You are on page 1of 13

PEMELIHARAAN ANAK DALAM ISLAM

NAMA: NADYA ROZATIARA LARASATI EFENDI


NIM: 616081521011
PRODI: S1 GIZI
DOSEN: AL-MALIK

MAKALAH AGAMA
INTITUT KESEHATAN MITRA BUNDA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan saya karunia nikmat
dan kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini, dan terus dapat menimba ilmu di
Institut Kesehatan Mitra bunda .

Penulisan makalah ini merupakan sebuah tugas dari dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan pada
mata kuliah yang sedang dipelajari, agar kami semua menjadi mahasiswa yang berguna bagi
agama, bangsa dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini saya menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini saya sangat berharap perbaikan, kritik dan saran
yang sifatnya membangun apabila terdapat kesalahan.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi saya sendiri
umumnya para pembaca makalah ini.

Terima kasih, wassalamu’ alaikum.

Batam, 03 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

COVER...................................................................................................................1

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................................3

BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang............................................................................................................4
....................................................................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................................4

BAB II
PEMBAHASAN..........................................................................................................................5
2.1 Pemeliharaan anak dalam hukum islam......................................................................5

2.2 Pembuktian dalam berperkara di peradilan agama.....................................................5

BAB III
PENUTUP....................................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................9
3.2 Saran............................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, bahkan anak
dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan
harta benda lainnya. Anak sebagai amanah Allah SWT harus senantiasa dijaga
dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga,
masyarakat,Pemerintah, dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
secara
terus menerus demi terlindungnya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut
harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin penumbuhan dan perkembangan
anak baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan
untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai
penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang
dijiwai oleh akhlak mulia dan pancasila serta berkemauan keras menjaga
kesatuan dan persatuan bangsa. Untuk memelihara, merawat, dan mendidik anak diperlukan
kesabaran,kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang sehingga seseorang tidak
diperbolehkan mengeluh dalam menghadapi berbagai persoalan mereka.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Masalah yang paling dominan yang selalu dibicarakan tentang masalah mengasuh anak
(Hadhonah) dalam rangka memelihara dan menjaga kelangsungan dan kelestarian kehidupan
bayi yang baru lahir. Hadhonah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mampu
mengurus kehidupannya sendiri dengan menyediakan sesuatu untuk kesejahteraan dan
kemaslahatannya, menjaga dari sesuatu yang menyakitinya dan membahayakannya,
mendidik dan membina jasmani dan rohaninya, melatih akalnya agar mampu berdiri sendiri
untuk menghadapi hidup dan kehidupan serta memikul tanggung jawab.

1.3 TUJUAN
1. Menjelaskan bagaimana pelaksanaan hak hadhanah anak
2. Menjelaskan bagaimana tinjauan maslahah mursalah terhadap hak hadhanah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PEMELIHARAAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM


1. Pengertian pemeliharaan anak.

Dalam istilah fiqih digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama
yaitu “Kaffalah” dan Hadhonah”. Yang dimaksud dengan Hadhonah atau Kaffalah
dalam arti sederhana ialah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang lebih
lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus
perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqih karena secara praktis antara suami dan
isteri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah
atau ibunya.

2. Dasar hukum pemeliharaan anak dalam islam


Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumya adalah wajib,
sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan.
Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak
dan isteri. Dalam firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 233

۞ ‫َو اْلَو اِلٰد ُت ُيْر ِض ْع َن َاْو اَل َد ُهَّن َح ْو َلْيِن َك اِم َلْيِن ِلَم ْن َاَر اَد َاْن ُّيِتَّم الَّر َض اَع َةۗ َو َع َلى اْلَم ْو ُلْو ِد َلٗه ِر ْز ُقُهَّن َو ِكْس َو ُتُهَّن‬
‫ِباْلَم ْع ُرْو ِۗف اَل ُتَك َّلُف َنْفٌس ِااَّل ُو ْس َعَهاۚ اَل ُتَض ۤا َّر َو اِلَد ٌةۢ ِبَو َلِد َها َو اَل َم ْو ُلْو ٌد َّلٗه ِبَو َلِدٖه َو َع َلى اْلَو اِر ِث ِم ْثُل ٰذ ِلَك ۚ َفِاْن َاَر اَدا ِفَص ااًل َع ْن‬
‫“ َتَر اٍض ِّم ْنُهَم ا َو َتَش اُو ٍر َفاَل ُجَناَح َع َلْيِهَم اۗ َو ِاْن َاَر ْد ُّتْم َاْن َتْسَتْر ِض ُع ْٓو ا َاْو اَل َد ُك ْم َفاَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِاَذ ا َس َّلْم ُتْم َّم ٓا ٰا َتْيُتْم ِب‬Para ibu
hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara
sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena
anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun
(berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapi dengan persetujuan dan
permusyawaratan antara keduanya maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran
dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan.”
Hal ini menjelakan bahwa anak yang dapat diurus dan dipelihara adalah anak yang berumur
dibawah 21 tahun. Berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 UU No.1 Tahun 1974, bahwa anak yang
belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tua atau walinya selama kekuasaan orang tuanya tidak dicabut.
Menurutbeberapa imam mazhab:
a. Imam Syafi’i dan Ishak berpendapat bahwa lama masa mengasuhadalah 7 tahun atau delapan
tahun.
b. Ulama Hanafiah dan Ats-Tsauri berpendapat bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki
sampai ia pandai makan sendiri dan berpakaian sendiri, sedangkan perempuan sampai ia haid.
Sesudah itu baru ayahnya berhak dengan keduanya.
c. Imam Malik berpendapat bahwa ibu berhak mengasuh anak perempuan sampai ia menikah.
Sedangkan bapak berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia balig

3. Rukun dan Syarat

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun
dalam hukumnya yaitu orang tua yang mengasuh disebut “Hadhin” dan anak yang diasuh
“Mahdun”. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan syahnya
tugas pengasuhan itu. Syarat-syarat orang yang melakukan Hadhonah itu ialah :

1) berakal sehat,

2) dewasa dan mampu mendidik anak kecil,

3) dapat dipercaya untuk merawat dan mendidik anak,

4) beragama Islam,
5) wanita itu belum kawin lagi dengan orang lain (yang tidak ada hubungan kekerabatan
dengan bekas suaminya/ayah si anak). Nabi bersabda : “Kamu lebih berhak untuk melakukan
hadhonah selama kamu belum kawin”. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
6) Merdeka. Menurut jumhur ulama, sebab hamba sahaya akan sibuk dengan urusan
tuanya. Menurut Ibnul Qayyim alasan pendapat jumhur ini tidak tepat. Menurut Malik boleh
hamba sahaya melakukan hadhonah artinya ia lebih berhak daripada bapaknya selama hamba
sahaya itu tidak dijual.

4. Siapakah yang Berhak melakukan Hadhonah

Hadhonah atau mengasuh anak pada hakikatnya merupakan tanggung jawab kedua orang tua,
baik ibu maupun bapak, mengingat bahwa anak adalah hasil dari perkawinan keduanya. Akan
tetapi apabila kedua orang tuanya bercerai, maka dalam pemeliharaan anak ini Islam telah
mengaturnya dengan baik, demi kepentingan dan kemaslahatan anak itu sendiri, agar ia tidak
terombang ambing kesana kemari, yang paling berhak melakukan hadhonah adalah ibu. Dalam
hubungan ini Rasulullah SAW bersabda kepada seorang ibu, “Engkau lebih berhak terhadapnya
selama engkau belum kawin lagi (dengan laki-laki lain). (H. Ahmad dan Abu Daud). Hadits ini
disabdakan Rasulullah SAW ketika ada seorang wanita yang telah diceraikan suaminya melapor
kepada Rasulullah SAW bahwa bekas suaminya akan mengambil bayi buah hatinya yang lahir
dari hasil perkawinannya itu.
Hadits di atas menunjukkan bahwa ibu lebih berhak untuk melakukan hadhonah terhadap
anaknya daripada bapaknya. Sebab secara naluri ibu lebih sabar, lebih sayang, lembut, lebih
banyak mempunyai waktu dan kemampuan untuk mengasuh dan merawat anaknya.
Diriwayatkan bahwa Umar menceraikan isterinya salah seorang wanita Anshar. Dari perkawinan
itu lahirlah seorang anak yang bernama “Ashim”. Bekas isteri Umar tersebut sudah kawin lagi
dengan orang lain. Pada suatu hari Umar melihat Ashim di tengah jalan, ia langsung
mengambilnya karena rindunya. Maka terjadilah sengketa antara Umar dan bekas isterinya itu
(ibu Ashim) memperebutkan Ashim. Sampai hal itu kepada khalifah Abu Bakar. Akhirnya
khalifah Abu Bakar memutuskan bahwa yang berhak merawat dan mengasuh anak itu adalah
ibunya. Beliau berkata bahwa ibunya lebih pengasih, lebih sayang, lebih sabar, lebih telaten,
lebih lembut dan lebih baik.
Apabila ibu tidak dapat melakukan hadhonah, maka kerabat lebih berhak melakukan hadhonah
dengan urutan sebagai berikut : 1) nenek dari pihak ibu (ke atas), 2) nenek dari pihak ayah (ke
atas), 3) saudara perempuan seayah seibu, 4) saudara perempuan seibu, 5) saudara perempuan
seayah, 6) anak perempuan saudara perempuan seayah seibu, 7) anak perempuan saudara
perempuan seibu, 8) anak perempuan saudara perempuan seayah, 9) saudara perempuan ibu yang
seayah dan seibu, 10) saudara perempuan ibu yang seibu, 11) saudara perempuan ibu yang
seayah, 12) anak perempuan saudara laki-laki seayah seibu, 13) anak perempuan saudara laki-
laki seibu, 14) anak perempuan saudara laki-laki seayah, 15) saudara perempuan bapak yang
seayah seibu, 16) saudara perempuan bapak yang seibu, 17) saudara perempuan bapak yang
seayah, 18) dan seterusnya. Apabila wanita-wanita tersebut tidak ada, yang berhak melakukan
hadhonah adalah ayah, kemudian kakek ke atas, saudara lelaki kandung, saudara lelaki seayah,
anak saudara lelaki seayah seibu, anak saudara lelaki seayah, paman seibu, dan paman seayah.

5. Batas atau Masa Berlangsung Hadhonah

Dalam hal ini ulama berbeda pendapat sebagai berikut :

1. Pendapat Hanafiyah: Lamanya 9 tahun atau setelah haidh bagi anak perempuan atau
setelah sampai pada tingkat syahwat. Bila anak telah berumur 9 tahun atau bagi anak
perempuan sudah haidh, atau sudah sampai tingkat syahwat, ayah hendaklah
mengambilnya.

2. Pendapat Imam Syafi’i: Tidak ada batas waktu tertentu. Apabila anak kecil telah
mampu membedakan mana ayah dan mana ibunya, anak tersebut disuruh memilih antara
keduanya, atau antara ayah dan yang berhak melakukan hadhonah. Bila anak tersebut
tidak memilih salah satunya, hak hadhonah jatuh pada ibunya.
3. Pendapat Imam Maliki: Sejak kecil sampai baligh (dewasa) sekalipun setelah baligh
anak tersebut menjadi gila, namun bapak tetap wajib memberikan nafkah kepadanya,
demikian apabila anak tersebut lelaki. Bila perempuan masa hadhonah berlangsung
sehingga anak itu dikawinkan.

4. Pendapat Imam Hambali: Masa hadhonah, baik untuk anak laki-laki maupun
perempuan adalah 7 tahun. Apabila kedua orang tuanya berselisih, anak itu disuruh
memilih salah satu antara kedua orang tuanya.

5. Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa masa hadhonah tidak mempunyai batas
tertentu. Yang dipakai ukurannya ialah bila anak itu tidak memerlukan lagi pelayanan
dari seorang ibu atau wanita, telah mampu mengurus diri sendiri dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya, seperti: makan, mandi, berpakaian, mencuci dan lain-lain.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Ayat 1 : Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
melangsungkan perkawinan.

Ayat 2 : Orang tuanya mewakili anak tersebut mengerti segala perbuatan hukum di dalam
diluar pengadilan.

Ayat 3 : Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

2.2 Pembuktian dalam Berperkara di Peradilan Agama

1. Asas hukum acara perdata di Pengadilan Agama Dalam hukum acara perdata di Pengadilan
Agama terdapat beberapa asas yaitu :
a. Asas umum 1) Asas kebebasan Pengadilan (Hakim) dalam menjalankan tugasnya (memeriksa,
mengadili atau memutus perkara) tidak dipengaruhi atau diintervensi oleh siapapun. Hakim harus
bersifat indenpenden. Kebebasan Hakim meliputi bebas dari campur tangan pihak kekuasaan
lain, bebas dari paksaan dan rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial, bebas melakukan
judicial yang dibatasi oleh Undang-Undang.
2) Asas wajib mendamaikan
a) Penyelesaian perkara dengan perdamaian lebih utama daripada melalui putusan Hakim.
b) Berdasarkan Pasal 130-131 HIR, Hakim diawal persidangan wajib berusaha mendamaikan
masing-masing pihak yang bersengketa.
c) Upaya mendamaikan secara formal dilakukan melalui mediasi.
d) Berdasarkan Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974, Pasal 82 dan 83 UUPA No.7 Tahun 1989, dalam
perkara perceraian, usaha mendamaikan dilakukan setiap kali sidang pemeriksaan selama
perkara sebelum diputus.
e) Jika terjadi perdamaian, Hakim membuat akta perdamaian dan putusan damai tidak dapat
diajukan banding atau diajukan kembali dalam perkara yang sama.
f) Apabila asas ini dilanggar maka putusan Hakim ini akan dibatalkan demi hukum.
3) Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan.
4) Asas persidangan terbuka untuk umum Pemeriksaan dalam persidangan harus terbuka. Semua
orang boleh menyaksikan proses jalannya persidangan (fair trail) agar terhindar dari persidangan
dan putusan yang tersembunyi. Asas 31 ini tidak berlaku untuk perkara perceraian (lex spiciais
drogat lex general) ketika masalah perceraian untuk menjaga privatisasi. Namun sidang bersifat
terbuka ketika pembacaan putusan. Akibat hukum adanya pelanggaran ini adalah putusan Hakim
batal demi hukum.
5) Asas legalitas atau mengadili menurut hukum Peradilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membedabedakan orang. Asas legalitas ini mengandung prinsip equality yaitu persamaan
hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan, persamaan hak perlindungan
hukum, dan persamaan mendapat perlakuan di bawah hukum.
6) Asas aktif memberi bantuan (formal) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan.

b. Asas khusus
Asas personalitas ke-Islam-an
1) Pengadilan agama berwenang mengadili Rakyat Indonesia yang beragama Islam.
2) Pengadilan agama berwenang mengadili perkara perdata tertentu berdasarkan Hukum Islam
(kewenangan mutlak /absolut competentie)
3) Dalam perkara perkawinan, dasar yang dipakai adalah Hukum Islam.
4) Dalam perkara ekonomi, Hukum Islam dipakai pada waktu dilakukan ikatan perjanjian.
5) Dalam perkara wakaf, zakat, dan waris Hukum Islam dipakai pada waktu kematian atau
terjadi pemindahan harta.
3. Pengertian pembuktian

Pembuktian apabila diartikan secara terminologi adalah memberi keterangan dengan dalil
hingga meyakinkan. Jadi, Membuktikan adalah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil
yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan.
3. Tujuan pembuktian
Pembuktian diperlukan dengan tujuan untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa atau fakta
yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan Hakim yang benar dan adil.
4. Dasar hukum pembuktian
Menurut Pasal 163 HIR bahwa barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia
menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang
lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.
5. Teori pembuktian
Teori pembuktian terdiri dari 3 teori :
a. Teori pembuktian bebas, yaitu tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat
Hakim sehingga penilaian pembuktian diserahkan kepada Hakim.
b. Teori pembuktian negatif, yaitu harus ada ketentuan –ketentuan yang bersifat negetif sehingga
membatasi Hakim untuk melakukan sesuatu kecuali diijinkan oleh UU.
c. Teori pembuktian positif, yaitu adanya ketentuan yang mewajibkan Hakim untuk melakukan
segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang dalam UU.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Islam sangat memperhatikan kelangsungan hidup anak, untuk itu Islam sangat
memperhatikan perawatan, dan pendidikannya yang pada prinsipnya dibebankan dan
menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Dalam kondisi kedua orang tuanya
bercerai, agar anak itu tidak terombang ambing dan ada yang bertanggung jawab
terhadap pemeliharaan anaknya, Islam telah menyari’atkan hadhonah.

2. Ajaran Islam tentang hadhonah ini kurang memasyarakat. Untuk itu agar anak-anak
kita selaku generasi penerus ini menjadi baik pertumbuhannya, baik jasmani maupun
rohani, hendaklah ajaran Islam ini kita masyarakatkan.

3. Kalau dewasa ini banyak anak nakal, salah satu sebabnya adalah lantaran umat Islam
yang mayoritas ini belum melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam tentang mengasuh dan
mendidik anak.

4. Kajian ajaran Islam yang berhubungan dengan masa depan anak, masa depan manusia,
terutama yang berhubungan dengan tuntunan bagaimana caranya kita menciptakan
generasi mendatang yang baik dan berkualitas, hendaklah kita galakkan.

3.2 SARAN

1. Saran yang menjadi harapan penulis kepada pembaca secara umum adalah jika
terjadi perceraian antara suami dan isteri maka hendaklah dilakukan di instansi yang
berwenang yakni Pengadilan Agama dan sesuai syari’at Islam agar anak yang menjadi
korban dari perceraian mendapatkan hak pengasuhan yang optimal yang semestinya,
dan anak-anak tersebut tidak akan menjadi anak-anak terlantar.
2. Bagi kaum ibu-ibu yang telah bercerai kemudian menikah lagi dengan laki-laki lain
hendaknya pengasuhan anak dari hasil perkawinan dengan suami pertama disesuaikan
dengan ketentuan hukum Islam dan bagi suami memberikan nafkah yang cukup kepada
anak tersebut sesuai dengan kebutuhannya.
3. Bagi orang-orang yang berhak atas hadhanah supaya lebih mengutamakan haknya
sebagai pengasuh.
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Agama RI, Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan
Syariah, Al-Qur’an dan Tafsirnya, tahun 2007.

2. Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara


Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, 2004.

3. Al ‘Alimu Al ‘Alaamah Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Malybary, Fathul


Mu’in, Maktabah Kaya Thoha Putra Semarang.

4. Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

5. H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta, 1976/

6. Kompilasi Hukum Islam (KHI), Citra Umbara, Bandung, 2007.

You might also like