You are on page 1of 5

Bidadari Malam

“Astagfirullah Dino! Mentang-mentang libur! Dari pagi, sampe malem kerjaannya rebahan sama
main hape aja! Pergi ke masjid sana, sebelum azan magrib!” perintah seorang wanita berdaster
merah, dengan rambut diikat asal. Wanita itu memelototkan mata, dengan sebuah sapu tangan
yang berada di kepalan tangan kanannya. Niat awalnya adalah menyapu kamar sang anak, tetapi
darahnya langsung naik, ketika melihat anak satu-satunya itu malah merebahkan diri di tempat
tidur, sembari memainkan gawai.

Dino menatap sendu sang ibu. Dia menaruh gawainya di tempat tidur, kemudian memberikan
alasan, “Mak, buat hari ini aja, jangan ngomel-ngomel. Dino lagi patah hati, abis putus dari
Citra.”

Sang ibu langsung membuka lebar mulutnya. Wanita bernama Laras itu menggeleng-gelengkan
kepala. Dia menunjukkan gagang sapu ke arah sang anak, kemudian berujar,”Oh, jadi cuman
gara-gara putus cinta, lu diem di kamar gak ngelakuin apa-apa, selain maen hape doang?!”
Dino mendengkus, dia membalas, “Nyari hiburan, Mak.”
Balasan anak berusia tujuh belas tahun itu membuat Laras memijat keningnya sendiri. Di zaman
teknologi yang serba canggih ini, dia harus berurusan dengan anak satu-satunya, yang
menjadikan kehidupan dunia maya sebagai belahan hidupnya. Jujur, mendidik dan membesarkan
remaja puber itu tak mudah, ditambah lagi dengan zaman yang semakin mengada-ngada. Salah
didikan sedikit saja, bisa merusak masa depan sang anak. Inilah peran penting orang tua dalam
membesarkan anak-anaknya.
“Pergi ke masjid sana! Salat sekalian belajar ngaji!” perintah sang ibu.
Jangankan pergi ke masjid untuk melaksanakan salat berjamaah, Dino bahkan terlalu malas
untuk beranjak dari tempat tidurnya. Dia kembali berkata,”Emak gak ngerti, rasanya diputusin
sama cewek yang Dino suka. Dino bahkan rela nipu emak, demi bisa beliin Citra cokelat sama
bunga.”
Laras langsung memelototkan mata. Pantas saja, sang anak meminta uang tambahan untuk
membeli keperluan sekolahnya. Rupanya anak itu menipunya untuk membelikan hadiah pada
kekasihnya. Padahal, Laras sengaja menghemat uang, karena kondisi ekonomi keluarganya.
“Bapak lu bela-belain kerja keras sampe malem, tapi anaknya malah buang-buang duit cuman
buat anak orang?”
Laras memukul tempat tidur dengan gagang sapu miliknya. Wanita itu tak mengerti dengan isi
pikiran sang anak. Sampai menghamburkan uang hanya untuk gadis yang bahkan sekarang sudah
memutuskannya. “Syukurin! Siapa suruh lu nipu Emak?! Sekarang kena azab kan?! Udah kapok,
pacar-pacaran gak guna itu! Ngehasilin kagak, nyusahin iya!”
“Liat tuh anak tetangga, si Baim! Dia jadi ketua osis, tapi rangking satu, dan juara silat
sekabupaten! Tiru usahanya buat ngebanggain orang tua, bukan cuman nyusahin aja!”
Dino terdiam. Sepedas-pedasnya perkataan sang ibu, Dino tak bisa menoleransi ucapan
perbandingan seperti tadi. Siapa anak yang tidak tersinggung, ketika dibandingkan dengan
tetangganya sendiri? Dino tahu dirinya memang tak seperti anak tetangga.
Dino akhirnya menurunkan sudut bibirnya. Dibanding berdebat, dia memilih untuk mengakui
kesalahannya dan meminta,”Maaf.”
Satu kata yang membuat Laras menurunkan sapu miliknya. Percuma, marah-marah atau
memukuli sang anak. Lagi pula nasi sudah menjadi bubur. Tak kan ada yang akan kembali,
walaupun Laras menyiksa anaknya. Wanita itu hanya berharap sang anak bisa mengambil
pelajaran dari pengalamannya ini, dan tidak melakukannya di kemudian hari.
Meskipun pada kenyataannya, melakukan tidak semudah dengan mengatakannya. Sang anak
masih asyik memainkan gawai, dengan niat mencari pacar baru untuk memanas-manasi Citra.
Hal itu membuat Laras kehilangan kesabarannya lagi. Dia langsung bergerak kea rah tempat
tidur sang anak. Laras sengaja menjatuhkan sapu di tangannya, kemudian menjewer telinga sang
anak sampai Dino merengek,”Iya! Iya! Dino pergi ke masjid sekarang!”
Laras memerintah,”Cepet pergi, jangan cuman iya-iya doang! Belajar ngaji sama Pak Ustaz
sana!”
***
Di sinilah Dino berada. Di sebuah tempat luas bernuansa islami, dengan belasan anak bersarung
dan bermukena. Setelah melaksanakan salat magrib, semua anak berkumpul membentuk sebuah
lingkaran. Mereka mengaji bersama-sama, begitu pula dengan Dino yang mengaji setengah
ikhlas dan setengah terpaksa. Beberapa dari anak kecil yang belum lancer mengaji pergi untuk
dikoreksi oleh seorang pemuda sesusia Dino. Pemuda itu adalah Baim, orang yang saat ini
mendapatkan tatapan tak suka dari Dino.
Sepulang mengaji, Dino berjalan beriringan dengan Baim. Baim menarik kedua sudut bibirnya
ke atas, berbeda lagi dengan Dino yang memasang wajah kesal. Baim bertanya,”Tumben lo pergi
ke masjid?”
Dino menyilangkan tangan di depan dada. Pemuda itu berdecak, kemudian balik
bertanya,”Emangnya cuman ketua osis, si rangking satu yang juara silat doang, yang boleh pergi
ke masjid?”
“Gue cuman nanya doang. Soalnya gue jarang liat lo pergi ngaji,” balas Baim.

Dino mendengkus kemudian berkata,” Gue abis putus dari Citra, selain itu, abis dibandingin
Emak sama anak tetangga lagi. Ujung-ujungnya dipaksa buat pergi ke masjid.”

“Bagus dong, biar jadi remaja masjid kayak gue,” balas Baim.

Dino langsung menggeleng-gelengkan kepala. Selain seorang ketua osis yang rajin belajar, Baim
juga merupakan pemuda yang diamanahi mengajari anak-anak kecil mengaji. Paket lengkap
untuk menjadi idola ibu-ibu, sekaligus perbandingan bagi anak-anaknya yang malas. Bagus!
Lagi-lagi Dino kalah satu langkah dari Baim. Dino bisa membayangkan reaksi ibunya nanti,
ketika dia mengetahui Baim merupakan remaja masjid.

Dino tanpa sadar berkata,”Gil*. Si*l banget hidup gua. Udah diputusin Citra, punya tetangga
kayak si B*im lagi. Kurang apa coba, penderitaan hidup ini?”

Baim mengernyitkan kening. Dia kemudian bertanya,”Lah, bukannya si Citra pacarnya si


Gibran, ya?”

Dino membalas,”Iya. Selama ini cewek *nj*ng itu ngejadiin gua selingkuhannya. Gua namain
kontak dia My Darling. Sedangkan dia? Dia namain kontak gua Tukang Ojek Pengkolan! Rese
banget tuh cewek! Parahnya lagi gua beg* karena mau dimanfaatin doang!”

Perkataan Dino membuat Baim mengernyitkan kening. Dia bertanya, ”Terus kenapa lo nge-
galauin cewek kayak gitu? Gak bermanfaat banget.”

“Gue gak nyesel kami putus. Gue cuman nyesel karena duit hasil uniko gue, terbuang sia-sia
karena cewek itu! Kena azab kan?!” jawab Dino sembari menghentakkan kakinya ke tanah.

Tiba-tiba salah satu anak bersarung biru tertawa. Anak itu mendengar setiap kalimat yang Dino
ucapkan pada Baim. Setelahnya, dia berkomentar, “Ada bagusnya dong. Kak Dino jadi pergi ke
masjid lagi. Danil jadi punya temen pulang ngaji lagi.”

Dino merotasikan bola matanya. Dia melihat ke atas. Tepat di antara gelapnya langit malam,
terdapat bintang-bintang yang bersinar terang. Mungkin perkataan Danil benar juga. Jika Dino
tidak dimarahi, dia tak mungkin bisa merasakan malam dipenuhi bintang seperti ini. Dino
bahkan bisa merasakan dinginnya angin malam menyelimuti tubuh kurusnya.

Danil tiba-tiba berkata, “Kak Dino. Kata Kak Baim, Kakak harus rajin ngaji. Supaya Allah
ngasih bidadari surga buat Kakak.”

Dino mengernyitkan kening. Dia berkata, “Bidadari surga?”

“Iya Kak! Orang yang rajin ngaji bakalan dapet bidadari surga,” balas Danil.

Awalnya Dino masih bisa mengabaikan ucapan Danil. Dia hanya berpikir jika Danil mengatakan
hal itu, karena Baim membujuknya untuk pergi mengaji saja. Namun, sorot mata Dino tiba-tiba
tertuju pada sebuah kursi di taman yang mereka lewati. Tepat di sana, terdapat seorang
perempuan berambut panjang, dengan gaun putih.

”Jangan-jangan itu bidadarinya!” kata Danil yang juga melihat ke arah kursi taman. Spontan,
Baim juga menatap ke arah perempuan itu. Meskipun pada akhirnya, Dino tiba-tiba
memundurkan langkahnya ke belakang. Dia berkata, “Itu bukan bidadari.”

“Mana ada bidadari duduk malem-malem di tengah taman,” lanjut Dino.


Danil meneguk ludahnya sendiri. Sembari meremas sarung miliknya, anak itu bertanya, “Kalo
bukan bidadari, lalu apa namanya?”

Dino melihat perempuan itu baik-baik. Dia memindai bawah hingga atas si perempuan.
Setelahnya, dia menarik keseimpulan,” Cewek langsing.”

“Pake baju putih.”

“Rambut panjang.”

“Sendirian di tengah malam.”

“Rambutnya panjang juga.”

“Kalo bukan bidadari berarti… “

Belum sempat Dino melanjutkan ucapannya, Danil sudah lebih dulu berlari menuju rumahnya.
Anak yang awalnya takut pulang sendiri, dan selalu ingin pulang bersama orang lain itu,
akhirnya berlari tanpa mempedulikan apa pun. Dia berteriak, menjawab pertanyaannya
sendiri,”Itu kuntilanak!”

Dino juga ingin berlari, tapi Baim sudah lebih dulu menahan tubuhnya. Dia tertawa kecil dan
membalas, “Itu bukan kuntilanak. Mana ada kuntilanak yang kakinya napak ke tanah. Palingan
juga pasien RSJ yang lagi kabur. Kita harus telepon petugasnya.”

Akhirnya Dino mengusap-usap dadanya sendiri. Pemuda itu mengambil gawainya, yang sedari
tadi dia matikan di saku celana. Padahal niat awal Dino adalah menghubungi RSJ. Namun,
jemari usilnya malah mengarahkan kamera gawai, sekaligus sinar belakang ponselnya pada
perempuan itu. Dino berkata pada Baim,”Bagusnya, yang kayak gini tuh, dijadiin konten. Siapa
tahu, videonya viral dan gue bisa dapet duit dari video penampakan pasien RSJ ini.”

“No. Udahlah, gak usah nyari-nyari masalah. Cepet telepon petugasnya aja,” saran Baim.

Dino malah menjawab, “Emangnya cuman lo doang, yang bisa viral dan jadi idola emak-emak?
Gue juga pasti bisa.”

Baim menarik dan mengeluarkan napas panjang. Setelah itu dia membalas, “Ya pasti bisa Dino.
Tapi gak gini juga caranya. Lo mau---“

Belum sempat Baim meneruskan ucapannya, perempuan berambut panjang itu sudah lebih dulu
mendongak. Di balik rambut panjangnya, sorot mata perempuan itu tertuju pada kamera ponsel
Dino. Hanya dalam hitungan detik saja, perempuan itu berjerit dan menunjuk-nunjuk ke arah
Dino. Dia langsung beranjak dari kursinya, kemudian berlari mengejar Dino.

Dino ikut berlari dikejar perempuan berbaju putih, yang tertawa menyeramkan. Sedangkan Baim
sendiri hanya terdiam di tempat, sembari mengusap-usap dadanya sendiri. Dia berkata, “Udah
gue bilang jangan cari masalah, ya jangan cari masalah. Salah siapa juga gak denger. Sekarang,
main kejar-kejaran aja sampai ada warga yang nolongin!”
“Eh kasian juga, dikejar orgil malem-malem. Gue panggil orang buat bantu lo deh!”
Pada akhirnya perempuan gil* itu berhasil mengambil pomsel Dino, yang bersinar dan
mengganggu indera penglihatannya. Wanita itu tertawa seorang diri, setelah mendapatkan ponsel
Dino dan memainkannya beberapa saat. Berbeda lagi dengan Dino yang menyesali
keputusannya. Bahkan ketika warga desa berhasil menangkap perempuan itu, Dino harus
menerima fakta jika gawai miliknya sudah rusak.

You might also like