You are on page 1of 8

Gambut

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lainnya, lihat gambut (disambiguasi).

Bog, lahan bergambut di Transilvania

Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tetumbuhan yang
setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi[1]. Tanah yang
terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat;
dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti
bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari
bahasa daerah Banjar.

Sebagai bahan organik, gambut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Volume
gambut di seluruh dunia diperkirakan sejumlah 4 trilyun m³, yang menutupi wilayah
sebesar kurang-lebih 3 juta km² atau sekitar 2% luas daratan di dunia, dan mengandung
potensi energi kira-kira 8 miliar terajoule[2].

Daftar isi
 1 Agihan geografis
 2 Pembentukan gambut
 3 Gambut sebagai sumber energi
o 3.1 Gambut di Indonesia
 4 Lihat pula
 5 Rujukan
 6 Pranala luar

Agihan geografis
Deposit gambut tersebar di banyak tempat di dunia, terutama di Rusia, Belarusia,
Ukraina, Irlandia, Finlandia, Estonia, Skotlandia, Polandia, Jerman utara, Belanda,
Skandinavia, dan di Amerika Utara, khususnya di Kanada, Michigan, Minnesota,
Everglades di Florida, dan di delta Sungai Sacramento-San Joaquin di Kalifornia.
Kandungan gambut di belahan bumi selatan lebih sedikit, karena memang lahannya lebih
sempit; namun gambut dapat dijumpai di Selandia Baru, Kerguelen, Patagonia
selatan/Tierra del Fuego dan Kepulauan Falkland.

Sekitar 60% lahan basah di dunia adalah gambut; dan sekitar 7% dari lahan-lahan gambut
itu telah dibuka dan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian dan kehutanan. Manakala
kondisinya sesuai, gambut dapat berubah menjadi sejenis batubara setelah melewati
periode waktu geologis.

Pembentukan gambut

Pemanenan tanah gambut di Frisia Timur, Jerman

Gambut terbentuk tatkala bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat


pembusukannya, biasanya di lahan-lahan berawa, karena kadar keasaman yang tinggi
atau kondisi anaerob di perairan setempat. Tidak mengherankan jika sebagian besar tanah
gambut tersusun dari serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan
kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya membusuk. Kadang-kadang ditemukan pula,
karena ketiadaan oksigen bersifat menghambat dekomposisi, sisa-sisa bangkai binatang
dan serangga yang turut terawetkan di dalam lapisan-lapisan gambut.

Lazimnya di dunia, disebut sebagai gambut apabila kandungan bahan organik dalam
tanah melebihi 30%; akan tetapi hutan-hutan rawa gambut di Indonesia umumnya
mempunyai kandungan melebihi 65% dan kedalamannya melebihi dari 50cm. Tanah
dengan kandungan bahan organik antara 35–65% juga biasa disebut muck.[1]

Pertambahan lapisan-lapisan gambut dan derajat pembusukan (humifikasi) terutama


bergantung pada komposisi gambut dan intensitas penggenangan. Gambut yang terbentuk
pada kondisi yang teramat basah akan kurang terdekomposisi, dan dengan demikian
akumulasinya tergolong cepat, dibandingkan dengan gambut yang terbentuk di lahan-
lahan yang lebih kering. Sifat-sifat ini memungkinkan para klimatolog menggunakan
gambut sebagai indikator perubahan iklim pada masa lampau. Demikian pula, melalui
analisis terhadap komposisi gambut, terutama tipe dan jumlah penyusun bahan
organiknya, para ahli arkeologi dapat merekonstruksi gambaran ekologi pada masa purba.

Pada kondisi yang tepat, gambut juga merupakan tahap awal pembentukan batubara.
Gambut bog yang terkini, terbentuk di wilayah lintang tinggi pada akhir Zaman Es
terakhir, sekitar 9.000 tahun yang silam. Gambut ini masih terus bertambah ketebalannya
dengan laju sekitar beberapa milimeter setahun. Namun gambut dunia diyakini mulai
terbentuk tak kurang dari 360 juta tahun silam; dan kini menyimpan sekitar 550 Gt
karbon.[3]

Gambut sebagai sumber energi


Gambut itu lunak dan mudah untuk ditekan. Bila ditekan , kandungan air dalam gambut
bisa dipaksa untuk keluar. Bila dikeringkan , gambut bisa digunakan sebagai bahan bakar
sumber energi. Gambut adalah bahan akar penting dinegara negara dimana pohon langka
seperti Irlandia dan Skotlandia, secara tradisional gambut digunakan untuk memasak dan
pemanas rumah tangga . Secara modern, gambut dipanen dalam sekala industri dan
dipakai untuk bahan bakar pembangkit listrik. Pembangkit listrik tenaga gambut terbesar
ada di Finlandia (Toppila Power Station) sebesar 190 MW.[4]

Gambut di Indonesia

Luas lahan gambut di Sumatra diperkirakan berkisar antara 7,3–9,7 juta hektare atau kira-
kira seperempat luas lahan gambut di seluruh daerah tropika. Menurut kondisi dan sifat-
sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas gambut topogen dan gambut ombrogen.[1]

Gambut topogen ialah lapisan tanah gambut yang terbentuk karena genangan air yang
terhambat drainasenya pada tanah-tanah cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di
pegunungan. Gambut jenis ini umumnya tidak begitu dalam, hingga sekitar 4 m saja,
tidak begitu asam airnya dan relatif subur; dengan zat hara yang berasal dari lapisan tanah
mineral di dasar cekungan, air sungai, sisa-sisa tumbuhan, dan air hujan. Gambut topogen
relatif tidak banyak dijumpai.[1]

Gambut ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua gambut ombrogen bermula
sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua umurnya, pada umumnya lapisan
gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan permukaan tanah gambutnya lebih
tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya. Kandungan unsur hara tanah sangat
terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut dan dari air hujan, sehingga tidak subur.
Sungai-sungai atau drainase yang keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air
yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung banyak asam humus dan warnanya
coklat kehitaman seperti warna air teh yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai
semacam itu disebut juga sungai air hitam.[1]
Gambut ombrogen kebanyakan terbentuk tidak jauh dari pantai. Tanah gambut ini
kemungkinan bermula dari tanah endapan mangrove yang kemudian mengering;
kandungan garam dan sulfida yang tinggi di tanah itu mengakibatkan hanya sedikit
dihuni oleh jasad-jasad renik pengurai. Dengan demikian lapisan gambut mulai terbentuk
di atasnya. Penelitian di Sarawak memperlihatkan bahwa gambut mulai terbentuk di atas
lumpur mangrove sekitar 4.500 tahun yang lalu[5]; pada awalnya dengan laju penimbunan
sekitar 0,475 m/100 tahun (pada kedalaman gambut 10–12 m), namun kemudian
menyusut hingga sekitar 0,223 m/100 tahun pada kedalaman 0–5 m[6] Agaknya semakin
tua hutan di atas tanah gambut ini tumbuh semakin lamban akibat semakin berkurangnya
ketersediaan hara.

Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dibangun di atas lahan gambut ombrogen.

Tipelogi Hutan Indonesia


Dilihat dari keanekaragamannya hutan dapat kita digolongkan kedalam beberapa bentuk,
hal ini untuk mempermudah bagi tujuan pengelolaan hutan, adapun pembagian tersebut
menurut hal-hal berikut ini : susunan jenis; kerapatan tegakan; komposisi umur; dan tipe
hutan. Di Indonesia cara yang lebih lazim digunakan untuk tipe hutan ialah pembagian
besar berdasarkan formasi hutan, yaitu suatu kelompok vegetasi yang mempunyai bentuk
(life form) yang sama. Didasarkan faktor edafis dan iklim, ekosistem hutan Indonesia
dapat dibedakan menjadi :

Daftar isi
[sembunyikan]
 1 Hutan Payau (mangrove forest)
 2 Hutan Pantai (coastal forest)
 3 Hutan Rawa (swamp forest)
 4 Hutan Gambut (peat swamp forest)
 5 Hutan Kerangas
 6 Hutan Hujan Tropika (tropical rain forest)
 7 Hutan Musim (monsoon forest)
 8 Hutan Tanah Kapur (Karst)
 9 Hutan Tepi Sungai (riparian forest)

 10 Hutan Savana

Hutan Payau (mangrove forest)


Hutan Payau
Dapat dijumpai tersebar di se-panjang pantai yang berlumpur dan dipengaruhi pasang
surut air laut dengan luas + 2.450.185 hektar (Wetland, 2002; dalam BAPENAS, 2004).

Ciri umum ekosistem ini adalah :

1. Tidak terpengaruh iklim;


2. Terpenga-ruh pasang surut;
3. Tanah tergenang air laut, tanah lum-pur atau pasir, terutama tanah liat;
4. Tanah rendah pantai;
5. Hutan tidak mempunyai strata tajuk;
6. Tinggi pohon dapat mencapai 30 m; dan
7. Tumbuh di pantai merupakan jalur.

Hutan Pantai (coastal forest)


Hutan pantai, menyebar di sepanjang pantai yang tidak tergenang oleh pasang surut air
laut dengan luas + 3,3 juta hektar. Ciri umum ekosistem ini antara lain adalah : 1) Tidak
terpengaruh iklim; 2) Tanah kering (tanah pasir, berbatu karang, lempung); 3) Tanah
rendah pantai; 4) Pohon kadang-kadang ditumbuhi epyphit; dan 5) dapat dijumpai
terutama di pantai selatan P. Jawa, pantai barat daya Sumatera dan pantai Sulawesi.
Berdasarkan susunan vegetasinya, ekosistem hutan pantai dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu formasi Pres-Caprae dan formasi Baringtonia.

1. Formasi Pres-Caprae; Pada formasi ini, tumbuhan yang dominan adalah Ipomeea
pres-caprae, tumbuhan lainnya adalah Vigna, Spinifex littoreus (rumput angin),
Canavalia maritime, Euphorbia atoto, Pandanus tectorius (pandan), Crinum
asiaticum (bakung), Scaevola frutescens (babakoan).
2. Formasi Baringtonia; Vegetasi dominan adalah pohon Baringtonia (butun),
tumbuhan lainnya adalah Callophylum inophylum (nyamplung), Erythrina,
Hernandia, Hibiscus tiliaceus (waru laut), Terminalia catapa (ketapang).
Hutan Rawa (swamp forest)

Hutan Rawa
Menyebar sepanjang muara sungai yang selalu atau berkala dipengaruhi limpasan air dari
sungai dan air hujan dengan luas + 5.185.500 hektar (BAPPENAS, 2004).

Ciri umum hutan ini antara lain adalah : 1) Tidak terpengaruh iklim; 2) Tanah tergenang
air tawar; 3) Umumnya terdapat di belakang hutan payau; 4) Tanah rendah; 5) Tajuk
terdiri dari beberapa strata; 6) Pohon dapat mencapai tinggi 50 - 60 m; dan 7) umumnya
dapat dijumpai di Sumatera dan Kalimantan mengikuti sungai-sungai besar.

Hutan Gambut (peat swamp forest)

Hutan Gambut
Umumnya dapat dijumpai di daerah tanah bergambut dengan luas + 16.973.000 hektar
(Wetland, 2002; dalam BAPENAS, 2004) . Ciri umum ekosistem hutan ini antara lain
adalah : 1) Iklim selalu basah; 2) Tanah tergenang air gambut, lapisan gambut 1 - 20 m;
3) Tanah rendah rata; dan 4) umumnya dapat dijumpai di Kalimantan Barat dan Tengah,
Sumatera Selatan dan Jambi.

Spesies yang terpenting adalah Gonystylus bancanus di Kalimantan dan Camnospermae


macrophylum di Sumatera.

Hutan Kerangas
Hutan Kerangas
Umumnya tumbuh diatas tanah podsol, tanah pasir dan keras yang sarang, miskin hara
dan pH rendah. Ciri umum ekosistem ini antara lain adalah : 1) Iklim selalu basah; 2)
Tanah pasir, podsol; dan 3) Tanah rendah rata.

Hutan Hujan Tropika (tropical rain forest)


Terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A atau B, yaitu iklim yang selalu basah,
tanah podsol, latosol, aluvial, dan regosol, darainase tanah baik, terletak jauh dari pantai.
Tegakan didomonasi oleh pohon-pohon yang selalu hijau, dan tidak menggugurkan daun.
Berdasarkan ketinggian tempatnya dari permukaan laut, tipe hutan ini dibagi menjadi tiga
zona yaitu:
Zona I : 0-1000 m dpl hutan hujan bawah dengan luas + 65,4 juta hektar,
Zona II : 1000-3300 m dpl hutan hujan tengah dengan luas + 10 juta hektar,
Zona III : 3300-4100 m dpl dinamakan hutan hujan atas dengan luas + 3 juta hektar

Hutan Musim (monsoon forest)


Pohon-pohonnya tahan dari kekeringan dan termasuk tumbuhan tropofit, artinya mampu
beradaptasi terhadap keadaan kering dan keadaan basah pada saat musim kemarau
(kering), daunnya meranggas, sebaliknya saat musim hujan, daunnya lebat. Hutan musim
biasa diberi nama sesuai dengan tumbuhan yang dominan, misalnya: hutan jati, hutan
angsana. Di Indonesia, hutan musim dapat ditemukan di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur, terdiri dari :

1. hutan musim bawah terdapat pada ketinggian 2 - 1000 m dpl. Dengan luas +
17.000 hektar; dan
2. hutan musim tengah atas pada ketinggian 1000 - 4000 m dpl.

Hutan Tanah Kapur (Karst)

Hutan Tanah Kapur


Terdapat ditanah kapur dengan areal cukup luas sekitar 7,9 juta hektar. Pada kondisi
hutan ini biasanya jarang terdapat tanaman, sebab kondisi tanah yang ada tidak mampu
menyimpan air dengan baik.

Hutan Tepi Sungai (riparian forest)

Hutan Tepi Sungai


Arealnya menyebar sepanjang sungai besar, dan vegetasinya merupakan vegetasi rawa
musiman, luas areal sekitar 1,1 juta hektar.

Tepe hutan seperti ini terdapat diseluruh kawasan perairan sungai yang ada di Indonesia,
dan vegetasi yang tumbuh pada daerah ini lebih baik dan subur.

Hutan Savana

Hutan Savana
Berada pada tanah jenis mediteran, regosol dan grumosol dengan tipe hujan E dan F.
Adapun luasnya diperkirakan mencapai 2,7 juta hektar. Tipe hutan ini hampir menyebar
di seluruh kawasan indonesia.
Kategori: Lingkungan | Hutan

Navigasi
 Halaman Utama

You might also like