You are on page 1of 27

MAKALAH

“KOLABORASI DALAM HUBUNGAN ISLAM, KEINDONESIAN, DAN


WILAYAH PERBATASAN”

Nama Kelompok:

1. Ardiansyah ( 2340301001)
2. Atma Asa wisyah (2340301066)
3. Fitri Dewi (2340301018)
4. Dea Talita Amalia (2340301061)

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat menyusun dan memahami
materi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang
mengikuti jejak yang benar.

Materi ini disusun dengan harapan dapat menjadi panduan yang berguna bagi
pembaca dalam memahami kompleksitas hubungan antara Islam, keindonesiaan, dan
wilayah perbatasan. Kami juga berharap agar materi ini dapat menginspirasi pembaca
untuk berperan aktif dalam membangun kolaborasi yang harmonis dalam berbagai
konteks ini.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penyusunan materi ini. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan petunjuk dan keberkahan dalam upaya kita menjalankan peran dan
tanggung jawab dalam konteks Islam, keindonesiaan, dan wilayah perbatasan.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

I
Daftar Isi

HALAMAN ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................I
DAFTAR ISI.................................................................................................II
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1. Latar Belakang........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................1
1.3. Tujuan Masalah.......................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN...............................................................................2
2.1. Konsep Keislaman dan Keindonesiaan...................................................2
2.2. Identitas Islam di Indonesia.....................................................................11
2.3. Penyebaran Islam di Zaman Kerajaan Tidung Kuno..............................19
(Raja Sri Bengawan)
2.4. Interaksi Budaya Keagamaan dengan suku dan masyarakat ..................20
di Wilayah Perbatasan Kalimantan Utara.
BAB 3 PENUTUPAN...................................................................................23
3.1. Kesimpulan..............................................................................................23
3.2. Saran........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................24

II
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Kolaborasi dalam hubungan Islam, keindonesiaan, dan wilayah perbatasan
adalah topik yang sangat relevan dan penting dalam konteks zaman ini. Islam sebagai
agama rahmatan lil 'alamin memberikan pedoman yang komprehensif tentang
bagaimana kita harus berhubungan dengan sesama manusia dan juga bagaimana kita
harus berperan dalam konteks kebangsaan dan wilayah perbatasan.

Indonesia, sebagai negara dengan keragaman etnis, budaya, dan agama, adalah
wujud nyata dari perpaduan yang harmonis. Oleh karena itu, menjaga dan
memperkuat kolaborasi dalam kerangka keindonesiaan adalah tugas yang sangat
penting bagi semua warga negara.

Wilayah perbatasan, di sisi lain, memiliki tantangan dan potensi tersendiri.


Dalam materi ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana kolaborasi dapat memainkan
peran kunci dalam mengatasi masalah yang ada dan memanfaatkan peluang yang
tersedia di wilayah perbatasan.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Konsep Keislaman dan Keindonesiaan
2. Bagaimana Identitas Islam di Indonesia
3. Peroses Penyebaran Islam di Zaman Kerajaan Tidung Kuno (Raja Sri Bengawan)
4. Bagaimana Interaksi Budaya Keagamaan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Utara.

1.3. TUJUAN MAKALAH


1. Mengetahui Hubungan antar Islam, Keindonesian, dan Wilayah Perbatasan
2. Mengetahui sejarah penyebaran islam di kerajaan tidung kuno
3. Mengetahui intraksi budaya keagamaan di wilayah perbatasan

1
2.1. Konsep Keislaman dan Keindonesiaan

Konsep keislaman dan keindonesiaan secara umum adalah tentang bagaimana


Islam dapat dihayati dan diamalkan oleh masyarakat di Indonesia dengan tetap
mempertahankan identitas dan kekhasan budaya Indonesia.

Konsep keislaman mengacu pada pengamalan ajaran Islam yang meliputi


keyakinan, ibadah, etika, dan moralitas. Dalam konteks keindonesiaan, konsep
keislaman memperhitungkan budaya, adat istiadat, tradisi, dan nilai-nilai lokal yang
ada di Indonesia. Keislaman di Indonesia juga mencerminkan penggabungan antara
Islam dan kearifan lokal yang ditemukan dalam berbagai praktik keagamaan seperti
tahlilan, slametan, dan nyadran.

Di sisi lain, konsep keindonesiaan mencakup aspek-aspek yang menjadi


karakteristik Indonesia sebagai negara dengan banyak keanekaragaman suku,
budaya, agama, dan bahasa. Keindonesiaan mencakup semangat persatuan, gotong
royong, semangat nasionalisme, dan penghargaan terhadap keanekaragaman yang
ada. Konsep ini juga menekankan pada adanya Pancasila sebagai ideologi negara
yang menghormati dan memfasilitasi keberagaman agama di Indonesia.

Kesinambungan antara konsep keislaman dan keindonesiaan dapat dilihat


dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia, seperti penafsiran dan pemahaman
Islam yang menghormati keberagaman, pengamalan ajaran Islam dengan menghargai
budaya setempat, serta pelaksanaan ibadah-ibadah Islam yang dibingkai dengan adat
istiadat dan tradisi lokal.

Dalam hal ini, penting untuk mempertahankan keseimbangan yang tepat


antara keislaman dan keindonesiaan, agar nilai-nilai keislaman dapat tetap diakui dan
diamalkan dengan tetap memperhatikan identitas budaya Indonesia. Konsep
keislaman dan keindonesiaan juga dapat menjadi landasan dalam pembangunan
masyarakat yang berkeadaban, toleran, moderat, dan menghargai keberagaman.

Di dalam BPUPKI (Mei-Juni 1945), muncullah pertentangan antara


keindonesiaan dan keislaman, yakni ketika kalangan ”nasionalis Islam” mengusulkan
dasar negara Islam dan kalangan ”nasionalis Pancasila” mengusulkan dasar negara
Pancasila. Komprominya ialah ”Piagam Jakarta”, yang di dalamnya terkandung dasar
negara Pancasila dengan sila pertama ”Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan
Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”.

Ternyata kompromi itu masih ditolak kalangan ”non-Islam” pada 17 Agustus


1945. Maka, para tokoh Islam dengan lapang dada menyetujui dicoretnya anak
kalimat ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dan menyetujui rumusan: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itulah keberhasilan awal
dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.

2
Keberhasilan kedua upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman ialah
ketika para ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa
Resolusi Jihad (22 Oktober 1945), yang mengilhami dan mendorong para pemuda
Muslim untuk bertempur melawan tentara Sekutu pada 10 November 1945. Jihad,
sebuah istilah agama, digunakan untuk perjuangan bersifat kebangsaan.

Para tokoh Islam berhasil dalam perjuangan mendirikan Departemen Agama


pada Januari 1946. Itu adalah keberhasilan ketiga upaya memadukan keindonesiaan
dan keislaman.

Pada 1951, Menteri Agama KH A Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan,


Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Johan (keduanya dari Partai Masyumi)
membuat nota kesepahaman tentang pendirian madrasah ibtidaiyah, madrasah
tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Ini adalah keberhasilan keempat dalam
memadukan keindonesiaan dan keislaman, yang memberi tempat bagi pendidikan
Islam di dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam dalam bentuk pesantren
sebenarnya sudah aktif 500 tahun sebelum Belanda mendirikan sekolah di Hindia
Belanda pada 1840, yang menjadi cikal bakalpendidikan nasional Indonesia.

Menerima asas Pancasila Pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman


muncul kembali ketika partai-partai Islam (Masyumi, Partai NU, PSII, Perti, AKUI)
memperjuangkan dasar negara Islam dalam Konstituante pada 1956-1959.
Perjuangan itu gagal karena kalah dalam pemungutan suara.

Pertentangan antara keindonesiaan dan keislaman berlanjut dalam Pemilu


1971, ketika partai-partai Islam (Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti) berkampanye
untuk memperjuangkan dasar negara Islam. ABRI dan aparat pemerintah Orde Baru
berjuang untuk mengalahkan partai-partai Islam dengan segala cara. Kursi yang
diperoleh partai-partai Islam jauh di bawah jumlah kursi pada Pemilu 1955. Berarti
kedudukan partai-partai Islam di dalam DPR amat lemah.

Pada 1973 dilakukan pembahasan terhadap RUU Perkawinan, yang beberapa


pasal di dalamnya dianggap oleh para ulama bertentangan dengan hukum Islam.
Yang paling penting ialah Pasal 2, yang rumusan awalnya ialah ”perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut UU ini”. Syuriah PBNU yang dipimpin Rais Aam KH
Bisri Syansuri (murid KH Hasyim Asy’ari) menolak rumusan tersebut dan
mengusulkan supaya diganti menjadi ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Kalangan non-Islam
tentu saja menolak usul tersebut karena hal itu berarti menerima syariat Islam yang
partikular ke dalam sistem perundang-undangan kita.Presiden Soehartomenyetujui
usulan para ulama itu. Ini adalah keberhasilan kelima dalam upaya memadukan
keindonesiaan dan keislaman. Pemerintah pada awal 1980-anberusaha supaya
Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi parpol dan ormas yang ada di Indonesia.
Menghadapi situasi seperti di atas, Syuriah PBNU membentuksebuah tim untuk

3
mengkaji ”hubungan antara Islam dan Pancasila”. Tim terdiri atas sejumlah ulama
mumpuni yang dipimpin KH Ahmad Siddiq, alumnus Pesantren Tebuireng yang
pernah mengaji langsung kepada KH Hasyim Asy’ari. Berdasar dokumen
”Hubungan Islam Pancasila” yang disusun tim di atas, Muktamar NU 1984 di
Situbondo memutuskan untuk menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar negara.
Langkah itu lalu diikuti oleh PPP dan semua ormas Islam, kecuali beberapa ormas
yang jumlahnya amat sedikit. Ini adalah keberhasilan keenam dari upaya memadukan
keindonesiaan dan keislaman.

Pada 1989, DPR membahas RUU Peradilan Agama sebagai lanjutan dari UU
No 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Kembalimuncul konflik antara keindonesiaan dan keislaman sehingga terjadi
perdebatan panas antara yang menyetujui dan menolak RUU tersebut. Pada 29
Desember 1989, RUU tersebut disetujui menjadi UU No 7/1989. Muktamar NU 1989
di Pesantren Krapyak DI Yogyakarta menghargai pengesahan UU tersebut. Ini adalah
keberhasilan ketujuh dari upaya memadukan keindonesiaan dan keislaman.

Setelah itu, masih terdapat banyak lagi keberhasilan dalam memadukan


keindonesiaan dan keislaman, seperti UU Perbankan Syariah, UU Haji, dan UU
Wakaf.Selain itu, UU Sistem Pendidikan Nasional (2003) memasukkan pesantren ke
dalam nomenklatur pendidikan Indonesia sehingga memberikan peluang lebih luas
bagi pesantren untuk mengembangkan diri. Di dalam masyarakat kini tampak
peningkatan minat masyarakat untuk mengirim siswa ke pesantren dan juga minat
untuk mendirikan pesantren. Jumlah pesantren yang pada 1999 hampir 10.000 kini
mendekati angka 30.000, yang keseluruhannya adalah milik swasta.

Keislaman dan Keindonesiaan dalam Karya Abdurrahman Wahid dan Masdar


Farid Mas’udi

Agama dan Negara ibarat dua sisi dari satu mata uang. Ia dapat dibedakan tapi
sulit atau mustahil dipisahkan. Dalam sejarah Islam, khususnya dalam tradisi Sunni,
Al-Ghazali, salah satu tokoh sunni yang amat berpengaruh di dunia Islam
menggambarkan hubungan antara agama dan kekuasaan seperti dua kembar yang
lahir dari satu perut ibu dengan menyatakan sebagai berikut. al-din wa al-mulk,
tau’amani mitslu akhawaini wulida min bathnin wâhidin (Al-Ghazali, al-Tibr al-
Masbûk,hlm.50). Al-Mawardi tokoh Sunni lainnya mengatakan: al-mulk bi al-dini
yabqa wa al-dini bi al-mulki yaqwa (Al-Mawardi, Adabu alDunya wa al-Din, Bairut,
Dar al-Fikr, tanpa tahun, hlm.137,138)

Bagi al-Mawardi, negara memerlukan enam sendi utama yakni : 1) agama


yang dihayati, 2) penguasa yang berwibawa 3) keadilan yang menyeluruh, 4)
keamanan yang merata , 5) kesuburan tanah yang berkesinambungan 6) harapan
kelangsungan hidup. Menurutnya, agama diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu
dan sebagai pengawas yang melekat atas hati nurani manusia, karenanya merupakan

4
sendi yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan negara. (Al-Mawardi, Adabu
al-Dunya wa Din).

Hal yang perlu dicatat disini adalah bahwa agama yang dihayati tidak identik
dengan agama yang diformalkan atau diundangkan dalam perundang-undangan oleh
penguasa atau Negara,Itulah sebabnya dalam sejarah Islam, relasi hukum Islam
(syariat ) dan Negara itu unik. Hukum Islam dalam sejarahnya tidak identic dengan
tradisi yang berkembang di negara-negara penganut common law juga tidak sama
dengan Negara-negara yang menganut tradisi civil law.

Lubna A Alam dalam tulisannya yang berjudul: Keeping The State Out: The
Separation of Law And State In Classical Islamic Law (Michigan Law
Review;Apr2007, Vol. 105 Issue 6, p1255) mengatakan bahwa sejarah Islam klasik,
yang berakhir pada abad keenambelas, telah memperlihatkan munculnya negara-
negara Islam yang dibarengi dengan formasi system hokum Islam yang komplek.
Sejak awal kandungan hokum Islam sebagian besar dikembangkan diluar pengaruh
maupun tekanan politik.

Alam, selanjutnya menjelaskan, bahwa sementara di peradaban lain, termasuk


peradaban Barat, negaralah yang mengundangkan dan melaksanakan hukum, dalam
peradaban Islam , Negara tidak ikut ambil bagian dalam tata kelola hukum atau tidak
ikut menciptakan dan mengundangkan hukum. Karena otoritas itu diambil alih oleh
system otoritas diluar politik kekuasaan Negara. Dengan kata lain, hukum Islam
sebenarnya merupakan representasi pandangan ahli hukum (jurits law) karena ia
diciptakan dan dikembangkan oleh para spesialis secara privat melalui ilmu hokum
tanpa melibatkan Negara. Buku-buku induk yang dikarang para ulama madzhab itulah
yang menjadi rujukan utama bagi penerapan hokum.

Relasi Agama dan Negara dalam Era Modernisme dan Konstitusionalisme

Uniknya hubungan agama dan Negara dalam Islam di masa klasik, yang
berdampak pada uniknya hubungan antara hukum Islam dan Negara, berlanjut sampai
ke masa modern, disaat Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim
menyatakan kemerdekaannya.

Munawir Syadzali dalam bukunya, Islam dan Tata Negara menyebutkan


adanya tiga teori atau aliran Aliran pertama pada umumnya berpendirian bahwa Islam
adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem
ketatanegaraan atau politik, oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya
kembali pada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru
sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus
diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan Nabi besar Muhammad saw dan oleh
empat al-Khulafa al-Rasyidiin. Tokoh utama dari aliran ini adalah antara lain Syekh

5
Hasan al-Bana, Sayyid Quthub, Syekh Muhammad Rasyid Ridla dan yang paling
vokal adalah al-Maududi.

Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat
yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi
Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya
dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali pada kehidupan yang mulia dengan
menjunjung tinggi budipekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk
mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain
Ali Abd al Raziq dan Dr. Thaha Husein.

Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba
lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga
menolak bahwa Islam adalah suatu agama, dalam pengertian Barat , yang hanya
mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian
bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat
tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh dari aliran ini yang terhitung
cukup menonjol adalah Dr. Muhammad Husein Haekal.

Masykuri Abdillah dalam tulisannya di harian Kompas (25 Februari 2000)


mengatakan bahwa hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan
kedalam tiga bentuk yakni integrated, intersectional dan separated. Hubungan
integrated adalah hubungan yang menyatu antara agama dan negara, dimana aturan-
aturan agama secara otomatis menjadi aturan-aturan negara, dan kepemimpinan
keagamaanpun sekaligus menjadi pemimpin negara, seperti praktek kenegaraan di
Iran dan Vatikan. Hubungan intersectional adalah hubungan yang menggambarkan
adanya persinggungan antara agama dan negara. Adakalanya persinggungan ini
hampir sempurna , yakni jika hukum-hukum agama menjadi hukum positip sebuah
negara 3 , seperti praktek kenegaraan di Arab Saudi. Adakalanya persinggungan ini
hanya sebagian saja , yakni jika sebuah negara hanya sedikit saja mengadopsi hukum
agama menjadi hukum positip, seperti praktek kenegaraan di Indonesia. Hubungan
sekularistik atau separated, adalah hubungan pemisahan antara agama dan negara
seperti praktek kenegaraan di Turki dan sebagian besar dunia Kristen.

Sejalan dengan variasinya hubungan agama dan politik , peran agama dalam
politik juga bervariasi. Peran agama dalam politik bisa diklasifikasikan kedalam tiga
bentuk. Pertama agama sebagai ideologi politik, kedua agama sebagai landasan etika,
moral dan spiritual dan ketiga agama sebagai sub-ideologi. Negara yang
menempatkan agama sebagai ideologi, cenderung akan melaksanaan ajaran agama
(syari’at dalam konteks Islam) secara formal sebagai hukum positip serta melakukan
pendekatan struktural dalam sosialisasi dan institusionalisasi ajaran agama. Negara
yang menempatkan agama sebagai sumber etika, moral dan spiritual cenderung akan
mendukung pendekatan kultural dan menolak pendekatan struktural dalam hal
sosialisasi dan institusionalisasi ajaran agama. Artinya pelaksanaan ajaran agama

6
tidak perlu dilembagakan melalui perundang-undangan dan dukungan negara, tetapi
cukup dengan kesadaran umat Islam atau umat beragama sendiri. Negara yang
menempatkan agama sebagai subideologi cenderung akan mendukung pendekatan
kultural sekaligus struktural , yakni dengan melibatkan ajaran agama dalam
pengambilan kebijakan publik dengan cara yang konstitusional dan demokratis secara
tidak diskriminatif.

Ahmet T.Kuru dalam bukunya “Secularism and State Policies toward Religion
(CAMBRIDGE UNIVERSITY PRESS, 2009.) menyebutkan empat tipe Negara: 1)
Negara agama ( contohnya Iran, Saudi Arabia, Vatikan) 2) Negara dengan satu agama
resmi ( contohnya Inggris, Yunani dan Denmark), 3) Negara sekuler 4) Negara anti
agama ( contohnya Cina dan Korea Utara). Dengan menjadikan prinsip bineka
tunggal ika sebagai semboyan Negara , Kuru menempatkan Indonesia dalam kategori
Negara sekuler.

Ada dua jenis sekulerism menurut Kuru a) sekularisme pasif seperti Amerika
Serikat yang membolehkan symbol-simbol agama di ruang public dan sekularisme
aktif seperti Perancis ( Turki juga semula penganut sekularisme aktif) yang melarang
symbol agama berada atau tampak di ruang public. Keputusan pengadilan Perancis
yang membatalkan larangan burkini, menunjukkan bahwa Perancis juga telah
bergeser menjadi sekularisme pasif, meskipun di beberapa wilayah masih ada yang
tetap memegang kebijakaan sekularisme aktif,Oleh Kuru Indonesia seperti Amerika
Serikat masuk kategori Negara sekuler pasif.

Banyak tokoh di Indonesia , kemudian menyatakan bahwa Indonesia bukan


Negara agama maupun bukan Negara sekuler. Disebut bukan Negara agama , karena
Indonesia , meskipun didasarkan atas spirit ketuhanan, tidak didsarkan atas satu
agama tertentu. Ia tidak disebut Negara sekuler karena , Indonesia tidak memisahkan
secara kaku antara urusan Negara dan urusan agama.

Dengan sedikit modifikasi, relasi agama dan Negara dilihat dari kebijakan
Negara terhadap agama dapat dibagi tiga : 1) negara agama 2) Negara anti agama dan
3) Negara sekuler (netral) terhadap agama. Negara agama contohnya Iran, Vatikan
Saudi Arabia, Negara anti agama contohnya, Cina dan Korea Utara, Negara sekuler
(netral terhadap agama) contohnya Amerika, Inggris, Perancis, Denmark dan lain-
lain. Negara sekuler dibagi lagi ada assertive secularism dan passive secularism.
Assertive secularism adalah Negara sekuler yang agresif dalam meniadakan symbol-
simbol agama di ruang public, contohnya Prancis. Sedangkan passive secularism ,
adalah Negara yang dalam menjalankan kebijakan secularism-nya tetap membiarkan
adanya simobol agama di ruang public atau dalam Negara. Contohnya Amerika
Serikat. Indonesia masuk Negara sekuler yang pasif.

7
Terlepas dari adanya perbedaan dalam memberikan nama Negara Indonesia,
spirit keislaman tidak dapat dilepaskan dari kontek keindonesiaan, sebagaimana spirit
keindonesiaan tidak bisa dipisahkan dari warna keislaman di Indonesia.
Spirit keislaman, keindonesiaan dan demokrasi dalam pandangan KH Abdurrahman
Wahid

Dalam Islamku, Islam Anda dan Islam Kita , Abdurrahman Wahid


mengatakan sebagai berikut. Pengembaraan penulis, menyembulkan dua hal
sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan
atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang
mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir
pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain
pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis.
Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain.
Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri
yang berbeda dari pemikiran orang lain. Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada
kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas,
yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti
itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa
memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi
dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari
pandangannya sendiri.

Adapun pandangan yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut
“Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan
agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan
bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup
“Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum
muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.

Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata
di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan
bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di
sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara
orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas,
pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan
demokrasi. (hlm.68-69) (Sumber : Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan
Islam Kita,Agama Masyarakat Negara Demokrasi,The Wahid Institute , 2006).
Pandangan KH Abdurrahman Wahid seperti ini menjadikan gagasan Negara
Islam baginya merupakan “ilusi”. Karena Negara agama dimana aturan-aturan agama
secara otomatis menjadi aturan-aturan negara, dan kepemimpinan keagamaanpun
sekaligus menjadi pemimpin negara tidak mungkin diwujudkan di Indonesia. Oleh
karena itu peran agama di Indonesia , idealnya hanya dijadikan sebagai landasan
etika, moral dan spiritual. Apakah agama dapat dijadikan ideologi ? Dalam negara

8
demokrasi seperti Indonesia, ideologi apapun semestinya dibolehkan untuk
diekspresikan atau diperjuangkan termasuk ideologi agama, akan tetapi dalam
implementasinya, ia harus menjadi sub-ideologi Pancasila karena ia tidak boleh
bertentangan dengan ideologi Pancasila dan konstitusi Indonesia.

Itulah sebabnya KH Abdurrahman Wahid , dalam kapasitasnya sebagai tokoh


NU maupun tokoh nasional , menolak gagasan dan gerakan transnasional yang
mengusung ideology Wahabi atau Ihwanul Muslimin.

Buku Ilusi Negara Islam menjelaskan bahaya identifikasi Islam dengan


ideology Wahabi/ Ihwanul Muslimin. Karena akan membodohi umat Islam. Di
Indonesia, gerakan ini telah menyusup ke bidang-bidang kehidupan bangsa Indonesia,
terutama ormas-ormas Islam 5 moderat, institusi pendidikan dan pemerintahan; dan
dengan dalih membela dan memperjuangkan Islam, melakukan cultural genocide
untuk menguasai Indonesia.

Formalisasi agama (baca: Islam) yang mereka lakukan hanya dalih untuk
merebut kekuasaan politik. Merespon gerakan ini, Nahdlatul Ulama mengeluarkan
fatwa bahwa khilafah Islamiyah tidak mempunyai rujukan teologis baik di dalam al-
Qur’an maupun Hadits. PBNU mengingatkan bahwa ideology transnasional
berpotensi memecah belah bangsa Indonesia dan merusak amaliyah diniyah umat
Islam. Ketegangan kelompok moderat dengan gerakan garis keras adalah manifestasi
perseteruan al-nafs al-muthmainnah dengan hawa nafsu. Pengetahuan yang terbatas
membuat hawa nafsu tidak mampu membedakan antara wasilah (jalan) dan ghayah
(tujuan) . Dalam memahami Islam pun kerap mempersetankan ayat-ayat lain yang
tidak sejalan dengan ideologinya. Hal ini mencerminkan hilangnya daya nalar dalam
beragama.
Apakah KH Abdurrahman Wahid dapat dikategorikan sebagai tokoh sekelur
karena dukungannya terhadap demokrasi? Menurut hemat penulis, apa yang
dipikirkan dan dilakukan oleh KH Abdurrahman Wahid mencerminkan tekadnya
untuk melanjutkan tradisi Sunni dalam melihat relasi agama dan Negara, tradisi yang
amat jelas digambarkan oleh al-Ghazali dan alMawardi sebagai hubungan simbiotik
mutualistik. Dalam perspektif Ahmed Kuru, KH Abdurrahman Wahid dapat
dikategorikan sebagai pendukung sekularisme passif, bukan sekularisme aktif.

Spirit keislaman , keindonesiaan dan demokrasi dalam pandangan KH Masdar


Farid Mas’udi

Dalam konteks syarah Pembukaan UUD 1945, Masdar menegaskan, bahwa


konstitusi dalam konteks negara modern yang majemuk selalu dimuati nilai-nilai
luhur yang bersifat universal dan hal-hal dasar yang bisa disepakati bersama oleh
segenap komponen warga yang bersangkutan, meskipun masing-masing punya latar
belakang agama, keyakinan maupun budaya berbeda-beda. Oleh sebab itu tidak ada
negara modern yang majemuk yang konstitusinya secara langsung merujuk pada

9
bunyi kitab suci agama tertentu. Pola ini secara gamblang telah diteladankan oleh
Nabi Muhammad SAW, sebagai tokoh utama pembentuk negara Madinah yang
modern dan majemuk. Nabi SAW pada saat itu tidak punya pretensi sedikitpun untuk
menjadikan Al-Qur’an sebagai Konstitusi Madinah. Konstitusi Negara Madinah
adalah hasil negosiasi dan kesepakatan semua komponen masyarakat yang
diperlakukan sama, meskipun memiliki latar belakang agama beragam. Demikian
pula dalam UUD 1945, secara yuridis konstitusional memproteksi hak warga negara
mengenai kebebasan bagi pemeluk agama untuk menjalankan kewajibannya. Pada
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai
keislaman yang tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Prinsip ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa manusia merupakan


ciptaan Tuhan yang dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah di bumi
dengan tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan segenap makhluk
hidup, serta untuk menjaga kesinambungan alam itu sendiri.

Prinsip ketuhanan juga berarti bahwa tindakan setiap manusia termasuk dalam
mengelola bangsa dan negara akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Di
samping itu penataan hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas dasar
simbiosis mutualisme di mana yang satu dan yang lain saling melengkapi. Dalam
konteks ini agama memberikan kerohanian yang dalam sedangkan negara menjamin
kehidupan keagamaan. Artinya negara sebagai lembaga publik harus melindungi hak
dan kepentingan warganya yang 6 termuat dalam konstitusi, termasuk kebebasan
beragama tanpa membeda-bedakan antara penganut yang satu dan penganut agama
yang lain.

Sebagaimana dikatakan Prof Dr Moh.Mahfud MD dalam pengantarnya, buku


Syarah Konstitusi memberikan rujukan dalil-dalil naqliyyah untuk hampir semua
ketentuaan di dalam UUD 1945. Dari buku ini, kita dapat menyimpulkan bahwa
kandungan konstitusi Indonesia adalah islami. Ini berarti, Indonesia dengan dasar
Pancasila dan UUD 1945 adalah negara yang islami, tapi bukan negara Islam. Negara
Islami secara resmi tidak menggunakan nama dan simbol Islam, tapi substansinya
mengandung nilai-nilai Islam. Pemahaman tersebut sangatlah penting untuk
menyempurnakan kepribadian setiap warga negara sebagai warga bangsa yang
religius. Karena eksistensi konstitusi dalam kehidupan bernegara sebuah negara
merupakan sesuatu yang sangat krusial sekaligus integral, karena tanpa konstitusi bisa
jadi tidak akan terbentuk sebuah negara. Konstitusi dan negara ibarat dua sisi mata
uang yang satu sama lain tidak terpisahkan.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sebagai Buah dari Sprit
Keislaman dan Keindonesiaan

10
Spirit keislaman yang masuk kedalam spirit keindonesiaan akan melahirkan
spirit keislaman yang membawa maslahat bagi rakyat, melahirkan semangat cinta
kasih (rahmat ) antar sesama manusia , adil dan bijaksana. Karena itulah sejatinya
perwujudan syariat Islam bila dilaksanakan dengan sebenarnya. Ibn Qayyim dalam
kitabnya I’lam al-Muwaqi’in,beliau menyatakan, fa inna al-syari’ata mabnaha wa
asasuha ‘ala hikamin wa mashalihi al-‘ibad fi al-ma’asy wa al-ma’ad wa hiya ‘adlun
kulluha wa rahmatun kulluha wa mashalihun kulluha wa hikmatun kulluha. (Sumber:
Ibn Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, jilid III, Bairut Dar al-Kutub al-Ilmia, hlm. 37. Atau
Ibn Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, jilid I, Dar Ibn Al-Jauzy, Hlm 41.)

Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia tidak dapat didiktekan oleh satu
pihak atau satu kelompok saja. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
merupakan keadilan social yang dirumuskan bersama-sama dan dapat dirasakan
hasilnya juga secara bersama-sama. Gagasan inilah yang dapat ditangkap dari karya
KH Abdurrahman Wahid dan KH Masdar Farid Mas’udi.

2.2. Identitas Islam di Indonesia

Identitas Muslim diekspresikan secara beragam di Indonesia. Ekspresi tersebut


menggambarkan dua bentuk orientasi Islam di Indonesia, yaitu Islam Kultural dan
Islam Politik. Islam Kultural adalah orientasi Muslim yang bertujuan memperkuat
identitas melalui kebebasan beribadah, penggunaan jilbab, pendidikan Islam, dan
peningkatan tema Islam dalam ruang publik. Sementara itu, Islam Politik adalah
orientasi Muslim yang mendukung Islam berkuasa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, melalui dukungan pada partai politik dan kandidat Islam, penerapan
hukum Islam, serta aksi kolektif membela Islam.

Menurut Ilmi Amalia, mahasiswa Program Studi (Prodi) Doktor Ilmu,


Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (UI), studi mengenai ekspresi identitas
Muslim menjadi penting karena adanya perdebatan tentang sejauh mana Muslim
dapat mengekspresikan identitas mereka dalam konteks sosial, politik, dan
masyarakat. Ekspresi identitas dapat memberikan kesejahteraan psikologis individu,
tetapi juga berpotensi menyebabkan intoleransi, diskriminasi, dan konflik.

Dalam kajian psikologi sosial, ekspresi identitas dibagi menjadi dua fungsi,
yaitu konsolidasi identitas (identity consolidation) dan mobilisasi identitas (identity
mobilization). Ekspresi konsolidasi adalah bentuk ekspresi yang bertujuan
menguatkan identitas sebagai Muslim, seperti memakai atribut Islam; sedangkan
ekspresi mobilisasi adalah bentuk ekspresi yang bertujuan mengubah keadaan umat
Islam, biasanya terkait dengan kekuasaan dan politik.

11
Perbedaan kedua fungsi tersebut ditentukan oleh tipe identifikasi. Mereka
yang menunjukkan kecenderungan tinggi terhadap kelompok akan memiliki
interpretasi keislaman totalisme dan akan menunjukkan ekspresi identitas
konsolidasi. Adapun pada tipe identifikasi, glorifikasi kelompok memengaruhi
ekspresi mobilisasi. Identifikasi dengan kelompok yang menekankan superioritas
akan mendorong pada bentuk ekspresi yang mengubah status Islam pada sistem
sosial yang lebih luas.

Terkait hal ini, Ilmi Amalia menilai bahwa penelitian yang dilakukannya
memiliki implikasi praktis bagi berbagai pihak. Bagi para pengambil kebijakan di
pemerintahan, perlu disadari bahwa mengeskpresikan identitas adalah suatu bagian
yang tidak terpisahkan dari identitas. Ekspresi konsolidasi dan mobilisasi akan selalu
ada di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memfasilitasi dan
mengakomodasi kedua bentuk ekspresi tersebut selama tidak melanggar norma
hukum yang berlaku.

Kedua, masyarakat perlu memperbanyak aktivitas serta meningkatkan kualitas


kontak antar pemeluk agama sehingga bentuk ekspresi identitas tidak mengarah pada
perilaku intoleran atau konflik antarkelompok. Bentuk kontak antarkelompok agama
dapat diwujudkan melalui jalinan pertemanan dengan kelompok agama lain.

Terakhir, mengenai identifikasi glorifikasi, hal ini dipandang dapat


memunculkan ekspresi intoleran dan mengganggu hubungan antarkelompok. Hasil
riset menunjukkan bahwa narasi perdamaian dapat menurunkan glorifikasi kelompok
pada konteks konflik. Untuk menurunkan identifikasi glorifikasi agama, figur otoritas
agama dapat menyosialisasikan narasi alternatif yang mendorong pluralisme dan
moderasi beragama. Pengambil kebijakan melalui Kementerian Agama juga berperan
untuk menyosialisasikan moderasi beragama ke sekolah dan instansi-instansi
pemerintah.

Sebenarnya pada level al-Qur'an maupun secara substantif, Islam itu di mana saja
satu. Namun, ketika Islam berjumpa dengan budaya dan tradisi lokal, ekpresi Islam bisa
bermacam-macam. Ekpresi Islam itu bisa diperhatikan dari peranan, corak, pendekatan
dan kawasannya. Tulisan ini merekam hasil penelitian yang telah menjawab
permasalahan ragam identitas Islam ditinjau dari segi kawasannya. Data-data jawaban itu
dikumpulkan melalui metode dokumentasi dan dianalisis melalui metode content
analysis. Hasilnya, identitas Islam dari perspektif kawasan yang dipublikasikan di
Indonesia ini ada tujuh: Islam Nusantara, Islam Indonesia, Islam Jawa/Islam Kejawen,
Islam Sasak, Islam Syariah dan Islam Adat Hatuhaha, Islam Bubuhan Kumai dan Islam
Pesisir. Semua identitas Islam ini dipengaruhi budaya dan tradisi lokal. Hanya ada sedikit
dari varian identitas itu yang agak menjaga jarak dengan budaya dan tradisi lokal tersebut,
yaitu Waktu Lima pada Islam Sasak, Islam Syariah pada Hatuhaha dan Kelompok Nahu
pada Islam Bubuhan Kumai.

12
Ekpresi Islam yang berasal dari persentuhan ajaran-ajaran Islam dengan
budaya (tradisi) lokal telah melahirkan berbagai identitas baru yang melekat pada
Islam. Identitas Islam yang baru ini menimbulkan kebingungan bagi orang-orang
awam, melahirkan penolakan dari kalangan Islam skripturalis maupun formalis,
tetapi menumbuhkan rasa simpati bagi kalangan Islam moderat, bahkan sangat
menarik perhatian bagi para ilmuwan sosial untuk mengamati dan mencermati
keunikannya masingmasing. Mereka berusaha menangkap kekhasan masing-masing
identitas Islam itu sehingga dapat dibadingkan satu sama lain. Sebab keberagaman
ekpresi ini merupakan keniscayaan sosiologis. Ayi Sobarna menegaskan bahwa
Islam itu memang satu, namun dalam mengkajinya terdapat dua wajah yang
lazimnya dikemukakan dengan berbagai ekpresi. Memang pada tingkat pengkajian
dan pemahaman, Islam akan terus mengalami perkembangan dalam jumlah yang
banyak. Masing-masing mengklaim sebagai Islam dan ini wajar terjadi sebab
pengkajian dan pemahaman itu didapatkan dari Islam itu sendiri hanya berbeda
persepsi di kalangan ulama, cendekiawan Muslim, maupun sarjana Muslim dalam
menangkap dalalah (petunjuk yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam).

Oleh karena itu, sebagaimana dikutip Kiai Husein Muhammad, Imam Qatadah
Ibnu Da’amah menegaskan, al-din wahid wa al-syari’ah mukhtalifah (agama Islam
itu satu, sedangkan syariatnya berbeda-beda). Pernyataan ini menunjukkan bahwa
agama Islam berupa wahyu Allah itu satu, tetapi syariatnya berupa pemikiran dan
pemahaman para ulama, cendekiawan Muslim maupun sarjana Muslim terhadap
wahyu itu ternyata beragam. Keberagaman pemikiran dan pemahaman Islam ini
merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan dan perkembangan Islam.
Azyumardi Azra menjelaskan bahwa Islam satu itu hanya terdapat pada al-Qur’an.
Tetapi al-Qur’an (serta hadis) itu membutuhkan penjabaran yang rinci sehingga
maksud ayat-ayatnya perlu ditafsirkan dan dijelaskan. Akhirnya menumbuhkan
penjelasan dan penafsiran yang berbeda-beda hingga mengkristal menjadi bangunan
mazhab maupun aliran. Jadi mazhab atau aliran ini bermula dari perbedaan
penjelasan dan penafsiran al-Qur’an itu, khususnya pada dataran dhanniy al-dalalah
(diduga kebenaran petunjuknya). Bahkan sering terjadi dua mazhab (aliran) atau
lebih banyak lagi memiliki pandangan yang berlawanan padahal menggunakan dasar
ayat al-Qur’an yang sama. Hal ini merupakan kelaziman bagi orang-orang yang
mempelajari dan mendalami ilmu kalam, fikih, maupun tasawuf.
Ini kenyataan di lapangan yang kita hadapi dan harus kita sadari bahwa Islam
hanya satu itu terletak pada substansinya, namun ekpresi penampilannya sangat
beragam. Mohamad Ali menegaskan bahwa Islam itu satu. Namun, ketika Islam telah
membumi, pemahaman dan ekpresi umatnya sangat beragam. Ahmad Fuad Fanani
menegaskan, “Fenomena keberagamaan umat dewasa ini mengalami pendulum yang
sangat berwarna-warni.” Maka M. Imdadun Rahmat menyimpulkan, “Dengan
demikian, Islam tidak dipandang lagi secara tunggal, melainkan majemuk.” Dengan
bahasa lain, Ahmad Syafii Maarif melukiskan sebagai “Sebuah Islam, seribu satu
ekpresi.” Jadi secara substantif, Islam di mana pun sama, yaitu agama Allah yang
dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk bagi umat manusia. Akan

13
tetapi manakala Islam berjumpa dengan budaya atau tradisi lokal di daerah mana pun
senantiasa memunculkan ekpresi yang berbeda dan beranekaragam, sebanyak
perjumpaannya itu.

Dengan demikian, munculnya berbagai identitas Islam belakangan ini tidak


perlu direspons dengan kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan. Bahkan identitas
Islam itu bisa makin beragam lagi ketika tipologi pemikiran, pemahaman dan
pengamalan Islam itu ditinjau dari berbagai perspektif, baik dari segi peranannya,
coraknya, pendekatannya maupun kawasannya. Ternyata identitas Islam dari segi
kawasannya menarik diteliti secara mendalam, lantaran kawasan terbukti memiliki
pengaruh terhadap keislaman.

Dari penelusuran dan penelitian hingga penulisan artikel ini, penulis


menemukan identitas Islam yang dipengaruhi kawasan-kawasan tertentu di
Indonesia: Islam Nusantara dan Islam Indonesia
Pertama, adalah Islam Nusantara. Identitas Islam Nusantara ini telah ditulis
oleh Azyumardi Azra dengan judul Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, Nor
Huda dengan judul Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
dan beberapa penulis yang diedit oleh Akhmad Sahal dan Munawir Aziz dengan
judul Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Pandangan Kebangsaan.

Tulisan pertama dan kedua lebih menekankan pada tinjauan historis, sedang
tulisan yang ketiga lebih menekankan tinjauan metodologis. Tulisan pertama karya
Azyumardi Azra itu merupakan terjemahan dari naskah bukunya sendiri yang
berbahasa Inggris, Historical Islam: Indonesian Islam in Global and Local
Perspectives, yang dipersiapkan sejak 1997 dan terus dikembangkan.Buku ini
mencerminkan asumsi dasar bahwa dinamika Islam Indonesia tidak pernah lepas dari
dinamika dan perkembangan Islam di kawasan-kawasan lain, terutama Timur
Tengah.

Dinamika global ini pasti membentuk, setidaknya memengaruhi dinamika dan


tradisi Islam lokal di Indonesia.Implikasinya, Islam Nusantara ini kendatipun
terdapat kontribusi dakwah dari pedagang Gujarat India sebagaimana teori lama yang
belakangan telah dikritisi, tetap didominasi pengaruh dari Timur Tengah sebagai
pusat kelahiran dan penyebaran Islam. Kenyataan ini membuktikan bahwa Islam
Nusantara telah mendapatkan pengaruh dari genealogi keagamaan yang semestinya.
Dalam perkembangannya, Islam Nusantara ini juga mendapatpengaruh dari budaya
dan tradisi lokal yang tumbuh dan berkembang Nusantara. Profil Islam Nusantara ini
menurut Azyumardi Azra, jika mengikuti kerangka Noek, bahwa penerimaan
masyarakat terhadap Islam lebih tepat disebut “adhesi”, yakni konversi ke dalam
Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama.Sebagai
bukti, masyarakat Muslim Nusantara ini ternyata masih melestarikan sebagian
budaya Hindu-Budha maupun animisme-dinamisme sebagai agama maupun

14
kepercayaan yang keberadaannya telah mendahului Islam di negeri ini sehingga tidak
jarang sulit diidentifikasi antara Islam dengan budaya-budaya tersebut.

Kenyataan ini sebagai konsekuensi logis dari model dakwah Islam secara
kultural evolusioner sehingga berusaha menghindari tindakan maupun gerakan yang
bersifat pemaksaan. Azyumardi Azra melaporkan, “Islamisasi Nusantara merupakan
suatu proses yang bersifat evolusioner. Manakala Islam segera memeroleh konversi
banyak penguasa pribumi, Islam kemudian berkembang di tingkat rakyat
bawah.”Dakwah Islam digerakkan secara pelan-pelan tetapi memiliki target yang
pasti. Dakwah ini diutamakan membidik para raja sebab ketika rajanya masuk Islam
maka lazimnya diikuti oleh rakyatnya, sebagaimana ungkapan Arab yang
menyatakan bahwa sesuatu bangsa senantiasa mengikuti agama yang dipeluk rajanya
(al-qaumu ‘ala dini mulukihim), laksana pakaian raja itu senantiasa menjadi trend
model pakaian bagi rakyatnya (libas al-muluk, muluk al-libas).

Terkait dengan proses islamisasi di Nusantara itu, Nor Huda melaporkan


bahwa islamisasi di Indonesia terjadi melalui proses yang sangat pelik dan panjang.
Penerimaan penduduk pribumi terhadap Islam secara bertahap menyebabkan Islam
terintegrasi dengan tradisi, norma dan cara hidup keseharian penduduk lokal.Karena
itu, Islam bisamenerima budaya dan tradisi masyarakat lokal yang tidak bertentangan
dengan ajaran-ajarannya, sebaliknya masyarakat lokal juga bisa menerima ajaran-
ajaran Islam yang mirip atau senafas dengan budaya dan tradisinya meskipun Islam
sebagai agama pendatang yang baru sama sekali bagi mereka.

Proses islamisasi ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para ulama, kendatipun
para ulama itu mengalami perselisihan-perselisihan yang mewakili identitasnya
masing-masing, antara ulama birokrat dengan ulama rakyat. Menurut catatan Nor
Huda, terlepas dari pergesekan kedua kelompok ulama itu, secara umum ulama
memiliki peranan dan posisi khusus dalam masyarakat Muslim Nusantara. Peranan
Islam dalam membangun kebudayaan yang khas di Melayu-Indonesia, tidak terlepas
dari peran para ulama. Kedua kelompok ulama itu memiliki peranan islamisasi di
wilayah ini dengan segmen-segmen masyarakat yang berbeda.Ulama birokrat banyak
melakukan proses islamisasi di kalangan lingkaran penguasa sedangkan ulama rakyat
banyak melakukan proses islamisasi di kalangan rakyat jelata yang tersebar di
pedesaan dan wilayah pinggiran.
Islam Nusantara ini memiliki keunikan-keunikan, antara lain sebagaimana
dilaporkan Azyumardi Azra bahwa kawasan Nusantara ini merepresentasikan salah
satu bagian dunia Islam yang paling sedikit mengalami Arabisasi.Orang-orang Islam
Nusantara lebih familier menggunakan istilah-istilah maupun pakaian lokal daripada
istilahistilah atau pakaian Arab maupun al-Qur’an. Mereka lebih akrab dengan
menggunakan panggilan kiai, ajengan, tuan guru, dan buya daripada panggilan
syaikh maupun ulama; mereka lebih mengutamakan pakaian salat berupa sarung dan
songkok daripada jubah dan surban; dan mereka lebih cenderung menyebut langgar

15
sebagai tempat salat yang kecil daripada menyebut mushalla. Langgar sebagai istilah
lokal Jawa sedang mushalla sebagai istilah Arab.

Dengan demikian, Islam Nusantara ini memiliki karakteristik tertentu yang


membedakan dengan karakteristik Islam di kawasan lainnya. Abdul Moqsith Ghozali
menjabarkan bahwa wilayah Nusantara ini memiliki sejumlah keunikan yang berbeda
dengan keunikan di negeri-negeri lain, mulai keunikan geografis, sosial politik dan
tradisi peradaban. Keunikan-keunikan ini menjadi pertimbangan para ulama ketika
menjalankan Islam di Nusantara. Akhirnya, keunikan-keunikan ini membentuk
warna Islam Nusantara yang berbeda dengan warna Islam di Timur Tengah.26 Zainul
Milal Bizawie merinci bahwa Islam Nusantara merupakan Islam yang ramah,
terbuka, inklusif dan berpotensi memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah
bangsa dan negara.

Di samping itu, Islam Nusantara sebagai Islam yang dinamis dan bersahabat
dengan lingkungan kultur, subkultur dan agama yang beragam. Islam bukan hanya
dapat diterima masyarakat Nusantara, tetapi juga layak mewarnai budaya Nusantara
untuk mewujudkan sifat akomodatifnya, yakni rahmatan li al-‘alamin.Pesan
rahmatan li al-‘alamin ini menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah yang
moderat, toleran, cinta damai dan menghargai keberagaman. Intinya adalah Islam
yang merangkul, bukan memukul; Islam yang membina, bukan menghina; Islam
yang memakai hati, bukan memaki-maki; Islam yang mengajak tobat, bukan
menghujat; dan Islam yang memberi pemahaman, bukan memaksakan.

Kedua, adalah Islam Indonesia. Identitas Islam Indonesia ini sepintas mirip
dengan Islam Nusantara karena bahasan Islam Nusantara yang didominasi kajian
tentang Islam Indonesia. Sebenarnya Islam Nusantara lebih luas daripada Islam
Indonesia karena Islam Nusantara itu sebangun dengan Islam Asia Tenggara
sehingga Islam Indonesia hanya bagian integral dari Islam Nusantara. Adapun ketika
kajian Islam Nusantara hanya difokuskan pada Islam Indonesia, sebenarnya terkait
dengan datadata empirik yang berhasil diperoleh mayoritas tentang Islam Indonesia.

Islam Indonesia ini merupakan identitas Islam yang berasal dari gabungan
beberapa karya pemikir Islam yang disunting oleh Muntaha Azhari dan Abdul
Mun’im Saleh, kemudian diberi judul Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Buku
ini diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Adapun penyumbang tulisan dalam buku ini adalah M. Dawam Rahardjo, Chandra
Muzaffar, Ali Yafie, Aswab Mahasin, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, A.
M. Saefuddin, Adi Sasono, Arief Budiman, Miska M. Amin, Hasan Langgulung,
Muchtar Buchori, Masdar F. Mas’udi, Moeslim Abdurrahman, Sudirman Tebba, dan
Emha Ainun Nadjib.

Buku ini diterbitkan pada Agustus 1989. Sekitar tahun ini memang terjadi
gelora pemikiran Islam di Indonesia sebagai kelanjutan dari era 1970-an. Pada era

16
1989-an tersebut pemikiran Islam Indonesia dikuasai oleh lima tema sentral.
Semuanya berusaha untuk meraih masa depan. M. Dawam Rahardjo mencatat lima
tema tersebut meliputi interpretasi kembali al-Qur’an, aktualisasi tradisi, islamisasi
pengetahuan dan teknologi, pribumisasi Islam dan masa depan peradaban
Islam.Masingmasing tema ini menyedot perhatian umat Islam Indonesia terlepas
adanya kontroversi penilaian dan pemikiran di antara mereka, sebagai suatu
kewajaran yang sering terjadi di berbagai tempat dan masa.

Indonesia sendiri merupakan sebuah negara yang menampungkehidupan yang


sangat pluralis baik menyangkut suku, bangsa, agama, ras, budaya dan bahasa
sehingga dibutuhkan alat pemersatu yang mengikat semua populasi Indonesia.
Pancasila secara riil telah memerankan sebagai alat pemersatu yang sangat teruji.
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa umat Islam Indonesia telah memiliki
Pancasila. Pancasila ini merupakan sesuatu yang benar, baik isinya maupun
kedudukannya sebagai kalimah sawa bagi kehidupan berbangsa bersama pemeluk
agama lain. Kesepakatan terhadap kelima sila itu sebenarnya cukup baik. Di atas
kalimah sawa inilah umat Islam bersama pemeluk agama lain bekerja untuk
masyarakat.Kalimah sawa ini merupakan titik temu berbagai agama. Ketika
Pancasila memiliki kedudukan sebagai kalimah sawa sebagai dinyatakan Nurcholish
Madjid itu berarti Pancasila menjadi titik temu agama-agama yang hidup, setidaknya
yang diakui oleh pemerintah Indonesia, terutama tercermin pada sila pertama, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudnya kehidupan dan kelangsungan agama di
Indonesia ini memiliki sandaran ideologis sila pertama Pancasila.

Dalam konteks umat Islam, sila pertama ini seharusnya dipahami menurut
ajaran Islam seperti tercantum dalam surat al-ikhlas dan seharusnya Islam menjadi
pedoman dalam menuntun kehidupan umat Islam. Kalau tidak demikian, berarti telah
terjadi inkonsistensi dalam mengamalkan Islam di kalangan mereka. Nurcholish
Madjid menyatakan bahwa jika etika umat Islam Indonesia hanya sedikit saja yang
dipengaruhi oleh agama maka sesungguhnya terjadi problem pada pembangunan
etika ini sehingga kita akan menghadapi kenyataan bahwa tenagatenaga
pembangunan demikian sangatlah langka.Kondisi ini tentu memprihatinkan karena
berimplikasi pada tindakan-tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
begitu mudah meninggalkan Islam sebagai petunjuk dan pengendali dalam berbagai
perilakunya baik perilaku politik, perilaku hukum, perilaku ekonomi dan perilaku-
perilaku lainnya.
Kita sangat mengharapkan agar Islam tidak sekadar sebagai pengetahuan,
tetapi juga sebagai pengamalan riil di masyarakat sehingga mereka mampu
memainkan peranan aktif dalam memecahkan berbagai macam problem di
masyarakat. Adi Sasono menegaskan bahwa Islam di Indonesia tetap bisa berperan
dengan baik secara sosial dalam format politik yang ada, yaitu dalam konteks
kepancasilaan dari masyarakat Indonesia yang majemuk.Hanya dengan
mengidentifikasikan diri sebagai rakyat jelata yang sedang berjuang merubah
nasibnya, Islam akan memiliki masa depan dalam konteks perubahan sosial di

17
Indonesia. Kegagalan Islam mengidentifikasikan dirinya dalam konteks tersebut akan
menyebabkannya hanya berfungsi di pinggiran, misalnya untuk memberikan
legitimasi terhadap kekuasaan.Akhirnya ia hanya diperlakukan sebagai pelengkap
dan penutup kebutuhan bagi kekuasaan. Kondisi ini yang perlu dibalik, Islam harus
menjadi pemain yang memiliki peranan sangat menentukan, kendatipun untuk
mewujudkannya mengharuskan umat Islam bertindak populis memperjuangkan nasib
rakyat.

Para pemikir Islam Indonesia sebenarnya telah berusaha mencari celah dan
terobosan membangun strategi untuk memajukan umat Islam, khususnya di negeri
ini. Hasan Langgulung menyatakan bahwa satusatunya modal yang kita miliki
menghadapi masa depan adalah pengalaman masa lampau, bilamana kita pandai
menggunakan pengalaman itu. Maka kita perlu menelaah sejarah dan mengetahui
perbedaan Islam Indonesia dengan Islam di negeri-negeri lain. Cara Islam masuk di
Indonesia, bagaimana ia berkembang dan menghadapi tantangan-tantangan
sekitarnya mempunyai watak yang khas dalam membentuk persepsinya terhadap
masa depan.Persepsi ini memengaruhi masyarakat Muslim Indonesia dalam
mengidealkan masa depan, usaha-usaha mewujudkan idealisme itu dan rintangan-
rintangan yang mereka hadapi. Akhirnya idealisme mereka tentang masa depan juga
berbeda dengan idealisme masyarakat Muslim dari negara lainnya.

Perbincangan masa depan betapapun harus menaruh perhatian besar pada


kondisi generasi muda. Muchtar Buchori mempertanyakan bagaimana
mempersiapkan generasi muda, agar mereka memiliki kemampuan menjawab
segenap tantangan yang mereka hadapi secara memadai di masa depan. Muchtar
Buchori menyetujui pandangan James W. Botkin, Mahdi Elmandjra dan Mircea
Malitza yang menyatakan bahwa kelangsungan dan peningkatan kualitas bangsa
Indonesia di masa depan ditentukan oleh kemampuan kita dalam melahirkan
perbaikan-perbaikan inter-generasional dan intra-generasional dalam diri
kita.Perbaikan generasi muda ini memang strategis lantaran generasi muda ini yang
diandalkan untuk mengendalikan bangsa Indonesia ini di masa mendatang. Hanya
saja perbaikan generasi muda ini bukan satu-satunya strategi dalam membangun
bangsa di masa depan, melainkan juga melibatkan strategi lainnya, misalnya terkait
dengan penguatan lembaga pendidikan Islam.

Eksistensi lembaga pendidikan Islam dalam menjawab tantangan masa depan


ini mengundang perhatian Masdar Farid Mas’udi. Baginya, sistem pendidikan
madrasah (Tsanawiyah maupun Aliyah) tidak perlu selalu dipertahankan. Biarlah
anak-anak sejak dini masuk ke sekolah umum (SMP atau SMA), tetapi di luar jam
sekolah mereka berada dalam pengawasan yang intensif dalam pola pesantren untuk
memeroleh: pelajaran-pelajaran agama yang elementer, bimbingan yang bijaksana
agar dapat mengimani Tuhan dengan benar dan menjalankan ibadah secara istiqamah
dan pembinaan yang intensif agar dapat menguasai bahasa keilmuwan.Untuk masa
depan, pesantren dengan sistem pendidikan umum plus akan tetap relevan dan

18
tumbuh dalam jumlah yang sebanyakbanyaknya.Prediksi ini didasarkan pada asumsi
bahwa dengan model pesantren yang dicangkok dengan sistem pendidikan umum
plus itu, penguasaan ilmu agama dan ilmu umum dapat berkembang bersamasama
secara memadai. Ilmu agama diperoleh dari pesantren sedang ilmu umum diperoleh
dari sistem pendidikan umum plus tersebut.

2.3. Penyebaran Islam di Zaman Kerajaan Tidung Kuno (Raja Sri Bengawan)

Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan


(Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di Kalimantan Utara,
yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya
terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula
Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas.

Riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (Raja) yang pernah memerintah


dikalangan Suku Tidung terbagi dari beberapa tempat yang sekarang sudah terpisah
menjadi beberapa daerah Kabupaten antara lain (Salimbatu, Kecamatan Tanjung
Palas Tengah, Kabupaten Bulungan), (Malinau Kota, Kabupaten Malinau), (Sesayap,
Kabupaten Tana Tidung), (Sembakung, Kabupaten Nunukan) , (Kota Tarakan) dan
lain-lain hingga ke daerah (Sabah, Malaysia) bagian selatan.

Kerajaan Tidung Kuno dipertintahkan oleh Raja Sri Bengawan bertahta pada
tahun 1236-1399 M, selama 44 musim sebelum digantikan oleh putranya, itambu.

Konon raja bengawan adalah seorang penguasa yang bijaksana dan tegas.
Kerajaannya meluas melampaui wilayah pesisir Kabupaten Bulungan saat ini, mulai
dari Tanjung Mangkaliat di selatan hingga Kudat ( Sabah, Malaysia ) di utara.

Islam masuk ke wilayah Tanah Tidung oleh Sri Bengawan di Tarakan, dan
menyebar ke seluruh wilayah hingga akhir abad ke-13. Penyebaran agama Islam di
wilayah tersebut diawali dengan datangnya para mubaligh Islam di wilayah tersebut.
Namun belum ada informasi yang jelas mengenai bagaimana Islam menyebar di
Kerajaan Tidung Kuno secara spesifik.

Kemudian Dari riwayat-riwayat yang terdapat dikalangan Suku Tidung


tentang kerajaan yang pernah ada dan dapat dikatakan yang paling tua di antara
riwayat lainnya yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap dengan rajanya yang
terakhir bernama Benayuk. Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa
malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga
mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam ke dalam air (sungai)
berikut warganya. Peristiwa tersebut di kalangan Suku Tidung disebut Gasab yang
kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.

19
Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa pemerintahan
Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim. Perhitungan musim tersebut adalah
berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim terdapat 12
purnama. Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan + kurang lebih dengan
tahun Hijriah. Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang beberapa tokoh
pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan keterkaitannya
dengan Benayuk, maka diperkirakan tragedi di Menjelutung tersebut terjadi pada
sekitaran awal abad XI.

Kelompok-kelompok Suku Tidung pada zaman kerajaan Menjelutung


belumlah seperti apa yang terdapat sekarang ini, sebagaimana diketahui bahwa
dikalangan Suku Tidung yang ada di Kalimantan timur sekarang terdapat 4 (empat)
kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu :
1. Dialek bahas Tidung Malinau
2. Dialek bahasa Tidung Sembakung.
3. Dialek bahas Tidung Sesayap.
4. Dialek bahas Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tengara yang
kebanyakan bermukim di daerah air asin.

Dari adanya beberapa dialek bahasa Tidung yang merupakan kelompok


komunitas berikut lingkungan sosial budayanya masing-masing, maka tentulah dari
kelompok-kelompok dimaksud memiliki pemimpin masing-masing. Sebagaimana
diriwayatkan kemudian bahwa setelah kerajaan Benayuk di Menjelutung runtuh
maka anak keturunan beserta warga yang selamat berpindah dan menyebar kemudian
membangun pemukiman baru. Salah seorang dari keturunan Benayuk yang bernama
Kayam selaku pemimpin dari pemukiman di Linuang Kayam (Kampung si Kayam)
yang merupakan cikal bakal dari pemimpin (raja-raja) di Pulau Mandul, Sembakung
dan Lumbis.

2.4. Interaksi Budaya Keagamaan dengan suku dan masyarakat di Wilayah


Perbatasan Kalimantan Utara.

Interaksi budaya keagamaan dengan suku dan masyarakat di wilayah


perbatasan Kalimantan Utara dapat melibatkan berbagai aspek kehidupan sehari-hari,
seperti adat istiadat, tradisi, bahasa, dan sosial budaya. Kehidupan beragam suku dan
masyarakat di kalimantan Utara memiliki pengaruh yang kuat terhadap interaksi
budaya keagamaan di wilayah perbatasan tersebut.

Interaksi budaya keagamaan dengan suku dan masyarakat di wilayah


perbatasan Kalimantan Utara, seperti di banyak wilayah perbatasan di Indonesia,
dapat menjadi hal yang menarik dan kompleks. Wilayah perbatasan sering kali
menjadi tempat pertemuan berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama, yang

20
memengaruhi dinamika sosial dan budaya di daerah tersebut. Di bawah ini, saya akan
mencoba menjelaskan beberapa aspek penting terkait interaksi budaya keagamaan di
wilayah perbatasan Kalimantan Utara:

Pluralitas Etnis dan Agama: Kalimantan Utara adalah wilayah yang kaya akan
keragaman etnis dan agama. Di wilayah perbatasan ini, Anda dapat menemukan
suku-suku pribumi seperti Dayak, Punan, dan Kenyah, serta penduduk beragama
Islam, Kristen, dan kepercayaan-kepercayaan tradisional. Interaksi antara berbagai
kelompok etnis dan agama ini dapat menciptakan lingkungan yang multikultural.

Adopsi dan Toleransi Agama: Di sepanjang perbatasan, sering terjadi adopsi


agama baru atau percampuran unsur-unsur keagamaan yang berbeda. Misalnya,
beberapa kelompok suku Dayak mungkin telah mengadopsi agama Kristen atau
Islam, tetapi masih mempraktikkan kepercayaan-kepercayaan tradisional mereka.
Toleransi agama sering menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di wilayah
perbatasan ini.

Ritual dan Upacara Keagamaan: Budaya keagamaan dalam masyarakat


perbatasan Kalimantan Utara sering kali mencerminkan pengaruh etnis dan agama.
Setiap kelompok etnis mungkin memiliki ritus dan upacara keagamaan yang unik,
dan mereka dapat berbagi dan berpartisipasi dalam perayaan-perayaan tersebut
dengan kelompok lain. Hal ini dapat memperkuat ikatan antar etnis dan agama.

Konflik dan Tantangan: Meskipun banyak wilayah perbatasan Indonesia


memperlihatkan toleransi dan kerukunan antar etnis dan agama, terkadang juga
terdapat konflik dan tantangan. Perbedaan budaya, agama, dan sumber daya alam
dapat menjadi sumber ketegangan sosial dan politik. Pemerintah dan kelompok
masyarakat berusaha untuk mengatasi konflik ini melalui dialog antaragama dan
upaya-upaya pemersatu lainnya.

Peran Lembaga Keagamaan: Agama sering berperan penting dalam kehidupan


masyarakat di wilayah perbatasan. Lembaga-lembaga keagamaan, seperti gereja,
masjid, dan tempat ibadah lainnya, dapat menjadi pusat kegiatan sosial, pendidikan,
dan kesejahteraan masyarakat. Mereka juga bisa berperan dalam meredakan konflik
dan memfasilitasi dialog antaragama.

Penting untuk diingat bahwa situasi di wilayah perbatasan Kalimantan Utara


dapat bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya, dan perubahan sosial dan budaya
dapat terjadi seiring waktu. Interaksi budaya keagamaan di wilayah perbatasan
adalah fenomena yang kompleks dan menarik yang terus berkembang seiring
berjalannya waktu.

Salah satu suku yang tinggal di wilayah perbatasan Kalimantan Utara adalah
suku Dayak. Mereka memiliki kepercayaan animisme yang berhubungan dengan

21
alam dan roh nenek moyang. Namun, seiring dengan penyebaran agama-agama
seperti Islam, Kristen, dan Katolik, suku Dayak juga mengalami perubahan dalam
praktik keagamaan mereka. Banyak suku Dayak yang mempertahankan kepercayaan
animisme mereka, tetapi juga menerima agama-agama baru dan menggabungkan
elemen-elemen keagamaan baru dengan kepercayaan tradisional mereka.

Agama Islam juga memiliki pengaruh yang kuat di wilayah perbatasan


Kalimantan Utara. Terutama di daerah-daerah yang berdekatan dengan Malaysia,
banyak suku dan masyarakat yang memeluk agama Islam. Interaksi budaya
keagamaan dengan Islam dapat terlihat dalam adat istiadat seperti pernikahan,
pemakaman, dan ritual keagamaan lainnya. Isla juga memberikan struktur sosial dan
nilai-nilai moral yang kuat dalam masyarakat lokal.

Selain Islam, agama Kristen juga memiliki jumlah pengikut yang signifikan di
wilayah perbatasan Kalimantan Utara. Gereja-gereja dan lembaga keagamaan Kristen
dapat ditemukan di berbagai kota dan desa di wilayah perbatasan tersebut. Interaksi
budaya keagamaan dengan Kristen dapat terlihat dalam perayaan perayaan
keagamaan seperti Natal dan Paskah, serta praktek-praktek keagamaan seperti ibadah
dan doa bersama.

Interaksi budaya keagamaan di wilayah perbatasan Kalimantan Utara juga


mencakup kesenian dan budaya lokal. Banyak kesenian tradisional seperti tarian,
musik, dan pakaian adat yang terkait dengan praktik keagamaan dan perayaan
keagamaan. Hal ini mencerminkan cara suku dan masyarakat di wilayah perbatasan
ini menyatukan identitas keagamaan dan budaya mereka.

Dalam keseluruhan, interaksi budaya keagamaan dengan suku dan masyarakat


di wilayah perbatasan Kalimantan Utara adalah kompleks dan beragam. Keadaan ini
mencerminkan keragaman budaya dan agama yang ada di wilayah tersebut, serta
bagaimana suku dan masyarakat secara unik menggabungkan dan mempraktikkan
kepercayaan dan tradisi keagamaan mereka.

22
BAB 3
PENUTUPAN
3.1. KESIMPULAN
Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Meskipun
mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia juga memiliki beragam agama dan
kepercayaan. Kolaborasi dalam konteks ini menekankan pentingnya memahami dan
menghormati keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia serta mendorong
pemahaman bahwa Islam dapat bersinergi dengan budaya, tradisi, dan nilai-nilai lokal
yang ada di Indonesia.

3.2. SARAN

Wilayah perbatasan Indonesia juga memiliki tantangan unik, seperti ketidaksetaraan


ekonomi, keamanan, dan akses terhadap layanan dasar, oleh karna itu Kolaborasi dalam
wilayah perbatasan perlu memperhatikan kebutuhan khusus yang mungkin tidak terdapat
di wilayah lain dan juga di butuhkannya peran pemerintah untuk memfasilitasi kolaborasi
antara Islam, identitas keindonesiaan, dan wilayah perbatasan. Ini mencakup penyediaan
infrastruktur, pendidikan, dan dukungan sosial yang diperlukan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan stabilitas di wilayah perbatasan.

Karna kolaborasi yang berhasil dalam wilayah perbatasan juga berkontribusi pada
perdamaian dan stabilitas secara lebih luas di Indonesia, mengurangi potensi konflik dan
ketidaksetaraan.

23
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/document/522834597/ISLAM-DAN-KAWASAN-PERBATASAN

Penyebaran Islam di Zaman Kerajaan Tidung Kuno (Raja Sri Bengawan)


https://borneohistory57.blogspot.com/2015/06/?m=1

Konsep Keislaman dan Keindonesiaan https://etheses.uinsgd.ac.id/11942/1/Spirit


%20Keislaman%20dan%20Keindonesiaan.pdf

https://amp.kompas.com/nasional/read/2017/05/16/19182811/keindonesiaan-dan-keislaman

Identitas Islam di Indonesia https://www.neliti.com/id/publications/62555/ragam-identitas-


islam-di-indonesia-dari-perspektif-kawasan

file:///C:/Users/USER/Downloads/86-Article%20Text-163-1-10-20160104.pdf

Interaksi Budaya Keagamaan dengan suku dan masyarakat di Wilayah Perbatasan


Kalimantan Utara https://chat.openai.com/c/771b083c-8217-4568-af47-593e97f3284f

24

You might also like