itu. Dengan banyaknya perbedaan-perbedaan
tersebut, diperlukannya nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan berbangsa di
negara Indonesia. Nilai-nilai nasionalisme dalam konsep Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) salah satunya adalah Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, dan Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Pancasila merupakan ideologi dan dasar dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) . Kedudukan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara
Indonesia, tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 sebagai dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang harus dilakukan secara
berkesinambungan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
demikian, Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah sebagai keseluruhan
pandangan, cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai bangsa Indonesia yang harus
diimplementasikan di kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebagai ideologi terbuka, Pancasila mengandung tiga nilai, yaitu nilai dasar,
nilai instrumental, dan nilai praksis.
Mencintai tanah air merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Rasulullah
mencintai Makkah dan Madinah karena dua tempat mulia tersebut merupakan
tanah air beliau. Mencintai tanah air adalah bagian dari iman karena tanah air
merupakan sarana primer untuk melaksanakan perintah agama. Tanpa tanah
air, seseorang akan menjadi tunawisma. Tanpa tanah air, agama seseorang
kurang sempurna, dan tanpa tanah air, seseorang akan menjadi terhina. Syekh
Muhammad Ali dalam kitab Dalilul Falihin hal. 37 mengatakan:

‫اإليْما َ ِن‬ َ ‫الو‬


ِ َ‫ط ِن مِ ن‬ َ ُّ‫حُب‬
“Cinta tanah air bagian dari iman.”
Terkait anjuran untuk mencintai tanah air, Nabi memberikan sebuah contoh
teladan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
Shahih Bukhari juz 3 hal. 23:

‫ َكانَ إِذَا‬،‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ «أ َ َّن النَّب‬،ُ‫ع ْنه‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أَن ٍَس َر‬ َ ،ٍ‫ع ْن ُح َم ْيد‬ َ ،‫ َحدَّثَنَا إِ ْس َماعِي ُل ْب ُن َج ْعف ٍَر‬،ُ‫َحدَّثَنَا قُت َ ْيبَة‬
‫علَى دَا َّب ٍة َح َّر َك َها مِ ْن ُح ِب َها‬
َ َ‫ض َع َراحِ لَتَهُ َو ِإ ْن َكان‬ َ ‫ أ َ ْو‬،ِ‫ت ال َمدِينَة‬
ِ ‫ظ َر ِإلَى ُجد َُرا‬ َ َ‫ فَن‬،‫سف ٍَر‬
َ ‫»قَد َِم مِ ْن‬
"Ketika Rasulullah hendak datang dari bepergian, beliau mempercepat
jalannya kendaraan yang ditunggangi setelah melihat dinding kota Madinah.

6
Bahkan beliau sampai menggerak-gerakan binatang yang dikendarainya
tersebut. Semua itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan beliau terhadap tanah
airnya. " (HR. Bukhari).

Al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari juz 3, hal.705


menjelaskan bahwa hadits tersebut menunjukan keutamaan Madinah dan
dianjurkannya mencintai tanah air serta merindukannya”. Dalam konteks
Indonesia, menjaga kemerdekaan RI, menjaga Pancasila, menjaga Bhineka
Tunggal Ika, menjaga NKRI, dan menjaga Undang-Undang Dasar 1945 adalah
bagian dari iman dan agama.

Syekh Muhammad Amin As-Syinqithi mengatakan bahwa Al-Qur’an telah


memposisikan umat Islam pada posisi yang merdeka, mulia, terhormat, maju,
dan mandiri. Ketika umat Islam dalam posisi terbelakang, miskin, atau dalam
kondisi yang mundur, lebih disebabkan oleh kecerobohan umat Islam sendiri,
yaitu meninggalkan kewajiban dalam mengelola kehidupan duniawi.

Imam An-Nawawi menyatakan dalam pendahuluan kitab al-Majmu’: wajib


bagi umat Islam untuk bekerja, mandiri, dan produktif dalam segala kebutuhan,
walaupun hanya memproduksi sebuah jarum maupun garam. Umat Islam tidak
boleh tergantung pada umat lain. Sebab tolok ukur kekuatan umat Islam
tergantung terhadap kemandiriannya dalam mencukupi kebutuhan. Untuk
mengisi kemerdekaan dan mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, maju
dan berdaulat, setiap warga memperjuangkan bangsa sesuai profesi masing-
masing. Jika menjadi pejabat, jadilah pejabat yang baik, amanah, jujur, dan tidak
korupsi. Jika menjadi pendidik, jadilah pendidik yang baik, produktif dalam
karya ilmiah, jujur, dan mengabdi di masyarakat. Jika menjadi pelajar, jadilah
pelajar yang rajin menuntut ilmu di bidang masing-masing, karena ilmumu
kelak dibutuhkan oleh bangsa dan umat. Secara umum, jadilah warga Negara
yang selalu berusaha berbuat baik dalam segala kondisi, tempat, dan
berperilaku baik dengan akhlak yang mulia. Berusaha untuk berbudi pekerti
luhur, menjaga moral, dan membangun kecintaan terhadap tanah air dengan
jalan yang baik.

7
Hubbul wathan minal îmân mencintai tanah air Indonesia sangat penting
bagi seluruh warga negara RI karena hanya dengan kondisi bangsa dan negara
yang aman dan stabil, masyarakat bangsa ini bisa beribadah dengan nyaman,
beramal dengan baik, dan dapat beristirahat dengan nyenyak. Bayangkan
saudara kita yang dilanda peperangan, seperti di negara lain, mereka tidak
pernah nyaman dan enak seperti yang kita alami. Atsar Khalifah Umar bin
Khatab sebagaimana dikutip Syekh Ismail Haki dalam kitab Tafsir Ruhul Bayan
juz 6 hal. 442 menyatakan:

ُ‫ت اْلب ُْلدَان‬


ِ ‫ان عُمِ َر‬
ِ ‫ﻃ‬ َْ ‫ب‬
َ ‫اَل ْو‬ ِ ‫ﺏ بَلَدُ الﺴ ُّْوﺀ فَ ِب ُﺤ‬ َ ‫لَ ْو ََل حُبُّ ْال َو‬
َ ‫ﻃ ِن لَﺨ َُر‬

Sayyidina Umar berkata: “Seandainya tidak ada cinta tanah air, hancurlah
negara yang terpuruk. Dengan cinta tanah air, negara akan berjaya.”

Dengan kecintaan terhadap tanah air, setiap orang memiliki keinginan


untuk menjadikan tanah airnya maju, aman, dan damai. Dengan cinta tanah air,
seseorang tidak menginginkan bangsanya hancur, terpecah belah, penuh
konflik, dan saling bermusuhan.3
Sebagai umat beragama, ajaran agama telah memberikan modal yang luar
biasa dalam mencintai tanah air. Kesetiaan pada tanah air tentu bukan hanya
slogan semata atau sekedar ungkapan di bibir saja, namun kecintaan kepada
tanah air telah terwujud dalam bentuk perjuangan dan pengorbanan yang tulus
dan ikhlas. Oleh karena itu sebagai warga Negara Republik Indonesia sudah
menjadi kewajiban kita semua untuk mencintai tanah air Negara Republik
Indonesia. Ekspresi cinta pada tanah air pada era saat ini adalah dengan
menghormati dan mematuhi ketentuan hukum dan peraturan-peraturannya,
memelihara fasilitas umum, memiliki kepedulian terhadap lingkungan, bekerja
untuk kemajuan bangsa dalam menyongsong masa depan Indonesia maju.
Implementasi cinta tanah air tersebut dimulai dari diri setiap masyarakat
Indonesia. Seiring dengan perkembangan suasana kebangsaan baik secara
nasional, regional, dan global, kita semua sebagai masyarakat beragama

3Yudi Yansyah https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/mimbar-dakwah-sesi-34-


mencintai-tanah-air-bagian-dari-iman-

8
berkewajiban untuk turut mencegah timbulnya ancaman infiltrasi kelompok
transnasional dengan paham-paham keagamaan yang cenederung radikal
seperti mengganggu orang lain dalam pelaksaan agama, Bersaing antaragama,
Penyegelan rumah ibadah di luar hukum, saling mengganggu dalam
beragama.4
Cinta tanah air merupakan landasan pokok dalam menjalankan kehidupan
beragama. Dengan demikian kita akan dapat berpartisipasi secara aktif mengisi
dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kecintaan kepada tanah air
Indonesia akan menjadi motivasi dalam mempertahankan identitas kebangsaan
kita sebagai warga negara RI yang taat dan patuh akan peraturan-peraturan
negara.
D. Pentingnya Berbangsa dan Bernegara
Pancasila sebagai dasar negara menjadi panduan dalam menjunjung
moderasi beragama. Sila pertama, "Ketuhanan yang Maha Esa", mencerminkan
komitmen kebangsaan untuk menghargai keberagaman agama dan
kepercayaan. Masyarakat perlu membangun sikap saling menghormati dan
menghargai keyakinan orang lain, sehingga tidak ada pihak yang merasa
dianaktirikan atau dikesampingkan. Komitmen kebangsaan dalam konteks
moderasi beragama mencakup upaya untuk menciptakan suasana yang
kondusif bagi berbagai agama dan kepercayaan untuk berkembang dan
berdampingan secara damai. Pendidikan kebangsaan yang inklusif, misalnya,
menjadi salah satu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai moderasi beragama
sejak dini. Contoh kongkret moderasi beragama dalam indikator komitmen
kebangsaan bisa dilihat dalam perayaan hari-hari besar keagamaan, seperti
Natal, Idul Fitri, Waisak, dan Nyepi. Pemerintah dan masyarakat bersama-sama
mengorganisir dan melibatkan diri dalam kegiatan lintas agama untuk
menunjukkan rasa persatuan dan solidaritas. Hal ini menciptakan suasana
kebersamaan dan menggugah rasa kebanggaan sebagai bangsa yang memiliki
keberagaman. Selain itu, upaya pembangunan rumah ibadah yang representatif

4 Allisa Wahid dkk, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Aparatur Sipil Negara

Kementerian Agama RI, versi 4, Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kementerian Agama Jakarta
Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI 2021. 131

9
dan adil bagi semua agama menunjukkan komitmen kebangsaan dalam
moderasi beragama. Setiap agama diberi kesempatan yang sama untuk
membangun tempat ibadah sesuai dengan kebutuhan umatnya. Pemerintah juga
berperan aktif dalam mengawasi dan memastikan bahwa pembangunan rumah
ibadah tidak menimbulkan konflik antar umat beragama.
Komitmen kebangsaan dalam moderasi beragama juga tercermin dalam
perlindungan terhadap kelompok minoritas dan kepercayaan yang kurang
dikenal. Pemerintah dan masyarakat diharapkan memberikan ruang yang
cukup bagi kelompok-kelompok ini untuk menjalankan keyakinan dan
kepercayaan mereka tanpa diskriminasi. Pendidikan dan sosialisasi mengenai
keberagaman agama dan kepercayaan menjadi penting untuk menghindari
kesalahpahaman dan konflik. Dan tidak kalah penting, bahwa terdapat peran
media massa dan teknologi informasi juga sangat penting dalam
mempromosikan moderasi beragama sebagai bentuk komitmen kebangsaan.
Media massa dan platform digital seharusnya digunakan untuk menyebarkan
pesan toleransi dan kerukunan, serta memberikan informasi yang akurat dan
seimbang tentang keberagaman agama dan kepercayaan. Dengan demikian,
masyarakat akan lebih teredukasi dan memiliki pemahaman yang lebih baik
mengenai pentingnya moderasi beragama dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun bentuk-bentuk wawasan kebangsaan yang perlu ditanamkan sebagai
warga negara adalah:
1. Toleransi
Toleransi merupakan kunci dalam menjaga kerukunan antar umat
beragama. Toleransi bukan hanya sekadar sikap saling menghormati, tetapi
juga saling membantu dan bekerja sama untuk menciptakan suasana damai
dan harmonis. Tidak ada agama yang mengajarkan kebencian dan
kekerasan, sehingga penting bagi setiap individu untuk mengekang diri dari
prasangka dan kebencian. Toleransi dalam konteks moderasi beragama
mencakup kemampuan untuk menghargai perbedaan keyakinan dan agama
orang lain, serta memberi mereka kebebasan untuk mengekspresikan
keyakinan mereka tanpa rasa takut atau tekanan. Ini menciptakan

10
lingkungan yang kondusif bagi masing-masing individu untuk tumbuh dan
berkembang sebagai pribadi yang unik dan berharga, sekaligus
memperkaya kehidupan bersama dalam masyarakat yang beragam. Sebagai
contoh moderasi beragama dalam indikator toleransi, kita bisa melihat
bagaimana masyarakat Indonesia menjalani kehidupan sehari-hari dengan
saling menghargai dan menghormati perayaan agama yang berbeda. Ketika
umat Islam merayakan Idul Fitri, umat Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya
turut berpartisipasi dalam kebahagiaan dan kebersamaan, seperti
mengunjungi rumah tetangga yang merayakan, saling mengucapkan
selamat, atau bahkan membantu persiapan. Hal serupa juga terjadi ketika
umat agama lain merayakan hari besar mereka. Selain itu, toleransi juga
tercermin dalam bagaimana masyarakat bersikap terhadap keberagaman
tradisi dan cara beribadah yang ada di Indonesia. Misalnya, masyarakat
yang tinggal di sekitar tempat ibadah yang berbeda, seperti masjid, gereja,
pura, atau vihara, saling menghormati dengan menjaga kebersihan
lingkungan, mengendalikan suara, dan tidak mengganggu aktivitas ibadah
yang sedang berlangsung. Hal ini menciptakan suasana yang kondusif
untuk kegiatan keagamaan dan menguatkan ikatan persaudaraan antar
umat beragama.Contoh lain dari toleransi dalam moderasi beragama adalah
saling menghargai hak individu untuk memilih keyakinan dan cara hidup
yang mereka anut. Tidak jarang kita melihat pernikahan antar agama yang
diadakan dengan penuh kerukunan dan rasa saling menghormati. Baik
keluarga maupun masyarakat sekitar mendukung dan menghargai
keputusan kedua mempelai untuk bersatu dalam pernikahan dengan tetap
menjaga keyakinan dan agama masing-masing. Ini merupakan wujud nyata
dari toleransi yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi
bukti bahwa moderasi beragama dapat terwujud dalam kehidupan nyata.
2. Anti Kekerasan

Moderasi beragama mengajarkan kita untuk menolak segala bentuk


kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Kita harus memahami bahwa
agama adalah sarana untuk mencapai kedamaian dan kasih sayang, bukan

11
alasan untuk melakukan kekerasan atau diskriminasi. Pemerintah dan
masyarakat perlu bersama-sama melawan radikalisme dan intoleransi yang
meresahkan kehidupan bermasyarakat. Dalam upaya menghindari
kekerasan atas nama agama, moderasi beragama mengedepankan dialog
dan komunikasi yang efektif antara berbagai kelompok masyarakat. Melalui
interaksi yang sehat dan konstruktif, kita dapat menciptakan pemahaman
yang lebih baik tentang keberagaman agama dan keyakinan, serta mengatasi
kesalahpahaman yang sering kali menjadi akar permasalahan. Dialog antar
umat beragama juga menjadi sarana untuk menemukan solusi terhadap
konflik yang mungkin timbul karena perbedaan agama. Salah satu contoh
penerapan moderasi beragama dalam indikator anti kekerasan adalah kerja
sama antara pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama, dan masyarakat
dalam mengatasi potensi konflik antar umat beragama. Melalui pendekatan
preventif dan persuasif, pihak-pihak terkait dapat menangani isu-isu sensitif
dengan bijaksana dan mengedepankan kepentingan bersama. Hal ini
membantu mencegah tindakan kekerasan yang mungkin terjadi akibat
ketegangan antar umat beragama. Pendidikan juga menjadi instrumen
penting dalam penerapan moderasi beragama yang anti kekerasan.
Pendidikan yang inklusif dan mengajarkan nilai-nilai toleransi serta
keberagaman sejak dini dapat membentuk karakter individu yang cinta
damai dan menghargai perbedaan. Selain itu, melalui kegiatan
ekstrakurikuler yang melibatkan siswa dari berbagai latar belakang agama,
mereka dapat belajar untuk mengatasi perbedaan dan bekerja sama dalam
suasana yang harmonis.
Media massa dan teknologi informasi juga memiliki peran penting
dalam penerapan moderasi beragama yang anti kekerasan. Media massa
perlu menyajikan informasi yang akurat dan seimbang tentang isu-isu
keagamaan, serta menghindari pemberitaan yang cenderung memprovokasi
dan memicu konflik. Di sisi lain, penggunaan media sosial dan platform
digital harus digunakan dengan bijaksana dan bertanggung jawab, serta

12
menghindari penyebaran ujaran kebencian dan diskriminasi yang dapat
memicu kekerasan.
Terkait ini, pemerintah sebagai aktor utama harus mengambil langkah
tegas terhadap kelompok atau individu yang menggunakan agama sebagai
alasan untuk melakukan kekerasan. Penegakan hukum yang tegas dan adil
menjadi instrumen penting untuk menjamin keamanan dan ketertiban
masyarakat. Dengan mengedepankan moderasi beragama yang anti
kekerasan, kita dapat menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis
bagi seluruh masyarakat untuk hidup bersama dalam keberagaman yang
kita miliki.
3. Akomodasi dan Penerimaan Terhadap Tradisi dan Budaya

Keberagaman budaya dan tradisi merupakan kekayaan yang harus


dijaga dan dilestarikan. Moderasi beragama juga mencakup sikap
akomodatif dan penerimaan terhadap perbedaan tradisi dan budaya.
Sebagai bangsa yang besar, kita harus bersikap terbuka dan menerima
perbedaan, bukan justru menciptakan sekat dan perpecahan. Dengan
demikian, keharmonisan dan persatuan bangsa akan terus terjaga.
Penerimaan terhadap tradisi dan budaya dalam konteks moderasi
beragama mencakup penghormatan dan pengakuan terhadap keberagaman
cara beribadah, adat istiadat, dan tradisi yang ada di masyarakat. Setiap
agama memiliki keunikan tersendiri dalam melaksanakan praktik
keagamaan, yang sering kali terkait dengan tradisi dan budaya lokal.
Menghargai keberagaman ini menjadi wujud nyata dari penerapan
moderasi beragama yang inklusif dan toleran.
Penerapan moderasi beragama dalam penerimaan terhadap tradisi dan
budaya bisa dilihat dalam praktik keagamaan yang diselenggarakan di
berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, perayaan Waisak di Borobudur
yang melibatkan ritual keagamaan Buddha dan kebudayaan Jawa, atau
perayaan Nyepi di Bali yang mencerminkan sinkretisme antara ajaran
Hindu dengan adat istiadat Bali. Praktik-praktik ini menunjukkan

13
bagaimana keberagaman tradisi dan budaya diterima dan diakomodasi
dalam konteks keagamaan.
Selain itu, penerimaan terhadap tradisi dan budaya juga mencakup
kegiatan sosial dan budaya yang melibatkan masyarakat lintas agama.
Misalnya, perayaan Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat, yang
melibatkan umat Konghucu, Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha dalam
suatu perayaan budaya yang meriah. Kegiatan seperti ini menciptakan
suasana kebersamaan dan saling pengertian antara umat beragama,
sekaligus melestarikan kebudayaan lokal.
Pendidikan dan sosialisasi mengenai keberagaman tradisi dan budaya
menjadi penting dalam penerapan moderasi beragama yang akomodatif.
Melalui pendidikan, masyarakat diajarkan untuk menghargai dan
memahami perbedaan yang ada dalam praktik keagamaan dan kebudayaan,
serta mengakui hak setiap individu untuk menjalankan keyakinan dan
praktik budaya mereka. Hal ini akan mendorong sikap saling menghormati
dan menghargai antar umat beragama.
Keterlibatan pemerintah, tokoh agama dan guru-guru dalam
mempromosikan penerimaan terhadap tradisi dan budaya juga sangat
penting. Mereka dapat berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam
dialog antar umat beragama dan antarbudaya, serta membantu menciptakan
kesepakatan bersama tentang bagaimana mengakomodasi dan menjaga
keberagaman tradisi dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat.5
Selain hal tersebut, nilai-nilai yang terkandung dalam wawasan
kebangsaan berfokus pada kepentingan nasional, persatuan, kesatuan, dan
keberagaman. Memahami dan menerapkan nilai-nilai, wawasan kebangsaan
dapat menjadi landasan yang kuat untuk membangun persatuan, memperkuat
identitas nasional, dan menghadapi berbagai tantangan global dengan bijak dan
berkelanjutan. Beberapa nilai yang sering terkait dengan wawasan kebangsaan
antara lain:

5
Muhammad Fauzinudin Faizhttps://kemenag.go.id/kolom/moderasi-beragama-pilar-kebangsaan-dan-
keberagaman-MVUb9

14
a. Patriotisme: Cinta dan kesetiaan terhadap tanah air, serta semangat untuk
berkontribusi dalam membangun dan memajukan negara.
b. Nasionalisme: Kesadaran akan identitas nasional dan kepentingan bersama
sebagai bangsa, serta semangat untuk mempertahankan kedaulatan dan
integritas negara.
c. Bhinneka Tunggal Ika: Menghargai dan mempromosikan keberagaman
budaya, agama, suku, dan bahasa sebagai kekayaan bangsa, serta
membangun kerukunan antarwarga negara.
d. Keadilan dan kesetaraan: Mengupayakan keadilan sosial, kesetaraan hak
dan kesempatan bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi.
e. Demokrasi: Menghormati prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi aktif dalam
kehidupan politik, serta penghargaan terhadap hak asasi manusia dan
kebebasan berpendapat.
f. Tanggung jawab sosial: Memiliki kesadaran akan tanggung jawab terhadap
masyarakat dan lingkungan, serta berperan aktif dalam pembangunan
berkelanjutan.
g. Kemandirian: Mengembangkan kemampuan dan potensi bangsa secara
mandiri, baik dalam bidang ekonomi, teknologi, maupun keamanan.
Hal penting bagi Indonesia untuk memperkuat persatuan dan kesatuan
nasional, serta mempromosikan dialog dan rekonsiliasi antar kelompok yang
berbeda. Dengan membangun masyarakat yang inklusif dan menghormati
keberagaman, Indonesia dapat mengurangi risiko konflik internal yang dapat
dipicu oleh konflik internasional. Jadi konflik internasional memiliki implikasi
yang signifikan terhadap stabilitas politik dan keamanan nasional Indonesia.
Untuk menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu memperkuat diplomasi,
meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan nasional, serta membangun
masyarakat yang inklusif dan menghormati keberagaman. Dengan langkah-
langkah yang tepat, Indonesia dapat menjaga stabilitas politik dan keamanan
nasionalnya dalam menghadapi konflik internasional.

15
E. Urgensi Posisi Kemenag dalam Penguatan Moderasi Beragama
Berdasarkan perundang-undangan, agama menjadi kewenangan
pemerintah pusat di mana institusi yang mengurus agama adalah Kemenag. Di
tengah banyaknya peristiwa intoleransi dan ekstremisme kekerasan berbasis
sentimen agama, Kemenag menjadi tumpuan banyak pihak. Di banyak kasus
intoleransi dan kekerasan agama, ada kecenderungan aparatur negara yang
semestinya bertindak berdasarkan norma-norma konstitusi justru tunduk pada
tuntutan kelompok intoleran. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
tidak mengabaikan fakta-fakta yang dihadapi.
Munculnya tantangan Moderasi Beragama dan keberhasilan usaha-
usaha mengatasinya sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan
pemerintah, termasuk guru. Namun dalam praktiknya, masih dijumpai guru
yang belum bertindak tepat sebagai representasi negara dalam urusan
keagamaan di Indonesia. Tidak sedikit dari guru yang bersikap dan
mengambil kebijakan atas masalah-masalah sosial keagamaan berdasarkan
pada pandangan pribadi atau kelompok keagamaan yang dianut. Padahal
posisi dan sikap sebagai “representasi negara” menuntut guru bersikap dan
bertindak adil dalam pelayanan keagamaan sebagaimana prinsip dan mandat
dari Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945.
Materi ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali suatu
kesadaran bahwa Kementerian Agama sebagai bagian dari negara Indonesia
yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 memiliki mandat untuk
melindungi dan melayani agama-agama di Indonesia tanpa diskriminasi.
Kesadaran ini tentu saja mensyaratkan kesadaran dan pemahaman yang utuh
tentang kedudukan Kementerian Agama RI, baik dalam perspektif sejarah
maupun dalam tata pemerintahan Indonesia hari ini.
Maksud dan tujuan membentuk Kementerian Agama, selain untuk
memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat beragama di tanah air, yang
merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu tidak mendapat
layanan yang semestinya, juga agar soal-soal yang bertalian dengan urusan
keagamaan diurus serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau

16
kementerian khusus, sehingga pertanggungan jawab, beleid, dan taktis
berada di tangan seorang menteri.
Pembentukan Kementerian Agama, sebagaimana diungkapkan R.
Moh. Kafrawi (mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama), dihasilkan
dari suatu kompromi antara teori sekuler dan Kristen tentang pemisahan
gereja dengan negara, dan teori muslim tentang penyatuan antara keduanya.
Jadi Kementerian Agama itu timbul dari formula Indonesia asli yang
mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka: sistem
Islami dan sistem sekuler."6
Pentingnya moderasi beragama bagi Indonesia menurut kemenag
adalah pertama, negara yang bermasyarakat religius dan majemuk.
Meskipun bukan negara agama, masyarakat lekat dengan kehidupan
beragama dan kemerdekaan beragama dijamin oleh konstitusi. Menjaga
keseimbangan antara hak beragama dan komitmen kebangsaan menjadi
tantangan bagi setiap warga negara. Kedua, Moderasi beragama merupakan
perekat antara semangat beragama dan komitmen berbangsa. Di Indonesia,
beragama pada hakikatnya adalah ber-Indonesia dan ber-Indonesia itu pada
hakikatnya adalah beragama. Ketiga, Moderasi Beragama menjadi sarana
mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang
harmonis, damai dan toleran sehingga Indonesia maju.7
Tantangan dalam moderasi beragama dan wawasan kebangsaan
meliputi beberapa hal, Pertama, praktik beragama yang bertentangan dengan
nilai kemanusiaan. Kedua, munculnya tafsir agama yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pengetahuan. Ketiga, terlihat adanya cara
beragama yang merusak ikatan kebangsaan dengan tekanan yang
mendorong pada pilihan sikap untuk mempolitisasi agama dan sikap
majoritarianisme.

6Allisa Wahid dkk, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Aparatur Sipil Negara

Kementerian Agama RI, versi 4


7Kementerian Agama RI, bahan sesi konsep beragama kemenag dalam kegiatan penguatan

moderasi beragama tahun 2020-2924.

17
F. Jati Diri Guru
Penguatan Moderasi Beragama hanya berhasil manakala para aktor
penggerak, seperti guru-guru, meyakini dan menerapkan nilai-nilai tersebut
dalam perilaku dan tindakan kesehariannya. Nilai-nilai itu bersumber dari
citra diri guru yang bersumber dan didasarkan pada Konstitusi dan UUD 1945
dan diturunkan dalam visi-misi serta tugas dan fungsi Kemenag RI. Citra diri
ini harus mencerminkan nilai-nilai yang menegaskan bahwa guru-guru
adalah aparatur negara yang bersikap adil, imparsial, dan profesional dalam
mengemban mandat perlindungan dan pelayanan bagi umat beragama di
Indonesia. untuk mencapai tujuan tersebut maka guru-guru perlu memahami
fungsinya sebagai warga negara RI yakni sebagai pelaksana kebijakan publik,
pelayan publik dan sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Guru juga
berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas
umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan
kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi
politik, serta bersih dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Olehnya itu
para guru perlu memiliki kapasitas sebagai berikut :
1. Wawasan Keagamaan
• Memahami nilai universal ajaran agama
• Memahami argumentasi teologis Moderasi Beragama
• Memahami indikator Moderasi Beragama
• Bersedia menghormati keyakinan umat agama lain
2. Wawasan Kebangsaan
• Memiliki komitmen terhadap NKRI
• Memiliki wawasan kebangsaan yang luas
• Memahami regulasi (konsep dan aplikasi)
• Mendukung dan implementasikan regulasi yang adil dan non-
diskriminasi
• Memiliki kesadaran menjadi ASN Kemenag adalah wujud
keimanan

18
• Memiliki kesadaran menerima kesetaraan warga negara adalah
bagian dari ajaran agama
3. Kecakapan
Citra diri ASN termasuk guru-guru (konsep diri sebagai aparatur
negara untuk urusan agama), Kepemimpinan, Keterampilan
membangun jejaring, kemampuan membentuk pemahaman, resolusi
konflik, berpikir kritis, analisis sosial, literasi digital.
4. Sikap Diri
Sikap diri ASN termasuk Guru-guru perlu memiliki nilai-nilai
Kemenag, inklusif, demokratis, egaliter dan moderat, humanis, non
diskriminatif, berani, anti kekerasan
5. Paham Konteks Persoalan kehidupan Keagamaan
• Memahami konteks yang membenturkan agama dan negara
• Memahami konteks benturan paham dan praktik keagamaan
dalam ruang intra (internal) agama
• Memahami REEVE (Religious, Exclusivism, Extremism, Violent
Extremism)8

8
Allisa Wahid dkk, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Aparatur Sipil Negara
Kementerian Agama RI .133

19
Referensi

Faizah, R. Penguatan Wawasan Kebangsaan Dan Moderasi Islam Untuk Generasi


Millenial. Jurnal Progress: Wahana Kreativitas Dan Intelektualitas, 2020.

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kamus versi online/daring (Dalam Jaringan). di
akses pada 23 September. 2023. https://kbbi.web.id/didik.

Lukman Hakim Syaifuddin, Moderasi Beragama, Badan Litbang Dan Diklat, ,


Kementerian Agama RI, Jakarta, 2019.

Muhammad Fauzinudin Faizhttps://kemenag.go.id/kolom/moderasi-beragama-


pilar-kebangsaan-dan-keberagaman-MVUb9

Wahid, Allisa dkk, Modul Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Aparatur Sipil
Negara Kementerian Agama RI, versi 4, Kelompok Kerja Moderasi Beragama
Kementerian Agama Jakarta Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI
2021
Yudi Yansyah https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/mimbar-dakwah-sesi-34-
mencintai-tanah-air-bagian-dari-iman-

Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta, Jakarta:
PT.Kompas Media Nusantara, 2010.

Inspektorat jenderal kemenkeu


https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/pedulikah-asn-dengan-
wawasan-kebangsaan-

20
KEGIATAN BELAJAR 4
IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA MELALUI
PROJECT PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA DAN
PROFIL PELAJAR RAHMATAN LIL ALAMIN (P5-PPRA)

Capaian Pembelajaran (CP)

Capaian pembelajaran pada kejiatan belajar ini dideskripsikan sebagai


berikut.

1. Menganalisis integrasi moderasi beragama dalam P5-PPRA


2. Memahami cara membangun sikap moderat melalui P5-PPRA

Tujuan Pembelajaran (TP)

Capaian pembelajaran pada kegiatan belajar ini dideskripsikan sebagai


berikut.

1. Mahasiswa dapat mengintegrasikan moderasi beragama dalam P5-


PPRA.
2. Mahasiswa dapat memahami implementasi penguatan moderasi
beragama melalui P5-PPRA

Ruang Lingkup Materi

Tema, Dimensi dan cara Menyusun Modul Projek Penguatan Profil Pelajar
Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin

Uraian Materi

Moderasi Beragama bukan hal absurd yang tak bisa diukur. Keberhasilan
Moderasi Beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat terlihat
dari tingginya empat indikator utama berikut ini:

1
1. Komitmen kebangsaan
Penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam
konstitusi:UUD 1945 dan regulasi di bawahnya.
2. Toleransi
Menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk
berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan
pendapat. Menghargaikesetaraan dan sedia bekerjasama.
3. Anti Kekerasan
Menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang
menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal,
dalam mengusung perubahan yang diinginkan.
4. Penerimaan Terhadap Tradisi
Ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku
keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama.
Kempat indikator di atas dapat dilihat pada gambar berikut. Keempat
indikator moderasi beragama tersebut terbuka dan kemungkina terdapat
indikator lainnya.

Sumber: Peta Jalan (Roadmap) Penguatan Moderasi Beragam Tahun


2020-2024

Kebijakan penguatan moderasi beragama didasarkan pada paradigma


bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlan negara sekuler yang

2
memisahkan negara dari negara dan bukan pula negara yang diatur
berdasarkan satu negara. Dalam melaksanakan penguatan moderasi
beragama maka terdapat 5 (lima) strategi yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah.
2. Penguatan harmonisasi dan kerukunan umat beragama.
3. Penyelarasan relasi agama dan budaya.
4. Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama.
5. Penguatan ekonomi dan sumber daya keagamaan.
Untuk strategi pengauatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan
tengah, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui penguatan
sistem pendidikan yang berperspektif meoderasi beragama. Penguatan yang
dapat dilaksanakan meliputi pengembangan kurikulum, materi dan proses
pembelajaran, pendidik dan tenaga kependidikan, dan rekruitmen
pendidik. Pengembangan kurikulum, baik di madrasah maupun di sekolah
dapat menjadi salah satu cara efektif dalam mentransformasi pemahaman
dan penguatan moderasi beragama di kalangan peserta didik.
Implementasi kurikulum merdeka di madrasah dan di sekolah dapat
menjadi satu strategi dalam penguatan moderasi beragama di kalangan
peserta didik dan pendidik. Implementasi ini dapat diwujudkan melalui
pelaksanaan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar
Rahmatan Lil Alamin.

Moderasi Beragama Melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila


dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin

Moderasi beragama menjadi salah satu program yang diprioritaskan


pemerintah untuk membangun kehidupan beragama yang harmonis dalam
bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara (Pokja IMA: 2019, 27). Selain
untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis melalui cara
pandang, sikap, dan praktik beragama yang moderat, moderasi beragama

3
juga menjadi dasar berpikir dalam memahami substansi ajaran agama
yang mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, kebangsaan,
kebhinnekaan, dan ketaatan pada konstitusi yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia

Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan lil Alamin yang
selanjutnya disebut profil pelajar, merupakan pelajar yang memiliki pola
pikir, bersikap dan berperilaku yang mencerminkan nilai-nilai luhur
Pancasila yang universal dan menjunjung tinggi toleransi demi
terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa serta perdamaian dunia. Profil
Pelajar juga memiliki pengetahuan dan keterampilan berpikir antara lain:
berpikir kritis, memecahkan masalah, metakognisi, berkomunikasi,
berkolaborasi, inovatif, kreatif, berliterasi informasi, berketakwaan,
berakhlak mulia, dan moderat dalam keagamaan.
Untuk mengimplementasikan Moderasi Beragama melalui Projek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin,
beberapa hal yang perlu diketahui oleh pendidik adalah sebagai berikut.
1. Memahami 6 (enam) dimensi dan nilai Profil Pelajar Pancasila.
2. Memahami 10 (sepuluh) nilai profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin
sebagai cerminan dari Moderasi Beragama.
3. Mengetahui prinsip pelaksanaan Projek Penguatan Profil Pelajar
Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin.
4. Mengetahui strategi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil
Pelajar Rahmatan Lil Alamin.
5. Memahami jumlah tema projek dalam satu tahun ajaran pada setiap
jenjang.
6. Menganalisis tema-tema utama projek penguatan profil pelajar
Pancasila pada jenjang PAUD dan SD/MI, SMP/MTs,SMA-SMK/MA-
MAK.

4
7. Memetakan tema menjadi beberapa topik yang dapat dikembangkan
menjadi kegiatan projek.
8. Menyusun modul projek yang meliputi komponen Profil Modul,
Tujuan, Aktivitas, dan Asesmen.

Dalam profil pelajar terdapat beberapa dimensi dan nilai yang


menunjukkan bahwa profil pelajar tidak hanya fokus pada kemampuan
kognitif, tetapi juga sikap dan perilaku sesuai jati diri sebagai bangsa
Indonesia sekaligus warga dunia yang:

1. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia.
Dimensi ini terdiri atas 5 elemen kunci utama: akhlak beragama, akhlak
pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam, dan akhlak kepada
bernegara.
2. Berkebhinekaan global. Elemen kunci dari berkebinekaan global meliputi
mengenal dan menghargai budaya, kemampuan komunikasi
interkultural dalam berinteraksi dengan sesama, dan refleksi dan
tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan.
3. Bergotong-royong. Elemen-elemen dari bergotong royong adalah
kolaborasi, kepedulian, dan berbagi.
4. Mandiri. Elemen kunci dari mandiri terdiri dari kesadaran akan diri dan
situasi yang dihadapi serta regulasi diri.
5. Bernalar kritis. Elemen-elemen dari bernalar kritis adalah memperoleh
dan memproses informasi dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi
penalaran, merefleksi pemikiran dan proses berpikir dalam mengambilan
keputusan.
6. Kreatif. Elemen kunci dari kreatif terdiri dari menghasilkan gagasan yang
orisinal serta menghasilkan karya dan tindakanyang orisinal serta
memiliki keluwesan berpikir dalam mencari alternatif solusi
permasalahan.

5
Keenam dimensi profil pelajar Pancasila perlu dilihat secara utuh sebagai
satu kesatuan agar setiap individu dapat menjadi pelajar sepanjang hayat
yang kompeten, berkarakter, dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila.
Pendidik perlu mengembangkan keenam dimensi tersebut secara
menyeluruh sejak pendidikan anak usia dini.
Selain itu, pelajar juga diharapkan dapat mengamalkan nilai-nilai beragama
yang moderat, baik sebagai pelajar Indonesia maupun warga dunia. Nilai
moderasi beragama ini meliputi:
1. Berkeadaban (ta’addub);
2. Keteladanan (qudwah);
3. Kewarganegaraan dan kebangsaan (muwaṭanah);
4. Mengambil jalan tengah (tawassuṭ);
5. Berimbang (tawāzun);
6. Lurus dan tegas (I’tidāl);
7. Kesetaraan (musāwah);
8. Musyawarah (syūra);
9. Toleransi (tasāmuh);
10. Dinamis dan inovatif (taṭawwur wa ibtikār).
Gambaran Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin
dapat diilustrasikan sebagai berikut.

6
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil
Alamin, merupakan sarana memberi kesempatan peserta didik untuk
“mengalami dan menyelami pengetahuan” sebagai proses penguatan
karakter sekaligus kesempatan untuk belajar dari lingkungan sekitarnya.
Dalam kegiatan projek profil pelajar ini, peserta didik memiliki kesempatan
untuk mempelajari tema-tema atau isu penting seperti perubahan iklim, anti
radikalisme, kesehatan mental, budaya, wirausaha, teknologi, dan
kehidupan berdemokrasi sehingga peserta didik dapat melakukan aksi
nyata dalam menjawab isu-isu tersebut sesuai dengan tahapan belajar dan
kebutuhannya. Projek penguatan profil pelajar diharapkan dapat
menginspirasi peserta didik untuk berkontribusi bagi lingkungan
sekitarnya.
Dalam melaksanakan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil
Pelajar Rahmatan Lil Alamin satuan pendidikan menjalankan prinsip
sebagai berikut:
1. Holistik, berarti perancangan kegiatan secara utuh dalam sebuah tema
dan melihat keterhubungan dari berbagai hal untuk memahaminya
secara mendalam.
2. Kontekstual, berarti upaya mendasarkan kegiatan pembelajaran pada
pengalaman nyata yang dihadapi dalam keseharian.
3. Berpusat pada peserta didik, berarti skenario pembelajaran mendorong
peserta didik untuk menjadi subjek pembelajaran, yang aktif mengelola
proses belajarnya secara mandiri, termasuk memiliki kesempatan
memilih dan mengusulkan topik projek sesuai minatnya.
4. Eksploratif, berarti semangat untuk membuka ruang yang lebar bagi
proses pengembangan diri dan inkuiri, baik terstruktur maupun bebas.
5. Kebersamaan, berarti seluruh kegiatan dilaksanakan secara kolaboratif
oleh warga madrasah dengan gotong royong dan saling bekerjasama.

7
6. Keberagaman, berarti seluruh kegiatan di madrasah dilaksanakan dengan
tetap menghargai perbedaan, kreatifitas, inovasi dan kearifan lokal secara
inklusif dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7. Kemandirian, berarti seluruh kegiatan di madrasah merupakan prakarsa
dari, oleh dan untuk warga madrasah.
8. Kebermanfaatan berarti, seluruh kegiatan di madrasah harus berdampak
positif bagi peserta didik, madrasah dan masyarakat.
9. Religiusitas, berarti seluruh kegiatan di madrasah dilakukan dalam
konteks pengabdian kepada Allah Swt.

Pelaksanaan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar


Rahmatan Lil Alamin, dapat dilakukan dalam 3 (tiga) strategi sebagai
berikut:
1. Berbentuk Ko-kurikuler
Projek dirancang secara terpisah dengan intrakurikuler. Projek
dilakukan dengan menggunakan beberapa tema yang telah ditentukan.
Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar RahmatanLil
Alamin dikemas dalam beberapa projek dalam satu tahun pelajaran
dengan pengalokasian waktu 20-30% dari total jam pelajaran untuk
projek.
2. Terpadu/Terintegrasi
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan
Lil Alamin dapat diintegrasikan dalam pembelajaran intrakurikuler.
Pendidik dapat merancang kegiatan secara kolaboratif dengan pendidik
pada mata pelajaran lain untuk melakukan integrasi kegiatan
pembelajaran intrakurikuler dengan capaian dimensi Profil Pelajar
Pancasila dan nilai Profil Pelajar Rahmatan lil Alamin. Kegiatan
pembelajaran integrasi ini dapat diarahkan dengan pelibatan
masyarakat dengan berbagai model pembelajaran yang berbasis
lapangan/masalah untuk memberi kesempatan peserta didik

8
mengembangkan pengetahuan keterampilan dan sikap/karakter secara
terpadu dan holistik.
3. Ekstrakurikuler
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan
Lil Alamin, dapat diintegrasikan dalam kegiatan ekstrakurikuler,
dengan sejak awal dirancang bersama antara tim penanggung jawab
projek profil bersama pembina ekstrakurikuler seperti di dalam kegiatan
pramuka, OSIS, PMR, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
Dari ketiga strategi tersebut, guru dan madrasah dapat memilih sesuai
dengan kondisi dan ketersediaan sumber daya di madrasahnya.

Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan lil
Alamin di RA difokuskan pada penanaman nilai yang dapat
diimplementasikan melalui kegiatan yang terprogram dalam proses
pembelajaran maupun pembiasaan dalam mendukung sikap-sikap moderat.
Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan lil Alamin di RA
mengajarkan pada sikap toleransi, menghargai perbedaan, cinta tanah air
dan cinta damai yang dilaksanakan dengan berbagai kegiatan.
Jumlah Projek Penguatan Profil Pelajar Pacasila dan Profil Pelajar
Rahmatan Lil Alamin yang diikuti oleh peserta didik dalam satu tahun
ajaran adalah mengikut ketentuan berikut:

Jenjang Jumlah Tema

1-2 Projek Profil dengan tema yang


PAUD/RA
berbeda
2-3 Projek Profil dengan tema yang
SD/MI/SDLB/Paket A
berbeda
SMP/MTs/ SMPLB/Paket 3-4 Projek Profil dengan tema yang
B berbeda
SMA/MA/SMALB/Paket C 3-4 Projek Profil dengan tema yang
kelas X berbeda
SMA/MA/SMALB/Paket C 2-3 Projek Profil dengan tema yang
kelas XI dan XII berbeda

9
3 projek profil dengan 2 tema pilihan dan 1
SMK/MAK kelas X
tema Kebekerjaan
2 projek profil dengan 1 tema pilihan dan 1
SMK/MAK kelas XI
tema Kebekerjaan
SMK/MAK kelas XII 1 projek profil dengan tema Kebekerjaan

Pelaksanaan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar


Rahmatan Lil Alamin di jenjang RA dilaksanakan 1-2 projek profil dalam
satu tahun pelajaran. Pada MI, MTs, MA, MAK, Projek Penguatan Profil
Pelajar Pancasila dan Rahmatan lil Alamiin menyediakan waktu 20-30%
(dua puluh sampai dengan tiga puluh persen) dari total jam pelajaran selama
1 (satu) tahun. Alokasi waktu untuk setiap projek penguatan projek profil
tidak harus sama, satu projek dapat dilakukan dengan durasi waktu yang
lebih panjang daripada projek yang lain.
Tema untuk setiap projek profil yang diimplementasikan di madrasah dan
sekolah terdapat empat tema untuk jenjang PAUD dan delapan tema untuk
SD-SMK/MI-MA dan sederajat yang dikembangkan berdasarkan isu
prioritas dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035.
Tema-tema utama projek penguatan profil pelajar Pancasila yang dapat
dipilih oleh satuan PAUD terdapat 4 (empat) adalah sebagai berikut:

Tema ini bertujuan untuk mengenalkan peserta


didik pada isu lingkungan, eksplorasi dalam
Aku Sayang Bumi mencari solusi kreatif yang dapat dilakukan oleh
"Gaya Hidup
peserta didik, serta memupuk kepedulian
Berkelanjutan”
terhadap alam sebagai perwujudan rasa sayang
terhadap ciptaan Tuhan YME.
Tema ini bertujuan agar peserta didik mengenal
identitas dan karakteristik negara, keberagaman
Aku Cinta Indonesia
"Kearifan Lokal" budaya dan ciri khas lainnya tentang Indonesia
sehingga mereka memahami identitas dirinya

10
sebagai anak Indonesia, serta bangga menjadi
anak Indonesia
Tema ini bertujuan mengajak peserta didik untuk
Kita Semua
mampu berinteraksi dengan teman sebaya,
Bersaudara
"Bhinneka Tunggal menghargai perbedaan, mau berbagi, dan mampu
Ika"
bekerja sama.
Tema ini bertujuan mengajak peserta didik belajar
mengenali dunianya melalui imajinasi, eksplorasi,
dan eksperimen. Pada tema Imajinasi dan
Imajinasi dan
Kreativitasku Kreativitasku, peserta didik distimulasi dengan
"Rekayasa dan serangkaian kegiatan yang dapat membangkitkan
Teknologi"
rasa ingin tahu, memperkaya pengalamannya dan
menguatkan kreativitasnya.

Tema-tema utama projek penguatan profil pelajar Pancasila yang dapat


dipilih untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA/MAK adalah
sebagai berikut.

Peserta didik memahami dampak aktivitas manusia,


baik jangka pendek maupun panjang, terhadap
kelangsungan kehidupan di dunia maupun
lingkungan sekitarnya. Peserta didik juga
Gaya Hidup membangun kesadaran untuk bersikap dan
Berkelanjutan
berperilaku ramah lingkungan, mempelajari potensi
krisis keberlanjutan yang terjadi di lingkungan
sekitarnya serta mengembangkan kesiapan untuk
menghadapi dan memitigasinya.
Peserta didik membangun rasa ingin tahu dan
Kearifan Lokal
kemampuan inkuiri melalui eksplorasi budaya dan

11
kearifan lokal masyarakat sekitar atau daerah
tersebut, serta perkembangannya
Peserta didik mengenal dan mempromosikan budaya
perdamaian dan anti kekerasan, belajar membangun
dialog penuh hormat tentang keberagaman serta nilai-
nilai ajaran yang dianutnya. Peserta didik juga
Bhinneka
Tunggal Ika mempelajari perspektif berbagai agama dan
kepercayaan, secara kritis dan reflektif menelaah
berbagai stereotip negatif dan dampaknya terhadap
terjadinya konflik dan kekerasan.
Peserta didik membangun kesadaran dan
keterampilan memelihara kesehatan fisik dan mental,
baik untuk dirinya maupun orang sekitarnya. Peserta
didik melakukan penelitian dan mendiskusikan
masalah-masalah terkait kesejahteraan diri (wellbeing),
Bangunlah Jiwa
dan Raganya perundungan (bullying), serta berupaya mencari jalan
keluarnya. Mereka juga menelaah masalah-masalah
yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan
fisik dan mental, termasuk isu narkoba, pornografi,
dan kesehatan reproduksi.
Peserta didik menggunakan kemampuan berpikir
sistem, menjelaskan keterkaitan antara peran individu
Suara
Demokrasi terhadap kelangsungan demokrasi Pancasila. Melalui
pembelajaran ini peserta didik merefleksikan
Peserta didik melatih daya pikir kritis, kreatif, inovatif,

Rekayasa dan sekaligus kemampuan berempati untuk berekayasa


Teknologi membangun produk berteknologi yang memudahkan
kegiatan diri dan sekitarnya. Peserta didik dapat
membangun budaya smart society dengan

12
menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat
sekitarnya melalui inovasi dan penerapan teknologi,
mensinergikan aspek sosial dan aspek teknologi.
Peserta didik mengidentifikasi potensi ekonomi di
tingkat lokal
dan masalah yang ada dalam pengembangan potensi
tersebut,
serta kaitannya dengan aspek lingkungan, sosial dan
Kewirausahaan kesejahteraan masyarakat. Melalui kegiatan ini,
kreativitas dan budaya kewirausahaan akan
ditumbuhkembangkan. Peserta didik juga membuka
wawasan tentang peluang masa depan, peka akan
kebutuhan masyarakat, menjadi problem solver yang
terampil, serta siap untuk menjadi tenaga kerja
profesional penuh integritas.

Sebelum melaksanakan Projek, setiap tema perlu dipetakan untuk menjajaki


beberapa topik yang dapat dikembangkan. Dari beberapa topik yang yang
muncul dapat dirancang beberapa kegiatan Projek sesuai dengan minat
peserta didik yang dapat mengembangkan karakter dan dimensi Profil
Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin. Pendidik dapat
menggunakan peta konsep dalam mengembangkan topik dan kegiatan
projek.

Contoh:
Tema : Aku Cinta Indonesia. Pengembangan topik dan kegiatan projek
dapat dibuat seperti peta konsep berikut.

13
Berdasarkan peta konsep di atas maka salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk menguatkan Cinta Tanah Air adalah melalui memperkenalkan
budaya lokal atau daerah. Untuk memetakan topik, guru dapat
mengembangkan topik “Mengenalkan Budaya Daerah” sebagai salah satu
kegiatan Projek yang lebih kontekstual.
Contoh pemetaan:

14
Dari contoh di atas, kegiatan Projek dapat dikembangkan menajdi beberapa
kegiatan Projek, seperti Seni Pertunjukan, Seni Rupa, dan Seni Musik. Guru
dapat menggali berbagai bentuk seni berdasarkan dengan kedekatan dan
pengalaman anak dengan menyesuaikan kondisi daerah masing masing,

Contoh pengembangan tema, topik dan kegiatan Projek untuk jenjang


SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dapat dilihßat pada tabel berikut.

Tema: Berekayasa dan Berteknologi untuk Membangun NKRI

Jenjang Fase Topik


Menciptakan berbagai mainan yang menggunakan
prinsip-prinsip fisika.
A Fokus: Akhlak bernegara
Mengenali hak dan tanggung jawabnya di rumah,
satuan pendidikan, dan lingkungan sekitar
Merancang model dan maket gedung yang
menerapkan prinsip hemat energi dan ramah
lingkungan
B
Fokus: Akhlak bernegara
SD/MI
Mengidentifikasi hak dan tanggung jawabnya di
rumah, satuan pendidikan, dan lingkungan sekitar
Menciptakan alur upcycling barang bekas menjadi
bendabenda fungsional sebagai salah satu solusi
penanganan sampah anorganik
C Fokus: Akhlak bernegara
Mengidentifikasi dan memahami peran, hak, dan
kewajiban dasar sebagai warga negara dan mulai
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari
Menciptakan sistem untuk pemanenan air hujan di
lingkungan satuan pendidikan untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari Fokus: Akhlak kepada alam
SMP/MTs D
Memahami konsep sebab-akibat di antara berbagai
ciptaan Tuhan dan mengidentifikasi berbagai
perbuatan yang mempunyai dampak langsung

15
maupun tidak langsung terhadap alam semesta, baik
positif maupun negatif
Merancang projek kebun organik yang berkelanjutan
dilengkapi dengan alur kewirausahaannya .
Fokus: Akhlak kepada alam
Mengidentifikasi masalah lingkungan hidup di tempat
SMA/MA E/F
dia tinggal dan melakukan langkah-langkah konkret
yang bisa dilakukan untuk menghindari kerusakan
dan menjaga keharmonisan ekosistem yang ada di
lingkungannya.

Untuk memudahkan guru dalam memetakan dimensi, tema, dan alokasi


waktu dalam merencanakan pelaksanaan Projek Penguatan Profil Pelajar
Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin, guru dapat membuat
tabel seperti berikut ini.

Projek 1 Projek 2 Projek 3

Dimensi P5 Berkebinekaan Berkebinekaan Bergotong-


Global Global Royong
Bergotong- Bergotong- Bernalar Kritis
Royong Royong
Bernalar Kritis

Dimensi PPRA Berkeadaban- Toleran-Dinamis Dinamis,


Keteladanan Inovatif Inovatif,
Keteladanan

Tema* Kearifan Lokal Bhinneka Kewirausahaan


Tunggal Ika

Subtema/Topik …. …. …

Alokasi 100 JP 120 JP 140 JP


Waktu**

16
Dalam melaksanakan Projek, satuan pendidikan atau madrasah perlu
menyusun Modul Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil
Pelajar Rahmatan Lil Alamin. Modul ini berisi tujuan, langkah, media
pembelajaran, dan asesmen yang dibutuhkan untuk melaksanakan projek.
Pendidik memiliki keleluasaan untuk membuat sendiri, memilih dan
memodifikasi modul projek sesuai dengan konteks, karakteristik, serta
kebutuhan peserta didik. Adapun komponen modul adalah sebagai berikut:

Komponen Uraian
• Tema dan topik atau judul modul
Profil Modul • Fase atau jenjang sasaran
• Durasi kegiatan
• Pemetaan dimensi, elemen, sub elemen dan
nilai Rahmatan Lil Alamin
Tujuan
• Rubrik pencapaian berisi rumusan kompetensi
yang sesuai dengan fase peserta didik
• Alur aktivitas projek profil secara umum
Aktivitas • Penjelasan detail tahapan kegiatan dan
asesmennya
• Instrumen pengolahan hasil asesmen untuk
Asesmen
menyimpulkan pencapaian projek profil

Tujuan projek dilakukan dengan cara menentukan elemen, sub elemen


dalam Profil Pelajar Pancasila dan nilai-subnilai pada Profil Pelajar
Rahmatan Lil Alamin sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta
didik. Setelah menentukan dimensi, elemen, sub elemen Profil Pelajar
Pancasila dan nilai sub nilai Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin, selanjutnya
dapat menentukan capaian berdasarkan fase perkembangan belajar (learning
progression) yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik.
Dengan ketentuan:
1. Untuk capaian fase pada dimensi, elemen, sub elemen projek penguatan
profil pelajar Pancasila mengikuti Kemdikbud Ristek dalam hal ini alur
perkembangan dimensi yang termuat dalam Keputusan Kepala Badan

17
Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi tentang Dimensi,
Elemen, Dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila Pada Kurikulum
Merdeka.
2. Adapun capaian perkembangan nilai dan subnilai Profil Pelajar
Rahmatan Lil Alamin (learning progression) diatur dalam ketentuan yang
dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI.

Untuk mengetahui ketercapaian tujuan projek, pendidik merancang


dan menyusun rubrik pencapaian. Dalam merancang rubrik pencapaian
maka cara yang dilakukan adalah:
1. Rumusan kompetensi yang sesuai dengan fase perkembangan peserta
didik dijadikan sebagai tujuan projek.
2. Rumusan kompetensi yang sesuai dengan fase perkembangan peserta
didik tersebut juga dimasukkan ke dalam kategori Mulai dan Sedang
Berkembang, sementara rumusan fase setelahnya dimasukkan ke dalam
kategori sangat berkembang.
Dalam proses kegiatan projek profil pelajar maka mendokumentasikan
kegiatan projek menjadi bagian yang sangat penting, adapun media untuk
mendokumnetasikan projek adalah sebagai berikut:

18
Setelah mengumpulkan dokumentasi belajar peserta didik seiring proses
hingga akhir pembelajaran, tim fasilitator dapat mengolah hasil asesmen
untuk menentukan pencapaian peserta didik secara menyeluruh. Dalam
prosesnya, tim fasilitator dapat mengembangkan beragam strategi dengan
menggunakan bentuk dan instrumen asesmen yang bervariasi.
Hasil penilaian disusun dalam bentuk rapor Rapor Projek Profil Pelajar.
Rapor bersifat informatif dalam menyampaikan perkembangan peserta
didik, meskipun ada beberapa disiplin ilmu terintegrasi dalam projek profil,
namun bagian projek profil fokus pada keterpaduan pembelajaran dan
perkembangan karakter dan kompetensi sesuai profil pelajar. Penulisan
deskripsi proses peserta didik benar-benar fokus pada hal unik dan
istimewa yang layak direfleksikan, misalnya situasi di mana peserta didik
mengambil keputusan yang bijak, perkembangan suatu karakter yang
sangat nyata dalam kurun waktu tertentu, dsb. Penilaian dalam rapor projek
profil pelajar memadukan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai
suatu kesatuan yang utuh.

19
Referensi

Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian


Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Repulik Indonesia, 2022.
Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.

Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian


Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Repulik Indonesia, 2022.
Dimensi, Elemen, Subelemen Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum
Merdeka.

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI:


Moderasi Beragama Berlandaskan Nilai-nilai Islam (Buku 1):

Direktorat KSKK Madrasah Direktorak Jenderal Pendidikan Islam


Kementerian Agama RI, 2022. Panduan Pengembangan Projek Pengauatan
Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin.

Direktorat Jenderak Guru dan Tenaga Kependidikan. 2022. Pedoman


Pengelolaan Narasumber Praktik Baik Implementasi Kurikulum Merdeka.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Repulik
Indonesia

Kementerian Agama RI. 2019. Tanya Jawab Moderasi Beragama.


Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 347 Tahun
2022 Tentang Pedoman Implementasi Kurikulum Merdeka Pada Madrasah.

Modul Lokakarya Pendidikan Profesi Guru Kementerian Agama RI.

Sufyadi, S. dkk. 2021. Panduan Pengembangan Projek Penguatan


Profil Pelajar Pancasila Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Pusat
Asesmen dan Pembelajaran Badan Penelitian dan Pengembangan dan
Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Sulistyati, DM., Wahyaningsi, S. dan Wijania, W. 2021. Buku Panduan


Guru Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi Repulik Indonesia.

Sunarti, Afiif, A., Rahman, U. 2023. Pengaruh Penerapan Metode


Proyek Profil Pelajar Pancasila Dalam Mengembangkan Kreativitas Anak
Usia 5-6 Tahun Di TK Tanrara Kec. Bontonompo Selatan Kab. Gowa.
Laporan Penelitian.

20
Tim Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kemanterian Agama RI.
2020. Peta Jalan (Roadmap) Penguatan Moderasi Beragam Tahun 2020-2024.
Kementerian Agama RI.

Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. Moderasi Beragama.


Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Sumber Video:

1. https://www.youtube.com/watch?v=fQewuN3N5MA
2. https://www.youtube.com/watch?v=kGXFwji46q8

Sumber Artikel/Jurnal:

1. QuranicEdu: Journal of Islamic Education Vol. 2, No. 2, 2023. Journal


Homepage: https://jurnalannur.ac.id/index.php/QuranicEdu

Muhammad Mufid. Penguatan Moderasi Beragama Dalam Proyek Profil


Pelajar Rahmatan Lil ‘Alamin Kurikulum Merdeka Madrasah.

2. https://jurnal.umsu.ac.id/index.php/JMP-DMT/article/view/15162

Solichah, IW., dan Susilawati, S. Strategi Implementasi Proyek Penguatan


Profil Pelajar Pancasila di MTS Almarif 01 SingosariMalang.

21

You might also like