Professional Documents
Culture Documents
i
ABSTRAK
ii
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang paling indah melainkan puja dan puji syukur kepada yang
maha sempurna Allah S.W.T atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga tim
penyusun dapat menyelesaikan laporan ini. Kami menyadari bahwa laporan ini
dapat terselesaikan tidak terlepas dari bantuan dari banyak pihak, maka dengan
kerendahan hati, kami mengucapkan terima kasih
Disadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat
membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Tim Penyusun
iii
DAFTAR ISI
iv
3.5 Pelaksana Kegiatan .............................................................................................. 16
3.6 Jadwal 17
3.7 Pelaporan .............................................................................................................. 17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 18
4.1 Komposisi Jenis Burung ....................................................................................... 18
4.2 Indeks Kepadatan dan Populasi Jenis Burung .................................................... 23
4.3 Perjumpaan Relatif Jenis Burung ......................................................................... 27
4.4 Indeks Keanekaragaman, Dominansi, dan Kemerataan Jenis Burung ............... 31
4.5 Analisis Vegetasi................................................................................................... 33
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 35
4.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 35
4.2 Saran............................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 37
L A M P I R A N .................................................................................................................. 40
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
BAB I. PENDAHULUAN
Maksud dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk mendata potensi dan informasi
terkini kawasan TNAL. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengolah dan menyajikan
data potensi dan informasi terkini kawasan TNAL yang akan digunakan dalam
pengelolaan kawasan kedepannya. Lebih lanjut, target yang ingin dicapai adalah
tersusunnya database berupa tumbuhan dan satwa liar di TNAL lingkup Resort Kabi-Kabi.
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
3
2.2 Kelas Avifauna (Burung)
a) Definisi Burung
Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia. Burung
termasuk dalam kelas Aves, sub Phylum Vertebrata dan masuk ke dalam Phylum
Chordata, yang diturunkan dari hewan berkaki dua. Welty (1982) dalam Darmawan
(2006) mendefinisikan burung sebagai hewan yang memiliki bulu, tungkai atau lengan
depan termodifikasi untuk terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan,
berenang dan hinggap, paruh tidak bergigi, jantung memiliki empat ruang, rangka ringan,
memiliki kantong udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih dan bertelur.
b) Morfologi Burung
Menurut MacKinnon et al (2010), morfologi burung memperlihatkan banyak
bentuk adaptasi, yang kebanyakan bertujuan untuk menunjang kemampuan terbang.
Morfologi burung dapat dilihat pada Gambar 1.
Proctor & Lynch (1993) menjelaskan bahwa Kaki burung diklasifikasikan menjadi
anisodactyl, zygodactyl, heterodactyl, syndactyl atau pamprodactyl. Anisodactyl
merupakan bentuk kaki burung yang paling umum, dengan tiga jari di depan dan satu di
belakang. Bentuk seperti ini banyak ditemui di burung penyanyi, burung pengicau, elang,
rajawali, dan falcon. Beberapa burung memiliki bentuk kaki syndactyl yakni bentuk kaki
yang menyerupai anisodactyl namun jari ke tiga dan ke empat atau ketiga jari depan
menyatu seperti yang terdapat pada burung Raja udang. Jenis kaki ini merupakan
karakteristik burung dari ordo Coraciiformes.
4
Gambar. 2 Bentuk Kaki Burung (Proctor & Lynch, 1993)
Zygodactyl adalah bentuk kaki burung, dengan dua jari kaki menghadap ke depan
(jari 2 dan 3) dan dua jari menghadap ke belakang (jari 1 dan 4). Pengaturan ini paling
sering terjadi pada spesies arboreal, terutama spesies yang naik batang pohon atau
memanjat melalui dedaunan. Bentuk kaki zygodactyl dapat dijumpai pada burung bayan,
burung pelatuk dan beberapa burung hantu. Sedangkan, heterodactyl menyerupai
zygodactyl, yang membedakan hanya pada heterodactyl jari 3 dan 4 menghadap ke
depan sedang jari 1 dan 2 menghadap ke belakang. Bentuk kaki seperti ini hanya
ditemukan pada trogon, sedangkan pamprodactyl adalah susunan jari kaki dimana
keempat jari dapat menghadap ke depan, atau burung dapat memutar kedua jari
belakang. Bentuk kaki seperti ini merupakan karakteristik dari burung walet.
d) Konservasi Burung
Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya (UU No. 5 tahun 1990). Konservasi merupakan
manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga memungkinkan diperolehnya
keuntungan terbesar secara lestari untuk generasi sekarang dengan tetap terpeliharanya
potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang. Konservasi
sumber daya hayati mempunyai tiga tujuan, yaitu memelihara proses-proses ekologi
penting dan sistem pendukung kehidupan, melindungi keanekaragaman hayati dan yang
terakhir menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari (Harianto dan
Setiawan, 1999).
Menurut Coates et al (2000), kawasan wallacea terdiri dari ribuan pulau yang
tersebar, yaitu pertemuan antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, memiliki
kekayaan kenekaragaman hayati yang mengagumkan. Avifauna kawasan wallacea
sangat kaya, paling sedikit ada 249 jenis (36% dari 698 jenis) yang terbatas di kawasan
ini, selain itu 27 jenis yang endemik di Indonesia juga terdapat di sini. Namun, kondisi ini
memprihatinkan karena burung-burung di kawasan wallacea adalah diantara paling
sedikit di kenal dan beberapa diantaranya yang paling terancam punah di dunia (ICBP,
1992). Hal ini di perkuat Collar et al (1994) suatu tinjauan tentang status konsevasi
burung-burung di dunia mencantumkan 52 jenis dari wallacea yang terancam punah,
hampir genting, atau rentan. Di sisi lain, terdapat 11 jenis yang tergolong datanya tidak
mencukupi dan 80 jenis lagi hamper terancam. Dari 143 jenis total yang menjadi
perhatian konsevasi, tidak kurang dari 100 jenis adalah endemik di kawasan wallacea.
Kelompok terbesar burung-burung yang paling terancam di kawasan wallacea.
adalah nuri dan kakaktua. Penyebab utamanya adalah penangkapan untuk perdagangan
dan peliharaan. Pelatihan dan keterlibatan orang-orang Indonesia dalam konservasi dan
perlindungan habitat aslinya sangat penting bagi kelangsungan sumber daya alam
Indonesia di masa depan, dan khususnya keanekaragaman hayati di kawasan wallacea.
Khusus untuk kawasan wallacea, ada kebutuhan mendesak untuk
segeramengidentifikasi, mengukuhkan dan melindungi suatu sistem kawasan konservasi
6
yang representatif (Coates et al, 2000).
Pohon adalah tumbuhan berkayu yang tumbuh dengan tinggi minimal 5 meter (16
kaki). Pohon mempunyai batang pokok tunggal yang menunjang tajuk berdaun dari
cabang-cabang di atas tanah. Pohon tersusun oleh banyak bagian. Di bawah tanah, akar
mengambil air dan mineral dari dalam tanah. Air dan mineral tersebut dibawa ke atas,
yaitu daun melalui batang yang dilindungi oleh kulit kayu (pegagan). Cabang merupakan
bagian yang menyokong daun, bunga dan buah dari pohon tersebut. Sedangkan tajuk
pohon disusun oleh ranting, cabang, dan dedaunan (Greenaway, 1997).
Menurut Arief (2001) klasifikasi pohon berdasarkan ukuran yaitu :
1. Tingkat semai, apabila pohon-pohonnya mempunyai tinggi sampai 1,5m.
2. Tingkat pancang, apabila pohon-pohonnya mempunyai tinggi sampai 1,5m
dengan diameter < 10cm.
3. Tingkat tiang, apabila pohon-pohonnya mempunyai diameter 10cm - 19cm.
4. Tingkat pohon inti, apabila pohon-pohonnya mempunyai diameter 20cm –
49cm.
5. Tingkat pohon besar, apabila pohon-pohonnya mempunyai diameter > 50cm.
Keanekaragaman vegetasi pohon yang tinggi memiliki peran penting untuk
ketersediaan sumber daya air. Menurut Indrianto (2006) proses hidrologis yang berarti
hutan merupakan gudang penyimpanan air dan tempat penerapan air hujan maupun
embun yang akhirnya akan mengalir ke sungai-sungai di tengah hutan yang memiliki mata
air, proses ini berlangsung secara teratur, selain itu vegetasi pohon yang membentuka
hutan berberan melindungi tanah dari kekuatan erosi, serta melestarikan siklus unsur hara
didalamnya. Diperkuat dengan pernyataan Sudaryono (2002). Dengan adanya DAS yang
merupakan kesatuan ruang yang terdiri atas unsur abiotik yaitu tanah, air, dan udara,
8
biotik yaitu vegetasi, binatang, dan organisme hidup lainnya, dan kegiatan manusia yang
saling berinteraksi dan saling ketergantungan satu sama lain, sehingga merupakan satu
kesatuan ekosistem.
Wilayah Kawasan hutan TNAL ditutupi ekosistem hutan hujan dataran rendah yang
relatif masih asli/primer dan sekunder tua, yang merupakan habitat penting bagi berbagai
jenis flora penyusun hutan hujan dataran rendah.
Flora pada wilayah hutan Akejira umunya terdiri dari family Dipterocarpaceae,
Burseraceae, Sapindaceae, Rubiaceae dan Moraceae. Jenis pohon antara lain Hiru
(Vatica papuana), Mersawa (Anisopthera sp), Kenari (Canarium Spp), Matoa (Pometiua
pinnata), Samama (Anthocephalus cadamba), Badenga (Adina sp), Sukun (Arthocarpus
comunis), Beringin (Ficus benjamina) dan jenis-jenis lainnya. Selain pohon juga terdapat
tumbuhan lain bukan pohon yaitu palem-paleman dan paku-pakuan serta tumbuhan
lainnya berupa anggrek dan begonia.
9
BAB III. METODE KEGIATAN
Alat dan bahan yang digunakan selama pelaksanaan kegiatan ini meliputi Peta
Kerja, GPS, ATK, Meteran, Tally Sheet, Kamera Digital, Buku Identifikasi Burung, dan
Camping Unit.
Pengambilan data burung menggunakan Metode Titik Hitung atau VCP (Variable
Circular Plot). Metode ini dilakukan dengan membuat titik-titik (stasiun) pengamatan pada
jalur sepanjang 1-2 Km. Titik pengamatan yang digunakan berbentuk lingkaran dengan
diameter ±50 m. Jarak antar titik pengamatan sejauh 200 m.
10
Gambar. 4 Sketsa
Gambar Titik dan
4. Sketsa TitikTransek Pengamatan
dan Transek Burung Burung
Pengamatan
a) Kepadatan Jenis
Analisis data lapangan dilakukan untuk mendapatkan nilai kepadatan setiap jenis
yang ditemukan. Perhitungan untuk anakisis kepadatan jenis menggunakan Software
Distance yang dilakukan secara kolekstif dengan menggabungkan hasil pengambilan data
dari 8 lokasi pada 8 Resort di Kawasan TNAL.
11
sebagai berikut:
Keterangan:
• Nilai perjumpaan relatif (NPR)
• Total perjumpaan jenis ke-i adalah total perjumpaan tiap jenis burung (tidak
memperhitungkan jumlah)
● Total waktu pengamatan diperoleh dari waktu kumulatif dari keseluruhan titik hitung
VCP.
Kriteria nilai perjumpaan relatif (Bashari, 2012):
• 0.00-0.80 = Jarang
• 0.81-1.60 = Tidak umum
• 1.61-2.40 = Sering
• 2.41-3.20 = Umum
• < 3.20 = Melimpah
Jenis yang memiliki nilai perjumpaan relatif tinggi menunjukkan jenis tersebut relatif
paling mudah dijumpai dan kemungkinan paling berlimpah dibandingkan jenis lainnya.
Sebaliknya, jenis yang memiliki nilai perjumpaan relatif rendah menunjukkan jenis tersebut
relatif jarang dijumpai dan kemungkinan tidak melimpah dibandingkan jenis lainnya.
c) Keanekaragaman Jenis
Indeks Keanekaragaman Jenis dihitung menggunakan formula sebagai berikut:
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman spesies
S = Jumlah Spesies
ni = Jumlah Individu
N = Jumlah individu seluruh spesies
Kriteria keanekaragaman jenis:
H’<1 = Keanekaragaman rendah
1 < H’ < 3 = Keanekaragaman sedang
H’ > 3 = Keanekaragaman tinggi
d) Dominansi Jenis
Indeks dominansi jenis dihitung menggunakan formula yang sebagai berikut:
12
Keterangan:
ni = Jumlah individu setiap spesies
N = Jumlah total individu seluruh spesies
Dengan kriteria jika C mendekati 0 berarti tidak ada spesies yang mendominasi dan
apabila nilai C mendekati 1 berarti adanya salah satu spesies yang mendominasi.
e) Kemerataan Jenis
Indeks kemerataan jenis dihitung menggunakan formula sebagai berikut:
Keterangan:
E = Indeks Kemerataan
H’ = Indeks Shannon
Hmax = Ln (S)
S = Jumlah Spesies
Kriteria kemerataan jenis:
> 0,81 = Penyebaran jenis sangat merata
0,61-0,80 = Penyebaran jenis lebih merata
0,41-0,60 = Penyebaran jenis merata
0,21-0,40 = Penyebaran jenis cukup merata
< 0,21 = Penyebaran jenis tidak merata
14
Frekuensi Jenis (F) dan Frekuensi Relatif (FR)
Frekuensi adalah nilai besaran yang menyatakan derajat penyebaran jenis didalam
komunitasnya. Angka ini diperoleh dengan melihat perbandingan jumlah dari petak-petak
yang diduduki suatu jenis terhadap keseluruhan petak yang diambil sebagai petak contoh
di dalam melakukan analisis vegetasi. Frekuensi dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti
luas petak contoh, penyebaran tumbuhan dan ukuran jenis tumbuhan. Frekuensi relatif
adalah frekuensi satu spesies sebagai presentase frekuensi total tumbuhan.
Densitas(kerapatan) adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan
tertentu misalnya 100/HA.
15
3.5 Pelaksana Kegiatan
Penanggung jawab kegiatan ini adalah Koordinator Bidang Pengawetan pada Balai
TNAL dan dilaksanakan oleh pegawai lingkup seksi wilayah pengelolaan.
16
3.6 Jadwal
Kegiatan ini dilaksanakan pada Bulan Mei hingga Juli selama 10 (sepuluh) hari.
Secara umum jadwal pelaksanaan kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1.
No. Tahapan 1 2 3 4 5 6 7
Kegiatan
1 Perjalanan ke
lokasi kegiatan
2 Observasi awal
di lokasi kegiatan
3 Inventasi
Tumbuhan Dan
Satwaliar di
lokasi kegiatan
4 Evaluasi hasil
pelaksanaan
kegiatan
5 Perjalanan
pulang dari
lokasi kegiatan
3.7 Pelaporan
17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada kegiatan pengamatan jalur yang diamati terdiri dari 20 titik yang diamati
pengamatan tim menjumpai beberapa jenis burung. Data burung yang dijumpai tersebut
dicatat pada Tally sheet (Lampiran 2). Adapun komposisi jenis burung yang dijumpai dan
dicatat pada kegiatan Identifikasi Tumbuhan dan Satwa Liar dapat dilihat pada Tabel 2.
Perjumpaan
No Nama Jenis
Pengamatan Pagi Pengamatan Sore
1 Bidadari halmahera √ √
2 Brinji-emas halmahera √ √
3 Bubut goliath √ √
4 Burung-madu hitam √ √
5 Cabai dada api √ √
6 Cekakak biru-putih √ √
7 Cekakak murung √ √
8 Cenderawasih-gagak halmahera √ √
9 Gagak halmahera √
10 Gosong kelam √ √
11 Julang papua √ √
12 Kacamata halmahera √ √
13 Kakatua putih √ √
14 Kancilan tunawarna √ √
15 Kancilan-emas maluku √ √
16 Kasturi ternate √ √
17 Kehicap kacamata √ √
18 Kepudang-sungu halmahera √ √
19 Nuri kalung-ungu √ √
20 Nuri pipi-merah √ √
21 Nuri-raja ambon √ √
22 Paok halmahera √ √
23 Pergam boke √ √
24 Pergam mata-putih √ √
25 Serindit maluku √ √
26 Sikatan kilap √ √
27 Srigunting halmahera √ √
28 Uncal ambon √ √
29 Uncal besar √ √
18
Tabel 2 menunjukan bahwa terdapat 29 jenis burung yang teramati dan terdata
selama kegiatan, dengan jumlah famili sebanyak 18 Famili dengan jenis terbanyak pada
famili Psittacidae dengan jumlah 5 jenis dan diikuti oleh famili Columbidae dengan jumlah
jenis, famili Alcedinidae, Monarchidae, Pachychepalidae dan Paradisaeidae masing-
masing sebanyak 2 jenis. Sedangkan untuk famili lainnya hanya 1 jenis saja . Famili
Psittacidae memiliki jumlah jenis burung tertinggi yaitu 5 jenis yang meliputi, Kasturi
ternate (Lorius garrulus), Nuri kalung-ungu (Eos squamata), Nuri pipi-merah (Geoffroyus
geoffroyi cyanicollis), Nuri raja ambon (Alisterus amboinensis), Serindit Maluku (Loriculus
amabilis). Keanekaragaman spesies burung di suatu daerah banyak dipengaruhi oleh
kualitas dan keanekaragaman habitat itu sendiri (Crozie & Niemi, 2003).
Menurut Soendjoto et al, (2019) dan Riefani et al, (2019), fluktuasi jumlah spesies
pada suatu kawasan dipengaruhi oleh waktu pengamatan (musim kemarau atau musim
penghujan), keragaman tumbuhan dan bentang alam, ketersediaan spesies dan varietas
sumber pakan (kualitas dan kuantitas sumber pakan), kenyamanan burung untuk
berperilaku (berkembang biak, mencari pasangan, bersarang, kawin, bertelur, merawat
anak) dan keamanan burung dari faktor biologi (predator, persaingan antar fauna, dan
gangguan atau ancaman manusia) atau faktor fisik (panas, kelembaban tinggi, tidak ada
naungan).
Faktor alam yang juga berpengaruh adalah keragaman variasi dan sifat tumbuhan
dalam menghasilkan sumber pakan (buah dan bunga). Menurut Boer (2004), kehadiran
banyak jenis burung berkaitan erat dengan kehadiran beberapa jenis tumbuhan, baik dari
penanaman maupun yang tumbuh alami. Variasi jumlah dan jenis burung yang diamati
juga disebabkan oleh faktor di luar jangkauan pengamat. Pengamat tidak dapat
mengamati burung yang aktif di luar jangka waktu dan fokus pengamatan, apalagi bila
burung hanya menggunakan areal tersebut untuk singgah. Menurut Soendjoto dan
Gunawan (2003), terdapat burung yang spesialis terhadap habitat dan terdapat pula yang
generalis. Selain itu, pengamat berpeluang tidak dapat mengamati burung yang
berukuran relatif kecil, berdiam lama di titik tertentu, tersembunyi di rerimbunan daun
atau semak, memiliki mobilitas rendah (tidak mudah berpindah tempat), dan memiliki
warna bulu yang menyerupai lingkungan sekitar, atau tidak bersuara.
19
Gambar. 6 Diagram jumlah spesies berdasarkan famili
20
ternate, Nuri kalung-ungu, Nuri pipi-merah, Nuri-raja ambon dan Serindit maluku.
Di Maluku Utara, jenis-jenis burung paruh bengkok hampir dapat dijumpai pada
semua tipe habitat, mulai dari hutan bakau (mangrove) di pesisir, sampai pegunungan
tertinggi di Halmahera. Beberapa jenis memang menyukai beberapa tipe habitat tertentu,
namun beberapa jenis lagi tersebar secara umum. Beberapa jenis bahkan sangat akrab
dengan kehidupan masyarakat, khususnya di Pulau Halmahera, karena sering
mengunjungi lahan pertanian atau perkebunan masyarakat (Bashari dan Nurdin, 2009).
Hal yang paling umum interaksi masyarakat Maluku Utara dan burung paruh
bengkok adalah kebiasaan masyarakat memelihara jenis-jenis burung ini. Banyak
masyarakat desa berburu hidup-hidup jenis ini di hutan atau menangkap di pinggir kebun,
hanya sekedar untuk dipelihara atau dijual kepada pedagang yang akan menjual kembali
sebagai satwa piaraan. Jenis-jenis yang umum dipelihara adalah Lorius garrulus,
Cacatua alba, Eos squamata, dan Eclectus roratus. Ada juga, walaupun jarang, jenis
Geoffroyus geoffroyi (Bashari dan Nurdin, 2009). Diharapkan dengan adanya penetapan
status konservasi pada spesies tersebut, diharapkan mampu menjadi efek jera dan
merubah paradigma masyarakat terkait pemanfaatan burung-burung paruh bengkok agar
populasi alaminya tetap terjaga di alam.
Untuk itu, perlu adanya sosialisasi secara intensif terhadap masyarakat sekitar
kawasan TNAL tentang status konservasi dari setiap jenis burung, khususnya burung
paruh bengkok. Hal ini mengingat telah ada perubahan status konservasi dari setiap jenis
burung pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut yang
menyatakan bahwa seluruh jenis burung paruh bengkok di Maluku Utara telah dilindungi
dengan adanya penetapan status tersebut, diharapkan mampu merubah paradigma
masyarakat terkait pemanfaatan jenis burung agar populasi alaminya tetap terjaga di
alam.
Perjumpaan
No Nama Jenis
Pengamatan Pagi Pengamatan Sore
1 Bidadari halmahera √ √
2 Brinji-emas halmahera √ √
3 Bubut goliath √ √
4 Burung-madu hitam √ √
5 Cabai dada api √ √
6 Cekakak biru-putih √ √
7 Cekakak murung √ √
8 Cenderawasih-gagak halmahera √ √
9 Gagak halmahera √
21
10 Gosong kelam √ √
11 Julang papua √ √
12 Kacamata halmahera √ √
13 Kakatua putih √ √
14 Kancilan tunawarna √ √
15 Kancilan-emas maluku √ √
16 Kasturi ternate √ √
17 Kehicap kacamata √ √
18 Kepudang-sungu halmahera √ √
19 Nuri kalung-ungu √ √
20 Nuri pipi-merah √ √
21 Nuri-raja ambon √ √
22 Paok halmahera √ √
23 Pergam boke √ √
24 Pergam mata-putih √ √
25 Serindit maluku √ √
26 Sikatan kilap √ √
27 Srigunting halmahera √ √
28 Uncal ambon √ √
29 Uncal besar √ √
Berdasarkan Tabel 3, pada umumnya semua jenis burung pada saat pengamatan
ditemukan pada waktu pengamatan pagi hari. Sedangkan terdapat 2 (dua) jenis burung
yang hanya dijumpai pada pagi hari (Cekakak halmahera dan Gagak halmahera).
Burung adalah spesies yang tingkat pergerakannya tinggi dengan jangkauan
terbang yang jauh untuk mencari makan, tetapi kadang – kadang memilki habitat bermain
dan beristirahat yang tersendiri. Kondisi ini menyebabkan beberapa jenis tertentu jarang
ditemukan pada titik pengamatan. Pebedaan aktivitas burung dibedakan menjadi dua
sesuai dengan dilakukannya pengamatan pada pagi dan sore hari. Perbedaan aktivitas
burung pada pagi hari dan sore hari yaitu pada pagi hari burung-burung ditemukan mulai
melakukan aktivitasnnya dengan terbang mencari makan dan bermain, sedangkan pada
sore hari aktifitas yang mereka lakukan adalah terbang, bersuara mencari tempat yang
aman untuk beristirahat (Mainase et al, 2016).
Mardiastuti et al (1999) mengatakan perbedaan tingkat frekuensi keaktifan burung
dapat dipengaruhi oleh suhu dan perubahan intensitas cahaya, semakin tinggi suhu
maka akan tinggi aktifitas burung mencari makan karna keperluan metabolisme tubuh
burung untuk melakukan aktivitas lain. Selain itu hal yang mempengaruhi perbedaan
frekuensi makan burung misalnya pada burung famili Bucerotidae (Rangkong Sulawesi)
karena adanya kompetisi dengan satwa atau hewan pemakan buah lain (Suryadi, 1994).
22
4.2 Indeks Kepadatan dan Populasi Jenis Burung
Tabel. 4 Hasil analisa kepadatan jenis dan estimasi populasi jenis Kakatua alba
menggunakan Software Distance
24
19-Mei-2023 J1T7 Hutan Sekunder 335 16.00 - 16.10 2
Hingga ini jumlah populasi Kakatua putih belum diketahui secara pasti. Lambert
(1993a,b) dalam Collar (2002) dalam Tafrichan (2019) mengestimasi jumlah populasi dari
spesies ini di dunia berkisar antara 49.765 sampai 212.430 individu. Pada akhir tahun
1994 dilakukan penelitian di hutan lindung yang ditargetkan untuk konversi ke Lolobata
Wildlife Reserve seluas 1.060 km2 di bagian timur laut semenanjung Halmahera. Dari
penelitian tersebut diestimasi jumlah populasi Kakatua putih yaitu 9.300 dengan kisaran
25
antara 6.200 sampai 14.100 individu (Fuller, undated dalam Collar, 2002 dalam Tafrichan,
2019). Sedangkan menurut Bashari dan Nurdin (2009), jumlah populasi Kakatua putih
yang ada di dalam Kelompok Hutan Aketajawe Taman Nasional Aketajawe Lolobata
diperkirakan berkisar antara 1.221 - 6.832 individu.
Selama pelaksanaan kegiatan, tim pelaksana juga mengakomodir pengamatan
Kakatua putih dan Bidadari halmahera secara bersamaan. Hal ini dikarenakan jenis
Bidadari halmahera merupakan flagship spesies TNAL. Pada saat melakukan pengamatan
Kakatua putih, tim pelaksana juga menjumpai Bidadari halmahera beberapa titik
pengamatan, baik melalui perjumpaan secara langsung maupun terdeteksi melalui suara.
Secara keseluruhan, total sebanyak 12 Titik pengamatan yang merupakan titik lokasi
perjumpaan jenis Bidadari halmahera (Tabel 6).
Hutan 413
19-Mei-2023 J1T4 Sekunder 08.00 - 08.10 1
Hutan 348
19-Mei-2023 J1T8 Sekunder 09.10 - 09.20 1
Hutan 348
19-Mei-2023 J1T8 Sekunder 15.40 - 15.50 1
Hutan 413
19-Mei-2023 J1T4 Sekunder 17.00 - 17.10 1
Hutan 378
19-Mei-2023 J1T3 Sekunder 17.17 - 17.27 1
Hutan 517
20-Mei-2023 J2T5 Sekunder 08.22 - 08.32 1
26
Hutan 566
20-Mei-2023 J2T7 Sekunder 08.45 - 08.55 1
Hutan 548
20-Mei-2023 J2T8 Sekunder 09.03 - 09.13 1
Hutan 522
20-Mei-2023 J2T10 Sekunder 15.12 - 15.22 1
Hutan 546
20-Mei-2023 J2T9 Sekunder 15.46 - 15.56 2
Hutan 548
20-Mei-2023 J2T8 Sekunder 16.05 -16.15 1
Hutan 482
20-Mei-2023 J2T4 Sekunder 17.19 - 17.29 2
Pada tabel diatas Bidadari halmahera dijumpai pada ketinggian dan waktu
pengamatan yang beragam. Bidadari halmahera ditemukan pada waktu pengamatan pagi
dan sore dengan tingkat perjumpaan hampir sama sedangkan perjumpaan berada pada
ketinggian 128 - 226 Mdpl. Hal ini sesuai dengan (Bashari, 2016), yang menyebutkan
bahwa Bidadari halmahera dijumpai dari ketinggian 10 - 1100 Mdpl. Tidak berbeda jauh
dengan hasil yang diperoleh BirdLife International (Poulsen dkk, 1999) yaitu 0 – 1000
meter dpl. Struktur vegetasi (tempat tersedianya makanan dan perlindungan), cuaca, suhu
dan kelembaban udara tidak terlalu tinggi pada hutan sekunder tua. Kelimpahan dan
keanekaragaman suatu jenis burung selain dipengaruhi oleh habitat juga dipengaruhi oleh
vegetasi dan ketinggian. Ketinggian tempat menentukan jenis burung yang hidup ditempat
tersebut, karena ketinggian yang berbeda akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia yang
berbeda (Yanti et al, 2015).
27
diperoleh dari jumlah total perjumpaan (tidak memperhitungkan jumlah) dibagi total waktu
seluruh pengamatan dalam titik hitung VCP. Jenis yang memiliki nilai perjumpaan relatif
tinggi menunjukkan jenis tersebut relatif paling mudah dijumpai dan kemungkinan paling
berlimpah dibandingkan jenis lainnya. Sebaliknya, jenis yang memiliki nilai perjumpaan
relatif rendah menunjukkan jenis tersebut relatif jarang dijumpai dan kemungkinan tidak
melimpah dibandingkan jenis lainnya. Hasil analisa nilai perjumpaan relatif jenis burung
dapat dilihat pada Tabel 10.
28
11 Julang papua 48 22 6.67 3.30 Melimpah
29
26 Sikatan kilap 8 5 6.67 0.75 Jarang
30
4.4 Indeks Keanekaragaman, Dominansi, dan Kemerataan Jenis Burung
31
yang didahului dengan berbagai studi atau penelitian tentang satwa tersebut, antara lain
mengenai populasi, habitat dan lingkungan yang mempengaruhinya. Kawasan TNAL
tepatnya di lokasi kegiatan merupakan suatu kawasan yang memiliki banyak fungsi salah
satunya adalah sebagai habitat burung. Dengan keanekaragaman jenis tumbuhan yang
ada, kawasan TNAL diharapkan dapat mendukung kehidupan berbagai jenis burung.
Keanekaragaman habitat akan berpengaruh terhadap keaneragaman jenis burung.
Apabila suatu habitat dan vegetasinya tidak terganggu maka keanekaragaman jenis akan
tinggi begitu juga dengan kekayaan jenis tersebut, Faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya nilai H' ini adalah kondisi lingkungan, jumlah jenis dan sebaran individu pada
masing-masing jenis. hutan primer, dan hutan sekunder merupakan habitat yang baik bagi
komunitas burung, karena hutan primer dan hutan sekunder cenderung memiliki tipe
vegetasi heterogen (Alikodra, 1990). Keanekaragaman merupakan sifat khas dari
komunitas yang berhubungan dengan banyaknya jenis dan jumlah individu tiap jenis
sebagai komponen penyusun komunitas (Helvoort, 1981). Menurut Jarulis (2005) bahwa
kehadiran jenis burung kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jenis tumbuhan, tingkat
kenyamanan dan habitat pendukung yang berdekatan, selanjutnya factor keamanan dari
berbagai bentuk gangguan, struktur dan komposisi jenis vegetasi dan luas lokasi dapat
mempengaruhi jumlah jenis burung pada suatu Kawasan.
Berdasarkan nilai tersebut maka indeks kemerataan jenis (E) pada lokasi kegiatan
identifikasi, kemerataan jenis masuk kedalam kategori sangat merata sebesar 0,905. Jika
E > 0.81 maka seluruh jenis yang ada memiliki kelimpahan yang sangat merata.
Kemerataan jenis burung dalam suatu habitat dapat ditandai dengan tidak adanya jenis-
jenis yang dominan. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka
kemerataan jenis pada komunitas tersebut memiliki nilai maksimum, tetapi apabila jumlah
individu pada masing-masing jenis berbeda jauh maka menyebabkan kemerataan jenis
memiliki nilai maksimum (Santoso, 1995).
Nilai indeks kemerataan jenis (E) digunakan sebagai indikator dominansi suatu
jenis dalam suatu komunitas. Sementara itu, nilai indeks dominansi (C) digunakan untuk
menggambarkan pola penguasaan suatu jenis terhadap jenis lainnya dalam suatu
komunitas (Mawazin & Subiakto, 2013). Nilai indeks dominansi (C) pada kawasan Hutan
Resort Kabi-kabi tergolong rendah yaitu sebesar 0,001 (0,05<1≤1) dengan kriteria jika C
mendekati 0 berarti tidak ada spesies yang mendominasi dan apabila nilai C mendekati 1
berarti adanya salah satu spesies yang mendominasi. Hal tersebut membuktikan bahwa
distribusi jenis burung tidak didominansi suatu jenis pada komunitas tersebut. Semakin
mendekati angka satu nilai indeks dominansi (C) menunjukkan bahwa dalam komunitas
tersebut didominansi oleh satu atau beberapa jenis tertentu (Heriyanto & Garsetiasih,
2007). Hal ini sejalan dengan Odum (1993) yang menyatakan bahwa semakin besar nilai
32
keanekaragaman dan pemerataan jenis maka dominansi jenis tertentu dalam komunitas
tersebut rendah.
Kegiatan Identifikasi Tumbuhan dan Satawa liar tidak lepas dari kegiatan yang
menggunakan metopde analisis vegetasi dimana kami akan mempelajari susunan
(komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi terkait kondisi kawasan hutan, dalam
menganalisis vegetasi maka berkaitan dengan Sampling yang mana merupakan beberapa
petak ukur
Pada kegiatan analisis vegetasi ada beberapa parameter atau nilai yang diukur
pada kegiatan ini.
Berdasarkan analisis vegetasi yang terdapat pada kegiatan ini, maka diperoleh
nilai-nilai seperti Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif
(FR), Dominansi (D), Dominansi Relatif (DR), Indeks Nilai Penting (INP) hanya pada
tingkat pohon. Untuk menginterpretasikan data yang telah diolah maka dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Nilai INP tertinggi dari 27 jenis vegetasi yang diamati adalah Anak banyak
(Castanopsis acuminatissima) sebesar 38,05%. Menurut Sundarapandian dan Swamy
33
(2000), indeks nilai penting merupakan salah satu parameter yang dapat memberikan
gambaran tentang peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi
kegiatan. Hal ini menunjukan bahwa makin tinggi variasi spesies tanaman maka makin
tinggi pula tingklat keanekaragaman burung yang tinggal dilokasi tersebut (Susilo, 2016).
Selanjutnya Balestrieri et al. (2015) menyatakan bahwa kehadiran suatu spesies burung
dipengaruhi oleh variasi habitat. Makin komplek variasi dari suatu habitat semakin tinggi
34
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Komposisi jenis burung yang teramati dan terdata pada lokasi kegiatan yaitu
sebanyak 29 jenis burung yang teramati dan terdata selama kegiatan, dengan
jumlah famili sebanyak 18 famili Psittacidae memiliki jenis terbanyak (5 jenis) dan
diikuti oleh famili Columbideae dengan jumlah 4 jenis;
2. Pada 29 jenis burung yang dianalisis nilai perjumpaan relatifnya, terdapat 3 (tiga)
kategori Melimpah yaitu Julang papaua, Kasturi ternate, dan Paok halmahera 2
(dua) kategori yaitu Umum (Nuri pipi merah, Pergam boke,), Sering 4 (empat)
kategori yaitu(Bidadari Halmahera, Gosong kelam, Kakatua putih, dan Uncal
ambon) dan 9 (sembilan) jenis lainnya masuk kedalam kategori Jarang;
3. Keanekaragaman jenis burung pada lokasi kegiatan yaitu 3.46 menunjukkan
bahwa keanekaragaman jenis burung pada lokasi kegiatan ini tergolong tinggi dan
untuk dominansi jenis menunjukkan tidak ada jenis burung yang mendominasi
dengan nilai 0,001(mendekati 0). Sedangkan penyebaran jenis burung pada lokasi
kegiatan ini tergolong sangat merata dengan nilai 0,90;
4. Jumlah individu atau pohon dari 27 jenis vegetasi yang ditemukan pada ekosistem
kelompok hutan Lolobata adalah 146 individu/ha dengan nilai kerapatan tertinggi
ditemukan pada jenis Anak banyak (Castanopsis acuminatissima) sebesar 15,07 %
dari jumlah individu yang menyusun tegakan tersebut.
5. Keanekaragaman jenis pohon tergolong sedang dengan nilai 2,82. Sementara,
kemerataan jenis pohon tergolong sangat merata dengan nilai 0.85.
4.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh tim pelaksana diuraikan sebagai berikut:
35
3. Perlu adanya sosialisasi secara intensif terhadap Masyarakat sekitar
kawasan TN Aketajawe Lolobata khususnya pada desa-desa di sekitar
Resort Kabi-kabi tentang status konservasi dari setiap jenis burung,
khususnya Burung Paruh Bengkok.
36
DAFTAR PUSTAKA
Irwanto. 2006. Perencanaan Perbaikan Satwa Liar Pasca Bencana Alam Gunung
Meletus. http:/ www. Geocities.com/irwanto/habitat_burung.doc.
Diakses tanggal 5 Januari 2020
Iskandar D.T and Walter R. Erdellen, 2006. Conservation of amphibians and reptiles
in Indonesia: issues and problems. Amphibian and Reptile Conservation
4(1):60-87.
Kartikaningrum, S., Dyah Widiastoety, dan Kusumah Effendie. 2004. Panduan
Karaterisasi Tanaman Hias: Anggrek dan Anthurium. Departemen Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Komisi Nasional Plasma
Nutfah. Bogor
Kurnia, I. 2003. Studi Keanekaragaman Jenis Burung Untuk Pengembangan Wisata
Birdwatching di Kampus IPB Darmaga. (Skripsi). IPB. Bogor.
Kusrini, M. D. 2008. Pengenalan Herpetofauna. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Lack, D. 1969. The numbers of bird species on islands. Bird study, 16(4): 193-209.
Mackinnon, K., G. Hatta, A. Halim, A. Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan. Alih
Bahasa Gembong Tjitrosoepomo. Jakarta: Penerbit Pernhallindo.
Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm
Limited: London.
Mainase, C., Warmetan, H., dan Sinery, A.S. 2016. Keragaman dan Kepadatan
Populasi Spesies Burung pada Kawasan Hutan Pendidikan Universitas
Papua. Jurnal Kehutanan Papuasia 2 (1): 10–16.
Mardiastuti, L.R. Salim., dan Mulyani, Y, A. 1999. Perilaku makan Rangkong
Sulawesi pada dua jenis Ficus di Suaka Margasatwa Lambusango, Buton
(Feeding behavior of Sulawesi Red-Knobbed Hornbills on Two Ficus Trees in
Lambusango Wildlife Sanctuary, Buton). Media Konservasi 6(1):7-10.
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi
Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poulsen, M.K., F.R. Lambert, dan Y. Cahyadin. 1999. Evaluasi Terhadap Usulan
Taman Nasional Lolobata dan Aketajawe. BirdLife: Bogor.
Rohiyan, M., Setyawan, A., & Rustiati, E. (2014). Keanekaragaman jenis burung di
hutan pinus dan hutan campuran Muarasipongi Kabupaten Mandailing Natal
Sumatera Utara. Jurnal Sylva Lestari 2(2): 89-98.
Ruslan, M. 1986. Studi Perkembangan Suksesi Pada Hutan Alam Sekunder di
Daerah Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung
Mangkurat Mandiangin Kalimantan Selatan. Penerbit Direktorat Jenderal
Perkebunan.
Soendjoto, M.A dan Gunawan. 2003. Keragaman burung di enam tipe habitat PT
Inhutani I Labanan, Kalimantan Timur. Biodivesitas 4:103- 111.
Soendjoto, M.A., Nugroho, Y., Suyanto, Riefani, M.K., Supandi & Yudha, H.E.S.
2019. Avifauna di Area PT Borneo Indobara Kalimantan Selatan. Banjarbaru:
Banyubening.
Sudjadi. Bagod. & Siti Laila. 2007. Biologi 1. Yudhistira: Bogor.
Sujatnika, Jepson P, Soehartono TR, Crosby MJ, Mardiastuti A. 1995. Melestarikan
Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan Daerah Burung Endemik.
Jakarta: PHPA/Birdlife International- Indonesia Programme.\
Suryadi, 1994. Tingkah Laku Makan Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix) pada
Masa Tidak Berbiak Di Cagar Alam Tangkono Batuangus Sulawesi. Skripsi.
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia:
Jakarta.
Tafrichan, M. 2019. Distribusi Spasial dan Populasi Kakatua Putih (Cacatua alba) di
Kelompok Hutan Aketajawe, Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Maluku
Utara. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Wilson, D.E., JD. Nichols, R. Rudran & C. Southwell. 1996. Introduction. Wilson,
D.E., F.R. Cole, J.D. Nichols, R. Rudran & M.S. Foster (eds.). 1994.
Measuring and monitoring biological diversity, standard methods for
mammals. The Smithsonian Institution, New York: 81-104.
Yanti, A.D., Novarino, W dan Rizalzi. 2015. Komunitas Burung Berdasarkan Zonasi
Ketinggian di Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas 4(1): 38-44.
LAMPIRAN
Lampiran. 1 SPT kegiatan
Lampiran 1 SPT kegiatan
Lampiran. 2 Rekapitulasi Tally Sheet Hasil Pengambilan Data Burung
Tinggi
Tinggi
Keliling Diameter Bebas
Tanggal Jalur/Plot Nama Jenis LDBs Total
(cm) (m) Cabang
(m)
(m)
30-Jun-22 J1P1 Anak banyak 150 1.50 1.77 24 28
30-Jun-22 J1P1 Anak banyak 75 0.75 0.44 18 22
30-Jun-22 J1P1 Samama 126 1.26 1.25 27 30
30-Jun-22 J1P1 Sukun 63 0.63 0.31 20 24
30-Jun-22 J1P1 Kayu hiru 80 0.80 0.50 18 22
30-Jun-22 J1P1 Kenari 69 0.69 0.37 20 24
30-Jun-22 J1P1 Beringin 156 1.56 1.91 26 35
30-Jun-22 J1P1 Kayu pea 93 0.93 0.68 22 26
30-Jun-22 J1P1 Mersawa 82 0.82 0.53 20 28
30-Jun-22 J1P1 Jambu hutan 64 0.64 0.32 18 24
30-Jun-22 J1P2 Macaranga 77 0.77 0.47 18 22
30-Jun-22 J1P2 Macaranga 72 0.72 0.41 13 23
30-Jun-22 J1P2 Macaranga 79 0.79 0.49 12 26
30-Jun-22 J1P2 Kenari 82 0.82 0.53 8 22
30-Jun-22 J1P2 Kenari 76 0.76 0.45 10 26
30-Jun-22 J1P2 Timonius 73 0.73 0.42 13 24
30-Jun-22 J1P2 Samama 95 0.95 0.71 26 34
30-Jun-22 J1P2 Kayu hiru 78 0.78 0.48 18 23
30-Jun-22 J1P2 Mersawa 120 1.20 1.13 14 20
30-Jun-22 J1P2 Kenari 66 0.66 0.34 23 26
30-Jun-22 J1P3 Macaranga 72 0.72 0.41 3 20
30-Jun-22 J1P3 Kenari 68 0.68 0.36 2 24
30-Jun-22 J1P3 Kenari 64 0.64 0.32 12 26
30-Jun-22 J1P3 Anak banyak 76 0.76 0.45 8 28
30-Jun-22 J1P3 Anak banyak 69 0.69 0.37 14 25
30-Jun-22 J1P3 Anak banyak 68 0.68 0.36 10 22
30-Jun-22 J1P4 Pala hutan 120 1.20 1.13 22 35
30-Jun-22 J1P4 Bintangur 68 0.68 0.36 3 22
30-Jun-22 J1P4 Elaeocarpus sp 125 1.25 1.23 20 28
30-Jun-22 J1P4 Kayu hiru 180 1.80 2.54 18 32
30-Jun-22 J1P4 Anak banyak 110 1.10 0.95 15 36
30-Jun-22 J1P4 Kayu hiru 68 0.68 0.36 12 26
30-Jun-22 J1P4 Kayu hiru 56 0.56 0.25 8 24
30-Jun-22 J1P5 Kenari 68 0.68 0.36 12 28
30-Jun-22 J1P5 Bintangur 120 1.20 1.13 24 38
30-Jun-22 J1P5 Kenari 62 0.62 0.30 15 26
30-Jun-22 J1P5 Anak banyak 142 1.42 1.58 18 39
30-Jun-22 J1P5 Gahi-gahi 86 0.86 0.58 20 32
30-Jun-22 J1P5 Hopea 72 0.72 0.41 16 26
30-Jun-22 J1P6 Macaranga 65 0.65 0.33 20 32
30-Jun-22 J1P6 Gofasa 150 1.50 1.77 28 40
30-Jun-22 J1P6 Kenanga gunung 128 1.28 1.29 30 38
30-Jun-22 J1P6 Kayu hiru 110 1.10 0.95 13 36
30-Jun-22 J1P6 Hopea 138 1.38 1.49 12 34
30-Jun-22 J1P6 Manggis 72 0.72 0.41 14 27
30-Jun-22 J1P6 Manggis 65 0.65 0.33 18 26
30-Jun-22 J1P6 Macaranga 78 0.78 0.48 22 38
30-Jun-22 J1P7 Kayu hiru 80 0.80 0.50 18 26
30-Jun-22 J1P7 Kerikis 76 0.76 0.45 10 27
30-Jun-22 J1P7 Kenari 64 0.64 0.32 14 24
30-Jun-22 J1P7 Kenanga gunung 82 0.82 0.53 20 28
30-Jun-22 J1P7 Kayu hiru 96 0.96 0.72 26 32
30-Jun-22 J1P7 Kayu hiru 70 0.70 0.38 18 28
30-Jun-22 J1P8 Kenari 96 0.96 0.72 24 34
30-Jun-22 J1P8 Kayu hiru 110 1.10 0.95 15 38
30-Jun-22 J1P8 Mersawa 69 0.69 0.37 12 26
30-Jun-22 J1P8 Bintangur 72 0.72 0.41 10 28
30-Jun-22 J1P8 Anak banyak 70 0.70 0.38 15 26
30-Jun-22 J1P9 Macaranga 74 0.74 0.43 9 23
30-Jun-22 J1P9 Anak banyak 68 0.68 0.36 8 28
30-Jun-22 J1P9 Kayu hiru 124 1.24 1.21 14 30
30-Jun-22 J1P9 Kerikis 100 1.00 0.79 18 32
30-Jun-22 J1P9 Jambu hutan 82 0.82 0.53 18 28
30-Jun-22 J1P9 Pala hutan 88 0.88 0.61 12 26
30-Jun-22 J1P10 Kenari 78 0.78 0.48 8 29
30-Jun-22 J1P10 Kayu hiru 85 0.85 0.57 10 22
30-Jun-22 J1P10 Kayu hiru 65 0.65 0.33 6 28
30-Jun-22 J1P10 Bintangur 125 1.25 1.23 16 38
30-Jun-22 J1P10 Kenanga gunung 80 0.80 0.50 13 26
30-Jun-22 J1P10 Macaranga 76 0.76 0.45 11 20
30-Jun-22 J1P10 Gahi-gahi 86 0.86 0.58 18 34
30-Jun-22 J1P10 Hopea 94 0.94 0.69 13 23
30-Jun-22 J2P1 Kenanga gunung 115 1.15 1.04 18 35
30-Jun-22 J2P1 Anak banyak 77 0.77 0.47 17 30
30-Jun-22 J2P1 Anak banyak 85 0.85 0.57 15 30
30-Jun-22 J2P1 Anak banyak 65 0.65 0.33 15 25
30-Jun-22 J2P1 Anak banyak 74 0.74 0.43 16 30
30-Jun-22 J2P1 Anak banyak 85 0.85 0.57 13 30
30-Jun-22 J2P1 Mersawa 95 0.95 0.71 20 35
30-Jun-22 J2P1 Anak banyak 68 0.68 0.36 10 25
30-Jun-22 J2P2 Kayu hiru 130 1.3 1.33 35 45
30-Jun-22 J2P2 Manggis 118 1.18 1.09 6 25
30-Jun-22 J2P2 Kayu hiru 78 0.78 0.48 20 30
30-Jun-22 J2P2 Kayu hiru 72 0.72 0.41 15 25
30-Jun-22 J2P2 Gosale 115 1.15 1.04 20 38
30-Jun-22 J2P2 Mersawa 180 1.8 2.54 25 42
30-Jun-22 J2P2 Kayu hiru 68 0.68 0.36 20 35
30-Jun-22 J2P2 Kenari 83 0.83 0.54 20 38
30-Jun-22 J2P2 Bintangur 85 0.85 0.57 20 25
30-Jun-22 J2P2 Bintangur 160 1.6 2.01 18 38
30-Jun-22 J2P3 Kayu hiru 160 1.6 2.01 25 39
30-Jun-22 J2P3 Kayu hiru 79 0.79 0.49 15 30
30-Jun-22 J2P3 Kenari 110 1.1 0.95 20 38
30-Jun-22 J2P3 Kayu hiru 90 0.9 0.64 20 37
30-Jun-22 J2P3 Kenari 67 0.67 0.35 27 32
30-Jun-22 J2P3 Meranti 175 1.75 2.40 25 40
1-Jul-22 J2P3 Meranti 158 1.58 1.96 30 43
1-Jul-22 J2P3 Meranti 185 1.85 2.69 32 55
1-Jul-22 J2P3 Mersawa 160 1.6 2.01 43 55
1-Jul-22 J2P4 Nyatoh 72 0.72 0.41 18 31
1-Jul-22 J2P4 Kerikis 83 0.83 0.54 10 25
1-Jul-22 J2P4 Mersawa 92 0.92 0.66 23 38
1-Jul-22 J2P4 Meranti 180 1.8 2.54 20 35
1-Jul-22 J2P4 Meranti 140 1.4 1.54 25 38
1-Jul-22 J2P4 Anak banyak 74 0.74 0.43 18 30
1-Jul-22 J2P4 Jambu hutan 72 0.72 0.41 16 30
1-Jul-22 J2P5 Anak banyak 66 0.66 0.34 12 23
1-Jul-22 J2P5 Kerikis 72 0.72 0.41 15 34
1-Jul-22 J2P5 Anak banyak 64 0.64 0.32 8 25
1-Jul-22 J2P5 Anak banyak 88 0.88 0.61 10 25
1-Jul-22 J2P5 Kerikis 92 0.92 0.66 12 28
1-Jul-22 J2P5 Mersawa 82 0.82 0.53 23 38
1-Jul-22 J2P6 Anak banyak 105 1.05 0.87 12 28
1-Jul-22 J2P6 Kayu hiru 98 0.98 0.75 4 28
1-Jul-22 J2P6 Kayu hiru 89 0.89 0.62 10 25
1-Jul-22 J2P6 Kerikis 65 0.65 0.33 15 30
1-Jul-22 J2P6 Kayu hiru 115 1.15 1.04 17 35
1-Jul-22 J2P6 Kayu hiru 92 0.92 0.66 15 30
1-Jul-22 J2P6 Jambu hutan 72 0.72 0.41 8 24
1-Jul-22 J2P6 Bintangur 68 0.68 0.36 4 20
1-Jul-22 J2P7 Kenari 190 1.9 2.83 18 43
1-Jul-22 J2P7 Bintangur 105 1.05 0.87 18 35
1-Jul-22 J2P7 Bohe 115 1.15 1.04 20 43
1-Jul-22 J2P7 Jambu hutan 72 0.72 0.41 10 25
1-Jul-22 J2P7 Pala hutan 82 0.82 0.53 25 34
1-Jul-22 J2P7 Namo-namo 70 0.7 0.38 13 25
1-Jul-22 J2P8 Meranti 155 1.55 1.89 35 55
1-Jul-22 J2P8 Meranti 64 0.64 0.32 20 40
1-Jul-22 J2P8 Macaranga 22 0.22 0.04 15 35
1-Jul-22 J2P8 Mersawa 190 1.9 2.83 28 48
1-Jul-22 J2P8 Anak banyak 110 1.1 0.95 8 35
1-Jul-22 J2P8 Kerikis 79 0.79 0.49 25 35
1-Jul-22 J2P8 Meranti 180 1.8 2.54 30 65
1-Jul-22 J2P8 Jambu hutan 155 1.55 1.89 28 43
1-Jul-22 J2P8 Meranti 170 1.7 2.27 25 55
1-Jul-22 J2P9 Pohon patah tulang 105 1.05 0.87 25 33
1-Jul-22 J2P9 Pohon patah tulang 170 1.7 2.27 25 35
1-Jul-22 J2P9 Langsat hutan 120 1.2 1.13 27 36
1-Jul-22 J2P10 Kerikis 65 0.65 0.33 10 23
1-Jul-22 J2P10 Kerikis 125 1.25 1.23 25 48
1-Jul-22 J2P10 Anak banyak 80 0.8 0.50 7 25
1-Jul-22 J2P10 Kayu hiru 95 0.95 0.71 13 26
1-Jul-22 J2P10 Kenari 85 0.85 0.57 23 35
1-Jul-22 J2P10 Kenari 83 0.83 0.54 27 32
1-Jul-22 J2P10 Kenanga gunung 90 0.9 0.64 20 35
1-Jul-22 J2P10 Kayu hiru 64 0.64 0.32 10 25
Lampiran. 5 Analisis indeks keanekaragaman, dominansi, dan kemerataan jenis pohon