You are on page 1of 34

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

PERSPEKTIF FIQH, KHES DAN FATWA DSN-MUI

Dosen Pengampu: Abbas Arfan, Lc, M.H.

Disusun Oleh :

Ahmad Sofian ( 210201110057)

Intan Nur’aini (210201110062)

Reza Stefiona Laxsniky (210201110179)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHI MALANG


2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Mudharabah Perspektif Fiqh, KHES dan Fatwa DSN-MUI ........................ 3

B. Musyarakah Perspektif Fiqh, KHES, dan Fatwa DSN-MUI ..................... 16

C. Skema Penyaluran Dana Musyarakah ........................................................ 28

D. Analisis Penulis .......................................................................................... 30

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................ 31

B. Saran ........................................................................................................... 31

DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 32

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam dengan syariatnya tidak hanya mengajarkan perihal


peribadatan semata, melainkan juga mengatur tentang bagaimana hubungan
antar sesama manusia. Salah satu contoh kegiatan bermuamalah adalah
transaksi bisnis. Transaksi bisnis sebagai kegiatan muamalah merupakan
kerja sama yang mengatur tentang masalah keduniaan, sehingga selalu
mengikuti perkembangan dan keadaan zaman, hal ini perlu diadakan
penalaran melalui pikiran sehat yang sesuai dengan prinsip syariat Islam.
Salah satu bentuk kerja sama dalam muamalah yaitu kerja sama antara
pemilik modal dan pekerjaannya adalah bagi hasil (profit sharing), yang
dilandasi oleh rasa saling tolong-menolong. 1

Agar umat muslim dapat menjalankan perekonomian dengan


menjamin kesehjateraan didalamnya, terdapat beberapa praktek yang
dilakukan. Diantaranya, yakni dengan praktek pembiayaan mudharabah dan
musyarakah seperti yang akan dijelaskan lebih dalam di makalah ini.
Menurut UU No. 21 Tahun 2008 Pasal 25 menyatakan bahwa pembiayaan
adalah penyediaan dana atau tagihan yang disetarakan dengan itu berupa
transaksi bagi hasil dalam bentuk mudarabah dan musyarakah, transaksi
sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan sewa beli atau ijarah muntahiyah
bit tamlik, transaksi jual beli dalam bentuk utang piutang murabahah, akad
salam, istishna, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qard.2

1
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003),18.
2
Andrianto dan M. Anang Firmansyah, Manajemen Bank Syariah (Implementasi Teori dan
Praktek) (Surabaya: Cv. Penerbit Qiara Media, 2019), 306

1
Di zaman pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat seperti sekarang
ini, penting bagi kita khususnya umat muslim untuk ikut andil didalamnya.
Melalui mudharabah dan musyarakah ini diharapkan dapat memicu
pertumbuhan eknonomi yang lebih baik kedepannya. Bahkan dalam
Lembaga Keuangan Syariah itu sendiri, Mudharabah terutama, menjadi
produk unggulan yang banyak diminati. Sehingga menjadi penting bagi
MUI sebagai tempat bernaung dan lembaga yang memiliki otoriter dalam
mengeluarkan fatwa untuk mengkaji serta mengeluarkan fatwa agar tatacara
maupun praktek yang nantinya dijalankan sesuai dengan syariat Islam.
Diharapkan kedepannya bahwa praktek pembiyaan mudharabah dan
musyarakah ini dapat menjadi saah satu penunjang kesehjateraan dalam
perekonomian umat Islam selain daripada zakat, wakaf, dan lain
sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mudharabah menurut Fiqh, KHES dan fatwa DSN-MUI?
2. Bagaimana skema pembayaran mudharabah?
3. Bagaimana musyarakah menurut Fiqh, KHES dan fatwa DSN -MUI?
4. Bagaimana skema pembayaran musyarakah?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mudharabah Perspektif Fiqh, KHES dan Fatwa DSN-MUI


1. Mudharabah Perspektif Fiqh
Secara bahasa mudharabah merupakan ungkapan yang digunakan
untuk penyerahan harta seseorang kepada yang lain untuk dikelola menjadi
usaha agar kedua belah pihak (pemilik modal dan pengelola) mendapat
keuntungan yang telah disepakati keduanya dan jika mengalami kerugian
menjadi tanggungan pemilik modal. Menurut para ahli fikih, mudharabah
itu ialah suatu akad diantara dua orang dengan transaksi salah seorang
menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk dijadikan usaha dengan
kompensasi mendapat imbalan bagian tertentu yang bersifat umum dari
keuntungan seperti mendapat bagian setengah, sepertiga dan lain
sebagainya disertai syarat- syarat yang khusus. Secara dzahir pengertian
tersebut bersesuaian dengan makna bahasanya kecuali dengan tambahan
syarat-syarat yang bisa menjadikan akad tersebut sah atau rusak dari sudut
pandang syar'i.
a. Landasan Hukum Mudharabah

Para imam mazhab sepakat bahwa mudharabah adalah boleh


berdasarkan al-Quran, sunnah, ijma dan qiyas. Ibnu Taimiyah menetapkan
landasan hukum mudharabah dengan ijma yang berlandaskan pada nash.
Mudharabah sudah terkenal dikalangan bangsa Arab jahiliah, terlebih di
kalangan suku Quraisy. Mayoritas orang Arab bergelut di bidang
perdagangan. Para pemilik modal memberikan modal mereka kepada para
'amil [pengelola). Rasulullah pun pernah mengadakan perjalanan dagang
dengan membawa modal orang lain sebelum beliau diangkat menjadi nabi.
Beliau juga pernah mengadakan perjalanan dagang dengan mengelola
modal Khadijah.

3
b. Rukun Mudharabah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan


qabul. Lafal-lafal ijab, yaitu dengan menggunakan asal kata dan derivasi
dari kata mudharabah, muqaradhah dan mu'amalah serta lafal-lafal yang
menunjukkan makna-makna lafal tersebut. Seperti jika pemilik modal
berkata,”Ambillah modal ini berdasarkan akad mudharabah dengan catatan
bahwa keuntungan yang akan diberikan Allah nanti adalah milik kita
bersama. Saya mendapatkan setengah, atau seperempat, atau sepertiga, atau
yang lainnya dari bagian-bagian yang diketahui." Adapun lafal-lafal qabul
adalah dengan perkataan'amil [pengelola mudharabah), "Saya ambil," atau,
"Saya setuju," atau, "Saya terimai dan sebagainya. Apabila telah terpenuhi
ijab dan qabul, maka akad mudharobah-nya telah sah. Menurut mayoritas
ulama, rukun mudharabah itu ada tiga, yaitu pelaku akad (pemilik modal
dan'amil), ma' quud' alaih (modal, kerja,dan laba) dan sighah fijab dan
qabul). Ulama Syafi'iyah menjadikan rukun tersebut lima, yaitu modal,
kerja, laba,sighah, dan pelaku akad.

c. Jenis-Jenis Mudharabah

Mudharabah ada dua jenis, yaitu muthlaqah dan muqayyadah.3


Mudharabah muthlaqah adalah seseorang yang memberikan modal kepada
yang lain tanpa syarat tertentu. Dia berkata, "Saya memberikan modal ini
kepadamu untukdilakukan mudharabah, dan keuntungannya untuk kita
bersama secara merata," atau dibagi tiga (dua pertiga dan sepertiga), dan
sebagainya. Atau dapat pula seseorang yang memberikan modalnya secara
akad mudharabah tanpa menentukan pekerjaan, tempat, waktu, sifat
pekerjaannya, dan siapa yang boleh berinteraksi dengannya. Sedangkan
mudharabah muqayyadah adalah akad mudharabah yang pemilik modal

3
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Yogyakarta: UII Press,
2009), 101.

4
menentukan salah satu hal di atas. Atau pemilik modal memberikan seribu
dinax, misalnya, pada orang lain untuk mudharabah dengan syarat agar
mengelolanya di negeri tertentu, atau barang tertentu, atau waktu tertentu,
atau tidak menjual dan membeli kecuali dari orang tertentu.

Mensyaratkan dua jenis yang terakhir ini (waktu dan orang tertentu)
adalah boleh mnurut Abu Hanifah dan Ahmad serta tidak boleh menurut
Malik dan Syafi'i. Demikian juga boleh menyandarkan akad pada waktu
yang akan datang menurutAbu Hanifah dan Ahmad, dan tidak boleh
menurut Malik dan Syafi'i. Hal itu seperti jika pemilik modal berkata,
"Lakukanlah mudhorabah dengan modal ini dengan dimulai dari bulan
depan." Adapun menggantungkan mudharabah pada syarat, seperti apabila
pemilik modal berkata, 'Apabila si fulan datang untuk membayar utang
kepadaku yang besarnya seribu dinar lalu dia menyerahkannya kepadamu,
maka lakukanlah mudharabah dengan uang tersebut." Dalam masalah ini
ulama Hanabilah dan Zaidiyah membolehkannya. Sedangkan ulama
Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah tidak membolehkannya, karena
mudharabah mengandung makna pemberian hak kepemilikan atas bagian
dari keuntungan, sementara kepemilikan tidak menerima penggantungan
pada syarat. Menurut ulama Syafi'iyah dan Malikiyah, mudharabah harus
berbentuk mutlak dan tanpa batasan, maka tidak sah mudharabah yang
muqaryadah (bersyarat dan memiliki batasan) dengan jenis perdagangan
tertentu, orang tertentu, dan negeri tertentu. Tidak disyaratkan pula
menentukan waktu dalam mudharabah. jika waktu mudharabah ditentukan
lalu 'amil tidak mampu melakukan perdagangan, maka kongsi itu batal. jika
waktunya ditentukan dan 'amil mampu melakukan perdagangan, tapi
kemudian 'amil dilarang untuk melakukan pembelian tapi tidak dilarang
melakukan penjualan, maka yang demikian itu adalah sah, karena 'amil
masih bisa memperoleh keuntungan dengan melakukan penjualan.

5
d. Syarat-Syarat Mudharabah
1) Syarat-Syarat dalam Pelaku Akad
Hal-hal yang disyaratkan dalam pelaku akad (pemilik modal dan
mudharib) adalah keharusan memenuhi kecapakan untuk melakukan
wakalah. Hal itu karena mudharib bekerja atas perintah pemilik modal
dimana hal itu mengandung makna mewakilkan. Tetapi, tidak di-
syaratkan harus beragama Islam. Mudharabah sah dilakukan antara
seorang muslim dengan ahluz dzimmah [nonmuslim yang ada di bawah
pemerintahan Islam, Penj.) atau nonmuslim yang mendapat
perlindungan di negeri Islam. Menurut ulama Malikiyah, mudharabah
antara muslim dan ahluz dzimmah adalah makruh. Hal itu jika dia tidak
melakukan hal-hal yang diharamkan seperti riba.
2) Syarat-Syarat Modal
a) Modal harus berupa uang yang masih berlaku
maka tidak boleh melakukan mudharabah dengan modal berbentuk
barang, baik harta bergerak maupun tidak bergerak. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama. Begitu juga, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah,
sekalipun barang bergerak tersebut berbentuk barang mitslyaf (yang
memiliki varian serupa). Dalil jumhur adalah bahwa modal jika
berbentuk barang maka ia mengandung penipu an (g harar), karena
mudharabah ketika itu menyebabkan adanya keuntungan yang tidak
jelas ketika waktu pembagian. Hal itu karena nilai barang itu diketahui
dengan taksiran dan perkiraan sementara nilainya dapat berbeda sesuai
dengan orang yang menaksirnya.
b) Besarnya modal harus diketahui
Apabila besarnya modalnya tidak diketahui, maka mudharabah itu tidak
sah, karena ketidakjelasan terhadap modal menyebabkan ketidakjelasan
terhadap keuntungan. Sementara penentuan jumlah keuntungan
merupakan syarat sah dalam mudharabah.
c) Modal harus barang tertentu dan ada, bukan utang

6
Mudharabah tidak sah dengan utang dan modal yang tidak ada. Oleh
karena itu, tidak boleh berkata kepada orang yang berutang,
"Lakukanlah mudharabah dengan utang kamu." Syarat ini dan syarat
sebelumnya adalah syarat yang dise pakati oleh para ulama.
d) Modal harus diserahkan pada (mudharib).
Hal itu agar 'amil bisa bekerja dengan modal tersebut. Selain itu, karena
modal tersebut adalah amanah di tangan'amil, maka tidak sah kecuali
dengan menyerahkannya padanya, yaitu melepaskannya seperti
wadi'ah. Mudharabah tidak sah jika pemilik modal tetap memegang
modalnya, karena tidak ada penyerahan dengan tetapnya modal di
tangannya. Syarat ini menjadi kesepakatan mayoritas ulama, /aitu Abu
Hanifah dan murid-muridnya, Malik, Syafi'i, Auza'i, Abu Tsaur dan
lbnu Mundzir. Sedangkan ulama Hanbilah membolehkan mensyaratkan
tetapnya modal di tangan pemilik modal.
3) Syarat-syarat Keuntungan
Besarnya keuntungan harus diketahui Hal itu karena ma'quud alaih
fobjek akad) atau tujuan dari akad adalah keuntungan sementara
ketidakjelasan terhad ap ma'quud alaih dapat menyebabkan batalnya
akad. Keuntungan merupakan bagiandari milik bersama (musyaaJ)
yaitu dengan rasio persepuluh atau bagian dari keuntungan, seperti jika
keduanya sepakat dengan sepertiga, atau seperempat, atau setengah.
4) Hal-Hal yang Membatalkan Mudharabah
a) Fasakh (Pembatalan) dan larangan Usaha atau Pemecatan
b) Kematian Salah Satu Pelaku Akad
c) Salah Satu Pelaku Akad Meniadi Gila
d) Murtadnya Pemllik Modal
e) Rusaknya Modal Mudharabah di Tangan Mudhailb
2. Mudharabah Perspektif KHES

Pengertian mudharabah dalam KHES terdapat dalam Pasal 20 ayat


(4) yang memiliki arti kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal
dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan sistem

7
bagi hasil. Dalam Perbankan Syariah , dalam hal ini bank bertindak sebagai
shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh serta nasabah
bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) disebutkan mengenai
syarat-syarat mudharabah yang terdapat dalam Bab VIII Pasal 231 ayat 1-
3, diantaranya (1) Pemilik modal wajib menyerahkan dana atau barang yang
berharga kepada pihak lain untuk melakukan kerjasama dalam usaha; (2)
Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang disepakati; (3)
Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad.
Adapun rukun mudharabah dalam Kompilasi Ekonomi Syariah (KHES)
terdapat dalam Pasal 232, diantaranya shahib al-mal (pemilik modal),
mudharib (pelaku usaha) dan akad.4

Pasal 233 disebutkan bahwa, kesepakatan bidang usaha yang akan


dilakukan dapat bersifat mutlak atau (bebas) dan muqayyadah (terbatas)
pada bidang usaha tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu. Dengan
demikian, terdapat dua jenis mudharabah ialah:
a. Al-Mudharabah Al-Muthlaqah (unrestricted mudharabah)
Mudharabah muthlaqah memiliki arti bahwa, penyerahan modalnya dapat
secara mutlak tanpa syarat dan pembatasan tertentu. Dalam hal ini, pelaku
usaha bebas mengelola modal yang telah diberikan sesuai dengan
keinginannya.
b. Al-Mudharabah Al-Muqayyadah (resticted nudharabah)
Mudharabah al-muqayyadah memiliki arti bahwa, penyerahan modal dapat
dilakukan dengan syarat dan batas tertentu. Dalam hal ini, pelaku usaha
harus mengikuti syarat-syarat dan batasan-batasan yang telah diberikan oleh
pemilik modal. Selanjutnya, mudharabah nuqayyadah terdapat dua jenis,
yaitu:

4
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 65.

8
1) Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet
Mudharabah muqayyadah on balance sheet atau investasi terikat
ialah pemilik dana (shahibul maal) memberikan batasan atau syarat kepada
mudharib dalam pengelolaan dana. Misalnya, hanya melakukan
mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat tertentu saja.
2) Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet
Mudharabah muqayyadah of balance sheet ialah jenis mudharabah
yang penyaluran dananya langsung kepada pelaksana usahanya. Bank
bertikndak sebagai perantara yang mempertemukan antara pemilik dana
dengan pelaksana usaha. Dalam hal ini, pemilk dana dapat menetapkan
syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh pihak bank dalam mencari
kegiatan usaha yang akan dibiayai serta pelaksanaan usahanya.5

Dalam pasal 235 KompilasI Hukum Ekonomi Syariah diberikan


ketentuan mengenai modalnya, yaitu (1) Modal harus berupa barang, uang
atau barang yang berharga; (2) Modal harus diserahkan kepada pelaku usaha
atau mudharib; (3) Jumlah modal dalam suatu akad mudharabah harus
dinyatakan dengan pasti. Pasal 236 KompilasI Hukum Ekonomi Syariah
disebutkan bahwa pembagian keuntungan hasil usaha antara shahib al-mal
dengan mudharib harus dinyatakan secara jelas dan pasti. Kemudian dalam
Pasal 237 menyatakan apabila akad mudharabah tidak memenuhi syarat,
maka akad tersebut batal. Bagian kedua dijelaskan mengenai ketentuan
mudharabah dalam Pasal 238 disebutkan bahwa (1) Status benda yang
berada di tangan mudharib yang diterima dari shahib al-mal ialah modal; (2)
Mudharib berkedudukan sebagai wakil shahib al-mal dalam menggunakan
modal yang diterimanya; (3) Keuntungan yang dihasilkan dalam
mudharabah, menjadi milik bersama. Dalam Pasal 239 dijelaskan mengenai
wewenang mudharib dalam mengelola usaha, yaitu (1) Mudharib berhak
membeli barang dengan maksud menjualnya kembali untuk memperoleh

5
Aufa Islami, Analisis Jaminan dalam Akad-Akad Bagi Hasil (Akad Mudharabah dan Akad
Musyarakah) di Perbankan Syariah, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, no 1(2021):14-15,
http://dx.doi.org/10.30595/jhes.v4i1.9903.

9
keuntungan; (2) Mudharib berhak menjual dengan harga tinggi atau rendah,
baik dengan uang tunai atau cicilan; (3) Mudharib berhak menerima
pembayaran dari harga barang dengan pengalihan hutang; (4) Mudharib
tidak boleh menjual barang dalam jangka waktu yang tidak biasa dilakukan
oleh para pedagang. Dalam pasal selanjutnya, mudharib tidak boleh
menghibahkan, menyedekahkan, dan meminjamkan harta kerjsama, kecuali
apabila mendapat izin dari pemilik modal.6

Selanjutnya, mudharib berhak memberi kuasa kepada pihak lain


untuk bertindak sebagai wakilnya untuk membeli dan menjual barang
apabila sudah disepakati dalam akad mudharabah, mudharib berhak
mendepositokan dan menginvestasikan harta kerjasama dengan sistem
syariah dan mudharib berhak menghubungi pihak lain untuk melakukan jual
beli barang sesuai dengan kesepakatan dalam akad, hal tersebut tercantum
dalam Pasal 241. Kemudin dalam Pasal 242 dan 243 dijelaskan mengenai
hak mudharib dan shohibul maal terkait keuntungan atau imbalan,
diantaranya (1) Mudharib berhak atas keuntungan sebagai imbalan
pekerjaannya yang disepakati dalam akad; (2) Mudharib tidak berhak
mendapatkan imbalan apabila usaha yang dilakukannya rugi. Pasal 243
menyatakan, (1) Pemilik modal berhak atas keuntungan berdasarkan
modalnya yang disepakati dalam akad: (2) Pemilik modal tidak berhak
mendapatkan keuntungan apabila usaha yang dilakukan oleh mudharib
mengalami kerugian. Jadi, dalam hal ini apabila usaha yang dilakukan
mengalami kerugugian, maka shahibul maal dan mudharib tidak
mendapatkan keuntungan.

Selanjutnya, dalam Pasal 244 dan 245 dijelaskan mengenai


ketentuan penyertaan kekayaan atau modal mudharib dalam akad
mudharabah. Pasal 244 disebutkan bahwa mudharib tidak diperbolehkan
mencampurkan kekayaanya sendiri dengan harta kerjasama dalam
melakukan akad mudharabah, dikecualikan apabila sudah menjadi

6
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 66.

10
kebiasaan di kalangan pelaku usaha. Kemudian Pasal 245, mudharib
diperbolehkan mencampur kekayaannya sendiri dengan harta mudharabah
apabila mendapat izin dari pemilik modal dalam melakukan usaha-usaha
khusus tertentu. Pasal 246 dijelaskan mengenai keuntungan hasil usaha
yang menggunakan modal campuran dari shahib al-mal dan mudharib,
maka dibagi secara proporsional atau atas dasar kesepakatan semua pihak.
Mengenai perjalanan yang dilakukan oleh mudharib dalam melakukan
kerjasama maka biaya perjalanan dibebankan pada modal dari shahib al-
mal, hal tersebut tercantum dalam Pasal 247. Pasal berikutnya, menekankan
kepada mudharib wajib menjaga dan melaksanakan ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan oleh pemilik modal dalam akad.7

Pasal 249 membahas mengenai kerugian maka mudharib wajib


bertanggungjawab terhadap resiko kerugian atau kerusakan yang
diakibatkan oleh usahanya yang telah melampaui batas, dizinkan tau tidak
sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan dalam akad.
Sedangkan, dalam Pasal 252 disebutkan bahwa apabila kerugian usaha dan
kerusakan barang dagangan dalam kerjasama mudharabah yang terjadi
bukan karena kelalaian mudharib, maka kerugian dibebankan kepada
pemilik modal. Dalam pasal 250 disebutkan bahwa akad mudharabah
selesai apabila waktu kerjasama yang disepakati dalam akad telah berakhir.
Selanjutnya, dalam Pasal 251 disebutkan mengenai pemberhentian
kerjasama bagi mudharib, yaitu (1) Pemilik modal dapat mengakhiri
kesepakatan apabila ada pihak yang melanggar kesepakatan dalam akad
mudharabah; (2) Pemberhentian kerjasama oleh pemilik modal
diberitahukan kepada mudharib; (3) Mudharib wajib mengembalikan modal
dan keuntungan kepada pemilik modal yang menjadi hak pemilik modal
dalam kerjasama mudharabah; (4) Perselisihan antara pemilik modal
dengan mudharib dapat diselesaikan dengan shulh atau melalui pengadilan.

7
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 68.

11
Kemudian Pasal 253 menyatakan bahwa akad mudharabah berakhir dengan
sendirinya apabila pemilik modal atau mudharib meninggal dunia atau tidak
cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam Pasal terakhir Bab VIII
dijelaskan mengenai hal-hal yang diatur apabila mudharib meninggal dunia,
diantaranya (1) Pemilik modal berhak melakukan penagihan terhadap
pihak-pihak lain berdasarkan bukti dari mudharib yang telah meninggal
dunia; (2) Kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya mudharib, maka
dibebankan kepada pemilik modal.8

3. Ketentuan Penyaluran Dana Mudharabah Fatwa (DSN No. 07/DSN-


MUI/VI/2000)
a. Ketentuan Pembiayaan, diantaranya:
1) Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS
kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2) Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana)
membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan
pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3) Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan pembagian
keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
(LKS dengan pengusaha).
4) Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah
disepakati bersama dan sesuai dengan Syariah dan LKS tidak ikut serta
dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan.
5) Jumlah dana penyaluran harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk
tunai dan bukan piutang.
6) LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan
yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

8
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 65-69.

12
7) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan,
namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat
meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya
dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran
terhadap hal-hal yang telah disepakati
8) Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian
keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9) Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10) Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau
melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak
mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan. 9
b. Rukun dan Syarat Pembiayaan, diantaranya:
1) Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap
hukum.
2) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),
dengan memperhatikan hal-hal berikut (1) Penawaran dan penerimaan
harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad); (2)
Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak; (3) Akad
dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3) Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia
dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut
(1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya; (2) Modal dapat
berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam
bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad; (3) Modal
tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib,
baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam
akad.

9
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, 106-107.

13
4) Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan
dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi (1) Harus
diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya
untuk satu pihak; (2) Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak
harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus
dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan.
Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan; (3) Penyedia dana
menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola
tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari
kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5) Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan
(muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus
memperhatikan hal-hal berikut (1) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif
mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak
untuk melakukan pengawasan; (2) Penyedia dana tidak boleh
mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan; (3)
Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syariah Islam dalam
tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus
mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.
c. Ketentuan Hukum Pembiayaan, diantaranya:
1) Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2) Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di
masa depan yang belum tentu terjadi.
3) Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada
dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari
kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya

14
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.10
4. Skema Penyaluran Dana Mudharabah
Dalam hal ini, bank bertindak sebagai shahibul maal (penyedia
dana) dan nasabah sebagai mudharib. Sistem bagi hasil (keuntungan dan
kerugian) dihitung berdasarkan nisbah yang telah disepakati.11 Berdasarkan
ketentuan Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005, sebagai berikut: (a)
bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh
dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam
kegiatan usaha; (b) jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan
pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan
nasabah; (c) bank tidak ukut serta dalam pengelolaan usaha nasabah; (d)
pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai atau barang; (e) dalam hal
pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan jumlahnya; (f)
dalam pembiayaan diberikan dalam bentuk barang maka barang yang
diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar yang
wajar; (g) pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam
bentuk nisbah yang disepakati; (h) bank menanggung seluruh risiko
kerugian usaha yang dibiayai, kecuali jika nasabah melakukan kecurangan,
lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha; (i)
nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka
waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku
surut; (j) nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang yang besarnya
berbeda-beda berdasarkan atas kesepakatan pada awal akad; (k) pembagian
keuntungan dilakukan dengan metode bagi untung dan rugi; (l) pembagian
keuntungan berdasarkan hasil usaha dan mudharib sesuai dengan laporan
hasil usaha dari mudharib; (m) dalam hal nasabah ikut menyertakan modal
dalam kegiatan usaha yang dibiayai bank maka berlaku dua ketentuan, yaitu
nasabah bertindak sebagai mitra usaha dan mudharib dan keuntungan yang

10
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, 107-109.
11
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, 122.

15
dihasilkan dari kegiatan usaha yang dibiayai tersebut, nasabah mengambil
bagian kuntungan dari porsi modalnya, sisa keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan antara bank dan nasabah; (n) pengembalian pembiayaan
dilakukan pada akhir periode akad untuk pembiayaan dengan jangka waktu
sampai satu tahun atau dapat dilakukan dengan jangka waktu sampai dengan
satu tahun atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk
(cash in flow) usaha nasabah; (o) bank dapat meminta jaminan atau agunan
untuk menganstisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi
kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad, karena kelalaian atau
kecurangan.12

B. Musyarakah Perspektif Fiqh, KHES, dan Fatwa DSN-MUI


1. Musyarakah Perspektif Fiqh
Musyarakah menurut bahasa, berasal dari kata al-syirkah yang
berarti percampur harta yang satu dengan yang lainnya sehingga keduanya
tidak bisa dibedakan lagi.13 Sedangkan berdasarkan terminologi, menurut
perpaduan Hukum Ekonomi Syariah, musyarakah merupakan Kerjasama
diantara dua orang atau lebih dalam ketrampilan, kepercayaan, atau
permodalan dalam usaha tertentu dengan nisbah sebagai pembagian
keuntungan. Secara Fiqih dalam kitabnya as-Sailul Jarrar III, Imam
AsySyaukani menuliskan bahwa Syirkah terwujud (terealisasi) atas dasar
sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, masing-masing dari mereka
mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal
bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan dengan syarat masing-
masing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya
saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun apabila mereka
sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun
besarnya modal tidak sama, maka hal ini diperbolehkan.14

12
Daeng Naja, Akad Bank Syariah (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), 53.
13
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid 5 (Depok: Gema Insani, 2011), 441
14
Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), 96

16
a. Rukun Musyarakah
1) Ijab-qabul (sighat) merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak
yang bertransaksi.
2) Dua pihak yang berakad (‘aqidani) dan memiliki kecakapan melakukan
pengelolaan harta.
3) Objek akad (ma’qud alaihi), yang mencakup modal atau pekerjaan.
4) Nisbah bagi hasil
b. Jenis-Jenis Syirkah
1) Syirkah amlak
Syirkah amlak adalah persekutuah kepemilikan dua orang atau lebih
terhadap suatu barang tanpa transaksi syirkah.
Syirkah hak milik ini dibagi menjadi dua, yakni:
a) Syirkah ikhtiyar (sukarela),yaitu syirkah yang lahir atas kehendak dua
pihak yang bersekutu. Contohnya ialah apabila ada dua orang yang
mengadakan kongsi untuk membeli suatu barang atau dua orang
mendapatkan hibah atau wasiat, dan keduanya menerimanya, sehingga
keduanya menjadi sekutu dalam hak milik.
b) Syirkah jabar (paksa), yaitu Persekutuan yang terjadi di antara dua orang
atau lebih tanpa sekehendak mereka. Seperti dua orang yang
mendapatkan sebuah warisan, sehingga barang yang diwariskan tersebut
menjadi hak milik kedua orang yang bersangkutan.
2) Syirkah ‘uqud
Syirkah'uqud adalah transaksi yang dilakukan dua orang atau lebih
untuk menjalin persekutuan dalam harta dan keuntungan, ini adalah
definisi syirkah menurut ulama Hanafiyah. Secara umum, menurut para
ulama fiqih termasuk para ulama Malikiyah dan Syafi'iyah, syirkah
dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1) Syirkah 'Inan

Persekutuan dua orang untuk memanfaatkan harta bersama sebagai


modal untuk berdagang dan keuntungannya dibagi dua. Para ulama sepakat

17
bahwa syirkah semacam itu hukumnya adalah boleh, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Mundzir.

2) Syirkah Mufawadhah

Menurut bahasa, syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhah karena


adanya persamaan dalam modal, keuntungan, pengelolaan harta dan lain-
lain. Ulama Malikiyah dan Syafi'I berpendapat bahwa syirkah ini
dinamakan mufawadhah karena kedua belahpihak saling bertukar
(tafaawudh) pembicaraan. Adapun menurut istilah, syirkah mufawadhah
adalah persekutuan dua orang dalam suatu pekerjaan, dengan syarat
keduanya sama dalam modal, pengelolaan harta dan agama, dimana masing-
masing pihak menjadi penanggung jawab bagi yang lain dalam soal jual
beli.

3) Syirkah Abdan

Maksudnya, persekutuan dua orang dimana masing-masing


memiliki pekeriaan (seperti penjahit, tukang besi, tukang warna pakaian dan
lain sebagainya) dan keuntungan dari pekerjaan keduanya dibagi di antara
mereka. Contohnya jika dua orang mengadakan kesepakatan dan berkata,
"Kita berserikat untuk bekeria dalam pekerjaan ini dimana jika Allah
memberikan rezeki berupa upah kerja, maka dibagi di antara kita dengan
syarat-syarat demikian." Syirkah ini menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah,
Hanabilah dan Zaidiyah adalah boleh, karena tuiuan dari qtirkah ini adalah
untuk mendapatkan keuntungan, sementara hal itu bisa dilakukan dengan
mewakilkan. Para pengikut Syafi'i, Syi'ah Imamiyah dan Zufar dari
kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa syirkah a'mal adalah syirkah yang
tidak sah. Karena menurut mereka, syirkah hanya boleh dilakukan dengan
harta, bukan dengan pekerjaan. Alasannya, karena pekeriaan tidak bisa
diukur sehingga mengakibatkan ketidakjelasan. Pasalnya, salah satu pihak
tidak tahu apakah mitranya mendapatkan keuntungan atau tidak. Dan bisa

18
jadi salah satu pihak mengerjakan seluruh pekerjaan, sementara mitranya
tidak melakukan apa-apa.

4) Syirkah Wujuh

Syirkah wujuh adalah persekutuan dua orang tanpa harus memiliki


modal. Keduanya kemudian membeli barang dengan cara berutang lalu
menjualnya secara kontan dengan memanfaatkan kedudukan nama baik)
yang mereka miliki dalam masyarakat. Misalnya, dua orang mengadakan
kesepakatan, "Kita bersekutu untuk membeli barang dengan cara berutang,
lalu menjualnya secara kontan, dan keuntungannya dibagi dua sesuai
dengan syarat demikian”.15

Syirkah ini boleh dilakukan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah,


dan Zaidiyah, karena ia adalah syirkah 'uqud yang mengandung pemberian
hak kuasa (wakalah) masing-masing pihak kepada mitranya untuk membeli
barang, dengan syarat orang yang hendak membeli barang sah untuk
melakukan hal itu, maka begitu juga syirkah yang mencakupnya. Sedangkan
para ulama Malikiyah, Syafi'iyah, Zhahiriyah, dan Imamiyah, serta Laits,
Abu Sulaiman dan Abu Tsaur berpendapat bahwa syirkah semacam itu
adalah syirkah yang tidak sah. Hal itu karena syarikah dikaitkan dengan
harta atau pekerjaan, sementara keduanya tidak ada dalam syirkah ini.
Ditambah lagi, syrikah ini mengandung penipuan (gharar), karena masing-
masing pihak memberikan kepada mitranya keuntungan yang tidak bisa
ditentukan dengan keterampilan, atau pekerjaan tertentu. Dengan begitu,
keuntungan yang didapat bukanlah hasil dari modal atau pekerjaan,
sehingga dia tidak berhak untuk mendapatkannya.

c. Hal-Hal yang Membatalkan Syirkah


Penyebab berakhinya musyarakah apabila terjadi hal-hal berikut ini :

15
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, 114-115.

19
1) Salah satu pihak membatalkan meskipun tanpa persetujuan pihak
lainnya. Karena Musyarakah terjadi atas dasar rela sama rela antara
kedua belah pihak, sehingga apabila pihak satu tidak lagi menginginkan
maka tidak lagi dilaksanakan.
2) Salah satu pihak tidak bisa lagi mengelola harta, baik karena gila atau
alasan lain.
3) Salah satu pihak meninggal dunia, apabila anggota lebih dari satu, maka
musyarakah masih bisa berlanjut, dan apabila ahli waris anggota yang
meninggal menghendaki untuk serta dalam musyarakah, maka dilaukan
perjanjian bai ali waris yang bersangkutan.
4) Salah satu pihak ditaruh pengampunan, baik disebabkan karena di
tengah perjanjian boros atau sebab lainnya.
5) Salah satu pihak bangkrut yang mengakibatkan tida lagi berkuasa atas
saham musyarakah.
6) Modal para anggota musyarakah leyap sebelum dibelanjakan atas nama
musyarkah.
2. Musyarakah Perspektif KHES

Pengertian musyarakah atau syirkah dalam KHES terdapat dalam


Pasal 20 ayat (3) yang memiliki arti kerjasama antara dua orang atau lebih
dalam hal permodalan, ketrampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu
dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati
oleh pihak-pihak yang berserikat. Dalam Pasal 136 syirkah diartikan
sebagai kerjasama yang dapat dilakukan antara dua pihak pemilik modal
atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang tidak
sama, masing-masing pihak berpartisispasi dalam perusahaan serta
keuntungan atau kerugian dibagi sama atas dasar proporsi modal. Kemudian
mengenai syirkah sendiri telah diatur dalam Bab VI dari mulai Pasal 134-
230. 16

16
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 45.

20
Rukun syirkah terdapat dalam Pasal 141 ayat 1-3, diantaranya (1)
Setiap anggota syirkah mewakili anggota lainnya untuk melakukan akad
dengan pihak ketiga atau menerima pekerjaan dari pihak ketiga untuk
kepentingan syirkah; (2) Masing-masing anggota syirkah
bertanggungjawab atas risiko yang diakibatkan oleh akad yang
dilakukannya dengan pihak ketiga untuk kepentingan syirkah; (3) Seluruh
anggota syirkah bertanggungjawab atas risiko yang diakibatkan oleh akad
yang dilakukan oleh salah satu pihak ketiga yang dilakukan oleh salah satu
anggotanya, yang dilakukan atas persetujuan anggota syirkah lainnya.
Dalam hal ini, akad dilakukam oleh setiap anggota syirkah melalui pihak
ketiga dan semua risiko terhadap syirkah ditanggung oleh setiap nggota.
Syarat umum syirkah terdapat dalam Pasal 142-144, yaitu semua bentuk
akad syirkah disyaratkan agar pihak-pihak yang bekerjasama harus cakap
melakukan perbuatan hukum dan dalam pasal selanjutnya, akad kerjasama
dengan saham yang sama, terkandung suatu akad jaminan atau kafalah.
Kemudian dijelaskan lagi dalam Pasal 144 syirkah dengan saham yang tidak
sama, hanya termasuk akad keagenan atau wakalah dan tidak mengandung
akad jaminan atau kafalah.

Macam-macam syirkah terdapat dalam Pasal 134-135, yaitu syirkah


dapat dilakukan dalam bentuk syirkah amwal, syirkah abdan, dan syirkah
wujuh. Pasal selanjutnya berbunyi, syirkah amwal dan syirkah abdan dapat
dilakukan dalam bentuk syirkah ‘inan, syirkah muwaffadhah dan syirkah
mudharabah. Syirkah amwal terdapat dalam Pasal 146 yang memiliki arti
dalam kerjasama modal, setiap anggota syirkah harus menyertakan modal
berupa uang tunai atau barang berharga. Dijelaskan lagi mengenai syirkah
amwal dalam Pasal 147 yang berbunyi, apabila kekayaan anggota yang akan
dijadikan modal syirkah buka berbentuk uang tunai, maka kekayaan
tersebut harus dijual atau dinilai terlebih dahulu sebelum melakukan akad
kerjasama. 17

17
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 47.

21
Syirkah abdan dibahas pada Pasal 148-164, syirkah abdan ialah
perserikatan antara dua pihak atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Selanjutnya, pada Pasal 149 disebutkan bahwa jaminan boleh dilakukan
terhadap akad kerjasama pekerjaan dan penjamin akad kerjasama pekerjaan
berhak mendapat imbalan sesuai kesepakatan. Pasal 151 berbunyi, (1) Para
pihak yang melakukan akad kerjasama pekerjaan dapat menyertakan akad
ijarah tempat atau upah karyawan berdasarkan kesepekatan; (2) Dalam akad
kerjasama pekerjaan dapat berlaku ketentuan yang mengikat para pihak dan
modal yang disertakan. Para pihak dalam syirkah abdan dapat menerima
dan melakukan perjanjian untuk melakukan pekerjaan, pasal 152. Pada
pasal 157 disebutkan mengenai pembagian keuntungan berdasarkan akad
kerjasama pekerjaan yang didasarkan atas modal atau kerja. Selanjutnya,
dalam Pasal 163 mengenai kerusakan hasil pekerjaan yang berada pada
salah satu pihak yang melakukan akad kerjasama pekerjaan bukan karena
kelalaiannya, maka pihak yang bersangkutan tidak wajib menggantinya.
Akad syirkah abdan ini akan berakhir sesuai dengan kesepakatan dan akad
kerjasama pekerjaan akan batal apabila terdapat pihak yang melanggar
kesepakatan.

Macam syirkah selanjutnya ialah syirkah mufawadhah yang dibahas


dalam Pasal 165-172. Pada syirkah mufawadhah ini kerjasama untuk
melakukan usaha boleh dilakukan dengan jumlah modal yang sama dan
keuntungan serta kerugian dibagi sama, pihak yang melakukan akad ini
terikat dengan perbuatan hukum anggota syirkah lainnya, pasal 165 dan
166. Pada Pasal 168 disebutkab bahwa benda yang telah rusak kemudian
dijual oleh salah satu pihak anggota akak mufawwadhah kepada pihak lain,
maka dapat dikembalikan oleh pihak pembeli kepada salah satu pihak
anggota syirkah. Kemudian lebih dirinci lagi dalam Pasal 169, yaitu (1)
Suatu benda yang rusak dan sudah dibeli oleh salah satu pihak anggota akad
mufawwadhah, maka dapat dikembalikan oleh pihak anggota lain kepada
pihak penjual; (2) Pihak penjual atau pembeli seperti yang dimaksud dalam
ayat (1), maka dapat menuntut harga barang itu dari anggota syirkah yang

22
lain berdasarkan jaminan.18 Syirkah mufawwadhah disyaratkan setiap
angggota harus sama, baik dalam modal maupun hasil, bunyi pasal 171 dan
Pasal 172 disebutkan apabila syarat dalam akad syirkah mufawadhah tidak
terpenuhi, maka kerjasama tersebut dapat diubah berdasarkan kepekatan
para pihak menjadi syirkah al ‘inan.

Syirkah ‘inan dijelaskan dalam Pasal 173-177, pasal 173 diebutkan


bahwa syirkah ‘inan dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama modal
sekligus kerjasama keahlian atau kerja, pembagian keuntungan dan
kerugian dalam kerjasama modal dan kerjad ditetapkan berdasrakan
kesepakatan. Syirkah ‘inan ini berlaku ketentuan mengikat para pihak dan
modal yang disertakannya, bunyi pasal 174. Dalam syirkah ‘inan para pihak
tidak wajib untuk menyerahkan semua uangya sebagai sumber dana modal
serta diperbolehkan memiliki harta yang terpisah dari modal syirkah ‘inan,
pasal 175. Pasal 177 membahas mengenai kerugian dan kerusakan yang
terjadi bukan karena kelalaian para pihak dalam syirkah ‘inan, wajib
ditanggung secara proporsional serta keuntungan yang diperoleh dalam
syirkah ini juga dibagi secara proporsional. Sedangkan, mengenai syirkah
musytarakah terdapat pada pasal 178-186. Syirkah milk terdapat dalam Bab
VII dari mulai pasal 187-230. Syrirkah milk atau hak milik atas harta dengan
kepemilikan penuh terjadi apabila ada dua pihak atau lebih, bergabung
dalam suatu kepemilikan atas tertentu.19 Apabila terjadi kehilangan
sebagian dari hak milik bersama atas harta dengan kepemilikan penuh, maka
bagian kepemilikan dari sisa hak milik tersebut ditentukan berdasarkan
presentase awal masing-masing pemilik, terdapat dalam pasal 187 dan 188.
Kemudian pembagian hak milik bersama atas harta dengan kepemilikan
penuh terbagi atas syirkah ikhtiyari (hak milik bersama secara sukarela) dan
syirkah ijbari (hak milik bersama buka karena usaha manusia), pasal 189.
Dijelaskan lagi dalam pada selanjutnya, yaitu (1) Syirkah ikhtiyari terjadu

18
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 50.
19
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 56.

23
karena adanya kehendak untuk melakukan perbuatan dari para pemilik
sendiri; (2) Syirkah ijbari terjadi bukan karena adanya kehendal untuk
melakukan perbuatan dari para pemilik sendiri. Pemanfaatan syirkah milk
ini tercantum dalam pasal 193-202. Pemanfaatan syirkah milk dapat
dilakukan sesuai dengan kesepakatan, terdapat pada pasal 193.

Mengenai hak atas piutang bersama dalam syirkah milk ini diatur
dalam Pasal 203-214. Apabila salah satu pihak atau lebih meminjamkan
harta warisan yang menjadi hak milik bersama kepada pihak lain, maka
piutang itu menjadi hak milik bersama, bunyi pasal 203. Pada pasal
selanjutnya, disebutkan mengenai piutang dari seorang yang meninggal
merupakan hak milik bersama para ahli warisnya sesuai dengan bagiannya
masing-masing. Pasal 205 disebutkan bahwa utang pengganti kerugian
akibat salah satu pihak merusak harta bersama, maka utang ditanggung oleh
para pemilik. Selanjutnya, mengenai pemisahan hak milik bersama terdapat
pada pasal 215-225. Pemisahan hak milik bersama dapat dilakukan selama
dapat dihitung ukurannya dengan penetapan pembagian atau pertukaran,
kemudian lebih dirinci lagi dalam pasal berikutnya. Pemisahan ini dapat
dilakukan berdsarkan kesepakatan atau ketetapan dari pengadilan, bunyi
pasal 218.

a. Mengenai syarat-syarat pemisahan terdapat dalam pasal 219-225,


diantaranya:
1) Pemisahan hak milik bersama hanya dapat dilakukan pada harta yang
berwujud dengan status kepemilikan sempurna.
2) Pemisahan harus dilakukan setelah bagian sahmnya diidentifikasikan
dan bisa dibedakan.
3) Pemisahan harus dilakukan sesuai dengan saham yang dimiliki masing-
masing pemilik.
4) Pemisahan berdasarkan kesepakatan harus dinyatakan para pemilik baik
dengan lisan, tulisan, atau isyarat.

24
5) Pemisahan berdasarkan penetapan pengadilan dapat dilakukan atas
adanya permohonan salah satu pihak atau para pihak.
6) Pemisahan dapat dilakukan terhadap harta yang manfaatnya tidak boleh
hilang dengan adanya pemisahan tersebut.
7) Pemisahan tidak boleh merugikan pihak lainnya atau pihak pihak-pijhak
yang memiliki hak manfaat atas hak milik bersama tersebut.20
b. Diatur juga mengenai cara pemisahan yang terdapat dalam pasal 226-230,
diantaranya:
1) Hak milik bersama yang dapat diukur, dipisahkan berdasarkan ukuran.
2) Hak milik bersama yang tidak dapat diukur, dipisahkan berdasarkan
nilainya.
3) Apabila salah satu pihak dari pemilik menggunakan hak milik bersama,
maka ia wajib mengganti kerugian untuk diserahkan kepada para
pemilik lainnya sesuai dengan sahamnya, apabila pengguna tersebut
menimbulkan kerugian..
4) Apabila salah satu pemilik merusak hak milik bersama, maka ia wajib
mengganti kerugian untuk diserahkan kepada pemilik lainnya sesuai
dengan sahamnya.
5) Apabila salah satu pihak pemilik menerima pembayaran piutang
bersama kemudian menghilangkannya, maka pikhak lainnya dapat
menuntut ganti rugi.21
3. Ketentuan Musyarakah (Ref Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000)
a. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), harus
memperhatikan sebagai berikut:
1) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
2) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

20
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 63.
21
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 64.

25
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespodensi atau dengan
mengggunakan cara-cara komunikasi modern.
b. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum serta dengan
memperharikan sebagaimana berikut:
1) Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
2) Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
3) Setiap mitra mempunyai hak untuk mengatur aset musyarakah selama
proses bisnis normal.
4) Setiap mitra memberikan wewenang kepada mitra yang lain untuk
mengelola aset dan setiap mitra dianggap telah diberi wewenang untuk
melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan
mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
5) Seorang mitra tidak diperbolekan melakukan penarikan atau
penginvestasian dana untuk kepentingannya sendiri.
c. Objek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
1) Modal
a) Modal yang diberikan harus berupa uang tunai, emas, perak atau
yang setara. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti
barang-barang property dan sebagainya. Jika modal adalah aset,
harus dinilai terlebih dahulu secara tunai dan disetujui oleh para
pihak-pihak yang berkontrak.
b) Selain atas dasar kesepakatan, para mitra tidak diperbolehkan
meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau memberi hadiah
modal musyarakah kepada pihak lain.
c) Pada prinsipnya dalam penyaluran dana musyarakah, tidak terdapat
jaminan dalam akad pembiayaan musyarakah. Namun, agar
menghindari terjadinya penyimpangan di lain waktu, maka dapat
meminta jaminan dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat
meminta jaminan.

26
2) Pekerjaan
a) Keterlibatan para mitra dalam pekerjaan menjadi dasar pelaksanaan
musyarakah. Namun, pembagian porsi kerja yang sama tidak
menjadi syarat. Seorang mitra dapat bekerja lebih dari mitra yang
lainnya, dan dalam hal ini mitra tersebut dapat mengklaim
pembagian keuntungan tambahan.
b) Setiap mitra menjalankan pekerjaan dalam musyarakah atas nama
pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam
organisasi pekerjaan harus dijelaskan dalam kontrak.
3) Keuntungan
a) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindari
perselisihan dan pertikaian pada waktu distribusi keuntungan atau
penghentian musyarakah.
b) Secara proporsional keuntungan setiap mitra harus atas dasar
seluruh keuntungan dan tidak ada penentuan jumlah di awal yang
dipastikan untuk seorang mitra.
c) Seorang mitra dapat menawarkan kelebihan atau persentase yang
diberikan kepadanya apabila keuntungan melebihi jumlah tertentu.
d) Sistem pembagian keuntungan harus dinyatakan secara jelas dalam
akad.
4) Kerugian
Kerugian harus dibagi rata antara para mitra secara proporsional sesuai
dengan saham masing-masing dari modal usaha tersebut..
d. Biaya Operasional Dan Persengketaan, diantaranya:
1) Pembebanan biaya operasional pada modal bersama.
2) Jika salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya atau jika timbul
suatu perselisihan di antara para pihak, maka melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah penyelesaian dijalankan setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.22

22
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, 118-121.

27
C. Skema Penyaluran Dana Musyarakah
Nasabah sebagai yang memberikan aset, bank syariah sebagai
lembaga yang menyalurkan dana, sesuai dengan kemapuannya.23 Kemudian
keuntungan usaha didasarkan pada bagi untung atau rugi (profit) dan bagi
pendapatan (loss sharing atau revenue sharing). Dalam kegiatan penyaluran
dana dalam bentuk musyarakah, terdapat syarat-syarat yang berlaku, seperti
yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005,
diantaranya (a) bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra
bersama-sama menyediakan dana atau barang untuk membiayai suatu
kegiatan usaha tertentu; (b) nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan
bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai
dengan tugas dan wewenang yang disepakati; (c) bank berdasarkan
kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola
usaha; (d) pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai atau barang; (e) dalam
hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang maka barang yang
diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan; (f) jangka
waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah; (g) biaya
operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan; (h)
pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk
nisbah yang disepakati; (i) bank dan nasabah menanggung kerugian secara
proporsional menurut porsi pada modal masing-masing, kecuali jika terjadi
kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian dari salah satu pihak; (j) nisbah
bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu
investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
(k) nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang yang besarnya
berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal akad; (l) pembagian
keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi (profit
and loss sharing), atau metode bagi pendapatan (revenue sharing); (m)
pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan

23
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, 123.

28
keuangan nasabah; (n) pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada
akhir periode akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas
masuk (cash in flow) usaha; (o) bank dapat meminta jaminan atau agunan
untuk menganstisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi
kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad, karena kelalaian atau
kecurangan.24

1. Praktik Akad Pembiayaan Musyarakah di PT. BPRS Tanmiya


Artha Kediri

Akad pembiayaan musyarakah yaitu penggabungan dana atau


modal antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan suatu usaha
tertentu dengan kesepakatan bersama, baik mulai dari proses akad
sampai pembagian keuntungan bersama dengan mengindahkan ajaran
syariat Islam. Akad musyarakah yang ada di PT. BPRS Tanmiya Artha
berbentuk modal kerja. Bentuk musyarakah modal kerja adalah bank
yang merupakan partner pada tahap awal dari sebuah usaha atau proses
produksi.25

Penyebab kenaikan akad pembiayaan musyarakah adalah


adanya sindikasi antar 2 sampai 5 bank syariah dalam satu pembiayaan.
Rata-rata sindikasi berbentuk modal kerja dan digunakan untuk
membiayai proyek perumahan.22 Berdasarkan wawancara penulis
dengan PT. A, pengajuan pembiayaan sindikasi diajukan untuk
membiayai pengembangan proyek perumahan, artinya pembiayaan
tidak dilakukan dari awal pembangunan. Pembiayaan yang diajukan
sebesar Rp. 1.200.000.000,- dengan jangka waktu 12 bulan dan
dilaksanakan bersama tiga bank syariah. PT memiliki dana sekitar Rp.
300 juta-an, PT. BPRS Tanmiya Artha Kediri membiayai sebesar Rp.

24
Daeng Naja, Akad Bank Syariah , 51.
25
Suprihantosa dkk, Al-Muraqabah:, Journal of Management and Sharia Busines, no2 (2022),156.

29
294 juta, dan sisanya dibiayai oleh kedua bank syariah lain yang
merupakan peserta sindikasi pembiayaan tersebut.

Akad pembiayaan musyarakah menjadi akad pembiayaan bagi


hasil yang sangat dominan di PT. BPRS Tanmiya Artha Kediri, karena
pembiayaan ini terus mengalami kenaikan yang sangat tinggi mulai
akhir tahun 2019. Hal ini berbanding terbalik dengan pembiayaan bagi
hasil pada akad mudarabah yang terus mengalami penurunan hingga
akhir tahun 2021.

D. Analisis Penulis
Secara umum mudharabah menurut pengertian atau rukun dari
KHES dan fiqh sendiri memiliki kesamaan. Macam-macam mengenai
Mudharabah dalam KHES dan fiqih juga memiliki kesamaan, yang dimana
macam-macamnya terdapat empat, yaitu mutlak dan muqayyadah.
Kemudian mengenai mudharabah ini sudah banyak dibahas di dalam
KHES, terdapat juga mengenai pemberhentian kerjasama bagi mudharib
yang meinggal dunia sampai tidak cakap dalam melakukan perbuatan
hukum. Sedangkan dalam Fatwa DSN-MUI lebih membahas mengenai
ketentuan penyaluran dana maupun mengenai ketentuan hukum penyaluran
dana. Pembahasan mengenai musyarakah dalam fiqh dan KHES juga
hampir sama. Macam-macam syirkah yang ada di fiqh dan KHES juga
memiliki kesamaan. Dalam KHES permasalahan mengenai musyarakah,
dibahas mendetail. Dalam Fatwa DSN-MUI telah dijelaskan secara rinci
juga.

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Mudharabah menurut fiqh ialah suatu akad antara dua orang dengan
transaksi menyerahkan hartanya kepada orang lain untuk dijadikan
suatu usaha dengan mendapat imbalan menurut bagiannya tertentu yang
memiliki sifat secara umum. keuntungan yang didapatkan dibagi sesuai
dengn kesepakatan yang telah dilakukan. Mudharabah dalam KHES
diatur pada Bab VII mulai Pasal 231-254. Sedangkan, pada Fatwa DSN-
MUI terdapat dalam No.07/DSN-MUI/IV/2000.
2. Skema penyaluran dana mudharabah ialah bank bertindak sebagai
shahibul mal, nasabah sebagai mudharib dan bagi hasil idhitung
berdasarkan nisbah yang telah disepakati.
3. Musyarakah berasal dari kata syirkah yang memiliki arti akad antara
orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Dalam
KHES syirkah ini dibahas dalam Bab IV tentang ketentuan umum
syirkah mulai Pasal 134-186. Dibahas juga mengenai Syirkah Milk
dalam Pasal 187-230. Sedangkan pada Fatwa DSN-MUI No.08/DSN-
MUI/IV/2000.
4. Skema penyaluran dana mudharabah ialah bank dan nasabah dapat
bertindak sebagai penyedia dana dan keuntungan usaha didasarkan pada
profit and loss sharing atau revenue sharing.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dalam hal substansi maupun penulisannya. Diharapkan pembaca dapat
memberikan masukan pada penulisan makalah ini agar dapat diperbaiki
lebih baik lagi.

31
DAFTAR RUJUKAN

Andrianto dan M. Anang Firmansyah. Manajemen Bank Syariah (Implementasi


Teori dan Praktek). Surabaya: Cv. Penerbit Qiara Media, 2019.
Az-Zuhaili, Wahbah. .Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid 5. Depok: Gema Insani,2011.
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.

Islami, Aufa. “Analisis Jaminan dalam Akad-Akad Bagi Hasil (Akad Mudharabah
dan Akad Musyarakah) di Perbankan Syariah”, Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah, no 1(2021): 1-22, http://dx.doi.org/10.30595/jhes.v4i1.9903
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah. Yogyakarta: UII


Press, 2009.

Naja, Daeng. Akad Bank Syariah. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.


Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2014.

32

You might also like