Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH Kelompok 4
MAKALAH Kelompok 4
Nama Kelompok:
1. Ardiansyah ( 2340301001)
2. Atma Asa wisyah (2340301066)
3. Fitri Dewi (2340301018)
4. Dea Talita Amalia (2340301061)
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat menyusun dan memahami
materi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang
mengikuti jejak yang benar.
Materi ini disusun dengan harapan dapat menjadi panduan yang berguna bagi
pembaca dalam memahami kompleksitas hubungan antara Islam, keindonesiaan, dan
wilayah perbatasan. Kami juga berharap agar materi ini dapat menginspirasi pembaca
untuk berperan aktif dalam membangun kolaborasi yang harmonis dalam berbagai
konteks ini.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penyusunan materi ini. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan petunjuk dan keberkahan dalam upaya kita menjalankan peran dan
tanggung jawab dalam konteks Islam, keindonesiaan, dan wilayah perbatasan.
I
Daftar Isi
HALAMAN ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................I
DAFTAR ISI.................................................................................................II
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1. Latar Belakang........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................1
1.3. Tujuan Masalah.......................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN...............................................................................2
2.1. Konsep Keislaman dan Keindonesiaan...................................................2
2.2. Identitas Islam di Indonesia.....................................................................11
2.3. Penyebaran Islam di Zaman Kerajaan Tidung Kuno..............................19
(Raja Sri Bengawan)
2.4. Interaksi Budaya Keagamaan dengan suku dan masyarakat ..................20
di Wilayah Perbatasan Kalimantan Utara.
BAB 3 PENUTUPAN...................................................................................23
3.1. Kesimpulan..............................................................................................23
3.2. Saran........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................24
II
BAB 1
PENDAHULUAN
Indonesia, sebagai negara dengan keragaman etnis, budaya, dan agama, adalah
wujud nyata dari perpaduan yang harmonis. Oleh karena itu, menjaga dan
memperkuat kolaborasi dalam kerangka keindonesiaan adalah tugas yang sangat
penting bagi semua warga negara.
1
2.1. Konsep Keislaman dan Keindonesiaan
2
Keberhasilan kedua upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman ialah
ketika para ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa
Resolusi Jihad (22 Oktober 1945), yang mengilhami dan mendorong para pemuda
Muslim untuk bertempur melawan tentara Sekutu pada 10 November 1945. Jihad,
sebuah istilah agama, digunakan untuk perjuangan bersifat kebangsaan.
3
mengkaji ”hubungan antara Islam dan Pancasila”. Tim terdiri atas sejumlah ulama
mumpuni yang dipimpin KH Ahmad Siddiq, alumnus Pesantren Tebuireng yang
pernah mengaji langsung kepada KH Hasyim Asy’ari. Berdasar dokumen
”Hubungan Islam Pancasila” yang disusun tim di atas, Muktamar NU 1984 di
Situbondo memutuskan untuk menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar negara.
Langkah itu lalu diikuti oleh PPP dan semua ormas Islam, kecuali beberapa ormas
yang jumlahnya amat sedikit. Ini adalah keberhasilan keenam dari upaya memadukan
keindonesiaan dan keislaman.
Pada 1989, DPR membahas RUU Peradilan Agama sebagai lanjutan dari UU
No 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Kembalimuncul konflik antara keindonesiaan dan keislaman sehingga terjadi
perdebatan panas antara yang menyetujui dan menolak RUU tersebut. Pada 29
Desember 1989, RUU tersebut disetujui menjadi UU No 7/1989. Muktamar NU 1989
di Pesantren Krapyak DI Yogyakarta menghargai pengesahan UU tersebut. Ini adalah
keberhasilan ketujuh dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Agama dan Negara ibarat dua sisi dari satu mata uang. Ia dapat dibedakan tapi
sulit atau mustahil dipisahkan. Dalam sejarah Islam, khususnya dalam tradisi Sunni,
Al-Ghazali, salah satu tokoh sunni yang amat berpengaruh di dunia Islam
menggambarkan hubungan antara agama dan kekuasaan seperti dua kembar yang
lahir dari satu perut ibu dengan menyatakan sebagai berikut. al-din wa al-mulk,
tau’amani mitslu akhawaini wulida min bathnin wâhidin (Al-Ghazali, al-Tibr al-
Masbûk,hlm.50). Al-Mawardi tokoh Sunni lainnya mengatakan: al-mulk bi al-dini
yabqa wa al-dini bi al-mulki yaqwa (Al-Mawardi, Adabu alDunya wa al-Din, Bairut,
Dar al-Fikr, tanpa tahun, hlm.137,138)
4
sendi yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan negara. (Al-Mawardi, Adabu
al-Dunya wa Din).
Hal yang perlu dicatat disini adalah bahwa agama yang dihayati tidak identik
dengan agama yang diformalkan atau diundangkan dalam perundang-undangan oleh
penguasa atau Negara,Itulah sebabnya dalam sejarah Islam, relasi hukum Islam
(syariat ) dan Negara itu unik. Hukum Islam dalam sejarahnya tidak identic dengan
tradisi yang berkembang di negara-negara penganut common law juga tidak sama
dengan Negara-negara yang menganut tradisi civil law.
Lubna A Alam dalam tulisannya yang berjudul: Keeping The State Out: The
Separation of Law And State In Classical Islamic Law (Michigan Law
Review;Apr2007, Vol. 105 Issue 6, p1255) mengatakan bahwa sejarah Islam klasik,
yang berakhir pada abad keenambelas, telah memperlihatkan munculnya negara-
negara Islam yang dibarengi dengan formasi system hokum Islam yang komplek.
Sejak awal kandungan hokum Islam sebagian besar dikembangkan diluar pengaruh
maupun tekanan politik.
Uniknya hubungan agama dan Negara dalam Islam di masa klasik, yang
berdampak pada uniknya hubungan antara hukum Islam dan Negara, berlanjut sampai
ke masa modern, disaat Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim
menyatakan kemerdekaannya.
5
Hasan al-Bana, Sayyid Quthub, Syekh Muhammad Rasyid Ridla dan yang paling
vokal adalah al-Maududi.
Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat
yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi
Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya
dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali pada kehidupan yang mulia dengan
menjunjung tinggi budipekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk
mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain
Ali Abd al Raziq dan Dr. Thaha Husein.
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba
lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga
menolak bahwa Islam adalah suatu agama, dalam pengertian Barat , yang hanya
mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian
bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat
tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh dari aliran ini yang terhitung
cukup menonjol adalah Dr. Muhammad Husein Haekal.
Sejalan dengan variasinya hubungan agama dan politik , peran agama dalam
politik juga bervariasi. Peran agama dalam politik bisa diklasifikasikan kedalam tiga
bentuk. Pertama agama sebagai ideologi politik, kedua agama sebagai landasan etika,
moral dan spiritual dan ketiga agama sebagai sub-ideologi. Negara yang
menempatkan agama sebagai ideologi, cenderung akan melaksanaan ajaran agama
(syari’at dalam konteks Islam) secara formal sebagai hukum positip serta melakukan
pendekatan struktural dalam sosialisasi dan institusionalisasi ajaran agama. Negara
yang menempatkan agama sebagai sumber etika, moral dan spiritual cenderung akan
mendukung pendekatan kultural dan menolak pendekatan struktural dalam hal
sosialisasi dan institusionalisasi ajaran agama. Artinya pelaksanaan ajaran agama
6
tidak perlu dilembagakan melalui perundang-undangan dan dukungan negara, tetapi
cukup dengan kesadaran umat Islam atau umat beragama sendiri. Negara yang
menempatkan agama sebagai subideologi cenderung akan mendukung pendekatan
kultural sekaligus struktural , yakni dengan melibatkan ajaran agama dalam
pengambilan kebijakan publik dengan cara yang konstitusional dan demokratis secara
tidak diskriminatif.
Ahmet T.Kuru dalam bukunya “Secularism and State Policies toward Religion
(CAMBRIDGE UNIVERSITY PRESS, 2009.) menyebutkan empat tipe Negara: 1)
Negara agama ( contohnya Iran, Saudi Arabia, Vatikan) 2) Negara dengan satu agama
resmi ( contohnya Inggris, Yunani dan Denmark), 3) Negara sekuler 4) Negara anti
agama ( contohnya Cina dan Korea Utara). Dengan menjadikan prinsip bineka
tunggal ika sebagai semboyan Negara , Kuru menempatkan Indonesia dalam kategori
Negara sekuler.
Ada dua jenis sekulerism menurut Kuru a) sekularisme pasif seperti Amerika
Serikat yang membolehkan symbol-simbol agama di ruang public dan sekularisme
aktif seperti Perancis ( Turki juga semula penganut sekularisme aktif) yang melarang
symbol agama berada atau tampak di ruang public. Keputusan pengadilan Perancis
yang membatalkan larangan burkini, menunjukkan bahwa Perancis juga telah
bergeser menjadi sekularisme pasif, meskipun di beberapa wilayah masih ada yang
tetap memegang kebijakaan sekularisme aktif,Oleh Kuru Indonesia seperti Amerika
Serikat masuk kategori Negara sekuler pasif.
Dengan sedikit modifikasi, relasi agama dan Negara dilihat dari kebijakan
Negara terhadap agama dapat dibagi tiga : 1) negara agama 2) Negara anti agama dan
3) Negara sekuler (netral) terhadap agama. Negara agama contohnya Iran, Vatikan
Saudi Arabia, Negara anti agama contohnya, Cina dan Korea Utara, Negara sekuler
(netral terhadap agama) contohnya Amerika, Inggris, Perancis, Denmark dan lain-
lain. Negara sekuler dibagi lagi ada assertive secularism dan passive secularism.
Assertive secularism adalah Negara sekuler yang agresif dalam meniadakan symbol-
simbol agama di ruang public, contohnya Prancis. Sedangkan passive secularism ,
adalah Negara yang dalam menjalankan kebijakan secularism-nya tetap membiarkan
adanya simobol agama di ruang public atau dalam Negara. Contohnya Amerika
Serikat. Indonesia masuk Negara sekuler yang pasif.
7
Terlepas dari adanya perbedaan dalam memberikan nama Negara Indonesia,
spirit keislaman tidak dapat dilepaskan dari kontek keindonesiaan, sebagaimana spirit
keindonesiaan tidak bisa dipisahkan dari warna keislaman di Indonesia.
Spirit keislaman, keindonesiaan dan demokrasi dalam pandangan KH Abdurrahman
Wahid
Adapun pandangan yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut
“Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan
agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan
bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup
“Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum
muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata
di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan
bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di
sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara
orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas,
pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan
demokrasi. (hlm.68-69) (Sumber : Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan
Islam Kita,Agama Masyarakat Negara Demokrasi,The Wahid Institute , 2006).
Pandangan KH Abdurrahman Wahid seperti ini menjadikan gagasan Negara
Islam baginya merupakan “ilusi”. Karena Negara agama dimana aturan-aturan agama
secara otomatis menjadi aturan-aturan negara, dan kepemimpinan keagamaanpun
sekaligus menjadi pemimpin negara tidak mungkin diwujudkan di Indonesia. Oleh
karena itu peran agama di Indonesia , idealnya hanya dijadikan sebagai landasan
etika, moral dan spiritual. Apakah agama dapat dijadikan ideologi ? Dalam negara
8
demokrasi seperti Indonesia, ideologi apapun semestinya dibolehkan untuk
diekspresikan atau diperjuangkan termasuk ideologi agama, akan tetapi dalam
implementasinya, ia harus menjadi sub-ideologi Pancasila karena ia tidak boleh
bertentangan dengan ideologi Pancasila dan konstitusi Indonesia.
Formalisasi agama (baca: Islam) yang mereka lakukan hanya dalih untuk
merebut kekuasaan politik. Merespon gerakan ini, Nahdlatul Ulama mengeluarkan
fatwa bahwa khilafah Islamiyah tidak mempunyai rujukan teologis baik di dalam al-
Qur’an maupun Hadits. PBNU mengingatkan bahwa ideology transnasional
berpotensi memecah belah bangsa Indonesia dan merusak amaliyah diniyah umat
Islam. Ketegangan kelompok moderat dengan gerakan garis keras adalah manifestasi
perseteruan al-nafs al-muthmainnah dengan hawa nafsu. Pengetahuan yang terbatas
membuat hawa nafsu tidak mampu membedakan antara wasilah (jalan) dan ghayah
(tujuan) . Dalam memahami Islam pun kerap mempersetankan ayat-ayat lain yang
tidak sejalan dengan ideologinya. Hal ini mencerminkan hilangnya daya nalar dalam
beragama.
Apakah KH Abdurrahman Wahid dapat dikategorikan sebagai tokoh sekelur
karena dukungannya terhadap demokrasi? Menurut hemat penulis, apa yang
dipikirkan dan dilakukan oleh KH Abdurrahman Wahid mencerminkan tekadnya
untuk melanjutkan tradisi Sunni dalam melihat relasi agama dan Negara, tradisi yang
amat jelas digambarkan oleh al-Ghazali dan alMawardi sebagai hubungan simbiotik
mutualistik. Dalam perspektif Ahmed Kuru, KH Abdurrahman Wahid dapat
dikategorikan sebagai pendukung sekularisme passif, bukan sekularisme aktif.
9
bunyi kitab suci agama tertentu. Pola ini secara gamblang telah diteladankan oleh
Nabi Muhammad SAW, sebagai tokoh utama pembentuk negara Madinah yang
modern dan majemuk. Nabi SAW pada saat itu tidak punya pretensi sedikitpun untuk
menjadikan Al-Qur’an sebagai Konstitusi Madinah. Konstitusi Negara Madinah
adalah hasil negosiasi dan kesepakatan semua komponen masyarakat yang
diperlakukan sama, meskipun memiliki latar belakang agama beragam. Demikian
pula dalam UUD 1945, secara yuridis konstitusional memproteksi hak warga negara
mengenai kebebasan bagi pemeluk agama untuk menjalankan kewajibannya. Pada
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai
keislaman yang tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Prinsip ketuhanan juga berarti bahwa tindakan setiap manusia termasuk dalam
mengelola bangsa dan negara akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Di
samping itu penataan hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas dasar
simbiosis mutualisme di mana yang satu dan yang lain saling melengkapi. Dalam
konteks ini agama memberikan kerohanian yang dalam sedangkan negara menjamin
kehidupan keagamaan. Artinya negara sebagai lembaga publik harus melindungi hak
dan kepentingan warganya yang 6 termuat dalam konstitusi, termasuk kebebasan
beragama tanpa membeda-bedakan antara penganut yang satu dan penganut agama
yang lain.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sebagai Buah dari Sprit
Keislaman dan Keindonesiaan
10
Spirit keislaman yang masuk kedalam spirit keindonesiaan akan melahirkan
spirit keislaman yang membawa maslahat bagi rakyat, melahirkan semangat cinta
kasih (rahmat ) antar sesama manusia , adil dan bijaksana. Karena itulah sejatinya
perwujudan syariat Islam bila dilaksanakan dengan sebenarnya. Ibn Qayyim dalam
kitabnya I’lam al-Muwaqi’in,beliau menyatakan, fa inna al-syari’ata mabnaha wa
asasuha ‘ala hikamin wa mashalihi al-‘ibad fi al-ma’asy wa al-ma’ad wa hiya ‘adlun
kulluha wa rahmatun kulluha wa mashalihun kulluha wa hikmatun kulluha. (Sumber:
Ibn Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, jilid III, Bairut Dar al-Kutub al-Ilmia, hlm. 37. Atau
Ibn Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, jilid I, Dar Ibn Al-Jauzy, Hlm 41.)
Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia tidak dapat didiktekan oleh satu
pihak atau satu kelompok saja. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
merupakan keadilan social yang dirumuskan bersama-sama dan dapat dirasakan
hasilnya juga secara bersama-sama. Gagasan inilah yang dapat ditangkap dari karya
KH Abdurrahman Wahid dan KH Masdar Farid Mas’udi.
Dalam kajian psikologi sosial, ekspresi identitas dibagi menjadi dua fungsi,
yaitu konsolidasi identitas (identity consolidation) dan mobilisasi identitas (identity
mobilization). Ekspresi konsolidasi adalah bentuk ekspresi yang bertujuan
menguatkan identitas sebagai Muslim, seperti memakai atribut Islam; sedangkan
ekspresi mobilisasi adalah bentuk ekspresi yang bertujuan mengubah keadaan umat
Islam, biasanya terkait dengan kekuasaan dan politik.
11
Perbedaan kedua fungsi tersebut ditentukan oleh tipe identifikasi. Mereka
yang menunjukkan kecenderungan tinggi terhadap kelompok akan memiliki
interpretasi keislaman totalisme dan akan menunjukkan ekspresi identitas
konsolidasi. Adapun pada tipe identifikasi, glorifikasi kelompok memengaruhi
ekspresi mobilisasi. Identifikasi dengan kelompok yang menekankan superioritas
akan mendorong pada bentuk ekspresi yang mengubah status Islam pada sistem
sosial yang lebih luas.
Terkait hal ini, Ilmi Amalia menilai bahwa penelitian yang dilakukannya
memiliki implikasi praktis bagi berbagai pihak. Bagi para pengambil kebijakan di
pemerintahan, perlu disadari bahwa mengeskpresikan identitas adalah suatu bagian
yang tidak terpisahkan dari identitas. Ekspresi konsolidasi dan mobilisasi akan selalu
ada di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memfasilitasi dan
mengakomodasi kedua bentuk ekspresi tersebut selama tidak melanggar norma
hukum yang berlaku.
Sebenarnya pada level al-Qur'an maupun secara substantif, Islam itu di mana saja
satu. Namun, ketika Islam berjumpa dengan budaya dan tradisi lokal, ekpresi Islam bisa
bermacam-macam. Ekpresi Islam itu bisa diperhatikan dari peranan, corak, pendekatan
dan kawasannya. Tulisan ini merekam hasil penelitian yang telah menjawab
permasalahan ragam identitas Islam ditinjau dari segi kawasannya. Data-data jawaban itu
dikumpulkan melalui metode dokumentasi dan dianalisis melalui metode content
analysis. Hasilnya, identitas Islam dari perspektif kawasan yang dipublikasikan di
Indonesia ini ada tujuh: Islam Nusantara, Islam Indonesia, Islam Jawa/Islam Kejawen,
Islam Sasak, Islam Syariah dan Islam Adat Hatuhaha, Islam Bubuhan Kumai dan Islam
Pesisir. Semua identitas Islam ini dipengaruhi budaya dan tradisi lokal. Hanya ada sedikit
dari varian identitas itu yang agak menjaga jarak dengan budaya dan tradisi lokal tersebut,
yaitu Waktu Lima pada Islam Sasak, Islam Syariah pada Hatuhaha dan Kelompok Nahu
pada Islam Bubuhan Kumai.
12
Ekpresi Islam yang berasal dari persentuhan ajaran-ajaran Islam dengan
budaya (tradisi) lokal telah melahirkan berbagai identitas baru yang melekat pada
Islam. Identitas Islam yang baru ini menimbulkan kebingungan bagi orang-orang
awam, melahirkan penolakan dari kalangan Islam skripturalis maupun formalis,
tetapi menumbuhkan rasa simpati bagi kalangan Islam moderat, bahkan sangat
menarik perhatian bagi para ilmuwan sosial untuk mengamati dan mencermati
keunikannya masingmasing. Mereka berusaha menangkap kekhasan masing-masing
identitas Islam itu sehingga dapat dibadingkan satu sama lain. Sebab keberagaman
ekpresi ini merupakan keniscayaan sosiologis. Ayi Sobarna menegaskan bahwa
Islam itu memang satu, namun dalam mengkajinya terdapat dua wajah yang
lazimnya dikemukakan dengan berbagai ekpresi. Memang pada tingkat pengkajian
dan pemahaman, Islam akan terus mengalami perkembangan dalam jumlah yang
banyak. Masing-masing mengklaim sebagai Islam dan ini wajar terjadi sebab
pengkajian dan pemahaman itu didapatkan dari Islam itu sendiri hanya berbeda
persepsi di kalangan ulama, cendekiawan Muslim, maupun sarjana Muslim dalam
menangkap dalalah (petunjuk yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam).
Oleh karena itu, sebagaimana dikutip Kiai Husein Muhammad, Imam Qatadah
Ibnu Da’amah menegaskan, al-din wahid wa al-syari’ah mukhtalifah (agama Islam
itu satu, sedangkan syariatnya berbeda-beda). Pernyataan ini menunjukkan bahwa
agama Islam berupa wahyu Allah itu satu, tetapi syariatnya berupa pemikiran dan
pemahaman para ulama, cendekiawan Muslim maupun sarjana Muslim terhadap
wahyu itu ternyata beragam. Keberagaman pemikiran dan pemahaman Islam ini
merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan dan perkembangan Islam.
Azyumardi Azra menjelaskan bahwa Islam satu itu hanya terdapat pada al-Qur’an.
Tetapi al-Qur’an (serta hadis) itu membutuhkan penjabaran yang rinci sehingga
maksud ayat-ayatnya perlu ditafsirkan dan dijelaskan. Akhirnya menumbuhkan
penjelasan dan penafsiran yang berbeda-beda hingga mengkristal menjadi bangunan
mazhab maupun aliran. Jadi mazhab atau aliran ini bermula dari perbedaan
penjelasan dan penafsiran al-Qur’an itu, khususnya pada dataran dhanniy al-dalalah
(diduga kebenaran petunjuknya). Bahkan sering terjadi dua mazhab (aliran) atau
lebih banyak lagi memiliki pandangan yang berlawanan padahal menggunakan dasar
ayat al-Qur’an yang sama. Hal ini merupakan kelaziman bagi orang-orang yang
mempelajari dan mendalami ilmu kalam, fikih, maupun tasawuf.
Ini kenyataan di lapangan yang kita hadapi dan harus kita sadari bahwa Islam
hanya satu itu terletak pada substansinya, namun ekpresi penampilannya sangat
beragam. Mohamad Ali menegaskan bahwa Islam itu satu. Namun, ketika Islam telah
membumi, pemahaman dan ekpresi umatnya sangat beragam. Ahmad Fuad Fanani
menegaskan, “Fenomena keberagamaan umat dewasa ini mengalami pendulum yang
sangat berwarna-warni.” Maka M. Imdadun Rahmat menyimpulkan, “Dengan
demikian, Islam tidak dipandang lagi secara tunggal, melainkan majemuk.” Dengan
bahasa lain, Ahmad Syafii Maarif melukiskan sebagai “Sebuah Islam, seribu satu
ekpresi.” Jadi secara substantif, Islam di mana pun sama, yaitu agama Allah yang
dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk bagi umat manusia. Akan
13
tetapi manakala Islam berjumpa dengan budaya atau tradisi lokal di daerah mana pun
senantiasa memunculkan ekpresi yang berbeda dan beranekaragam, sebanyak
perjumpaannya itu.
Tulisan pertama dan kedua lebih menekankan pada tinjauan historis, sedang
tulisan yang ketiga lebih menekankan tinjauan metodologis. Tulisan pertama karya
Azyumardi Azra itu merupakan terjemahan dari naskah bukunya sendiri yang
berbahasa Inggris, Historical Islam: Indonesian Islam in Global and Local
Perspectives, yang dipersiapkan sejak 1997 dan terus dikembangkan.Buku ini
mencerminkan asumsi dasar bahwa dinamika Islam Indonesia tidak pernah lepas dari
dinamika dan perkembangan Islam di kawasan-kawasan lain, terutama Timur
Tengah.
14
kepercayaan yang keberadaannya telah mendahului Islam di negeri ini sehingga tidak
jarang sulit diidentifikasi antara Islam dengan budaya-budaya tersebut.
Kenyataan ini sebagai konsekuensi logis dari model dakwah Islam secara
kultural evolusioner sehingga berusaha menghindari tindakan maupun gerakan yang
bersifat pemaksaan. Azyumardi Azra melaporkan, “Islamisasi Nusantara merupakan
suatu proses yang bersifat evolusioner. Manakala Islam segera memeroleh konversi
banyak penguasa pribumi, Islam kemudian berkembang di tingkat rakyat
bawah.”Dakwah Islam digerakkan secara pelan-pelan tetapi memiliki target yang
pasti. Dakwah ini diutamakan membidik para raja sebab ketika rajanya masuk Islam
maka lazimnya diikuti oleh rakyatnya, sebagaimana ungkapan Arab yang
menyatakan bahwa sesuatu bangsa senantiasa mengikuti agama yang dipeluk rajanya
(al-qaumu ‘ala dini mulukihim), laksana pakaian raja itu senantiasa menjadi trend
model pakaian bagi rakyatnya (libas al-muluk, muluk al-libas).
Proses islamisasi ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para ulama, kendatipun
para ulama itu mengalami perselisihan-perselisihan yang mewakili identitasnya
masing-masing, antara ulama birokrat dengan ulama rakyat. Menurut catatan Nor
Huda, terlepas dari pergesekan kedua kelompok ulama itu, secara umum ulama
memiliki peranan dan posisi khusus dalam masyarakat Muslim Nusantara. Peranan
Islam dalam membangun kebudayaan yang khas di Melayu-Indonesia, tidak terlepas
dari peran para ulama. Kedua kelompok ulama itu memiliki peranan islamisasi di
wilayah ini dengan segmen-segmen masyarakat yang berbeda.Ulama birokrat banyak
melakukan proses islamisasi di kalangan lingkaran penguasa sedangkan ulama rakyat
banyak melakukan proses islamisasi di kalangan rakyat jelata yang tersebar di
pedesaan dan wilayah pinggiran.
Islam Nusantara ini memiliki keunikan-keunikan, antara lain sebagaimana
dilaporkan Azyumardi Azra bahwa kawasan Nusantara ini merepresentasikan salah
satu bagian dunia Islam yang paling sedikit mengalami Arabisasi.Orang-orang Islam
Nusantara lebih familier menggunakan istilah-istilah maupun pakaian lokal daripada
istilahistilah atau pakaian Arab maupun al-Qur’an. Mereka lebih akrab dengan
menggunakan panggilan kiai, ajengan, tuan guru, dan buya daripada panggilan
syaikh maupun ulama; mereka lebih mengutamakan pakaian salat berupa sarung dan
songkok daripada jubah dan surban; dan mereka lebih cenderung menyebut langgar
15
sebagai tempat salat yang kecil daripada menyebut mushalla. Langgar sebagai istilah
lokal Jawa sedang mushalla sebagai istilah Arab.
Di samping itu, Islam Nusantara sebagai Islam yang dinamis dan bersahabat
dengan lingkungan kultur, subkultur dan agama yang beragam. Islam bukan hanya
dapat diterima masyarakat Nusantara, tetapi juga layak mewarnai budaya Nusantara
untuk mewujudkan sifat akomodatifnya, yakni rahmatan li al-‘alamin.Pesan
rahmatan li al-‘alamin ini menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah yang
moderat, toleran, cinta damai dan menghargai keberagaman. Intinya adalah Islam
yang merangkul, bukan memukul; Islam yang membina, bukan menghina; Islam
yang memakai hati, bukan memaki-maki; Islam yang mengajak tobat, bukan
menghujat; dan Islam yang memberi pemahaman, bukan memaksakan.
Kedua, adalah Islam Indonesia. Identitas Islam Indonesia ini sepintas mirip
dengan Islam Nusantara karena bahasan Islam Nusantara yang didominasi kajian
tentang Islam Indonesia. Sebenarnya Islam Nusantara lebih luas daripada Islam
Indonesia karena Islam Nusantara itu sebangun dengan Islam Asia Tenggara
sehingga Islam Indonesia hanya bagian integral dari Islam Nusantara. Adapun ketika
kajian Islam Nusantara hanya difokuskan pada Islam Indonesia, sebenarnya terkait
dengan datadata empirik yang berhasil diperoleh mayoritas tentang Islam Indonesia.
Islam Indonesia ini merupakan identitas Islam yang berasal dari gabungan
beberapa karya pemikir Islam yang disunting oleh Muntaha Azhari dan Abdul
Mun’im Saleh, kemudian diberi judul Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Buku
ini diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Adapun penyumbang tulisan dalam buku ini adalah M. Dawam Rahardjo, Chandra
Muzaffar, Ali Yafie, Aswab Mahasin, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, A.
M. Saefuddin, Adi Sasono, Arief Budiman, Miska M. Amin, Hasan Langgulung,
Muchtar Buchori, Masdar F. Mas’udi, Moeslim Abdurrahman, Sudirman Tebba, dan
Emha Ainun Nadjib.
Buku ini diterbitkan pada Agustus 1989. Sekitar tahun ini memang terjadi
gelora pemikiran Islam di Indonesia sebagai kelanjutan dari era 1970-an. Pada era
16
1989-an tersebut pemikiran Islam Indonesia dikuasai oleh lima tema sentral.
Semuanya berusaha untuk meraih masa depan. M. Dawam Rahardjo mencatat lima
tema tersebut meliputi interpretasi kembali al-Qur’an, aktualisasi tradisi, islamisasi
pengetahuan dan teknologi, pribumisasi Islam dan masa depan peradaban
Islam.Masingmasing tema ini menyedot perhatian umat Islam Indonesia terlepas
adanya kontroversi penilaian dan pemikiran di antara mereka, sebagai suatu
kewajaran yang sering terjadi di berbagai tempat dan masa.
Dalam konteks umat Islam, sila pertama ini seharusnya dipahami menurut
ajaran Islam seperti tercantum dalam surat al-ikhlas dan seharusnya Islam menjadi
pedoman dalam menuntun kehidupan umat Islam. Kalau tidak demikian, berarti telah
terjadi inkonsistensi dalam mengamalkan Islam di kalangan mereka. Nurcholish
Madjid menyatakan bahwa jika etika umat Islam Indonesia hanya sedikit saja yang
dipengaruhi oleh agama maka sesungguhnya terjadi problem pada pembangunan
etika ini sehingga kita akan menghadapi kenyataan bahwa tenagatenaga
pembangunan demikian sangatlah langka.Kondisi ini tentu memprihatinkan karena
berimplikasi pada tindakan-tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
begitu mudah meninggalkan Islam sebagai petunjuk dan pengendali dalam berbagai
perilakunya baik perilaku politik, perilaku hukum, perilaku ekonomi dan perilaku-
perilaku lainnya.
Kita sangat mengharapkan agar Islam tidak sekadar sebagai pengetahuan,
tetapi juga sebagai pengamalan riil di masyarakat sehingga mereka mampu
memainkan peranan aktif dalam memecahkan berbagai macam problem di
masyarakat. Adi Sasono menegaskan bahwa Islam di Indonesia tetap bisa berperan
dengan baik secara sosial dalam format politik yang ada, yaitu dalam konteks
kepancasilaan dari masyarakat Indonesia yang majemuk.Hanya dengan
mengidentifikasikan diri sebagai rakyat jelata yang sedang berjuang merubah
nasibnya, Islam akan memiliki masa depan dalam konteks perubahan sosial di
17
Indonesia. Kegagalan Islam mengidentifikasikan dirinya dalam konteks tersebut akan
menyebabkannya hanya berfungsi di pinggiran, misalnya untuk memberikan
legitimasi terhadap kekuasaan.Akhirnya ia hanya diperlakukan sebagai pelengkap
dan penutup kebutuhan bagi kekuasaan. Kondisi ini yang perlu dibalik, Islam harus
menjadi pemain yang memiliki peranan sangat menentukan, kendatipun untuk
mewujudkannya mengharuskan umat Islam bertindak populis memperjuangkan nasib
rakyat.
Para pemikir Islam Indonesia sebenarnya telah berusaha mencari celah dan
terobosan membangun strategi untuk memajukan umat Islam, khususnya di negeri
ini. Hasan Langgulung menyatakan bahwa satusatunya modal yang kita miliki
menghadapi masa depan adalah pengalaman masa lampau, bilamana kita pandai
menggunakan pengalaman itu. Maka kita perlu menelaah sejarah dan mengetahui
perbedaan Islam Indonesia dengan Islam di negeri-negeri lain. Cara Islam masuk di
Indonesia, bagaimana ia berkembang dan menghadapi tantangan-tantangan
sekitarnya mempunyai watak yang khas dalam membentuk persepsinya terhadap
masa depan.Persepsi ini memengaruhi masyarakat Muslim Indonesia dalam
mengidealkan masa depan, usaha-usaha mewujudkan idealisme itu dan rintangan-
rintangan yang mereka hadapi. Akhirnya idealisme mereka tentang masa depan juga
berbeda dengan idealisme masyarakat Muslim dari negara lainnya.
18
tumbuh dalam jumlah yang sebanyakbanyaknya.Prediksi ini didasarkan pada asumsi
bahwa dengan model pesantren yang dicangkok dengan sistem pendidikan umum
plus itu, penguasaan ilmu agama dan ilmu umum dapat berkembang bersamasama
secara memadai. Ilmu agama diperoleh dari pesantren sedang ilmu umum diperoleh
dari sistem pendidikan umum plus tersebut.
2.3. Penyebaran Islam di Zaman Kerajaan Tidung Kuno (Raja Sri Bengawan)
Kerajaan Tidung Kuno dipertintahkan oleh Raja Sri Bengawan bertahta pada
tahun 1236-1399 M, selama 44 musim sebelum digantikan oleh putranya, itambu.
Konon raja bengawan adalah seorang penguasa yang bijaksana dan tegas.
Kerajaannya meluas melampaui wilayah pesisir Kabupaten Bulungan saat ini, mulai
dari Tanjung Mangkaliat di selatan hingga Kudat ( Sabah, Malaysia ) di utara.
Islam masuk ke wilayah Tanah Tidung oleh Sri Bengawan di Tarakan, dan
menyebar ke seluruh wilayah hingga akhir abad ke-13. Penyebaran agama Islam di
wilayah tersebut diawali dengan datangnya para mubaligh Islam di wilayah tersebut.
Namun belum ada informasi yang jelas mengenai bagaimana Islam menyebar di
Kerajaan Tidung Kuno secara spesifik.
19
Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa pemerintahan
Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim. Perhitungan musim tersebut adalah
berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim terdapat 12
purnama. Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan + kurang lebih dengan
tahun Hijriah. Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang beberapa tokoh
pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan keterkaitannya
dengan Benayuk, maka diperkirakan tragedi di Menjelutung tersebut terjadi pada
sekitaran awal abad XI.
20
memengaruhi dinamika sosial dan budaya di daerah tersebut. Di bawah ini, saya akan
mencoba menjelaskan beberapa aspek penting terkait interaksi budaya keagamaan di
wilayah perbatasan Kalimantan Utara:
Pluralitas Etnis dan Agama: Kalimantan Utara adalah wilayah yang kaya akan
keragaman etnis dan agama. Di wilayah perbatasan ini, Anda dapat menemukan
suku-suku pribumi seperti Dayak, Punan, dan Kenyah, serta penduduk beragama
Islam, Kristen, dan kepercayaan-kepercayaan tradisional. Interaksi antara berbagai
kelompok etnis dan agama ini dapat menciptakan lingkungan yang multikultural.
Salah satu suku yang tinggal di wilayah perbatasan Kalimantan Utara adalah
suku Dayak. Mereka memiliki kepercayaan animisme yang berhubungan dengan
21
alam dan roh nenek moyang. Namun, seiring dengan penyebaran agama-agama
seperti Islam, Kristen, dan Katolik, suku Dayak juga mengalami perubahan dalam
praktik keagamaan mereka. Banyak suku Dayak yang mempertahankan kepercayaan
animisme mereka, tetapi juga menerima agama-agama baru dan menggabungkan
elemen-elemen keagamaan baru dengan kepercayaan tradisional mereka.
Selain Islam, agama Kristen juga memiliki jumlah pengikut yang signifikan di
wilayah perbatasan Kalimantan Utara. Gereja-gereja dan lembaga keagamaan Kristen
dapat ditemukan di berbagai kota dan desa di wilayah perbatasan tersebut. Interaksi
budaya keagamaan dengan Kristen dapat terlihat dalam perayaan perayaan
keagamaan seperti Natal dan Paskah, serta praktek-praktek keagamaan seperti ibadah
dan doa bersama.
22
BAB 3
PENUTUPAN
3.1. KESIMPULAN
Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Meskipun
mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia juga memiliki beragam agama dan
kepercayaan. Kolaborasi dalam konteks ini menekankan pentingnya memahami dan
menghormati keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia serta mendorong
pemahaman bahwa Islam dapat bersinergi dengan budaya, tradisi, dan nilai-nilai lokal
yang ada di Indonesia.
3.2. SARAN
Karna kolaborasi yang berhasil dalam wilayah perbatasan juga berkontribusi pada
perdamaian dan stabilitas secara lebih luas di Indonesia, mengurangi potensi konflik dan
ketidaksetaraan.
23
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/document/522834597/ISLAM-DAN-KAWASAN-PERBATASAN
https://amp.kompas.com/nasional/read/2017/05/16/19182811/keindonesiaan-dan-keislaman
file:///C:/Users/USER/Downloads/86-Article%20Text-163-1-10-20160104.pdf
24