You are on page 1of 38

Minipro

GAMBARAN PENGETAHUAN KADER POSYANDU TENTANG DETEKSI DINI


STUNTING DI KELURAHAN SIALANGMUNGGU WILAYAH KERJA
PUSKESMAS SIDOMULYO RAWAT JALAN PADA TAHUN 2023

Oleh:
dr. Khairiati

Pendamping:
dr. Olva Irwana

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


KOTA PEKANBARU
PUSKESMAS SIDOMULYO RAWAT JALAN
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejadian stunting saat ini menjadi pusat perhatian hampir diseluruh dunia karena
angka kejadiannya yang tinggi termasuk Indonesia. Pernyataan tersebut didukung oleh
pernyataan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES) yang menyebutkan
bahwa 1 dari 3 balita di Indonesia menderita stunting (Kemenkes, 2021). Stunting adalah
kekurangan gizi kronis pada balita terutama pada usia seribu hari pertama kehidupan yang
ditandai dengan berat badan dan tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya (Apriyani,
2020).
Dalam beberapa decade kejadian stunting di seluruh dunia hanya mengalami
penurunan yang sedikit. Secara global kejadian stunting menunjukkan penurunan dari tahun
2000 dengan total kasus 203.6 juta menjadi 149.2 juta di tahun 2020 (Unicef, 2021). World
Health Organization (WHO) menyebutkan angka stunting diatas 20% tergolong kronis dan
membutuhkan perhatian (Kemenkes, 2021). Di Indonesia angka kejadian stunting masih
30.8%, sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) prevalensi stunting masih 22%
(Riskesdas, 2018).
WHO memprediksikan bahwa tahun 2025 diperkirakan angka stunting usia dibawah
5 tahun mencapai 127 juta anak (World Health Organization, 2014). Untuk mengatasi hal
tersebut sesuai target capaian Sustainable Development Goals (SDGs) menghapus semua
bentuk kekurangan gizi tahun 2030, strategi yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan gizi
ibu, bayi dan anak kecil, melalui kebijakan pemerintah, dan program peningkatan nutrisi
kesehatan masyarakat yang lebih baik (World Health Organization, 2018).
Berdasarkan profil kesehatan indonesia 2021, didapatkan balita dengan gizi buruk
sebesar 1% dan gizi kurang sebesar 3,9%. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Papua
Barat, sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Bengkulu. Status balita gizi
kurang berdasarkan indeks BB/U di Provinsi Riau tahun 2019 sebesar 6,61% sementara pada
tahun 2018 mencapai 10,7, hal ini menunjukkan angka penurunan (Dinkes 2020).
Berdasarkan data yang didapatkan pada bulan Januari-Mei 2023 di Puskesmas Sidomulyo
Rawat Jalan Kota Pekanbaru, tercatat 15 balita dengan stunting.(Profil Puskesmas
Sidomulyo,2023).
Status gizi balita dapat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor langsung dan tidak
langsung. Faktor langsung yang dapat mempengaruhi status gizi adalah penyakit infeksi dan
asupan makan, sedangkan faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi adalah
pengetahuan ibu tentang gizi, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pola asuh, sosial
budaya, ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan faktor lingkungan (Wahyuni, 2009).
Stunting dapat disebabkan salah satunya oleh kurangnya tingkat pengetahuan orang tua
serta kader posyandu yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan terhadap ibu dan anak
(Zulkifli, 2018). Kader posyandu secara teknis bertugas untuk mendata balita, melakukan
pengukuran berat badan dan tinggi badan balita serta mencatatnya secara berkala dalam kartu
menuju sehat (KMS) (Supriasa, 2019). Tingkat pengetahuan kader yang kurang dapat
menyebabkan interpretasi status gizi yang salah dan dapat berakibat pula pada kesalahan dalam
mengambil keputusan dan penanganan masalah tersebut. (Handarsari dkk, 2019).
Anak stunting berisiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di masa dewasanya.
Dampak jangka pendek, stunting menyebabkan gagal tumbuh, hambatan perkembangan kognitif
dan motorik, dan tidak optimalnya ukuran fisik tubuh serta gangguan metabolisme. Dampak
jangka panjang, stunting menyebabkan menurunnya kapasitas intelektual. Gangguan struktur dan
fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat permanen dan menyebabkan penurunan kemampuan
menyerap pelajaran di usia sekolah yang akan berpengaruh pada produktivitasnya saat dewasa.
Selain itu, kekurangan gizi juga menyebabkan gangguan pertumbuhan pendek dan atau kurus dan
meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, hipertensi, jantung kroner,
dan stroke (Kementerian Prencanaan dan Pembangunan Nasional, 2018).
Penanganan yang dapat dilakukan untuk deteksi stunting adalah dengan meningkatkan
tingkat pengetahuan kader posyandu. karena salah satu upaya pemerintah adalah dengan
melakukan pembinaan kepada kader posyandu, kegiatan pembinaan kader posyandu meliputi
pembinaan posyandu balita, pembinaan administrasi, pemeriksaan rutin balita dan penyuluhan.
Para kader kesehatan membutuhkan pembinaan atau pelatihan dalam rangka menghadapi tugas-
tugas mereka dan masalah yang dihadapi mereka (Supriasa, 2019). Kader diharapkan dapat
berperan aktif dalam kegiatan promotif dan preventif. Salah satu permasalahan yang paling
mendasar di posyandu adalah rendahnya tingkat pengetahuan kader baik dari sisi akademis
maupun teknis, karena itu untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal, diperlukan
penyesuaian pengetahuan dan keterampilan kader (Pusat Promosi Kesehatan, 2015). Menurut
UNICEF (2012) kegiatan Promosi kesehatan difokuskan kepada penanggulangan stunting, salah
satunya menggunakan media pendidikan kesehatan.

Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya


Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan
masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan
kesehatan dasar dan untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.
Keberadaan posyandu di tengah masyarakat mempunyai peranan yang sangat besar
dikarenakan menyangkut pemenuhan kebutuhan yang sangat penting bagi kesehatan ibu dan
anak.6

Tercatat terdapat Posyandu di Indonesia sebanyak 266.827 yang tersebar di seluruh


Indonesia dan terdapat sekitar 3 sampai 4 orang kader per Posyandu (Kemenkes, 2022).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Riau tahun 2021 tercatat total 653 Posyandu di Pekanbaru
(Dinas Kesehatan Provinsi Riau, 2021). Data pada tahun 2023 tercatat jumlah Posyandu yang
berada diwilayah kerja Puskesmas Sidomulyo Rawat Jalan mencapai 65 Posyandu dengan
jumlah kader sebanyak 325 orang. Kelurahan Sialangmunggu memiliki 16 posyandu dengan
jumlah kader aktif sebanayk 80 orang. Setelah penulis mengamati permasalahan yang ada
terhadap tingkat pengetahuan kader posyandu terhadap deteksi dini stunting yang kurang, maka
penulis melakukan penelitian terhadap "Gambaran Pengetahuan Kader Posyandu Tentang
deteksi dini stunting di kelurahan Sialangmunggu Wilayah Kerja Puskesmas Sidomulyo
Rawat Jalan pada tahun 2023."
1.2. Permasalahan
Permasalahan yang didapat saat ini jumlah anak stunting di Puskesmas Sidomulyo tahun
2022 sebanyak 13 orang sementara untuk tahun 2023 dari bulan Januari – Juni terdeteksi 17
orang anak. Kenaikan jumlah anak yang mengalami stunting sangat bergantung dengan keaktifan
kader dan tenaga kesehatan dalam mendeteksi dini stunting. Peran kader dalam penyelenggaraan
posyandu sangat besar karena selain sebagai pemberi informasi kesehatan, juga sebagai
penggerak masyarakat yang datang ke posyandu. Oleh karena itu, kader merupakan ujung tombak
tumbuh kembangnya posyandu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat serta deteksi
dini terhadap pengembangan balita (Juniarti, R dan Haniarti, U., 2021).
Beberapa masalah yang ditemui dalam hambatan penyelenggaraan posyandu seperti
kurangnya keaktifan dan motivasi kader, keluarnya kader dari posyandu, pengetahuan, sikap dan
keterampilan kader posyandu berpengaruh atas berkembangnya posyandu. Penulis menemukan
beberapa permasalahan pada kader posyandu di Kelurahan Sialangmunggu saat ini adalah :
1. Kurangnya pengetahuan kader posyandu mengenai cara pengukuran antropomerti yang
benar dan bagaimana monitoring berat badan dan tinggi badan melalui grafik
pertumbuhan di buku KMS
2. Kurangnya pengetahuan kader posyandu mengenai defenisi stunting dan deteksi dini
stunting
3. Kurangnya pelatihan dan pengembangan kader terkait posyandu.
4. Kurangnya motivasi atau pengawasan dari tenaga kesehatan puskesmas kepada kader
dalam menjalani kegiatan pengukuran antropometri yang benar

Untuk mengetahui permasalahan tersebut, peneliti memberikan kuesioner pre-test untuk


menilai pengetahuan kader mengenai deteksi dini stunting. Jumlah minimal sampel yang akan
diteliti berdasarkan jumlah populasi dihitung dengan menggunakan rumus slovin. Berdasarkan
rumus tersebut, di dapatkan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 45 kader. Jenis
kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup atau berstruktur.
Kuesioner yang diberikan terdiri dari :
a. Formulir identitas sampel yang berisi inisial nama kader, jenis kelamin, tempat tanggal
lahir, alamat, lama menjadi kader dan pelatihan yang sudah diikuti.
b. Pertanyaan berjumlah 16 buah
c. Pertanyaan terbagi menjadi 2 yaitu 15 soal pilihan ganda dan 1 soal contoh kasus
d. Pertanyaan terbagi menjadi 3 kelompok besar yaitu pengetahuan mengenai stunting,
pengisian grafik pada buku KMS dan pengetahuan mengenai cara menimbang berat
badan dan mengukur tinggi/panjang badan pada balita.
1) Pengetahuan Stunting : pertanyaan nomor 1, 3, 4, 7, 8 dan 15
2) Pengisian grafik KMS : pertanyaan nomor 2,10,11,13 dan 14
3) Pengukuran berat badan dan tinggi/panjang badan : pertanyaan nomor 5, 6,
8,12 dan 16
e. Responden hanya tinggal memilih atau menjawab satu jawaban yang benar dari
alternatif jawaban yang sudah ada.
f. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala guttman dengan skor 1 (satu)
untuk jawaban yang benar dan 0 (nol) untuk jawaban yang salah.
g. Hasil yang didapatkan sampel, kemudian dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu
pengetahuan baik dengan nilai 76-100, pengetahuan cukup dengan nilai 60-75,
pengetahuan kurang dengan nilai <60.23

Hasil pretest mengenai pengetahuan kader berdasarkan tingkat pengetahuan dapat terlihat
pada tabel dibawah ini :

SUM
Kategori Nilai Pre-test Kategori Soal Persentase
Pretest
Tingkat Pengisian buku
Frekue Persent 58 48%
Pengetahu KMS
nsi ase (%)
an
Pengukuran BB
Baik 30 66,7 10 8,2%
TB
Cukup 14 31,1 Stunting 54 44%

Kurang 1 2,1 Total 122

Tabel 1.1 Hasil Pre-test Tabel 1.2 Jumlah soal yang Salah

Hasil dari tabel 1.1, tidak ada kader yang memiliki pengetahuan yang kurang atau yang
mendapatkan nilai <60, hasil dari 66,7% kader memiliki pengetahuan yang baik. Sedangkan
hasil tabel 1.2, didapatkan kader sebagian besar (48%) banyak yang salah terhadap soal
pengisain buku KMS.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Posyandu
A. Pengertian
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya
Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan
masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.
Pengintegrasian layanan sosial dasar di Posyandu adalah suatu upaya mensinergikan
berbagai layanan yang dibutuhkan masyarakat meliputi perbaikan kesehatan dan gizi,
pendidikan dan perkembangan anak, peningkatan ekonomi keluarga, ketahanan pangan
keluarga dan kesejahteraan sosial.
UKBM adalah wahana pemberdayaan masyarakat, yang dibentuk atas dasar
kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk dan bersama masyarakat, dengan
bimbingan dari petugas Puskesmas, lintas sektor dan lembaga terkait lainnya.
Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat non instruktif,
guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat, agar mampu
mengidentifikasi masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki, merencanakan dan
melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat.
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah proses pemberian
informasi kepada individu, keluarga atau kelompok (klien) secara terus menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar
klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek pengetahuan atau
knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek sikap atau attitude), dan dari mau menjadi
mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek tindakan atau practice).
Pelayanan kesehatan dasar di Posyandu adalah pelayanan kesehatan yang mencakup
sekurang-kurangnya 5 (lima) kegiatan, yakni Kesehatan lbu dan Anak (KIA), Keluarga
Berencana (KB), imunisasi, gizi, dan penanggulangan diare.
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
yang bertanggung jawab melaksanakan pembangunan kesehatan di kecamatan .
Kedudukan Posyandu terhadap Puskesmas adalah sebagai wadah pemberdayaan
masyarakat di bidang kesehatan yang secara teknis medis dibina oleh Puskesmas.

B. Tujuan
a. Tujuan Umum:
Menunjang percepatan penurunan Angka Kematian lbu (AKI), Angka
Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Anak Balita (AKABA) di Indonesia
melalui upaya pemberdayaan masyarakat.

b. Tujuan Khusus:
a) Meningkatnya peran masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
dasar, terutama yang berkaitan dengan penurunan AKI, AKB dan
AKABA.
b) Meningkatnya peran lintas sektor dalam penyelenggaraan Posyandu,
terutama berkaitan dengan penurunan AKI, AKB dan AKABA.

C. Sasaran Posyandu
Sasaran Posyandu adalah seluruh masyarakat, utamanya:
a. Bayi
b. Anak balita
c. lbu hamil, ibu nifas dan ibu menyusui
d. Pasangan Usia Subur (PUS)
D. Manfaat
a. Bagi Masyarakat
1. Memperoleh kemudahan untuk mendapatkan informasi dan pelayanan
kesehatan dasar, terutama berkaitan dengan penurunan AKI, AKB dan
AKABA.
2. Memperoleh layanan secara profesional dalam pemecahan masalah
kesehatan terutama terkait kesehatan ibu dan anak.
3. Efisiensi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dasar terpadu dan
pelayanan sosial dasar sektor lain terkait.

b. Bagi Kader, pengurus Posyandu dan tokoh masyarakat


1. Mendapatkan informasi terlebih dahulu tentang upaya kesehatan yang terkait
dengan penurunan AKI, AKB dan AKABA
2. Dapat mewujudkan aktualisasi dirinya dalam membantu masyarakat
menyelesaikan masalah kesehatan terkait dengan penurunan AKI, AKB dan
AKABA
c. Bagi Puskesmas
1. Optimalisasi fungsi Puskesmas sebagai pusat penggerak pembangunan
berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, pusat pelayanan
kesehatan perorangan primer dan pusat pelayanan kesehatan masyarakat
primer.
2. Dapat lebih spesifik membantu masyarakat dalam pemecahan masalah
kesehatan sesuai kondisi setempat.
3. Mendekatkan akses pelayanan kesehatan dasar pada masyarakat

2.2. Pengetahuan Kader Dalam Deteksi Stunting


2.2.1. Pengertian pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini tejadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni :
indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan itu sendiri sangat erat
hubungannya dengan faktor Pendidikan formal. Diharapkan pendidikan yang tinggi akan
semakin memperluas tingkat pengetahun seseorang. Akan tetapi perlu ditekan bahwa
seseorang yang berpendidikan rendah tidak mutlak memiliki pengetahuan bisa juga peroleh
dari pendidikan non formal.Pengetahuan sesorang tentang suatu objek mengandung 2 aspek
yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang
semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap
makin positif terhadap objek tertentu (A.Wawan &Dewi.M, 2010). Menurut teori WHO
(World Health Organization) yang dikutip oleh (Notoatmodjo, 2007), salah satu objek
kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri

2.3. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan


a. Faktor pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain menuju
kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan
untuk mencapai keselamatan dan kebagian dan keselamatan. Pendidikan diperlukan untuk
mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup (Wawan dan Dewi, 2010) pendidikan dapat mempengaruhi
seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam motivasi untuk
sikap berperang dalam hubungan. Menurut Nursalam (2003) dalam (A.Wawan & Dewi.M
(2010) pada umumnya makin tinggi pendidikan mudah menerima informasi. Pendidikan di
Indonesia dibagi dalam beberapa jenjang, jenjang Pendidikan memiliki rentang usia dan lama
Pendidikan yang berbeda- beda, menilik dan mengacu pada Undang- Undang Nomor 20
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 8 menyatakan bahwa
jenjang Pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan
yang dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Dalam Undang- Undang tersebut
disebutkan bahwa jenjang Pendidikan formal di Indonesia terdiri atas:
1) Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar adalah Pendidikan umum yang lamanya enam tahun, di
selenggarakan di sekolah dasar atau sederajat dan tiga tahun di sekolah menengah pertama
atau sederajat.
2) Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah adalah Pendidikan yang diselenggarakan bagi lulusan
Pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial
budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia
kerja atau Pendidikan tinggi.
3) Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan Pendidikan menengah yang
diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan
dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian.

b. Usia
Menurut Elisabet BH dalam (A.Wawan& Dewi.M, 2010) usia adalah umur yang
dihitung dimulai dari sejak lahir sampai berulang tahun. Sedangkan menurut huck, 1998
dalam (A.Wawan& Dewi.M, 2010) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.
c. Sumber Informasi
Informasi adalah sesuatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang menekankan
informasi sebagai tranfer pengetahuan. Informasi yang diperoleh baik dari pendidik formal
maupun nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediatr impact) sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Berkembangnya teknologi akan
menyediakan bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan
masnyarakat. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif
baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut. Adapun beberapa media informasi
yaitu :
1) Media elektronik
Media elektronik adalah infromasi atau data yang dibuat, disebarkan dan diakses
dengan menggunakan suatu bentuk elektronik, media masa yang menggunakan alat
elektronik seperti, radio, televisi dan komputer.

2) Media Cetak
Media cetak adalah segala barang cetak yang dipergunakan sebagai sarana
penyaampaian pesan seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pada macam- macam media
cetak pada umumnya, seperti: koran, majaah, baliho, poster dan brosur.

2.4 Hubungan Tingkat Pengetahuan Kader Posyandu Dengan kemampuan


Deteksi Dini Stunting
Upaya pencegahan stunting perlu ditingkatkan untuk menurunkan angka
kejadian stunting dan mencegah terjadinya dampak yang ditimbulkan. Peran orang tua sangat
penting, sedangkan peran tenaga kesehatan juga tidak kalah penting seperti bidan desa dan
kader posyandu yaitu mengingatkan dan menyadarkan orang tua untuk melakukan hal
tersebut, sosialisasi edukasi gizi kesehatan kepada ibu hamil dan orang tua balita, memantau
pertumbuhan bayi balita setiap bulan di posyandu. Pemantauan tinggi badan balita menurut
umur merupakan upaya mendeteksi dini kejadian stunting agar dapat segera mendapatkan
penangan untuk menunjang tinggi badan optimal (Astuti, 2015).
Kader posyandu merupakan penggerak utama seluruh kegiatan yang
dilaksanakan di posyandu. Keberadaan kader penting dan strategis, ketika pelayanan yang
diberikan mendapat simpati dari masyarakat akan menimbulkan implikasi positif terhadap
kepedulian dan partisipasi masyarakat. Kader diharapkan berperan aktif dalam kegiatan
promotif dan preventif serta mampu menjadi pendorong, motivator dan penyuluh masyarakat.
Salah satu permasalahan posyandu yang paling mendasar adalah rendahnya tingkat
pengetahuan kader baik dari sisi akademis maupun teknis, karena itu untuk dapat
memberikan pelayanan optimal di Posyandu, diperlukan penyesuaian pengetahuan dan
keterampilan kader, sehingga mampu melaksanakan kegiatan Posyandu sesuai norma,
standar, prosedur dan kriteria pegembangan Posyandu. Kader perlu mendapatkan bekal
pengetahuan dan keterampilan yang benar dalam melakukan penimbangan, pelayanan dan
konseling atau penyuluhan gizi.(Pusat Promosi Kesehatan, 2017)
Pemberdayaan kader posyandu untuk pencegahan dini kejadian stunting,
diharapkan dapat dicapai melalui upaya meningkatkan kinerja dan perilaku kader melalui
pemberian edukasi dengan menerapkan berbagai model edukasi. Kader posyandu sebagai
layanan kesehatan primer diharapkan mengetahui masalah tumbuh kembang anak karena
salah satu tugasnya adalah deteksi dini guna mencegah peningkatan angka tersebut (Lubis,
2015) Tingkat pengetahuan tentang deteksi dini stunting harus dimiliki oleh kader dalam
menjalani perannya di posyandu mencegah dan menanggulangi stunting di masyarakat.
Perlunya diadakan kegiatan rutin tahunan seperti pelatihan kader dan penyegaran ilmu oleh
puskesmas dibawah naungan dinas kesehatan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan kader
sesuai kebaharuan informasi ilmiah terkini dan terkait dengan stunting (Tristanti &
Khoirunnisa, 2017)

2.5 Stunting
2.5.1 Pengertian stunting
Deteksi dini stunting adalah upaya untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan anak biasanya dilakukan dengan memplot berat badan dan tinggi badan ke
dalam suatu kurva pertumbuhan. Seorang anak dikatakan pendek jika tinggi badan atau
panjang badan menurut usia lebih dari dua standar deviasi di bawah median kurve standar
pertumbuhan anak WHO. ada tidaknya kelainan atau kerusakan fisik atau gangguan
pertumbuhan mental atau perilaku anak yang menyebabkan kecacatan secara dini dengan
menggunakan metode perkembangan anak. Tujuan deteksi dini stunting adalah untuk
memberikan pengetahuan dan pemahaman serta perhatian terhadap kondisi pertumbuhan
anak, yakni kondisi fisik dan motorik yang ada dalam diri individu untuk menghindari dan
menanggulangi akan terjadinya gangguan-gangguan. Deteksi dini stunting juga sebagai
bentuk preventif sejak awal terhadap indikasi-indikasi akan terjadinya gangguan (Kemenkes
RI, 2017).
Menurut Pusdatin (2016) Deteksi dini stunting upaya pencegahan terjadinya stunting
dapat dilakukan dengan :
a. Pada ibu hamil memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik
dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila
ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis
(KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut. Setiap ibu
hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan.
Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.

b. Meningkatkan pengetahuan kader, karena kader posyandu merupakan penggerak


utama seluruh kegiatan yang dilaksanakan di posyandu. Kader posyandu sebagai layanan
kesehatan primer diharapkan mengetahui masalah tumbuh kembang anak karena salah
satu tugasnya adalah deteksi dini guna mencegah peningkatan angka tersebut
c. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi
berumur 2 tahun atau lebih. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, imunisasi dasar
lengkap. 4. Memantau pertumbuhan Balita di posyandu merupakan upaya yang sangat
strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan
d. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga
termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta 15 menjaga
kebersihan lingkungan. PHBS menurunkan kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang
dapat membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh
menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan.

2.5.2 Dampak Stunting


Kementerian Kesehatan (2018) mengungkapkan bahwa stunting memiliki dampak.
Adapun dampak yang ditimbulkan dari stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek
dan jangka panjang yaitu:
a. Dampak Jangka Pendek

1. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian

2. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal

3. Peningkatan biaya kesehatan.

b. Dampak Jangka Panjang

1. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada
umumnya)

2. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya

3. Menurunnya kesehatan reproduksi

4. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah

5. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

2.5.3 Penilaian Stunting


Menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut
reference. Buku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah WHO – NCHS
(World Health Organization – National Centre for Health Statistic). Berdasarkan buku
Harvard status gizi dapat dibagi menjadi 4 yaitu :
a. Gizi lebih untuk over weight, termasuk kegemukan dan obesitas

b. Gizi baik untuk well nourished


c. Gizi kurang untuk under weight yang mencakup mild dan moderate PCM (Protein
Calori Malnutrition).

d. Gizi buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus, marasmikkwashiorkor dan


kwashiorkor.

Menurut Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderan Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak (2015), menyatakan bahwa klasifikasi status gizi balita menurut BB/U dibagi menjadi
4, yaitu :
a. Gizi buruk : <-3 SD

b. Gizi kurang : -3 SD sampai <-2 SD

c. Gizi baik : -2 SD sampai 2 SD

d. Gizi lebih : >2 SD

2.5.4 Ketentuan Umum


Ketentuan umum mengenai penggunaan standar antropometri, adapun ketentuan
untuk menetukan kejadian stunting sebagai berikut:
1) Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Indeks BB/U ini menggambarkan berat badan relatif dibandingkan dengan umur anak.
Indeks ini digunakan untuk menilai anak dengan berat badan kurang (underweight) atau
sangat kurang (severely underweight), tetapi tidak dapat digunakan untuk mengklasifikasikan
anak gemuk atau sangat gemuk. Penting diketahui bahwa seorang anak dengan BB/U rendah,
kemungkinan mengalami masalah pertumbuhan, sehingga perlu dikonfirmasi dengan indeks
BB/PB atau BB/TB atau IMT/U sebelum diintervensi.
Alat yang dapat memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih dan dianjurkan untuk
digunakan dalam penimbangan anak balita adalah dacin. Penggunaan dacin mempunyai
beberapa keuntungan antara lain:
a) Dacin sudah dikenal umum sampai di pelosok pedesaan.

b) Dibuat di Indonesia, bukan impor, dan mudah didapat.

c) Ketelitian dan ketepatan cukup baik.

Dalam Buku Kader (2005), diberikan petunjuk bagaimana menimbang balita dengan
menggunakan dacin. Langkah-langkah tersebut dikenal dengan penimbangan, yaitu :
a. Langkah 1 Menggantungkan dacin pada: Dahan pohon, palang rumah, atau
penyangga kaki tiga.
b. Langkah 2 Memeriksa apakah dacin sudah tergantung kuat. Tarik batang dacin
kebawah kuat-kuat.

c. Langkah 3 Sebelum dipakai letakkan bandul geser pada angka 0 (nol). Batang dacin
dikaitkan dengan tali pengaman.

d. Langkah 4 Pasanglah celana timbang, kotak timbang atau sarung timbang yang
kosong pada dacin. Ingat bandul geser pada angka 0 (nol).

e. Langkah 5 Seimbangkan dacin yang sudah dibebani celana timbang, sarung


timbang atau kontak timbangan dengan cara memasukkan pasir kedalam kantong plastik.

f. Langkah 6 Anak ditimbang, dan seimbangkan dacin.

g. Langkah 7 Tentukan berat badan anak, dengan membaca angka di ujung bandul
geser.

h. Langkah 8 Catat hasil penimbangan diatas dengan secarik kertas.

i. Langkah 9 Geserlah bandul keangka 0 (nol). Letakkan batang dacin dalam tali
pengaman, setelah itu bayi atau anak dapat diturunkan (Supariasa, 2013 ).

2. Ukuran panjang badan (PB) digunakan untuk anak umur 0 sampai 24 bulan yang
diukur terlentang. Bila anak umur 0-24 bulan diukur berdiri, maka asil pemngukuranya
dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm

3. Ukuran tinggi badan (TB) digunakan untuk anak diatas 24 bulan yang di ukur
berdiri. Bila anak umur diatas 24 bulan diukur terlentang maka hasil pengukuranya dikoreksi
dengan mengurangkan 0,7 cm.
4. Kejadian stunting dikategorikan dalam ukuran pendek (stunted) dan sangat pendek
(severely stunted).

2.6 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian Pre experimental
(Pra eksperimen). Penelitian pre-eksperimen merupakan rancangan penelitian yang
belum dikategorikan sebagai eksperimen sungguhan. Hal tersebut karena pada
rancangan ini belum dilakukan pengambilan sampel secara acak atau random serta
tidak dilakukan kontrol yang cukup terhadap variabel penganggu yang dapat
mempengaruhi variabel terikat.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah One-Group Pretest-Posttest
Design yaitu rancangan yang tidak memiliki kelompok pembanding (kontrol) tetapi
dengan melakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji
perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen dan dilakukan post test
(Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
pengetahuan kader posyandu terhadap deteksi dini stunting di posyandu Kelurahan
Sialang Munggu wilayah kerja Puskesmas Sidomulyo Rawat Jalan. Adapun gambaran
rancangan penelitian sebagai berikut :

O1 : Pre-test sebelum diberikan perlakuan


O2 : Post-test setelah diberikan perlakuan
X : Perlakuan (Penyuluhan dengan metode ceramah)

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian

1. Tempat dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian adalah di Posyandu Kelurahan Sialangmunggu Wilayah
kerja Puskemas Sidomulyo Rawat Jalan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Juli
2023.
2. Populasi dan sampel
Pada penelitian ini populasi yang diambil adalah seluruh kader posyandu di
wilayah kerja Puskesmas Sidomulyo Rawat Jalan dengan jumlah 325 kader.
Pengambilan sampel yang digunakan yaitu dengan cara simple random sampling.
Teknik pengambilan sampel ini dilakukan dengan menentukan jumlah sampel pada
tiap kelompok lalu setelah mendapatkan jumlah sampel diambil sampel secara acak.
Jumlah minimal sampel yang akan diteliti berdasarkan jumlah populasi dihitung
dengan menggunakan rumus slovin. Berdasarkan rumus tersebut, di dapatkan jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 45 kader.

n : jumlah sampel

N: jumlah populasi (325 kader)

e : margin of error (5%)


Gambar 3.1 Rumus Slovin

3. Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Data yang diambil dalam penelitian ini menggunakan data primer dan
sekunder. Data primer berasal dari kuesioner pre-test dan post-test. Data sekunder
berasal dari data kader posyandu di wilayah kerja puskesmas Sidomulyo Rawat Jalan.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner sebagai instrumen
pengumpulan data pengetahuan tentang pengetahuan kader terhadap deteksi dini
stunting yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori. Jenis kuesioner yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup atau berstruktur. Kuesioner
yang diberikan terdiri dari :

a. Formulir identitas sampel yang berisi inisial nama kader, jenis kelamin, tempat
tanggal lahir, alamat, lama menjadi kader dan pelatihan yang sudah diikuti.
b. Pertanyaan berjumlah 16 buah
c. Pertanyaan terbagi menjadi 2 yaitu 15 soal pilihan ganda dan 1 soal contoh
kasus
d. Pertanyaan terbagi menjadi 3 kelompok besar yaitu pengetahuan mengenai
stunting, pengisian grafik pada buku KMS dan pengetahuan mengenai cara
menimbang berat badan dan mengukur tinggi/panjang badan pada balita.
e. Pengetahuan Stunting : pertanyaan nomor 1, 3, 4, 7, 8 dan 15
i. Pengisian grafik KMS : pertanyaan nomor 2,10,11,13 dan 14
ii. Pengukuran berat badan dan tinggi/panjang badan : pertanyaan nomor 5,
6, 8,12 dan 16
f. Responden hanya tinggal memilih atau menjawab satu jawaban yang benar
dari alternatif jawaban yang sudah ada.
g. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala guttman dengan skor 1
(satu) untuk jawaban yang benar dan 0 (nol) untuk jawaban yang salah
(Sugiyono, 2011:96).
h. Pertanyaan pada kuesioner pre test dan post test memiliki jumlah dan isi
pertanyaan yang sama.
4. Langkah penelitian

Tahap awal kegiatan adalah dengan memberikan kuesioner pre-test untuk


mengetahui tingkat pengetahuan yang dimiliki kader mengenai deteksi dini stunting.
Kemudian responden diberikan materi deteksi dini stunting dengan metode ceramah.
Materi ceramah yang diberikan yaitu definisi stunting, pencegahan stunting, peran
kader dalam pencegahan stunting, serta cara pengukuran berat badan dan
tinggi/panjang badan balita yang benar. Materi ini diberikan dengan panduan buku
Panduan Pelaksanaan Pemantauan Pertumbuhan Di Posyandu dari Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia dan panduan Perawakan Pendek pada Anak dan
Remaja di Indonesia dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Setelah diberikan
materi dilanjutkan sesi diskusi dan post test untuk mengetahui tingkat pemahaman
materi yang telah diberikan.

5. Pengolahan dan Analisis data


Pengolahan data tentang pengetahuan deteksi dini stunting dari jawaban
kuisioner pre-test dan post-test dikemudian dilakukan perhitungan persentase dengan
menggunakan rumus (Aspuah, 2017) dibawah ini :

Berdasarkan presentase hasil yang didapatkan sampel, kemudian dikategorikan


menjadi 3 kategori yaitu pengetahuan baik dengan nilai 76-100, pengetahuan cukup
dengan nilai 60-75, pengetahuan kurang dengan nilai <60 (Arikunto, 2006).

Analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan dua cara yaitu analisis univariat
dan analisis bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran pengetahuan
kader posyandu tentang deteksi dini stunting. Analisis univariat merupakan analisis deskriptif
tiap variabel berupa standar deviasi, rata-rata, nilai tertinggi, dan nilai terendah. Dalam
analisis univariat, variabel tersebut dipelajari secara terpisah tanpa mempertimbangkan
hubungannya dengan variabel lain. Dalam penelitian ini, analisis univariat digunakan untuk
mengetahui distribusi dan persentase dari skor pengetahuan kader terhadap deteksi dini
stunting pada pre-test Analisis data bivariat adalah metode statistik yang meneliti bagaimana
dua hal yang berbeda saling berhubungan. Analisis bivariat bertujuan untuk menentukan
apakah ada hubungan statistik antara dua variabel dan, jika demikian, seberapa kuat dan ke
arah mana hubungan tersebut.22 Analisis bivariat dilakukan digunakan untuk mengetahui
perbedaan hubungan hasil skor pre-test dan post-test setelah dilakukan penyuluhan terhadap
kader. Data pre dan post-test dianalisis dengan program komputer, dengan tahapan sebagai
berikut: 1) uji statistik deskriptif; dan 2) uji perbandingan rerata 2 sampel yang berpasangan
(paired sample t-test). Seluruh perhitungan ini dilakukan dengan aplikasi IBM-SPSS. Hasil
skor pre-test dan post-test akan dibandingkan dengan melihat perbedaan pengetahuan
sebelum dan sesudah dilakukan metode ceramah pada sampel dengan kriteria uji
sebagai berikut :H0 : tidak ada perbedaan pengetahuan terhadap deteksi dini stunting sebelum
dan sesudah penyuluhan dengan metode ceramah pada kader posyandu kelurahan
Sialangmunggu

a. H1 : ada perbedaan pengetahuan terhadap deteksi dini stunting sebelum dan sesudah
penyuluhan dengan metode ceramah pada kader posyandu kelurahan Sialangmunggu
b. Ho ditolak H1 diterima jika p ≤ α (0,05) yang artinya ada perbedaan pengetahuan
terhadap deteksi dini stunting sebelum dan sesudah penyuluhan dengan metode
ceramah pada kader posyandu kelurahan Sialangmunggu
BAB III
PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan pada bab sebelumnya, diperlukan rencana


tindak lanjut yang dianggap paling efektif untuk mengatasi permasalahan mengenai kurangnya
pengetahuan kader terhadap deteksi dini stunting tersebut. Berikut beberapa rencana tindak lanjut
yang dapat dilakukan :
1. Rencana pertama yaitu dengan mengadakan kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan
menargetkan kader posyandu kelurahan tuah karya sebagai sasaran. Kegiatan ini dilakukan
pada tanggal kegiatan posyandu di kelurahan tuah karya. Tempat dilakukan penyuluhan
adalah di tiap posyandu kelurahan Sialangmunggu. Biaya yang diperlukan adalah untuk
mencetak kuesioner pre-test dan post-test. Pelaksanaan yang dilakukan adalah responden
diberikan pre-test sebelum penyuluhan dimulai. Kemudian setelah pre-test selesai, responden
diberikan materi deteksi dini stunting dengan metode ceramah. Materi ceramah yang
diberikan yaitu definisi stunting, pencegahan stunting, peran kader dalam pencegahan
stunting, serta cara pengukuran berat badan dan tinggi/panjang badan balita yang benar.
Materi ini diberikan dengan panduan buku Panduan Pelaksanaan Pemantauan Pertumbuhan
Di Posyandu dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dan panduan Perawakan Pendek
pada Anak dan Remaja di Indonesia dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Setelah
diberikan materi dilanjutkan sesi diskusi dan post test untuk mengetahui tingkat pemahaman
materi yang telah diberikan. Penanggung jawab dari kegiatan ini adalah peneliti.

2. Rencana kedua yaitu dengan melakukan kegiatan workshop. Kegiatan workshop


menargetkan kader posyandu sebagai sasaran. Kegiatan ini dilakukan sebanyak 1 kali di
puskesmas. Biaya yang diperlukan adalah untuk mencetak kuesioner pre-test dan post-test,
biaya snack, pembicara dan pengadaan acara. Pelaksanaan yang dilakukan adalah responden
diberikan
pre-test sebelum workshop dimulai. Kemudian setelah pre-test selesai, responden diberikan
materi deteksi dini stunting yang dilanjutkan dengan pelatihan pengukuran antropometri bayi dan
balita. Materi yang diberikan adalah persiapan alat (seperti dacin, microtoise atua timbangan
digital), syarat alat yang digunakan, pemeliharaan alat, pengukuran berat badan balita yang benar
berdasarkan usia, pengukuran panjang badan/tinggi badan anak yang benar berdasarkan usia dan
interpretasi hasil penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi/panjang badan. Setelah
diberikan materi dilanjutkan sesi diskusi dan post test untuk mengetahui tingkat pemahaman
materi yang telah diberikan. Penanggungjawab dari kegiatan ini adalah peneliti.

3. Rencana ketiga yaitu dengan melakukan kegiatan roleplay. Kegiatan roleplay menargetkan
kader posyandu sebagai sasaran. Kegiatan ini dilakukan sebanyak 1 kali di puskesmas. Biaya
yang diperlukan adalah untuk mencetak kuesioner pre-test dan post-test, biaya snack,
pembicara dan pengadaan acara. Pelaksanaan yang dilakukan adalah responden diberikan
pre-test sebelum roleplay dimulai. Kemudian setelah pre-test selesai, responden diberikan
materi deteksi dini stunting yang dilanjutkan dengan pelatihan pengukuran antropometri bayi
dan balita dan roleplay dengan menggunakan berbagai skenario. Kader pertama-tama
diberikan video mengenai bagaimana menangani balita di posyandu saat dalam proses
pengecekan kesehatan. Kader kemudian diminta untuk menirukan kegiatan tersebut yang
kemudian akan dinilai oleh penanggungjawab kegiatan. Kader kemudian diberikan masukan
mengenai roleplay yang sudah mereka lakukan dilanjutkan sesi diskusi dan post test untuk
mengetahui tingkat pemahaman materi yang telah diberikan. Penanggungjawab dari kegiatan ini
adalah peneliti.
Berdasarkan rencana kegiatan yang sudah dipaparkan sebelumnya, peneliti menimbang untuk
menggunakan rencana kegiatan dengan metode penyuluhan. Kegiatan ini dipilih karena waktu
penelitian yang terbatas, lokasi pelaksanaan posyandu di halaman rumah warga, audiens yang
tidak begitu banyak, sulitnya mencocokkan jadwal kegiatan posyandu, sulitnya memastikan dan
memotivasi seluruh kader untuk dapat hadir ke puskesmas untuk mengikuti kegiatan serta dana
kegiatan yang terbatas.
Mengetahui adanya keterbatasan tersebut, peneliti mengambil rencana kegiatan
penyuluhan dengan metode ceramah karena dianggap paling cocok dengan keadaan yang
dihadapi selama penelitian. Selain itu, ceramah adalah metode pengajaran melalui penyampaian
fakta dan ide secara lisan yang dapat menggunakan media atau tanpa media. Para audiens hanya
cukup mendengarkan dan mencatat hal – hal yang dianggap penting. Metode ini adalah metode
pembelajaran yang paling tua dan paling sering dipergunakan dalam bidan pendidikan mulai dari
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi ataupun pendidikan formal maupun tidak formal.
Pelaksanaan metode ini memiliki beberapa faktor penting yaitu
1) tempat, dimana para audiens akan menempati untuk mendengarkan sehingga harus dalam
keadaan yang layak,
2) pembicara yang menguasai masalah yang ingin disampaikan, dan
3) pembicara harus dapat menarik perhatian sasaran. Durasi yang direkomendasikan untuk
melakukan ceramah tidak lebih dari 30 menit, yaitu 10 menit pertama untuk memberi penjelasan
singkat dan jelas kemudian 20 menit terakhir disediakan untuk sesi tanta jelas. Gambar, foto
maupun video merupakan sarana- sarana pendukung agar pesan masalah yang ingin disampaikan
pembicara lebih mudah ditangkap oleh audiens.
BAB IV
RINGKASAN PELAKSANAAN

Pada penelitian ini populasi yang diambil adalah seluruh kader posyandu di wilayah kerja
Puskesmas Sidomulyo Rawat Jalan dengan jumlah 325 kader. Pengambilan sampel yang
digunakan yaitu dengan cara simple random sampling. Jumlah minimal sampel yang akan diteliti
berdasarkan jumlah populasi dihitung dengan menggunakan rumus slovin. Berdasarkan rumus
tersebut, di dapatkan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 45 kader. Lokasi
penelitian adalah di Posyandu Kelurahan Sialangmunggu Wilayah kerja Puskemas Sidomulyo
Rawat Jalan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Juli 2023.

a. Pengkajian
Upaya dalam mempersiapkan untuk penyuluhan dilakukan dengan optimal. Berdasarkan data dari
hasil pre-test, data dari kementrian kesehatan dan data dari puskesmas sidomulyo rawat jalan
masih terdapat kader yang masih memiliki pengetahuan yang kurang baik mengenai deteksi dini
stunting. Pengetahuan kader yang minimal mengenai deteksi dini stunting akan mempengaruhi
tingkat keberhasilan program posyandu khususnya dalam pemantauan tumbuh kembang balita.
b. Perencanaan
Membuat berbagai rencana kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan
pengetahuan kader mengenai stunting seperti penyuluhan, workshop dan roleplay. Setelah
melakukan berbagai pertimbangan, peneliti memutuskan untuk menggunakan metode penyuluhan
untuk memberikan hasil akhir yang maksimal.
c. Persiapan

Peneliti mempersiapkan kueisioner dan materi penyuluhan dengan mengambil dari panduan buku
Panduan Pelaksanaan Pemantauan Pertumbuhan Di Posyandu dari Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia dan panduan Perawakan Pendek pada Anak dan Remaja di Indonesia dari
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
d. Pelaksanaan
 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan dilakukan pada bulan Mei - Juni 2023, penulis melakukan kunjungan ke 9 posyandu
di Kelurahan Sidomulyo Barat yang disesuaikan dengan jadwal posyandu masing - masing.
Kegiatan rutin posyandu dimulai dari jam 09.00 - 11.30 WIB.

 Pihak yang terlibat


 Fasilitator : Dokter internship

o Pengawas lapangan : Tenaga Kesehatan Puskesmas (Perawat/Bidan)


o Audiens : Kader (5 orang setiap posyandu)

 Alur kegiatan :

1. Posyandu dibuka oleh kader & tenaga kesehatan puskesmas


2. Peserta posyandu yang datang segera di ukur berat badan dan tinggi badan oleh kader,
saat kegiatan ini penulis juga melakukan pengamatan serta penliaian bagaimana
berjalannya proses pengukuran antropometri.
3. Setelah para peserta posyandu terlayani oleh kader dan tenaga kesehatan, para kader
dikumpulkan untuk melakukan pretest.
4. Para kader dibagikan lembaran pre-test yang berisi 16 soal (Lampiran 1) dan diberikan
waktu 10 menit untuk menjawab dan dikumpulkan kembali ke penulis.
5. Penulis memberikan penyuluhan dengan metode ceramah sekitar 15-30 menit terkait
definisi stunting, deteksi dini stunting, cara
pengukuran antropomteri yang benar serta bagaimana mengisi dan monitoring status gizi
melalui grafik di dalam buku KMS.

6. Setelah penyuluhan serta proses tanya-jawab antara penulis dan kader selesai,
dilanjutkan dengan mengisi post-test guna mengevaluasi pengetahuan kader. Para kader
dibagikan lembaran post-test yang berisi 16 soal (Lampiran 1) dan diberikan waktu 10
menit untuk menjawab.
7. Setelah data pre- test dan post-test terkumpul, penulis menganalisa hasil tersebut
menggunakan SPSS guna mengetahui apakah ada hubungan antara pemberdayaan kader
terhadap deteksi dini stunting.
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI

5.1 MONITORING

Setelah dilakukannya serangkaian pelaksanaan, berikut hasil penelitian dari gambaran


kader posyandu tentang deteksi dini stunting di Kelurahan Kelurahan Sialangmunggu
wilayah kerja Puskesas Sidmulyo RJ pada tahun 2023 memiliki jumlah sampel sebanyak 45
responden. Peneliti mealukan pre-test guna mengetahui tingkat pengetahuan kader mengenai
deteksi dini stunting lalu peneliti memberikan penyuluhan tentang stunting, pemeriksaan
antropometri dan pengisian buku KM dengan ceramah. Setelah itu peneliti melakukan post-
test untuk mengetahui apakah ada perembangan pengetahuan dari kadernya sendiri. Hasil
pengumpulan data dan analisa data yang telah dilakukan oleh peneliti tersebut akan disajikan
dalam bentuk sebagai berikut:
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Karakteristik responden menurut usia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.1 Karakteristik Kader Posyandu

Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden


Variabel Frekuensi (n=45) Persentase (%)
Umur (Mean ± SD, Min-Max) 46,0± 8,45 , 28-66
Pendidikan terakhir
Tamat SMA/Sederajat 28 62%
Tamat D2/D3/D4 10 22%
Tamat S1 7 16%
Lama menjadi kader
0-5tahun 29 64%
5-10 tahun 4 9%
>10 tahun 12 27%
Pelatihan yang diikuti
Ada 25 56%
Tidak Ada 20 44%

Dari tabel diatas didapatkan rata-rata umur kader posyandu yaitu 46,0 tahun.
Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar (62%) kader menamatkan pendidikan
SMA/sederajat. Berdasarkan lama menjadi kader, sebagian besar kader posyandu sudah
menjadi kader selama 0-5 tahun (64%). Tingkat pendidikan para kader posyandu menunjukan
secara keseluruhan kader posyandu mampu membaca dan menulis dengan baik. Kemampuan
dasar ini sangat penting untuk dimiliki kader, sehingga materi pelatihan yang diberikan dapat
dengan mudah diterima dan dipahami oleh kader. Berdasarkan ada/tidaknya pelatihan yang
diikuti, sebagian besar (44%) kader belum pernah mengikuti pelatihan sebelumnya.

2. Pengetahuan Kader Tentang Deteksi Dini Stunting

Distribusi Frekuensi Pengetahuan dan sikap Kader tentang Kesehatan Ibu hamil, bayi
dan balita dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 4.2 Kategori nilai Pre-test Tabel 4.3 Kategori nilai Post-test

Kategori Nilai Pre-test Kategori Nilai Post-test


Tingkat Persentase Tingkat Persentase
Frekuensi Frekuensi
Pengetahuan (%) Pengetahuan (%)
Baik 30 66,7 Baik 44 97,8
Cukup 14 31,1 Cukup 1 2,2

Kurang 1 2,1 Kurang 0 0,0

kategori nilai
pre test post test
97.80%
66.70%

31.10%

2.20%

0.00%

0.00%

b ai k cukup ku ran g

Gambar 4.1 Kategori Nilai Pretest dan Posttest

Dari tabel 4.2, hasil pre-tes tdi dapat dari 45 orang responden, terdapat 66,7% responden
yang telah mengetahui dengan baik tentang deteksi dini stunting sedangkan hampir
separuh dari kader tersebut masih kurang mengetahui tentang deteksi dini stunting. Dari
tabel 4.3, berdasarkan hasil post-test, dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan tingkat
pengetahuan responden menjadi 97,8% pada kategori baik. Tidak ada lagi responden
yang memiliki pengetahuan kurang pada post-test mengenai deteksi dini stunting

3. Jumlah Kategori Soal yang Salah


Jumlah soal yang salah berdasarkan kategori dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Kategori Soal SUM Pretest Persentase SUM Posttest Persentase

Pengisian buku
58 48% 25 46%
KMS

Pengukuran BB TB 10 8,2% 1 1,9%

Stunting 54 44% 28 52%

Total 122 54

Tabel 4.4 Jumlah Kategori Soal yang Salah

Chart Title
200%
180%
160%
140%
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Pengisian Buku KMS pengukuran BB/PB/TB stunting

pre test post test

Gambar 4.2 Kategori Soal Salah pada Pre-test dan Post-test


Pada tabel 4.4 dapat diketahui data pre-test menunjukkan proporsi terbanyak menjawab
benar pada item pertanyaan terkait pengukuran BB/PB/TB balita. Namun, kader
posyandu banyak menjawab salah pada pertanyaan terkait stunting. Hasil post-test
menunjukan proporsi terbesar untuk jawaban kader yang masih salah pada pertanyaan
terkait stunting meskipun jumlah persentase nya menurun dibandingkan total

4. Hubungan Nilai Pretest dan Post Test Setelah Diberikan Penyuluhan

Hubungan nilai pretest dan post test setelah diberikan penyuluhan dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut:

Tabel 4.5 Nilai Pre-test dan Post-test Pengetahuan Kader Posyandu


Kenaika
Variabel Mean ± SD, Min-Max n skor Nilai P
rata-rata
82.8
Nilai Pre- 11,1
test ± 10.67 (44-100)
0.001
Nilai Post-
93.9 ± 6.5 (75-100)
test
Chart Title
100.00%
90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
75

nilai pre test nilai post test

Pada tabel 4.5. menunjukkan rata-rata nilai pre-test kader sebesar 82.8 dengan nilai terendah
yaitu 44 dan tertinggi 100, sedangkan post-test sebesar 93,9 dengan nilai post-test terendah
yaitu 75 dan nilai tertinggi yaitu 100. Rata-rata kenaikan pengetahuan saat pre-test dan post-
test sebesar 11,9. Nilai p juga menunjukkan 0,001 (<0,05). Hal ini menunjukan adanya
perbedaan signifikan sebelum dilakukan penyuluhan dibandingkan dengan setelah
penyuluhan.

BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI

1. Distribusi Karakteristik

Masa dewasa adalah masa komitmen yaitu mulai memikul tanggung jawab, lebih mudah
bersosialisasi dibandingkan dengan remaja. Seseorang yang lebih dewasa akan lebih
dipercaya oleh masyarakat dari pada mereka yang berusia lebih muda. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian menunjukan rata-rata umur kader adalah 46 tahun yaitu dengan usia paling
muda adalah usia 28 tahun dan paling tua adalah 59 tahun. Usia ini merupakan usia produktif
yang memiliki kelebihan baik dari segi stamina, fisik, serta tingkat kecerdasan dan
kreativitas.

Jika dilihat dari usia kader yang paling tua adalah usia 59 tahun yang memang masih
tergolong usia produktif namun dengan bertambahnya usia, maka produktifitas akan
berkurang karena penurunan kemampuan fisik dari seorang individu. Berdasarkan hasil ini,
seluruh kader termasuk dalam usia dewasa dimana diharapkan orang dewasa dapat menjadi
kader posyandu yang bersosialisasi kepada masyarakat serta memikul tanggung jawab
sebagai penggerak posyandu dan dapat menyampaikan informasi tentang kesehatan kepada
masyarakat. Umur seseorang akan memengaruhi kinerja karena semakin lanjut umurnya akan
semakin bertanggung jawab dan tertib dalam menjalankan tugasnya.20

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat kader paling banyak dengan pendidikan
SMA yaitu sebesar 64%. Tingkat pendidikan berhubungan dengan kemampuan dalam
menerima informasi kesehatan, baik dari media massa maupun petugas kesehatan, sehingga
seorang kader dengan pendidikan tinggi diharapkan mampu untuk meneruskan informasi
kesehatan kepada masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan memudahkan
penerimaan informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan yang dimiliki seorang kader.21,22

Sebagian besar responden penelitian sudah menjadi kader dalam rentang waktu 0-5
tahun yaitu sebesar 53%. Lamanya menjadi kader merupakan kendala dalam keaktifan kader
dalam kegiatan posyandu. Semakin banyak kegiatan ibu di rumah harapannya kegiatan
posyandu yang berada di wilayah nya akan diperhatikan dan kader akan aktif karena kader
akan banyak meluangkan waktu untuk kegiatan posyandu di wilayahnya dan keterampilan
dalam melaksanakan tugas dapat dijadikan sebagai parameter hasil kerja seseorang, hal ini
dapat dilihat dari lamanya seseorang bekerja, begitu juga dengan kader posyandu, semakin
lama seseorang menjadi kader posyandu maka keterampilan dalam melaksanakan tugas pada
saat kegiatan posyandu akan semakin tinggi sehingga partisipasi kader dalam kegiatan
posyandu akan semakin baik.

2. Tingkat Pengetahuan Kader

Berdasarkan hasil analisis distribusi frekuensi diketahui bahwa sebagian besar tingkat
pengetahuan kader pada pretest masuk ke dalam kategori baik dengan hasil 30 orang
(66,7%), tingkat pengetahuan kader kategori cukup dengan hasil 14 orang (31,1%) dan
tingkat pengetahuan kader kategori kurang dengan hasil 1 orang (2,1%).

Pengetahuan seseorang di pengaruhi oleh umur, pendidikan, pekerjaan dan lamanya


menjadi kader, hal ini di dukung dengan hasil karakteristik responden di atas. Faktor yang
dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan terbagi menjadi dua yaitu faktor internal, dan
faktor eksternal. Faktor internal faktor yang berasal dari dalam diri sendiri ini meliputi umur,
pendidikan dan pengalaman. Faktor eksternal terdiri dari pekerjaan, lingkungan serta sosial
ekonomi. Tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu umur,
pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan hasil penelitan terdahulu pengetahuan dapat
dipengaruhi oleh pendidikan seseorang, karena tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin tinggi pula kemampuan dalam menerima informasi dan pada
akhirnya makin banyak pengetahuan yang dimiliki.21

Dari hasil penelitian ini masih terdapat empat kader posyandu yang dengan tingkat
pengetahuan kurang. Hal itu menurut peneliti disebabkan karena kurangnya partisipasi kader
dalam mengikuti pelatihan yang di adakan puskesmas atau instansi lain seperti pembinaan
kader posyandu, pelatihan peningkatan kapasitas kader posyandu dan sebagainya. Faktor lain
yang dapat mempengaruhi pengetahuan yang kurang pada empat kader tersebut yaitu faktor
usia, faktor usia kader yang sudah mencapai 45-50 tahun ke atas sehingga kader dengan usia
tersebut sulit untuk menerima informasi baru tentang deteksi dini stunting.21,22

Pengetahuan yang baik penting terhadap perubahan sikap, perubahan sikap dimulai
dengan adanya pengetahuan dan pengalaman belajar yang didapat, hal ini sesuai dengan hasil
peneliti pada saat survey dimana setelah dilakukan penyuluhan terdapat peningkatan jumlah
kader yang masuk dalam kategori baik menjadi 44 orang (97,8%), kategori cukup 1 orang
(2,2%) dan tidak ada kader yang masuk dalam kategori kurang. Pengetahuan yang baik akan
timbul persepsi yang selanjutnya akan terbentuk sikap yang merupakan dorongan terhadap
terjadinya perilaku. Pengetahuan yang tinggi akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi
yang berdampak kader akan aktif dalam menjalankan kegiatan posyandu.

Pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya media massa baik
elektronik maupun cetak. Seseorang dikatakan mempunyai pengetahuan yang tinggi bila
didukung oleh banyaknya sumber informasi yang didapat banyak informasi yang didapatkan
akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya. Kader kesehatan yang memiliki tingkat
pengetahuan yang baik disebabkan oleh mengikuti pelatihan seperti pelatihan mengisi buku
KMS, pelatihan tentang stunting dan lain-lain.23

Deteksi dini stunting merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas anak dan
merupakan suatu program dari pemerintah, pemantauan dan deteksi stunting anak usia dini
merupakan bagian dari tanggung jawab petugas kesehatan bekerja sama dengan kader di
wilayah kerjanya masing-masing.24 Kemampuan deteksi dini stunting adalah upaya
pemantauan pertumbuhan balita di posyandu untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan
pertumbuhan. Deteksi dini adalah salah satu cara terbaik untuk mengurangi angka prevalensi
stunting. Prosedur terpenting dari deteksi dini adalah skrining rutin dan follow-up tinggi
badan balita. Program posyandu yang dibuat oleh pemerintah sudah sangat baik dan menjadi
solusi yang konkrit untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Semakin baik pelayanan
yang dilakukan posyandu sebanding dengan peningkatan mutu kesehatan masyarakat. Proses
skrining rutin tinggi badan sudah selayaknya menjadi agenda wajib dalam setiap kegiatan
yang dilaksanakan di posyandu.25

3. Jumlah Kategori Soal yang Salah


Data pre-test menunjukkan proporsi terbanyak menjawab salah pada item pertanyaan
terkait stunting (37%) dan pengisian buku KMS (46%). Pada pertanyaan terkait stunting
masih banyak kader yang tidak mengetahui definisi dan kelompok usia stunting. Kedua
pengetahuan ini sangat penting mengingat kader merupakan tim pertama yang semestinya
mampu mengenali anak-anak yang beresiko stunting. apabila kader memiliki pengetahuan
mengenai deteksi dini stunting, maka pencegahan dapat segera dilakukan agar anak tersebut
masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Rendahnya tingkat pengetahuan stunting
dibandingkan dengan kategori pertanyaan lain menunjukkan kurangnya pengetahuan kader
mengenai deteksi dini stunting di posyandu.

Mengingat begitu pentingnya peran kader dalam mencegah dan menanggulangi


stunting di masyarakat oleh karena itu perlu diadakan penyuluhan, dan pelatihan kader untuk
meningkatkan kemampuan kader dalam mengukur dan menentukan status gizi balita
sehingga pelayanan kader optimal. Penyuluhan yaitu memberikan informasi kesehatan
kepada kader agar dapat diteruskan kepada masyarakat. Pelatihan mengukur dan menentukan
status gizi bertujuan agar kader mampu menentukan status gizi balita secara tepat dan
memberikan laporan yang aktual dan akurat pada pihak puskesmas.11,19

Pada item pertanyaan terkait pengisian buku KMS, masih banyak kader yang belum
dapat mengisi dan menginterpretasikan grafik pertumbuhan yang terdapat dalam buku KMS.
Berdasarkan hasil observasi, masih banyak kader yang bingung dan hanya 1 kader yang
mampu membaca grafik pada tiap posyandu. Grafik pertumbuhan sesuai usia dan jenis
kelamin tersebut dapat membantu dalam memantau tumbuh kembang bayi dan balita
sehingga dapat dideteksi sedini mungkin masalah kesehatan yang dimiliki seorang bayi dan
balita.11,16 Ketika kader kurang mengetahui tentang perkembangan balita dan tanda dan ciri
khas stunting, mereka tidak akan melapor ke tenaga kesehatan sehingga keterlambatan
perkembangan dan pertumbuhan pada balita tidak diatasi dengan cepat.

Setelah dilakukan penyuluhan, terdapat pengurangan dalam jumlah soal yang salah
pada hasil post test hingga hampir separuhnya. hal ini menunjukkan bahwa dengan
memberikan penyuluhan terkait deteksi dini stunting kepada kader, hal ini menunjukkan
bahwa perubahan tingkat pengetahuan kader sudah cukup baik, pengetahuan kader posyandu
mengenai kemampuan dalam deteksi dini stunting untuk dijadikan sebagai modal dalam
melaksanakan kegiatan pemantauan pertumbuhan dan status gizi di posyandu, serta mampu
memberikan konseling kepada keluarga balita yang berisiko atau mengalami stunting.

4. Hubungan Tingkat Pengetahuan Kader Posyandu Dengan Kemampuan Deteksi Dini


Stunting

Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan tingkat pengetahuan kader
posyandu dengan kemampuan deteksi dini stunting dimana terlihat dari hasil analisis bivariat
dengan metode paired t-test menunjukkan hasil p<0.05 (p=0.001). Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Handayani, et al (2019) yang menunjukkan hasil bahwa terdapat
hubungan tingkat pengetahuan dengan kemampuan kader dalam deteksi dini yang diketahui
melalui perbedaan tingkat pengetahuan kader tentang pencegahan stunting sebelum dan
sesudah diberikan penyuluhan.26 Penelitian ini didukung juga oleh penelitian tentang
Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Metode Leaflet Terhadap Pengetahuan Kader
Posyandu Abadi Tentang Imunisasi MR Booster dimana hasil uji paired sampel t-test
menunjukkan p-value= 0.000 atau < 0.05.27

Kader yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang cukup akan mampu
diberdayakan untuk melaksanakan program-program kesehatan di masyarakat. Dengan
tingkat pengetahuan kader yang baik, kader akan menerapkan pengetahuan tersebut dalam
pemantauan melaksanakan tugasnya. Tingkat pengetahuan kader yang baik dapat
meningkatan kemampuan kader kesehatan dalam deteksi stunting, Pengetahuan dan
kemampuan kader juga dipengaruhi pendidikan formal, keaktifan kader di posyandu dan
lamanya menjadi kader.25

Kader posyandu yang berpendidikan tinggi mempengaruhi tingkat kinerja seorang


kader. Kader yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang cukup akan mampu
diberdayakan untuk melaksanakan program-program kesehatan di masyarakat terutama
dalam mendeteksi dini stunting. Dengan tingkat pengetahuan kader yang baik, kader akan
menerapkan pengetahuan tersebut dalam pemantauan melaksanakan tugasnya dalam
mendeteksi kejadian stunting.

Kemampuan yang dimiliki kader dalam mendeteksi stunting dapat dilakukan melalui
pelatihan yang dilanjutkan dengan monitoring lapangan observasi keterampilan kader.
Kemampuan kader dalam deteksi dini stunting dapat ditingkatkan dengan dilaksanakan
kegiatan pendidikan kesehatan dan pelatihan pada kader tentang pemeriksaan antopometri
dan penilaian status gizi balita, pada pelatihan para kader diberikan suatu aplikasi
berdasarkan Kementerian Kesehatan untuk mendeteksi status gizi balita sehingga dapat
dijadikan sebagai usaha deteksi awal stunting.

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian tentang pengaruh penyuluhan dan
pelatihan melalui media leaflet terhadap pengetahuan kader PHBS di Kecamatan Ratolindo
Kabupaten Tojo Una-Una yang menjelaskan bahwa pada hasil uji t-test terdapat perbedaan
rata-rata frekuensi pengetahuan kader PHBS setelah dilakukan intervensi penyuluhan dan
pelatihan dengan nilai p-value =0.010 atau < 0.05 (Saleh, 2018). Sikap terhadap penyuluhan
gizi balita berpengaruh signifikan terhadap perilaku kader dalam penyuluhan gizi balita di
posyandu wilayah kerja Puskesmas Ngemplak Kabupaten Boyolali dengan p-value = 0.000
atau < 0.05.28

Penelitian ini dapat menggambarkan bahwa kader yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Sidomulyo Rawat Jalan kelurahan Tuah Karya mempunyai pengetahuan yang
kurang tentang deteksi dini stunting terlihat dari perbedaan rata-rata skor kader pada pre-test
(78,3) dan post-test (92,2). Berdasarkan hal tersebut, penyuluhan dan bimbingan dari petugas
kesehatan harus lebih ditingkatkan dengan cara melakukan penyuluhan dan evaluasi pada
kader. Tenaga kesehatan memiliki tugas dalam memberikan informasi pada kader mengenai
tugasnya sebagai kader terutama dalam kesehatan anak agar kader mengetahui dengan baik
tentang perkembangan anak, sehingga kader mampu memberikan penyuluhan pada orang tua
serta mendeteksi perkembangan balita.

Pembangunan kesehatan masayarakat merupakan tugas bersama yang tidak dapat


dilakukan oleh tenaga medis saja, peran serta masyarakat juga turut diperlukan mengingat
wilayah Indonesia yang sangat luas. Keberadaan kader posyandu dapat menjadi kepanjangan
tangan dari puskesmas untuk membantu dalam usaha pembangunan kesehatan masyarakat.
Penyuluhan dan pelatihan kader posyandu sebaiknya dilakukan secara berkesinambungan
mengingat usia para kader posyandu yang pada umumnya telat berusia diatas 40 tahun
sehingga perlu dilaksanakan penyegaran informasi kesehatan kepada kader. Hasil kegiatan
penyuluhan materi kesehatan kepada kader dengan metode ceramah menunjukan hasil yang
positif berupa nilai post test yang lebih baik dibanding pretest. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang menunjukan peningkatan pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, berikut kesimpulan yang dapat diambil
pada penelitian ini:

a. Terdapat pengaruh promosi kesehatan yang signifikan terhadap pengetahuan deteksi


dini stunting oleh kader posyandu kelurahan Sialangmunggu melalui metode ceramah
dengan p-value < 0.05.
b. Kegiatan penyuluhan mengenai deteksi dini stunting penting diberikan kepada kader
posyandu untuk meningkatkan pelayanan kader kepada masyarakat, hal tersebut
terlihat dari peningkatan pengetahuan pada kader posyandu setelah dilakukan
kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan sebaiknya dilakukan rutin untuk menjaga
pengetahuan tetap baik dan benar.
c. Hasil pemberdayaan kader posyandu menunjukkan adanya kenaikan skor
pengetahuan kader posyandu. Diharapkan dengan peningkatan kapasitas (pengetahuan
dan ketrampilan) dalam pemberian edukasi terkait deteksi dini stunting di posyandu
akan dapat membantu mencegah kejadian stunting pada anak balita.

Daftar Pustaka
1. Kemenkes. (2021). 1 dari 3 Balita Indonesia derita stunting. Direktorat P2PTM.
Retrieved October 28, 2021 (http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/1-dari-3-balita-
indonesia-derita-stunting).
2. Unicef. (2021). Malnutrition in children. UNICEF DATA. Retrieved October 28, 2021
(https://data.unicef.org/topic/nutrition/malnutrition/).
3. World Health Organization. (2018). Reducing stunting in children: Equity
considerations for achieving the global targets 2025. Retrieved October 29, 2021
(https://www.who.int/publications-detail-redirect/9789241513647).
4. Astuti, D.P, Utami, W., Sulastri, E. (2020). Pencegahan stunting melalui kegiatan
penyuluhan gizi balita dan pemberian makanan tambahan berbasis kearifan lokal di
posyandu desa Madureso. Proceeding of The URECOL 74–79.
5. RISKESDAS. (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Tersedia dari
http://labdata.lit bang.kemkes.go.id/images/download/laporan/
RKD/2013/Laporan_riskesdas_2013_final.pd f
6. Kementrian Kesehatan RI. (2017). Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. In Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan kader kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan kader kesehatan.
7. Kementrian Kesehatan RI. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. In
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.
8. Kementrian Kesehatan RI. (2018). Situasi
9. Kementerian Prencanaan dan Pembangunan Nasional. (2018). Pedoman Intervensi
Penurunan Stunting (Issues 1–59). Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional
10. Handarsari, Syamsianah, Astuti, (2019). Pendidikan Kesehatan Untuk Meningkatkan
Keterampilan Kader Posyandu Terhadap Pencegahan Stunting Pada Balita Di Desa Kualu
Tambang Kampar. 4(April), 20–26.
11. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Profil Kesehatan Provinsi Riau 2019. Pekanbaru:
Dinas Kesehatan Provinsi Riau; 2020.
12. Profil Puskesmas Sidomulyo. Pekanbaru; 2023.
13. Sulistyorini. 2010. Posyandu dan Desa Siaga. Jogjakarta: Nuha Medika
14. Wahyuni, I. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Gizi dengan Status Gizi
Anak Balita di Desa Ngemplak Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta : 2009.
15. Notoatmojo, S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Pendidikan Gizi dalam
Pemberian Makanan Tambahan Lokal bagi Ibu Hamil dan Balita. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2018.
17. Supariasa. (2019). Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
18. Niken, L. T. (2018). Hubungan Peran Kader Posyandu Dengan Kejadian Stunting
Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Desa Karangrejek Wonosari Gunung Kidul.
Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
19. Nasar SRI S, 2015. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita.
Media Gizi Indonesia 1(1) : 13-19.
20. Didah, Susanti, Elba. Survei pengetahuan dan sikap kader posyandu tentang
kesehatan ibu hamil, bayi dan balita di wilayah kerja puskesmas jatinangor
kecamatan jatinagor kab sumedang. Bandung: Program Diploma Kebidanan FK
Unpad. 2018.
21. Wahyutomo, Hernowo A. Hubungan Karakteristik Dan Peran Kader Posyandu
Dengan Pemantauan Tumbuh Kembang Balita Di Puskesmas Kaliditu-Bojonegoro.
Thesis. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2010.
Dharmawati, I.G.A, Wirata, N., 2016. Hubungan Tingkat Pendidikan,Umur, Dan Masa
Kerja dengan Tingkat Pengetahuan Kesehatan Gigi dan Mulut Pada Guru Penjaskes
SD di Kecamatan Tampak Siring Gianyar. Jurnal Kesehatan Gigi. 4,1
22. Sandiyani, Rizqa A. Lama Menjadi Kader, Frekuensi Pelatihan, Pengetahuan Gizi, Dan
Sikap Kader Posyandu Dengan Perilaku Penyampaian Informasi Tentang Pesan Gizi
Seimbang. Thesis. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. 2011.
23. Adhi, K, T., Widarini, N., et al. 2021. Pemberdayaan kader posyandu dalam
pencegahan stunting melalui penerapan praktek promosi makanan pendamping asi
(mpasi) optimal. Buletin Udayana Mengabdi, 20:02.
24. Fikawati, S., Syafiq, A., Ririyanti, R.K. and Gemily, S.C., 2021. Energy and protein intakes are
associated with stunting among preschool children in Central Jakarta, Indonesia: a case-control study.
Malaysian Journal of Nutrition, 27(1).
25. Herawati, H., Anwar, A. and Setyowati, D.L., 2020. Hubungan Sarana Sanitasi, Perilaku Penghuni,
dan Kebiasaan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) oleh Ibu dengan Kejadian Pendek (Stunting) pada
Batita Usia 6-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Baru, Samarinda. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 19(1), pp.7-15.
26. Handarsari, Syamsianah, Astuti, (2019). Pendidikan Kesehatan Untuk
Meningkatkan Keterampilan Kader Posyandu Terhadap Pencegahan Stunting Pada
Balita Di Desa Kualu Tambang Kampar. 4(April), 20–26.
27. Sari, A. 2018. Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Metode Leaflet Terhadap
Pengetahuan Kader Posyandu Abadi Tentang Imunisasi MR Booster. Jurnal Keperawatan
Intan Husada Vol 6 No 1 Hal 60-73
28. Kusuma, A. 2015. Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Kader Terhadap Perilaku Kader Dalam
Penyuluhan Gizi Balita di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Kabupaten
Boyolali. Naskah Publikasi: Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta

LAMPIRAN 1

Hasil Pengolahan SPSS

Paired Samples Statistics


Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 PRETEST 82.9556 45 10.73642 1.60049

POSTTES 94.0444 45 6.52950 .97336


T

Paired Samples Correlations


Significance

N Correlation One-Sided p Two-Sided p

Pair 1 PRETEST & 45 .610 <.001 <.001


POSTTEST

LAMPIRAN 2
Kuesioner Pre-test dan Post-test
BAGIAN A
Kuesioner Demografi
A. Data Umum
Jawablah daftar pertanyaan berikut ini dengan menuliskan tanda checklist ( √ ) pada
kotak dan mengisi pada isian titik – titik yang telah disediakan :

1. Inisial Nama :
2. Umur (tahun) :
3. Jenis Kelamin :
4. Pendidikan terakhir :
5. Nama posyandu :
6. Lama menjadi kader :
7. Pelatihan yang sudah di dapat :

B. Data Khusus
1. Kuisioner pengetahuan kader
2. Cheklist kemampuan kader tentang deteksi dini stunting

KUISIONER PENGETAHUAN KADER

Petunjuk pengsian :

Berilah tanda centang pada jawaban anda anggap benar


Soal
1. Kekurangan gizi dalam waktu yang lama adalah salah satu penyebab stunting,apakah
pernyataan tersebut benar?

a. Benar

b. Salah

2. Dacin diberi sarung timbangan kemudian di seimbangkan menggunakan pasir sampai


kedua jarum diatas tegak lurus

a. Benar

b. Salah

3. Apa definisi stunting?

a. Perawakan pendek

b. Perawakan kurus

c. Perawakan kecil

4. Stunting terjadi pada anak ....

a. 0–6bulan

b. 7–23bulan

c. bawah 3 tahun

d. bawah 5 tahun

5. An. A pada bulan ke 5 datang ke posyandu dengan hasil pengisian grafik KMS sejajar
dengan bulan sebelumnya setelah itu pada bulan ke 6 An. A datang lagi dengan hasil
pengisian KMS sejajar dengan bulan sebelumnya dan grafik pertumbuhan anak
berada di garis hijau muda apakah anak ini sudah dikatakan stunting?

a. Ya

b. Tidak

6. Pengisian grafik KMS dikatakan naik apabila grafik BB mengikuti garis pertumbuhan

a. Benar

b. Salah

7. Penyebab stunting adalah

a. kekurangan gizi saat janin

b. kekurangan gizi saat berumur 0 – 6 bulan

c. kekurangan gizi saat 1000 hari pertama kehidupan


8. Gangguan perkembangan akibat gizi kronis,gangguan perkembangan kognitif dan
motorik ataupun sistem kekebalan tubuh adalah dampak dari stunting

a. Benar

b. Salah

9. Pada An. A yang mengikuti posyandu dan hasil dari pengisian KMS adalah grafik
pertumbuhan anak di KMS berada di area warna kuning hal ini menunjukkan bahwa
An. A

a. Mengalami kurang gizi ringan

b. Mengalami kurang gizi berat

10. Cara membaca BB balita dengan melihat angka di ujung bandul geser

a. Benar

b. Salah

11. Anak usia 2 tahun/lebih di ukur TB nya secara?

a. Berdiri

b. Terlentang

12. Di dalam KMS, istilah naik atau tidak naik berat badan anak dilambangkan dengan
huruf N dan T. N yaitu untuk berat badan naik dan T untuk berat badan tidak naik”
apakah pernyataan tersebut sesuai ?

a. Benar

b. Salah

13. Microtoise digunakan untuk mengukur tinggi badan anak usia di atas 2 tahun dengan
cara berdiri

a. Benar

b. Salah

14. Pada saat menimbang BB sebaiknya aksesoris anak di lepas seperti topi dll

a. Benar

b. Salah

15. Pencegahan dimulai ....

a. saat janin

b. saat anak dilahirkan

c. saat anak berumur 6 bulan


16. Anak D, laki-laki, usia 3 tahun, datang ke posyandu dengan ibunya untuk kunjungan
rutin. Setelah dilakukan pengukuran didapatkan berat badan Anak D 11 kg dengan
tinggi badan 90 cm. Tentukan status gizi anak berdasarkan grafik dibawah ini.

Jawaban :

You might also like