You are on page 1of 26

MONEY LAUNDRY SUMBER

KETIDAKPATUHAN WAJIB PAJAK

Abd. Kadir Jaelani 2014 30 259


Dicky Vincent R. 2014 30 317
Ayu Setyawati 2014 30 091
Novia Fajriani 2014 30 081
Rina Nur Halimah 2014 30 103

YAYASAN PENDIDIKAN BONGAYA UJUNG PANDANG


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
MAKASSAR
2017

“Hasil yang nihil, lebih baik daripada omong yang kosong”


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan YME, karena dengan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Money Laundry Sumber Ketidakpatuhan Wajib
Pajak”. Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami
berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
membimbing kami dalam mengerjakan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun
tidak langsung dalam pembuatan makalah ini. Tentunya kami berharap semoga makalah ini
dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama.

Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya
makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya.

Makassar, 11 November 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Sampul................................................................................................................................. i

Kata Pengantar..................................................................................................................... ii

Daftar Isi.............................................................................................................................. iii

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang......................................................................................................... 1
2. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 1
3. Lingkup Pembahasan............................................................................................... 1

BAB II
ANALISA
LANDASAN TEORI
A. Sejarah dan Perkembangan Money Laundry........................................................... 2
B. Definisi Money Laundry......................................................................................... 2
C. Media Money Laundry............................................................................................ 4
D. Modus dan Metode Money Laundry....................................................................... 5

PEMBAHASAN
A. Praktik Money Laundry........................................................................................... 7
B. Tahapan Money Laundry......................................................................................... 17
C. Dampak Money Laundry......................................................................................... 17
D. Pembuktian Terbalik................................................................................................ 18
E. Kesulitan Penerapan UU Tindak Pidana Money Laundry....................................... 19
F. Upaya Penanggulangan Money Laundry................................................................. 19

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan.............................................................................................................. 22
2. Saran........................................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pada beberapa tahun terakhir ini, kejahatan-kejahatan yang melibatkan uang (dana) mulai
bermunculan. Seperti halnya Money laundry yang jelas illegal karena memberi insentif dan
perlindungan terhadap uang-uang haram. Money Laundry atau money laundry adalah
perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Untuk itu, kasus Money Laundry atau
money laundry harus dipersulit atau dicegah.
Dengan mempersulit dan mencegah Money laundry diharapkan ada sistem yang bisa
mengurangi kegiatan-kegiatan ilegal seperti penyelundupan, korupsi, pembiayaan tindak
terorisme, penggelapan pajak, dan lain-lain. Kalau seorang kriminal tidak bisa menikmati
uang hasil kejahatannya, maka jelas akan berkurang kesempatan bagi mereka untuk
melakukan tindak kejahatan. Dan itulah tujuan kegiatan anti money laundry. Pada makalah
ini, akan dibahas mengenai perkembangan praktek money laundry, contoh kasus dan
pembahasannya, dan juga upaya untuk mencegah kasus money laundry yang terjadi baik di
Indonesia maupun di Internasional

2. Tujuan Penulisan
a. Agar pembaca mengetahui apa yang dimaksud dengan Money Laundry
b. Agar pembaca mengetahui bagaimana praktik Money Laundry
c. Agar pembaca mengetahui bagaimana cara menanggulangi praktik Money Laundry

3. Lingkup Pembahasan
Makalah ini disusun untuk membahas beberapa persoalan mendasar yang terkait dengan
praktik Money Laundry, yaitu:
a. Apakah yang dimaksud dengan Money Laundry?
b. Bagaimanakah praktik Money Laundry itu terjadi?
c. Bagaimanakah cara menanggulangi praktik Money Laundry?

1
BAB II
ANALISA
LANDASAN TEORI
A. Sejarah dan Perkembangan Money Laundry
Praktik Money Laundry telah dikenal sejak 2000 tahun sebelum masehi. Hal ini
dikemukakan oleh Sterling Seagrave dalam bukunya yang berjudul “ Lords of the Rim “.
Buku tersebut menuliskan bahwa tepatnya di negeri china saat itu terdapat para pedagang
yang melakukan penghindaran pelaksanaan kewajiban membayar pajak dengan cara
mengembara sambil membawa seluruh uang yang mereka miliki (Soewarsono, Emmy
Yuhassarie. Tahun tidak diketahui). Kemudian indikasi Money Laundry tampak pula pada
sejarah Perancis di abad 17, ketika para bangsawan – bangsawan dan sekelompok besar
pedagang Perancis yang menganut Protestant Hugenot melarikan diri dan membawa serta
kekayaannya ke Swiss dikarenakan tekanan religi dan politik serta menghindari penyitaan
kekayaan mereka oleh penguasa.( Yanti Ganarsih, tahun tidak diketahui).
Money Laundry pada awalnya bukanlah suatu tindak pidana, kecuali dalam bentuk
menghindari kewajiban membayar pajak ( tax evasion ), yang mana merupakan perbuatan
melawan hukum atas dasar peraturan pajak di negara yang bersangkutan. Pada awalnya
Money Laundry selalu dikaitkan dengan hasil tindak pidana perdagangan obat bius
( narkotika), sehingga dikenal pula sebutan narco dollar untuk uang hasil kejahatan narkotika
yang dicuci oleh pengedar narkotika.
Menurut catatan interpol dalam beberapa dekade terakhir, terlihat menonjol
keterlibatan kalangan pemimpin pemerintahan dalam kejahatan obat bius ( narkotika ) seperti
di Panama, Italia, Kolombia, dan beberapa negara Amerika Latin. Telah terjadi kolusi antara
pemimpin – pemimpin pemerintah dengan kelompok narkotika ( mafia ) di beberapa negara
yang telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Bisnis narkotika ini telah meluncurkan
uang yang besar ( multi milyar dolar ), yang sering disebut Narco Dolar. ( Koesparmono
Irsan, 1997)

B. Definisi Money Laundry


Money Laundry saat ini tergolong suatu tindakan kejahatan yang ruang lingkupnya
sangat luas, dapat terjadi antar negara dan memiliki dampak yang yang negatif bagi
masyarakat secara umum, sebelum membahas tindak Money Laundry lebih lanjut, kita perlu
mengetahui definisi dari Money Laundry tersebut, ada beberapa pendapat mengenai definisi

2
dari Money Laundry. Pada awalnya money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di
Amerika Serikat. Pada saat itu organisasi kejahatan mafia telah membeli perusahaan –
perusahaan pencucian pakaian ( laundry) sebagai tempat Money Laundry yang dihasilkan
dari bisnis ilegalnya ( perjudian, prostitusi, dan minuman keras), selanjutnya pengertian
tersebut mengalami perkembangan.
Money Laundering dapat didefinisikan secara umum sebagai : The process of
concealing the existence, illegal source or illegal application of income, and the subsequent
disguising of the source of that income to make it appear legitimate.( Sarah N. Welling, 1989)
Dalam United Nation Convention Againts Illicit Trafic in Narcotic Drugs and
Psycotropic Substance of 1988 yang sudah diratifikasi dengan UU no 7 tahun 1997, istilah
money laundering diartikan dalam pasal 3 ayat (1) b adalah : “The convertion or transfer of
property, knowing that such property is derived from any serious ( indictable ) offence or
offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting
any person who is involved in the commision of such an offence or offences to evade the
legal consequences of his action; or the concealment or disguise of the true nature , source ,
location, disposition, movement, rights with respect to or ownership of property, knowing
that such property is derved from a serious ( indictable ) offence or offences or from an act of
participation in such an offence or offences”.
Berdasarkan definisi diatas Money Laundry melibatkan aset yang disamarkan
sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang
ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang
melawan hukum diubah menjadi aset keuagan yang seolah – olah berasal dari sumber yang
sah / legal.
Menurut Undang – undang yang berlaku di Indonesia no 25 / 2003 tentang tindak
pidana Money Laundry, Money Laundry adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menintipkan, membawa ke
luar negri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah – olah menjadi menjadi harta
kekayaan yang sah.
Dari beberapa pendapat diatas dapat kita simpulkan pengertian Money Laundry
adalah suatu pola pemikiran yang disadari dan diikuti oleh tindakan yang disengaja yang
bertujuan untuk menyamarkan harta kekayaan yang berasal dari suatu tindakan yang illegal
(melawan hukum) dengan berbagai metode sehingga harta tersebut nantinya jika dilihat
3
secara umum, seolah-olah diperoleh melalui suatu tindakan yang sah / tidak bertentangan
dengan hukum yang cakupan kegiatannya sangat luas hingga ke antar negara di dunia.

C. Media Money Laundry


Terdapat beberapa media yang dapat digunakan oleh pihak – pihak yang bertujuan untuk
melakukan kegiatan Money Laundry, antara lain :
1. Institusi perbankan
Dalam beberapa bentuk atau cara, antara lain : menyimpan uang di bank dalam bentuk
deposito / tabungan rekening / giro, penggunaan rekening palsu, deposito dan
pemindahbukuan dalam jumlah besar, penggunaan fasilitas transfer atau electronic fund
transfer ( EFT )
2. Institusi bukan bank
a. Money changer
b. Underground banking, hawala, hundi, chit dan chop shops yang menangani pertukaran
mata uang asing di India dan asia timur. Hawala ( yang berarti kepercayaan dalam bahasa
Hindi ) merupakan suatu sistim yang sering digunakan di India, Pakistan, dan Timur Tengah
untuk mengirimkan uang melampaui batas negara tanpa adanya pergerakan fisik dari uang
tersebut dalam sistem ini tidak terdapat perjanjian secara tertulis karena transaksi berdasar
saling percaya antar pihak, dengan demikian, pengiriman uang melalui hawala akan luput
dari perhatian financial regulator. Sebagai ilustrasi, seorang imigran Pakistan yang berkerja di
Amerika Serikat ingin mengirimkan USD 40.000 kepada keluarganya yang berada di
Karachi. Imigran ini akan menghubungi seorang Hawaladar di Amerika ( sebutan untuk
perantara Hawala ) yang sudah dikenal baik sebelumnya ( karena ada kesamaan budaya atau
etnis ) yang memberikan uang tersebut ditambah sejumlah komisi untuk Hawaladar tersebut.
Selanjutnya Hawaladar ini akan menghubungi Hawaladar lain yang berada di Karachi akan
mengirimkan USD 40.000 kepada keluarga di Pakistan tersebut. USD yang 40.000 yang
diberikan oleh Hawaladar Karachi kepada keluarga imigran Pakistan merupakan uangnya
sendiri. Sistem ini berdasarkan kepercayaan, maka Hawaladar Karachi juga percaya bahwa
uang sebesar USD 40.000 nya juga akan kembali di kemudian hari bila dia melakukan
perjanjian yang serupa.
c. Jasa pos dengan penggunaan paket untuk menyelundupkan uang
3. Selain institusi keuangan
a. Penyelenggaraan jasa profesional, seperti pengacara, akuntan, penasihat keuangan, notaris.
b. Transaksi perdagangan melalui free trade zone.
4
c. Perusahaan real estate.
d. Pembelian dan pengiriman logam mulia yang melewati batas negara.

D. Modus dan Metode Money Laundry


Dalam melakukan suatu tindak kejahatan, para pelaku kriminal memiliki suatu modus
ataupun cara – cara yang mereka gunakan agar tujuan mereka dapat tercapai, untuk hal
tindakan Money Laundry, para pelaku tersebut memiliki suatu cara – cara yang digunakan
agar jejak mereka dapat tersamarkan sehingga mereka dapat menggunakan hasil kejahatan
mereka dengan lebih tenang. Menurut NHT Siahaan menggabungkan pendapat Munir Fuady
dan Bambang Setioprodjo bahwa sedikitnya terdapat beberapa modus operasional kejahatan
Money Laundry, antara lain :
1. Modus penyelundupan uang tunai ataupun sistem bank paralel ke negara lain.
Terdapat berbagai macam resiko bila membawa uang tersebut secara tradisional, maka
seiring perkembangan teknologi maka modus ini berkembang melalui media electronic
transfer.
2. Modus Loan back. Metode ini dapat terbagi menjadi dua :
a. Direct loan : Meminjam uang dari perusahaan luar negri, yang merupakan semacam
perusahaan bayangan ( immobilent invesment company) yang direksi dan pemegang
sahamnya pemilik itu sendiri.
b. Back to loan. Pelaku meminjam uang dari cabang bank asing di
negaranya, pinjaman dengan jaminan bank asing secara stanby L/C atau Certificate of deposit
yang diterbitkan dengan uang hasil kejahatan, yang kemudaian pinjaman tersebut tidak
dikembalikan sehingga jaminan bank dicairkan.
3. Modus operasi C- Chase, merupakan modus rumit yang memiliki sifat lika – liku
untuk menghapus jejak. Contohnya dalam kasus bank of credit & Commerce International
( BCCI ), kurir – kurir datang ke bank di Florida untuk menyimpan dana sebesar US$ 10.000
agar dapat lolos dari kewajiban pelaporan transaksi. Setelah itu dilakukan transfer beberapa
kali yakni dari New York ke Luxemburg, dari Luxemburg ke cabang bank di Inggris, lalu
disana dikonversi dalam bentuk Certificate of deposit untuk menjamin loan dalam jumlah
yang sama yang diambil oleh orang di Florida. Kemudian loan dibuat di Karibia ( terkenal
dengan Tax Heaven ), disini loan tidak pernah ditagih, namun hanya mencairkan sertifikat

5
deposito itu saja. Dari Florida, uang tersebut ditransfer ke Uruguay melalui rekening drug
dealer, dan disana uang itu didistribusikan menurut keperluan dan bisnis yang illegal.
4. Modus transaksi dagang internasional : menggunakan sarana dokumen L / C. Fokus
urusan bank ( baik correspondent bank maupun opening bank ) adalah dokumen bank dan
tidak mengenai keadaan barang, dan hal ini dapat menjadi sasaran Money Laundry dengan
cara membuat invoice yang besar terhadap barang yang kecil / bahkan tidak ada.
5. Modus Akuisisi, dengan cara mengakuisisi perusahaannya sendiri. Contohnya
seorang pemilik perusahaan di Indonesia yang memiliki perusahaan secara gelap di Cayman
Island. Hasil usaha di Cayman Island didepositokan atas nama perusahaan yang ada di
Indonesia. Dengan cara ini pemilik perusahaan di Indonesia memiliki dana sah, karena telah
tercuci melalui hasil penjualan saham – sahamnya di perusahaan yang ada di Indonesia.
6. Modus Real Estate Carousel , dengan menjual suatu properti beberapa kali kepada
perusahaan dikelompok yang sama. Pelaku Money Laundry memiliki sejumlah perusahaan
( sebagai pemegang saham mayoritas ) dalam bentuk real estate. Dari satu kelain perusahaan
dalam grup usaha properti itu melakukan penjualan kepada perusahaan lain di lingkungan
perusahaan itu dengan pola harga penjualan yang semakin meningkat. Tujuan dari transakasi
tersebut agar hasil uang penjualan menjadi seolah – olah sah, disamping itu pemilik saham
minoritas dapat ditarik untuk memodali proses Money Laundry. Modus ini dikenal juga
dengan nama cassas de cambio.
7. Modus perdagangan saham, yang pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di
bursa efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink (NB ). Beberapa
nasabah perusahaan efek NB menjadi pelaku Money Laundry. NB membuat 2 buah rekening
bagi nasabah – nasabah tersebut, yang satu untuk transaksi yang menderita kerugian, dan
yang satunya lagi untuk transaksi yang mendapat keuntungan. Rekening tersebut diupayakan
dibuka di tempat yang sangat terjamin proteksi keamanannya agar sulit ditelusuri siapa
beneficial owner dari rekening tersebut.
8. Modus investasi tertentu , yang biasanya terjadi dalam bisnis transaksi lukisan atau
barang antik. Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada
seseorang ( yang sebenarnya adalah instruksi dari si pelaku itu sendiri ) dengan harga yang
mahal.

Dalam setiap modus ataupun cara – cara yang dilakukan oleh para pelaku Money Laundry
tersebut terdapat tiga tahap besar yang terjadi. Tahapan tersebut antara lain. ( Manual Ujian
CFE, 2006 )
6
1.Penempatan harta kekayaan ( placement).
Pada tahap ini adanya upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke
dalam sistem keuangan ( financial system ) atau upaya menempatkan uang giral seperti cek,
wesel bank, sertifikat deposito, dan lain – lain ke dalam sistem keuangan, terutama sistem
perbankan. Dalam banyak hal, skema Money Laundry seringkali terdeteksi pada tahapan ini.
Dalam tahapan ini, para pelaku Money Laundry menggunakan berbagai cara dan bentuk
untuk mencuci uang dari hasil tindak pidana, salah satu cara yang digunakan adalah smurfing
yaitu memecah transaksi keuangan menjadi jumlah tertentu untuk menghindari pelaporan dan
dilakukan di berbagai kota.
2. Pentransferan harta kekayaan ( Layering )
Upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil
ditempatkan pada penyedia jasa keuangan ( terutama bank ) sebagai hasil upaya penempatan
ke penyedia jasa keuangan yang lain.
3.Penggunaan harta kekayaan ( Integration )
Upaya penggunaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk
ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah – olah menjadi
harta kekayaan yang halal ( clean money ), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk
membiayai kembali kegiatan kejahatan. Terdapat kesulitan untuk melacak terjadinya Money
Laundry pada tahapan ini, namun bila terdapat jejak yang tertinggal seperti dokumen kredit,
tagihan, akta pembelian tanah atau bangunan, cek ataupun adanya kerjasama dengan agen
atau institusi di luar negeri, maka kesempatan untuk melakukan pelacakan semakin besar.
Jumlah langkah atau proses yang dibutuhkan oleh pelaku Money Laundry untuk mencuci
uang guna menghindari pelacakan sangat bergantung seberapa jauh “jarak” yang dibuat dari
jejak uang tunai haram yang diperoleh hingga pencairan harta kekayaan yang dicuci tersebut
kembali. Namun deminkian, semakin jauh “jarak” dibuat dapat menimbulkan resiko peluang
untuk dilacak, karena jejak dokumen yang ditinggalkan.

7
PEMBAHASAN
A. Praktik Money Laundry
Sebelum tahun 1986, tindakan Money Laundry bukan merupakan kejahatan. Pada
tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha
ekonomi lain. Bahkan praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al
Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat bius,
Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil kejahatan ke bisnis legal
dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk
keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara domestik namun
juga antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit.

Bahkan berkembangnya transaksi money laundering juga didukung fasilitas financial


dunia perbankan, seperti layanan nomor rekening istimewa atau nostro account yang
diberikan bank-bank Swiss sejak tahun 1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah
dengan nomor sandi yang digunakan untuk transaksi sehingga bank tidak mengetahui siapa
nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksi.

Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga menyediakan fasilitas transfer uang antar
negara, manajemen pengelolaan dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan
Money Laundry. Perkembangan kejahatan kerah putih ini menimbulkan kekhawatiran
internasional sebab dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian karena
perputaran dana dalam jumlah besar yang terjadi secara cepat dari satu tempat ke tempat lain
bahkan dari satu atau lebih negara ke satu atau lebih negara lain. Untuk itu maka masalah
money laundering mulai menjadi perhatian dan dibentuk beberapa peraturan perundang-
undangan baik yang bersifat internasional maupun nasional :

a. Amerika Serikat

Memiliki berbagai macam peraturan perundang-undangan seperti The Bank Secrecy


Act (1970), Money Laundering Central Act. (1986), The Annunzio Wylie Act. dan Money
Laundering Suppression Act. (1994). Dalam Bank Secrecy Act, terdapat kewajiban lembaga
keuangan untuk melaporkan setiap transaksi alat pembayaran yang melebihi $10,000 kepada
Internal Revenue Service yang dikenal dengan nama Currency Transaction Report (CTR).
Termasuk juga di dalamnya Foreign Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah

8
informasi keuangan yang harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah yang
bersangkutan dengan tindakan pidana, perpajakan dan penuntutan. Setelahnya dalam Money
Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang harus dipenuhi untuk
mengkategorikan tindak pidana Money Laundry yakni :

(1) terdapat transaksi finansial atau perpindahan internasional; dan

(2) terdapat kegiatan melanggar hukum tertentu.

b. Swiss, Thailand, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman dan Perancis

Swiss memiliki The Money Laundering Act (1998), Thailand memiliki The Money
Laundering Prevention and Suppresion Act (1999), Spanyol memiliki The Money
Laundering Law (1993), sementara untuk negara Italia, Inggris, Jerman dan Perancis
memiliki Penal Code yang mengatur ketentuan anti money laundering.

c. Indonesia

Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs
and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106
negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi
melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Selanjutnya pada tahun
1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7 melahirkan The Financial
Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan mendorong Negara-negara
agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil
perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan
April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang
kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention agar
Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering.

Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya
pemberantasan Money Laundry dalam skala internasional karena kegiatan Money Laundry
kerap kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam

9
pembentukan konvensi The International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi
ini mewajibkan negaranegara penandatangan menjadikan Money Laundry sebagai suatu
tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat.

Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan
Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan badan-badan
pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang
masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-
Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor:
3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003. Walaupun secara de jure BI telah
mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan
Prinsip Pengenalan Nasabah, namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas
transaksi money laundering.

Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk
penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana,
atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis,
atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan
mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank
Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi Money Laundry.
FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek
Money Laundry.

Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan


sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerjasama
internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur
apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk
perbaikan upaya pemberantasan Money Laundry, dan Indonesia dipandang belum
mendukung upaya pemberantasan Money Laundry. Indonesia dimasukkan dalam daftar
Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs)
pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development

10
(OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF
menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi Money Laundry, yang
dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hukum pencucian yang efektif, belum
ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money laundering, belum adanya
peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek money laundering,
belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan,
belum adanya kerja sama dengan negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau
belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek
money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Money
Laundry. Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF
mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para
pemimpin instansi yang menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus
beberapa Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan
keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering.

Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Money Laundry melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan Money Laundry, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai Money
Laundry (money laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara
langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang;
penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika;
perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme;
pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah
RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Money Laundry,
perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No.
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Money Laundry memberikan definisi tentang Money
Laundry mendefinisikan Money Laundry sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa
keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya

11
atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan,
atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang
sah (Pasal 1 angka 1). Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :

a. pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait
dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana Money Laundry yang
memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum
diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia
jasa keuangan baru.

Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002 : Penyedia Jasa
Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk
tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa
dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta
asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, yang kemudian diubah menjadi Pasal 1
angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang
menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan
termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek,
pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,
pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.

b. Perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni Pasal 1 angka 6 UU No. 15


Tahun 2002 :

Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan
karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia
Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, menjadi Pasal 1 angka 7 UU
No. 25 Tahun 2003 , Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
transaksi dari nasabah yang bersangkutan;

b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau

12
c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta
Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena
penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil tindak
pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 :

Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau
tidak langsung dari kejahatan:

a. korupsi;

b. penyuapan;

c. penyelundupan barang;

d. penyelundupan tenaga kerja;

e. penyeludupan imigran;

f. perbankan;

g. narkotika;

h. psikotropika;

i. perdagangan budak, wanita, dan anak;

j. perdagangan senjata gelap;

k. penculikan;

l. terorisme;

m. pencurian;

n. penggelapan;

o. penipuan; yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut
hukum Indonesia, menjadi Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni :

13
(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :

a. korupsi;

b. penyuapan;

c. penyelundupan barang;

d. penyelundupan tenaga kerja;

e. penyelundupan imigran;

f. di bidang perbankan;

g. di bidang pasar modal;

h. di bidang asuransi;

i. narkotika;

j. psikotropika;

k. perdagangan manusia;

l. perdagangan senjata gelap;

m. penculikan;

n. terorisme;

o. pencurian;

p. penggelapan;

q. penipuan;

r. pemalsuan uang;

s. perjudian;

t. prostitusi;

u. di bidang perpajakan;

v. di bidang kehutanan;

14
w. di bidang lingkungan hidup;

x. di bidang kelautan; atau

y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau
lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak
pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk
kegiatana terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf n.

d. Ruang lingkup tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah
berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak
pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun
perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait
yang mempidana tindak pidana asal antara lain:

- UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

- UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

- UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

- UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat,


dengan tujuan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku
tindak pidana Money Laundry dapat segera dilacak, sebagaimana diatur berdasarkan :
Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2002 :

(1) Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah
diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan, menjadi: Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2003

15
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa
Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.

f. Terdapat ketentuan baru yang menjamin adanya kerahasiaan penyusunan dan penyampaian
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau
penyidik (anti-tipping off) bahkan dengan disertai sanksi pidana penjara, dengan tujuan
untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana
Money Laundry, sebagaimana diatur berdasarkan : Pasal 10A UU No. 25 Tahun 2003 :

(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga
yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut
kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

(2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan
dalam persidangan pengadilan.

(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga
yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.

(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

g. Penjabaran lebih rinci dan lebih tegas dalam beberapa pasal mengenai ketentuan kerja
sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance), merupakan bukti
bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional
untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana Money Laundry.

16
B. Tahapan Money Laundry

a. tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil
kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah
bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah
besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di
beberapa tempat;

b. tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang
tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik
uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara
dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat
berupa : mentransfer ke negara lain dalam bentuk mata uang asing, pembelian property,
pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit yang ada di Bank A untuk
meminjam uang di Bank B dan sebagainya.

c. tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan


kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus
keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit
untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi
yang tampak legal.

C. Dampak Money Laundry

Baik cara perolehan uang yang illegal maupun transaksi keuangan untuk melegalkan
uang hasil tindakan illegal menimbulkan dampak ekonomi mikro dan makro.

Dampak ekonomi mikro :

a. cara perolehan uang yang illegal mengganggu jalannya mekanisme pasar. Esensi sistem
pasar adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan pribadi atas faktor-
faktor produksi maupun atas barang-barang serta jasa-jasa yang digunakan untuk keperluan
konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang ilegal telah menunjukkan
tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak milik, pasar menjadi tidak efisien yang
ditunjukkan dengan meningkatnya biaya transaksi pasar, adanya akses yang asimetris pada

17
informasi pasar yang menyebabkan transaksi bersifat zero sum game dalam arti bahwa
keuntungan suatu pihak dapat membawa kerugian bagi pihak lain.

b. transaksi keuangan untuk melegalkan hasil perolehan uang yang illegal membawa dampak
penurunan produktifitas masyarakat.

Dampak ekonomi makro :

a. tindak pidana Money Laundry menghindarkan kewajiban pembayaran pajak yang berarti
mengurangi penerimaan Negara;

b. apabila transaksi keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang ilegal ke
luar negeri maka akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri, selain itu juga
mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan bank
melakukan ekspansi kredit;

c. Apabila Negara memperoleh sejumlah uang ilegal dari luar negeri maka akan menambah
kegoncangan stabilitas ekonomi makro. Terlebih untuk Negara yang tidak memiliki cukup
banyak instrumen moneter sehingga tidak mampu mensterilisasi dampak moneter
pemasukan modal. Jika

bank sentral membeli devisa yang masuk itu sebagai upaya untuk mempertahankan nilai
tukar luar negeri mata uang nasionalnya, jumlah uang beredar akan bertambah dengan
cepat dan tambahan jumlah uang beredar itu akan menyulut inflasi sehingga menimbulkan
gangguan pada keseimbangan internal perekonomian. Akan tetapi jika bank sentral tidak
membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang nasional yang
menyebabkan berkurangnya insentif kegiatan ekspor. Pengurangan ini akan menambah
defisit neraca pembayaran luar negeri.

D. Pembuktian Terbalik

UU Tindak Pidana Money Laundry menyatakan bahwa Untuk kepentingan


pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya
bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal 35 UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003).

18
Hal ini merupakan salah satu kekhususan tindak pidana Money Laundry dibandingkan
dengan pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana terdakwa
tidak dibebani kewajiban tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66), namun
pembuktian terbalik untuk tindak pidana Money Laundry hanya dapat dilakukan oleh
terdakwa pada tingkat pengadilan bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

E. Kesulitan Penerapan UU Tindak Pidana Money Laundry

a. Fungsi PPATK hanya bersifat administratif, yaitu untuk mengumpulkan, menyimpan,


menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK (Pasal 26 huruf a) dan
bilamana dari hasil analisis ditemukan transaksi keuangan yang berindikasi tindak
pidana Money Laundry maka PPATK baru melaporkan kepada kepolisian dan
kejaksaan (Pasal 26 huruf g), atau paling lambat 3(tiga) hari kerja sejak ditemukan
adanya petunjuk atas dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan, PPATK wajib
menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti (Pasal 31). Selain
itu PPATK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pemblokiran atas dana
yang diduga merupakan hasil tindak pidana.

b. Pihak kepolisian dan penuntut umum memiliki kesulitan dalam membuktikan


terjadinya tindak pidana Money Laundry karena modusnya yang bervariasi dan
biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.

F. Upaya Penanggulangan Money Laundry

Berikut ini merupakan beberapa cara yang dilakukan dalam upaya menanggulangi
kasus money laundry baik yang terjadi di dalam negeri maupun internasional.

Upaya penanggulangan money laundry dalam negeri ( Domestik )

Indonesia merupakan surga bagi pelaku Money Laundry ( money laundering ). Hal itu
disebabkan, antara lain, ketentuan deposito dari nasabah yang tidak boleh diusut asal-usulnya,
belum adanya UU Money Laundry dan kerahasiaan nasabah yang begitu ketat. Pada tanggal
19 Desember 1988, Indonesia telah bergabung dengan organisasi internasional yaitu United
Nations Convention AgainstIllicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances

19
atau yang lebih dikenal UN Drugs Convention dengan komitmen untuk memberantas kasus
money laundry internasional. Kemudian Indonesia mengambil langkah untuk pemberantasan
kasus money laundry di dalam negeri dengan menciptakan Undang-undang Nomor 7 tahun
1997. Indonesia juga menetapkan kegiatan Money Laundry sebagai suatu tindak pidana dan
mengambil langkah-langkah dengan membuat peraturan-peraturan tertentu agar pihak yang
berwajib dapat mengidentifikasi, melacak dan membekukan/menyita dana yang tidak jelas
asal usulnya.

Selain itu, Bank Indonesia juga memberikan langkah konkret dengan menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles). Peraturan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
itu didasarkan pada Basle Committee on Banking Regulation dalam Core Principles for
Effective Banking Supervision, dimana penerapan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan
faktor yang penting dalam melindungi kesehatan bank, maka bank perlu menerapkan Prinsip
Mengenal Nasabah secara lebih efektif. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles) tersebut juga didasarkan sebagaimana yang dikemukakan FATF untuk Money
Laundry, dimana Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) merupakan
upaya untuk mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan,
baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan.

Upaya pemerintah tidak hanya berhenti disitu saja. Pada tahun 2002, pemerintah
membuat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Money Laundry
(Money Laundering) (selanjutnya disebut “UUTPPU”) yang berlaku sejak diumumkan pada
tanggal 17 April 2002. Hal tersebut dilakukan untuk menanggapi keputusan FATF tanggal 22
Juni 2001, yang memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara diantara 15 negara yang
dianggap tidak kooperatif (non-cooperative countries and teritories) untuk memberantas aksi
money laundring, sebagaimana terdapat dalam daftar yang dirilis oleh Financial Actions Task
Force on Money Laundring (FATF) yang merupakan satgas dari Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD). Dengan demikian, UUTPU ditujukan untuk
mencegah dan memberantas kejahatan dalam bentuk praktek Money Laundry di Indonesia.
Tidak ada dalam Pasal-Pasal UUTPU itu tidak membuat pengertian dari Money Laundry.
Namun, dalam Penjelasan UUTPU tersebut disebutkan, bahwa Money Laundry adalah
“upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh
dari tindak pidana.” Sementara itu, dalam Black’ s Law Dictionary disebutkan, bahwa Money
Laundry disebutkan sebagai “Term used to describe invesment or other transfer of money

20
flowing from racketeering, drug transactio, and other illegal sources into legitimate channels
so that its original source cannot be traced”.

Upaya Penanggulangan money laundry secara Internasional

Pada tahun 2002, Menteri Kehakiman dan HAM pada saat itu, Yusril Ihza Mahendra,
menyatakan akan segera memberlakukan UU untuk memberantas kasus money laundry.
Diharapkan UU tersebut dapat memberantas pelaku money laundry di luar negeri, terutama
bagi mereka yang melakukannya di negara-negara yang belum melakukan perjanjian
ekstradisi dengan Indonesia, seperti Singapura.

Selain itu, Indonesia juga telah menjadi anggota United Nations Convention
AgainstIllicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal
UN Drugs Convention yang lahir di Wina, Austria pada tanggal 19 Desember 1988 dan
ditandatangani 106 negara. Dengan adanya organisasi tersebut, diharapkan akan muncul
upaya untuk melakukan pemberantasan kasus money laundry di tingkat internasional yang
disebut dengan “The International Anti-Money Laundering Legal Regime”. Hal tersebut
merupakan awal untuk pengawasan internasional terhadap kasus money laundry. Selanjutnya,
anggota dari organisasi tersebut diwajibkan untuk menjadikan kasus money laundry sebagai
suatu kriminal dan kejahatan berat sehingga setiap anggota diharuskan mengambil langkah
untuk membuat Undang-undang dan peraturan untuk melaksanakan komitmen tersebut.

21
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Money Laundry atau money laundry adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa
keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang
sah. Money laundry merupakan salah satu contoh cara menhilangkan jejak dana hasil
kejahatan seperti korupsi, penggelapan pajak, dan sebagainya. Modus dari money laundry
juga sederhana, yaitu menyimpan atau melarikan dana hasil kejahatan baik di dalam negeri
maupun ke luar negeri untuk digunakan demi kepentingan pelaku.

SARAN
Upaya pencegahan dilakukan baik di tiap negara (secara domestik) maupun secara
internasional. Namun inti dari langkah pencegahan baik secara domestik dan internasional
adalah sama, yaitu memperketat aliran dana yang masuk maupun keluar dari suatu negara.
Seperti yang dilakukan bank yang mulai memperketat asal usul dana yang akan di simpan
oleh nasabah. Selain itu, dengan adanya United Nations Convention Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal UN Drugs Convention,
diharapkan dapat meningkatkan kerjasama antar negara dan meningkatkan komitmen untuk
memberantas money laundry.

22
DAFTAR PUSTAKA
 https://howmoneyindonesia.com/2013/06/01/memahami-sekilas-tentang-pencucian-
uang-money-laundering/
 https://www.kompasiana.com/bugiszone/praktek-pencucian-uang-money-laundering-
dalam-perbankan-dan-hukumnya-dalam-islam_574991075a7b61a808f2c365
 http://jurnal.usu.ac.id/index.php/transparency/article/view/1894/1047
 http://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/view/270
 http://jurnal.stiesemarang.ac.id/index.php/JSS/article/view/158

23

You might also like