You are on page 1of 11

Nama : Afifah Tasya Miladya

NPM : 110110190144
Mata Kuliah/Kelas : Hukum Adat dalam Perkembangan/A
Dosen : Linda Rachmainy, S.H., M.H.

PENYELESAIAN DELIK ADAT

Dalam praktik di kehidupan bermasyarakat, sangat terbuka kemungkinan


terjadi ketidakharmonisan yang karena adanya pelanggaran terhadap norma yang ada.
Pelanggaran tersebut dilihat dapat melahirkan kegoncangan dalam masyarakat, karena
dianggap telah mengganggu keseimbangan kosmis. Maka itu untuk mengembalikan
kondisi seperti sedia kala atas pelanggaran yang terjadi, maka si pelanggar harus
diberikan sanksi adat.1

A. Pengertian Delik Adat


Istilah delik adat acap kali dikenal dengan Hukum Pidana Adat. Istilah ini
berdasarkan beberapa literatur bersumber dari “Adat Delicten Recht” yang berarti
hukum pelanggaran adat.2 Ter Haar berpendapat bahwa delik adat dapat diartikan
sebagai setiap gangguan terhadap benda materiil maupun immateriil kepunyaan orang
perorangan atau kelompok sosial. Pada masyarakat adat, dimana terhadap
gangguan-gangguan tersebut melahirkan reaksi negatif yang menuntut pemulihan
kembali dari keseimbangan kosmis yang terganggu tersebut.3 Sehingga, yang
diuraikan dalam hukum adat delik adalah mengenai peristiwa dan perbuatan yang
bagaimana perbuatannya merupakan“delik adat” dan bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tidak terganggu.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Hilman Hadikusuma, terdapat beberapa
jenis delik adat, antara lain:
1. Delik perbuatan yang mengganggu keamanan, seperti perampokan, pencurian,
pembunuhan, penganiayaan.

1
I Made Widnyana. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: PT. Eresco, 1993, hlm. 3.
2
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1989, hlm. 7.
3
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1982, hlm. 81.
2. Delik perbuatan yang mengganggu ketertiban masyarakat, seperti melakukan
penghinaan, mengganggu kegiatan ibadah, mengganggu rumah penduduk,
berjudi, mengganggu mayat, memakan makanan yang diharamkan.
3. Delik perbuatan yang mengganggu ketertiban pemerintahan, seperti mengganggu
para tetua adat, kesalahan prosedur adat, berkaitan dengan martabat para
pemimpin, pencatatan kependudukan;
4. Delik melakukan perbuatan yang melanggar kesopanan dan kesusilaan, seperti
tidak sopan, pelecehan terhadap perempuan, melakukan perzinahan, berkaitan
dengan hal yang tidak boleh dilakukan kepada istri orang;
5. Delik yang berhubungan dengan perjanjian, seperti mengenai ingkar janji,
merusak perjanjian, hutang piutang, tentang menjalankan amanah dan titipan;
6. Delik yang menyangkut tanah termasuk tumbuhan dan hasil hutan, seperti
mengenai tanah adat, pemanfaatan hutan bersama, hasil panen.
7. Delik yang menyangkut hewan ternak dan perikanan, seperti cara penyembelihan
hewan, cara pemeliharaan ternak dan penangkapan hasil laut maupun sungai;

B. Sifat Delik Adat


I Made Widnyana menjelaskan bahwa hukum pidana adat itu memiliki
sifat-sifat antara lain:4
1) Menyeluruh dan menyatukan.
Hal ini disebabkan karena dijiwai oleh sifat kosmis, yang mana satu sama lain
saling berhubungan. Hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang
bersifat pidana dan pelanggaran yang bersifat perdata. Juga, tidak memisahkan
antara delik yang disengaja (opzet) , atau delik yang karena kelalaian (culpa).
2) Ketentuan yang terbuka.
Hal ini atas dasar bahwa ketidakmampuan memperkirakan apa yang akan
terjadi, sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau
perbuatan yang mungkin terjadi.
3) Membeda-bedakan permasalahan.
Apabila terjadi peristiwa pelanggaran, maka tidak hanya dilihat dari perbuatan
dan akibatnya, namun juga dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa

4
Budiyanto, “Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Adat”, Papua Law
Journal, Vol. 1, No. 1, 20, hlm. 89.
pelakunya. Dengan pemikiran yang demikian, maka dalam mencari
penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda.
4) Peradilan dengan permintaan.
Sebagian besar, dalam menyelesaikan pelanggaran adat berdasarkan
terdapatnya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari
pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
5) Tindakan reaksi atau koreksi.
Tindakan reaksi atau koreksi ini bukan hanya bisa dijatuhkan pada si pelaku
pelanggaran saja, namun juga dimungkinkan pada kerabatnya/keluarganya
bahkan mungkin juga dibebankan pada masyarakat yang bersangkutan untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu.

C. Eksistensi Hukum Pidana Adat


Dalam hukum pidana Indonesia, dikenal adanya beberapa asas, salah satunya
ialah asas legalitas. Asas legalitas menghendaki bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
undang-undang. Di tengah berlakunya asas legalitas, hukum pidana adat masih tetap
memperlihatkan dan mempertahankan keberadaannya sebagai hukum yang hidup
dalam masyarakat (the living law).5
Pengaturan hukum pidana adat di beberapa daerah masih diikuti dan ditaati
oleh masyarakat adatnya. Dimana, pelanggaran terhadap aturan hukum pidana adat
masih dilihat sebagai sesuatu hal yang dapat memicu kegoncangan dan mengganggu
keseimbangan kosmis masyarakat. Maka dari itu, bagi si pelanggar akan diberikan
reaksi adat, yaitu sanksi adat oleh masyarakat.
Seperti halnya di Minangkabau. Di Minangkabau sendiri masih dikenal
adanya aturan tentang hukum pidana adat, yakni Undang-undang Nan Duopuluah. UU
Nan Duopuluah ini terbagi dari dua section, yakni UU Nan Salapan dan UU Nan
Duobaleh. UU Nan Salapan menentukan perbuatan kejahatan, dan UU Nan Duobaleh
menjelaskan tanda bukti yang melanggar UU Nan Salapan.1 Terdapat 8 bentuk
perilaku yang disebut sebagai delik adat dalam UU Nan Salapan, yakni:
1. Dago-dagi → melakukan perlawanan kepada yang tidak patut dilawan;
2. Sumbang-salah → melakukan perbuatan yang dilarang aturan delik adat;

5
Elwi Danil, “Konstitusionalitas Penerapan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara Pidana”, Jurnal Konstitusi,
Vol. 9, No. 2, 2012, hlm. 585.
3. Samun-sakal → perampokan yang dilakukan di tempat yang sunyi;
4. Maling-curi → melakukan pencurian terhadap barang orang lain;
5. Tikam-bunuh → menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan
senjata tajam atau benda runcing;
6. Kicuh-kecong dan tipu-tepok → melakukan perbuatan penipuan terhadap
orang lain dengan cara halus atau dilakukan dengan kekerasan;
7. Upas-racun → menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan racun,
mulai dari dosis yang rendah sampai dosis tinggi;
8. Siar-bakar → melakukan pembakaran, mulai dari menyulut sampai
menghanguskan
Dari kedelapan bentuk delik adat dalam UU Nan Salapan itu, yang cenderung
masih memperoleh perhatian dari para penguasa adat hanyalah “sumbang salah” dan
“dago dagi”.6 Sementara, perilaku yang lain merupakan perilaku-perilaku yang sudah
ada bandingannya dalam KUHP, sehingga perbuatan tersebut diadili atas dasar
ketentuan KUHP.
Banyak kasus yang diselesaikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) di
Minangkabau yang bisa dipakai untuk membuktikan bahwa hukum pidana adat itu
eksistensinya masih ada. Pada tahun 1998, KAN Talago Gunung Kecamatan Baringin
memutuskan seorang warga bernama Jamalis bersalah melakukan perbuatan
“sumbang-salah” karena memasuki rumah seorang perempuan yang bukan
muhrimnya.7 Selanjutnya pada 22 Maret 2004, KAN Air Tabit Kecamatan
Payakumbuh Timur mengeluarkan keputusan mengenai pemberian sanksi adat kepada
A M Dt Panduko Sati karena dianggap telah melakukan perbuatan “dago-dagi” dalam
kasus pembongkaran rumah adat.8 Di Pasaman ada seorang janda yang diberikan
sanksi dibuang sepanjang adat, dikarenakan terbukti ada laki-laki setiap pagi turun
dari rumah janda tersebut. Setelah ditegur beberapa kali, perilaku “sumbang-salah” itu
tetap berlangsung, sehingga akhirnya lembaga adat melaksanakan rapat dan memberi
sanksi adat kepada janda tersebut.9 Dari kasus-kasus tersebut, bahwa hukum pidana
adat masih tetap ada dan dipraktikkan oleh pemangku adat dalam kehidupan
masyarakat adat setempat.

6
Syahrul Ricky, Suatu Tinjauan tentang Relevansi Azas Legalitas dengan Tindak Pidana Adat Sumbang-Salah di
Minangkabau (Studi Kasus di PN Batusangkar), Universitas Andalas Padang, 1996.
7
Elwi Danil, Op.cit., hlm 587.
8
Ibid.
9
Ibid.
Contoh lain terdapat di Tapanuli. Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10
Tahun 1990 mengenai Lembaga Adat Dalihan Na Tolu, yakni suatu lembaga adat
yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang menyertakan
para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat
istiadat di lingkungannya (sesuai Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).10 Lembaga
ini bertugas untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka menggali, memelihara,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya
adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif
terhadap pemerintah (sesuai Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga Dalihan Na
Tolu merupakan lembaga permusyawaratan adat Batak yang dibentuk menurut
peranan adat istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan
(sesuai Pasal 1 huruf h Perda No. 10 Tahun 1990).11 Lembaga ini bertempat di
Desa/Kelurahan/Kecamatan Dan tingkat Kabupaten (sesuai Pasal 5 dan 7 Perda No.
10 Tahun 1990). Selanjutnya, keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan
Na Tolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati
adat istiadat. Yang mana sudah tentu bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat
kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Di beberapa wilayah tertentu, praktik peradilan pidana masih menggunakan
norma hukum pidana adat sebagai acuan untuk menjatuhkan hukuman dalam perkara
pidana. Seperti halnya pada Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/ Pid/1983
yang mengadili perkara hubungan kelamin di luar perkawinan, dan kemudian
menetapkan terdakwa bersalah melanggar ketentuan hukum pidana adat. Putusan ini
kemudian diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 PT.Palu
tanggal 8 April 1984. 12
Apabila ditelusuri tata hukum Indonesia, dijumpai terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang esensinya memuat makna sebagai aturan yang memberi
ruang bagi pemberlakuan hukum pidana adat dalam praktik peradilan pidana, antara
lain :

10
Abdul Rahman Maulana Siregar Dan Mhd. Azhali Siregar, “Penyelesaian Tindak Pidana Dengan Delik Pidana
Adat Di Kabupaten Padang Lawas Utara”, Jurnal Hukum Responsif Fh Unpab, Vol. 7. No. 7, 2019, Hlm 14.
11
Ibid.
12
Elwi Danil, Op.cit., hlm 587
1) UU Nomor 1 Darurat Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil;
2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selanjutnya, dalam hal mengaktualisasi hukum pidana adat dalam praktik
peradilan pidana terdapat pada ketentuan Pasal 5 (3) sub b Nomor 1 Drt Tahun 1951.
Yang mana pada ketentuan tersebut dimuat aturan bahwa bagi mereka yang
dinyatakan bersalah berdasarkan hukum adat, akan tetapi tidak menjalani
hukumannya, maka perbuatannya tetap dianggap sebagai perbuatan pidana yang
diancam dengan hukuman tidak lebih dari 3 bulan penjara berdasarkan KUHP. Yang
berarti bahwa perbuatan yang di dalam masyarakat diakui sebagai perbuatan yang
melanggar hukum pidana adat tetap dianggap sebagai perbuatan pidana yang diancam
dengan hukuman menurut ketentuan KUHP.

D. Penyelesaian Delik Adat


Penyelesaian delik adat yang terjadi di masing-masing suku tentu
berbeda-beda prosedur dan metode yang dilakukan, namun secara umum mempunyai
tujuan yang sama, yaitu untuk mengembalikan keadaan kosmis yang terganggu
sehingga terwujudnya kembali keharmonisan dan keserasian dalam kehidupan
masyarakat itu. Meskipun kebijakan formulatif secara nasional tidak mengakui
keberadaan peradilan adat, tetapi fakta aktual dan faktual kebijakan penerapan melalui
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya.
Seperti halnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal
15 Mei 1991 yang mana pada ratio decidendi putusan disebutkan bahwa jika
seseorang melakukan pelanggaran hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka
Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat/obat adat) maka yang bersangkutan tidak
dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan
Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum
adat dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3)
sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan
berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak
dapat diterima.13

13
Edy Sanjaya, Hukum Dan Putusan Adat Dalam Praktik Peradilan Negara, Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang, 2011, hlm. 7-8.
1) Sistem Mediasi
Upaya alternatif pemidanaan sebenarnya dalam masyarakat Indonesia
penyelesaian suatu perkara baik perdata maupun pidana dengan mediasi, hal ini
dibuktikan dengan adanya penyelesaian dengan pendekatan musyawarah. Bila dilihat
secara historis budaya masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan
konsensus.14
Salah satu kesimpulan naskah akademik mengenai Court Dispute Resolution
dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003 antara lain menyebutkan
bahwa mediasi, sebagai salah satu bentuk “alternative disputed resolution”,
seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana.15
2) Sistem Keadilan Restoratif
Secara umum, penyelesaian delik adat bisa diselesaikan melalui proses
musyawarah antara korban dan pelaku, upaya perdamaian, upaya mediasi, dan
penyelesaian melalui lembaga adat (peradilan adat). Jika dalam penyelesaian delik
adat ternyata ada salah satu pihak yang menolak, maka penyelesaian akhirnya adalah
melalui peradilan formal (Pengadilan Negeri).
Dalam penerapan sistem peradilan pidana, keikutsertaan korban masih belum
nyata tampak dalam menemukan keadilan yang diinginkan dan diimpikan. Sehingga,
penyelesaian perkara pidana adat melalui lembaga adat menjadi hal yang sangat
krusial, yang berarti jika dikaitkan dengan ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan
formal, khususnya dari sisi keadilan dalam memutus perkara-perkara pidana yang ada
dimensi hukum adatnya. Berkaitan dengan hal tersebut, ilmu hukum menawarkan
sebuah konsep yang dinilai mampu menjawab persoalan kesenjangan rasa keadilan
hukum dalam masyarakat adat. Konsep tersebut ialah “restorative justice” (keadilan
restoratif).
Penyelesaian dengan konsep keadilan restoratif yang telah dikenal oleh
masyarakat sejak lama yang seharusnya bisa diwujudkan dalam rangka menemukan
keadilan di setiap tahap peradilan pidana, yakni dengan mengikutsertakan semua
pihak untuk dapat secara transparan didengar dan menentukan konsep penyelesaian
dan pemberian sanksi yang seadil-adilnya bagi kepentingan korban atau keluarganya.

14
La Syarifuddin, “Sistem Hukum Adat Terhadap Upaya Penyelesaian Perkara Pidana”, Risalah Hukum, Vol. 15,
No. 2, 2019, Hlm. 4.
15
Elwi Danil, Ibid., hlm. 593.
Sehingga, keadilan restoratif dapat ditempatkan dalam kedudukan sebagai salah usaha
untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan.Yang mana
konsep keadilan restoratif digagas oleh pelaku dan korban untuk menyelesaikan
persoalan secara damai dengan mengutamakan prinsip musyawarah dan mufakat.
Sejatinya, konsep keadilan restoratif ini telah lama diterapkan oleh masyarakat
hukum adat di berbagai wilayah sebagai upaya penyelesaian delik adat yang terjadi
atau dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ringan. Dengan diterapkannya
keadilan restoratif ini pada penyelesaian delik adat, maka kepentingan korban yang
selama ini diabaikan oleh peradilan formal, menjadi lebih diperhitungkan dalam
pertemuan kedua belah pihak.
Pada penyelesaian perkara dalam kerangka berpikir “restorative justice” ialah
untuk melindungi kepentingan pelaku tanpa merugikan korban. Yang mana
penanganan perkara pidana selama ini condong bersifat retributif (pembalasan) dan
“utilitarian” atau rehabilitatif (memperbaiki).16 Berbeda dengan itu, metode
penyelesaian perkara pidana dengan konsep “restorative justice” ialah dengan
musyawarah dan mediasi untuk memulihkan keseimbangan dengan mengikutsertakan
korban dan pelaku beserta keluarga masing-masing serta wakil masyarakat. Sehingga,
kekuasaan penyelesaian perkara pidana diserahkan atau dialihkan dari lembaga
peradilan sebagai wakil Negara kepada masyarakat. Hanya saja, kendatipun di
Indonesia banyak hukum adat yang dapat menjadi “restorative justice”, tetapi
eksistensinya tidak mendapat tempat yang memadai dalam hukum
perundang-undangan.
Konsep keadilan restoratif seyogyanya dilakukan mulai dari kepolisian, yang
mana kepolisian lah yang merupakan awal bagi masuknya perkara pidana ke dalam
sistem peradilan pidana. Kendati demikian, kejaksaan dan pengadilan pun juga
dimungkinkan untuk menerapkannya dalam lingkup kewenangannya masing-masing.
Penerapan “restorative justice” pada dasarnya bisa dilaksanakan melalui instrument
diskresi yang dimiliki oleh kepolisian (discretionary power of police). Yang mana
dengan kewenangan diskresi itu bisa diterapkan upaya pengalihan pemeriksaan
perkara-perkara delik adat dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk
diselesaikan secara musyawarah melalui lembaga adat.

16
Ibid., hlm. 591.
Sehingga, pemeriksaan perkara pidana yang berhubungan dengan hukum
pidana adat, berdasarkan kewenangan diskresi yang dimiliki kepolisian, bisa dialihkan
kepada lembaga adat (seperti KAN di Minangkabau). Penyelesaian melalui lembaga
adat itu sendiri dapat diklasifikasikan sebagai penyelesaian di luar pengadilan seperti
yang dimaksud keadilan restoratif. Hanya saja, keadilan restoratif itu sesungguhnya
ada pada tataran konsep dan gagasan akademik. Secara normatif belum dijumpai
suatu peraturan perundang-undangan yang memuat pengaturannya secara eksplisit.
Maka dari itu, dalam kenyataanya, penerapannya hanya berdasarkan kewenangan
diskresi yang dimiliki penegak hukum, khususnya kepolisian.17
3) Penerapan Sistem Keadilan Restoratif
Salah satu daerah yang menggunakan mekanisme keadilan restoratif dalam hal
menyelesaikan delik adat ialah di Papua. Adapun mekanisme penyelesaian delik adat
yang ada pada masyarakat hukum adat di Papua, antara lain:18
1. Penyelesaian oleh para pihak yang bersengketa, yakni pelaku dan korban
bersepakat untuk bertemu dan saling duduk bersama untuk melakukan
musyawarah dan berusaha menemukan penyelesaian yang dirasa adil dan
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat.
2. Penyelesaian musyawarah antar keluarga, yakni penyelesaian yang dilalui oleh
para pihak yang tidak menemui kesepakatan dalam mencari solusi, yang
selanjutnya diselesaikan melalui para keluarga pelaku dan korban. Yang mana
para pihak bertemu di tempat rumah korban atau pelaku atau di rumah
keluarga lain sesuai dengan kesepakatan. Pada pertemuan itu, para pihak dan
para anggota keluarga berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari upaya
penyelesaian yang seadil-adilnya bagi kedua belah pihak. Secara umum,
penyelesaian di tingkat keluarga ini sangat efektif pada saat keluarga masih
terdapat ikatan kekerabatan sehingga kesepakatan akan lebih mudah dicapai.
3. Penyelesaian melalui mediasi, yang mana upaya penyelesaian ini diterapkan
jika penyelesaian yang telah ditempuh di tingkat antar keluarga tidak memenui
kesepakatan dan perdamaian. Penyelesaian melalui mediasi ini dilakukan oleh
para pihak yang bersengketa dalam rangka mencari dan menunjuk seorang
mediator yang pada umumnya adalah dari tokoh masyarakat (tomas), tokoh
adat (todat), tokoh gereja (toga), atau dari aparat kepolisian.

17
Ibid., hlm. 592
18
Budiyanto, Op.cit., hlm. 93.
4. Penyelesaian melalui kepala suku, yang mana upaya penyelesaian ini
ditempuh jika metode penyelesaian antar para pihak, keluarga, dan mediasi
tidak menemui kesepakatan. Kepala suku bertindak sebagai penengah di
antara para pihak yang bersengketa.
5. Penyelesaian melalui kepala adat (ondoafi), yang mana upaya penyelesaian ini
merupakan upaya penyelesaian melalui lembaga adat. Kepala adat bertindak
sebagai hakim adat yang berwenang dalam hal memeriksa dan memutus delik
adat yang ada. Hasil perdamaian yang telah disepakati tersebut selanjutnya
para pihak saling bersalaman dan berpelukan di hadapan ondoafi dan dengan
demikian maka perselisihan dinyatakan selesai dan tidak ada lagi saling
dendam dan bermusuhan, dan kedua belah pihak dinyatakan sebagai satu
keluarga/suku.
6. Untuk menangani jenis delik yang dianggap berat, maka masyarakat adat
bersama-sama dengan kepolisian berupaya untuk menyelesaikannya,
sedangkan untuk delik adat yang sifatnya ringan dan berkenaan dengan
permasalahan adat ditangani oleh lembaga adat dan pihak kepolisian hanya
diberi pemberitahuan atau sebagai laporan saja dan jika sengketa tanah adat
yang disertai ancaman, pukulan/perkelahian dibagi menjadi 2 (dua) persoalan
yaitu tanah adat diselesaikan oleh lembaga adat sedangkan ancaman, pukulan
dan perkelahian ditangani oleh pihak kepolisian. Aparat Kepolisian di Papua
sangat dibutuhkan eksistensinya dan keikutsertaanya dalam menolong
masyarakat untuk menyelesaikan delik adat yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1989.
I Made Widnyana. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: PT. Eresco, 1993.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1982.

Jurnal
Abdul Rahman Maulana Siregar Dan Mhd. Azhali Siregar, “Penyelesaian Tindak Pidana
Dengan Delik Pidana Adat Di Kabupaten Padang Lawas Utara”, Jurnal Hukum
Responsif Fh Unpab, Vol. 7. No. 7, 2019.
Budiyanto, “Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara
Adat”, Papua Law Journal, Vol. 1, No. 1, 2016.
Elwi Danil, “Konstitusionalitas Penerapan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara Pidana”,
Jurnal Konstitusi, Vol. 9, No. 2, 2012.
La Syarifuddin, “Sistem Hukum Adat Terhadap Upaya Penyelesaian Perkara Pidana”,
Risalah Hukum, Vol. 15, No. 2, 2019.

Lainnya
Edy Sanjaya, Hukum Dan Putusan Adat Dalam Praktik Peradilan Negara, Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang, 2011.
Syahrul Ricky, Suatu Tinjauan tentang Relevansi Azas Legalitas dengan Tindak Pidana Adat
Sumbang-Salah di Minangkabau (Studi Kasus di PN Batusangkar), Universitas
Andalas Padang, 1996.

You might also like