You are on page 1of 143

Sylabus

SEJARAH GEREJA BATAK

I Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Mata Kuliah ini mengarahkan mahasiswa mampu memahami dan
mengetahui tentang masuknya kekeristenan di tanah Batak, yang melaluinya
orang Batak mengenal berita Injil keselamatan yang membawa orang Batak
dari kegelapan kepada terang yang sesungguhnya.

II. Tujuan Intstruksional Khusus (TIK)


Sebagaimana tujuan intruksional umum di atas, focus pembahasan kuliah ini
diarahkan ke pembahasan:
a. Keadaan masyarakat Batak sebelum masuknya kekristenan: topik ini
termasuk membahas keadaan alam, struktur sosiologi, pemerintahan dan
kepemimpinan tradisional serta antropologi orang Batak sebelum
kekeristenan.
b. Masuknya kekristenan ke tanah Batak pertama sekali, pertumbuhan dan
perkembangan gereja-gereja Batak serta gereja-gereja lainnya di
Sumatera Utara (SUMUT).
c. Pembahasan poin a–b di atas tentunya menyangkut latarbelakang,
proses kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan, berbagai masalah
dan tantangan yang dihadapi, perpecahan atau skisma gereja-gereja
Batak, serta pergumulan intern gereja Batak (serta berbagai denominasi
gereja Batak) Batak dari awalnya hingga masa sekarang.

III. Materi/Pokok Pembahasan Mata Kuliah ini.


- Pertemuan I
Penjelasan tentang Sylabus mata kuliah Sejarah Gereja Batak serta
beberapa informasi (petunjuk-petunjuk dosen) mengikuti proses kuliah
ini hingga ujian semester termasuk petunjuk mengenai system penilaian
(evaluasi) terhadap mata kuliah ini.
- Pertemuan II
Pada pertemuan ini akan membicarakan atau mendiskusikan mengenai
keadaan masyarakat Batak sebelum masuknya kekristenan.
Pembahasan tema ini menyangkut hal falsafah hidup, struktur
masyarakat, budaya, pandangan tentang lingkungan dan diri sendiri
orang Batak itu sendiri.
- Pertemuan III – VII
Pada pertemuan pertemuan ini (5 x pertemuan), akan difokuskan
pembahasan dan diskusi pada tema mengenai masuknya kekristenan di
Tanah Batak. Topik ini menyangkut: proses lahir, bertumbuh serta
berkembangnya gereja-gereja di Tanah Batak. Sebagai pengembangan
tema Bab ini, pembahasan akan dilanjutkan kepada keadaan awal
datangnya kekristenan di tanah Batak melalui para pedagang Nesotrian
(abad ke-7), kemudian masuknya misionaris Eropa abad 19, serta corak

1
bentuk, usaha dan metode PI dilakukan demi menerapkan Injil kepada
masyarakat Batak yang melaluinya terbentuk corak teologi, doktrin,
liturgy, kesalehan, peraturan, dan system hukum jemaat dan lain
sebagainya. Tentunya, pemahaman terhadap tema ini akan sangat
berguna bagi mahasiswa kelak ketika mereka (anda) menjadi seorang
pelayan guna melakukan pelayanan secara imajinatif di jemaat.
- Pertemuan VIII: Ujian MID Semester dan Pengumpulan Tugas MID
(Bobot Nilai: 30/100 x hasil ujian MID)
Contoh: 30/100 x 80 = 24
- Pertemuan IX-XV
Pertemuan-pertemuan ini (7 pertemuan) membahas topik tentang
perkembangan berikut (lanjutan) gereja-gereja Batak. Pembahasan Bab
ini menyangkut berlangsungnya masalah-masalah (tantangan) dihadapi
oleh gereja-gereja Batak. Walau realitas berbagai masalah ini
menghasilkan perpecahan/skisma gereja-gereja Batak, nampak nyata
bahwa semuanya seakan dilihat sebagai alat tersendiri di tangan Tuhan
untuk semakin mengembangkan (menyebarluaskan) jemaatNya di tanah
Batak, yang semuanya berguna bagi kemuliaan namaNya. Tidak dapat
dipungkiri, adalah fakta bahwa gereja-gereja Batak selalu tidak dapat
lepas dari berbagai persoalan (konflik) konflik intern. Namun adalah
sebagai pelajaran berharga bagi mahasiswa dalam mengembangkan
kesadaran dan dedikasi pelayanan kelak ketika mereka (anda)
mengabdi sebagai hambawa Allah di jemaat nantinya.
- Pertemuan XVI/XVII : Ujian Semester
(Bobot Nilai: 50/100 x hasil ujian Semester)
Contoh: 50/100 x 85 = 42.5

IV. Tugas-Tugas
Sesuai dengan perkembangan tema dalam diskusi di kelas dan untuk
menyempurnakan evaluasi dosen pengampu mata kuliah ini kepada
kemampuan mahasiswa mengikuti perkuliahan, maka untuk pemberian nilai
akhir kepada mahasiswa di samping hasil ujian MID Semester dan ujian akhir
Semester, kepada mahasiswa masih diberikan tugas-tugas sebanyak
minimal tiga pokok tema. Waktu pemberian tema, pengerjaan hingga
pengumpulan tugas-tugas akan ditentukan dan diinformasikan kemudian
kepada mahasiswa.
(Bobot Nilai : 20/100 x hasil refapitulasi tugas)
Tugas I (75) ; tugas II (65) ; Tugas III (80)
75 + 65 + 80 = 220 (220 : 3 = 73)
Contoh: 20/100 x 73 = 14.6
Nilai akhir semester
30% hasil ujian MID = 24
50% hasil ujian Semt = 42.5
20% hasil tugas = 14.6
Total : 81.1 (A)

2
V. Buku-Buku Pokok Yang Harus Dimiliki:

1. J.R. Hutauruk (Koordinator), Tuhan Menyertai Umatnya, Sejarah 125 Tahun


HKBP, Pearaja Tarutung, 1988
2. J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja, BPK, Jakarta, 1992
3. Walter Lempp, Bernih Yang Tumbuh XII, Suatu Survey Mengenai Sejarah
Gereja di Sumatera Utara, LPS PGI, Jakarta
4. P.B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, Perkembangan Gereja-
Gereja Batak di Sumatera Utara, BPK, Jakarta, 1975
5. Th. Muller Krueger, Sejarah Gereja di Indonesia, BPK, Jakarta, 1966
6. Th. Van Den End, Ragi Carita II, Sejarah Gereja di Indonesia 1960-an hingga
sekarang, BPK, Jakarta, 1992
7. Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, BPK,
Jakarta, 1996
8. Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: TAPANULI
(1915-1940), Gramedia, Jakarta, 2001
9. J.R. Hutauruk, Menata Gereja, BPK, Jakarta, 1986
10. Jans Aritonang, Sejarah Pendidikan di Tanah Batak, Jakarta: BPK, 1988
11. P.B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, Jakarta, BPK, 1975
12. Lothar Scheiner, Telah Ku Dengar Dari Ayahku, Perjumpaan Adat Dengan
Iman Kristen di Tanah Batak, BPK, Jakarta, 1978
13. A.A. Sitompul (Peny), Perintis-perintis kekristenan di Sumatera Bagian
Utara, BPK, Jakarta, 1986
14. Greenleaf, Robert K : Servant Leadership: A Journey Into The Nature Of
Legitimate Power And Greatness (New York: Paulist Press, 1991 )
15. Hasselgren, Johan: Batak Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-
Religius Batak Toba di Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media
Perintis, 2008)
16. Nainggolan, Togar: Batak Toba di Jakarta: Kontuinitas dan Perubahan
Identitas (Medan: Penerbit Bina Media, 2006)
17. Rajamarpodang, DJ. Gultom 1992: Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak
(Medan: CV. Armada, 1992)
18. Siahaan, Bisuk: Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu (Jakarta:
Kempala Foundation, 2005)
19. Simanjutak, Bungaran A: Struktur social dan Sistem Politik Batak Toba
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006)
20. Skidmore, William: Teoretical Thinking in Sociology (London: Cambridge
University Press, 1975)
21. Suseno, Frans M: Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2000)
22. Tampubolon, I: Adat mendirikan Huta/Kampung (Medan: Percetakan Philemon
Siregar, 1968)
23. Vergouwen, J. C: Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pusata
Azet, 1985)

Catatan: Yang dianjurkan mengontrak mata kuliah ini adalah mahasiswa


yang sudah lulus Mata Kuliah: Sejarah Agama Kristiani (SGU),
Sejarah Gereja Asia (SGA), Sejarah Gereja di Indonesia (SGI).

3
MASYARAKAT DAN AGAMA BATAK
SEBELUM KEKRISTENAN

Selayang Pandang

Pendahuluan
1. Secara umum, selama bertahun-tahun (sebelum abad 19) masyarakat suku
Batak khususnya yang mendiami Provinsi Sumatera Utara (ada enam etnis
suku mendiami wilayah ini yakni: Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba,
Angkola dan Mandailing) hidup terpencil dari hubungannya dengan dunia luar
karena letak geografisnya yang bergunung-gunung. Kendati pun demikian,
namun dapat dikatakan bahwa orang Batak telah mengembangkan sistem-
sistem kompleks kehidupannya sehari-hari di bidang social, hukum dan
agama. Pokok inilah yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan
selanjutnya terhadap penelusuran metode kerja para misionaris menerapkan
Injil ke dalam kehidupan orang Batak dalam sejarah misi. Artinya, para
misionaris perlu menyesuaikan konsep-konsep kekristenan kepada
perbendaharaan kata dan struktur social dari masyarakat Batak yang
tradisionil. Dalam hubungan ini, nyata bahwa kebudayaan Batak telah
membuktikan kekuatannya dengan menempatkan pengaruh-pengaruh asing
masuk ke dalam kebudayaan Batak yang tradisionil masa selanjutnya. Ada
indikasi bahwa ada pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha (thn 2000 seb.
Masehi – 1500 AD) masuk kepada sistem-sistem kehidupan orang Batak,
namun sejauh pengaruh ini tidak menguasai keseluruhan masyarakat Batak.
Demikian dengan keislaman yang sudah sangat dinamis di daerah Utara-
Aceh dan Selatan-Minangkabau (Islam masuk ke Indonesia, abad 13-14),
unsur ini gagal menggantikan keperayaan Batak tradisionil. Secara umum
para peneliti abad 19 tentang masyarakat Batak memberi kesimpulan bahwa
streotip (ciri karakter) utama sebagai pengenalan kepada masyarakat Batak
sebelum kekristenan disebut sebagai orang yang “keras sifatnya dan harus
dihindari oleh semua orang”. Menurut Pedersen (Darah Batak…, hl. 16)
William Marsden-lah yang secara positif pertama sekali menyimpulkan bahwa
orang Batak: menurut penelitiaannya mengatakan sebagai : “masyarakat
yang sudah memiliki peradaban yang telah berkembang tinggi dengan
pengalaman duniawi di bidang social, hukum dan agama”. Penting
ditekankan bahwa menurut sejarahnya, masyarakat Batak tidak pernah
secara langsung berada di bawah pemerintahan asing sebagai jajahan yang
tak bebas.

2. Kepercayaan Terhadap Agama Tradisionil. Sebelum uraian ini dilanjutkan


dapat dikatakan bahwa: ketika misionaris-misionaris Kristen tiba di tengah
kehidupan orang Batak, mereka telah menemukan hilmat bahwa orang-orang

4
Batak adalah satu suku bangsa yang sangat bergairah dan memiliki
kesadaran yang hidup dan kekuatan agamaniah di dunia sekitar mereka
(kesadaran tentang adanya kekuatan supra alamiah dunia sekitar). Pemujaan
terhadap kekuatan supra alamiah inilah yang kemudian sangat dikutuk oleh
para misionaris namun sifat kesalehan Batak terhadap kegiatan dinamis dari
kuasa agamaniah ini tetap dipelihara dalam konteks Kristen. Kemudian para
misionaris menganggap hal ini menyenangkan, malah esensil untuk
menerangkan pemberitaan mereka dalam istilah tradisonil.
Tentang kepercayaan Batak terhadap agama tradisionil ini dapat dikatakan
sebagai berikut:
a. Kosmologi Batak tradisionil membagi eksistensi kehidupan ke dalam tiga
tingkat dunia (dunia) yakni: Dunia atas, sebagai kerajaan Dewata tertinggi
yaitu: “Mula jadi Na Bolon dan roh nenek moyang yang sudah meninggal”.
Dunia tengah, sebagai gelanggang keseluruhan kegiatan manusia, dan
Dunia Bawah sebagai tempat tinggal para hantu dan setan yang
diperintah oleh Naga Padoha sang ular Naga. Orang Batak Toba
mengalami seluruh ruang kosmis sebagai suatu totalitas dunia bawah,
dunia atas dan dunia tengah, di mana ssetiap tingkat mempunyai suatu
fungsi khusus dalam keselarasan kehidupan (eksistensi). Sebuah pohon
kehidupan yang tingginya dari dunia bawah hingga ke dunia atas
merupakan symbol Dewata Tertinggi dalam menyatukan segala
kehidupan dan mewakili seluruh tata tertib kosmis. Nasib setiap orang
tercatat pada pohon kehidupan ini, yang dari padanya seluruh kehidupan
berasal.
b. Seluruh daya upaya orang Batak selama hidupnya harus tertuju pada
pengembangan dan penyempurnaan “sahala” (kewibawaan, kemewahan,
kemuliaan dan kekuasaan). Sahala ini mencakup kewibawaan, harta
benda, keturunan (bibit), keberanian, kegagahan, kecerdasan, kecerdikan,
kemahiran bicara, keluruhuran budi, rasa keadilan, kesaktian, ilmu gaib,
pengetahuan yang luas, dan lain sebagainya. Sebelum kekristenan, orang
yang sanggup membangun sebuah kampung baru, menang main judi,
berperang, berperkara, dan lain sebagainya soal-soal yang sebenarnya
tidak wajar dia menangkan (pintar bersoal jawab) adalah orang yang
diakui telah memilik “sahala” lebih dari sesamanya. Oleh karena itu,
hingga masa modern abad 21 ini, pengaruh paham ini sangat
berpengaruh kepada orang orang Batak melalui usaha berbagai cara agar
mendapatkan “sahala” termasuk himbauan orang tua kepada anaknya
agar rajin sekolah.

3. Bentuk Kepemimpinan Tradisionil. Identitas bentuk kepemimpinan


tradisionil masyarakat Batak, ini sangat menonjol pada peran Datu yang
sekaligus berfungsi sebagai imam, raja dan sebagai kepala desa. Menurut
penelitian para ahli (lih. Andar Lumbantobing, hl.36) peranan dan fungsi datu
ini lebih sebagai pengaruh dari jaman Hindhu-Buddha di mana peranan ini
merujuk pada suatu jabatan keimaman, kebangsawanan yang lebih tinggi,
atau kepada suatu gelar yang mungkin dapat dipergunakan. Sebelum

5
kekristenan fungsi datu (hadatuon) ini bagi orang Batak adalah sebagai
penghubung unsur-unsur magis dengan tugas-tugas yang bersifat medis-
agamaniah secara asasi dan bersifat pengajaran. Sebelum kekristenan,
untuk banyak urusan kehidupan sehari-hari seluruh masyarakat Batak sangat
tergantung pada pengetahuan dan kemampuan datu, sebab datu diakui
sebagai orang yang memiliki talenta khusus untuk menambah kekuatannya
sendiri melawan kuasa kuasa kosmos. Kemampuan seorang datu menurut
orang Batak adalah orang yang dapat mengalahkan kuasa roh jahat,
mendamaikan roh yang tidak ramah, menyembuhkan segala macam
penyakit, mengendalikan cuaca, dapat mempengaruhi hasil panen, dan
menetukan masa depan. Datu juga berfungsi sebagai seorang dokter, dapat
menyatakan perang, hari menikah, membangun rumah dan dapat membaca
isi perut seekor anak ayam dan dapat menafsirkan satu peristiwa masa lalu
demikian dengan peristiwa yang akan datang.

4. Organisasi Social. Kesempurnaan hidup orang Batak sejak awal hingga


masa modern ini, sangat dipengaruhi oleh keikutsertaannya dalam urusan-
urusan adat. Orang Batak meyakini bahwa pemeliharaan terhadap adat
sangat berhubungan dengan pencegahan terhadap bencana, pemulihan,
keselarasan, kesuburan, kesehatan, dan kesejahteraan golongan.
Berhubungan dengan keyakinan ini, kecelakaan, bencana dan gejala-gejala
alam yang aneh yang mengancam kesejahteraan segolongan masyarakat
Batak ini sangat dihubung-hubungkan dengan pemeliharaan dan
pelanggaran terhadap adat. Melalui adat, orang Batak sangat menjunjung
tinggi kecerdasan nenek moyang yang merumuskan peraturan-peraturan
adat, sehingga masa setelah kekristenan sangat sulit merubah aspek-aspek
yang fundamental dari adat. Dalam makna yang lebih luas, adat adalah
sumber identitas bagi orang Batak sehingga melalui realitas ini sejak awalnya
gereja sudah mengadopsi beberapa aspek adat masuk ke dalam struktur
gereja.

5. Organisasi-Organisasi Agama Tradisional. Orang Batak (sebelum)


kekristenan menganut agama-agama tradisonil, di mana agama-agama
tardisionil orang Batak ini dapat diidentifikasi ke dalam beberapa kelompok
(lih. Lance Castle, hl. 57-69 juga: P.B. Pedersen, hl. 41-44), sebagai berikut:
a. Kaum Parmalim. Kelompok agama tradisionil ini mulai muncul di kalangan
orang Batak baru akhir tahun 1870-an . Latarbelakang munculnya
kelompok ini, bersumber dari beberapa orang Batak yang berusaha
melindungi unsur-unsur tradisionil Batak dari pengaruh-pengaruh yang
dianggap merusak dari mulai masuknya agama Kristen, Islam, dan
kolonialisme. Sekte ini, pertama sekali didirikan oleh Guru Somalaing
Pardede (dari Balige) bersama dengan Raja Sisingamangaraja yang
merekrut pengikut-pengikutnya dari daerah Toba (Uluan) dan Simalungun.
Nama Parmalim diadopsi dari istilah bahasa Batak: “Malim” yang berarti:
“untuk menjadi merdeka”. Gagasan tentang agama tradisionil baru ini
diperoleh Guru Somalaing dalam suatu perjalanannya bersama dengan

6
seorang ahli botani (ahli ilmu tumbuh-tumbuhan) Italia bernama: Elio
Modigliani yang berkunjung ke tanah Batak melakukan penelitiannya
ketika itu. Dalam perjalan mereka Somalaing mendapat informasi dari
Elio tentang ajaran agama Katolik (Trinitatis) sebagai: Yehowa, Maria dan
Yesus. Somalaing mengasosiakan pemahamannya kepada
Sisingamangaraja yang setara dengan Raja Romawi, Raja Turki (Paus
dan Sultan Turki secara berturut-turut) Raja Hatorusan, Raja Uti (tokoh
mitologi Batak) Sideak Parujar dan Naga Padoha (dewa Batak). Pengikut
kelompok ini menyebut diri sebagai Parsiakbagi
b. Kelompok Parhudamdam. Kelompok ini mulai popular tahun 1907 dan
tahun 1920, munculnya kelompok agama tradisionil ini juga merupakan
gerakan perlawanan terhadap pengaruh-pengaruh asing bagi unsur-unsur
tradisionil Batak. Gerakan kelompok ini sangat diilhami oleh tewasnya
Raja Singamangaraja XII yang kemudian diikuti oleh awal mulai
berpengaruhnya kolonialisme Belanda di Tapanuli. Keadaan ini,
bertindaklanjut pada beban masyarakat Batak oleh sistem pajak yang
sangat berat oleh pemerintah kolonial kepada orang Batak. Pembebanan
sistem pajak ini, kemudian diikuti dengan penyusunan kembali pola-pola
tanah milik dan penyebaran pengaruh kekuasan Belanda ke seluruh
wilayah Tapanuli. Intinya, munculnya “agama tradisionil baru” ini adalah
melingkungi kenangan terhadap Sisingamangaraja dengan suatu mytologi
yang mesianis dan Dewata tertinggi dengan suatu tema kebinasaan bagi
orang-orang yang tidak mempercayainya. Awalnya gerakan kelompok ini
direalisasikan dengan perjalanan keliling guru-guru Parhudamdam ke
berbagai kampung orang Batak dengan tujuan menarik seluruh warga
kampung masuk menjadi anggotanya. Namun tidak lama, gerakan ini
hilang lenyap sebab mereka tidak sanggup mempersatukan golongan-
gologan social, politik, dan orang-orang Batak yang bermacam
kepentingannnya. Lenyapnya golongan ini sangat didukung oleh
gencarnya perlawanan dilakukan oleh militer kolonial Belanda terhadap
mereka, juga oleh anggapan kebanyak orang Batak menilai golongan ini
ketinggalan zaman dari proses modernisasi yang dinamis.
c. Golongan Sirajabatak. Populernya kelompok ini berawal dari peristiwa
tanggal 17 Juni 1942 dimana gerakan sirajabatak dari seluruh Indonesia
diorganisir untuk memanggil orang-orang Batak kembali pada agama
nenek moyangnya. Pada pertemuan ini, pemujaan terhadap Dewata
tertinggi diproklamirkan, ritus pesta-pesta kurban di lakukan, demikian
penghormatan terhadap nenek moyang suku bangsa dan pemujaan
terhadap adat juga peraturan-peraturan memelihara tradisi kuno
ditekankan. Awalnya, metode kerja kelompok ini dilakukan dengan
merekrut orang-orang Kristen yang kena hukuman disiplin gereja, tetapi
tidak pernah menarik jumlah pengikut yang besar. Dari indikasi ini,
sirajabatak memasukkan banyak unsur kepercayaan kekristenan ke
dalam agama tradisionil ini dan menekankan nasionalisme dalam
ajarannya.

7
6. Komunikasi Antar Etnis Batak Sebelum Tahun 1861. Penting sebagai
gambaran bahwa hingga tahun 1825 seluruh suku-suku Batak di wilayah
Sumatera Utara tidaklah beragama Hindhu, Islam atau Kristen dan tidak
tunduk kepada suatu penguasa jajahan. Bahkan boleh dikatakan bahwa
sampai tahun 1861, oleh pengaruh keadaan alam, tidak memungkinkan
adanya komunikasi yang lancar antar etnis Batak berlangsung, sehingga
melaluinya hubungan satu sama lain sangat terisolasi dari pengaruh luar.
Namun melalui keadaan ini, gejala baru yang mengarah kepada perpisahan
antar etnis Batak nampak semakin besar jurang pemisahnya. Sebab mulai
dekade ini, umumnya daerah-daerah pesisir sudah menjadi daerah sultan
yang mempunyai daya ekonomi dan tata pemerintahan yang lebih maju
(Hutauruk, Kemandirian, hl. 10-12). Gencarnya gerakan islamisasi daerah
pesisir Batak terjadi sekitar tahun 1825, di mana suku-suku daerah sekitar
Batak yang beragama Islam (Aceh, Minangkabau dan Melayu Di Sumatera
Timur) melalui perdagangan turut mempertebal jurang pemisah komunikasi
ini. Demikian dengan kehadiran para pedagang asing yang menganut Agama
Islam telah dimamfaatkan para pengusaha pribumi meningkatkan kehidupan
jasmani maupun rohani mereka. Jarak pemisah ini kemudian semakin
diperbesar oleh ekspedisi seorang ahli pertanian berkebangsaan Belanda di
tanah Deli yaitu: Neuwenhijs yang tahun 1861 mulai merobah hutan-hutan
Sumatera Utara menjadi daerah-daerah perkebunan milik bangsa Asing
seperti kebun kelapa sawit, karet, teh, tembakau dan lain-lain (lih. J.R.
Hutauruk, 125 tahun HKBP, 15-16). Demikian dengan penemuan dan
pembukaan sumber minyak di Pangkalan Brandan tahun 1885 juga ikut
mempertebal jauhnya jarak komunikasi antara tanah Batak Pesisir dan orang
Batak di bagian wilayah pedalaman Sumatera. Dengan indikasi ini, dapat
dikatakan bahwa perkembangan di daerah Tenggara Sumatera Utara telah
mempertebal jurang pemisah tanah Batak di pesisir dan di pedalaman.
Pedalaman (Tapanuli) tetap dalam eksistensinya yang lama tanpa pengaruh
para sultan dan para penguasa asing serta pemerintah Belanda.
Perkembangan di daerah tetangga, sampai tahun 1861 telah memberikan
indikasi bahwa agaknya pada saat yang tidak lama dan tanpa membutuhkan
banyak tenaga, Belanda akan segera berhasil menduduki daerah tanah
Batak (pedalaman) itu. Namun nyatanya ketika itu, Belanda tidak merasa
penting baik secara eknomi maupun politik segera menduduki tanah Batak,
sebab masih ada daerah yang lebih bersifat strategis untuk diduduki yakni
tanah Eceh yang sangat luas.

7. Selayang Pandang Tentang Masuknya Keristenan di Indonesia. Dibawah


ini dapat diuraikan tentang mulai masuk, bertumbuh dan berkembangnya
kekristenan di Indonesia:
a. Bersamaan dengan penaklukan Albuquerque tahun 1551 kepada
Malaka, Franciscus Xaverius rasul untuk Indiea itu tiba di Maluku dan
mulai mengabarkan Injil di sana.

8
b. Tahun 1596, masuknya pertama sekali kapal-kapal dagang Belanda di
Pulau Jawa, dan inilah permulaan zaman perdagangan besar antara
Belanda dengan penduduk pulau Jawa.
c. Tahun 1602, kongsi perdagangan Belanda yang terkenal dengan VOC:
Vereenigde Oost Indische Compagnie didirkan di Belanda, oleh
pemerintah Belanda diakui sebagai satu-satunya kongsi dagang Belanda
yang mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia. Lama kelamaan
kongsi dagang ini ternyata tidak hanya mengurusi soal perdagangan,
tetapi malah terfokus ke urusan militer yang menguasai seluruh Indonesia
d. Hingga tahun 1820, pertama sekali gereja Baptis Inggris mengutus tiga
orang misionarisnya ke Bengkulu untuk menjumpai jenderal Militer
Belanda bernama Rafless, ketiga orang inilah yang berhasil mencapai
tanah Batak yang masih kafir.

8. Periodesasi Sejarah Gereja Batak. Untuk melanjutkan uraian kuliah ini


secara lebih detail, maka penting ditekankan bahwa periode sejarah gereja
Batak dapat dibuat sebagai berikut:
a. Periode I (Periode awal: 1820-1911): Periode ini ditandai dengan
masuknya para misionaris pertama ke tanah Batak yang sekaligus melalui
metode dan hasil kerja mereka pertumbuhan gereja dimulai di tanah
Batak. Walau ‘umumnya’ gereja-gereja Batak adalah hasil misi badan
Zending RMG: Rheinische Missionsgesellschaft, namun badan misi yang
pertama sekali masuk ke tanah Batak (1824) adalah BMS: Baptist
Missionary Society dari Inggris.
b. Periode II (Periode Pengembangan dan Pendewasaan: 1912-1961):
Periode ini ditandai dengan berlangsungnya perubahan-perubahan umum
di wilayah Sumatera Utara di mana keadaan ini mempercepat lahirnya
suatu dunia baru. “Dunia baru” inilah yang mempengaruhi keadaan
perkembangan gereja-gereja pada umumnya di Sumatera Utara dan di
tanah Batak khususnya.
c. Periode III (Periode persiapan memasuki Era Modern: 1962-sekarang):
Periode yang penuh harapan dan tantangan menyongsong era modern
dan globalisasi.

9
PARADIGMA KEPEMIMPINAN
BATAK TOBA TRADISIONAL
(Suatu Pendekatan dari Sudut Sejarah
dan Antropologi Budaya Batak)
Pendahuluan
1. Melalui tema ini, hendak dijelaskan suatu hal mengenai: “Paradigma
Kepemimpinan Menurut Pandangan Batak Toba Tradisionil” (suatu
pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya Batak). Pada posisi
ini, penting bagi mahasiswa memahami secara mendalam inti tekanan tema
ini sebab mahasiswa dapat diharapkan mampu mengaktualisasikan diri di
tengah pelayanan. Mengingat gereja dan orang Kristen sekarang sedang
berada pada titik balik sejarah dunia (sejarah gereja) di mana banyak terjadi
perubahan yang memang nyata sulit dibayangkan beberapa decade yang
lalu. Gereja sedang menghadapi realitas dunia dengan fenomena baru yang
bergerak cepat dan sering disebut sebagai “Globalisasi”. Pada decade
terakhir ini, kecepatan globalisasi nyata sungguh luar biasa, kecepatan ini
didukung oleh liberalisasi ekonomi dan teknologi informasi yang demikian
canggih dan nyata sudah meruntuhkan banyak birokrasi dan batas-batas
Negara dan wilayah. Nilai-nilai positif dan negatif, ancaman dan peluang
datang silihberganti dan secara bersamaan dengan femomena dimaksud.
Sekarang tergantung kepada gereja (umat Kristen) umumnya, khususnya
kepada mereka yang dipercayakan pemimpin diharapkan dapat
mempergunakan keadaan ini untuk mendatangkan berkat dan kebaikan, atau
justru membiarkan perubahan berjalan begitu saja dengan konsekwensi akan
tergilas jaman.

2. Sejauh penelitian (dosen pengampu kuliah ini) dilakukan tentang teori-teori


kepemimpinan (pemerintahan), dan menurut para ahli sangat banyak teori
serta defenisi tentang pemimpin dan kepemimpinan. Hikmatnya, kalau
ditanyakan kepada mereka yang ahli dalam bidang ini, semuanya mungkin
menjawab melalui defenisi yang berbeda-beda. Contohnya Robert K.
Greenleaf,1 ia mengumpulkan pendapat para ahli dan mencoba
mendefenisikan kepemimpinan mengatakan bahwa: “kepemimpinan adalah
kapasitas dan kemauan mengarahkan orang untuk tujuan bersama dan
karakter yang mengilhami keyakinan”. Ada yang mengatakan bahwa seorang
pemimpin adalah “dia yang memahami dengan jelas apa yang dibutuhkan
dan apa yang benar dan mengetahui bagaimana menggerakkan orang yang
dipimpin dan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan berama”.
Selanjutnya dalam buku yang sama, Greenleaft mengutip pendapat Howard
1
Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey Into The Nature Of Legitimate
Power And Greatness (New York: Paulist Press: 1991) hl. 32-36

10
Gardner2 berkata: “seorang pemimpin adalah sebagai orang yang banyak
mempengaruhi pemikiran, sikap dan perasaan orang lain tentang sesuatu”.
Dikatakan juga bahwa kepemimpinan adalah “suatu kemampuan untuk
menggerakkan orang bekerjasama dengan entusiasme untuk mencapai
tujuan bersama”. Dari banyaknya defenisi tentang kepemimpinan dapat
dipahami bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tersendiri
atau kemampuan untuk mempergunakan sumber daya manusia dan sumber
daya lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam
sebuah organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya. Istilah
entusiasme di sini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki
kualitas khusus untuk mendorong atau memberi motifasi sehingga orang-
orang yang dipimpin dapat dengan semangat melakukan yang terbaik demi
tercapainya visi dan misi kepemimpinan. Pada akhirnya, dalam bukunya
Greenleaft3 menyarankan suatu model dan konsep dalam kepemimpinan
yang disebutnya sebagai: “Servant Leadership” (kepemimpinan hamba)
mengatakan bahwa “pemimpin hamba pertama-tama ia harus bertindak
sebagai hamba, itu dimulai dengan perasaan alamiah bahwa dia benar-benar
ingin untuk melayani kemudian dengan pilihan secara sadar akan menuntun
dia untuk ingin memimpin”.

3. Berhubung dengan uraian di atas, “bagaimana masyarakat Batak Tradisionil


dulu (sebelum jaman Belanda dan kekristenan) menerapkan bentuk dan gaya
kepemimpinan dan pemerintahan dalam masyarakatnya?” Inilah yang
menjadi pertanyaan dasar dan kokoh melalui studi tema ini, tentu adalah
tidak mudah menjawab dan menjelaskan ini. Mempertimbangkan pernyataan
para ahli4 di mana hampir semua menyimpulkan bahwa berhubungan dengan
system politik dan pemerintahan masyarakat Batak, bahwa: “orang Batak
dahulu (pada jaman tradisionilnya yakni sebelum masuknya kekristenan dan
sebelum berkuasanya kolonialisme Belanda) tidaklah mempunyai susunan
pemerintahan yang teratur dan tegas bidang-bidang kerajaan di Jawa seperti
Kediri, Singosari, Mataram, Mojopahit, dan lain sebagainya”. Hingga masa
penelitiannya, B. A. Simanjuntak,5 tidak yakin bahwa ada satu kerajaan yang
betul-betul seperti kerajaan-kerajaan di negeri Eropa pada abad pertengahan,

2
Greenleaft., Ibid
3
Greenleaft, Ibid
4
Lih. Prof. Bungaran A Simanjutak, Struktur social dan Sistem Politik Batak Toba
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) hl. 66. Buku ini awalnya merupakan sebuah Tesis B.
A. Simanjuntak untuk Instituut voor Culturele Atropologi di Leiden Belanda, yang bahan
penelitian topicnya sebelumnya telah dilakukannya antara tahun 1975-1976 sebelum penulis
kuliah di Post Graduate Anthropology Universitas Leiden Belanda (selesai 1978 ). Fokus
perhatian penulis dalam buku ini adalah perkembangan social budaya yang sangat cepat
dewasa ini telah menimbulkan banyak dampak terhadap pergaulan dan kehidupan social orang
Batak Toba, terutama yang hidup di desa-desa dan kabupaten Tapanuli. Perkembangan itu
sangat didasari sepenuhnya oleh pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan masyarakat yang
terbuka dan sangat cepat antar propinsi dan antar suku bangsa. Perubahan yang terjadi itu,
pula sangat berpengaruh kepada sturktur dan system social masyarakat Batak Toba secara
keseluruhan.
5
B.A. Simanjuntak, Ibid.

11
terdapat di tanah Batak. Kalau pun ada kerajaan yang dipimpin oleh
Sisingamangaraja, sifat dan bentuknya tidak seperti kerajaan-kerajaan di
Eropa maupun di Jawa. Pemerintahan di tanah Batak sebelum pengaruh
kekristenan dan Belanda, itu bercampurbaur antara organisasi formal dengan
adat istiadat yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan
“adat merupakan landasan pemerintahan”. Artinya bahwa bagi orang Batak
tradisionil pemerintahan masyarakatnya, itu dijalankan sebagai manifestasi
(sangat berhubungan integral) dari adat.6 Tekanan pokok yang hendak
disampaikan melalui penjelasan ini adalah bahwa: “sampai saat kedatangan
Belanda (juga sampai sebelum kedatangan kekristenan) ke Tanah Batak,
kecuali untuk pembayaran upeti kepada colonial, tidaklah terdapat keterikatan
orang Batak terhadap bangsa-bangsa tetangganya secara hierarkis”. 7
Artinya, ke enam suku Batak, masing-masing tidaklah dipimpin oleh satu
system pemerintahan dan kekuasaan yang menganyomi seluruh wilayahnya
maupun social kemasyarakatannya. Kekuasaan politik seorang pemimpin
bagi secara umum suku Batak, hanya berlaku dan terbatas pada marga
dalam masing-masing (tidak kepada semua anggota kelompok satu suku)
suku, termasuk: “raja-imam Batak Sisingamangaraja”. Pernyataan ini
semakin jelas melalui pernyataan Lance Castle mengungkapkan bahwa:
“sebelum masa colonial Belanda, masyarakat Batak (Toba) hampir tidak
mengenal Negara”.8 Penjelasan inilah yang mengilhami sangat kuat motivasi
penulis melakukan studi ini sekaligus merumuskan judul seperti diuraikan di
atas. Penulis sadar betul bahwa penelitian dan penjelasan tema ini masih
belum representative menguraikan dan menjelaskan konsep kepemimpinan
Batak Toba secara detail seperti dijelaskan di atas. Tulisan ini hanya sebagai
6
Masyarakat Toba pra-kolonial, tidak memiliki (mengenal) konsep Negara dan organisasi politik
dasarnya terdiri dari desa-desa kecil. Desa-desa kecil ini diperintah oleh masing-masing raja
(pemimpin) yang sebenarnya merdeka, meski pun mereka merupakan bagian dari jaringan
yang kompleks dengan desa-desa yang lain berdasarkan hubungan dan keanggotaan marga
dalam komunitas-komunitas pemujaan yang lebih besar (bius). Lih. Johan Hasselgren, Batak
Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak toba di Medan, 1912-1965
(Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 68
7
J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1992) hl. 15. Dengan mengutip
pendapat J. Tiedeman, mengakatakan bahwa: “kehadiran Raja na Opat tidak
memberi/membawa perubahan yang nyata dalam tata tertib social suku bangsa Batak”.
Seperti: a). Untuk Simalungun disebut: “Raja na Opat”, yaitu keempat raja (di Silo, Pane,
Siantar, dan Tanah Jawa). b). Di kalangan suku Batak Toba di daerah Toba dan Silindung
terdapat lembaga “Raja na Opat”, di mana Raja na Opat memperoleh gelarnya dari seorang
pembesar adat di Barus, yang beragama Islam dan yang konon adalah keturunan
Minangkabau. Raja na Opat di Silindung menyandang gelar: Rangkae Tua (yakni di tengah
marga Sitompul, Panggabean, Hutabarat dan Sisangkal), Baginda Hulana (di tengah marga
Hutabarat Partali dan Hutabarat Parbaju), Raja Ilamuda (di tengah marga Hutauruk, Situmeang
dan Simanungkalit) dan Bagot Sinta (di tengah marga Hutapea, Lumbantobing dan
Hutagalung). Ke empat Raja na Opat di Silindung merupakan “Raja bawahan” dari raja-Imam
Sisingamangaraja.
8
Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-1940
(Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia: KPG, 2001) hl., 6. Penduduk tinggal di kampung-
kampung yang disebut huta di mana huta dipimpin oleh yang disebut sebagai “raja ni huta”
yang adalah pendiri kampung atau para keturunannya. Penghuni kampung tidak tunduk secara
politis kepada otoritas yang lebih tinggi.

12
usaha dari seorang Pelayan (Pendeta) yang sedang studi dan berusaha
belajar, bertanya dan menggumuli dan lain sebagainya tentang: “Paradigma
Kepemimpinan Tradisionil Batak Toba”. Penulis berharap, akhirnya tulisan ini
dapat menjadi representative sebagai bahan bacaan bila pembaca
memberikan kritik (dukungan) dan kontribusi (sumbangan) pikiran yang tentu
membangun wacana penulis tentang makna filosofi budaya Batak Toba
tentang kepemimpinan. Sengaja sub judul tema ini dirumuskan dengan:
“Sebuah pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya (Batak
Toba)” di mana melalui pendekatan ini, penulis berharap dapat dengan
mudah mensystematisasi sekaligus mengelompokkan identitas (pokok-pokok
pikiran secara tematis) dan menekankan maksud uraian tema ini menurut
tujuan yang hendak dicapai oleh penulis sendiri.

Selayang Pandang Tentang Batak Toba Tradisionil


4. Secara ginealogis-antropologis, ada enam (cabang) suku yang mendiami
wilayah daratan bagian Utara dan Barat Laut Pulau Sumatera di mana ke
enam suku itu disebut sebagai suku “Batak”. Ke enam suku itu yakni: “Karo,
Pakfak/Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing” yang masing-
masing (cabang) suku ini memiliki dialek (bahasa) tersendiri. Hingga
pertengahan abad 19 (sebelum tahun 1850-an), semuanya masih sangat sulit
menerima pengaruh-pengaruh budaya dari luar baik secara antropologis
maupun cultural9. Artinya, masing-masing suku masih sangat tertutup satu
sama lainnya namun sifat tertutup ini mulai terbuka setelah berlangsungnya
penyerbuan dan pendudukan Islam di bagian Selatan daerah Batak (pada
tahun 1830-an) yang kemudian disusul dengan masuknya Reinse Zending
(Rheinische Missionsgesellschaft: RMG) sebuah badan penginjilan dari
Jerman. Jauh sebelumnya, Hindu telah berpengaruh kepada system struktur
social dan hukum Batak. Untuk membuktikan pengaruh Hindu terhadap
sturktur social dan hukum Batak, J. Tiedeman dan Harry Parkin masing-
masing telah menulis buku berjudul “Pengaruh Hindu di Bagian Utara Tanah
Batak/Hindoe Invloed in Noordelijk Batakland”, buku ini telah diterbitkan tahun
1936 di Amsterdam Belanda. Buku kedua ditulis Harry Parkin berjudul
“Pengaruh Hindu Kepada Kehidupan Batak/Batak Fruit of Hindu Thought”.
Menurut Bisuk Siahaan10, agaknya buku Harry Parkinlah yang lebih

9
Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM,
1996) hl., 1-2. Penjelasan ini didukung oleh J.R. Hutauruk, mengatakan: “suku-suku Batak
yang temasuk rumpun Melayu-Purba, hingga sekitar tahun 1825 tidaklah beragama Hindu,
Islam dan Kristen dan tidak tuntuk kepada suatu penguasa jajahan”. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan social budaya yang mereka alami setelah 1825 sangat ditentukan
oleh kehadiran bangsa-bangsa tetangganya yang beragama Islam (suku-suku Aceh di
Sumatera Utara, suku Melayu dari Sumatera Timur dan Minangkabau dari Sumatera Barat).
Kemudian berlangsung pengaruh agama Kristen melalui ekspansi perekonomian dan
pemerintahan Eropa. Lih. J.R. Hutauruk, Op.Cit., hl. 10-11
10
Lihat, Bisuk Siahaan, Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu (Jakarta:
Kempala Foundation, 2005) hl. 43-44. Kesimpulan yang dibuat oleh Bisuk Siahaan terhadap
pengaruh Hindu kepada masyarakat Batak tradisionil adalah “pengaruh Hindu hanya terbatas
pada ilmu perbintangan, pengetahuan dukun, ilmu meramal, dan tulisan. Sedangkan
mengenai kepercayaan, falsapah, pandangan hidup Batak” tidak lebih jauh dipengaruhi oleh

13
mendalam dari sudut penguraiannya sebab Parkin menjelaskan persamaan
dan perbedaan antara kebudayaan dan kepercayaan Batak Toba dengan
orang Tamil yang berasal dari India Selatan. Menurut Parkin, 11 ada lima belas
kemungkinan diperkirakan dapat mempengaruhi Budaya, cara hidup dan
kepercayaan Batak, yakni: pengaruh pemukiman orang Tamil di Lobu Tua
Barus; bahasa Sanskerta dalam perbedandaharaan kata Batak Toba;
Pustaha dan tulisan Batak; kalender dan astrologi; biara dan candi Budha-
Hindu di Padang Lawas; kerajaan Hindu di tanah Jawa Simalungun; budaya
megalit dan sarkofagus; agama dan kepercayaan; konsep Debata Mula Jadi
Na Bolon; Debata Na Tolu; Roh alam; Desa Na Ualu; Bindu Matoga; Hariara
Jambu Barus”.

J.R. Hutauruk mengatakan12: “berkenaan dengan masa hingga sebelum


tahun 1825 tidak dapat disebutkan bahwa ada suku-suku Batak yang tunggal
di mana keanekaragaman dialek Batak sangat mengisayaratkan keterasingan
mereka satu dengan yang lain dan tidak terdapat sama sekali pengaruh Islam
dan Barat di dalamnya”. Bila mulai abad ke-13, melalui perdagangan dan
agama Islam telah “meraih” suku bangsa Aceh, Minangkabau dan Melayu,
maka disebabkan oleh kepentingan ekonomis dan politis berhadapan dengan
suku-suku tetangganya, kaum Batak, maka terjadilah hubungan yang
mengakibatkan orientasi keagamaan dan politis yang baru bagi kaum suku
Batak. Untuk suku Karo misalnya, bagi yang bermukim di Dusun lama:
kelamaan terpengaruh oleh kesultanan Islam-Melayu di Langkat, Deli dan
Serdang, sedangkan yang bermukim di pegunungan tetap bebas dari
pengaruh Islam. Hal serupa terjadi bagi suku Simalungun di daerah
Simalungun Hilir, khususnya di Pematangsiantar dan Bandar terdapat
beberapa orang Melayu Islam. Hingga 1902, beberapa pembesar suku sudah
memeluk Islam sebelum permulaan penjajahan Belanda di Simalungun,
misalnya raja Pematangsiantar. Untuk kalangan Batak Toba, yang menandai
perubahan terjadi ialah penyesuaiannya dengan kebudayaan Melayu di
Sumatera Timur (Asahan) sebagai akibat hubungan perniagaan dengan para
saudagar dan dengan Sultan-sultan Melayu. Selanjutnya, pengaruh Islam
dari Sumatera Barat tidak sebesar yang masuk dari daerah pantai Timur,
hanya dapat dikatakan bahwa hingga tahun 1825 pelabuhan Sibolga sudah
didominasi oleh orang Batak Toba. Namun tahun 1852, orang Batak Toba
mulai mundur ke daratan tinggi walau Sibolga tetap merupakan pusat penting
untuk perdagangan orang Batak Toba dengan Melayu Islam. Ke Selatan dari
daerah pemukiman Batak Toba, terdapat pemukiman suku Batak Angkola
dan Mandailing. Oleh kaum ilmuwan tidak diragukan bahwa mereka adalah
keturunan suku Batak Toba. Karena hidup bertetangga dengan kaum Islam
Minangkabau, sebelum tahun 1820 mereka juga terkena pengaruh agama
Islam.

Hindu.
11
Ibid., hl. 45
12
J.R. Hutauruk, Ibid., hl. 11

14
Sistem Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak Toba Tradisionil
5. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas (pada poin dua 2), DJ. Gultom
Rajamarpodang13 menekankan bahwa: “system pemerintahan Harajaon
Batak Toba pada masa yang lalu, ini tidak boleh dibandingkan dengan
system pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara
dipimpin oleh seorang Kepala Negara”. Namun untuk menjelaskan system
pemerintahan Batak Toba Tradisionil, penting diingat bahwa menurut
keyakinan Batak tradisionil: “Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga)”14 adalah
merupakan penerapan kuasa Mulajadi Na Bolon di bumi ini. Wujud pancaran
kuasa Mulajadi Na Bolon ini nyata pada paham yang dianut sebagai:
pertama, Debata Na Tolu pada fungsi kebijakan. Kedua, Batara Guru pada
fungsi kebenaran dan kesucian. Ketiga, Debatasori Sohaliapan/
Debatabalabulan pada fungsi kekuatan. Orang Batak yakin bahwa setiap
pemimpin Batak Toba sejak dari Siraja Batak sampai dengan
Sisingamangaraja XII semuanya merupakan titisan Mulajadi Na Bolon.
Keyakinan inilah yang membuat maka setiap pemimpin Harajaon Batak
menjadi kepala pemerintahan, pemimpin ugamo sekaligus Raja Adat. Hal ini
jelas kelihatan ketika Raja Sisingamangaraja XII memimpin Harajaon Batak.15
Inilah yang mempengaruhi raja-raja Batak sejak dahulu tidak mendirikan
istananya karena istananya sendiri adalah rakyatnya sendiri. 16 Sejak
munculnya Siraja Batak (sebagai asal/nenek moyang semua orang Batak), ia
terlebih dahulu mengkonsolidasikan pemerintahannya untuk melanjutkan
kuasa kerajaan Batak dengan terlebih dahulu menanamkan kesadaran
berbangsa dan bernegara dengan penanaman pandangan ideal Dalihan Na
Tolu sesuai dengan pandangan kepercayaan Batak terhadap Mula Jadi
Nabolon. Siraja Batak adalah kepala Negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan, pemimpin keagamaan dan Raja Adat. Karena pemerintahan
belum dapat dijalankan sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala Negara

13
DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan: CV.
Armada, 1992) hl. 422.
14
Lih. Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., 52-53. Arti harafiah “Dalihan Na Tolu”: Tungku Yang
Tiga Batu-nya” (tungku yang disanggah oleh tiga batu). Tungku adalah alat memasak. Orang
Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang tiga batunya sebagai lambing
struktur social masyarakatnya. Artinya ada tiga golongan penting dalam struktur social
masyarakat Batak, yakni: hula-hula (kelompok marga pemberi isteri), boru (kelompok marga
penerima isteri), dan dongan sabutuha/dongan tubu (kelompok marga yang satu asal
perut/satu nenek moyang/satu marga). Lih. Juga: B. A. Simanjuntak, Op.cit., hl. 100
15
Op.Cit., 420. Orang Batak tradisionil yakin bahwa awalnya Siraja Batak berpusat di Pusuk
Buhit yang kemudian pindah ke Bakkara pada Dynasti Raja Sisingamangaraja. Harajaon
Batak tradisionil terbagi atas empat wilayah dan wilayah-wilayah inilah yang disebut sebagai
Raja Maropat yang masing-masing wilayah meliputi: Raja Maropat Samosir dengan daerah
Pulau Samosir dan sekitarnya. Raja Maropat Humbang dengan wilayah daerah Humbang
hingga ke Samudera Hindia dan Aceh Selatan (Singkil). Raja Maropat Silindung dengan
wilayah Silindung sekarang sampai Samudera Hindia dan perbatasan Pagaruyung. Raja
maropat Toba dengan wilayah Toba sekarang hingga ke pantai Timur perbatasan dengan
Riau (Kerajaan Johor).
16
Ibid., hl. 421. Jika pada uraian penelitian ini dibicarakan system pemerintahan Batak Toba,
maksudnya adalah bahwa dalam system kemasayarakatan Batak Toba hal inilah yang terus
hidup di dalam bentuk budaya.

15
maka jalan satu-satunya yang ditempuh adalah dengan menyatukan
masyarakatnya dengan keagamaan dengan adat istiadat. Keagamaan dan
adat istiadat sudah dapat dijalankan dengan baik, tetapi dalam hal
pemerintahan belum terlaksana dengan sempurna dalam pengertian yang
sebenarnya menurut hukum ketatanegaraan. Sementara itu nyata bahwa
sudah datang pula paham-paham baru yang mempengaruhi pandangan
masyarakat Batak. Pada pemerintahan Raja Sisingamangaraja, paham-
paham baru itu dihadapi dengan landasan keyakinan yang sudah menjadi
hayat masyarakatnya. Dalam hal ini pemimpin-pemimpin Batak sudah
berhasil, tetapi bagi perwujudan pemerintahan sesuai dengan
ketatanegaraan masih jauh dari pada tujuan. Pada tahap ini juga masih ada
yang mengatakan bahwa Sisingamangaraja bukanlah Raja Batak, tetapi
adalah seorang pemimpin Batak yang dapat memimpin masyarakat Batak.
Oleh sebab itu, ciri pemerintahan yang dominan nampak pada pemerintahan
Batak tradisionil adalah sebagai: “perpaduan antara pimpinan pemerintahan
dengan pimpinan keagamaan dan pimpinan adat 17”. Menegaskan hikmat
pernyataan ini, Bisuk Siahaan18 mengatakan: “hampir di semua tempat di
Toba dapat ditemukan mata rantai yang menghubungkan antara marga dan
huta, antara kelompok suku dan daerah asalnya. Hubungan tersebut tidak
selalu jelas terlihat dan tidak mempunyai tanda-tanda yang mudah dikenal.
Terdapat tiga factor utama yang mengikat penduduk sehingga bersedia
tinggal di suatu tempat yaitu, kesilsilahan, kesamaan agama kepercayaan
dan wilayah tempat tinggal yang sama”. Ikatan yang paling menonjol adalah
kesamaan silsilah dan kedua agama. Daya pengikat yang dianggap lebih
longgar dan tidak sekuat factor kekerabatan dan agama. Dalam tiga unsur
identitas yang sangat berpadu inilah pokok penelitian ini diarahkan guna
menjelaskan system pemerintahan (kepemimpinan) pada masyarakat
tradisionil Batak Toba, di mana itu nampak pada apa yang di dalam system
struktur masyarakat Batak Toba disebut sebagai Bius, Horja dan Huta.

Bius
6. Bius adalah struktur wilayah dari system pemerintahan Harajaon Batak
dengan wilayah tertentu dan mempunyai rakyat serta pemerintahan. Bius
adalah tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dalam masyarakat Batak
Toba dan pemerintahan Bius sangat bersatu dengan ugamo dan adat.
Wilayah Bius terdiri dari beberapa Horja. Kepala dan pimpinan Bius disebut
sebagai Raja Doli. Bius merupakan kesatuan pemujaan sombaon maksudnya
banyaknya masalah yang tidak dapat ditangani oleh horja karena berada di
luar kemampuannya (seperti musim kering yang sangat panjang, penyakit
kolera yang mewabah, masa panceklik dan panen yang gagal dan lain
sebagainya). Untuk memohon belas kasihan serta perlindungan maka
penduduk membentuk kelompok yang beranggotakan semua marga yang
tinggal diwilayah yang tertimpa bencana. Persekutuan inilah yang disebut
sebagai Bius. Jelasnya, Bius merupakan gabungan beberapa horja yang

17
Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., hl. 453
18
Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 153.

16
terdapat dalam satu kesatuan territorial yang memiliki identitas social tertentu.
Marga-marga yang menjadi anggota suatu Bius memiliki wilayah yang
berbeda. Karena itu mereka merasa bahwa sombaon yang terdapat di
wilayah mereka harus dipuja secara bersama-sama, supaya dewata dapat
memberi beri berkat dan ketenteraman di antara mereka. 19 Pusat kegiatan
Bius disebut dengan Parbiusan (tempat persidangan raja-raja Bius). Raja-raja
Bius adalah Partuho Mangajana yaitu rumpun keluarga sesuai dengan hikmat
kebijaksanaan yang dimiliki berdasarkan kelahiran (partubu). Dalam
mekanisme pengambilan keputusan rapat, apa yang menjadi keputusan raja-
raja Bius adalah sah dan mutlak menjadi keputusan rumpun keluarga yang
diwakilinya dan apa yang disetujui mereka adalah menjadi persetujuan dari
rumpun keluarga. Untuk merencanakan dan menata pembangunan demi
kesejahteraan rakyat Bius, Raja-raja Bius memilih Raja Na Opat Bius20 sesuai
dengan keahliannya berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang
kepercayaan rakyat Bius. Menurut fungsinya, Raja-raja Bius (dari sudut
keberadaannya) berasal dari Raja Jolo-Raja Jolo marga dan dapat diwakili
anak sibulang-bulangan marga. Raja Bius adalah wakil-wakil dari Horja. Raja-
raja Bius inilah sering disebut Partuho Mangajana yaitu pemilik hikmat
kebijaksanaan masyarakat umum sesuai dengan masing-masing marga.
Masing-masing Raja Bius memilih Uluan melalui masyarakat Horja. Uluan
adalah pemimpin pelaksana dari satu-satu Horja dari kesatuan marga pada
Lumban (beberapa Huta). System kemasyarakatan Lumban (Huta) adalah
Dalihan Natolu. Fungsi kekerabatan Dalihan Na Tolu sangat berperan bagi
setiap pelaksanaan kegiatan. Raja-raja Bius berfungsi sebagai wakil rakyat
dan menjadi penyelenggara pemerintahan yang dipercayakan kepada Raja
Na Opat Bius. Uluan sebagai pelaksana pada Horja menugasi para Parhobas
sesuai dengan kemampuannya. Raja-raja Na Opat Bius membuat rencana
rutin tahunan program kegiatan untuk dilaksanakan Uluan Horja tiap
tahunnya. Kedudukan Ihutan adalah untuk mengayomi program. Raja-raja
Bius di dalam kesepakatan pada Mangajana (sidang umum) menetapkan
semua hal yang berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat Bius,
misalnya untuk perburuan demikian dalam hal perikanan termasuk semua
bentuk gotongroyong. Semua perintah dari Harajaon Batak disampaikan
kepada Ihutan melalui Raja Maropat dan diteruskan ke Bius. Semua perintah
itu dilaksanakan dengan konsekwen dan dirasakan oleh masyarakat apabila
perintah (tona) tidak dilaksanakan akan mendatangkan bala. Rencana dan
program dari Ihutan, terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Raja-raja
Bius, baru dapat dijalankan oleh Raja Na Opat Bius atas nama Raja-raja

19
B.A. Simanjuntak, Op.Cit., hal. 186
20
Keempat Raja Na Opat Bius ini dapat disebutkan yakni: Pertama, Raja Adat berfungsi
merencanakan dan menata mengenai uhum/hukum dan adat. Kedua, Raja Parbaringin
berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang social politik dan keamanan Bius.
Ketiga, Raja Bondar berfungsi merencanakan dan menata mengenai perekonomian Bius.
Keempat, Pimpinan Bius yang disebut “Ulu Bius” dipilih Raja-raja Bius. Ulu Bius ini pada
mulanya disebut Ihutan karena fungsinya serupa dengan Primus Interpares yang dituakan
sesama mereka dan kemudian berkembang menjadi raja adat, pimpinan keagamaan dan
pimpinan pemerintahan.

17
Bius. Perihal rencana dan Program rutin yang disepekati raja-raja Bius,
Ihutan dalam hal ini adalah untuk mengayomi. Yang menyangkut hukum, baik
yang menyangkut perdata maupun pidana (termasuk adat) ada di tangan
Raja-raja Bius setelah mendengar Panimbangi dan Ihutan. Kuasa menyetujui
dan untuk melaksanakan suatu ketetapan berada di tangan Raja-raja Bius.
Ihutan juga mempunyai peranan karena ia dipandang pemilik hikmat
kebijaksanaan karena kedudukannya. Bagi masyarakat Batak Toba ikatan
yang paling mendasar bagi pengembanan aspek hukum, ini dilihat dari segi
kerohanian dan dianggap ritual. Sulit bagi masyarakat Toba mengingkari
perintah dari Ihutan termasuk perintah dari Raja-raja Bius, setiap perjanjian
baik berbentuk tulisan maupun lisan, ini sangat kuat dan sulit dibedakan
nilainya. Ungakapan Batak Toba mengatakan “Hori ihot ni doton, hata
siingoton” artinya bahwa: “kata-kata sangat mahal harganya”. Kuasa Bius, ini
didelegasikan kepada Raja Na Opat Bius yang meneruskan ke Uluan Horja
dan seterusnya kepada Raja Jolo Lumban sampai Tunggane Huta dari Huta.
Dalam hal rapat ketua sidang Bius adalah seorang dari Raja Doli21, tetapi
harus dari marga siahaan (marga yang tertua) dan yang terpilih menjadi
ketua dan dinamakan sebagai raja bolon (raja besar, raja mulia). Salah satu
bukti bahwa Bius tergolong organisasi wilayah yang menyangkut soal-soal
pemerintahan yaitu bahwa setiap keputusan Bius tidak bisa dibantah maupun
dibandingkan sebab tidak ada lagi organisasi yang lebih tinggi dari Bius.
Kalau seseorang tidak menerima keputusan rapat Bius, maka satu-satunya
jalan adalah melakukan perang yang dinamakan manguji (mencoba) antara
orang yang diadili di pengadilan Bius.

Horja
7. Pengertian Horja dalam masyarakat Batak Toba bermacam-macam. Ada
yang memahami sebagai pesta yang dilakukan oleh salah satu cabang
marga yang telah beratus tahun mendiami satu wilayah tertentu (pesta
sahorja). Kalau dihubungkan dengan upacara yang berbau keagamaan kuno,
maka sahorja horbo, berarti satu pesta memotong kerbau. Pengertian lain
dari Horja adalah satu kelompok cabang marga yang didasarkan kesatuan
memakan daging dari perkawinan boru (sahorja mangan tuhor ni boru-
sepesta makan tuhor boru). Di daerah Humbang, Horja diartikan sebagai
wilayah tertentu yang dihuni oleh satu marga saja. Di Tapanuli Selatan Horja
diartikan sebagai Luat (wilayah, tempat). B.A. Simanjutak22 memberikan
defenisi Horja sebagai yang menguasai hukum pertanahan adat yang dalam
hal ini Horja sebagai wilayah marga atau territorial marga. Horja adalah

21
Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 159. Seorang Raja Doli biasanya adalah seorang yang paling
kaya, paling pintar dan paling berani,mampu bertindak dan bijaksana. Jabatan Raja Doli bisa
diwariskan. Ada kalanya seseorang bisa mengangkat diri sebagai Raja Doli, dia bersama
pengikutnya menentang Raja Doli yang ada, sehinggaterjadi percekcokan hingga akhirnya
dapat menyulut perang saudara. Tugas utama Raja Doli adalah mendamaikan perselisihan
yang timbul dalam Bius,menjalankan ketentuan dan peraturan untuk pepentingan umum,
misalnyamemasang saluran air, melakukan pengamanan bersama bahkan memaklumkan
perang.
22
B.A. Simanjuntak., Op.Cit., hl. 180

18
struktur dan organisasi wilayah yang terdiri dari beberapa wilayah Huta, di
mana kepala/pimpinan Horja dinamakan sebagai Raja Parjolo (raja terdepan)
yang didampingi oleh beberapa Raja Partahi (raja perencana). Dalam
masyarakat Batak, pesta horja hanya dilaksanakan oleh mereka yang
semarga. Bisuk Siahaan23 mendefesnisikan horja sebagai sebuah federasi
atau persekutuan bersama yang dibentuk oleh bebrapa kampung (huta) dan
sifat persekutuan itu adalah otonom. Fererasi huta yang disebut sebagai
horja hampir selalu memiliki kampung induk. Horja merupakan unit yang
masing-masing terikat satu dengan yang lain secara kesilsilahan, meskipun di
antaranya terselip maraga-marga lain yang sudah dianggap sebagai anggota
keluarga. Horja berhak mengikat janji dengan horja lain, misalnya untuk
kepentingan bersama antara lain pertahanan. Awalnya, federasi horja adalah
masyarakat kurban, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi masyarakat
hukum, yang secara langsung mengurus kepentingan duniawi warganya.
Lebih jelas uraian Bisuk Siahaan24 mengenai Horja mengatakan bahwa
menurut tugasnya, Raja Parjolo sebagai pimpinan Horja, ia berhak
menyatakan perang dan mengatur pekerjaan pekerjaan besar yang ada
kaitannya dengan kepentingan anggota. Dan juga mengatur persiapan horja
rea25 (pesta persembahan besar) dan membawakan doa-doa ritual
(martonggo) walau pemimpin upacara martonggo tetap ada pada
parbaringin.26 Tugas dan wewenang parbaringin dalam ritual keagamaan
adalah mempersembahkan kurban kepada “Debata Mula Jadi Na Bolon,
sombaon dan roh leluhur”. Selama menjalankan tugasnya parbaringin harus
menyisipkan ranting beringin di serbannya, inilah sebagai simbol mengapa ia
disebut parbaringin (parsanggul beringin).

Huta
8. Wilayah huta bagi orang Batak secara umum berarti kampung. J.C.
Vergouwen27, mendefenisikan makna Huta (kampung) bagi orang Batak Toba
sebagai: “ sebuah dunia kecil yang tertutup, satu kesatuan yang hidup dan
terdiri dari sekelompok kecil orang yang terikat satu sama lain secara alami,
dan sudah lama hidup di tempat ini, tempat anak-anak mereka lahir, tempat
yang diharapkan menjadi kuburan mereka sendiri”. Ciri yang menonjol dari

23
Bisuk Siahaan., Op.Cit. hl. 154
24
Bisuk,., Ibid., 156-157
25
Biasanya pesta jenis ini dilakukan adalah untuk memohon kepada leluhur supaya panen
diberkati, menangkal penyakit menular yang sedang melanda daerah horja atau memohon
kepada leluhur atau dewata supaya mengaruniakan keturunan kepada pasangan yang sudah
lama menantinya.
26
Parbaringin berasal dari garis tertua marga cabang, jabatan ini dapat diwariskan. Cara
mewariskan jabatan parbaringin dilakukan sebagai berikut: Raja Parjolo, Raja Huta,
pengetua masyarakat dan Raja Na Mora berkumpul bermusyawarah untuk menunjuk dan
menetapkan seorang dari turunan parbaringin sebagai pewaris. Penunjukan ini diumumkan
pada pesta pasampehon (menerima masuk ke dalam lingkungan parbaringin) yang dihadiri
semua parbaringin. Pada acara tersebut parbaringin mengucapkan tonggo-tonggo kemudian
melakukan tari wajib. Bisuk Siahaan, Op.cit., hl. 159
27
Lih. J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pusata Azet,
1985) hl. 119

19
umumnya huta (kampung) orang Batak, umumnya dikelilingi oleh parik
(tembok yang terbuat dari tanah atau batu) yang tingginya sampai dua meter
dan lebar satu meter. Keliling huta (tembok) biasanya selalu ditanami oleh
pohon bambu duri yang gunanya sebagai benteng untuk melindungi huta dari
serangan musuh.28 Huta merupakan tempat tinggal dari orang Batak yang
berasal dari satu nenek moyang (satu ompu) dengan atau tanpa boru. Marga
pendiri huta disebut marga raja (marga tano). Marga-marga lain yang tinggal
di huta dinamakan marga boru, mereka ini tidak mempunyai hak atas tanah.
Huta didirikan oleh satu marga raja dan di dalam setiap huta Batak terdapat
raja huta yaitu seorang dari pendiri huta. Raja huta didampingi oleh pandua
(orang kedua, wakil) serta seorang dari boru yang ikut bersama dengan
marga raja. Bila satu Huta sudah dianggap padat, orang mengatasinya
dengan mendirikan huta baru yang kemudian disebut sosor/pagaran. Alasan
lain mendirikan huta karena ada pertentangan atau perkelahian di antara
penghuni sebelumnya. Demikian dengan keinginan untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik atau karena ingin mandiri (manjae) dan memiliki
kerajaan sendiri bebas dari kekuasan huta induk.29 Menurut Tampubolon30
selanjutnya bahwa sejak penjajahan Belanda menguasai tanah Batak dan
membawa struktur pemerintahan baru serta menerapkannya di kalangan
masyarakat Batak, maka pembukaan huta-huta baru semakin besar sebab
keinginan untuk memperoleh jabatan kepala kampung yang disebut
Hampung (dibaca: happung). Soal kepemimpian huta sesuai penelitian ini
dapat ditegaskan bahwa kepemimpinan huta diwariskan dari nenek moyang
kepada anak cucu, artinya kepemimpinan huta harus tetap di tangan marga
raja (pendiri kampung). Raja huta mengurus segala keperluan di huta secara
musyawarah dengan saudara-saudaranya serta boru termasuk mengatur
pendirian rumah di dalam huta juga menghukum orang yang membuat
keonaran. Raja huta berhak penuh dan mutlak mengatur hutanya dan
biasanya pola pemerintahan huta bagi orang Batak ini sangat otonom.31

9. Dalam system pemerintahan Harajaon Batak, system kepemimpinan


sebenarnya dimulai dari huta yang dipimpin oleh Raja32 Huta/Tunggane Huta
(Tetua kampung) yang didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Keluarga
berdasarkan kekerabatan Dalihan Na Tolu. Kemudian, ke tingkatan yang
lebih atas adalah Lumban yang dipimpin oleh Raja Jolo Marga Lumban dan
didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Marga Lumban berdasarkan
kekerabatan keluarga Dalihan Na Tolu. Vergouwen33 mengatakan: “hak
28
Lih. B. A. Simanjuntak, Op.Cit., hl. 165
29
I. Tampubolon, Adat mendirikan Huta/Kampung (Medan: Percetakan Philemon Siregar,
1968) hl. 7
30
Marmanuk ni ampang maksudnya: upacara magis, sesekor ayam dipotong dimasukkan
ke dalam ampang kemudian dilihat ketak ayam mati tersebut di dalam denah peta magis
yang sudah disediakan.
31
Ibid.
32
Penting juga ditekankan bahwa pengertian raja bagi orang Batak sejak lama sangat
mendasar pada realisasi pengembanan tanggungjawab (bukan sebagai kepala
pemerintahan).
33
Vergouwen, Op.Cit., hl. 126

20
memerintah di huta (harajaon) adalah hak bersama (hatopan) setiap
keturunan patrilinear langsung sipendiri”. Walau menurut peraturan hukum
hak itu dipangku oleh satu orang dan mungkin hanya terbatas pada
cabangnya, keturunan lain pendiri mendapat manfaat juga dari padanya.
Mereka tidak boleh diusir dari kampung (pabilhon) dan mempunyai hak yang
tidak boleh diganggu gugat untuk masuk dan bertempat tinggal di dalamnya
jika mereka menghendaki demikian. Jadi harajaon adalah semata-mata hak
istimewa galur keturunan raja, bukan hak dari galur yang lebih besar atau dari
marga yang menjadi batang tubuhnya. Di masing-masing huta di wilayah
harajaon Batak, sebutan untuk raja huta nampak berbeda. Di Samosir raja
huta disebut sebagai tunggane huta (tetua kampung). Di tempat lain kadang-
kadang dipanggil sebagai siboan bunti (pembawa persembahan). Sebagai
siboan bunti dialah yang bertugas atas pengelolaan kampung dan penegakan
hukum serta ketertiban dan displin. Dia merupakan keturunan patrilinear
pendiri kampung yang menjadi raja huta pertama. Jabatan ini, jika mungkin
diturunkan dari bapak ke anak atau kepada uaris (ahli waris). Jaman
tradisionil Batak, dari kepala kampung dituntut satu kwalitas yang lebih
banyak sebab pekerjaan kepala kampung sama aneka ragamnya dengan
banyaknya aspek kehidupan kampung.

Tugas-tugas ini dapat diuraikan sebagai berikut34:


a). Bertanggungjawab atas pemeliharaan pelataran kampung dan
temboknya, ia mengatur agar baris rumah-rumah lurus sambil
menjalankan pengawasan atas tanah kampung.
b). Memutuskan apakah sebuah kebun kecil mesti ditiadakan untuk memberi
tempat kepada rumah baru, ataukah tetap saja begitu, ia membimbing
perilaku hukum warga dan membantunya jika ada tuntutan terhadap
siapapun juga atau dalam hal sipeminjam uang membuat terlalu banyak
kesulitan kepadanya.
c). Membimbing perundingan pertunangan jika putera-puteri mereka akan
kawin.

34
Ibid. Di Silindung, galur besar atau cabang-cabang marga mengelompok di sekeliling raja
jungjungan yang kuat. Wewenangnya adalah ia sebagai seorang kepala yang berhasil
membuat dirinya dihormati oleh kelompok silsilah yang lebih besar yang ke dalamnya ia
terbilang. Ia menangani terutama soal soal yang berkaitan dengan keamanan dan perang
dan juga dengan urusan “dalam negeri wilayah”. Dalam hal mempertimbangkan sesuatu dia
dibantu oleh raja partahi (penasehat) yang biasanya kepala cabang-cabang yang menjadi
komponennya. Tetapi jika seseorang yang tadinya merupakan tokoh kuat kehilangan
pengaruh dalam urusan wilayah, atau jika pertumbuhan cabang yang ke dalamnya dia
termasuk lebih kecil dari pada yang lain di dalam kelompok yang lebiih besar maka
persaingan orang antara sesama dan pertandingan sesama galur yang lebih kecil akan
segera muncul ke permukaan dan wilayah yang tadinya menjadi unit yang perkasa bisa
terpecah ke dalam sempalan-sempalan marga yang saling cekcok. Di sini, kejadian historis
dan pribadi memainkan peranan penting walaupun efeknya bisa agak diredakan oleh
keinginan untuk memihak kepada cabang marga tertua (haha ni partubu juga disebut haha ni
harajaon). Hal seperti ini tidak hanya tedapat di Silindung melainkan juga di Humbang
Tengah dan Timur, atau di Muara, mungkin pula di daerah Sipaettua dekat Laguboti yang
keadaannya tidak terlalu beberbeda.

21
d). Dia mewakili kepentingan kampung dan kerabatan seketurunan jika
terlibat urusan dengan dunia luar. Walau pun dalam tahun-tahun
belakangan ini, agak terdesak ke belakang ia masih tetap sebagai
pembesar kampung yang menjalankan perintah dari pembesar yang lebih
atasan.
e). Bertanggungjawab atas penyelenggaraan peradilan. Penduduk kampung
harus menerima kepemimpinannya dan dibimbing olehnya dan sebagai
buktik harus menghormatinya dalam transaksi seperti perkawinan,
penjualan ternak, pelepasan tanah dan lain sebagainya dan menyerahkan
sesuatu sebagai penghormatan, upa raja. Dia pada pihaknya biasanya
memeinta pendapat bawahannya yang tua-tua (natua-tua atau pangituai).
f). Dari yang paling terkemuka di antara mereka ini (Na Mora Boru), orang
terpenting dari kalangan marga penumpang, ia menerima dukungan
secara teratur terutama jika soalnya menyangkut perbedaan pendapat
antara ia dan anggota galur seketurunan, namun kata terakhir ada
padanya.
g). Jika terpaksa ia dapat menggunakan kekuasaannya sebagai kepala, agar
perintah yang dikeluarkannya dipatuhi. Ia adalah pemerintah dan polisi
sekaligus dan di masa dulu dia kadang-kadang menenpatkan pasungan di
dekat rumahnya sehingga ia dapat mengendalikan penduduk yang tidak
mau tunduk dengan cara yang terhormat kepada perintahnya.

Sudah barang tentu hanya orang berwibawa yang lebih unggul dari penduduk
kampung dan yang kata-katanya tidak dianggap enteng yang bisa menjadi
kepala kampung yang sukses (yang ototritansya dirasakan). Intinya, bagi
persekutuan tradisionil Batak kedudukan kepala kampung sangatlah penting.
Dalam praktek kadang-kadang ia tidak mempunyai kesempatan yang banyak
untuk memperlihatkannya.

Struktur Sosial Batak Tradisionil


10. Dalam masyarakat Batak Toba unsur yang dapat menjelaskan struktur social
masyarakatnya adalah “struktur kekerabatan” dan “system perkawinan” serta
“dalihan na tolu”. Unsur-unsur ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Struktur kekerabatan.
Unsur pertama dalam struktur kekerabatan Batak adalah Marga. Orang
Batak mengenal marga dengan arti: “satu asal keturunan, satu nenek
moyang, sabutuha, artinya satu perut asal”. Karena orang Batak
menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal), maka dengan
sendirinya marga juga berdasarkan garis keturunan bapak. Sejarah
lahirnya marga ini didasarkan pada nenek moyang laki-laki. Menurut
Simanjuntak35, Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan adalah merupakan
bapak pertama dari marga-marga di kalangan orang Batak. Karena
sebelumnya mereka belum punya induk marga, hanya satu moyang yaitu
35
B. A. Simanjuntak, Ibid., hl. 79-80

22
si Raja Batak. Dalam masyarakat Batak, marga adalah merupakan satu
kesatuan kelompok yang mempunyai garis keturunan yang sama
berdasarkan nenek moyang yang sama. Satus social orang Batak sangat
ditentukan oleh marga. Di dalam hubungan social orang Batak, marga
merupakan dasar untuk menentukan partuturan, hubungan persaudaraan,
baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang dari marga
yang lain. Fungsi lain dari marga adalah untuk menentukan kedudukan
seseorang di dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola
dasar pergaulan yang di namakan dalihan na tolu (tungku nan tiga).
Dasarnya, dengan mengingat marga ibu, nenek, isteri (isteri saudara),
saudara perempuan dan lain sebagainya yang masih memiliki hubungan
kekerabatan sangat dekat. Dalam konteks ini marga yang menentukan
status dan kedudukan social setiap orang Batak dalam hubungan social
adat maupun kehidupan sehari-hari.

b. Perkawinan
Prinsip dasar perkawinan dalam masyarakat Batak adalah perkawinan
dengan orang di luar marganya sendiri. Artinya system eksogami yakni
patrilokal. Perkawinan semarga sangat terlarang, kalau terjadi sumbang
(incest) di dalam satu marga, kalau perlakuan itu dilakukan oleh mereka
yang masih sangat dekat hubungan kekerabatannya maka keduanya
dihukum dan diusir dari huta (dibuang dari rumpun marganya). Maksud
dari larangan ini adalah agar hubungan kekerabatan tidak menjadi kacau
dan tidak menjadi terbalik-balik juga agar hubungan social di dalam
struktur masyarakat tidak menjadi kacau atau rusak. Demikian dengan
kedudukan sebagai hula-hula tidak menjadi jatuh. Karena kalau terjadi
demikian, maka boru menjadi hula-hula dan hula-hula yang pertama
menjadi boru. Ini sama sekali tidak dikehendaki di dalam satu keluarga
dekat.

c. Dalihan Na Tolu
Banyak ahli mengatakan bahwa system “Dalihan Na Tolu” bagi struktur
kebudayaan Batak tidaklah mencerminkan system kepemimpinan dan
pemerintahan Batak. Dalihan Na Tolu hanya terbatas pada lingkup
persaudaraan sehari-hari saja. Namun pandangan berbeda dikemukakan
oleh Togar Nainggolan36 menyimpulkan bahwa: “secara bersama sama di
dalam komunitas system Dalihan Natolu ada terbentuk system
pemerintahan Batak yang disebut sebagai “Panungganei (kaum tua-tua)”.
Panungganei adalah badan legislative dan iudikatif, ia yang membuat
aturan dan memutuskan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat di
huta. Kemudian badan eksekutif ialah marga raja, yang dipimpin oleh raja
huta (kepala dalam huta). Raja huta melaksanakan aturan bersama, yaitu
mengatur ketertiban huta. Raja huta dibantu oleh raja adat, yaitu orang
yang pandai dalam adat. Raja adat ini perlu memberi nasehat kepada
marga raja sebab raja adatlah yang lebih tahu tentang penyesuaian adat
36
Togar Nainggolan, Op.Cit., hl. 78-79

23
dengan perkembangan jaman. Raja adat boleh dari marga raja atau dari
marga lain. Orang pendatang yang tidak termasuk anggota Dalihan Na
Tolu yang disebut paisolat (penumpang) boleh memberi suara pada rapat
paripurna (rapot) godang.

Tekanan Kolonialisme Belanda Terhadap Sistem


Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak Tradisionil
9. Tahun 1833, saat ini adalah merupakan awal masuknya pengaruh
pemerintahan formal dan modern di tanah Batak yakni melalui pemerintahan
kolonialisme Belanda. Sebelumnya, disebabkan oleh situasi dan kondisi yang
kurang tepat (oleh pertimbangan pemerintah colonial Belanda), baru pada
tahun 1886 tanah Batak diputuskan untuk secara resmi diatur oleh colonial
melalui keputusan Gubernur Sumatera bagian pantai Barat ketika itu yakni
tanggal 16 Oktober 1886. Intensifnya penguasaan ini menuru Lance Castle 37
kemudian berlangsung tahun 1905 melalui ditandainya permulaan kebijakan
baru di propinsi-propinsi luar” Hindia Timur Belanda (1904-1905). Tahun
1905, H. Colijn (perdana meneteri Belanda) berkunjung ke Tapanuli dengan
tugas utama untuk mengusulkan suatu reorganisasi untuk menolong daerah
terbeklakang seperti Tapanuli agar dapat meningkatkan kemampuan
keuangannya. Akibatnya, tanah Batak yang masih merdeka ketika itu, seperti:
Samosir, Uluan, Dairi, takluk di bawah kekuasan Belanda. Penaklukan inilah
yang sangat merangsang kuat colonial melakukan pengejaran terus menerus
kepada Sisingamangaraja XII yang akhirnya ia tertembak bersama dengan
dua orang puteranya tanggal 7 Juni 1907. Tiga ciri utama penaklukan
Belanda menguasai Tapanuli adalah: pertama, memberlakukan pajak
ditambah dengan pemaksaan kepada penduduk agar menanam tanaman
(misalnya kopi) yang menguntungkan perdagangan Belanda. Kedua: program
pekerjaan rodi terutama untuk pembangunan jalan-jalan membuka
ketertutupan Tapanuli dari daerah lain. Ketiga: pembentukan pemerintahan
daerah yang terdiri dari pejabat-pejabat (orang-orang pribumi) yang digaji dan
dapat dipindah-pindahkan. Analisa Lance Castle, kebijakan pemberlakukan
pajak dan rodi oleh Belanda tidak mendapat perlawanan (protes) berarti dari
penduduk setempat ketika itu. Hanya saja penduduk setempat sangat
membencinya karena pemerintah Belanda tidak mewajibkannya bagi
penduduk non-pribumi (misalnya warga Eropa dan Cina). Akhirnya rodi
menjadi pembangkit kebencian yang efektif terhadap colonial terutama di
daerah Tapanuli yang baru saja dikuasai.38 Sesuai dengan pernyataan L.
Castle ini, berhubungan dengan pembentukan pemerintahan daerah yang
baru oleh pemerintah Belanda di Tapanuli: Hasellgreen 39 mengatakan bahwa
dengan segala pertimbangan dan saran-saran dari bestuur ambtenar
(pejabat-pejabat yang digaji langsung oleh Belanda dan dapat dipindah-
37
Lance Castle, Op.Cit., hl. 36ff
38
Ibid., hl. 52
39
Johan Haselgreen. Op.cit., hl. 71 Setelah tanah Batak takluk dan dikuasai (diperintah)
maka melalui propaganda-proganda kolonial seterusnya system pemerintahan berdasarkan
pemerintahan colonial dijalankan dengan ketentuan bahwa katanya peranan Bius masih
dihargai.

24
pindahkan) ketika itu, maka oleh penguasa colonial susunan pemerintahan
diatur secara bertingkat dari yang terendah hingga ke yang tertinggi.
Susunannya sebagai berikut: a).Huta atau Kampung (bagian sulit ditentukan
oleh Belanda statusnya dalam struktur pemerintahan Belanda sendiri)
dikembangkan hingga terdiri dari banyak huta dan masing-masing huta
dipimpin oleh seorang kepala kampung. b). Hundulan dipimpin oleh seorang
jaihutan dan raja pandua yang terdiri dari beberapa kampung. Di atasnya
adalah negeri yang dipimpin oleh seorang kepala negeri, daerahnya terdiri
dari beberapa hundulan. c). Sub distrik dipimpin oleh seorang asisten
demang yang wilayahnya terdiri dari 10-15 negeri. d). Distrik dipimpin oleh
seorang kepala distrik dengan wilayah 2-3 sub distrik. Jabatan kepala distrik
dinamakan demang. Demang dan asisten demang langsung menjadi
bawahan controleur.

Dalam system Harajaon Batak sebelumnya, otorisasi wilayah daerah


pemerintahan nampak pada Bius maka dalam penguasaan pemerintahan
Belanda, Bius tidak lagi disebut tetapi sudah menjadi negeri dan dipimpin
oleh seorang kepala negeri yang disebut Raja Ihutan. Pengertian raja
(sebagai gelar raja Ihutan) dalam hal ini, nampak kuasa Raja Ihutan sudah
sesuai dengan pengertian raja yang sebenarnya yakni memerintah. Hak-hak
Raja Ihutan sudah semakin banyak dan mutlak, sedangkan pengertian Bius
kemudian berubah kepada wilayah daerah kebudayaan. Semua hal yang
berkaitan dengan pemerintahan selama ini dalam hal persetujuan dan
penyelenggaraan pemerintahan atas nama Bius, semua beralih menjadi
persetujuan dan penyelenggaraan Raja Ihutan. Fungsi-fungsi Raja-raja Bius
yang sebelumnya dipimpin oleh Ulu Bius (Raja Doli), masa penguasaan
Belanda: itu kemudian hanya berkaitan pada adat istiadat baik mengenai
spiritual maupun menyangkut dengan harta (juga yang berkaitan dengan
kebudayaan). Pengertian “Horja, dan Huta”40 pun menjadi berubah yaitu
menjadi wilayah daerah kebudayaan terutama pengertian Huta dari system
pemerintahan ala Harajaon Batak berubah menjadi hanya tempat tinggal
yang terikat dengan adatnya sama dengan pengertian kampung sekarang ini.
Raja Ihutan berdasarkan system pemerintahan colonial dalam hal hukum
beralih dari kuasa Bius menjadi kuasa-kuasa kepala negeri (wewenang Raja
Ihutan). Jika dahulu kuasa hukum dan adat di tangan Raja-raja Bius maka
dalam system penguasa hukum dan adat berada di tangan Raja Ihutan.
Hanya dalam hal pertimbangan hukum dan adat yang diminta dari raja-raja
Bius sedang keputusan berada di tangan kepala negeri. Sebelum sesuatu
pelanggaran hukum dan adat disampaikan kepada pengadilan yang

40
Hal ini dapat dijelaskan: Horja adalah wilayah kekuasaan pemerintahan, ugamo dan adat.
Satu-satu Horja adalah gambaran kesatuan satu paradatan. Horja terdiri dari beberapa
Lumban sebagai satu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat dan didukung oleh marga.
Lumban terdiri dari beberapa Huta Bolon yang juga didukung oleh marga. Huta Bolon terdiri
dari Huta yaitu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat yang menjadi wilayah pemerintahan,
ugamo dan adat yang terendah dari struktur organisasi Harajaon Batak. Pembagian-
pembagian wilayah seperti inilah yang menjadi kabur dengan munculnya pembagian wilayah
oleh penjajahan Belanda .

25
dikuasakan kepada asisten demang, demang dan controleur ini masih dapat
diselesaikan oleh Raja Ihutan dengan Raja-raja Bius. Kalau pelanggaran tadi
tidak dapat diselesaikan, maka baru disampaikan kepada pengadilan
kepolisian colonial Belanda. Melalui cara ini setahap demi setahap dan pasti
kekuasaan pemerintah colonial semakin diutamakan di tanah Batak dan
akhirnya membuat dan menetapkan belasting (pajak) rakyat dan upah raja
ditetapkan besarnya dari setiap kegiatan termasuk dari hasil jual beli
(termasuk jual beli ternak babi).

11. Dalam bukunya Lance Castle mengatakan bahwa Belanda sangat


memanfaatkan unsur karakter Batak dalam menunjang program politiknya
terhadap soal pemerintahannya di tanah Batak. Unsur itu adalah konsep
tentang “sahala dan hasangapon”.41 Didefenisikan oleh Castle bahwa
“sahala” merupakan kwalitas tertentu dari tondi seseorang Batak. Seorang
pemimpin yang kuat harus memiliki “sahala” demikian orang tua terhadap
anaknya, datu terhadap muridnya, hula-hula terhadap boru-nya. Para dewa
dan leluhur yang mempunyai banyak keturunan mempunyai sahala. Pada
kaitannya, sahala adalah perwujudan kekuatan supranatural juga sebagai
perwujudan dari konsep ketuhanan yang tertinggi bagi orang Batak. Seorang
pemilik sahala dengan sendirinya memperoleh hasangapon (kehormatan).
Bagi orang Batak umumnya sahala harajaon adalah suatu kwalitas
kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah. Oleh sebab itu, sebuah
sahala harajaon hanya dapat dilihat dari buahnya. Bagi orang Batak
tradisionil, seorang laki-laki dengan banyak anak cucu dan menjadi kaya raya
karena bertani, berdagang atau berjudi, yang lewat perkawinan mempunyai
kerabat yang berpengaruh, pandai berpidato serta gagah perkasa dalam
perang, jelas sebagai seorang yang sempurna dari sudut sahala dan
hasangapon. Mendapatkan “hasangapon dan sahala”, inilah merupakan motif
politik utama yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda jaman penguasaan
mereka di tanah Batak. Oleh karena itu, dalam hal pembagian wilayah
pemerintah colonial Belanda sangat berusaha memadukannya menurut
system bentukan mereka dengan system Harajaon Batak. Melaluinya,
Belanda membuat system pemerintahan Harajaon Batak berubah menjadi
system kebudayaan. Bila masa sebelum penjajahan Belanda, kegiatan
menyeluruh masyarakat Batak Toba langsung dilaksanakan sendiri tanpa
campur tangan penguasa colonial, maka masa sejak awal penguasaan
colonial, dengan berkedok budaya Batak Toba, mereka kemudian
memperalat orang-orang Batak untuk menjalankan prinsip penjajahannya di
tanah Batak sendiri42. Intinya, sebagai akibat penjajahan maka wilayah
pemerintahan Harajaon Batak, ini berubah menjadi wilayah kebudayaan.
Caranya yakni dengan dengan memadukan kuasa pemerintahan Belanda
dengan kuasa Bius yang sudah dikebiri. Oleh Belanda Ihutan (sebagai Ulu
41
Lance Castle, Op.Cit., hl. 10-11
42
Gultom Rajamarpodang, Ibid., hl. 422. Dijelaskan oleh Gultom Rajamarpodang bahwa
system kemasyarakatan Batak Toba sekarang masih menggambarkan demikian sehingga
dalam penetrapan kegiatan masyarakat, sulit dipadu antara kegiatan masyarakat dengan
budyanya dengan system pemerintahan yang dijalankan sekarang.

26
Bius) dipilih oleh Raja-raja Bius melalui musyawarah Mangajana. Raja Ihutan
kemudian menjadi kepala negeri yang dipilih langsung oleh rakyat negeri dari
marga-marga tanah (marga-marga yang mula pertama mendirikan huta di
satu-satu wilayah/daerah, merekalah yang disebut Sisuan Bulu/Sisuan
Baringin). Masing-masing marga tanah menentukan calonnya menjadi Raja
Ihutan. Semua rakyat yang sudah berumahtangga berhak untuk memilih
sedang para pemuda (naposo) belum diperkenankan untuk memilih. Siapa
yang memperoleh suara terbanyak dialah yang diajukan kepada controleur
dan beslitnya (surat keputusannya) diterbitkan asisten residen atau residen.
Penyelenggara pemilihan adalah Raja-raja Bius dibantu oleh Ulu Balang di
negeri itu. Apa bila Raja Ihutan sudah mendapat beslit (surat keputusan)
maka ia dilantik dengan jalan memberikan pakaian kelengkapan untuk
seorang raja dalam arti sebenarnya. Melalui Raja Ihutan, apa maksud dan
tujuan pemerintah colonial dapat diwujudkan. Melalui ini, fungsi raja-raja Bius
semakin berkurang karena keputusan sudah berada di tangan Raja Ihutan.
Jika Ulu Bius (Ihutan) mempunyai hak untuk mengayomi dan merestui
keputusan Raja-raja Bius maka fungsi Raja Ihutan sudah berubah menjadi
mutlak.43

Tanggapan Dari Orang Batak


Terhadap Tekanan Belanda
12. Awal perkembangan baru terjadi di Tapanuli akibat tekanan Belanda mulai
nampak tahun 1890, dengan munculnya berbagai sekte agama tradisionil
baru yang mengandung unsur-unsur sinkritisme (mereka inilah yang disebut
Parmalim). Kelompok ini awalnya didirikan oleh Guru Somalaing Pardede dari
Balige yang sebelumnya ia adalah seorang datu yang menguasai ilmu mistik
Batak tradisionil seperti ilmu gaib, penyembuhan dan aksara Batak. Guru
Somalaing adalah salah seorang contoh orang Batak tradisionil yang
kehilangan reputasi (sahala/wibawa) akibat perkembangan kekristenan di
tanah Batak. Dalam menyebarluaskan pengaruhnya Guru Somalaing
menaburkan propaganda kebencian kepada Belanda juga kepada para
misionaris di Tapanuli. Pada akhirnya unsur kebencian inilah yang sangat
menentukan bagi Belanda membuangnya dari Sumatera tahun 1896 walau
sebelum ia ditangkap ia telah berhasil menyebarluaskan ajarannya ke
43
Lih. Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta: Kontuinitas dan Perubahan Identitas
(Medan: Penerbit Bina Media, 2006) hl. 53-54. Togar Nainggolan menjelaskan dalam
bukunya, penguasaan atas tanah Batak oleh Belanda merupakan tujuan utama kolonialisme.
Demi efektifitas dan sentralisasi adalah alasan utama kolonialisme Belanda membagi-bagi
daerah Batak menjadi beberapa daerah residen. Untuk ini, beberapa huta disatukan dalam
beberapa regio pemerintahan, dengan demikian kemerdekaan huta dikurangi dan kekuasan
pemerintahan diperbesar. Dewan pemerintahan pusat dibentuk yang terdiri dari raja-raja
huta. Mereka ini bertugas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di huta
sesuai dengan hukum adat, kemudian pemerintah colonial Belanda meneguhkan hukum
adat. Pemerintah colonial (termasuk misi) sangat mempergunakan struktur hierarki
masyarakat Batak Toba untuk mencapai tujuan mereka. Belanda membentuk pemerintahan
regio yang terdiri dari raja-raja huta dan mereka ini disebut hundulan (dewan regio). Tujuan
akhir pemerintah Belanda adalah untuk mengganti struktur huta dengan system
pemerintahan colonial untuk mengatur dan menjamin aturan dan hukum yang berlaku demi
ketertiban masyarakat.

27
berbagai daerah Toba (Habinsaran) hingga ke daerah Asahan. Sepeninggal
Guru Somalaing, para pengikutnya kemudian mengembangkan aliran ini
dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya yakni melalui munculnya
aliran tradisional baru dengan apa yang dinamakan sebagai: Parsiakbagi
(artinya: yang bernasib malang). Aliran ini dimunculkan oleh Jaga Siborutorop
(nama samaran). Gerakannya agak hati-hati dan ajarannya agak bercampur
dengan ajaran Parmalim menurut Guru Somalaing dengan ajaran kekristenan
sebab dalam ajaran Parsiakbagi ditekankan: “hanya Yesus sebagai sang
guru”. Aliran ketiga adalah kaum Parsitekka: kelompok ini merupakan
perkembangan lanjutan dari Parmalim dan Parsiakbagi. Parsitekka dalam
mengembangkan ajarannya agak berbeda dengan dua aliran disebutkan
yang mendahuluinya. Sebab bagi Parsitekka, tokoh-tokoh mitos Batak (Naga
Padoha, Raja Uti, dan lain sebagainya) ini tegas ditolak. Aliran keempat
adalah Parhudamdam dengan tekanan akan munculnya Harajaon Batak yang
baru di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja yang melepaskan
orang Batak dari system kerja paksa (rodi) dan pajak yang diberlakukan oleh
Belanda. Menurut Lance Castle44 bahwa yang terpenting diperhatikan bagi
munculnya berbagai gerakan paganisme Batak tradisionil baru seperti
disebutkan di atas adalah semangat mereka yang ditimbulkan oleh kebencian
terhadap orang kulit putih (Belanda dan para misionaris) juga dengan
harapan bahwa orang-orang itu suatu waktu akan dapat diusir pada hari
perhitungan kelak.

Refleksi Teologis Tema ini


Terhadap Kepemimpinan Jemaat
13. Penting diperhatikan pernyataan William Skidmore45 tentang beberapa hal dalam
rangka mempertahankan sebuah system kemasyarakatan, yakni:
a. Setiap system harus memiliki suatu alat untuk memobilisasi sumber-
sumbernya agar dapat mencapai tujuan-tujuannya (goal attainment).
b. Setiap system harus mempertahankan koordinasi internal dari dalam bagian-
bagiannya dan membangun cara-cara yang bertautan dengan deviasinya.
Dengan kata lain, dia harus mempertahankan kesatuannya (integration).
c. Setiap system harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam
keadaan seimbang.

Melalui hikmat pernyataan W. Skidmore ini, beberapa hal dapat dikatakan bahwa:
a. Kepemimpinan yang kolektif, koordinatif dan organistik
Menarik pernyataan Frans Magnis Suseno46 mengenai legitimasi kekuasaan
sosiologis secara tradisionil, mengatakan: “salah satu legitimasi kekuasaan
kepemimpinan tradionil secara sosiologis adalah wibawa (sahala: kharisma).
Dalam pengalaman orang Batak tradisionil bahwa legitimasi kekuasaan melalui
charisma/wibawa (keabsahan kekuasaan berdasarkan charisma) inilah yang
palig menonjol di mana keberhasilan kepemimpinan sangat ditentukan oleh rasa

44
Lance Castle, Op.Cit., hl. 57-69
45
William Skidmore, Theoretical Thinking in Sociology (London: Cambridge University
Press, 1975) hl. 175
46
Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2000) hl. 59.

28
hormat dan kagum terhadap pribadi yang mengesankan, sehingga membuat
orang lain yang dipimpin menjadi taat/patuh. Dalam hal ini, legitimasi merupakan
keyakinan yang ada dan hidup di dalam sebuah konteks serta dilakoni
masyarakat dengan penuh kesadaran bahwa seorang pemimpin itu memang
wajar dan patut dipatuhi dan dihormati. Sejauh ini, bingkai kepemimpinan yang
kolektif, organisitik dan koordinatif sebagai ciri yang paling menonjol nampak
pada system kemimpinan tradisionil Batak Toba. Ketiga bingkai ini, menurut
penulis sangat sesuai dengan cita-cita hidup masyarakat Batak Toba yang tidak
dapat dipisahkan dari tujuan hidup sebagai manusia yang sempurna. Maksudnya
terhadap kesempurnaan hidup seseorang masyarakat Batak Toba, ini sangat
ditentukan oleh kemampuannya melakukan tiga fungsi di dalam perannya sehari-
hari yakni: “kolektif, koordinatif dan organistik” yang nampak dalam aktifitasnya
hidupnya di: Huta, Marga, Dalihan Na Tolu, Bius dan Horja sebagaimana telah di
jelaskan di atas.

b. Kepemimpinan Kolektif
Ketika praktek kepemimpinan Batak sebagai sebuah system, maka di dalamnya
ada persyaratan fungsi yang harus dipenuhi sebagai sebuah system yakni:
“adaptasi, tujuan yang memelihara, dan mempertahankan kesatuannya”. Di
dalam aplikasinya, hal itu diperlihatkan melalui system kolektif “Dalihan Na Tolu,
Bius, Horja dan Huta” yang sekaligus beberapa hal ini menjadi landasan
normativ yang memperlihatkan konsep keseimbangan di dalam kebudayaan
Batak Toba. Di atas keseimbangan system kolektif: Bius, Horja, Huta dan
Dalihan Natolu, inilah sekaligus sebagai sudut pandang (world view) masyarakat
Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan ini, maka berefleksi
dari Timoteus dan Titus terhadap kepemimpinan keduanya pada jemaat mula-
mula: kepada mereka diberikan sebuah tugas menjaga kemurnian ajaran dengan
terlebih dahulu mengiontensifkan sumber daya yang ada di dalam jemaat (I Tim.
4:1-11). Upaya ini direalisasikan dengan terlebih dahulu mengangkat presbyteros
(penatua) dan episkopos (penilik/pengawas: uskup) sebagai pemimpin di setiap
kota. Di dalam perkembangannya, para presbyter akhirnya berperan sebagai
penilik pastoral yang mengatasi penatua Yahudi. Akhirnya, perkembangan dan
praksis penilik pastoral ini melahirkan konsep tentang episkopos. Inilah indikasi
yang memberi pemahaman bahwa episkopos dan presbyteros merupakan dua
bagian yang tidak terpisahkan. Sepintas, melalui kesamaan episkopos dan
presbyteros dalam kepemimpinan ini, nampak kesejajaran bahwa model
kepemimpinan di dalam gereja adalah kolektif. Kolektif bukan berarti meniadakan
seorang pemimpin yang mengkoordinasikan potensi kekuatan dan kekuasaan
yang ada. Di dalam Alkitab tidak dikenal jabatan yang memunculkan asosiasi-
asosiasi klerikal dan hierarkis tetapi Alkitab sangat menekankan jabatan yang
diakonal.

Kesimpulan
14. Beberapa kesimpulan dapat dirangkum terhadap konsep dan system
pemimpinan menurut paradigma tradisionil Batak Toba, yakni:
a. Dari banyaknya defenisi tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa
seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tersendiri atau
kemampuan untuk mempergunakan sumber daya manusia dan sumber daya
lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam sebuah
organisasi khususnya dan lembaga masyarakat umumnya. Pernyataan ini
dapat berarti bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas khusus untuk

29
mendorong atau memberi motifasi sehingga orang-orang yang dipimpin
dapat dengan semangat melakukan yang terbaik demi tercapainya visi dan
misi kepemimpinan.
b. System dan konsep kepemimpinan (pemerintahan: harajaon) menurut
paradigma Batak Toba tradisionil, ini tidak boleh dibandingkan dengan
system pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara,
kelompok atau lembaga masyarakat dan lain sebagainya dipimpin oleh
seorang (kepala Negara/raja, kaisar). Ciri yang dominan nampak pada
kepemimpinan Batak tradisionil, ini adalah sebagai perpaduan antara
pemimpin pemerintahan dengan pimpinan keagamaan dan pimpinan adat.
Artinya di dalam hubungan masyarakat, ada hubungan yang sangat kuat
mengikat yakni antara kesilsilahan, kesamaan agama dan kepercayaan serta
wilayah dan tempat tinggal yang sama. Dalam konsep inilah realisasi
kepemimpinan Batak tradisionil nyata berlangsung seperti pada: Bius, Huta,
Horja dan Dalihan Na Tolu.
c. Secara historis unsur yang sangat mempengaruhi pandangan Batak
tradisionil mengenal kepemimpinan menurut paradigma modern, ini sangat
dominan terjadi melalui pengaruh kolonisasi Belanda di tanah Batak
(pengaruh kekristenan akan dibahas pada judul tersendiri). Artinya, dengan
masuknya pengaruh kolonisasi Belanda di tanah Batak demi percepatan
tujuan mereka, Belanda secara langsung mengatur dan membentuk serta
mengembangkan system pemerintahan desa (huta) di seluruh tanah Batak.
Cara ini ditempuh Belanda demi menunjang program politik mereka agar
segera dapat menguasai tanah Batak. Untuk cita-cita ini, Belanda sangat
memanfaatkan karakter khusus Batak yakni: “sahala dan hasangapon” yang
bagi orang Batak, “sahala” merupakan kwalitas tertentu dari tondi
seseorang. Seorang pemimpin yang kuat harus memiliki “sahala” demikian
orang tua terhadap anaknya, datu terhadap muridnya, hula-hula terhadap
boru-nya. Para dewa dan leluhur yang mempunyai banyak keturunan
mempunyai sahala. Pada kaitannya, sahala adalah perwujudan kekuatan
supranatural juga sebagai perwujudan dari konsep ketuhanan yang tertinggi
bagi orang Batak. Mendapatkan “hasangapon dan sahala”, inilah yang
merupakan motif politik utama yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda
jaman penguasaan mereka di tanah Batak. Oleh karena itu, dalam hal
pembagian wilayah pemerintah colonial Belanda sangat berusaha
memadukannya menurut system bentukan mereka dengan system Harajaon
Batak. Melaluinya, Belanda membuat system pemerintahan Harajaon Batak
berubah menjadi system kebudayaan. Intinya, sebagai akibat penjajahan
maka wilayah pemerintahan Harajaon Batak, ini berubah menjadi wilayah
kebudayaan.
e. Sangat menarik bahwa masyarakat Batak tradisionil sama sekali sangat tidak
mengenal konsep kepemimpinan tunggal tetapi kepemimpinan kolektif,
koordinatif dan organisitik (paling tidak sebagai duo kepemimpinan atau dwi
tunggal). Artinya bagi orang Batak Toba tradisionil, tidak pernah ada peluang
kepemimpinan terjadi melalui dominasi satu orang, tetapi kepemimpinan itu
harus diemban dan dilaksanakan bersama secara kolektif. Hikmat inilah yang
nampak pada: Raja-raja Bius, Parbaringin, Partuho Mangajana, Raja Na
Opat Bius, Ihutan, Panimbangi, Raja Huta/Tunggane Huta dan lain-lain.

30
INFORMASI AWAL TENTANG KEKRISTENAN DI TANAH BATAK

1. Pendahuluan (1-2). Informasi yang sudah terkenal pada ilmu


sejarah gereja di Indonesia bahwa jauh sebelum masuknya kekristenan di
Indonesia (1511-1596) melalui usaha PI Barat atau Eropa, pada abad ke-7
kekristenan telah pernah datang ke Tapanuli, khususnya di daerah Barus
Tapanuli Tengah sekarang. Kekristenan ini dibawa oleh para pedagang
Kristen Nestorian yang berasal dari semenanjung Arab dan Turki ketika itu.
Informasi ini dapat dilihat dalam bukunya Th. Muller Krueger (Sejarah Gereja
Indonesia, 1996, lih. juga, Hutauruk, 125 tahun HKBP, hl. 17) mengatakan:
dari sebuah dokumen sejarah kuno yang ditulis oleh Shaykh Abu Salih al-
Armini tentang Provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya, telah ditemukan
daftar biara-biara dan gereja-gereja Kristen tersebar di mana di daerah
Pancur (Sumatera). Menurut penelitian, daerah Pancur yang disebutkan
dalam dokumen ini adalah nama sebuah kota pelabuhan di Barus (Tapanuli
Tengah) di mana kota pelabuhan ini sudah ramai dikunjungi oleh kapal-kapal
pedagang dari manca negara sejak permulaan abad-abad pertama tarikh
Masehi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya ketika itu dihasilkan kapur Barus
yang pada waktu itu sangat laris sebagai bahan perdagangan di daerah India,
Persia, Mesir hingga daerah Eropa. Kapur Barus ini sangat berguna sangat
berguna bagi bahan utama pengawetan (tradisi Mummi di Timur Tengah)
manusia. Hanya masa sekarang ini, informasi ini sudah merupakan kenangan
saja bagi kekristenan di Indonesia umumnya dan di tanah Batak khususnya.
Menurut informasi lainnya (lih. Walter Lemp, Benih Yang Bertumbuh XII, LPS
PGI) bahwa catatan perjalanan uskup Joa de Merignolli OFM (duta besar
Paus Clemens VI di Peking) melaporkan bahwa ketika berkunjung ke
Sumatera sekitar tahun 1346 menghadap ratu kerajaan Sriwijaya (hingga
tahun 1377 sampai akhir abad ini kerajaan Sriwijaya masih dalam puncak
kejayaannya), Joa de Merignolli mencatat bahwa ia sudah bertemu dengan
banyak orang Kristen di daerah pantai Timur kerajaan Sriwijaya (Tapanuli)
dan sempat melayani orang-orang Kristen itu. Informasi ini juga telah hanya
sebagai kenangan bagi ilmu sejarah gereja khususnya di tanah Batak
sekarang.

2. Kesinambungan sejarah gereja Batak kemudian dapat diurut


hingga masa awal abad 19, dengan semaraknya bada-badan misi Eropa
melakukan PI di Sumatera. Beberapa badan zending Barat/Eropa yang
pernah bekerja melakukan PI I tanah Batak (Lih. Andar Lumbatobing, hl. 64ff,
1996)adalah:

a. BMS: Baptist Missionary Society dari Inggris.


Tahun 1820 badan misi ini pertama sekali mengutus misionarinya ke
tanah Batak (Sumatera) sebanyak tiga orang (lih. P.B. Perdersen, hl.
45ff), yakni: Richard Burton seorang yang ahli dalam bidang bahasa dan
ilmu bangsa-bangsa, kemudian ia ditugaskan menterjemahkan kitab suci
ke bahasa Batak & bekerja di Sibolga; Nathaniel Ward seorang yang ahli

31
dalam bidang ilmu kesehatan ditugaskan untuk meneliti wabah penyakit
kolera yang mewabah di daerah Silindung dan Toba untuk sementara
tinggal di Bengkulu; dan Evans seorang yang ahli dalam bidang
pendidikan (Guru) ditugaskan menjajaki kemungkinan dan pendirian
badan-badan pendidikan di Tapanuli untuk sementara tinggal di Padang.
Tahun 1924, ketiganya secara serempak memulai aksi misi mereka di
daerah Tapanuli-tanah Batak. Tanggal 4 Mei 1824 saat pertama sekali
mereka tiba di Silindung, mereka disambut baik, ramah dan hangat oleh
penduduk ketika itu. Namun tidak sampai sebulan mereka di daerah
Silindung, mereka harus kembali ke Sibolga karena wabah kolera yang
tidak bisa mereka atasi di daerah ini ketika itu. Hanya dapat ditambahkan
bahwa menurut laporan P.B. Pedersen (Darah Batak dan Jiwa Protestan,
1975) bahwa kesan Burton dan Ward ketika itu kepada orang Batak
menyatakan: “orang-orang Batak menyatakan langsung bahwa mereka
tidak sanggup meninggalkan tradisi-tradisi dan adat yang sudah menjadi
bagian hidup mereka. Orang Batak menuntut bahwa tidak sebagian kecil-
pun dari unsur adat boleh dirubah”. Menurut Burton dan Ward, orang
Batak menawarkan kepada mereka ketika itu: “…jika anda membawa
kami kepada kejayaan, kami siap mendengarkan dan menerima anda”.
Catatan sejarah gereja Batak hingga sekarang menggoreskan bahwa
Ricahrd Burton, Nathanael War, dan Evans adalah tiga orang
misionaris pertama yang memasuki tanah Batak dari badan misi BMS
Inggris.

b. NZG: Nederlands Zendingsgenootschaft dan Beberapa Pendeta


Tentara dari Belanda
- Tahun 1826, badan NZG mencoba mengirim seorang misionaris
berkebangsaan Jerman bernama Karl August Guetzlaff ke Sumatera
khususnya daerah Tapanuli. Namun karena perang Paderi-Bonjol
(Sumartaera Barat) tengah berkecamuk melawan kolonial Belanda maka
misionaris ini tidak dapat memasuki Tapanuli ketika itu. Akhirnya, ia
hanya bekerja hanya untuk orang Batavia dan orang Cina ketika itu di
Batavia (Jakarta sekarang), yang kemudian ia diutus untuk misi PI ke
Cina (Hongkong).
- Tahun 1830-an merupakan waktu pertama sekali pemerintah kolonial
Belanda berkuasa di daerah Tapanuli Selatan. Untuk kepentingan
kerohanian para tentara Belanda di sana, kolonial mengutus seorang
pendeta bernama Elout sekaligus mengusahakan PI kepada orang
Batak di Tapanuli Selatan. Catatan sejarah gereja Batak tentang
kelanjutan dan hasil misi misionaris ini tidak banyak diperoleh, namun
HKBP mencatat bahwa orang Batak pertama yang dibaptis menjadi
Kristen itu dilakukan oleh Van Asselt seorang misionaris dari lembaga
misi Ermelo Belanda. Peristiwa pembaptisan orang Batak itu
berlangsung tanggal 31 Maret 1861 yakni kepada Jakobus Tampubolon
dan Simon Siregar.

32
c. ABCFM: American Board of Commisioners for Foreign Missions
Bandan zending ini berpusat di Boston Amerika dan tahun 1834 mengutus
dua orang tenaga penginjil ke tanah Batak, yakni: Henry Lyman dan
Samuel Munson. Dua orang misionaris ini adalah lulusan: “Andover
Theological Seminary (1832)”, yang sebelum tiba di Tapanuli untuk
beberapa waktu mereka belajar bahasa Melayu di Jakarta dan bulan Juni
1834 mereka tiba di Sibolga. Pada bulan ini juga (23 Juni) mereka
meninggalkan Sibolga menuju pedalaman Tapanuli (Silindung). Sebelum
sampai di Silindung, di sebuah desa bernama Lobupining (desa yang
terletak antara Sibolga dan Tarutung) mereka mati terbunuh yang diduga
dilakukan oleh masyarakat setempat. Beberapa dugaan mengapa mereka
di bunuh oleh masyarakat Lobupining, adalah: 1. Mereka di duga sebagai
mata-mata Belanda yang pada waktu itu telah terdengar berita ke
masyarakat Batak bahwa kolonial Belanda akan berkuasa hingga ke
Tapanuli yang sebelumnya sudah berkuasa di Tapanuli Selatan ; 2. Ada
dugaan bahwa mereka juga dibunuh oleh para pembantu mereka snediri
dengan motif meramps barang-barang bawaan mereka ; 3. Dugaan lain
mengatakan bahwa mereka juga dibunuh oleh tentara Belanda dengan
alasan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak menghendaki pekerjaan
misionaris di Tapanuli demi kepentingan politik mereka ; 4. Rasa anti pati
masyarakat setempat kepada orang kulit putih karena penyerbuan tentara
Paderi ke tanah Batak waktu itu disebabkan oleh kehadiran dua orang
kulit putih (Burton dan Wards) sepuluh tahun sebelumnya ke daerah
Siindung. Peristiwa pembunuhan dua orang misionaris ini, hingga
sekarang meninggalkan kesan yang kurang baik bagi masyarakat Batak
secara umum walau dari penjelasan di atas tidak jelas informasi benar
tidaknya peristiwa itu dilakukan oleh Batak. Namun akhir abad 19 orang
Kristen Batak membangun tugu sebagai monumen peringatan tentang
kemati-martyran Munson dan Lyman di Lobupining. Pada nisan mereka
dituliskan perkataan Tertulisanus, seorang Bapa Gereja mula-mula,
berbunyi: “darah para martir merupakan benih bagi pertumbuhan gereja”.

d. Badan Zending Ermelo Belanda


Agaknya walau bukan yang paling berhasil, sejak awalnya badan zending
Belandalah yang paling banyak melakukan UPI di daerah Tapanuli (tanah
Batak). Melalui laporan Frans Junghun (1847) seorang warga negara
Jerman yang atas permintaan pemerintah kolonial Belanda pernah
memimpin suatu ekspedisi (perjalanan) ke tanah Batak (1840-1841),
maka lembaga Alkitab Belanda mengutus Neubronner van der Tuuk
(tahun 1849) dan tinggal di Barus mempelajari bahasa Batak dan berhasil
menulis dan menyusun beberapa buku tentang tata bahasa Batak, kamus
bahasa Batak-Belanda dan menterjemahkan beberapa buku Alkitab ke
bahasa Batak. Melalui hasil pekerjaan van der Tuuk ini, perkumpulan
orang Kristen petani di Ermelo Belanda mengutus seorang misionaris
bernama Van Asselt ke tanah Batak dan ia tiba di Tapanuli Selatan tahun
1856. Selanjutnya, karena badan zending Ermelo tidak sanggup

33
membiayai UPI Van Asselt, ia bekerja di sebuah perkebunan Belanda di
Tapanuli Selatan. Karena kuatnya pengaruh Islam di daerah Tapanuli
Selatan, Van Asselt tidak berhasil melakukan UPI-nya karena masyarakat
di sana sudah banyak yang menganut Islam. Hingga tahun 1857,
beberapa misionaris lainnya di utus ke Tapanuli Selatan, yakni:
Dammerboer yang kemudian menetap di Hutaimbaru (Angkola), Van
Daalen di Pargarutan, Betz di Bunga Bondar (Sipirok). Dalam pekerjaan
UPI ketiga orang misionaris ini, mereka mendapat dukungan dari badan
PI yang berkedudukan di Jakarta. Akhirnya, hingga tahun 1861, Van
Asslet bersama Betz bergabung dengan para misionaris utusan badan
zending RMG di Tapanuli Selatan. Tanggal 31 Maret 1861, Van Asselt
berhasil membaptiskan dua orang putera Batak menjadi Kristen, yakni:
Yakobus Tampubolon (sebelum Kristen bernama: Main Tampuboon),
Simon Siregar (sebelum Kristen bernama: Pagger Siregar). Dammerboer
dan Van der Tuuk tidak mau bergabung dengan badan zending RMG,
tetapi mereka mencari pekerjaan sebagai guru pemerintah Belanda ketika
itu.

e. RMG: Rheinische Missiongesllschaft ( lalu menjadi VEM-zending


Barmen)
Badan zending ini yang paling berhasil melakukan UPI di tanah Batak,
dan badan zending inilah yang melahirkan gereja HKBP sekarang.
Pekerjaan badan zending ini, diawali dengan mengutus misionaris Heine
dari Jerman ditambah dengan Klammer (seorang bekas misionaris RMG
yang melarikan diri dari Kalimantan karena perang Hidayat melawan
orang kulit putih di daerah itu tahun 1859). Dua orang misionaris ini
bergabung dengan Van Asselt dan Betz di Tapanuli Selatan, hingga ke
empat orang misionaris inilah atas prakarsa Van Asselt (P.B. Pedersen,
hl. 52-54) pertama sekali mengadakan rapat koordinasi kerja misi tanggal
7 Oktober 1861 di rumah seorang penduduk setempat bernama
Bondannalotot Nasution di Prau Sorat-Sipirok. Rapat koordinasi misi
itu, membicarakan tentang: “metode kerja misi di tanah Batak sekaligus
membagi wilayah kerja mereka”. Tanggal rapat koordinasi kerja mereka
inilah yang kemudian oleh badan zending RMG ditetapkan sebagai hari
lahirnya gereja-gereja Batak (HKBP). Secara kebetulan, orang Kristen
Batak melihat bahwa huruf pertama dari masing-masing nama ke empat
misionaris ini (Heine, Klammer, Betz dan V(P)an Asselt) dianggap
sebagai ilham dan nubuatan kemudian untuk nama gereja HKBP. Penting
diingat bahwa ada dua moment sangat penting berlangsung saat rapat
koordinasi ini diadakan, yakni: oleh RMG melalui pimpinannya Fabri di
Jerman peristiwa itu merupakan penggabungan kerja badan misi Belanda
dengan RMG-Jerman dan sekaligus sebagai penyerahan badan misi
Belanda ke RMG di tanah Batak.

f. Java Comitee (Komite Jawa)

34
Badan zending ini berasal dari negeri Belanda, awalnya bertujuan
memajukan UPI di pulau Jawa. Badan ini mulai bekerja di tanah Batak
tahun 1864, khususnya di Hutaimbaru dan Pargarutan Tapanuli Selartan.
Badan zending ini sempat merekrut anggota jemaatnya di Tapanuli
Selatan hingga sebanyak 5000 orang. Namun tahun 1931 anggota jemaat
ini bergabung dengan HKBP, karena dasar pertimbangan bahwa jumlah
ini masih kecil untuk mendirikan/membentuk satu gereja yang berdiri
sendiri.

g. Mennonit (Doopgezinde Zendingsvereeniging)


Badan zending ini juga berpusat di negeri Belanda, namun para
misionarisnya berasal dari berbagai negara di Eropa. Beberapa misionaris
Mennonit dari Ukraine Rusia sempat bekerja di Pakantan Tapanuli
Selatan (1869-1918) dan sempat mendirikan beberapa jemaat di sana.
Misionaris Mennonit terakhir yang bekerja di Pakantan adalah Iwan
Tissanov yang akhirnya tahun 1918 pindah ke daerah bandung (Jawa).
Namun karena pertimbangan seperti di atas, jemaat ini bergabung dengan
HKBP tahun 1931.

h. BNZ: Batak Nias Zending


Badan zending ini adalah bentukan orang-orang (termasuk pemerintah
kolonial) Belanda di Indonesia yang tujuannya mengambil alih semua
hasil pekerjaan RMG di tanah Batak dan Nias. Pertimbangan ini ditempuh
karena kalahnya Jerman masa puncak PD II di Eropa (Mei 1940) di mana
semua misionaris RMG (Jerman) ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara
Belanda di Indonesia. Setelah penangkapan para misionaris RMG ini,
badan zending BNZ berusaha merebut kepemimpiunan gereja Batak
(HKBP) dan gereja Nias (BNKP), walau usaha itu tidak berhasil, karena
para pendeta pribumi sangat bertekad untuk mandiri dalam segala dalam
gereja. Akhirnya, BNZ hanya dapat menguasai sebagian besar asset
RMG seperti sekolah-sekolah zending, RS dan usaha-usaha lainnya.
Setelah Jepang berkuasa di Indonesia tahun 1942, BNZ hilang lenyap dan
seluruh asset RMG yang sempat dikuasai BNZ kemudian diambil alih oleh
Jepang.

i. Samosir Zending.
Badan ini dibentuk di negeri Belanda bekerja sama dengan RMG dan
zending Batak. Tujuannya membantu UPI di daerah Samosir sebagai
salah satu daerah PI yang agak terbelakang dibandingkan dengan daerah
lainnya di tanah Batak. Misionaris yang sempat dikirim dan pernah bekerja
di Samosir melalui badan ini adalah Ds. M. Vink, Ds. J. Bos dan
Rychoek.

3. Sebuah Analisa Tentang Situasi Awal Pengkristenanan Tapanuli.


Merujuk pada penekanan tema pembahasan ini (bnd. tema pert I) beberapa
penilaian dapat dikatakan sebagai berikut:

35
a. Sebenarnya agama Kristen hadir di Tapanuli tepat pada situasi yang
benar (cocok) di tengah kekacauan social di seluruh tanah Batak
berlangsung. Banyaknya misionaris dan lembaga zending asing bekerja di
Tapanuli Selatan dan Utara, sebenarnya hanya yang bekerja di Tapanuli
Utara saja yang di bawah pengaruh kekuasaan Belanda. Di satu sisi,
pengawasan pekerjaan misionaris yang ketat oleh Belanda di Tapanuli
Utara sementara di Selatan kurang dikontrol, sikap ini sangat
berhubungan langsung dengan keamanan realisasi politik kolonial ketika
itu sebab daerah Utara kurang menguntungkan bagi tujuan Belanda bila
dibandingkan dengan Selatan. Tujuan utama Belanda dalam hal ini
adalah keuntungan oleh system perdagangan, ini terbukti kemudian
melalui didirikannya perusahaan-perusahaan perkebunan di hampir
semua wilayah tetangga Tapanuli Utara walau secara tidak langsung
pendirian perkebunan-perkebunan ini mematahkan isolasi masyarakat
dan tanah Batak dari daerah sekitarnya.

b. Hadirnya pekerjaan misi di Tapanuli di mana pengaruh Belanda sudah


mendahului di daerah tetangga, kesan yang ditemukan melalui keadaan
ini adalah bahwa misi pada akhirnya menjadi suatu pertandingan antara
agama Kristen dengan Islam bagi orang Batak.

c. Bila lembah Silindung pada masanya kemudian menjadi satu pintu


gerbang utama yang baru bagi masuk, bertumbuh dan berkembangnya
agama Kristen, ini kemudian merujuk pada sifat antusiasme dan
dedikasinya anggota-anggota Kristen Batak yang tidak kenal takut, yang
akhirnya menjadi suatu faktor yang sangat penting bagi penyebaran
agama Kristen di seluruh tanah Batak bahkan hingga ke seluruh wilayah
tempat di mana gereja Batak tersebar. Berhubung dengan pernyataan ini,
orang Kristen Batak modern menyaksikan: “dimana ditemukan orang
Kristen Batak, di sana ada seorang yang berbicara mengenai imannya, di
mana dua orang, di sana ada pertemuan doa, di mana ada tiga orang di
sana terdapat sebuah gereja, dengan empat orang, suatu koor atau
paduan suara”. Pernyataan ini sebenarnya menggambarkan sifat dinamis
dan antusiasme misi orang Batak untuk menyaksikan imannya sebagai
orang Kristen yang sudah menerima Injil sebagai terang bagi hidup
mereka.

METODE KERJA MISI BADAN ZENDING RMG


(LAHIR DAN BERKEMBANGNYA GEREJA BATAK)

36
1. Pendahuluan. Sebagaimana pada penjelasan pertemuan lalu (Ke-III) telah
dijelaskan bahwa perkembangan dakwah Islam dan misi PI Kisten di
Indonesia umumnya dan di Tapanuli (Sumut) khususnya, keduanya turut
(paling tidak) dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Keadaan ini jugalah yang berlangsung pada sejarah misi Kristen dan dakwah
Islam di Tapanuli masa pertengahan abad 19 (sebelum dan sesudah tahun
1861). Penguasa tertinggi pemerintah Belanda yang membawahi seluruh
Sumatera ketika itu, yakni Jenderal Thomas Stamford Rafles yang
berkedudukan di Bengkulu, sangat kuat mendorong usaha penginjilan
dilakukan di tanah Batak agar maksud Rafles terwujud yakni: memisahkan
orang Aceh (daerah paling Utara Sumatera) yang sudah dominan Islam
dengan orang Minangkabau (Selatan Tapanuli) yang juga sudah dominan
Islam. Kebijakan ini juga merupakan bagian sistem politik Rafles (umumnya
Eropa: misal Belanda di wilayah kekuasaan Hinda Belanda yakni Indonesia;
dan Inggris umunya daerah ASEAN) yang bertujuan memecahbelah dan
mengalahkan penduduk (de vide et impera) ketika itu (lih. P.B. Pedersen,
hl. 45). Berhubung dengan ini, ketika pertama sekali badan zending BMS
mengutus tiga orang misionarisnya bekerja di daerah tanah Batak (1820:
Burton, Ward dan Evans) dan menjadikan Sibolga sebagai titik berangkat
mereka ke Silindung, perang Paderi (Bonjol) yang dipimpin oleh Tuanku Rao
sangat berusaha menduduki Tapanuli dengan menjadikan Sibolga sebagai
pangkalan utama Islam di Tapanuli. Tujuan penyerangan-penyerangan ini, di
samping mempersempit ruang gerak pemerintah kolonial, juga untuk
memperluas pengaruh Islam di tanah Batak. Dapat dikatakan bahwa walau
tidak lebih jauh pengaruh Islam di tanah Batak (umumnya Silindung,
Humbang dan Toba), tentara Paderi sudah menguasai tanah Batak dari
tahun 1818 hingga masa selanjutnya. Realitasnya juga, bahwa hingga akhir
abad 19, ketentaraman pemerintah kolonial Belanda sangat
diancam/diganggu oleh pemberontakan-pemberontakan pasukan Islam
(Paderi) secara umum. Hikmat yang dapat dipetik melalui keadaan ini secara
menyeluruh bahwa agama Kristen tiba dalam suatu suasana yang tepat dan
cepat oleh kekacauan social di seluruh Tanah Batak. Di tengah pengaruh dan
kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda demi tujuan keuntungan
perdagangan kolonial, misi dan dakwah menjadi suatu pertandingan antara
Islam dan Kristen bagi orang Batak di tanah Batak. Demikian di tengah
menguatnya pengaruh Belanda, pendirian perkebunan-perkebunan di
wilayah-wilayah yang mengelilingi tanah Batak menjadi kekuatan
tersendiri untuk mematahkan isolasi masyarakat Batak dari daerah
sekelilingnya (lih. P.B. Pedersen, hl. 64-65).

2. Sebagaimana ditekankan di atas, nampaknya terlepas dari sudut kepentingan


dan tujuan politik kolonial, demikian tekanan-tekanan dari pihak Islam, misi
zending kekristenan nampak harus terus diperjuangkan di Tapanuli. Dan
badan zending yang paling berhasil mendirikan gereja di tanah Batak adalah

37
Rheinische Missiongesllschaft – RMG (kemudian badan zending ini
berobah nama menjadi VEM: Vereinte Evangelische Mission ; kemudian
menjadi menjadi UEM: United Evangelical Mission) yang tahun 1859
direkturnya Dr. R. Fabri datang ke Amsterdam menemui pemerintah Belanda
guna membicarakan masalah misi selanjutnya di Kalimantan akibat
bergejolaknya perang Hidayat tahun 1859 di sana, dimana akibat perang itu
juga para misionaris RMG turut terbunuh sebab ketika itu Kalimantan juga
merupakan wilayah kerja misi RMG yang dirintis sejak tahun 1835. Masa
kunjungan inilah awalnya Fabri menemukan kesan yang sangat mendalam
baginya terhadap awal pengenalannya kepada orang Batak melalui sebuah
tulisan Batak berjudul : Surat ni si Johanes: . Atas
kesan yang mendalam inilah, melalui kebijakan Fabri (sebagai direktur)
kemudian RMG secepatnya memindahkan wilayah kerja misi yang bergejolak
dari Kalimantan ke tanah Batak. Para misionaris RMG yang sebelumya
bekerja di Kalimantan segera di pindahkan ke tanah Batak misalnya: Heine,
Klammer dan Denniger (sebab alasan kesehatan isterinya, misionaris ini
tidak ikut ke tanah Batak namun oleh RMG ia kemudian diutus ke daerah
Nias). Sebelumnya misionaris badan zending Ermelo Belanda sudah
mendahului pekerjaan misi di tanah Batak melalui Betz dan Van Asselt. Awal
pertemuan ke empat orang misionaris inilah, peristiwa sejarah gereja Batak
tanggal 7 Oktober 1861 penting diingat, yakni rapat koordinasi misi tentang
penetapan metode kerja badan misi RMG dan badan misi Ermelo di
tanah Batak. Realitasnya, wilayah bagian Selatan Tapanuli Islam sudah
sangat dominan bagi masyarakat setempat, sementara di bagian Utara
agama tradisionil Batak juga masih sangat dominan (masih belum disentuh
oleh pengaruh apapun) bagi masyarakatnya. Demi pengembangan misi
selanjutnya, rapat koordinasi ke empat orang misionaris ini tetap
memutuskan bahwa Van Asselt bersama Heine keduanya bekerja untuk
wilayah Utara khususnya daerah Pahae sedangkan Klammer dan Betz
bekerja untuk wilayah Selatan khususnya daerah Bungabondar (Sipirok).
Melalui pembagian wilayah ini, setelah kedatangan Dr. Ingwer Ludwig
Nomensen, mereka kemudian sepakat untuk mengutusnya (Nomensen) ke
daeran Utara yakni daerah lembah Silindung untuk misi dan nyata
selanjutnya pekerjaan Nomensen inilah yang jauh paling berhasil sekaligus
mencirikan identitas perkembangan gereja Batak selanjutnya.

3. Metode Kerja Misi di tanah Batak (3-4). Sebelum pokok tema ini dibicarakan
lebih jauh, ada baiknya diperkenalkan profil tokoh misionaris yang paling
berjasa menanam dan mengembangkan Injil di tanah Batak, beliau adalah
Dr. I.L Nomensen (lebih jauh informasi tentang tokoh ini lih. P.B.
Pedersen,hl. 54-64 dan buku rujukan lainnya). Ia lahir di pulau Nordstand
(daerah Schleswig-Holstein sebuah daerah antara Denmark dan Jerman)
tanggal 6 Pebruari 1834 (pada tahun terbunuhnya Munson dan Lyman di
Lobupining) dan bulan Oktober 1861 (setelah menjalani pendidikan teologi di
bawah bimbingan RMG) ia ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Tiba di
Padang tanggal 14 Mei 1862 (masa 142 hari pelayaran dari Jerman hingga

38
ke Padang). Awalnya, oleh kepentingan politik Belanda dan setibanya
Nomensen di Padang, Belanda tidak memperbolehkannya memasuki daerah
pedalaman Tapanuli. Ia hanya diperbolehkan bekerja untuk misi di daerah
Barus (tiba tahun 1862, di daerah inilah Nomensen belajar bahasa dan adat
Batak), yang walau pemberian ijin ini tidak sesuai dengan cita-cita misi
Nomensen sejak awal, namun ia menganggap situasi ini sebagai langkah
awal memasuki pedalaman Tapanuli ketika itu. Perjalanan misi pertama di
mulainya dari Barus ke Sipirok tanggal 25 Oktober 1862, dan setibanya di
Sipirok, pekerjaannya sangat mendapat simpatik dari banyak orang ketika itu.
Modal yang sangat tajam bagi Nomensen sejak awal dalam mengembangkan
misi adalah sikap dan kepribadiannya yang dinampakkannya melalui
dedikasinya melayani. Inidikasi ini nampak ketika ia mendirikan lembaga
pendidikan zending di Prau Sorat, walau akhirnya lsekolah ini tidak
berkembang karena beratnya tantangan dialami dari pihak Islam. Perjalanan
misi kedua dilakukannya tahun 1863 menuju daerah pedalaman yakni
Silindung, perjalanan ini dimulainya setelah Nomensen mendapat dukungan
semangat dari Van Asselt dan Klammer di mana tahun sebelumnya (1862)
dua orang misionaris ini sudah mengunjungi Silindung. Setibanya di
Silindung, Nomensen awalnya disambut baik oleh masyarakat Silindung,
namun ketika pertama sekali ia berkunjung ke Sipoholon, ia mengalami
perlawanan yang sesungguhnya dari penduduk setempat sebab Nomensen
dianggap sebagai mata-mata Belanda untuk daerah Silindung. Namun oleh
sikapnya yang sangat menarik simpatik banyak orang Batak ketika itu, ia
dibiarkan tinggal di Silindung dan mulai Mei 1864 ia tinggal menetap di desa
Saitnihuta dan di desa inilah untuk pertama sekali ia mendapatkan sebidang
tanah rawa yang kemudian dirubahnya menjadi model perkampungan Kristen
(Huta Dame) yang patut menjadi teladan dalam berbagai hal untuk
sekitarnya. Di huta Dame inilah ia memulai misi yang lebih mendalam di
lembah Silindung melalui: pendidikan (membaca, menulis, berhitung dan
ilmu bumi, dll), kesehatan, kerohanian dan bidang ekonomi-sosial,
akhirnya usaha misi inilah yang kemudian dikenal sebagai “metode misi
empat dimensi”. Sikapnya yang ramah dan keahlianya mengobati berbagai
penyakit, menjembatani jurang komunikasi dirinya menjadi sangat akrab
dengan penduduk setempat ketika itu. Akhirnya, tanggal 27 Agustus 1865,
ia membaptiskan orang berwibawa pertama (bersama empat orang lainnya)
dari orang Batak menjadi Kristen yaitu: Raja Pontas Lumbantobing. Beliau
inilah (dan empat orang yang dibaptis) yang di kemudian hari sangat banyak
mendukung Nomensen bekerja demi misi di lembah Silindung. Dapat
dikatakan bahwa keberhasilan misi Nomensen di tanah Batak sangatlah
berhasil, akhirnya tanggal 23 Mei 1918 Nomensen meninggal dalam usia 85
tahun. Tahun saat Nomensen meninggal, gereja telah bertumbuh dan
mencakup anggota jemaat sebanyak 180.000 orang anggota di baptis,
sekolah-sekolah sebanyak 510 buah dengan 32.700 murid, sejumlah gereja
dengan 34 orang orang pendeta Batak ditahbiskan, 788 guru Injil dan 2.200
orang penatua (lih. Pedersen, hl. 64). Tahun 1881, saat Nomensen kembali
untuk cuti ke Eropa oleh RMG sebagai lembaga misi yang mengutusnya ke

39
tanah Batak menganugerahinya gelar: “Ephorus” (overseer: pengawas) di
mana kemudian nama ini dipertahankan HKBP sebagai gelar jabatan tertinggi
di dalam gereja dan tahun 1904, ia diberi gelar kehormatan Dr. Teologia oleh
Universitas Bonn.

4. Selanjutnya, setelah melihat perkembangan misi yang sangat pesat di tanah


Batak RMG mengutus para misionaris lainnya (mis. P.H.Johansen,
Meerwalt, J. Warneck dll) untuk membantu pekerjaan misi di tanah Batak
(lih. 125 tahun HKBP, hl 147 ff). Dari metode dan dedikasi kerja misi yang
tajam berikut diuraikan tahap demi tahap hasil yang diperoleh dalam usaha
pembentukan dan perkembangannya gereja Batak kemudian yakni:
a. Bidang Kerohanian. Usaha-usaha dalam bidang ini sangat berhubungan
dengan pembinaan kehidupan kerohanian orang-orang Kristen Batak
melalui: “ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan Kristen dan
evanggelisasi, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak, serta
pengadaan buku-buku bacaan yang berisikan pengajaran Kristen dan
lain-lain”. Lengkapnya pekerjaan ini dapat dikatakan sebagai berikut:
1876: Nomensen menterjamahkan Akitab PB ke bahasa Batak Toba
yang ditulis ke aksara Batak dan diterbitkan tahun 1876. Dengan
tambahan terjemahan kitab Mazmur oleh P.H. Johansen,
terjemahan kitab PB ini disalin dalam aksara Latin tahun 1885.
1894: Alkitab PL terjemahan bahasa Batak Toba pertama sekali
diterbitkan tahun 1894, setelah PH Johansen mengerjakannya
selama 13 tahun.
1874: I.L. Nomensen menterjemahkan Katekhismus M. Luther ke bahasa
Batak Toba.
1881: Buku ende huria dalam bahasa Batak Toba dikumpulkan dan
diterbitkan sebanyak 121 nyanyian, juga lampiran konsep dosa
pagi dan sore. Nyanyian-nyanian itu disadur dari bahasa Jerman ke
bahasa Batak Toba. Cetakan kedua buku nyanyian ini dilakukan
tahun 1886 dengan 162 nyanyian. Hingga tahun 1889, santapan
rohani (bohal partondion) karangan H.V. Bogatzky diterjemahkan
oleh P.H. Johansen, di mana buku ini dipergunakan sebagai buku
renungan dan ibadah keluarga Kristen.
1886: Nyanyian rohani dan Kathehismus dalam bahasa Batak Angkola-
Mandailing diterjemahkan oleh Chr. Schuetz.
1889: Untuk pertama sekali majalah gereja “Imanuel” diterbitkan, isinya
berita-berita pelayanan gereja, khotbah gerejani bulanan. Tujuan
terbitnya majalah ini adalah untuk mempersatukan jemaat-jemaat
Kristen Batak yang semakin pesat perkembangannya.
1898: Pertama sekali Almanak tahunan gerejani diterbitkan sebagai buku
penuntun teks khotbah setiap hari minggu serta nats-nats bacaan
bagi setiap anggota keluarga Kristen.
1899: Buku kumpulan cerita Alkitab PB yang diterjemahkan oleh I.L.
Nomensen diterbitkan dalam aksara Batak dan latin. Buku ini
sebagai bahan pengajaran pertama bagi pelajaran sidi. Demikian

40
dengan tahun 1902 buku kumpulan certa Alkitab PL diterjemahkan
ke bahasa Batak Toba oleh P.H. Johansen. Penterjemahan ke
bahasa Batak Angkola–Mandailing dilakukan oleh Ph.Schuetz,
buku ini diterjemahkan dari buku karya Zahn dan Kuertz.

b. Bidang pendidikan umum dan teologi. Para misionaris awalnya sangat


memahami bahwa tidak mungkin gereja berdiri di tengah masyarakat
yang buta huruf (aksara) sebab membina kerohanian saja tidaklah
mungkin membentuk manusia seutuhnya. Melalui pendidikan mereka
sadar bahwa ini adalah sarana utama bagi penunjang berhasilnya PI yang
sesungguhnya, melalui pendidikan inilah para pribumi kemudian sangat
mendukung berhasilnya PI. Berikut dicantukan sejarah pembangunan
pendidikan umum dan pendidikan teologi oleh gereja di tanah Batak:

- Bidang Pendidikan Umum

1861: Oleh Nomensen di Prau Sorat SD untuk membaca dan berhitung


dibuka yang tahun 1893. Selanjutnya, sekolah-sekolah sending di
Tapanuli mendapat bantuan dari pemerintah Belanda sebab
sekolah sending sangat berperan meningkatkan pengetahuan
(kwalitas SDM) masyarakat.
1900: “Sekolah anak ni raja” diririkan di Narumaonda dan sekolah ini
memakai bahasa Belanda. Di Narumonda juga didirikan sekolah
Tukang yang dididik menjadi terampil/ahli bidang pandai besi dan
kayu. Lama belajar adalah 2 tahun yang kemudian sekolah ini
mendapat bantuan dari pemerintah.
1911: Sekolah yang jenjangnya lebih tinggi dari SD yakni HIS (Hollands
Inlands School) di Sigompulon Tarutung didirikan, sekolah ini
jugaberbahasa Belanda
1927: Sekolah MULO (setingkat dengan SMP) Kristen didirikan di
Tarutung. Hingga pertengahan abad 19 produk sekolah ini sangat
bermutu hingga siap diandalkan di seluruh Indonesia.
1930: Sekolah Vervolg (Vervlog School) didirikan sebagai lanjutan dari
kelas III SD.
1932-1950: Persekolahan di kalangan Kristen Batak di berbagai daerah
(dari Siborongborong, Balige, Tarutung, bahkan ke P. Siantar dll)
tumbuh seperti jamur. Sekolah ini kemudian dinamakan
Schakelschool yang bersama dengan HIS dan HIS Bregensstroth,
sekolah-sekolah ini berbahasa Belanda.
1945-1950: Persekolahan (mulai dari SD-SMA) HKBP bertumbuh sangat
pesat, dan untuk pertama sekali SMA dan SGA HKBP berdiri di
Tarutung. Hingga tahun 1962 melalui Depertemen Pendidikan
HKBP telah memayungi 100 buah lembaga pendidikan umum
yangtersebar di berbagai daerah.
1954: (7 Oktober) melalui SA-nya, HKBP mendirikan sebuah Universitas
milik HKBP yang diberi nama Universitas HKBP Nomensen,

41
awalnya hanya tiga Fakultas yakni: Theologia, Ekonomi dan
Hukum.
1957-1961: Badan persekolahan gereja ini sangat mengalami hambatan
dalam pengelolaannya sebab keadaan politik negara, yang
akhirnya mengurangi gaji para guru yang sangat dibawah standart
dan sulitnya para guru ini memperoleh kenaikan pangkat/golongan
yang berhubungan dengan kesejahteraannya.
1961: Perguruan teknik HKBP didirikan di P. Siantar (Jln. A. Yani/Medan
sekarang samping percetakan HKBP).

- Bidang pendidikan teologia

1868: Lembaga pendidikan guru pertama yaitu Seminari Prau Sorat


sebagai sekolah Kateket) di dirikan di Prau Sorat – Sipirok
(Tapanuli Selatan). Siswa sekolah ini direkrut dari tamatan SD
sending terbaik ketika itu dengan kurikulum: “pengetahuan tafsiran
Alkitab dan Sejarah Alkitab, Katekhismus, Ilmu Bumi, Sejarah
(Kuno, Modern, dan Sejarah Gereja), Berhitung, Bernyanyi,
Pengetahuan Alam dan bahasa Jerman dan Melayu”. Sekolah ini
ditutup tahun 1872 (hanya menghasilkan 27orang guru dari tiga
angkatan) karena hasil misi PI umumnya di TAPSEL sangatlah
lambat di banding TAPUT dan akhirnya sekolah ini dipindahkan ke
TAPUT.
1873-1877: Sikola Mardalan-Dalan didirikan (sekolah yang belajarnya
tidak menetap/mardalan-dalan). Disebut namanya demikian, sebab
para misionaris sebagai guru mereka, oleh pekerjaan misi yang
sangat banyak para siswa datang menemui guru untuk diajari.Tiga
orang misionaris yang bekerja di Silindung ketika itu sekaligus
sebagai guru adalah: I.L. Nomensen di Pearaja, P.H. Johansen di
Pansur Napitu, A. Mohri di Sipoholon. Kurikulum yang diterapkan
merupakan pengembangan dari kurikulum sekolah guru Prau
Sorat.
1877: Seminari Pansur Napitu. Seminari ini merupakan lanjutan dari
Sekolah Mardalan-dalan sebelumnya. Dibukanya seminari ini oleh
para misionaris, sebab pertimbangan kurang efektifnya sekolah
mardalan-dalan yang melalui ini dipikirkan cara yang lebih bai yaitu
membuka sekolah menetap di Pansur Napitu (kemudian disebut
Seminari Pansur Napitu). Seminari ini dipercayakan atas
pengelolaan P.H. Johansen yang juga ia melayani jemaat
setempat. Untuk lebih meingkatkan kwalitas lulusannya, para
misionaris memutuskan lama pendidikannya selama empat tahun.
Kebijakan ini diambil sebab, pendidikan yang serupa telah dibuka
di Depok (Jawa Barat) tahun 1878 yang oleh karena itu para
misionaris mengharapkan lulusannya dengan kwalitas yang serupa
dengan lembaga pendidikan yang didiririkan di Depok.
Selanjutnya, lembaga pendidikan Pansur Napitu ini mendidik putra

42
pribumi yang diharapkan menjadi tenaga bidang pendidikan guru
jemaat dan sekolah pendeta.
1900: Seminari Sipoholon didirikan. Tahun ini merupakan perpindahan
seminari Pansur Napitu ke Sipoholon. Perpindahan ini disebabkan
pertimbangan para misionaris atas hasrat putra pribumi
mendapatkan pendidikan teologia dan pendidikan umum yang lebih
baik. Atas inisiatif para misionaris, J. Warneck dipercayakan
menjadi pemimpin seminari ini. Dari tenaga pengajar dan
kurikulum serta lama pendidikan, seminari ini merupakan
pengembangan dua lembaga pendidikan (sekolah mardalan-dalan
dan seminari Pansur Napitu) sebelumnya.
1934: Sekolah penginjil khusus wanita (Bibelvrouw) di Laguboti.
Sekolah ini pertama sekali di bawah pimpinan Schwester Elfriede
Harder. Mula-mula sekolah ini didirikan di Narumonda-Porsea
(1934-1936) tetapi tahun 1837 dipindahkan ke Laguboti. Sejak
awal, produk sekolah ini diharapkan mampu menjadi pelayan
gereja khusus bagi pekerjaan wanita seperti: pembinaan wanita
dalam gereja, mengajar anak-anak dan muda/i, pelayanan pastoral
lainnya para wanita ke rumah-rumah. Masa pendudukan Jepang
(1940-1945) sekolah ini ditutup, namun oleh Pdt. K. Sirait mantan
Ephorus HKBP pertama, sekolah ini dibuka kembali.]

Catatan:
- Masa pendudukan Jepang di tanah Batak, umumnya lembaga
pendidikan umum dan sekolah-sekolah teologi sedang mengalami
kegentingan yang amat sangat yaitu ditutupnya oleh pemerintah
Jepang semua badan sekolah itu.
- Setelah kemerdekaan, lembaga sekolah ini di buka kembali dengan
paradigma yang berbeda sesuai apa yang direncanakan oleh para
misionaris. Artinya bila sekolah-sekolah sending didirikan untuk
kepentingan misi secara menyeluruh (sebagai tenaga-tenaga guru
bidang pendidikan umum) oleh HKBP, pengefektipan kembali
sekolah-sekolah teologi tahun 1950 (melalui pendirian sekolah guru
huria misalnya) diharapkan dapat menjadi tenaga pelayan yang
terbatas hanya mengelola pelayanan jemaat lepas dari fungsi sebagai
guru di sekolah-sekolah umum.
- Hikmat ini penting, guna memahami dibukanya kembali pendidikan
guru huria khusus sebagai tenaga pelayan bagi jemaat-jemaat yang
mengalami perkembangannya masa pertengahan abad 19 di tanah
Batak dan di berbagai daerah lainnya.

c. Bidang kesehatan. Sejak awal bahwa keberhasilan misi di tanah Batak


sangat didukung oleh pelayanan para misionaris di bidang kesehatan
(penyembuhan dan kebersihan lingkungan, penyuluhan giji yang baik).
Pelayanan ini mempengaruhi masyarakat Batak akhirnya meninggalkan
ketergantungan mereka kepada peran datu dalam kehidupan sehari-hari.

43
Perkembangan selanjutnya pelayanan ini, memotivasi para misionaris
mendirikan lembaga pelayanan kesehatan seperti pendirian beberpa
rumah sakit yang lebih besar, yakni:
1900: RS RMG pertama didirikan di Tarutung, yang dipimpin oleh Dr.
med. J. Schreiber
1901: Dr. (med) Winkler dan Suster Charlotte Spethmann diutus untuk
melayani RS Tarutung.
1905: Sekolah pendidikan perawat dan Bidan untuk para wanita Batak
dibuka.
1917: RS penolong di buka di Balige, dan tahun 1928 di tingkatkan
menjadi sebuah RS yang sama kelasnya dengan yang di Tarutung.
1940: Hingga tahun ini, pelayanan kesehatan HKBP melalui berdirinya 14
RS penolong di: Ambarita; Butar; Dolok Sanggul; Nainggolan;
Pakantan; Pakkat; Pangaribuan; Pangururan; Pargarutan;
Parsoburan; Sayurmatinggi; Sihorbo; Sipirok; Sitorang.
RS penolong ini kemudian didukung oleh berdirinya 12 Poliklinik,
yakni di: Janjimatogu; Laguboti; Lintongnihuta; Lumban Julu;
Onanhasang; Parsoburan; Porsea; Salak; Sarulla; Simarangkir;
Sigumpar; Sipahutar.
1940: (10 Mei), semua lembaga pelayanan kesehatan ini dikuasai oleh
pemerintah Belanda dan Maret 1942 kembali dikuasai oleh
pemerintah Jepang, dan 1945 setelah kemerdekaan diambil alih
oleh pemerintah Indonesia. Tanggal 15 Desember 1945, melalui
SK MENKES RI Dr. Lie Kiat Teng No. 8/9632/Kab. Pemerintah
menyerahkan semua fasilitas pelayanan kesehatan yang diwarisi
dari RMG kepada HKBP. Namun oleh ketidakmampuan HKBP
waktu itu, hanya RS Balige kembali ditanggung jawabi oleh HKBP.
Maka hak dan beban tanggungjawab RS itu secara resmi ditangani
oleh HKBP sejak 1 Januari 1955.

d. Bidang Sosial Ekonomi (lih. Pedersen, hl. 61). Adalah merupakan fakta
sebelum kekristenan di tanah Batak, bahwa masyarakat Batak hidup dalam
penggolongan (pengkastaan) derajat hidup akibat: kemiskinan, kebodohan,
kemalasan, kebiasan berjudi, system perbudakan (parhatobanon) dan system
pinjam-meminjam (rentenir) yang gawat masih dominan. Dalam usaha
memperbaiki sistem social masyarakat ini, para misionaris menerapkan metode
kerja misi sebagai berikut:

- Memberantas sistem “parhatobanon” (system budak) melalui menebus utang


“hatoban” kepada para pemiutang (tuan-tuan/raja).
- Membasmi system utang-piutang (pinjam meminjam) dengan bunga yang
sangat tinggi dengan menggiatkan system perkoperasian yang pengelolaannya
dipercayakan kepada para guru sendirng yang sekaligus berfungsi sebagai
guru jemaat setempat. Untuk usaha ini, Nomensen memberi modal kepada
jemaat untuk dipinjamkan dengan bunga sangat rendah.
- Mengurangi beban kerja para wanita menumbuk padi dengan mengajari
mereka membuat kincir air (losung aek) yang berfungsi sebagai gilingan padi.

44
- Mengajari para petani Batak dengan system pertanian modern. Sistem ini
ditambah dengan pengefektipan lahan pekarangan rumah guna meningkatkan
pendapatan dan giji keluarga seperti tanaman sayuran dan buah-buahan. Pola
ini diterapkan pertama sekali dengan mengembangkan penataan
“pargodungan” (kompleks gereja sekaligus kompleks perumahan pelayan:
Pdt dan guru sending/jemaat).
- Untuk membina system perekonomian masyarakat Batak yang lebih luas, I.L.
Nomensen mengusulkan kepada pemerintah mengatur hari pekan (Onan) di
tiap daerah di Tapanuli Utara. Tujuannya supaya hasil panen penduduk dapat
dipasarkan dengan baik melalui lancarnya roda perputaran uang di tanah
Batak (misalnya: Onan Senin-Laguboti ; Selasa-Narumonda ; Rabu – Porsea ;
Kamis – Silaen ; Jumat – Balige ; Sabtu – Sigumpar ; Rabu – Siborongborong
dan daerah daera lainnya di Silindung). Sistem pengaturan seperti ini juga
berlangsung di daerah Silindung dan Humbang.

5. Penutup untuk bab ini. Suatu hal dapat dikatakan bahwa keberhasilan misi di tanah
Batak sangat ditentukan oleh cara pendekatan para misionaris yang sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat Batak pada masanya. Pernyataan inilah yang
dilakukan secara khusus oleh Nomensen, dan nampak dalam hal:

- Ketika pertama sekali orang Batak memberi gelar “Ompui” kepadanya,


pemberian gelar ini tidak semata-mata karena keberhasilannya membentuk dan
membina sebuah perkampungan Huta Dame di lembah Silindung yang sekaligus
ia memberi pengajaran Alkitab dan pengetahuan agama Kristen kepada mereka.
Lebih dari itu, nasehatnya dalam memutuskan persoalan adat, tata laksana
kehidupan antar kampung, demikian perselisihan antara keluarga, keadilan
pertimbangannya memperdamaikan perselisihan antar penganut agama suku
semuanya menjadi corak kepemimpinan dan kepribadiannya yang sangat tanguh
memberhasilkan misi di tanah Batak.
- Wibawa (sahala) dirinya yang ditunjukkannya ketika pertemuan para raja di
setiap berlangsungnya Onan nampak kecerdasan, ketangkasan dan
ketajamannya berpikir terhadap soal-soal hikmat ke-Batak-an dan melampaui
raja-raja Batak sendiri.

Sikap seperti inilah inilah dapat dijadikan sebagai teladan yang sangat kuat bagi
pelayan dan pelayanan masa kini guna dimamfaatkan bagi perkembangan gereja
sebagaimana diharapkan ke depan.

STRATEGI KEPEMIMPINAN MISI RMG


DI TANAH BATAK (1861 – 1930)

Pendahuluan

1. Berbicara mengenai strategi kepemimpinan misi RMG di tanah Batak,


nampaknya ini harus dilihat dari sudut pekerjaan Nomensen dan rekan-

45
rekannya. Nomensen dan rekan-rekan yang dimaksudkan di sini adalah para
misionaris RMG yang bekerja di tanah Batak dari tahun 1861-1930.
Sebenarnya Nomensen adalah misionaris RMG ke lima yang bekerja di tanah
Batak. Gustav van Asselt telah mendahuluinya tahun 1857, Betz tahun 1859,
Klammer dan Heine tahun 1862 yang hingga tahun 1930 mereka bertambah-
tambah sehingga pernah mencapai sebanyak 50 orang. Sekedar menjadi
pegangan bahwa arti strategi pekabaran Injil, hal ini menyangkut cara yang
terbaik dijalankan dalam pemberitaan itu di tanah Batak. Dalam mencapai
satu tujuan tertentu, seorang misionaris telah memikirkan dan mencari lebih
dahulu cara terbaik yang akan dia pakai. Dalam hal ini, cara dan tujuan
sangat rapat hubungannya bahkan tidak terpisahkan satu dengan yang lain.
Dalam menentukan satu tujuan pun, penentuan itu termasuk pada metode
atau cara tadi. Dalam hubungan pernyataan di atas dengan tema ini, penulis
mengalami kesulitan khusus, sebab yang paling pertama adalah di samping
bahan-bahan literatur pendukung sangat sedikit ditemukan, tema ini tidak
mungkin dikerjakan pada ruang yang singkat ini. Namun, walau demikian
penulis tetap mencoba menelusurinya dari sudut karya Nomensen. Akhirnya,
penulis menekankan penelitian tema ini bagi gereja-gereja Batak umumnya
dan HKBP khususnya. Artinya, ada hasil dapat dipetik dan ditawarkan dari
strategi kepemimpinan para misioanris RMG di tanah Batak.

2. Kata yang sangat terkenal sebagai ulasan penulis Surat Ibrani tentang
pemimpin dan kepemimpinan adalah: ”ingatlah akan pemimpin-pemimpin
kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu” (13:7). Makna yang
paling esensial dari kata “mengingat” dalam hal ini adalah “menelusuri pola
hidup dan kepasrahan seraya menyimak hikmat-hikmat yang bernilai guna
dipedomani”. Dari inspirasi inilah menguraikan tema ini di mana
kepemimpinan Nomensen dalam misi di tanah Batak, ini merupakan
kepemimpinan yang memahami dengan jelas apa yang dibutuhkan dan
mengetahui bagaimana menggerakkan orang Batak yang dilayaninya.
Sebagai seorang misionaris, Nomensen adalah seorang yang banyak
mempengaruhi pemikiran, sikap dan kehidupan orang Batak.
Kepemimpinannya merupakan kepemimpinan hamba (Servant Leadership) di
mana ia bertindak sebagai hamba demi kemuliaan Allah di tanah Batak.

Berdirinya Serikat Misi RMG Dan


Perkembangan Teologi Pietismenya

3. Untuk melihat corak, bentuk dan type pelayanan misi RMG di tanah Batak,
penting dipahami munculnya RMG sebagai lembaga misi. Secara umum,
munculnya gerakan rohani baru di dalam gereja adalah lebih sebagai reaksi
terhadap sikap gereja baik secara positif maupun secara negatif yakni berupa
sikap melepaskan diri dari gereja. Terhadap kasusnya di Jerman,
pertentangan antara pihak Kontra Reformasi (RK) dengan pengikut

46
Reformasi mengakibatkan terjadinya penderitaan rakyat Jerman sendiri
secara tidak terperikan.47 Dampaknya, kepemimpinan gereja akhirnya di
pegang oleh pemerintahan sipil Negara. Akibat dari kondisi umum ini,
bangkitlah orang-orang otonom yang tidak mau diperintah oleh kekuatan lain
atas dirinya yang secara umum mereka tidak mengindahkan gereja (agama).
Kekakuan gereja terhadap keadaan ini menghasilkan suatu kecenderungan
baru yakni Injil diterima secara moralis sehingga akhirnya muncul suatu
gerakan rohani baru yang sangat menekankan pertobatan dan penyucian. Di
kalangan pengikut-pengfikut Lutheran di Jerman, Philip Jakob Spener(1635-
1705), August Herman Francke (1663-1727) dan Nikolaus Ludwig von
Zinzendorf (1700-1760) merupakan perintis semangat ini. Dapat dikatakan
selanjutnya bahwa refleksi konsep dogma dan teologi sebagaimana uraian
Luther semakin hidup oleh implementasi praksis beberapa tokoh ini dalam
kehidupan gereja secara praksis. Artinya konsep mereka tentang pietisme
sebagai kesalehan, kekudusan, dan ketaatan yang terlatih melalui komitmen
hidup semakin disadari sangat mendukung dalam mewujudkan cita-cita
reformasi Luther abad 16. Johan Hasselgren menegaskan pernyataan ini
mengemukakan bahwa berdirinya (tahun 1829 di Barmen: Jerman) lembaga
misi RMG (Rheinische Missiongesellschaft), awalnya lembaga ini merupakan
hasil penggabungan (merger) dari beberapa serikat misi Kristen Protestan di
Jerman pada masanya. Sebagai serikat misi, awalnya RMG sangat kuat
terkait dengan Jerman Pietisme (anak Pietisme Jerman) di mana umumnya
aliran Pietisme sangat menekankan kebutuhan bagi iman emosional,
personal dan individual yang merupakan interpretasi harafiah Injil dan
kebutuhan bagi semua jemaat yang sungguh berdedikasi untuk bersama-
sama berkarya. Pada posisi ini, para penganut Pietisme mengembangkan
teologi misi mereka dalam hubungannya dengan para pendukung:
“confessional Lutheranisme”. Para pendukung “confessional Lutheranisme”
inilah yang kemudian mengembangkan/merepresentasikan teologi-teologi
misi RMG di dalam pengaruh tradisi Pietisme termasuk di tanah Batak i.
Beberapa tokoh itu di antaranya, yakni:48

a. J.C Wallmann (1811-1865)49 adalah seorang inspektur RMG tahun 1848-


1857. Ia sangat mempengaruhi banyak orang pada generasi selanjutnya
bersemangat menjadi para misionaris RMG. Wallmann adalah seorang
Pietis yang baginya gagasan kebutuhan mendesak bagi pentobatan
individual merupakan sesuatu yang sangat sentral. Keyakinan ini
dikombinasikan dengan kelekatan yang kuat dengan pentobatan
Lutheran. Teologi misi Wallmann sangat menekankan kebutuhan akan
“para durjana yang tinggal di kegelapan” yang harus diselamatkan
(sebuah tema khas dari jamannya). Meskipun Wallmann adalah seorang
nasionalis Jerman yang konservatif, ia membuat pembedaan jelas antara
47
Lih. Carter Lindberg, The Third Reformation ? (Georgia: Mercer, University, 1983) hl. 131
48
Lih. Johan Hasselgren, Batak Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius
Batak Toba di Medan, 1912-1965 (Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 76-77
49
Ibid., hl. 78-84
i

47
prinsip ajaran Kristen dengan peradaban Barat, artinya bagi wallmann:
“tujuan misi dalam cara apa pun tidak melibatkan gagasan tentang
Eropanisasi”. Bangsa non-Eropa dalam konteks misi harus diberi
kesempatan untuk menjadi jemaat Kristen dalam kerangka kerja tentang
kebudayaan mereka sendiri. Para misionaris seharusnya mendekati
jemaat non-Kristen dengan cinta bukan merendahkan kebudayaan dan
agama mereka. Pemikiran tentang misionaris seharusnya bebas dari
maksud-maksud memegahkan diri untuk meng-Eropa-kan. Sebagai bukti
dari minatnya dalam kebudayaan-kebudayaan non Barat, Wallmann
menghasilkan banyak karya dalam antropologi missioner. Jelaslah bahwa
pembedaan mendasar Wallmann antara Injil dan kebudayaan Barat
berimplikasi pada ketertarikan antropologis dan evaluasi positif tentang
kerangka kerja kebudayaan RMG di wilayah pelayanan misi di mana
orang-orang dipertobatkan agar memeluk ajaran Kristiani.

b. Friederick Fabri (1824-1891)50, adalah inspektur RMG selama periode


1857-1884. Setelah menyajikan desertasi doktornya tahun 1847,
posisinya di RMG adalah hasil dari upaya serikat ini untuk merekrut
orang-orang yang terpelajar mengabdi di Seminari. Fabri merupakan
salah seorang pemimpin misi yang berpengaruh dan disegani di Jerman.
Dia menyediakan banyak waktu untuk masalah-masalah politik dan sosial
tetapi juga untuk memperkuat dukungan bagi RMG. Elemen sentral dalam
teologi Fabriii adalah kerajaan Tuhan. Menurut dia, dunia ini adalah
bagian bawah kerajaan Tuhan, sebuah entitas spiritual yang aktif dalam
sejarah manusia, tetapi tidak menjadi bagian darinya. Realisasi utuh
tentang kerajaannya adalah kenyataan eskatologis yang hanya bisa
digenggam melalui iman pribadi. Terbiasa dengan ontology yang
mendasar ini, Fabri mengembangkan teologi misinya. Baginya, gagasan
bahwa semua orang harus dipertobatkan menjadi Kristen adalah salah
konsep. Alih-alih Tuhan memanggil semua orang menjadi jemaat Kristen
untuk mengumpulkan mereka orang-orang yang terpilih. Ketika Injil telah
diwartakan kepada semua bangsa, akhir dunia akan datang. Sebagai
hasil dari kepemimpinan Fabri, jumlah misionaris RMG yang semakin
bertambah dipengaruhi oleh teologinya tentang kerjaan Tuhan. Meski
pandangannya bahwa kerajaan Tuhan bukanlah dari dunia ini, Fabri
berpikir bahwa jemaat-jemaat Kristen di Barat, karena standar peradaban
mereka yang tinggi memiliki tugas untuk mewartakan ajaran Kristen dan
peradaban ke seluruh dunia. Sehubungan dengan organisasi-organisasi
missioner, pemerintahan colonial memberikan dukungan moral dan
perlindungan bagi misionaris. Fabri sangat mengajukan permohonan
kepada pemerintah Jerman ketika itu yang baru bersatu dipimpin oleh
Kanselir Bismarck untuk berusaha mendirikan koloni-koloni, akibatnya
Fabri dijuluki Bapak Kolonialisme Jerman. Ketika dari tahun 1880-an,
Jerman mulai mendirikan koloni-koloninya sendiri, RMG melaksanakan

50
Ibid., hl. 78-84
ii

48
tugasnya sebagai misi colonial Jerman di Namibia dan New-Guniea.
Jelaslah bahwa, Fabri mengembangkan teologianya dalam sebuah arah
yang berlawanan dengan pembedaan Wallmann yang jelas antara Injil
dan kebudayaan Barat. Munculnya era imperialisme yang besar-besaran
sebuah era yang tidak dialami Wallmann, memiliki poengaruh kuat pada
garis pemikiran Fabri. Pemikiran ini memiliki akibat bahwa minat positif
Wallmann bahwa kerangka kerja kebudayaan tentang pertobatan-
pertobatan diganti oleh sebuah penekanan pada: “misi yang beradab dari
Barat”. Pada akhir abad ke19, aliran pemikiran Baru mulai mempengaruhi
RMG.

c. Gustav Warneck (1834-1910)51 adalah seorang teoris misi yang paling


berpengaruh selama akhir abad ke 19 di Jerman. Pada tahun 1871,
Warneck dipekerjakan oleh RMG sebagai guru di Seminari. Dia bekerja
pada organisasi tersebut sampai tahun 1874 ketika Warneck menjadi
pendeta jemaat kecil di Saxony. Tahun 1896-1909, Warneck menjadi
Profesor misi di Halle. Pengaruhnya di Jerman muncul melalui tulisan-
tulisannya yang terinspirasi oleh hubungan-hubungan yang ekstensif
dengan lingkup missioner dengan misi-misi di luar negeri. Pemikirannya
secara sadar didasarkan pada terjalinnya pengalaman misioner, teori dan
praktek. Warneck memiliki hubungan yang dekat dengan misi RMG di
Sumatera. Dalam teologi misinya, Warneck menggabungkan semangat
gagasan Pietisme tentang pentobatan individual dengan tujuan membuat
semua orang menjadi Kristen dan memasukkan paham atau gagasan
romantisisme. Sehubungan dengan pokok persoalan misi menurut
Warneck, seluruh gereja pada dasarnya bertanggungjawab untuk
mewartakan iman. Tetapi karena tanggungjawab tersebut tidak bisa
diharapkan dari seluruh anggota gereja, tugas tersebut diemban oleh
para jemaat yang setia yang merupakan inti dari gereja. Meski demikian
persoalan misi yang terutama adalah mengkristenkan seluruh umat
manusia dan untuk mendirikan gereja umat. Prosesnya bertahap dimulai
dengan individu-individu kemudian pesan mencakup keluarga-keluarga
dan desa-desa sampai akhirnya seluruh umat manusia menjadi Kristen.
Para jemaat yang setia merupakan penggerak dalam proses ini. Dengan
cara ini, pentobatan indibidu-individu merupakan basis bagi pentobatan
sebuah bangsa dan secara bersama-sama. Elemen penting dalam
gagasan Warneck tentang gereja utama adalah bahwa gereja seharusnya
otonom. Bagi Warneck, pendidikan dan pentahbisan penduduk pribumi
seperti menjadi penginjil, guru dan pendeta merupakan prioritas yang
penting, usaha-usaha mereka membuka jalan bagi para jemaat Kristen
yang baru untuk membantu gereja mereka secara finansial. Dalam hal
gereja yang seharusnya mengelola diri sendiri, Warneck berpendapat
bahwa gereja itu independent dalam arti bahwa gereja sebaiknya tidak
menjadi subjek terhadap rumusan-rumusan konvensional yang kaku dari
gereja-gereja Eropa, atau mengambil alih bentuk-bentul liturgy dan aturan
51
Ibid., 78-79

49
gereja Eropa yang rapi dan teratur. Jauh lebih penting bagi jemaat Kristen
pribumi utnuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa mereka sendiri
daripada menghafal bentuk-bentuk pengakuan dan peribadatan Eropa.

d. August Schreiber (1839-1903)52 adalah seorang misionaris RMG


pertama yang lulus dari universitas jurusan teologi dan ia berkarya di
Sumatera dari tahun 1889-1893. Tahun 1874, ia menggantikan Warneck
sebagai guru di seminari dan tahun 1889, ia menjadi misionaris pertama
yang memimpin RMG. Ia bertugas sebagai inspektur sampai wafat
sampai tahun 1903. Schreiber termasuk sebagai seorang pemimpin RMG
yang paling berpengaruh. Dalam cara yang sama dengan Warneck,
Schreiber menerima bahwa kebudayaan-kebudayaan pribumi merupakan
“sebuah persiapan bagi Injil” dan bahwa tujuan misi adalah mendirikan
gereja-gereja umat yang otonom. Schreiber membagikan sebuah
pandangan negative tentang kemampuan-kemampuan intlektual tentang
“si kafir” tetapi tidak menekankannya sebanyak Fabri dan Warneck.
Selama studinya di Iggris, pada tahun 1864 – 1865, ia dipengaruhi secara
langsung oleh rumus: “Tiga Mandiri”. Oleh karena itu, ia menerima sebuah
versi yang lebih murni tentang rumus tersebut daripada yang diterima
Warneck. Berlawanan dengan Warneck, Schreiber dengan kuat
menekankan pentingnya mengalihkan kekuasaan kepada orang pribumi
secepat mungkin dan tidak usah menunggu sampai orang-orang pribumi
tersebut cukup matang.

Kesimpulan yang dapat dipetik melalui uraian di atas bahwa perkembangan


teologis RMG masa abad ke-19 hingga selanjutnya, ini memiliki akibat
langsung bahwa tujuan Pietisme tentang pentobatan individual sangat
diintegrasikan dalam gagasan bahwa tujuan misi adalah mendirikan gereja
yang mengarahkan seluruh umat manusia. Sifat utama gereja ialah bahwa
gereja tersebut akan memenuhi rumus: “Tiga Mandiri”. Asumsi Barat yang
lebih khusus yakni superioritas Jerman atas penduduk non Barat, sangat
berimplikasi bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk menunda
implementasi beberapa aspek rumusan tersebut. Yang terutama ialah
permasalahan para baptisan baru yang sesungguhnya mengambil alih
kepemimpinan yang efektif atas gereja. Sehubungan dengan aturan
kebudayaan para baptisan baru, asumsi tentang superioritas Barat
menyebabkan Fabri menekankan dengan kuat: “memperadapkan misi Barat”.
Meskipun mereka membagikan gagasan superioritas Barat, Warneck dan
Schreiber mengikuti pandangan positif Wallmann tentang kebudayaan-
kebudayaan non Barat dalam hubungannya dengan karya missioner.
Kebudayaan para baptisan baru meskipun dibersihkan dari: “unsur-unsur
kekafiran” merupakan batu penjuru dari gereja umat.

Pelayanan Misi RMG di Tanah Batak


52
Ibid., hl. 80-81

50
4. Awal pekerjaan misi RMG di Indonesia secara umum, ini dimulai ketika
lembaga misi ini mulai mengutus para misionarisnya ke Kalimantan (Borneo)
tahun 1834.53 Dua tahun kemudian, para misionaris RMG (pusat misi di
Kalimantan adalah Banjarmasin) mulai meneruskan pelayanan misi di antara
suku pedalaman Kalimantan yakni suku Dayak.54 Ketika pengaruh politik
kolonial Belanda berperilaku tidak adil kepada para penguasa lokal di
Kalimantan (termasuk kepada para Sultan di Banjarmasin) maka keadaan ini
memicu terjadinya perang Hidayat (1830-1864) di sana. Akhirnya, atas
keadaan ini Belanda berhasil dipaksa keluar dari Kalimantan dan RMG mulai
mencari wilayah misi lain dalam koloni Belanda. Bulan Oktober 1860,
keputusan penting bagi RMG dalam pelayanan misi di Sumatera yakni
dengan menetapkan tanah Batak sebagai lapangan misi yang baru.
Selanjutnya, tahun 1861 dua orang misionaris pertama RMG pertama tiba di
Sipirok yakni: “Heine dan Klammer”. Saat awal tibanya dua orang ini di
Sipirok, mereka langsung mengadakan kontak dengan dua orang misionaris
lembaga misi Ermelo (Belanda) yang sudah mendahului di Sipirok yakni: “van
Asselt dan Betz”. Di Sipirok, tidak sedikit penduduk mereka baptis menjadi
Kristen namun akibat tantangan dari pihak Islam akhirnya mereka murtad
menjadi Islam. Ketika RMG mengembangkan misi ke Utara, menuju wilayah
Batak Toba (di mana agama Islam belum masuk) barulah sejumlah besar
orang bergabung dengan agama yang baru yakni Kristen55. Artinya ke empat
orang misionaris inilah (atas prakarsa Van Asselt) pertama sekali
mengadakan rapat koordinasi kerja misi tanggal 7 Oktober 1861 di Sipirok
membicarakan tentang: “metode kerja misi di tanah Batak sekaligus membagi
wilayah kerja mereka”. Penting diingat bahwa ada dua momen sangat penting
berlangsung saat rapat koordinasi ini diadakan, yakni: oleh RMG melalui
pimpinannya Fabri di Jerman, peristiwa itu merupakan penggabungan kerja
badan misi Belanda dengan RMG-Jerman dan sekaligus sebagai penyerahan
badan misi Belanda ke RMG di tanah Batak. Melalui pembagian wilayah ini,
dan setelah kedatangan Dr. Ingwer Ludwig Nomensen, mereka kemudian
sepakat untuk mengutusnya (Nomensen) ke daeran Utara yakni daerah
lembah Silindung untuk misi. Nyata selanjutnya bahwa pekerjaan
Nomensenlah yang jauh paling berhasil sekaligus mencirikan identitas
perkembangan gereja Batak selanjutnya.

Stategi Kepemimpinan Misi Para


Misionaris RMG di Tanah Batak
53
Lih. Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-
GM,1996) hl. 96-98. R. Fabri datang ke Amsterdam menemui pemerintah Belanda guna
membicarakan masalah misi selanjutnya di Kalimantan akibat bergejolaknya perang Hidayat
tahun 1859 di sana. Akibat perang itu juga para misionaris RMG turut terbunuh sebab ketika
itu Kalimantan juga merupakan wilayah kerja misi RMG yang dirintis sejak tahun 1835. Masa
kunjungan inilah awalnya Fabri menemukan kesan yang sangat mendalam baginya terhadap
awal pengenalannya kepada orang Batak sehingga merupakan inspirasi awal bagi masuknya
RMG di tanah Batak.
54
Hasellgren, Ibid., hl 82-83
55
Ibid., 83-84

51
5. Pioner karya lembaga misi RMG paling berhasil di tanah Batak adalah Dr. I.L
Nomensen.56 Awalnya, oleh kepentingan politik Belanda dan setibanya
Nomensen di Padang, Belanda tidak memperbolehkannya memasuki daerah
pedalaman Tapanuli. Ia hanya diperbolehkan bekerja untuk misi di daerah
Barus (tiba tahun 1862, di daerah inilah Nomensen belajar bahasa dan adat
Batak), yang walau pemberian ijin ini tidak sesuai dengan cita-cita misi
Nomensen sejak awal, namun ia menganggap situasi ini sebagai langkah
awal memasuki pedalaman Tapanuli ketika itu.

a. Perjalanan misi pertama di mulainya dari Barus ke Sipirok tanggal 25


Oktober 1862, dan setibanya di Sipirok, pekerjaannya sangat mendapat
simpatik dari banyak orang ketika itu. Modal yang sangat tajam bagi
Nomensen sejak awal dalam mengembangkan misi adalah sikap dan
kepribadiannya yang dinampakkannya melalui dedikasinya melayani.
Inidikasi ini nampak ketika ia mendirikan lembaga pendidikan zending di
Prau Sorat, walau akhirnya sekolah ini tidak berkembang karena beratnya
tantangan dialami dari pihak Islam.
b. Perjalanan misi kedua dilakukannya tahun 1863 menuju daerah
pedalaman yakni Silindung, perjalanan ini dimulainya setelah Nomensen
mendapat dukungan semangat dari Van Asselt dan Klammer di mana
tahun sebelumnya (1862) dua orang misionaris ini sudah mengunjungi
Silindung.

Setibanya di Silindung, Nomensen57 awalnya disambut baik oleh masyarakat


Silindung namun ketika pertama sekali ia berkunjung ke Sipoholon, ia
mengalami perlawanan yang sesungguhnya dari penduduk setempat sebab
Nomensen dianggap sebagai mata-mata Belanda untuk daerah Silindung.
Namun oleh sikapnya yang sangat menarik simpatik banyak orang Batak
ketika itu, ia dibiarkan tinggal di Silindung dan mulai Mei 1864 ia tinggal
menetap di desa Saitnihuta dan di desa inilah untuk pertama sekali ia
mendapatkan sebidang tanah rawa yang kemudian dirubahnya menjadi
model perkampungan Kristen (Huta Dame) yang patut menjadi teladan dalam
berbagai hal untuk sekitarnya.58 Di huta Dame inilah ia memulai misi yang

56
Lih. P.B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja
Batak di Sumatera Utara (BPK, Jakarta, 1975) hl. 52-54
57
Lih. P.B. Pedersen, Ibid., hl. 54-64 Lih. Juga: Lothar Scheiner, Telah Ku Dengar Dari
Ayahku, Perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK: 1978) Ia
lahir di pulau Nordstand (daerah Schleswig-Holstein sebuah daerah antara Denmark dan
Jerman) tanggal 6 Pebruari 1834 (pada tahun terbunuhnya Munson dan Lyman di
Lobupining) dan bulan Oktober 1861 (setelah menjalani pendidikan teologi di bawah
bimbingan RMG) ia ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Tiba di Padang tanggal 14 Mei
1862 (masa 142 hari pelayaran dari Jerman hingga ke Padang).
58
Di rumah seorang penduduk setempat bernama Bondannalotot Nasution di Prau Sorat-Sipirok.
Tanggal rapat koordinasi kerja mereka inilah yang kemudian oleh badan zending RMG ditetapkan
sebagai hari lahirnya gereja-gereja Batak (HKBP). Secara kebetulan, orang Kristen Batak melihat
bahwa huruf pertama dari masing-masing nama ke empat misionaris ini (Heine, Klammer, Betz dan
V(P)an Asselt) dianggap sebagai ilham dan nubuatan kemudian untuk nama gereja HKBP (Huria

52
lebih mendalam di lembah Silindung melalui: pendidikan (membaca, menulis,
berhitung dan ilmu bumi, dll), kesehatan, kerohanian dan bidang ekonomi-
sosial, akhirnya usaha misi inilah yang kemudian dikenal sebagai “metode
misi empat dimensi”. Sikapnya yang ramah dan keahlianya mengobati
berbagai penyakit, menjembatani jurang komunikasi dirinya menjadi sangat
akrab dengan penduduk setempat ketika itu. Akhirnya, tanggal 27 Agustus
1865, ia membaptiskan orang berwibawa pertama (bersama empat orang
lainnya) dari orang Batak menjadi Kristen yaitu: Raja Pontas Lumbantobing.
Beliau inilah (dan empat orang yang dibaptis) yang di kemudian hari sangat
banyak mendukung Nomensen bekerja demi misi di lembah Silindung. Dapat
dikatakan bahwa keberhasilan misi Nomensen di tanah Batak sangatlah
berhasil, akhirnya tanggal 23 Mei 1918 Nomensen meninggal dalam usia 85
tahun. Tahun saat Nomensen meninggal, gereja telah bertumbuh dan
mencakup anggota jemaat sebanyak 180.000 orang anggota di baptis,
sekolah-sekolah sebanyak 510 buah dengan 32.700 murid, sejumlah gereja
dengan 34 orang orang pendeta Batak ditahbiskan, 788 guru Injil dan 2.200
orang penatua Tahun 1881, saat Nomensen kembali untuk cuti ke Eropa oleh
RMG sebagai lembaga misi yang mengutusnya ke tanah Batak
menganugerahinya gelar: “Ephorus” (overseer: pengawas) di mana kemudian
nama ini dipertahankan HKBP sebagai gelar jabatan tertinggi di dalam gereja
dan tahun 1904, ia diberi gelar kehormatan Dr. Teologia oleh Universitas
Bonn.

Setelah melihat perkembangan misi yang sangat pesat, selanjutnya RMG


mengutus para misionaris lainnya seperti: P.H.Johansen, Meerwalt, J.
Warneck dan lain-lain untuk membantu pekerjaan misi di tanah Batak. Dari
metode dan dedikasi kerja misi yang tajam berikut diuraikan tahap demi
tahap hasil yang diperoleh dalam usaha pembentukan dan
perkembangannya gereja Batak kemudian yakni59:

a. Bidang Kerohanian. Usaha-usaha dalam bidang ini sangat berhubungan


dengan pembinaan kehidupan kerohanian orang-orang Kristen Batak
melalui: “ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan Kristen dan
evanggelisasi, penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Batak, serta
pengadaan buku-buku bacaan yang berisikan pengajaran Kristen dan
lain-lain”.
b. Bidang pendidikan umum dan teologi. Para misionaris awalnya sangat
memahami bahwa tidak mungkin gereja berdiri di tengah masyarakat

Kristen Batak Protestan). Lih. Andar Tobing, hl. Op.Cit., 100


59
Lih. J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (BPK, Jakarta, 1992) hl. 24-30. Realitas
selanjutnya, wilayah bagian Selatan Tapanuli, Islam sudah sangat dominan bagi masyarakat
setempat, sementara di bagian Utara agama tradisionil Batak juga masih sangat dominan
(masih belum disentuh oleh pengaruh apapun) bagi masyarakatnya. Demi pengembangan
misi selanjutnya, rapat koordinasi ke empat orang misionaris ini tetap memutuskan bahwa
Van Asselt bersama Heine keduanya bekerja untuk wilayah Utara khususnya daerah Pahae
sedangkan Klammer dan Betz bekerja untuk wilayah Selatan khususnya daerah
Bungabondar (Sipirok).

53
yang buta huruf (aksara) sebab membina kerohanian saja tidaklah
mungkin membentuk manusia seutuhnya. Melalui pendidikan mereka
sadar bahwa ini adalah sarana utama bagi penunjang berhasilnya PI yang
sesungguhnya, melalui pendidikan inilah para pribumi kemudian sangat
mendukung berhasilnya PI.
c. Bidang kesehatan. Sejak awal bahwa keberhasilan misi di tanah Batak
sangat didukung oleh pelayanan para misionaris di bidang kesehatan
(penyembuhan dan kebersihan lingkungan, penyuluhan giji yang baik).
Pelayanan ini mempengaruhi masyarakat Batak akhirnya meninggalkan
ketergantungan mereka kepada peran datu dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan selanjutnya pelayanan ini, memotivasi para misionaris
mendirikan lembaga pelayanan kesehatan seperti pendirian beberapa
rumah sakit yang lebih besar.
d. Bidang Sosial Ekonomi. Adalah merupakan fakta sebelum kekristenan di
tanah Batak, bahwa masyarakat Batak hidup dalam penggolongan
(pengkastaan) derajat hidup akibat: kemiskinan, kebodohan, kemalasan,
kebiasan berjudi, system perbudakan (parhatobanon) dan system pinjam-
meminjam (rentenir) yang gawat masih dominan. Maka untuk mengatasi
keadaan ini para misionaris sangat berjuang meningkatkan taraf hidup
masyarakat melalui bidang pelayanan ekonomi.

6. Indikasi awal yang sangat menentukan bagi warisan para misionaris terhadap
bentuk kepemimpinan gereja Batak yang sudah terbentuk adalah60:

a. Hal penting dapat dirujuk melalui rapat koordinasi para misionaris tanggal
7 Oktober 1861 adalah bahwa melalui rapat itu para misionaris
“menyepakati bersama tempat atau daerah yang akan mereka layani”. Ini
berarti mereka tidak ingin bekerja secara terpisah bekerja untuk misi
namun secara terpadu menentukan arah pelayanan misi demi
pembentukan gereja Batak. Untuk selanjutnya mereka mengadakan rapat
tahunan, di mana mereka membicarakan segala sesuatu yang berkaitan
dengan usaha PI di tanah Batak. Hal inilah yang semakin dirasa perlu
apabila tiba waktunya bahwa setiap misionaris dibebani oleh serba
macam tugas yang harus dikerjakan oleh seorang misionaris waktu itu.
Dengan adanya konferensi tahunan itu, para pekabar Injil telah
mempunyai satu tonggak yang demikian kuat untuk dijadikan tumpuan
berbagai jaringan atau tali yang dimunculkan selama masa pelayanan
mereka di tanah Batak. Peranan konferensi itu bukan saja mengatur
komunikasi antara RMG di Barmen dan PI di tanah Batak, tetapi yang
terpenting adalah rapat itu menjadi bagian yang sangat menentukan bagi
arah perkembangan gereja Batak selanjutnya.61

60
P.B. Pedersen, Ibid., hl. 64
61
Lih. J.R. Hutauruk (Koord), Tuhan Menyertai Umatnya, Sejarah 125 Tahun HKBP,
Pearaja Tarutung, 1988. hl. 147 ff

54
b. Jemaat yang telah berdiri di tanah Batak, oleh kesadaran para misionaris
RMG tentu ini sangat membutuhkan pelayan. Pelayan yang dibutuhkan
harus berasal dari jemaat asal dan warga masyarakat setempat. Untuk itu,
Nomensen memilih beberapa orang terbaik dari orang Batak (jemaatnya)
yang disegani sebab wibawanya dalam masyarakat, mereka ini kemudian
disebut sebagai “sintua“ (penatua). Di samping itu, dipilih juga orang yang
ditugaskan untuk mengunjungi dan merawat yang sakit, menghubungi
orang-orang Kristen di desa-desa dalam rangka memungut iuran (guguan)
dan membersihkan gereja serta sekolah setiap harinya. Kemudian
beberapa orang wanita untuk mengumpulkan anak-anak kecil yang belum
dapat pergi ke sekolah dan yang belum dapat mengikuti ibunya ke sawah
dan ladang. Para wanita itu menjaga dan bercerita serta mengajarkan
nyanyian-nyanian gerejawi kepada anak-anak itu. Sesuai dengan
kemampuan para pekabar Injil RMG, untuk mendidik pelayan-pelayan
pribumi maka jabatan gerejawi seperti guru jemaat, pendeta, bibelvrouw
dimunculkan untuk mendampingi misionaris RMGAI62.

62
Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid., hl 148 Bidang Pendidikan Umum. Untuk membaca
dan berhitung dibuka SD di Prau Sorat tahun 1893. Selanjutnya, sekolah-sekolah sending di
Tapanuli mendapat bantuan dari pemerintah Belanda sebab sekolah sending sangat
berperan meningkatkan pengetahuan masyarakat, “Sekolah anak ni raja” didirikan di
Narumaonda dan sekolah ini memakai bahasa Belanda. Di Narumonda juga didirikan
sekolah Tukang yang dididik menjadi terampil/ahli bidang pandai besi dan kayu. Lama
belajar adalah 2 tahun yang kemudian sekolah ini mendapat bantuan dari pemerintah.
Hingga tahun 1961, oleh orang Kristen Batak melalui HKBP bersemangat mengembangkan
lembaga pendidikan ini melalui pendirian perguruan teknik HKBP di P. Siantar (Jln. Medan
sekarang). Bidang pendidikan teologia. Lembaga pendidikan guru pertama yaitu Seminari
Prau Sorat sebagai sekolah Kateket) di dirikan di Prau Sorat Sipirok (Tapanuli Selata, 1868).
Siswa sekolah ini direkrut dari tamatan SD sending terbaik ketika itu dengan kurikulum:
“pengetahuan tafsiran Alkitab dan Sejarah Alkitab, Katekhismus, Ilmu Bumi, Sejarah (Kuno,
Modern, dan Sejarah Gereja), Berhitung, Bernyanyi, Pengetahuan Alam dan bahasa Jerman
dan Melayu”. Sekolah ini ditutup tahun 1872 (hanya menghasilkan 27orang guru dari tiga
angkatan) karena hasil misi PI umumnya di TAPSEL sangatlah lambat di banding TAPUT
dan akhirnya sekolah ini dipindahkan ke TAPUT. Hingga tahun 1934, pengembangan
pendidikan teologia terus dilakukan hingga berdirinya:”sekolah penginjil khusus wanita
(Bibelvrouw) di Laguboti”. Sekolah ini pertama sekali di bawah pimpinan Schwester Elfriede
Harder. Mula-mula sekolah ini didirikan di Narumonda-Porsea (1934-1936) tetapi tahun 1837
dipindahkan ke Laguboti. Sejak awal, produk sekolah ini diharapkan mampu menjadi pelayan
gereja khusus bagi pekerjaan wanita seperti: pembinaan wanita dalam gereja, mengajar
anak-anak dan muda/i, pelayanan pastoral lainnya para wanita ke rumah-rumah. Masa
pendudukan Jepang (1940-1945) sekolah ini ditutup, namun oleh Pdt. K. Sirait mantan
Ephorus HKBP pertama, sekolah ini dibuka kembali.

55
c. Nomensen63 dan rekan-rekannya sejak semula cenderung memberi
jawaban bahwa sebaiknya jemaat-jemaat pribumi menghimpun diri dalam
satu gereja pribumi. Ini telah menjadi tujuan yang semakin dilihat penting
di kalangan umat Kristen Batak yang secara sosiologis dan sepanjang
sejarah bangsa Batak belum pernah disatukan dalam satu himpunan yang
melewati batas desa dan marga (klan) terutama di kalangan Batak Toba.
Untuk inilah mereka telah menyusun suatu bata gereja yang memadukan
jemaat-jemaat pribumi secara synodal sehingga secara structural gereja
Batak telah mempunyai bentuk sendiri di samping lembaga pekabaran Injil
di Sumatera (Hindia Belanda). Pada mulanya, hubungan antara gereja
Batak dengan lembaga PI RMG sangat rapat sehingga secara praksis
nampaknya satu organisasi di dalam pimpinan, bimbingan dan
pengarahan para misionaris RMG. Namun dalam proses PI selanjutnya,
nampak partisipasi gereja pribumi dari para misionaris RMG.64
c. Nomensen dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada
saat ini tidak kurang pentingnya bagi pemasyuran Injil di dalam dan di luar
jemaat. Kesatuan mereka yang terorganisir dan terpadu melalui rapat
tahunan mereka, kesatuan yang mampu mendelegasikan kharisma-
kharisma setiap pekabar Injil, kesatuan yang menampakkan kerja sama
yang erat dan kokoh dan rencana yang matang dan terarah dalam tahap
demi tahap. Cara kerja yang demikian lebih nampak kegunaannya di
tengah-tengah masyarakat yang terpecah-pecah dalam satuan kecil dan
berdiri sendiri yaitu desa. Secara sosiologis setiap orang Batak melihat
desanya adalah buminya sebagai tumpuan loyalitas teratas. Dalam
keadaan yang demikian, kesatuan itu dibawakan pula oleh Nomensen
dalam pribadinya yang berperan sebagai “Ompu” bagi setiap orang Batak.
Di dalam pribadinya, terdapat satu type kepemimpinan yang dapat
memupuk kesatuan jemaat-jemaat Kristen Batak65.
63
Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabaran Injil dalam: Bagian Ilmu Sejarah dan
Pekabaran Injil STT-HKBP, Benih Yang Bebruah (Pematangsiantar: STT-HKBP, 1984) hl. 37-39.
Dalam sejarah gereja HKBP, personifikasi kesatuan itu berulang dalam diri almarhum
Ephorus Dr. J. Sihombing yang dalam mengarungi masa-masa pencobaan pada waktu
pendudukan Jepang, sangat terasa kegunanaannya. Type kepemimpinan yang demikian
menjadi harapan setiap anggota jemaat masa kini sebab bagaimana pun baiknya metode
kerja yang telah disepakati, hasilnya bergantung kepada orang yang bekerja, kepada
kharisma kepemimpinan pribadi dari pemimpin gereja itu
64
Lih. Hutauruk, 125 tahun HKBP, Ibid. RS RMG pertama didirikan di Tarutung (1900) yang
dipimpin oleh Dr. med. J. Schreiber. Hingga tahun 1940, pelayanan kesehatan telah
berlangsung denganbaik melalui berdirinya 14 RS penolong di: Ambarita; Butar; Dolok
Sanggul; Nainggolan; Pakantan; Pakkat; Pangaribuan; Pangururan; Pargarutan; Parsoburan;
Sayurmatinggi; Sihorbo; Sipirok; Sitorang. RS penolong ini kemudian didukung oleh
berdirinya 12 Poliklinik, yakni di: Janjimatogu; Laguboti; Lintongnihuta; Lumban Julu;
Onanhasang; Parsoburan; Porsea; Salak; Sarulla; Simarangkir; Sigumpar; Sipahutar.
65
Lih. Pedersen, Op.Cit., hl. 61 Dalam usaha memperbaiki sistem social masyarakat ini, para
misionaris RMG menerapkan metode kerja misi sebagai berikut: pertama, memberantas
sistem “parhatobanon” (system budak) melalui menebus utang “hatoban” kepada para
pemiutang (tuan-tuan/raja). Membasmi system utang-piutang (pinjam meminjam) dengan
bunga yang sangat tinggi dengan menggiatkan system perkoperasian yang pengelolaannya
dipercayakan kepada para guru sending yang sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat
setempat. Untuk pelayanan bidang ini, Nomensen memberi modal kepada jemaat untuk

56
d. Walter Lempp66 mengindentifikasikan bahwa latarbelakang Nomensen
sangat kuat didukung oleh falsapah aliran romantic, theologia Pietisme
dan theologia Pekabaran Injil yang bernafas pengkristenan bangsa-
67
bangsa seluruhnya. Dalam hubungan hikmat ini dengan
kepemimpinannya dalam misi di tanah Batak, ini berarti bahwa bagi
Nomensen tentu sekali melihat suatu harapan besar dalam kemanusiaan
orang Batak apabila dididik tantang pengetahuan menyeluruh dan ilmu
pengetahuan. Totalitas hidup dan pengabdiannya merupakan kekuatan
perjuangan yang mengadu dalam berbagai aspek mulai dari kepercayaan,
kesadaran, keterampilan yang pada akhirnya merobah motivasi, sikap
pandang, sikap mental dan hubungan social. Penembusan Nomensen
pertama sekali memadukan kekuatan Iniil, pengetahuan dan keberanian
sehingga benteng kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan
ditaklukkan. Inilah cerminan paling penting bagi corak kepemimpinan
gereja Batak yang sangat relevan pada masa kini.68
dipinjamkan dengan bunga sangat rendah. Ketiga, mengurangi beban kerja para wanita
menumbuk padi dengan mengajari mereka membuat kincir air (losung aek) yang berfungsi
sebagai gilingan padi. Keempat, mengajari para petani Batak dengan system pertanian
modern. Sistem ini ditambah dengan pengefektipan lahan pekarangan rumah guna
meningkatkan pendapatan dan giji keluarga seperti tanaman sayuran dan buah-buahan. Pola
ini diterapkan pertama sekali dengan mengembangkan penataan “pargodungan” (kompleks
gereja sekaligus kompleks perumahan pelayan: Pdt dan guru sending/jemaat). Kelima, untuk
membina system perekonomian masyarakat Batak yang lebih luas, I.L. Nomensen
mengusulkan kepada pemerintah mengatur hari pekan (Onan) di tiap daerah di Tapanuli
Utara. Tujuannya supaya hasil panen penduduk dapat dipasarkan dengan baik melalui
lancarnya roda perputaran uang di tanah Batak (misalnya: Onan Senin - Laguboti ; Selasa-
Narumonda ; Rabu – Porsea ; Kamis–Silaen ; Jumat–Balige ; Sabtu – Sigumpar ; Rabu –
Siborongborong dan daerah daera lainnya di Silindung).
66
Walter Lempp, Benih Yang Bertumbuh XIII (Jakarta: LPS DGI, 1976 ) hl. 139
67
Lih. J.R. Hutauruk, Nomensen dan Metode Pekabar Injil, dalam: Bidang Penelitian dan
Pengembangan STT-HKBP Bagian Ilmu Sejarah Gereja dan Pekabar Injil, Benih Yang
Berbuah (Hari Peringatan 150 Tahun Ompu I Ephorus Dr. Ingwer Ludwig Nomensen
Almarhum (Pematangsiantar : STT-HKBP, 1984) hl. 37
68
Lih. Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-
1940 (Gramedia, Jakarta, 2001) hl. 31-33. Suatu hal dapat dikatakan bahwa keberhasilan
misi di tanah Batak sangat ditentukan oleh cara pendekatan para misionaris yang sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat Batak pada masanya. Pernyataan inilah yang
dilakukan secara khusus oleh Nomensen, dan nampak dalam hal: Pertama, ketika pertama
sekali orang Batak memberi gelar “Ompui” kepadanya, pemberian gelar ini tidak semata-
mata karena keberhasilannya membentuk dan membina sebuah perkampungan Huta Dame
di lembah Silindung yang sekaligus ia memberi pengajaran Alkitab dan pengetahuan agama
Kristen kepada mereka. Lebih dari itu, nasehatnya dalam memutuskan persoalan adat, tata
laksana kehidupan antar kampung, demikian perselisihan antara keluarga, keadilan
pertimbangannya memperdamaikan perselisihan antar penganut agama suku semuanya
menjadi corak kepemimpinan dan kepribadiannya yang sangat tanguh memberhasilkan misi
di tanah Batak. Kedua, wibawa (sahala) dirinya yang ditunjukkannya ketika pertemuan para
raja di setiap berlangsungnya Onan nampak kecerdasan, ketangkasan dan ketajamannya
berpikir terhadap soal-soal hikmat ke-Batak-an dan melampaui raja-raja Batak sendiri. Sikap
seperti inilah inilah dapat dijadikan sebagai teladan yang sangat kuat bagi pelayan dan
pelayanan (kepemimpinan gereja Batak) masa kini guna dimanfaatkan bagi perkembangan
gereja sebagaimana diharapkan ke depan.

57
Kesimpulan

7. Beberapa kesimpulan dapat dipetik dari uraian ini, yakni:


a. Berdirinya lembaga misi RMG (Rheinische Missiongesellschaft), awalnya
lembaga ini sangat kuat hubungannya bangkitnya gerakan Pietisme Eropa
abad 19. Ini dibuktikan dengan berdirinya RMG sebagai hasil
penggabungan beberapa serikat misi Kristen Protestan di Jerman pada
masanya.

b. Ciri yang paling menonjol dari corak kepemimpijnan Nomensen di tanah


Batak adalah cara kerja mereka yang tidak pernah berjalan sendiri demi
menetapkan arah dan tujuan misi. Para misionaris tidak bekerja secara
terpisah untuk misi, namun mereka secara terpadu menentukan arah
pelayanan misi demi pembentukan gereja Batak. Untuk tujuan inilah para
misionaris selanjutnya mengadakan rapat tahunan di mana mereka
membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha PI di tanah
Batak.

c. Sebagai pemimpin, Nomensen sejak semula cenderung memberi jawaban


bahwa sebaiknya jemaat-jemaat pribumi menghimpun diri dalam satu
gereja pribumi. Untuk inilah mereka telah menyusun suatu bata gereja
yang memadukan jemaat-jemaat pribumi secara synodal sehingga secara
structural gereja Batak telah mempunyai bentuk sendiri.

d. Nomensen dan para misionaris lainnya meninggalkan satu warisan pada


saat ini bagi kepemimpinan jemaat yakni kesatuan para misionaris
menyangkut semua aspek perencanaan dan pelaksanaan misi. Para
misionaris yang terorganisir dan terpadu yang melaluinya kesatuan misi
menyeluruh misi tercipta sekaligus keadaan itu membentuk kharisma-
kharisma setiap misionaris.

PERKEMBANGAN SELANJUTNYA GEREJA BATAK

58
MASA AWAL HINGGA PERTENGAHAN ABAD 19

1. Pendahuluan (1-2). Anda semua sudah sangat memahami bahwa


latarbelakang pemberian gelar “Ompui” oleh orang Batak kepada I.L.
Nomensen itu merupakan suatu tanda penghormatan orang Batak yang
setinggi-tingginya kepada rasul orang Batak itu atas wibawa, kharisma serta
segala teladan yang baik yang ditunjukkannya bagi keberhasilan misi
kekristenan di tanah Batak. Kalau pada tahun 1881, badan misi RMG (ketika
Nomensen kembali ke Eropa dalam rangka cuti tugas di tanah Batak)
memberi gelar penghormatan kepadanya melalui mengangkatnya menjadi:
“Overseer: pengawas” (asal-usul sebutan Ephorus yang kemudian gelar ini
menjadi nama jabatan tertinggi dalam gereja Batak) pemberian gelar ini juga
menandakan penilaian lembaga misi RMG atas dedikasi pelayanan yang
sangat baik dari Nomensen di wilayah kerja (tanah Batak) badan zending
RMG. Sudah dijelaskan kepada anda bahwa metode kerja lembaga misi
(RMG) dan para misionarislah yang merupakan satu-satunya ujung tombak
bagi keberhasilan pengkristenan di tanah Batak. Metode kerja misi melalui
pengkristenan perorangan yang kemudian berubah menjadi pengkristenan
massal semuanya menjadi kekuatan bagi berdirinya jemaat-jemaat Kristen di
tanah Batak (lih. Andarlumbantobing, hl. 77). Secara khusus terhadap
pengkristenan massal, metode ini sering terjadi berkat pendekatan para
misionaris kepada penduduk secara berkelompok. Model pendekatan ini
menghasilkan penerimaan orang Batak kepada kekeristenan menurut
kelompok kampung yang sekaligus didiami oleh sekelompok marga (ciri khas
utama komunitas social kemasyarakatan Batak). Latarbelakang ini pulalah
yang mendasari adanya jemaat-jemaat membawa nama kampung atau nama
marga-marga tertentu, seperti misalnya: jemaat Sipoholon I-V, jemaat
Lintongnihuta, jemaat Simarangkir, jemaat Hutabarat, jemaat Rurajulu
Sihombing, dan lain sebagainya. Tegasnya dapat dikatakan bahwa hingga
tahun 1930: orang-orang Kristen dari suku Angkola, Mandailing, Simalungun,
Toba, Pakpak-Dairi telah dikumpulkan secara bersama dalam satu gereja
Batak yang secara sepakat mengambil nama HKBP (lih. Pedersen, hl. 70).

2. Walau nampak ironis, namun sudah merupakan fakta yang tidak dapat
disangkal bahwa senjata yang sangat ampuh bagi perkembangan gereja
Batak: konflik turut mendukung perkembangan gereja di tanah Batak (lih. P.B.
Pedersen, hl. 72-73). Melalui uraian poin 1 di atas, oleh para misionaris dan
kebanyakan orang Kristen Batak, awalnya di dalam nama HKBP terkandung
suatu harapan bahwa organisasi ini akan menjadi satu-satunya gereja yang
mempersatukan semua suku, kebudayaan dan bahasa Batak kecuali Karo (5
etnis saja: sebab kekristenan Batak Karo lahir dari hasil misi NZG Belanda).
Ternyata selanjutnya harapan ini tidaklah terwujud, sebab keinginan setiap
suku untuk berdiri sendiri di dalam organisasi gereja masing-masing sangat
mengacaukan setiap cita-cita akan suatu gereja Batak. Sebenarnya, tahun
1911: jemaat Kristen Batak sudah membentang dari Selatan (Angkola-
Mandailing) hingga ke Timur (Simalungun-Pematangsiantar). Dan jemaat-

59
jemaat ini sudah dibagi ke dalam lima distrik, yakni: Distrik Angkola (sekarang
Distrik Tapanuli Selatan), Distrik Silindung, Humbang, Toba-Hasundutan,
Simalungun-Oostkust: pantai Timur Sumatera Timur yang sekarang sebagai
Distrik V Sum-Tim bergabung dengan Pakpak-Dairi. Pembagian distrik ini
sangat didasari pada pertimbangan etnografis adat istiadat di wilayah distrik
yang kepemimpinan dan tanggungjawab keseluruhan pengembangan dan
pengelolaan pelayanan di setiap distrik dipercayakan kepada konferensi PI
pada misionaris. Artinya, melalui konferensi ini para misionarislah yang paling
bertanggungjawab secara keseluruhan (ke dalam dan ke luar) bagi
pelayanan menyeluruh di wilayah jemaat pelayanannya. Rasa kesukuan yang
amat dalam di masing-masing etnis Batak, mempengaruhi sikap gereja Batak
kemudian mengembangkan wilayah distrik (dari 5 distrik) ini diperluas
menjadi tigabelas distrik sesudah tahun 1940. Selanjutnya nyata bahwa
HKBP tidak pernah dapat menyatukan semua gereja-gereja (etnis) Batak.
Namun antusiasme anggota-angota HKBP dan dedikasi yang tidak kenal
takut menjadi factor menentukan dalam perkembangan gereja Batak di
seluruh tanah Batak bahkan hingga ke berbagai wilayah Indonesia. Ini
dibuktikan dengan berdirinya gereja-gereja Batak di berbagai daerah (lih. 125
Tahun HKBP, hl. 30), misalnya di: Pematangsiantar 1907 ; Medan, 1912 ;
Pangkalan Brandan, 1918 ; Batavia (Jakarta), 1919 ; Padang, 1922 dan lain
sebagainya.

3. Sudah ditegaskan pada poin 2 di atas bahwa modal dasar bagi perkembangan
gereja dan kekristenan di tanah Batak masa tahun-tahun berikutnya adalah
tingginya semangat dan dedikasi orang Batak Kristen berperan dalam
memperkenalkan panggilan Tuhan kepada saudara-saudaranya yang belum
masuk menjadi Kristen. Semangat inilah yang pertama sekali nampak pada
munculnya lembaga PI Batak pertama yakni: PMB (Pardonganon Mission
Batak: Badan Pekabar Injil Batak) tanggal 2 Nopember 1899. Berdirinya
lembaga ini diprakarsai oleh Pdt. Henok Lumbantobing (yang ketika itu ia
berkedudukan di Pearaja Tarutung) di mana perkembangan kekristenan di
tanah Batak sangat didukung oleh lembaga PMB ini, terutama di daerah
Samosir, Samosir, demikian di daerah Pakpak-Dairi. Dapat dikatakan bahwa
lembaga ini adalah merupakan organisasi kerohanian pertama bagi orang
Batak yang peranan dan partisipasinya sangat berjasa bagi kegiatan gereja
waktu itu. Hal yang serupa bagi munculnya semangat gerakan nasionalisme
(secara nasional dengan gerakan Budi Utomo, 1908) orang Batak, ini ditandai
dengan berdirinya satu organisasi masyarakat Kristen yang pertama sekali di
tanah Batak yakni: “Hatopan Kristen Batak-Persekutuan Kristen Batak”
tahun 1917 di mana berdirinya organisasi ini di prakarsasi oleh Mangihut
Hezekiel Manullang. Lembaga ini berdiri adalah sebagai usaha orang Batak
mempertahankan diri (khususnya mempertahankan status tanah
adat/tradisional Batak) dari tekanan pihak kolonial Belanda yang berencana
membuka Tapanuli buat perkebunan teh dan karet. Penduduk merasa
dirugikan secara material dan moral melalui pembukaan perkebunan itu,
melalui dukungan dan koordinasi HKB mereka berhasil menggagalkan

60
perkebunan Belanda di Tapanuli, usaha ini terutama berlangsung di daerah
Pahae dan Silindung. Melalui uraian ini, hendak ditekankan pengalaman
awal orang Kristen Batak (gereja) bahwa inilah pengalaman pertama orang
Kristen Batak di bidang kerohanian dalam hubungannya dengan bidang
politik kemasyarakatan setelah kekristenan yang dapat dinilai secara positif.
Maksudnya, melalui HKB orang Batak sudah mengungkapkan pandangan
dan aksi mereka tanpa melibatkan jemaat dan gereja, sekalipun mereka
adalah anggota jemaat itu sendiri. HKB berpendirian bahwa anggota jemaat
atau gereja dari sudut misinya di dunia ini, itu tidak mungkin melibatkan diri
dalam aksi social politik yang mungkin mempunyai aliran politik yang
berbeda-beda. Di pihak lain, melalui PMB jemaat atau gereja menganggap
bahwa menjadi anggota jemaat itu tidak sama dengan organisasi politik.
Dalam kesadaran rohani dan politis yang seperti ini, agaknya orang Kristen
Batak awalnya sudah paham bahwa mereka adalah bagian integral (tidak
terpisahkan) dari dimensi social hidup bergereja pada waktu itu. Penting di
ingat, HKB sebagai organisasi orang Batak yang bersifat gerakan nasional
sejak awal mereka sudah memulai dan mengakhiri rapat-rapat (pertemuan)
dengan menyanyikan nyanyian rohani dan berdoa (lih. 125 tahun HKBP, hl.
31), dua organisasi ini akan lebih panjang lebar dijelaskan pada Tema Bab di
depan.

4. Di tengah perubahan dan perkembangan yang sangat cepat dialami oleh


gereja masa kurun waktu 1911-1936, untuk pemantapan diri gereja juga
melakukan pembenahan diri pada bidang organisasi dan khususnya bidang
jabatan dalam gereja. Di bawah ini diuraikan beberapa usaha dilakukan oleh
gereja membenahi diri pada bidang kepemimpinan dalam tubuh jemaat (lih.
Andar Lumbantobing, hl. 85, juga 125 tahun HKBP, hl. 31-32) yakni:
1920: Majelis jemaat dibentuk di tiap jemaat yang anggotanya terdiri dari 3
golongan yakni: pertama, pendeta, guru, evanggelis dan Helper.
Kedua, para penatua (sintua). Ketiga, para kerkbestur yakni beberapa
anggota jemaat yang khusus bertugas mengelola keuangan jemaat.
1922: Sinode pertama diadakan buat seluruh jemaat yang terhimpun dalam
gereja Batak. Sebelumnya, sejak tahun 1881 pertemuan ini hanya
berbentuk musyawarah selesai konferensi tahunan para misionaris
RMG.
1925: Tahun ini sinode Agung gereja Batak diadakan, dan pada saat ini
gereja Batak diresmikan namanya menjadi “Huria Kristen Batak”
(Gereja Kristen Batak).
1929: Beberapa keputusan penting dalam bidang organisasi gereja
diputuskan, yakni: pertama, nama “Huria Kristen Batak”
disempurnakan menjadi “Huria Kristyen Batak Protestan” (HKBP –
seperti nama gereja sekarang). Nama ini sekaligus mengungkapkan
identitas ajaran gereja yang beraliran Protestan. Kedua, Tata gereja
Baru disyahkan. Melalui TG ini, jenjang kepemimpinan dan pelayanan
ditetapkan (sampai sekarang jenjang ini nampak tidak berubah).
Ephorus adalah sebagai pemimpin tertinggi dalam gereja. Untuk

61
menjembatani komunikasi dari pusat ke jemaat-jemaat setempat,
maka jemaat dibagi atas beberapa resort (pusat-distrik: resort-jemaat).
TG ini berlaku thun 1930 dan akan diperbaharui tiap 10 tahun . Ketiga,
majelis pusat untuk pertama sekali dibentuk dan disyahkan untuk
masa pelayanan 4 tahun. Ini kemudian diperpanjang menjadi 6 tahun.
1931: HKBP ditetapkan memiliki badan hukum sendiri melalui SK pemerintah
tertanggal 11 Juni 1931 No. 48 sebagaimana ditetapkan dalam
lembaran pemerintah 1932 No. 360. Pengakuan ulang pemerintah RI
tanggal 2 April 1968 No. Dd/P/DAK/d/135/68.

5. Corak teologi dan kesalehan orang Kristen Batak. Satu identitas yang
tidak dapat diabaikan dalam perkembangan gereja Batak hinga masa
pertengahan abad 19 adalah adanya identitas (corak) kesalehan dan teologi
orang Kristen Batak yang dipengaruhi oleh corak kesalehan para misionaris
itu sendiri yang berasal dari Eropa, di mana untuk ini mereka sangat
memamfaatkan struktur/tatanan masyarakat Batak yang bersifat komunal
(persekutuan yang erat diikat oleh marga). Identitas ini nampak melalui
beberapa peraturan dan tata jemaat yang ditetapkan oleh para misionaris dan
berlaku dalam gereja Batak. Di bawah ini, dicantumkan beberapa informasi
yang berhubungan dengan pernyataan ini (lebih luas informasi tentang pokok
ini lih. J.R. hutauruk, Menata Rumah Allah) yakni:

- Peraturan dan tata ibadah 1866: Oleh Nomensen konsep ini belum
dinamakan seagai Tata Gereja, tetapi hanya sebagai peraturan ibadah
jemaat. Dikatakan demikian sebab, Nomensen baru membentuk
persekutuan ibadah jemaat dari hasil misi PI-nya, yang melaluinya ia
merasa penting untuk mengatur persekutuan dan ibadah jemaat yang
baru didirikannya itu. Oleh karena itu, melalui perasturan jemaat dan tata
ibadah 1866, Nomensen menetapkan dan mengangkat beberapa pelayan
gereja yang dapat membantu dirinya melangsungkan iabdah secara
teratur dan rapi. Oleh karena itu ia mengangkat seorang guru, empat
orang penatua, tiga orang diakon, seorang diakones dan seorang guru
untuk anak-anak. Pembagian tugas dari masing-masing yang
membatunya ini pun ditekankannya, misalnya: penatua bertugas untuk
mengamati kehidupan setiap anggota jemaat kemudian menegor dan
memperingatkan mereka bila ada yang berbuat tidak sesuai dengan
tuntutan kekeristenan sebagaimana diajarkan Nomensen. Dalam keadaan
darurat, awalnya penatua bertugas memimpin ibadah jemaat, mengamati
perlakuan anggota jemaat dalam ibadah. Bila ada yang ribut, segera
penatua memperingatinya dan jika peringatan ini diabaikan maka penatua
berhak menyampaikan tegoran. Dan jika kesalahan yang sama berulang
setelah beberapa kali ditegor, maka jemaat itu dilarang iokut dalam
perjamuan Kudus atau dikucilkan dari persekutuan jemaat. Lebih luas
peraturan jemaat tahun 1866 ini semuanya berisi tentang aturan-aturan
yang menyangkut hidup persekutuan dan ibadah jemaat.

62
- Hukum Sipil Untuk Orang Kristen Batak tahun 1867. Hukum sipil ini
dibuat untuk mengatur hal-hal yang menyangkut perkara-perkara duniawi
atau lebih khusus yang menyangkut kehidupan masyarakat. Dasar pikiran
teologis para misonaris menekankan ini, mereka dipengaruhi oleh corak
teologi Martin Luther yang membedakan perkara-perkara rohani sebagai
tugas gereja dan perkara-perkara duniawi sebagai tugas raja. Kemudian
dalam tradisi gereja Lutheran sebagai denominasi warisan dari teologi M.
Luther, “teori dua kerajaan” (kerajaan rohani dan kerajaan duniawi)
nampak sulit diterapkan bagi masyarakat Batak dalam misi oleh
misonaris. Sebab dari dalam dirinya sejak semula, orang Batak tidak
dapat membedakan unsur keagamaan dari unsur keduniawian. Bagi
orang Batak, implikasi pemahaman ini nampak pada posisi kepemimpinan
ini Nomensen di perkampungan Huta Dame yang didirikannya di mana ia
berfungsi sebagai pemimpin bidang kerohanian sekaligus bertindak
sebagai “raja Huta”, walau nyata selanjutnya peran kepemimpinannya
ditonjolkan Nomensen dirinya sebagai pemimpin rohani yakni sebagai
“guru” semata-mata.
- Tata Gereja tahun 1881. Peraturan ini disusun oleh Nomensen bersama
dengan para misionaris lainnya, yang pada kesimpulannya mereka
menamakannya sebagai: “peraturan jemaat, gereja dan Sinode untuk
gereja sending injili di tanah Batak-Sumatera, tahun 1881”. Isi inti dari
peraturan ini mencakup aturan kehidupan pelayan pribumi dalam: “Gereja
Zending Injili di Tanah Batak”. Dalam peraturan ini para misonaris masih
menempatkan para pelayan pribumi dalam jenjang terendah hierarki
gereja dan semuanya ditempatkan pada jenjang pembantu para pendeta
utusan (misionaris). Para pekerja pribumi ini dibedakan atas dua bagian
yakni: yang bergaji dan tidak bergaji. Pekerja yang bergaji adalah: guru
Injil, guru sekolah dan parapendeta. Yang tidak bergaji adalah para sintua
(penatua). Melalui TG 1881, struktur kepemimpinan gereja disusun
berdasarkan pola piramida: dari beberapa jemaat filial (cabang) ke jamat
induk (resort), kemudian jemaat distrik, sampai akhirnya Sinode Tahunan.
Semua tenaga yang memimpin mulai dari tingkat resort, distrik
hinggakepusat semuanya dipegang oleh misonaris Jerman. Ini artinya,
segala kendali kepemimpinan gereja masih terikat pada para misionaris
RMG dan pelayan pribumi hak kierarkinya masih dibatasi.
- Peraturan Jemaat tahun 1907-1912. Melalui peraturan ini semakin
nampak perkembangan gereja Batak dalam bidang rumusan tata
jemaatnya. Munculnya peraturan jemaat tahun 1907, peraturan ini
dinamakan sebagai: “Aturan ni Ruhut di Angka Huria di Tonga-tonga
ni Halak Batak”. Isi peraturan ini masih sebagai pengembangan dari
peraturan jemaat tahun 1906 yang mencerminkan corak kesalehan dan
pola teologi para misonaris Eropa. Tahun 1912, kemudian diterbitkan
peraturan yang khusus mengatur soal kepemimpian para pekerja Injil di
gereja Batak. Uraian isi peraturan gereja tahun 1907, yakni mengatur
soal: tindakan ibadah, Pembaptisan, Perjamuan Kudus, Sidi, Pernikahan

63
dan Pemakaman. Isinya memberi petunjuk yang berkenaan dengan
tingkah laku, persiapan dan larangan. Petunjuk-petunjuk itu antara lain:
a. Sebelum ibadah, lonceng gereja dibunyikan sebanyak dua kali ;
setelah lonceng pertama para sintua memperingatkan jemaat masuk
ke dalam gereja
b. Pada waktu nyanyian pertama (dinyanyikan 3 ayat) gereja masih
dibuka; setelah votum/doa pintu ditutup dan baru kemudian dibuka
setelah nyanyian berikut
c. Setiap pintu masuk gereja harus dijaga sintua agar binatang (asu:
anjing) tidak memasuki gereja saat kebaktian
d. Kotbah harus dipersiapkan dengan baik yang melaluinya jalan
keselamatan dapat diberitakan bagi kehidupan jemaat
e. Perjamuan Kudus: roti dan anggur disajikan. Roti dan anggur yang
tersisa harus dibawa kembali ke rumah pendeta. Jikalau ada orang
yang sakit memintanya, dengan alasan melaluinya mereka
mengharapkan kesembuhan, permintaan itu harus ditolak. Alasannya,
untuk menghindarkan pemahaman yang bersifat magis terhadap
makanan roti itu. Yang harus dipakai dalam PK adalah angggur tidak
boleh tuak, karena tuak dianggap sangat bersifat duniawi dan tuak
juga merupakan minuman sehari-hari yang memabukkan orang Batak.
f. Pada setiap pemakanan/kuburan dianjurkan menanam pohon
pisang
g. Setiap subuh hari paskah, diadakan ibadah dikuburan. Hal ini
dianggap perlu untuk mengukuhkan harapan orang-orang yang hidup
akan kebangkitan orang mati.
h. Perkawinan dibedakan dalam tiga kategori yakni, pertama:
perkawinan bagi orang yang mempunyai “nama baik” yang tetap
menjaga kesuciannya. Dalam perkawinan jenis ini, mempelai
diperkenankan memakai perhiasan sebagai tanda mereka tidak
bercela. Kedua, Upacara perkawinan secara hikmat di muka umum.
Ini dilangsungkan oleh seorang pendeta utusan atau pendeta Batak di
dalam gereja. Kedua mempelai harus melalui upacara Sidi dan tidak
terkena disiplin gereja. Ketiga, upacara perkawinan yang dilakukan di
kampung halaman sintua atau mempelai. Upacara peneguhan
pernikahan cukup dilakukan dengan hanya mendoakan perkawianan
itu saja. Perkawinan jenis ini terjadi bila salah satu mempelai masih
sipelebegu (kafir) atau baru mulai belajar agama Krisaten. Juga bila
mempelai telah melakukan tindakan salah dalam perkawinan (sedang
manjalani hukuman disiplin gereja).

Dari corak kesalehan dan teologi yang dipengaruhi oleh corak kesalehan
para misonaris ini, hal yang dapat dikatakan bahwa: Tata Gereja disusun
para misonaris RMG, itu sangat tidak dapat dipisahkan dari paham
paramisonaris itu sendiri tentang keselamatan yang mereka pandang sebagai
keselamatan untuk perorangan. Jadi makna yang paling esensil dari TG 1907

64
adalah penaklukan sempurna orang Kristen Batak kepada kekuasaan
zending.

6. Kemandirian Gereja Batak. Dalam bukunya: “Indigenous Church”


(Pempribumian Gereja), Henry Venn (1860) telah mengungkapkan prinsip
dasar yang sangat penting dicapai oleh sebuah gereja menuju
kemandiriannya. Prinsip ini dikemukakan Henry Venn melalui pengalaman
misi gereja Anglikan Inggris di Afrika (Nigeria) dalam memandirikan gereja
sebagai hasil misi anglikan di sana. Prinsip kemandirian gereja ini, oleh Henry
Venn menyebutnya sebagai: kemampuan membiayai/mendanai diri sendiri
(self Supporting) ; kemampuan memimpin/ mengatur diri sendiri (self
Government) ; kemampuan melakukan PI sendiri (self Propagating). Tiga
bentuk kemampuan inilah yang dipakai sebagai barometer (ukuran)
mengukur sebuah gereja bertanggungjawab (dewasa) atas diri sendiri lepas
dari asuhan satu lembaga misi tertentu. Dalam gereja Batak ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Mandiri dalam dana (self Supporting). Sejak semula, para misonaris
(kuhus Nomensen) telah berusaha membina kesadaran jemaat Kristen
Batak ikut memikul biaya yang dibutuhkan bagi pengelolaan jemaat.
Usaha ini ditempuh melalui cara: mewajibkanjemaat memberi
persembahan/iuran kepada gereja. Dana ini kemudian dipakai untuk
membiayai bidang pelayanan umum (pendidikan, kesehatan, dll dengan
membangun prasarana berikut gaji guru) jemaat di samping sumbagan
dana dari lembaga misi RMG
b. Mandiri dalam bidang kepemimpinan (self Government). Secara
bertahap para orang Kristen Batak dipersiapkan untuk ikut melayani dan
mengurus jemaat, mulai dari tingkat penatua, guru Injil, guru jemaat
setempat, dan hingga ke pendeta. Mereka diharapkan kelak dapat
memimpin gereja Batak.
c. Mandiri dalam misi (self Propagating). Orang Batak dibimbing dapat
melakukan PI ke luar, kepada orang-orang yang masih menganut
kepercayaan suku atau agama lain. Inilah yang nampak melalui berdiri
dan seluruh kegiatan PMB.

65
HKB SEBAGAI WUJUD BANGKITNYA
SEMANGAT KEBANGSAAN DI TANAH BATAK

1. Asal usul Berdirinya HKB. HKB (Hatopan Kristen Batak) adalah sebuah
wujud gerakan organisasi yang bersifat social politik orang Batak yang berdiri
bersamaan dengan munculnya gerakan kebangkitan nasional Indonesia, dan
merupakan salah satu bentuk perjuangan orang Batak melawan pemerintah
Belanda. Melalui gerakan yang dilakukan oleh HKB nampak bahwa salah
satu fungsi dan peranan golongan cendekiawan adalah menerima atau
menolak sahnya sebuah pemerintahan. Gerakan kelompok ini, berbeda
dengan gerakan kelompok Jong Bataks Bond (perhimpunan pemuda Batak,
berdiri 9 Desember 1917) yang bertujuan membina persatuan, tali
persaudaraan dan mencintai kebudayaan sendiri tanpa mengurusi politik
serta mempererat ikatan antar pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin
dan pendidik bangsa, menghargai adat, kebudayaan dan sejarah. Munculnya
organisasi HKB berasal dari sebuah kelompok paduan suara gereja yaitu
“Zangvereeniging Hadomuan” di Balige yang anggotanya terdiri dari guru-
guru di sekolah zending dan sekolah-sekolah pemerintah serta para pegawai-
pegawai swasta. Di sela-sela latihan koor, mereka berdiskusi dan saling
bertukar pendapat terhadap perkembangan yang terjadi di tanah Batak baik
dalam bidang kegerejaan, kemasyarakatan dan politik. Jadi, dapat dikatakan
bahwa organisasi ini terbentuk secara tidak sengaja melalui diskusi yang
sering dilakukan oleh kelompok paduan suara gereja itu. Dalam diskusinya,
orang Batak Kristen yang tergabung dalam paduan suara gerejawi itu melihat
bahwa pengaruh Barat (kolonial) yang datang bersama dengan agama
Kristen adalah unsur-unsur “hamajuon” (kemajuan) yang dapat mendorong
terwujudnya kemajuan dalam hidup kemasyarakatan dan gereja Batak.
Ajarana kekristenan yang dibawa oleh zending RMG di tanah Batak telah
membangkitkan semangat orang Batak yang sebelumnya mereka sendiri
berusaha menghindari “Batak”. Melalui agama Kristen, orang Batak
menemukan rasa solidaritas sebagai satu suku bangsa sehingga ajaran
kekristenan mampu membangkitkan permulaan baru yang membangkitkan
semangat orang Batak berani melangkah untuk maju.

2. Berbagai Kepentingan di Balik Munculnya HKB. Berdirinya HKB tanggal 28


September 1917 di Balige, awalnya organisasi ini sangat mendapat
dukungan dan respon positif dari pihak pemerintah Belanda, juga dari pihak
zending dan para misionaris RMG. Akan tetapi, walau sama-sama
mendukung, latarbelakang serta alasan dan harapan mereka terhadap
berdirinya HKB berbeda-beda pula. Pemerintah Belanda, menilai bahwa
melalui berdirinya HKB mereka mengharapkan masyarakat Kristen Batak
dapat menjadi suatu kekuatan yang mendukung system pemerintahan

66
kolonial Belanda. Dengan kata lain, pemerintah kolonial menganggap bahwa
orang Batak Kristen menjadi benteng kekuatan Belanda. Di pihak lain,
zending RMG mengharapkan, melalui HKB kekristenan dan masyarakat
Batak dapat berkembang dengan cepat dan lebih maju serta pada akhirnya
dapat memperlambat bahkan mengimbangi serikat Islam yang sudah lebih
dahulu masuk dan berkembang di Tapanuli umumnya sejak tahun 1916.
Harapan ini didukung oleh system kepengurusan HKB yang dominan
dipegang oleh pendeta Kristen Batak, guru dan sintua (penatua gereja), maka
terjalinlah ikatan antara organisasi HKBP yang didirikan oleh orang-orang
Batak sebagai penduduk pribumi dengan RMG sebagai pemimpin gereja
Batak. Dari pihak orang Batak sendiri, mereka memiliki sudut pandang
sendiri bahwa melalui berdirinya HKB yang dipelopori oleh golongan
inteletual Kristen Batak organisasi ini bertujuan memajukan kehidupan
masyarakat Kristen Batak. Harapan ini didukung oleh anggaran dasar HKB
awalnya, yaitu: “untuk memperkuat persatuan umat Kristen Batak,
memperkuat kasihpersaudaraan tolongmenolong sesama anggota sarekat
sesuai dengan kesadaran kristiani dan berusaha untuk memajukan
kehidupan social masyarakat Batak (J R. Hutauruk, hl. 86). Sebagai sebuah
perkumpulan orang-orang Kristen Batak, awalnya HKB bergerak di bidang
gerejani yaitu mempercepat penyebaran kekristenan sesuai dengan cita-cita
awal organisasi HKB yang pada dasarnya menginginkan kemerdekaan
ekonomi dan sosial sesuai dengan cita-cita Kristen.

3. HKB dan system Erfpacht Belanda. Tidak lama setelah berdirinya HKB,
pemerintah kolonial Belanda menjalankan system penyewaan tanah di
Tapanuli yang dalam istilah bahasa Belanda system penyewaan tanah ini
disebut sebagai “erfpacht”. Sistem ini didasarkan pada peraturan agraria
1870 yang menyatakan bahwa: “tanah yang tidak digarap oleh penduduk
secara langsung menjadi hak milik pemerintah dan penduduk dapat
menggarapnya kembali dengan cara mengajukan permohonan erfpacht dan
menanam lahan tersebut dengan tanaman jangka panjang”. Namun, untuk
mendapatkan ijin sewa tanah, persyaratan yang diajukan oleh pemerintah
Belanda berbelit-belit sehingga mempersulit penduduk mendapatkan tanah
olahan. System penyewaan tanah yang demikian sangat ditentang oleh pihak
lembaga zending dan orang Batak sendiri, walau motif dan kepentingan
masing-masing menolak system ini berbeda-beda.
a. Di satu pihak, para misionaris menolak system sewa tanah ini dengan
alasan bahwa system erfpacht dapat mendorong terbentuknya lahan-
lahan perkebunan di tanah Batak, dan tujuan ini tidak selaras dengan
tujuan misonaris terhadap masyarakat Batak karena system ini dapat
mengalihkan perhatian orang Batak dari tujuan utama misi yaitu
menyelamatkan orang Batak sesuai dengan iman Kristen yang mereka
ajarkan.
b. Di pihak lain, system ini dapat merusak usaha penyingkiran Islam karena
perkebunan akan mendatangkan orang-orang Jawa dan pekerja asing
sebagai buruh ke tanah Batak. Melalui itu, mengakibatkan munculnya

67
berbagai penyakit kelamin yang dibawa oleh para pekerja perkebunan
yang dari luar tanah Batak.
c. Bagi pihak orang Batak sendiri, menolak system erfpacht lebih
disebabkan oleh factor kaum muda Batak yang lebih menginginkan
“hamajuon” melalui berbagai produk material dan intelektual orang Barat,
mereka tidak menginginkan Tapanuli mengalami nasib yang serupa
dengan daerah-daerah perkebunan di Pantai Timur Sumatera serta
adanya kesadaran bahwa sesuai dengan adat Batak akan arti dan fungsi
tanah maka ada anggapan bahwa bangsa Batak akan lebih membutuhkan
tanah daripada pemerintah pada masa yang akan datang.
d. Bagi pihak Belanda, system erfpacht sangat mendorong pemerintah
semakin membuka lahan-lahan perkebunan dan perusahaan-perusahaan
dagang yang sejajar dengan itu pembukaan dan pembangunan jalan-jalan
raya sepanjang Timur ke Barat dan menembus ke jantung tanah Batak.
Lancarnya transportasi jalan raya dari Medan ke Sibolga mempengaruhi
daerah pedalaman tanah Batak sangat cepat dimasuki berbagai jenis
hiburan seperti misalnya: bioskop, byliard, rumah dansa, permainan judi,
berbagai minuman keras sebagai pengaruh kebudayaan jelek Eropa.

Selain dampak negatif ini, lancarnya komunikasi di tanah Batak juga sangat
mempengaruhi kaum muda Batak pergi ke berbagai daerah di luar Tapanuli
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan pendidikan yang lebih
maju. Tanggal 2 Januari 1919, di daerah Tarutung (sebagai secretariat
cabang) HKB mengajukan keberatan atas pelaksanaan erfpacht walau
keberatan ini tidak digubris oleh Belanda. Tidak diabaikannya keberatan ini,
mendorong H.M. Manullang sebagai ketua HKB pergi ke Batavia
menyampaikan keberatan masyarakat Batak atas system erfpacht di Tapanuli
kepada Direktur Pemerintah Dalam Negeri yaitu: Capentier Alting. Hasilnya,
keberatan Manullang diterima pemerintah dan erfpacht di Tapanuli umumnya
digagalkan, dan pemerintah menghentikan pembuatan batas-batas tanah
yang akan disewakan sampai berbagai keberatan itu diteliti dsan penduduk
menjadi tenang kembali. Sejalan dengan perkembangan yang demikian
berlangsung di Tapanuli, misi menjalankan organisasi jemaat dengan system
kepemimpinan yang episkopal artinya: bahwa kekuasaan di dalam gereja
semuanya terpusat di tangan para misonaris, ini berarti bahwa pimpinan
tertinggi di dalam gereja tetap di tangan misinaris. Keadaanini juga ditentang
oleh HKB, yang akibatnya sampai tahun 1927 banyak jemaat dari gereja
Batak yang kecewa dan keluar dari keanggotaan jemaat seraya mendirikan
gereja Batak yang baru yakni HChB (1927) di Pantoan, demikian dengan
Gereja Mission Batak, 17 Juli 1927 (GMB) dan Punguan Kristen Batak, 16
Juli 1927 (PKB) di Jakarta dan lain-lain. Akibat dari gejolak ini, HKBP tahun
1930 resmi memiliki badan hukum sendiri dan baru tahun 1939, HKBP
mandiri secara kepemimpinan melalui terpilihnya Pdt. K. Sirait sebagai
pimpinan jemaat dari antara pendeta pribumi.

68
4. HKB Dan Hubungannya Dengan HKBP. HKB sebagai oraganisasi adalah
merupakan gerakan keagamaan yang menentang segala kebijaksanaan
pemerintah kolonial Belanda yang dianggap merugikan orang-orang Batak di
Tapanuli. Organisasi HKB dibentuk oleh tokoh-tokoh Kristen yang merupakan
jemaat HKBP, ini berarti bahwa HKBP merupakan pusat pengembangan
organisasi HKB. Bagiorang Batak sejak kekristenan adalah organisasi yang
sangat penting, berdirinya HKBP disebabkan oleh masuknya kekristenan ke
tanah Batak, dan keadaan ini oleh orang Batak menganggapnya sebagai
“sahala”. Artinya, orang Batak setelah kekristenan sadar bahwa para
misonaris yang membawa kekristenan ke tanah Batak memiliki “sahala” yang
lebih tinggi dari sahala yang dimiliki oleh para datu-imam maupun sibaso
hasandaran yang diyakini sebagai perantara antara orang yang hidup
dengan roh-roh orang mati. HKB sebagai lembaga formal, melakukan
gerakannya di bawah pengawasan gereja yang memberi kelengkapan
mengenai perjuangan politik yang dpaat dilakukan oleh semua orang.
Berdirinya HKB masa bangkitnya semangat kebangsaan nasional Indonesia,
menunjukkan bahwa pemuda dan orang Kristen Batak telah ikut
berpartisipasi menentang kolonial Belanda yang menjajah di Tapanuli dan
gerakannya sangat didasarkan pada semangat kekristenan. Perlawanan
orang Kristen Batak melawan kolonial di Tapanuli, perjuangan ini sangat
didasarkan dan berkaitan pada system kerja Rodi, pajak, dang system
Demang. Tiga system kebijakan kolonial ini, ternyata sangat menimbulkan
perasaan sakirt hati dan kebencian bagi orang Batak terhadap kolonial
Belanda, waau sudah ada peraturan yang mengatur pelaksanaan Rodi, Pajak
dan system Demang ini. Di antaranya peraturan itu adalah bahwa: “orang
yang lanjut usia, yang sakit, dibebaskan dari Rodi: hari minggu, hari-hari raya
harus dihormati di mana penduduk tidak wajib melakukan Rodi, termasuk
kerja Rodi dapat digantikan dengan uang. Namun dalam prakteknya oleh
pemerintah kolonial, peraturan ini tidak dijalankan ditambah dengan
diskriminasi terhadap orang Cina dan penduduk non-pribumi lainnya tidak
diwajibkan melakukan Rodi. Ditambah dengan tingginya kekuasaan Demang
oleh pemerintah Belanda, di mana setiap orang yang berani menentang
Demang akan dihukum dan dipukul cambuk bahkan dipenjarakan.

5. Pola Ajaran Organisasi HKB. Ada beberapa prinsip yang mengikat (sada
kongsi parsangean) dijadikan sebagai dasar berdrinya HKB. Beberapa
prinsip itu adalah:
a. HKB harus tetap mencerminkan kehidupan yang sesuai dengan cita-cita
kristiani yaitu adanya kesatuan dalam kehidupan masyarakat Batak
dengan saling tolong menolong, bersama-sama menanggung beban dan
kegembiraan untuk dapat mengejar kemajuan di bidang pendidikan,
kesejahteraan social, ekonomi bahkan politik. Hasadaon, yaitu persatuan
yang menghasilkan kekuatan ekonomis dan politis.
b. Syarat mutlak yang harus dimiliki oleh HKB adalah hal keagamaan dan
moral. Artinya, bahwa tujuan gerakan HKB bukan untuk mendirikan
hatopan (sarekat) Batak, melainkan “Hatopan Kristen Batak” yang

69
berarti bahwa anggota-anggotanya hanya terdiri dari orang-orang Kristen
Batak dengan tujuan untuk memperkokoh agama Kristen sesuai dengan
hukum Kristus. Jika tujuan ini tercapai, maka masyarakat Kristen Batak
akan mencapai “hamajuon na tingkos” (kemajuan yang benar) sebab
dasar kemajuannya adalah bersumber dari firman Tuhan.
c. Dalam setiap gerakannya, HKB selalu menekankan pentingnya
“hasadaon ni roha” (persatuan di dalam hati) pada diri anggota-
anggotanya. Orang-orang Kristen Batak adalah satu kelompok
(sahorong), suku yang terpilih (marga na tarpillit), bangsa yang ditebus
(houm na hinophop), yangtelah bersatu melalui darah Yesus Kristus.
Jadi, kerygma (ajaran, pewartaan: ist. Yunani) harus angat menonjol
dalam organisasi HKB

Sejak awal terbentuknya, pernyataan-pernyataan Nomensen (sebagai rasul


orang Batak) terasapengaruhnya dalam setiap gerakan-gerakan yang
dilakukan HKB. Nomensen menyatakan agar gereja Batak bentul-betul dapat
berdiri sendiri secara mandiri, maka ada tiga hal yang harus dilakukan yakni:
self-supporting (swasembada: dana), self-government (swaparaja:
Kepemimpinan), self-extention (swakarya: penyebaran misi). Melalui prinsip
ini, Nomensen sangat menekankan pada diri orang Batak keyakinan pada
kemampuan diri sendiri untuk dapat berkembang maju mandiri.

6. Kesimpulan.
- Pada jaman zending, tanah Batak meliputi dua afdeling yang terdapat
pada kersidenan Tapanuli sebagai wilayah adsministraif yang dibentuk
oleh pemerintah Belanda yaitu: afdeeling Bataklanden (ibukota Tarutung)
dan afdeeling Padang Sidempuan (ibukota: Sidempuan). Artinya, tanah
Batak zaman zending meliputi Taput dan Tapsel. Sementara tanah
Batak sekarang lebih identk/dikenal dengan Kabupaten TAPUT (sampai
tahun 1990).
- Suku Batak Toba sangat menghormati adat dan tradisi kebudayaan
nenek-moyang. Jadi, setiap pengaruh luar yang memasuki tanah Batak
akan selalu disesuaikan dengan adat dan kebudayaan Batak Toba.
- HKB merupakan organisasi kemasyarakatan orang Batak yang sangat
potensial. Dalam bidang social politik, organisasi ini berhasil
menggagalkan system sewa tanah (erfpacht) di Tapanuli, sedang dalam
bidang keagamaan, organisasi ini berhasil mendirikan gereja Batak yang
mandiri. Nasionalisme di tanah Batak sudah ada sebelum gerakan ini
muncul di Indonesia. Pandangan orang-orang Barat mengenai streotip
orang Batak yang jorok, bodoh, keras kepala ternyata tidak sepenuhnya
benar, sebab jauh sebelum jaman pergerakan nasional, orang Batak
justru sudah memiliki pemikiran dan semangat yang maju.

70
A.
SKISMA TAHUN 1927 GEREJA BATAK

1. Setelah perkembangan gereja dan kekristenan di tanah Batak, suatu hal yang
tidak dapat dielakkan dalam perkembangan itu adalah berlangsungnya
skisma di dalam tubuh gereja Batak itu sendiri. Bila dicermati lebih teliti
terhadap peristiwa skisma awal di dalam gereja Batak, sebenarnya
latarbelakang (penyebab) terjadinya pemisahan itu lebih disebabkan oleh dua
hal, yakni: pertama, munculnya gerakan kemandirian di dalam gereja dan
kedua: munculnya semangat gerakan nasionalisme secara bersama di
seluruh wilayah negara Indonesia pada masanya. Dua fenomena ini sangat
ditandai dengan indikasi lahirnya sebuah gerakan kemandirian di dalam
gereja yang pada akhirnya gerakan-gerakan kemandirian ini membentuk
(mengkristal) denominasi baru yang masing-masing disebut sebagai: “Huria
Christen Batak” (HChB, tahun 1946 denominasi ini berubah nama menjadi:
“Huria Kristen Indonesia”-HKI), “Pardonganon Mision Batak” (PMB, lebih
dikenal dengan “Mission Batak” akhirnya berubah menjadi “Gereja Mision
Batak”-GMB) serta “Punguan Kristen Batak” (berubah menjadi “Gereja
Punguan Kristen Batak”-GPKB). Perhatian yang cermat dilakukan bahwa
semua skisma ini terjadi tahun 1927, dan basis gerakannya terjadi di kota-
kotatemnpat di mana gereja Batak sebelumnya telah menyebar. Misalnya,
gerakan HChB basis gerakannya terjadi di Pematangsiantar, gerakan Mission
Batak terjadi di Kota Medan, Punguan Kristen Batak di Jakarta. Nampaknya
ada alasan mengapa beberapa peristiwa ini terjadi di kota-kota besar tempat
di mana gereja Batak telah menyebar, yakni: “seiring dengan perpindahan
orang Batak ke kota-kota besar bersamaan, dengan itu mereka membawa
agamanya-Kristen ke tempat baru. Melalui gaya hidup kota, kehidupan
mereka sangat dipengaruhi oleh sikap hidup yang lebih modern
meninggalkan apola hidup tradisionil”. Kenyataan inilah yang sangat
mempengaruhi berlangsungnya perpecahan di dalam gereja Batak.

Argumen ini dapat didukung dengan beberapa informasi, yakni:


a. Heterogenitas warga kota dibandingkan dengan homogenitas (satu
marga dalam jemaat yang sama) asal orang Batak di desa, sifat ini masih
belum lepas dari diri setiap orang Batak yang baru menempati sebuah
kota tempatnya berdiam. Persoalannya adalah, pola margasentris
(terbawa-bawa) yang sebelumnya dominan di jemaat desa asal: di jemaat
kota yang baru ini menjadi pemicu persoalan yang sangat tajam yang
pada akhirnya menimbulkan perpecahan.
b. Keadaan jemaat di kota yang tidak lagi dipimpin oleh para misionaris,
mempengaruhi orang Kristen Batak sebagai jemaat kota sangat bersikap
bebas di dalam gereja.
c. Warga jemaat kota yang umumnya sudah berpendidikan, mempengaruhi
sikap mereka menjadi lebih kritis di dalam jemaat
.

71
2. Huria Christen Batak (HChB). Pada rencana awal pembentukan HChB,
dalam anggaran dasarnya (1 September 1929) kelompok ini diberi nama:
“Vereeniging Hoeria Christen Batak” dan pertama sekali muncul tanggal 1
Mei 1927 dengan dipimpin oleh Frederick Panggabean (bergelar Sutan
Malu) seorang warga jemaat awam (biasa) di Pantoan-Pematangsiantar (lih.
Hutauruk131-135).

Beberapa alas an mengapa HChB berdiri dapat diuraikan seperti di bawah


ini:
a. Sampai tahun 1927 anggota jemaat HKBP Pematangsiantar sudah
berjumlah 300 KK, yang berhubungan dengan itu atas pertimbangan
kapasitas daya tampung gedung gereja yang tidak memadai bagi seluruh
jemaat untuk melakukan ibadah ditambah dengan jarak yang jauh (4 KM)
dari Pantoan, ini dirasakan sebagai suatu kesulitan tersendiri bagi jemaat
mengikuti ibadah. Atas keadaan ini, permohonan untuk mendirikan
sebuah jemaat baru di Pantoan telah ditolak sehingga jemaat terpaksa
harus tetap bergabung pada jemaat di Kampung Kristen.
b. Pernyataan Sutan Malu kepada pemerintah kolonial Belanda yang
membawahi daerah Simalungun ketika itu (1 April 1927) bahwa sejak 1
Mei 1927, mereka (bersama tema-teman seperjuangan) tidak mempunyai
hubungan lagi dengan Rhijnse Cending Jerman dan mereka berdiri sendiri
(zelfstanding) dalam urusan kegerejaan. Sikap ini, menurut Sutan Malu
sangat ia dasari dari hikmat pesan teks Yak. 1:22.
c. Perasaan tidak puas di kalangan perantau orang Batak di
Pematangsiantar atas sturktur sentralistis struktur jemaat. Jadi untuk
jemaatnya Sutan Malu mempropagandakan sifat kemargaan untuk
merekrut sebanyak-banyaknya pengikut dan ternyata usaha ini menarik
perhatian banyak orang ketika itu.
d. Tidak senangnya sebagian orang ketika itu atas ketatnya hukum displin
gereja diberlakukan kepada warga jemaat dan rohaniawan. Melalu
gerakan HChB, orang Batak yang sebelumnya sudah berpologami
beristeri dua atau lebih) dengan senang hati bergabung ke dalam jemaat
itu.

Sampai sekarang jemaat ini masih eksis di berbagai daerah Tapanuli dengan
nama HKI yang pada tahun 1946 nama HChB ini dirubah menjadi HKI (Huria
Kristen Indonesia) alasan utamanya supaya lebih bersifat nasionalis.

3. Mission Batak (MB). Jemaat ini memisahkan diri dari gereja Batak asuhan
RMG itu berlangsung tanggal 17 Juli 1927 di Medan. Alasan utama
pemisahan ini disebabkan oleh perbedaan pendapat warga jemaat di Medan
mengenai lokasi pembangunan gedung gereja yang baru yaitu lokasi yang
disediakan oleh pemerintah di daerah Polonia atau di Balistraat (sekitar jln.
Bali sekarang). Atas perbedaan pendapat itu, pemerintah membatalkan
sumbangannya, namun jemaat tetap mendirikan gedung gereja yang baru
yakni di daerah Polonia yaitu gedung gereja HKBP jln. Uskup Agung

72
sekarang. Oleh sebagian kelompok yang tidak setuju atas sikap pemerintah
ini, tetap meneruskan keinginannya membangun gedung gereja yang baru,
dan mereka menamakan jemaat mereka yang baru itu sebagai “Mission
Batak”, tujuannya untuk membedakan jemaat asuhan RMG dengan mereka,
dan sampai sekarang jemaat ini masih berdiri dengan nama: “Gereja Mission
Batak” dan berkantor pusat di Medan.

4. Punguan Kristen Batak (PKB). Dari penjelasan terdahulu telah diterangkan


bahwa saat pertama sekali orang Kristen Batak merantau ke Jakarta terjadi
tahun 1919. Disebabkan oleh kerinduan untuk mengikuti ibadah yang
berbahasa Batak di daerah Jakarta, maka orang-orang Kristen Batak
membentuk suatu persekutuan ibadah di sana. Untuk memelihara
persekutuan itu, atas permintaan mereka maka misionaris mengutus seorang
pendeta Batak bernama Pdt. Mulia Nainggolan untuk melayani mereka.
Dalam pelayanan selanjutnya, persekutuan ini tahun 1926 mengalami konflik
intern yang berhubungan dengan pergantian pengurus jemaat. Pemimpin
jemaat yang sebelumnya dipegang oleh orang Kristen Batak dari Tapanuli
Selatan, dalam pemilihan yang terpilih adalah orang Kristen Batak yang
berasal dari Tapanuli Utara. Akibat konflik yang berkepanjangan
berlangsung, maka J. Warneck supaya jemaat di Jakarta memakai system
“keerkeraad” yang telah diberlakukan dalam gereja Batak sejak awal
kepemimpinan Warneck tahun 1920. Sistem “keerkeraad” ini adalah system
kepemimpinan jemaat yang dipimpin oleh “majelis jemaat” dengan pendeta
sebagai pimpinan, system yang sebelumnya berlaku di Jakarta adalah bahwa
jemaat memilih salah seorang dari antara anggota jemaat sebagai pimpinan
jemaat. Akibat perselisihan yang terus berlangsung, maka J. Warneck
kemudian mengutus lagi seorang pendeta bernama Pdt. Tyranus Hasibuan,
namun pendekatan pendeta ini tidak juga dapat mendamaikan perselisihan.
Akibatnya, kelompok jemaat yang tidak setuju dengan kebijakan Warneck
sebagai Ephorus, mereka mendirikan jemaat baru yang dinamakan sebagai:
“Punguan Kristen Batak” (PKB) yakni tanggal 10 Juli 1920. Jemaat ini
kemudian menjadi jemaat yang berdiri sendiri (lep0as) dari asuhan lembaga
misi RMG) dan sampai sekarang jemaat ini masih berdiri di Jakarta dengan
nama: “Gereja Punguan Kristen Batak” (GPKB).

5. Ada bebrapa hikmat dapat ditarik dari peristiwa terjadinya skisma jemaat dia
atas, tiga hikmat tersebut adalah:
a. Berlangsungnya skisma dalam gereja Batak sejak awalnya bukan
disebabkan oleh adanyanya perbedaan ajaran secara mendasar,
melainkan semuanya lebih disebabkan oleh perbedaan sikap dan
pendekatan masing-masing terhadap persoalan jabatan dan organisatoris
di dalam jemaat.
b. Faktor lain yang mempengaruhi berlangsungnya skisma itu adalah
terjadinya perubahan social di tengah masyarakat Batak sebagai akibat
dari kemajuan yang diperoleh dalam berbagai bidang kehidupan
(misalnya pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lain) baik melalui usaha

73
zending maupun melalui usaha pemerintah kolonial Belanda. Kemajuan
itu telah membangkitkan semangat kebangsaan mereka, sehingga
mereka terdorong untuk berdiri sendiri dan ingin membebaskan diri dari
kekuasaan asing, termasuk dari kepemimpinan zending.
c. Adanya fanatisme kemargaan dan ke daerahan yang timbul di kalangan
masyarakat Kristen Batak di daerah diaspora (perantauan).
d. Pemahaman dan kesadaran terhadap hidup berjemaat yang masih
dangkal, yang nampaknya orang Kristen Batak cenderung
mempersamakan gereja dengan organisasi yang bersifat social
kemasyarakatan atau mempersamakannya dengan organisasi kepartaian.
Ini nampak dari sebutan awal kepada jemaat yang memisah itu pertama
sekali sebagai: “Vereeniging” (Perserikatan). Bukan menamakannya
sebagai “Gereja” atau “huria”, sebab melalui nama “Punguan”
(Perkumpulan) yang terkandung di dalam nama itu dianggap sama
artinya dengan pengertian gereja atau huria.

B.
KONFESSI GEREJA BATAK (HKBP)

6. Sepintas Mengenai Konfessi (6-7). Dalam pengalaman gereja-gereja


umumnya, salah satu fungsi yang sangat penting bagi dirumuskannya
konfessi adalah sebagai: “jawaban terhadap firman Allah dan terhadap
manusia dengan segala kompleksitas permasalahan jamannya”. Berhubung
dengan ini, dalam perjalanan sejarahnya (gereja Batak) HKBP telah memiliki
dua konfessinya sendiri, yakni konfessi tahun 1951 dan konfessi tahun 1996.
Terhadap pernyataan di atas, pergumulan jaman yang mempengaruhi HKBP
merumuskan konfessinya adalah bahwa “HKBP sangat menghadapi
tantangan pelayanannya dari berbagai pihak (sekte), secara khusus dari
pihak gereja RK mengembangkan misinya di daerah Tapanuli secara umum”.
Tantangan ini didukung oleh pergumulan HKBP mencari persekutuan
oikumenisnya baik secara nasional maupun secara internasional.
Secara etimologi, kata: “konfessi” berasal dari kata Latin, yakni: “confessio”
yang berarti: ”pengakuan dosa juga sebagai pengakuan iman”.

Dalam bentuk kata, istilah ini kemudian berubah maknanya menurut konteks
beberapa bahasa sesuai dengan pemakaiannya (lih. Henkten Napel, Kamus
Teologi, hl. 86), misalnya:
a. Menurut istilah bahasa Latin, ada dua makna yang muncul, pertama
sebagai “symbol yang dipakai oleh gereja-gereja kuno yang artinya
sebagai pengenal” dan makna kedua sebagai “credo yang berarti aku
percaya” di mana makna ini sering dipakai dalam ibadah
b. Menurut bahasa Inodonesia kata ini berubah makna sebagai “pengakuan”
c. Menurut bahasa Ibrani (PL) dipakai kata “schema” artinya: “dengarkanlah”

74
d. Menurut istilah PB dipakai kata: “homologein”. Kata ini menurunkan dua
defenisi sebagai: “memuji Allah dan menghaku dosa”. Kemudian
menurunkan makna sifat kata sebagai “homologia” artinya: pengakuan
e. Menurut bahasa Inggris, dipakai kata “confessio” artinya: “pernyataan
iman suatu agama atau prinsip iman”.
f. Menurut bahasa Jerman dipakai kata: “das bekenntnis” artinya:
“pengakuan, identitas denominasi tertentu”.

Dari berbagai istilah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kata: “konfessi”
menunjuk kepada pengakuan suatu gereja untuk menunjukkan dan
menampakkan indentitasnya diperhadapkan dengan sekitarnya. Berhubung
dengan pernyataan ini maka: “konfessi sekaligus merupakan jawaban
terhadap dua soal sekaligus yakni jawaban terhadap firman Allah di mana
jawaban ini merupakan dialog dan jawaban terhadap manusia di mana gereja
menghadapi berbagai ajaran sesat. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
konfessi-konfessi adalah respon terhadap Allah. Melalui pengertian ini,
konfessi timbul oleh karena tantangan dan kepercayaan. Untuk mengawasi
ajaran sesat, dan memberi jawaban kesaksian kepada seluruh dunia yang
mempersatuklan orang-orang yang mengaku menurut konfessi-konfessi
tersebut. Konfessi-konfessi itu harus hidup terus dan bertahan terhadap ujian
waktu” (lih. G.D. Dahlenburg, Konfessi Konfessi…, hl. 3-5). Melalui uraian ini,
dapat diartikan bahwa konfessi harus senantiasa mampu menjawab berbagai
tantangan, kini dan di sini bahkan masa depan, termasuk halnya dengan
konfessi-konfessi tua (konfessi-konfessi oikumenis).

7. Relevansi Konfessi-konfessi Tua. Sebagaimana diharapkan bahwa setiap


konfessi harus bersifat actual dan relevan, artinya kendati dirumuskan pada
masa lalu, konfessi itu harus tetap diupayakan mampu menjawab dan
berhubungan dengan masalah/ tantangan yang dihadapi oleh gereja di
kemudian hari walau perumusannya sudah dipisahkan oleh waktu yang
sangat panjang.

Melalui pernyataan ini maka konfessi harus senantiasa mampu menjawab


berbagai tantangan, kini dan di sini bahkan di masa depan sekali pun.
Termasuk halnya dengan konfessi-konfessi tua, seperti misalnya:
a. Pengakuan iman apostolocum. Pengakuan ini ditulis antara tahun 200-
325 M dengan mengambil ajaran-ajaran para rasul yang penting dari
Alkitab.
b. Pengakuan iman Niceanum di mana konfessi ini di tulis antara tahun 325
saat konsili Nicea yang menentang bidat Arianisme.

Pengakuan iman Athanasianum, pengakuan iman ini dirumuskan antara


tahun 313 M untuk menegaskan kebenaran Allah Tritunggal. Jadi, tiga
pengakuan iman ini ditambah lagi dengan Katekhismus kecil dan
Kathehismus besar Martin Luther, Konfessi Augsburg (Apologi Konfessi
Augsburg) dan Rumus Konkord di mana konfessi ini telah dipegang dan

75
dianut oleh gereja selama lebih dari 500 tahun. Dapat diperhatikan bahwa,
adalah “berbahaya sekali jika jemaat memisahkan diri dari pengalaman
gereja mula-mula yang sudah berjalan masa sekitar 2000 tahun. Kalau anda
sebagai mahasiswa teologi (calon pelayan, orang Kristen, atau pelayan
jemaat) mengabaikan sejarah gereja, maka gereja akan hidup seperti layang-
layang tanpa ekor, atau layang-layang tanpa benang. Orang Kristen (gereja)
tidak akan pernah tahu dari mana ia berasal dan ke mana pula ia pergi”.
Pernyatan inilah yang mempertegas sikap kita sekarang sebagai akademisi
kampus teologi yang harus tetap memahami bahwa konfessi-konfessi tua
harus selalu tetap relevan dan actual. Di samping itu, “sebuah rumusan
konfessi sebagai pengakuan iman ini harus merupakan hal yang sangat
mendasar bagi setiap gereja, sebab di dalamnya gereja mengemukakan apa
dan siapa yang ia yakini, dan apa sikap serta jawabannya terhadap berbagai
tantangan dan masalah yang dihadapinya secara kongkrit, ketika ia
merumuskan pengakuan iman itu sekaligus merupakan respons terhadap
firman Allah di dalam Alkitab. Dengan demikian, setiap pengakuan iman
mestinya harus berciri ganda, yakni tekstual dan sekaligus kontekstual”.

Melalui hikmat ini, hendaknya sebuah gereja dalam merumuskan konfessinya


harus mempertimbangkan beberapa unsur yakni:
a. Apakah suatu konfessi benar-benar berakar pada kitab Suci (pernyataan
ini melebihi pegangan atas Alkitabs ecara formal saja) ?
e. Dapatkah suatu konfessi tertentu dianggap sebagai panggilan untuk
pertobatan, dan dihakekatnya oleh pelayanan gerejanya untuk
pembaharuan ?
f. Apakah relevan suatu konfessi tertentu berhubungan dengan pengalaman
gereja masa kini ?
g. Apakah konfessi itu meminta persetujuan ?

Sebenarnya suatu konfessi harus mencantumkan panggilan untuk turut serta


dalam mengakuinya. Jadi, melalui konfessi 1956 dan konfessi 1996, HKBP
telah berusaha secara kontekstual menetapkan konfessinya. Ini didukung
oleh argumen (lih. Lothar Schrainer, Arti dan Fungsi Konfessi…, hl. 6-8): “adalah
penting untuk diuraikan kedudukan mana salah satu konfessi tertentu
diberikan ke dalam gerejanya dan teologianya, misalnya konfessi HKBP di
HKBP”. Maksud pernyataan ini akan lebih jelas melalui argumen bahwa
gereja-gereja di Indonesia tidak ada yang murni beraliran Lutheran. Namun
“pada umumnya (terutama di kalangan gereja Batak) gereja-gereja Protestan
mengakui bahwa Martin Luther adalah sebagai salah seorang bapa rohani
bagi gerejanya, bahkan teladan iman bagi mereka”. Pada kenyatannya HKBP
adalah non konfessional dan non denominasional, artinya: HKBP tidak
menganut satu konfessi tertentu dari konfessi yang sudah ada dan juga tidak
larut dengan satu konfessi tertentu. HKBP dengan konfessinya, berusaha
berteologi secara dogmatis (berisi ajaran tertentu), misiologis (berisi unsur-
unsur misi kesaksian) dan apologetis (pembelaan dengan memaparkan
prinsip teologia dan dogmatisnya sebagai pendirian HKBP). Pernyataan ini,

76
nampak dalam isi dua konfessi HKBP terutama bila disimak bentuknya:
pertama mengenai: “manghaporseai” (mempercayai), kedua mengenai:
“manghatindangkon” (menyaksikan), ketiga mengenai: “mangondolhon”
(menekankan), keempat mengenai: “mangaradoti” (memelihara/
menjalankan) dan kelima mengenai: “manulak” (melawan/menolak).

8. Latarbelakang Kedua Konfessi (8-9). Salah satu eksistensi tuntutan dari


pentingnya dirumuskannya konfessi adalah untuk “menjawab firman Allah”
maksudnya, jawaban yang memiliki unsur dialogis artinya “Allah berfirman
dan manusia (gereja) menjawab”. Argumen inilah yang melatarbelakangi
lahirnya dua konfessi HKBP tahun 1951 dan tahun 1996. Terhadap konfessi
1951, sejak 90 tahun lahirnya gereja (HKBP) sebagai “tubuh Kristus” di tanah
Batak (7 Oktober 1861) HKBP belum memiliki jawaban yang baku terhadap
firman Allah yang diterimanya. Artinya belum memiliki jawaban yang tertuang
dalam bentuk konfessi. Kenyataan inilah yang disadari oleh HKBP melalui SG
tahun 1951, sehingga diputuskan/ditetapkanlah: “dipahot synode Godang ma
Panindangion haporseaon i, alai molo tung adong dope sihurangan manang
sitambaan tusi na so domu tu Bibel, boi do padengganon i tu pudian ni ari”.
Dari keputusan ini, dapat dilihat bahwa HKBP tidak mau terkondisi hingga hal
yang esensial dan terlupakan. Konfessi yang dibentuk harus merupakan
jawaban yang sempurna akan firman Allah yang harus diterima. Itulah
sebabnya, tujuan utama HKBP membentuk konfessi 1951, yaitu:
“memperkenalkan dirinya sebagaimana dia telah ditempa oleh
penghayatannya akan firman Allah sejak firman itu diberitakan dan diterima
oleh umat Kristen Batak”.

Eksistensi kedua pentingnya konfessi 1951 dirumuskan adalah sebagai


“jawaban kepada manusia” artinya konfessi harus mampu menjawab
berbagai tantangan dan pergumulan yang dihgadapi gereja pada waktunya.
Demikian pergumulan mendasar penetapan konfessi ini untuk menjawab dan
menghadapi tantangan dari berbagai sekte secara khusus dari gereja Katolik
Roma ketika itu. Dalam pendahulun konfessi 1951 sangat jelas dicantumkan,
bahwa ajaran-ajaran yang telah masuk dari luar dan juga yang tumbuh dari
dalam, yakni: “Roma Katholik, Adventis, Pinkster, Agama Kemasukan roh,
Sirajabatak, Kumpulan Bibelkering, Kekristenan Nasionalisme, Sinkritisme,
Ajaran-ajaran yang berasal dari Theosopie Komunis dan Kapitalis, Kumpulan-
kumpulan orang-orang yang memisahkan diri dari HKBP, Animisme dan
Islam, juga pengakuan terhadap adat dan kebudayaan dari bangsa kita”.
Begitu mendesak dan pentingnya penbetapan konfessi 1951 ini dilakukan,
terhadap pergumulan yang dihadapi oleh HKBP, sehingga Ephorus HKBP J.
Sihombing memasukkannya dalam barita jujur taon (laporan
pertanggungjawaban HKBP 1949/1950), beliau mengatakan: “…marsak do
roha marnida, na sai lohot dope hasipelebeguon di roha ni deba dongan
Kristen …”. Tantangan ini harus dijawab dengan jelas dan tegas/benar serta
konsisten dalam dan melalui konfessi.

77
Dalam upaya pengembangan hubungan oikumenis gereja HKBP dengan
lembaga oikumenis sedunia, HKBP melalui sinode Godang 1949
memutuskan: “satorang-torang na jala sabagas-bagas na do patedehon tu
utusan ni rapot India i, dogma kultus (ruhut parduru) dohot organisasi ni
HKBP tu LWF. Molo boi do masuk HKBP tu LWF di na songon i dogma,
kultus dohot organisasi na”. Pernyataan ini menekankan keinginan HKBP
masuk menjadi anggota LWF (Lutheran World Federation) namun
keberadaan HKBP dengan segala cirri khasnya tidak boleh diganggu gugat.
Hal ini ditekankan sehubungan dengan persyaratan konfessional yang
dituntut LWF. Untuk tujuan ini, yakni memenuhi tuntutan persyaratan LWF,
HKBP pada sinode Godang 1950 membentuk tim konfessi yakni: Pdt. Dr. J.
Sihombing, Pdt. K. sirait, Ds. K. Sitompul, Ds. T.S. Sihombing, Ds. G.H.M
Siahaan, Pdt. C. Simanjuntak, Demang Renatus Hutabarat, Prof. Mr. Dr.
Sutan Gunung Mulia. Pada synode Godang HKBP 1951, konfessi yang
mereka susun kemudian disyahkan. Isi gambaran umum konfessi 1951
adalah bahwa konfessi ini terdiri dari 18 fasal yang diawali dari semacam
pengantar (pengantar) dan patujolo (pamungkaan).

Gambaran umum isi konfessi ini dapat dibagi pada lima bagian besar, yakni:
a. Fsl 1-4 : Pemahamantentang Allah dan firman Allah ; b. Fsl 5-7 :
Pemahaman tentang dosa ; c. Fsl 8-11 : pemahaman tentang gereja dan
Sakramen : d. Fsl 12-15 : Pemahaman tentangkedudukan orang Kristen di
dalam dunia : e. Fsl 16-18 : Pemahaman tentang orang mati, Malaikat dan
hukuman pada hari kiamat.

9. Terhadap konfessi 1996, konfessi ini juga dirumuskan tuntutan eksistensinya


adalah untuk menjawab firman Allah. “Pembentukan suatu konfessi sangat
diperlukan untuk menguatkan iman kita dan merupakan pegangan untuk
melawan bidat-bidat. Oleh karena itu, gereja tidak boleh berhenti dan terikat
kepada konfessi-konfessi yang lama, tetapi konfessi harus dipertimbangkan
dan diperbaharui setiap jaman. Demikian pengakuan iman harus dikaji ulang
dan diperbaharui dari masa ke masa (lih, J.A. Scherer, dalam J.R.
Hutauruk(ed): Konferensi Teologia…hl. 14). Dari ungkapan ini dapat diartikan
bahwa gereja perlu menginterpretasi ulang jawabanya akan firman Allah dan
dalam menuangkan hasil interpretasi ulang inilah lahir konfessi 1996. Melalu
katapengantar (hata huhuasi) konsep konfessi ini Ephorus HKBP
memaparkan: “na mangalangka do hurianta mamongoti jaman na hatop
muba-uba, na digoari era globalisasi. Hombar tu perkembangan ni
partingkian dohot hamajuon na binoan ni IPTEK, maruba do nang angka
tantangan dohot mara na boi tohap tu huria i, porlu ma adong Panindangion
Haporseaon na mura antusanta dohot antusan ni na humaliang hita”(lih.
Konfessi HKBP tahun 1996). Pernyataan ini sangat menjelaskan
latarbelakang proses dirumuskannya konfessi 1996 yakni: kemajuan jaman
yang disebuts ebagai era globalisasi dan Iptek Senada dengan pemaparan
uraian di atas, Ketua Rapat Pendeta HKBP juga mengatakan: “nungnga
dapot muse sada tingki di ngolu ni HKBP laho padasiphon rumang ni

78
konfessina i asa talup pangkeon maml;ous partingkian na mubaubai, tingki na
tatanda nuaeng songon era Globalisasi, sada tingki naung manesa angka
batas-batas parbangsoon na adongi, laos songon I nang batas-batas ni
angka kebudayaan i. Apala di tingki na songon ima dipatuduhon HKBP sada
rumang na imbartu di konfessi HKBP” (lih. Konfessi HKBP 1996, hl. 5-6). Jadi
latarbelakang yang sangat jelas mempengaruhi dirumuskannya konfessi
HKBP 1967 adalah “era globalisasi dan perubahan yang serba cepat”. Untuk
merealisasikan tujuan inilah HKBP menjalani proses pembentukan konfessi
ini, yakni Sinode Godang HKBP ke-49 tahun 1988, menetapkan
pembentukan komisi konfessi HKBP. Komisi Inilah yang bekerja, setelah
mengalami proses panjang hingga terbentuknya konfessi yang disyahkan
pada sinode Godang HKBP tahun 1996.

Dari sudut gambaran umum, konfessi 1996 dikelompokkan sesuai dengan


isinya pada tujuh bagian, yakni:
a. Fsl 1-2 : Teologi
b. Fsl 3-5 : Manusia dengan lingkungan
c. Fsl 6-10 : Tentang keselamatan
d. Fsl 11-15 : Tentang Etika
g. Fsl 16 : tentang eskatologi
h. Fsl 17 : tentang Malaikat.

10. Perbandingan Keduanya. Dalam kata pengantar konfessi 1996 (lih. hl. 9),
dipaparkan: ”konfessi HKBP 1996 ini bukanlah merevisi konfessi HKBP
1951. Suatu konfessi tidaklah bisa direvisi, karena konfessi merupakan
dokumen sejarah dan juga dokumen orang-orang beriman. Itulah sebabnya
judul konfessi ini bernama: Panindangion Haporseaon HKBP 1996.
Konfessi ini bukanlah juga namanya sebagai Konfessi Jilid II, artinya
konfessi ini berlaku bagi HKBP hanya dewasa ini”. Merupjuk pada
pemaparan di atas, kalau bukan merevisi berarti kedua konfessi itu “secara
substansi” adalah sama. Berarti kehadiran konfessi 1996, bukanlah
membatalkan konfessi 1951, tetapi keduanya saling melengkapi. Sejajar
dengan ini, kata pengantar konfessi 1996 menyebutkan: “marojahan
tupangantusion na sisongon ima dipabangkit hurianta do team laho
manusun panindangion haporseaon na imbaru “songon udut” ni
Panindangion Haporseaon naung adong hian”. Yang menjadi penekanan
adalah: “songon udut ni”, istilah ini dapat berarti: kesinambungan.
Konfessi 1951 disempurnakan sesuai dengan perkembangan atau
perubahan jaman. Juga dengan kata: “laho padasiphon rumang ni
konfessi na”. Padasiphon berarti: “menyesuaikan” artinya disesuaikan
dengan perkembangan jaman. Dari sudut perbedaan, secara substansial
konfessi 1951 dan konfessi 1996 adalah sama, namun yang pasti pada
konfessi 1996 muncul hal yang baru. Yang sekaligus sebagai identifikasi
bahwa di dalam keduanya ada perbedaan.

Perbedaan keduanya dapat dikategorikan dalam dua hal, yakni:

79
a. Penambahan dan penyempurnaan rumusan. Sepintas perbedaan dalam
kategori ini hanya masalah redaksi, tetapi sebenarnya lebih jauh dari itu, yakni
masalah isi, kata-katanya diredaksi kembali agar isinya sesuai dengan tuntutan
jaman.
b. Penyesuaian. Perbedaan dalam kategori ini adlaah dengan jalan membuang
fasal yang tidak relevan lagi agar secara keseluruhan konfessi sesuai dengan
tuntutan jaman.
c. Perumusan baru. Perbedaan dalam kategori ini adalah menambah isi dalam
fasal baru yang sesuai dengan tuntutan jaman.

Dalam usaha memberi masukan terhadap konfessi HBP, F.H. Sianipar


mengusulkan (lih. F.H. Sianipar, Suati Problema … hl. 22-23) : “seharusnya ada
suatu bab tersendiri tentangmanusia, sebagaimana ada bab khusus tentang Allah.
Dalam perkembangan kemajuan manusia dewasaini, pandangan tentang apa da
siapa manusia semakin memiliki corak dan ragamnya”. Demikian dalam bimbingan
loka karya konfessi yang dilakukan STT-HKBP, Nababan mengusulkan:
“pentingnya perumusan baru, umpamanya sikap terhadap adat dan budaya, sikap
terhadap pembangunan dan tentang pernikahan dan keluarga”. Bila dibandingkan
pendahuluan kedua konfessi ini maka akan nampak bahwa pergumulan mendasar
munculnya konfessi 1951 yaitu: tantangan dari pengaruh sekte-sekte tidak ada lagi
pada pendahuluan konfessi 1996. Ini dapat dipahami bahwapada maa tahun-tahun
ini (dasawarsa 1990 ke depan) antisipasi gereja bukan lagi terfokus kepada
masalah pengaruh sekte-sekte, tetapi yangpaling mendasar adalah “dialog antar
umat beragama”. Tidak masanya lagi saling menyerang dan saling bermusuhan
bagi ahama-agama, demikian halnya dengan gereja dlaam persekutuan
oikumenis. Melainkan membuka jalan yang selebar-lebarnya bagi dialog dan
kerjasama demi kesejahteraan dan kerukunan bersama. Pernyataan ini sejalan
dengan ungkapan Hans Kung, “pada masa kini, tidak ada lagi usaha dari suatu
agama untuk menyingkirkan agama-agama lain dengan strategi ang agressif dan
tidak ada lagi arogansi dan kemenangan yang menguasai dari suatu agama atas
agama lain. Yang ada ialah, terwujudnya kehidupan yang saling berdampingan
dan beriringan penuh rasa saling menghormati dalam dialog dan kerjasama” (lih.
Pusat Literatur Euanggelion, Tantangan Gereja di Indonesia, hl. 127-128).

11. Sebuah analisis terhadap keduanya. Samapi tahun 1996, HKBP telah melampaui
tiga jaman peradaban manusia, yaitu jaman/era tradisionil, era industrianliasasi
dan era informasi/komunikasi. Dua aera yang sangat menantang pelayanan HKBP
adalah era industrialisasi dan era informasi yang disebut sebagai era globalisasi.
Jaman ini adalah jaman ilmu pengetahuan dan teknologi canggih.

Berhubung dengan ini, setidaknya ada enam tantangan yang harus di hadapi oleh
gereja dalam pelayanannya rterhadap jaman ini. Ke enam tantangan itu adalah:
a. Masalah hak azasi manusia yang merupakan masalah yang rawan di dunia ini.
b. Masalah perlombaan senjarta khususnya nuklir.
c. Masalah jurang antara si kaya dan si miskin.
d. Masalah energi dan lingkungan hidup.
e. Masalah teknologi baru/tinggi yang menimbulkan dampak-dampak yang luar
biasa.
f. Masalah kekuasaan dan demokrasi.

80
Secara negatif dampak dari semua tantangan ini yang timbul dari jaman
moderniasasi dan globalisasi adalah:
a. Hadirnya robot yang menggantikan peranan manusia (bidang social).
b. Penyalahgunaan nuklir
c. Inovasi budaya asing yang negatif, yang dapat merusak kebudayaan pribumi
(bidang kebudayaan).
d. Mesin dapat mengganti tenaga manusia dan ini menciptakan pengangguran
(unemployment-bidang ekonomi).

Terhadap berbagai tantangan di atas, merujuk pada isi konfessi HKBP 1996, yakni
fsl 3: tentang manusia, fsl 4: tentang masyarakat dan fsl 5: tentang kebudayaan
dan lingkungan hidup, masing-masing fsl ini dapat anda baca dan hafalkan
sebagai jawaban kongkrit gereja terhadap ragam tantang seperti disebutkan di
atas. Terhadap konfessi HKBP dalam menghadapi tantangan berbagai sekte,
dapat dikatakan bahwa: jaman sekarang ini dikenal sebagai jaman
berlangsungnya tantangan pelayanan gereja yang berasal dari gerakan pentakoste
baru (kharismatik). Ciri gerakan ini memasuki suatu gereja yang mapan melalui
menanamkan ajarannya. Mereka menanamkan glosolalia yaitu gerakan pelayanan
dengan bahasa roh dan kebangunan rohani. Akan tetapi pada awalnya system
pelayanan mereka menghindari bentuk organisasi formal tetapi akhirnya system
organisas formal sangat mengikat mereka dan sangat dipentingklan. Dengan
demikian, gerakan ini menantang dan mengganggu bagi gaerakan pelayanan
gereja mapan. Tantangan inisangat dirasakan oleh HKBP dalam penayannya,
dengan banyaknya anggota jemaatnya sekranfg “jajan” dari pelaytanan gerakan
ini. Artinya, keanggotaan jemaat tetap[ ada di HKBP tetapi masihmengikuti
kebanktian kebangunan rohani yang dilayani oleh sekte ini dan banyak sekte
yangs ejenisnya.

Melalui keadaan ini, jalan keluar yang bisa ditemukan dari isi uraian konfessi
adalah:
a. Konfessi 1951 cukup relevan menjawab tantangan dalam “penetuan sikap”
dimana padapendahuluannya sangat jelas hal ini dipaparkan.
b. Jawaban teologis yang diberikan oleh konfessi HKBP 1996, di mana
perumusan ulang fsl 1 tentang Allah Bapa dengan menjelaskan sejelas
mungkin tentang Trinitas memberikan jawaban dogmatis. Dalam hal ini,
Kritologis dan Pneumatologis ditekankan.

12. Kesimpulan sub bab ini. Dapat dikatakan bahwa:


a. Konfessi adalah jawaban gereja dalam dua hal yakni: jawaban terhadap firman
Allah dan jawaban terhadap manusia dan jamannya. Jawaban ini harus
diberikan sebab telah merupakan tuntutan eksistensial. Oleh karnea itu, gereja
harus memiliki konfessi, entah itu konfessi tua yang ditambah dengan konfessi
sendiri yang kontekstual dan tekstual.
b. HKBP dalam perjalanan sejarahnya telah memiliki dua konfessi. Dengan dua
konfessi ini HKBP dapat berteologi secara kontekstual dogmatis dan misiologis
serta apologetis.
c. Konfessi HKBP 1951, lahir dengan latarbelakang yakni: untuk menjawab
firman Allah dan untuk menjawab tantangan dunia sekitarnya, serta sebagai
persyaratan HKBP memasuki anggota lembaga oikumenis LWF.
d. Melalui konfessinya, HKBP mampu menjawab berbagai tantangan, baik
tantangan perkembangan jaman maupun tantangan sekte-sekte.

81
KEPEMIMPINAN PENDETA
BATAK DALAM GEREJA

1. Pendahuluan (1-2). Tema ini adalah suatu studi analisis historis praksis
terhadap corak (model/gaya) kepemimpinan para Pendeta Batak dalam
gereja HKBP selama periode 1940-2004 khususnya dalam mensikapi
kekuasaan di dalam dan di luar dirinya. Artinya, tema ini adalah satu usaha
yang mencoba untuk memahami secara historis beberapa peristiwa pernah
terjadi di HKBP pada umumnya dan pada kepemimpinan para pendeta serta
orang Kristen Batak khususnya di dalam gereja. Melalui tema ini akan
ditekankan beberapa keadaan yang menyangkut kehidupan gereja HKBP
sebagai sebuah lembaga historis, yang bersama dengan lembaga-lembaga
historis lainnya (desa/adat, kota, suku bangsa, negara) hidup secara
berdampingan. Dalam hidupnya sepanjang sejarah, sebagai sebuah lembaga
HKBP harus mempertanggungjawabkan tugas dan panggilannya kepada
Tuhan Allah Raja gereja, karena Dialah melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus
telah memanggil dan mengutus orang-orang percaya kepadaNya untuk
memberitakan Injil kerajaanNya sampai ke Tapanuli di mana tugas ini masih
dan sedang menuju kepada kesempurnaannya sampai kedatangan Tuhan
Yesus Kristus keduakalinya. Orang Kristen Batak sebagai hasil pemberitaan
Injil dari orang-orang yang telah dipilih, dipanggil dan diutus oleh Tuhan Allah
melalui Yesus Kristus, mereka telah menghuni wilayah-wilayah yang lebih
luas tidak hanya di wilayah negara Indonesia bahkan telah menghuni hingga
belahan yang lebih luas dari bumi ini. Sudah merupakan hal yang pasti
bahwa HKBP sebagai sebuah lembaga gereja, ia hidup bersama dengan
lembaga-lembaga historis lainnya seperti lembaga desa, kota, negara dan
lain-lain, bukan terisolasi atau terasing. Dengan demikian mau tidak mau,
HKBP harus hidup berdampingan, berinteraksi, berselisih, bertengkar bahkan
saling bermusuhan dalam merealisasikan kekuasaan yang masing-masing
mereka menganggap, itu adalah milik dan wewenangnya.

2. Fokus perhatian tema ini saya mengarahkannya pada bentuk-bentuk


hubungan gereja HKBP sebagai lembaga ketika ia berhadapan dengan
lembaga negara dan lembaga masyarakat lainnya. Dalam hal ini, HKBP
harus mempertanggungjawabkan kehadirannya, khususnya
kepemimpinannya kepada Tuhan yang adalah kepala gereja itu: saat ia

82
bertemu, saling berangkulan, kemudian saling bermusuhan dengan lembaga
negara, adat, dan lembaga masyarakat lainnya yang berkuasa di dunia ini.
Dalam hal ini, ilmu sejarah gereja hendak menolong orang Kristen Batak
umumnya dan warga HKBP khususnya untuk mempertanggungjawabkan
masa lampau gereja melalui penelitian terhadap akar-akar imannya serta
tradisi-tradisi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu tema ini
difokuskan pada perhatian: bagaimana gereja HKBP yang melalui
kepemimpinan para pendeta dan orang Kristen Batak dapat menjalankan
kepemimpinannya sepanjang sejarahnya saat ia bertemu dengan lembaga
negara dan lembaga masyarakat lainnya di Tapanuli-Sumatera Utara
khususnya serta di Indonesia umumnya. Mungkin focus diskusi kita akan
dapat meliput: “kisah tentang pergumulan antara Injil dengan bentuk yang
dipakai untuk mengungkapkan Injil itu” (Th. Van den End, 1986, hl.7). Artinya,
kita akan akan memfokuskan diri terhadap bagaimana Gereja HKBP mampu
menempatkan dirinya di tengah kehadiran dan tuntutan lembaga negara
Indonesia sehingga HKBP dapat melakukan tugas pemberitaan firman Allah
tanpa menolak kehadiran Tuhan Allah sebagai Raja, sebagai pemimpin dunia
ini sebagaimana disaksikan oleh orang-orang percaya kepadaNya (misalnya
kesaksian Paulus di Efesus Ef. 1:19-13).

3. Pengalaman Awal HKBP (3-4). Melalui uraian dua poin di atas, diskusi ini
akan mengawali tugasnya dari periode tahun 1940. Penentuan sikap ini
sangat didasarkan pada alasan bahwa sejak disyahkannya gereja Batak
tahun 1930 memiliki badan hukum sendiri (lih. Paul B.Pedersen, 1975, hl.
78), keadaan ini sebenarnya telah mengindikasikan status Gereja Batak
(HKBP) sebagai sebuah Gereja yang “mandiri”. Jika sampai tahun 940 gereja
Batak masih dipimpin oleh J. Warneck, ada kesan nampaknya para
misionaris Eropa (RMG) masih memperlambat realisasi kemandirian pendeta
Batak (bumiputera) untuk memimpin Gereja hingga tahun 1940 (Andar
Lumban Tobing, 1996, hl. 146-147). Berhubung dengan hikmat ini, dapat
dikatakan bahwa masa periode tahun 1930-1940 merupakan periode yang
sangat menentukan bagi para pendeta Batak untuk menegaskan sikapnya
terhadap kepemimpinannya dalam Gereja. Akhirnya, ketika ketegangan
politik dunia mengalami puncak krisisnya pada tanggal 10 Mei 1940, segera
Gereja Batak sepenuhnya sudah diasuh (dipimpin) oleh para pendeta
(pelayan-pelayan) Batak sendiri. Ada dua ketegangan politik dunia
berlangsung dan sangat mewarnai/mempengaruhi kepemimpinan pendeta
Batak dalam Gereja ketika itu. Dua keadaan itu adalah (J.R. Hutauruk, 1993,
hl. 185): pertama, berlangsungnya pendudukan Jerman terhadap Belanda
(Nederland) bulan Mei 1940 di mana pendudukan ini mempengaruhi
berakhirnya pekerjaan RMG (Rheinischen Missions Gesellschaft- Jerman) di
Sumatera Utara sebab hingga tahun ini Belanda masih berkuasa di
Indonesia. Kedua, berkuasanya Jepang (Maret 1942) di Indonesia
menggantikan pendudukan Belanda. Pendudukan Jepang ini menandai
berakhirnya kegiatan lembaga BNZ (Batak Nias Zending) yang sebelumnya
dibentuk Belanda di Tapanuli menggantikan pekerjaan misi RMG. Di tengah

83
keadaan ini, perselisihan sengit antara orang Kristen Batak dengan
pemerintah kolonial Belanda berlangsung. Perselisihan ini secara langsung
mempengaruhi orang Kristen Batak mendapatkan kesadaran teologis dan
politisnya di dalam Gereja dan Negara. Bila di satu pihak pemerintah kolonial
Belanda menangkap, mengusir serta mengungsikan semua orang Jerman
dari Tapanuli (Indonesia) terutama para zendeling utusan RMG. Di pihak lain
pengusiran ini memaksa sikap para pendeta dan orang Kristen Batak lainnya
memikirkan masalah kesinambungan dan kepemimpinan HKBP. Artinya,
pendeta Batak (orang Kristen lainnya) harus menduduki jabatan-jabatan
tertinggi di dalam gereja dan di semua unit/bidang pelayanan lainnya
(misalnya pendidikan dan kesehatan) dan pendeta Batak bersedia untuk
menerima tanggungjawab itu. Untuk mengatasi masa transisi ini, awalnya
pemerintah kolonial Belanda tidak bermaksud hendak memimpin dan
mengurus kepemimpinan HKBP secara langsung, namun mereka hendak
mengurus lembaga-lembaga yang didirikan atas nama RMG. Pertimbangan
inilah yang mendorong pemerintah kolonial Belanda mendirikan BNZ bulan
Mei 1940 sekaligus yang mempengaruhi berlangsungnya Sinode Godang
HKBP (istimewa) tanggal 10-11 Juli 1940. Inti pokok persoalan yang sangat
penting dijelaskan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda kepada para
utusan pendeta dan orang Kristen Batak lainnya melalui Sinode Godang itu:
“bagaimana hakekat menyeluruh hubungan BNZ dengan HKBP dengan
segala untung ruginya bagi HKBP”. Melalui dasar tuntutan ini, sebenarnya
nampak sikap kritis para pendeta Batak terhadap pemerintah kolonial
Belanda, secara khusus terhadap masalah kepemimpinan dalam Gereja.
Para pendeta Batak terus memperjuangkan tuntutan: “untuk seterusnya
kepemimpinan dan soal pengurusan HKBP di berbagai unit pelayanannya
harus dipegang oleh orang-orang Batak”. Bagi para pendeta Batak, tuntutan
inilah yang menjadi tujuan utama pelaksanaan pemilihan ketua HKBP dalam
Sinode itu. Bila hingga berlangsungnya Sinode ini, kepemimpinan tertinggi di
HKBP masih dipegang oleh H.F. de Kleine (seorang zendeling RMG
berkebangsaan Belanda-dua orang lainnya dengan latarbelakang yang sama
masih tinggal di HKBP yakni J. Karelse dan D. Rijkhoek), de Kleine setelah
meletakkan jabatannya saat Sinode itu berlangsung, melalui proses rapat
yang sangat alot akhirnya Pdt. K. Sirait kemudian terpilih menjadi Ephorus
pertama dari pendeta Batak memimpin HKBP. Seperti dikatakan oleh J.R.
Hutauruk (Kemandirian Gereja, hl. 194), tahun 1940 merupakan saat
menentukan bagi Gereja Batak merampungkan langkah pertama yang
menuju kemandiriannya yang sepenuhnya. Sama halnya dengan pernyataan
para utusan RMG ketika Sinode itu belangsung mengatakan: “biarlah HKBP
puas, karena di Tanah Batak pekerjaan misi boleh dikatakan sudah
seluruhnya berada di tangan putra-putra suku Batak”.

4. Setelah Pdt. K. Sirait terpilih menjadi Ephorus, hingga tahun 1942 agaknya
para utusan zendeling Belanda (misalnya S.C. Van Randwicjk) masih
berusaha menduduki jabatan tertinggi ini. Bersama pemerintah kolonial
Belanda, utusan Zendeling ini masih mencari akal agar menjatuhkan

84
“kepemimpinan yang salah” oleh Pdt. K. Sirait dengan jalan merusak wibawa
kepemimpinannya di lingkungan orang Kristen Batak. Boleh dikatakan bahwa
usaha ini hampir berhasil, sebab tahun 1942 perpecahan hampir terjadi di
tubuh HKBP. Pada masanya, utusan zendeling Belanda sangat memahami
bahwa pola gerakan kemerdekaan gerejawi di kalangan orang Batak sangat
kuat berlangsung melalui garis kesukuan dan bahasa. Hal ini sudah
dibuktikan oleh Sinode Godang istimewa 1940, di mana oleh
pengaruh/desakan para zendeling Belanda, Sinode sepakat akan membentuk
distrik Simalungun dan menempatkan utusan zendeling Belanda bernama
Muylwijk menjadi praeses di sana. Demikian kasusnya dengan orang Batak
Angkola di Tapanuli Selatan, para utusan zending Belanda berhasil
menghasut mereka agar menunut otonomi distrik gereja Angkola. Terlepas
dari perkembangan gereja selanjutnya, melalui usaha-usaha ini para
zendeling Belanda sebenarnya mengharapkan dapat menjalankan gagasan
mereka sendiri mengenai struktur gereja melalui memegang jabatan tertinggi
di HKBP. Untuk tujuan ini, para zendeling Belanda terus berupaya merebut
puncak kekuasaan HKBP bahkan untuk tujuan ini mereka meminta bantuan
pemerintahan kolonial. Terhadap hubungannya dengan masalah
kepemimpinan ini di gereja HKBP dalam sejarah (J.R. Hutauruk, 1993. hl.
207) dapat disimpulkan bahwa ternyata: “baik adat Toba, Simalungun, juga
Angkola ini tidak boleh menjadi kaidah mutlak terhadap masalah praksisnya
kemimpinan gereja HKBP”. Pernyataan ini dipertegas lagi oleh Andar
Lumban Tobing melalui penelitiannya (Andar Tobing, 1996) mengatakan
bahwa unsur: “Dalihan Na Tolu” sangat tidak mengorientasikan makna
kepemimpinan bagi gereja Batak. Unsur ini mengorientasikan kehidupan
bersosialisasi, posisi dan fungsi, kewajiban serta hak orang Batak sebagai:
“hula-hula, dongan tubu dan boru”. Ternyata karakter ini mewaris hingga ke
masa akhir pimpinan HKBP periode 1968-1974. Dikatakan demikian sebab
melalui SG 1974, keadaan HKBP digambarkan sedang menghadapi angin
puting beliung. Persoalan utama terletak pada laporan DKU (Dewan
Keuangan Umum) HKBP terhadap penyaluran dana CORIA (Committee on
Reconstruction Interchurch Aid of HKBP). Badan ini adalah badan kerjasama
VEM (Verenigte Evangelische Mission) dengan LWF (Lutheran World
Federation) yang menyalurkan dana bantuan untuk pembangunan HKBP baik
fisik dan non fisik. Ephorus HKBP yang dianggap sebagai paling
bertanggungjawab terhadap penyaluran bantuan ini, mosi tidak percaya
akhirnya melahirkan berbagai kelompok yang dilatarbelakangi oleh emosi
cultural (perpecahan di kalangan orang Batak berdasarkan enografi atau
daerah marga-marga tertentu – luatisme) Batak.

5. Masa Pendudukan Jepang dan Gerakan Kemerdekaan Indonesia (5-6).


Setelah gereja sepenuhnya dipimpin para pendeta Batak, bulan Maret 1942
tahun ini merupakan babak baru terhadap warna sekaligus tantangan
kepemimpinan pendeta Batak di HKBP. Sebab tahun ini merupakan saat
datangnya orang Jepang yang sekaligus mengakhiri zaman zending Eropa di
Indonesia. Untuk kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang khusus di Tapanuli

85
yang segera mengambil alih kekuasaan pemerintahan Belanda, secepatnya
gereja diingatkan untuk tidak mencampuri urusan politik Jepang yang
dianggap mengurangi kekuasaan mereka di Tapanuli. Untuk maksud ini
Jepang menciptakan kerenggangan hubungan gereja dengan sekolah, rumah
sakit, pemuda Kristen Batak, pendeta, dan penghasilan masyarakat
dirampas. Paul. B. Pedersen (P.B. Pedersen, 1975, hl. 96) mengatakan
bahwa, “sejak masuknya agama Kristen di Tapanuli orang-orang Kristen
Batak telah mewarisi banyak tanggungjawab dalam soal kepemimpinan
di tanah Batak”. Sesuai dengan pengamatannya, Pedersen menemukan
hikmat bahwa sesuai dengan pengalaman para misionaris Eropa di gereja
Batak, bagi mereka adalah seringkali merasakan lebih mudah melayani orang
Batak daripada berbagi dengan mereka kekuasaannya membuat keputusan.
Adalah masa sulitnya bagi masyarakat dan gereja saat pendudukan Jepang
berlangsung di Tapanuli. Namun di tengah keadaan itu, kepemimpinan Dr. J.
Sihombing merupakan contoh kepemimpinan yang berani dan modern. Dr. J.
Sihombing terpilih sebagai Voorzitter (Ephorus) di HKBP yang
kepemimpinannya di HKBP selama 20 tahun (1942-1962) ia telah
menunjukkan kepemimpinan yang khusus dalam menyelesaikan
perselisihan-perselisihan antara golongan-golongan yang berlainan. Selama
masa-masa sulit dilalui (masa perang dan revolusi) semua kebijaksanaan
yang dibawakannya seakan merupakan dongeng bagi orang Kristen Batak
sekarang. Pernyataan ini didukung oleh J.R. Hutauruk (Lih. Jubileum 125
Tahun HKBP, hl. 88) mengatakan: “dalam masa 50 tahun pelayanan Ephorus
Dr. J. Sihombing sebagai Guru, Pendeta, Praeses, anggota Majelis Pusat
dan Ephorus pelayanannya telah memberi corak kepemimpinan tertentu
dalam sejarah HKBP”. Seterusnya menurut Hutauruk, dalam
kepemimpinannya sebagai Ephorus, Pdt. Dr. J. Sihombing sadar akan
pergantian jaman yang baginya sulit untuk memamfaatkannya buat
pembangunan HKBP”. Implikasi dua penilaian ini (Pedersen dan Hutauruk)
bagi corak kepemimpinan HKBP ke depan, tentunya gereja harus terus
menerus mendapat kemajuan yang sangat menonjol lepas dari campur
tangan kepemimpinan orang dan pihak asing (misionaris) dalam gereja.

6. Bila semakin dicermati lebih dalam sampai tahun 1950, nampaknya corak
praksis kepemimpinan HKBP sangat dipengaruhi oleh berlangsungnya
perubahan-perubahan (silih-bergantinya) keadaan politik dunia. Dari
penguasaan Belanda ke Jepang, kemudian berlangsungnya revolusi sosial di
Tapanuli hingga ke Simalungun selanjutnya oleh penguasaan militer Belanda
(Agressi I-II, 1947-1949), semuanya memunculkan kesadaran khususnya
bagi diri pimpinan HKBP untuk menyelamatkan warga/jemaatnya dari
kehancuran pelayanannya di berbagai bidang (pendidikan dan kesehatan)
termasuk pelayanan bidang kerohanian (Hutauruk, Jubileum 125 tahun
HKBP, hl. 47). Untuk keadaan ini, Hutauruk (Kemandirian Gereja, hl. 221)
memberi penilaian bahwa bila kemerdekaan Indonesia di bidang politis
sebagai syarat kemandirian ekonomis terhadap kuasa-kuasa kolonial, maka
dapat dikatakan bahwa kemandirian HKBP secara organisatoris dapat dinilai

86
sebagai syarat sekaligus sebagai tantangan bagi pimpinan HKBP untuk
pembebasan orang Kristen Batak dan gerejanya, dari pada agama Kristen
yang ditentukan oleh sikap Eropa sentris. Walau orang Kristen Batak tidak
memahami makna sesungguhnya dari kesadaran ini, namun (nyatanya)
pergantian-pergantian kekuasaan yang mempengaruhi HKBP, pergantian-
pergantian itu tidak disertai dengan perubahan dalam hal paham orang
Kristen Batak tentang diri mereka sendiri.

7. Masalah Kepemimpinan HKBP Terhadap Hubungannya Dengan


Kesadaran Politik Dan Hubungan Oikumenis (7-8). Sebenarnya dapat
dikatakan bahwa kemerdekaan gereja Batak adalah sebagai hasil dari
gerakan pengembangan kesadaran politik yang menghendaki kebebasan
nasional dari pengaruh dan kuasa orang lain. Ketika Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya (1945), partai-partai politik banyak
bermunculan di mana-mana. Situasi ini merupakan fenomena yang
berhubungan langsung dengan perkembangan dan kepemimpinan gereja.
Hubungannya fenomena ini nampak jelas pada menguatnya perjuangan
jemaat terhadap dua hal di dalam gereja, yakni (Andar Lumbantobing, hl.
101): menguatnya perjuangan terhadap kepentingan lokal jemaat daripada
memikirkan kepentingan gereja HKBP pada umumnya. Kedua, menguatnya
pandangan sebagian besar orang Kristen Batak mempersamakan demokrasi
di negara dengan asas presbyterial-synodal di gereja. Pada akhirnya,
mungkin Tata Gereja 1950 dirumuskan karena pengaruh paham demokrasi
ini menurut asas presbyterial synodal walau keputusan tertinggi di tingkat
“pimpinan pusat” didasarkan pada watak episkopal. Melalui TG 1950 inilah
pertama sekali HKBP menggandengkan jabatan “Sekretaris Jenderal”
bersama dengan Ephorus menjadi ketua dan wakil ketua pada Synode
Godang-nya sekaligus sebagai ketua dan wakil ketua pada majelis pimpinan
pusat gereja. Bila tugas utama keduanya menurut TG 1950: “merekalah yang
menetapkan cara kerja untuk semua pejabat HKBP dan memutuskan segala
persoalan yang diajukan kepada pimpinan gereja setelah mendengar
pendapat para praeses dan anggota-anggota majelis pusat”. Uraian tugas ini
jelas memberi pengertian bahwa kepada Ephorus dan Sekretaris
dipercayakan hak dan kekuasaan yang sangat besar soal-soal
kepemimpinan. Bila pola ini dicermati dalam hubungannya terhadap TG 2002
yang menghasilkan bentuk kepemimpinan gereja hasil Sinode 2004, maka
munculnya tiga jabatan lain yang setara kekuasaannya dengan Sekretaris
Jenderal: maka hikmat yang dapat dipetik melalui TG 1950, TG ini jelas
sebagai satu jalan keluar yang sangat baik terhadap peristiwa jaman yang
mempengaruhi gereja. Alasannya adalah bahwa bahaya “demokratisme”
perlu dihambat/cegah agar tidak terlalu jauh berpengaruh memasuki
peraturan gereja. Sama halnya terhadap konstitusi negara Indonesia (kelima
sila Pancasila) khususnya sila pertama dari lima sila Pancasila itu. Uraian sila
pertama ini telah membimbing kesadaran politik HKBP hinga ke masa
selanjutnya. Artinya, bila Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa disebut
dalam konfessi HKBP 1951, sila ini ditafsirkan HKBP dalam makna bahwa

87
kebebasan beragama di Indonesia dijamin. Ketika itu pimpinan HKBP sadar
akan keadaan bahaya: “jika nasionalisme menjadi suatu agama, bagaimana
pun juga gereja harus melakukan tugas kenabiannya”. Sampai tahun 1956 di
bawah kepemimpinan Pdt. J. Sihombing, HKBP mengutuk komunisme dan
kapitalisme sebagai: “anak-anak setan materialisme”. Dengan menolak
bahaya komunisme, gereja menegaskan sikapnya bahwa tidak ada
keselamatan kecuali hanya melalui Kristus.

8. Terhadap hubungannya dengan persekutuan Oikumenis Gereja sedunia dan


nasional Indonesia, nampaknya kepemimpinan para pendeta Batak sangat
menetapkan identitas teologisnya secara tegas. Sikap ini nampak pada dua
peristiwa, yakni: pertama, munculnya ide awal akan pembentukan Dewan
Gereja di Indonesia (DGI) tahun 1950. Kedua, persiapan masuknya HKBP
menjadi anggota Lutheran World Federation (LWF) tahun 1952. Paul B.
Pedersen (Darah Batak Dan Jiwa Protestan, hl. 159) mengatakan bahwa
terhadap kasus pertama, pengaruh HKBP nampak lebih besar sebagai
anggota DGI daripada jika HKBP menjadi anggota dari suatu gereja yang
disatukan. Artinya tanpa dukungan HKBP, rencana-rencana DGI untuk
peleburan agaknya tidak berhasil. Terhadap kasus kedua, HKBP melalui
Sinode Godang 1949 memutuskan: “satorang-torangna jala sabagas-bagas
na do patedehon utusan ni rapot India i, dogma kultus (ruhut parduru) dohot
organisasi ni HKBP tu LWF. Molo boi do masuk HKBP tu LWF di na songon i
dogma, kultus dohot organisasi ni HKBP”. Artinya, HKBP ingin masuk
menjadi anggota LWF namun keberadaan HKBP dengan segala ciri
khasnya tidak boleh diganggu. Hal ini ditekankan sehubungan dengan
persyaratan konfesional yang dituntut LWF. Dan untuk tujuan ini (memenuhi
syarat LWF) HKBP melalui Sinode Godang 1950 membentuk team konfessi,
dan dalam Sinode Godang 1951 hasil team ini disyahkan. Yang hendak
ditekankan melalui pernyataan ini terhadap masalah kepemimpinan gereja
bahwa terlepas dari keinginan HKBP menjadi anggota LWF juga usaha
HKBP menjawab tantangan sekitar/jamannya, namun melalui Konfessi 1951,
HKBP ingin: “memperkenalkan dirinya sebagaimana ia telah ditempa oleh
penghayatannya akan firman Allah sejak firman itu diberitakan dan diterima
oleh orang Kristen Batak” (Lih. Notulen SG, 1950-1951, hl. 39 + 6-7).

9. Penyakit perselisihan (9-11). Dr. Justin Sihombing (kotbah pengkuhkan


Ephorus baru Ds. T.S. Sihombing tanggal 7 Oktober 1962 di Gereja HKBP
Pearaja) telah membayangkan warna pasti kepemimpinan HKBP
berlangsung masa awal (penulis: bahkan hingga pertengahan) abad ke-2
sejarah HKBP. Untuk itu, Dr. Justin Sihombing mengharapkan: “setiap
pelayanan dan kepemimpinan Ephorus hendaknya menerima dari Tuhan roh
keberanian, roh kasih dan roh pengendalian diri”. Sejak dari awal Ds. T.S.
Sihombing memegang kepemimpinan HKBP (J.R. Hutauruk, Jubileum 125
Tahun) telah ada kesadaran bahwa tidaklah mudah bagi setiap Ephorus
HKBP yang baru untuk melanjutkan pola kepemimpinan yang terdahulu dan
memang tidak mungkin, sebab perkembangan HKBP sangat membutuhkan

88
pola-pola kepemimpinan yang baru pula. Pola-pola kepemimpinan ini sangat
berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang terpendam dalam gaya hidup
orang Kristen Batak (warga HKBP). Dalam konteks inilah peristiwa HKBP
tahun 1962 digambarkan sebagai situasi, ibarat laksana bumi yang ditutup
oleh awan tebal menghitam yang segera akan ditimpa oleh hujan deras dan
badai. Bila tahun 1940 merupakan saat yang menentukan bagi gereja Batak
(HKBP) merampungkan langkah pertamanya menuju kemandirian
(kepemimpinannya) yang sepenuhnya (lih. Poin 3 di atas), hingga masa
akhir kepemimpinan Dr. J. Sihombing (1962) gereja HKBP masih belum
mewarnai sejarahnya dengan konflik intern terhadap soal pergantian jabatan
Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Dan bila tahun 1942, para utusan zendeling
Belanda masih berusaha menduduki/merebut jabatan tertinggi di dalam
gereja, melaluinya mereka masih mengharapkan dapat menjalankan gagasan
mereka sendiri mengenai struktur dalam gereja (lih. Poin 4 di atas). Dari
hikmat ini dapat disimpulkan bahwa seteru konflik pendeta Batak terhadap
kekuasaan adalah para pendeta di luar orang Batak sendiri. Ada indikasi
nampaknya perseteruan dan konflik awal di kalangan para pendeta serta
orang Kristen Batak tentang kekuasaan gereja, ini sangat dipengaruhi oleh
rumusan TG 1962-1972 (konseptor utamanya ialah Sekretaris Jenderal
HKBP Ds. T.S. Sihombing) yang faktanya TG ini adalah “hasil konsep dan
rumusan pertama pendeta Batak itu sendiri”. Sampai tahun 1962, HKBP
masih memakai TG 1920-1932 yang diperpanjang masa berlakunya walau
kemudian menyebutnya sebagai TG 1940-1950 dan seterusnya berlaku
sampai tahun 1962. TG 1920-1932 ini adalah warisan dan rumusan dari
Ephorus HKBP Dr. Johannes Warneck (1920-1932) yang di dalamnya ia
melibatkan partisipasi maksimal warga jemaat untuk ikut mengurus urusan
jemaat lokal dan gereja HKBP pada umumnya. Jika awalnya peran warga
jemaat ini berlangsung baik, hingga tahun 1950 nampak pergeseran
pemahaman mereka terhadap partisipasi ini menjadi: “mengutamakan
fungsinya sebagai pelayanan menyeluruh” (penulis: termasuk mengatur
bahkan kuasa yang paling menentukan terhadap mutasi pendeta). Dikatakan
berlangsung baik sebab Johannes Warneck menetapkan persyaratannya:
mereka adalah tokoh masyarakat yang wibawa, pengaruh, kejujuran serta
kesalehan mereka menentukan di tengah masyarakat. Nama resmi bagi
peran warga jemaat ini terhadap soal pengelolaan gereja oleh Warneck
menyebutnya sebagai: “Kerkbestur” yang kemudian diartikan sebagai “Majelis
Pusat HKBP”. Tugas khusus mereka dalam gereja menurut TG 1930 adalah:
“mengatur soal-soal keuangan dan harta jemaat dan mengatur soal-soal
kerukunan anggota jemaat dalam bidang kerohanian”. Sebagai acuan
penyelenggaraan SG HKBP 1962, TG 1962-1972 (TG ini ditetapkan pada
bulan Juni 1962) merubah dan mengurangi di sana-sini peran kasbestur dan
penatua dalam jemaat. Sebagai konseptor utama TG 1962 (entah kebetulan
atau tidak) Ds. T.S. Sihombing terpilih menjadi Ephorus HKBP dan Ds.
G.H.M.Siahan terpilih menjadi Sekretaris Jenderal memimpin HKBP periode
1962 – 1968. Ketegangan HKBP melalui SG 1962 ternyata tidak berakhir
hanya pada saat itu. Sementara ketegangan dalam gereja terus berlanjut, SK

89
mutasi beberapa orang pendeta nyata mempertajam konflik intern dalam
gereja. Ketika sebagian besar pedeta yang dimutasikan memilih tidak
mentaati SK Ephorus sebagai pimpinan, pemecatan para pendeta (17 Maret
1963) menjadi babak dan warna baru bagi corak kepemimpinan itu. Akibat
dari keadaan ini, konflik berkepanjangan terus berlangsung di dalam tubuh
HKBP (Darwin Tobing, Biografi Ds. G.H.M. Siahaan).

10.Dapat dikatakan bahwa tahun 1962 juga merupakan corak baru bagi realisasi
kepemimpinan pendeta Batak di dalam gereja. Dikatakan demikian, sebab
pada tahun ini nampak keterlibatan pihak pemerintah mengurusi soal
pengelolaan HKBP sebagai institusi gereja. Konflik internal HKBP tahun 1962
ternyata berdampak langsung ke lembaga pendidikan HKBP. Mengingat
lembaga pendidikan HKBP menganyomi kepentingan masyarakat umum,
maka pemerintah Sumatera Utara mengambil alih tanggungjawab
pelaksanaan pendidikan di Universitas HKBP Nomensen yang didirikanoleh
gereja tahun 1954. Sebenarnya pengambil-alihan tanggungjawab
pengelolaan ini tidaklah berlangsung lama, sebab ketika konflik intern HKBP
mulai mereda (para pendeta yang menolak SK mutasi 1962, akhirnya
mereka sepakat memisah dari HKBP dengan mendirikan gereja yang baru:
GKPI dan GKLI) pemerintah mengembalikan pengelolaan dan kepemilikan ini
kepada gereja. Hanya, masalah lain yang muncul adalah diperhadapkannya
pimpinan HKBP kepada alternatif lain bagi pemecahan soal di dalam gereja
dengan apa yang disebut sebagai “jalur hukum”. Artinya ketika para pendeta
yang tidak mematuhi SK mutasi sepakat mendirikan gereja baru: soal
pemakaian, kepemilikan gedung dan harta benda gereja HKBP di jemaat
yang bergejolak, hukum legalistic negara menjadi jalan keluar terhadap
pemecahan banyak masalah di gereja-gereja lokal. Terhadap hubungannya
dengan penelitian ini, tentu menarik bila diperhatikan jika diperhadapkan ke
arah bagaimana soal-soal system dan mekanisme pelayanan serta proses
pengambilan keputusan masalah di HKBP dilakukan. Oleh karena itu, sangat
tepat ungkapan Ds. G.H.M. Siahaan mengatakan: “adalah tugas utama pucuk
pimpinan HKBP untuk menjaga dan memelihara proses pelaksanaan system
pelayanan dan mekanisme pengambilan keputusan HKBP secara konsekwen
dan konsisten. Bila pimpinan melakukan pelayanan dan pengambilan
keputusan di luar system dan mekanisme yang berlaku, sikap ini tentu akan
merongrong wibawa pemimpin itu sendiri” (Darwin Tobing, Tegar Dalam
Badai, hl. 106). Sesuai dengan ungkapan Ds. G.H.M. Siahaan ini, tentunya
merupakan perhatian yang sangat menarik bila diurai secara kronologis dan
historis sikap para pendeta dan orang Kristen Batak (lebih khusus sikap
Ephorus) menjaga dan memelihara pelaksanaan system pengambilan
keputusan di HKBP. Sesuai dengan pengalaman ini, persoalan-persoalan
intern HKBP jelas tidak mungkin diselesaikan dengan demonstrasi sebab
penyelesaian terhadap masalah intern HKBP hendaknya tidak sebagai
pengingkaran terhadap AP HKBP. Artinya setiap tindakan yang tidak
sesuai dengan kehidupan bergereja, dengan sendirinya akan menyeret
persoalan ke luar dari jalur kehidupan gerejawi yang melaluinya penyelesaian

90
masalah pun akan semakin sulit karena sudah berada di luar kehidupan
bergereja.

11. Setelah Ds. G.H.M Siahan terpilih menjadi Ephorus melalui SG HKBP 1974,
tahun 1976 ia menginformasikan kepada sidang SG keadaan kepemimpinan
HKBP di aras pusat. Melalui laporan tahunannya (Barita Jujur Taon Ephorus
1976), Ds. G.H.M.Siahaan mengatakan: “ndang hulehon be diringku
manguluhon rapot Parhalado Pusat, ia so adong hamubaon huida – saya
tidak akan bersedia lagi memimpin Rapat Majelis Pusat, bila tidak ada
perubahan saya lihat”. Pernyataan ini semakin diperjelas oleh pernyataan
Siahaan lainnya mengatakan: “…na so sada tondi na manggomgomi ahu
dohot Parhalado Pusat-roh yang mendiami saya tidak satu dengan Majelis
Pusat” (Darwin Tobing, hl. 127). Melalui ungkapan ini, penyakit perselisihan
semakin mewaris/terungkap di HKBP. Bila tidak bersedianya Ds. G.H.M.
memimpin rapat Majelis Pusat dan sikap ini didorong oleh dua alasan:
pertama, secara organisasi Majelis Pusat merupakan supir ke dua dalam
kepemimpinan HKBP, ini berarti banyak rapat dan keputusan Majelis Pusat
yang tidak diketahui Ds. G.H.M Siahaan sebagai Ephorus yang menurut para
angota Majelis Pusat ketika itu, Ephorus jangan mengacaukan keputusan-
keputusan mereka. Kedua, penghayatan iman Ds. G.H.M Siahan memahami
tidak berada di dalam satu roh yang sama (…ndang sa tondi) dengan Majelis
Pusat. Pada akhirnya, pernyataan Ds. G.H.M Siahaan ini merangsang
munculnya percapakan, diskusi-diskusi serta seminar-seminar di HKBP untuk
merumuskan apa yang dimaksud dengan: “hamaolon-kemelut HKBP dan apa
artinya Roh dan pelayanan dalam HKBP”. Jadi dapat dikatakan bahwa uraian
ini hendak memaparkan bentuk dan corak kepemimpinan HKBP menjalankan
tugas dan tanggungjawab yang diembankan kepadanya dalam menciptakan
suasana yang kondusif bagi pelayanan, ibadah dan persekutuan dengan
sesama juga dengan Tuhan ke masa selanjutnya HKBP.

12. Keadaan HKBP Masa Dasawarsa Penutup Abad 20 (12-15). Agaknya


tidaklah mudah untuk mewujudkan kuasa kepemimpinan yang ideal dalam
gereja HKBP jika cita-cita itu berhubungan dengan permasalahan dan konflik
seperti yang dicita-citakan para pemimpin HKBP memasuki dasawarsa
penutup abad 20. Masa periode akhir kepemimpinannya sebagai Ephorus,
Ds. G.H.M. Siahaan (Darwin Tobing, Tegar Dalam Badai, hl 156)
mengatakan bahwa: “…saya tidak akan meninggalkan masalah di HKBP
masa akhir periode ini..”. Ini berarti bahwa cita-cita luhur Ds. G.H.M. Siahaan
yang terus harus berlangsung dalam gereja adalah bahwa konflik harus
diakhiri dengan kerukunan, dan hendaknya konflik tidak sebagai sesuatu
yang secara terus menerus bergejolak di tengah-tengah para pelayan, oleh
karena itu kemelut harus diselesaikan dengan damai. Untuk cita-cita ini,
sebagai persiapan perayaan 125 tahun HKBP, semua tema yang ditetapkan
di setiap SG masa akhir periode kepemimpinannya itu difokuskan pada
konsolidasi, pembinaan dan rekonsiliasi HKBP khususnya di dalam diri
semua pelayan. Melaluinya makna tahun Jobel sebagai pemulihan dan

91
pembebasan menjadi penekanan menyeluruh pelayanan HKBP di periode
akhir kepemimpinan ini. Namun ketika fungsionaris HKBP periode 1986-1982
hasil SG tanggal 27-21 Januari 1987 terpilih dengan suka cita (Pdt. Dr. S.A.E.
Nababan sebagai Ephorus dan Pdt. O.P.T. Simorangkir, SmTh sebagai
Sekretaris Jenderal) di tengah periode kepemimpinan ini cita-cita terhadap
tidak berlangsungnya konflik kepemimpinan gereja nampaknya tidaklah
terwujud. Untuk mengidentifikasi persoalan gereja masa periode 1986-1992,
ceramah tema dan sub tema Pejabat Ephorus HKBP 1992, Pdt. Dr. S.M.
Siahaan mengatakan: “…kita menyadari bahwa dalam perjalanan gereja
HKBP memasuki usia 132 tahun, banyak masalah dan kemelut yang cukup
rumit terutama terutama di 6 tahun terakhir kepemimpinan HKBP.
Permasalahan yang menonjol adalah kurang sehatnya hubungan di antara
para pejabat gereja mulai dari tingkat pimpinan sampai kepada warga
jemaat. Penataran-penataran para Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrouw dan
Diakones yang telah berlangsung beberapa angkatan, produknya
menghasilkan semakin jauhnya rasa persaudaraan dan kesatuan di antara
kita. Inilah masalah dan pergumulan kita bersama, …walau itu diakibatkan
oleh kepemimpinan periode (1986-1982) masa yang lampau …(Notulen
SAI HKBP tanggal 11-13 Pebruari 1993, hl. 45). S.M. Siahaan melanjutkan:
“…sebenarnya wibawa kepemimpinan yang diharapkan oleh orang Kristen
Batak memasuki Era Baru yang dimaksudkan adalah seorang yang cakap
dalam bidang kerohanian seperti yang tercantum dalam AP HKBP. Pemimpin
yang ideal adalah ia harus mempunyai spesifik orang yang “di-tua-kan”
(mempunyai wibawa kharisma yang unggul) yang mampu memberi petunjuk,
nasehat dan berwawasan cukup luas sebagai mana sebutan “Ompui”
(warisan sebutan yang dikenakan orang Kristen Batak kepada I.L. Nomensen
sebagai Ephorus pertama gereja Batak) dikenakan kepadanya”. Dapat
dikatakan bahwa akumulasi perselisihan masa periode ini diawali dari tidak
diterimanya oleh Ds. P.M. Sihombing kekalahannya untuk memimpin HKBP
(sebagai Ephorus) periode 1986-1992. Nyatanya, sikap ini sangat
memperngaruhi dirinya membentuk kelompok sendiri dan menolak
kepemimpinan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan. Gerakan dan aksi kelompok ini
semakin menguat ketika kelompok lain yang menamakan diri “parretreat”
muncul (Darwin Tobing, hl. 170). Menurut laporan pelayanan tahunan
Ephorus HKBP pada SG 1988 Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, kelompok ini lahir
saat sebagian pendeta HKBP mengadakan retreat di Parapat tanggal 16
Maret 1988 di mana retreat ini berlangsung tanpa sepengetahuan dan
persetujuan Pdt. Dr. S.A.E. Nababan sebagai Ephorus HKBP(Notulen SG
HKBP 1988, hl. 344). Bagi Ephorus Pdt. S.A.E. Nababan kegiatan dan aksi
kelompok ini (parretreat) telah mempermalukan wibawa dam kuasa
kepemimpinan gereja melalui disebarkannya brosur berisi surat agong (surat
kaleng) ke berbagai mas media. Pada hal gereja sudah memiliki system dan
dinamika sendiri untuk mencari dan mengambil keputusan terhadap
penyelesaian setiap permasalahannya. Pada akhirnya jalan keluar yang
ditempuh SG HKBP 1988 (lih. Notulen SG 1988. hl. 20) untuk menyelesaikan
masalah “parretreat”, ini ditempuh dengan dua cara. Bagi mereka yang

92
bersedia meminta maaf (5 orang pdt, 1 orang sintua) diterima kembali
sebagai pelayan di dalam gereja, namun bagi mereka yang tidak bersedia
meminta maaf (21 orang pdt, 9 orang sintua) “tohonan hapindaton” (jabatan
kependetaan) ditarik dan dikeluarkan (dipecat) dari pelayanan gereja.
Selanjutnya, ternyata keputusan pemecatan itu dinilai masih berlangsung di
luar system dinamika dan pengambilan keputusan HKBP. Oleh karena itu,
yang seogianya SG HKBP tanggal 1-7 Agustus 1990 diadakan, SG ini
ditangguhkan pelaksanaanNya sebab “Majelis Pusat HKBP belum
mendapat jawaban yang tegas mengapa Pemerintah tidak memberi ijin
penyelenggaraan diadakannya SG itu” (Notulen Panorangion, LAKSDA
PURN. F.M. PARAPAT Ph.D, Taringot tu Penangguhan SG HKBP 1990, hl.
5). Pada akhirnya SG HKBP ke-51 tanggal 23-28 November 1992 diadakan,
namun SG ini “gagal” memilih fungsionaris HKBP untuk periode 1992-1998.
Gagalnya SG ini sangat berdampak pada semakin tajamnya konflik dan pro
kontra di tengah jemaat dan para pelayan khusus pada aras kepemimpinan
(kekuasaan) dalam gereja.

13.Melalui konfessi 1951, HKBP sudah menegaskan kesaksian imannya


terhadap Pancasila sebagai dasar pengakuan bersama untuk hidup bersama
dengan warga lainnya di wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia.
Namun di tengah perjuangan pemimpin HKBP agar konsisten berpijak pada
system dan dynamikanya sendiri mencari dan menemukan jawaban terhadap
permasalahannya dalam sejarah, nampak bahwa campur tangan kekuasaan
negara semakin menguat berlangsung terhadap kepemimpinan gereja masa
akhir dasawarsa abad 20. Memang, partisipasi kekuasaan negara ini oleh
jemaat, para pelayan dan pimpinan sikap teologis mereka sangat diperkuat
dengan dasar pengertian bahwa pemerintah adalah alat tersendiri di tangan
Tuhan untuk merealisasikan kehendakNya di bumi juga bagi gerejaNya (Kis.
5,29 ; Rom 12:11 ; 13,1). Adalah fakta sejarah HKBP bahwa Surat
Keterangan ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA MARKAS
BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. Pol:
SKET/PMB-4/227/II/93/DIT IPP perihal: pengangkatan Pdt. Dr. S.M. Siahaan
menjadi “Pejabat Ephorus HKBP”, pengangkatan ini sangat mempertajam
konflik kekuasaan dan kepemimpinan dalam gereja hingga tahun 1998. Di
tengah perdebatan jemaat yang sangat tajam atas penyelenggaraan SG
HKBP 1993, HKBP tetap memilih fungsionarisnya periode 1992-1998 dengan
Pdt. Dr. P.W.T Simanjuntak menjadi Ephorus dan Pdt. Dr. S.M. Siahaan
menjadi Sekretaris Jenderal.

14.Peristiwa konflik demi konflik yang dialami oleh HKBP khusus tentang
kepemimpinan dan kekuasaan, nyatanya peristiwa ini sangat memperlemah
kedudukan HKBP sebagai institusi gereja di dunia ini di tengah munculnya
kekuatan baru yaitu munculnya gerakan fundamentalisme agama dan arus
reformasi negara yang menuntut pembaharuan di berbagai bidang termasuk
munculnya semangat kerohanian jemaat dalam pengembangan gereja
selanjutnya. Maka untuk mengatisipasi ini HKBP sadar akan keadaan dirinya

93
di tengah perseteruannya yang semakin tajam. Synode Agung HKBP
akhirnya diselenggarakan tanggal; 18-20 Desember 1998 di Kompleks
Universitas HKBP Nomensen dan STT-HKBP Pematangsiantar dengan tema:
“Kristus mendamaikan kita supaya menjadi satu” (2 Kor. 5:8 ; Joh. 17:21).
SAG ini adalah upaya bersama seluruh komponen HKBP untuk mengakhiri
krisis yang dialami sejak tahun 1992 dan untuk memelihara kesatuan dan
keutuhan HKBP (Kata Pengantar, Ephorus HKBP Pdt. Dr. J.R. Hutauruk,
Notulen SAG, 1998, hl. 96-97). Pada saat yang sama S.A.E. Nababan
menghimbau agar semua utusan/peserta SAG 1998 dapat secara bersama
bertekad memperbaiki komitmen kita sebagai gereja di tengah kehidupan
bangsa kita yang juga berada dalam krisis.
15. Penutup/Kesimpulan
Merupakan alasan yang sangat kuat bagi penulis menegaskan periode akhir
penelitian ini tahun 2004. Sebab, melalui penelitian ini penulis mengharapkan
dapat memberi gambaran terhadap gereja agar hendaknya dapat
menekankan strategi dan kebijakannya mengacu pada sasaran masa depan.
Untuk ini ada dua pergumulan yang sangat penting ditekankan oleh HKBP ke
depan. Kedua pergumulan ini dibagai ke pada dua aspek, di mana aspek
pertama lebih berhubungan ke dalam diri HKBP sendiri menyangkut:

Pertama: Factor potensial apa yang mendorong selalu timbulnya


perpecahan/krisis di HKBP (1962-1980 ; 1986-1998) ? Sebagai organisasi
gereja, siapa yang seharusnya yang berkuasa (memegang kedaulatan) di
HKBP ? Jemaat atau “partohonan” ? Sejauh mana implikasi teologis Rom.
12:11 , 13:1 ; Kis. 5:29 (hubungan kekuasaan gereja dengan negara) dianut
dan dipedomani oleh jemaat serta pelayan HKBP dalam sejarahnya ? Di
mana dan bagaimana posisi jemaat dapat ditempatkan di dalam organisasi
gereja HKBP ? Bagaimana peranan kekuasaan (Ephorus sebagai pimpinan)
ditempatkan dalam konteks krisis HKBP ?

Kedua: Berhubungan dengan ke luar diri HKBP, melihat munculnya


kekuatan-kekuatan yang berlangsung di dalam masyarakat secara luas
(termasuk fundamentalisme agama dan budaya serta kekuasaan negara)
apakah jawaban dan sikap HKBP terhadap ancaman dan tantangan ini ?
Mengingat gereja-gereja di Indonesia pada umumnya masih selalu terancam
oleh sikap Negara/Pemerintah yang mengurangi kebebasan beragama dan
mengintervensi masalah-masalah kegerejaan, kekuatan apa yang dapat
ditarik dari pengalaman masa lampau gereja HKBP terhadap kondisi ini ?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas hendaknya sebagai pokok
perhatian untuk memahami sikap HKBP agar tetap mengabdi kepada yang
adalah Tuhan bagi gereja itu sendiri, dan bukan kepada dua tuan.

94
PLURALITAS GEREJA-GEREJA BATAK

Sebagaimana bertambahnya minat dan rasa antusiasnya orang Batak


terhadap kekristenan, demikian dengan banyaknya badan misonaris yang
bekerja di tanah Batak: keadaan ini sangat mempengaruhi dan menentukan
pluralitas gereja-gereja Batak. Unsur pluralitas ini juga sangat didukung oleh
perbedaan-perbedan kulturil budaya antara suku-suku (etnis) Batak itu
sendiri. Di bawah ini diuraikan aspek pluralitas gereja-gereja Batak.

GEREJA KRISTEN PROTESTAN INDONESIA (GKPI)

Latarbelakang lahirnya GKPI. Setidaknya ada dua versi dapat menjelaskan


tentang lahirnya GKPI sebagai salah satu denominasi dalam gereja Batak.
Versi pertama: versi menurut HKBP (sebagai gereja induk pemisahan jemaat
ini). Versi kedua, adalah versi menurut GKPI (setidaknya menurut pendiri
gereja ini lahir pada awalnya yang diwariskan hingga ke para elit tokoh gereja
ini masa sekarang) sendiri.

Lahirnya GKPI Menurut Versi HKBP

1. Denominasi ini lahir adalah sebagai hasil dari terjadinya konflik intern HKBP
tanggal 30 Agustus 1964. Konflik intern itu terutama dipicu oleh pergantian
pimpinan dan kepengurusan pusat HKBP tahun 1962, di mana Synode
Agung (SA) HKBP tanggal 16-23 tahun 1962 telah mensyahkan berlakunya
TG HKBP untuk tahun 1962-1972, di mana TG ini disusun oleh Sekretaris
Jenderal HKBP waktu itu yakni Ds. T.S. Sihombing dan oleh T.S. Sihombing,
susunan TG ini telah mengalami banyak perubahan dari TG tahun
sebelumnya (1950). Satu yang sangat mendasar dari perubahan itu adalah
menyangkut system pemilihan pimpinan dan seluruh fungsionaris HKBP.
Dalam TG yang lama, yang mencalonkan Ephorus dan Sekjend untuk
ditetapkan oleh SA adalah Rapat Pendeta HKBP. Yang memilih anggota
Majelis Pusat adalah Synode Distrik, keadaan ini didukung oleh system yang
sudah sejak lama masing-masing Distrik memiliki utusan menjadi anggota
majelis pusat. Demikian halnya dengan pemilihan terhadap Praeses dipilih
oleh synode Distrik masing-masing. Namun oleh TG tahun 1962 hasil konsep

95
Ds. T.S. Sihombing, seluruh unsur pimpinan dan fungsionaris, termasuk para
Pareses ini dipilih langsung oleh SA HKBP dengan masa jabatan selama
enam tahun. Selanjutnya, SA HKBP 1962 berhasil memilih fungsionarisnya
yang baru periode 1962-1972 dengan formasi: Ephorus Ds. T.S. Sihombing
serta sekretaris Jenderal adalah Ds. G.H.M. Siahaan, yang pada akhirnya
hasil keputusan ini menjadi polemik yang sangat berkepanjangan di dalam
gereja waktu itu. Polemik (masalah yang tidak terselesaikan) ini diperkuat
oleh kebijakan mutasi pertama fungsionaris HKBP ketika telah terpilih
menjadi Ephorus dan Sekjend. Mutasi ini menyangkut kepada jumlah 50
orang pendeta yang pada akhirnya sebagian besar mereka tidak
mengindahkan SK mutasi ini. Konsistensi keadaan ini sangat mempengaruhi
banyaknya masalah intern timbul di jemaat-jemaat di mana pokok yang
dipersoalkan bahwa sebagian jemaat mendukung pendeta lama untuk tetap
bertahan di tempat pelayanan sebelumnya dan sebagian mendukung SK
mutasi pendeta yang baru ditempatkan. Konflik ini sangat berpengaruh
terhadap munculnya dua kali kebaktian minggu di satu-satu jemaat yang
berkaitan dengan SK mutasi pendetanya. Untuk menyelesaikan masalah
local jemaat yang bermasalah ketika itu, pimpinan HKBP terpilih tahun 1962
menerapkan kebijakan memberhentikan pendeta yang tidak mau patuh
kepada realisasi SK mutasinya. Namun justru cara ini bukanlah merupakan
jalan keluar yang baik bahkan sangat memperuncing persoalan di dalam
gereja. Sikap yang pro dan kontra akhirnya menjadi sangat tajam
berlangsung, jemaat yang mendukung tidak patuh terhadap realisasi mutasi
pendeta akhirnya memutuskan sikap putus hubungan dengan pucuk
pimpinan HKBP. Ketika itu masih dicoba berbagai usaha agar
mempertahankan supaya skisma tidak berlangsung di dalam gereja HKBP,
namun dari banyaknya usaha dilakukan semuanya tidak mengarah pada
kesatuan gereja.

2. Penetrasi (Perkembangan) Konflik selanjutnya. Persoalan gereja akibat


konflik di atas, pada akhirnya semakin meluas dan semakin didukung oleh
berlangsungnya konflik lain di lembaga Universitas HKBP Nomensen. Bulan
September 1963, Pdt. Dr. Andar Lumbantobing (menjabat sebagai Rektor)
dan Drs. H.M.T Ompusunggu (wakil Rektor) diberhentikan oleh St. T.D.
Pardede yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Yayasan Universtas HKBP
Nomensen, di mana pemberhentian ini dilakukan sebab keduanya dinilai
menentang kebijaksanaan yayasan Universitas. Pada saat itu, Andar Tobing
dan H.M.T. Oppusunggu notabene adalah dua orang Majelis Pusat HKBP di
mana sikap mereka terhadap yayasan Universitas dianggap sebagai ketidak
patuhan kepada pimpinan Pusat HKBP. Melalui alasan ini, tanggal 15
Oktober 1963 dengan didahului oleh pernyataan dua orang tokoh ini
menyatakan putus hubungan dengan HKBP maka rapat Majelis Pusat HKBP
memutuskan untuk memberhentikan mereka dari jabatan rektorat dan
kedudukan mereka dicela oleh Majelis Pusat ketika itu. Bersamaan dengan
masalah mutasi beberapa orang pendeta ditambah dengan masalah
Universitas HBP Nomensen, keadaan ini mempengaruhi banyaknya muncul

96
pihak-pihak oposisi kepada pucuk Pimpinan HKBP di luar jemaat. Dua di
antaranya adalah pertama, “Panitia Penghubung Hasadaon HKBP” (PPH-
HKBP), badan ini dipimpin oleh Abner Situmorang yang ketika itu ia
menjabat sebagai Bupati Simalungun. Kedua, “Panitia Panindangi Reformasi
(PPR-HKBP)” diketuai oleh mantan anggota Majelis Pusat yakni J.B.
Simatupang dan Pdt. M. Hutauruk. Awalnya, gagasan mereka sangat baik
untuk membantu pucuk Pimpinan HKBP menyelesaikan masalah yang terjadi
di dalam gereja. Namun, hasilnya tidaklah memuaskan sebab menurut
Pimpinan HKBP ketika itu, kedua badan ini sangat memaksakan kehendak
masing-masing kepada Pimpinan HKBP dengan menyatakan diri sebagai
badan yang setingkat dengan Pimpinan HKBP dalam hal mengambil
keputusan bersama untuk penyelesaian masalah yang terjadi. Atas sikap
seperti ini, Pimpinan HKBP tidak mengakui badan ini dan tanggal 19 Oktober
1963 setiap pendeta yang masuk ke badan ini dikeluarkan dari HKBP. Reaksi
jemaat kemudian sangat meluas melalui kebijakan pucuk Pimpinan ini. Guna
memperkecil resiko atas persoalan demi persoalan terjadi, maka tanggal 10
Nopember 1963 disyahkanlah lembaga baru di dalam gereja sebagai mana
dinamakan “Dewan Keutuhan HKBP”, di mana tujuan lembaga ini merubah
personalia Majelis Pusat termasuk Pimpinan HKBP. Dewan ini mengusulkan
agar segera diadakan SAI tanggal 13 Januari 1964. Oleh pimpinan HKBP,
mereka melihat gagasan ini sangat mengarah pada perpecahan gereja.
Melaluinya tanggal 19 Nopember 1963, pucuk pimpinan mengeluarkan surat
penggembalaan kepada setiap jemaat, isinya: “menghimbau seluruh warga
HKBP agar segala pikiran dan usul untuk menggalang kesatuan HKBP
sebaikanya disampaikan melalui mejelis-majelis jemaat HKBP”. Usul dewan
keutuhan HKBP untuk mengadakan Sai ini tidak diterima oleh pimpinan
HKBP.

3. Embrio GKPI. Sebagaimana dijelaskan di atas, dengan tidak dicapainya jalan


damai di dalam gereja dan dalam hubungannya dengan konflik yang terjadi di
HKBP, maka tanggal 19 April 1964 lembaga-lembaga ini kemudian
mempersatukan diri dalam wadah: “Dewan Koordinasi HKBP 1950”. Wadah
ini ditokohi Pdt. Dr. Andar Lumbantobing bersama Pdt. Dr. S.M. Hutagalung.
Sikap dua pimpinan lembaga ini, mereka berusaha sebagai pucuk Pimpinan
tandingan di dalam gereja dan menyatakan diri bahwa gereja kembali ke
system TG 1950. Alasannya sebab, TG yang baru (1962-1972) telah
menimbulkan kegawatan besar di dalam tubuh HKBP. Melalui terbentuknya
“Dewan Koordinasi HKBP 1950” ini dengan dipimpin oleh Pdt, Dr. S.M.
Hutagalung, maka ini berarti bahwa lembaga gereja lain yang setara dengan
organisasi HKBP telah lahir di dalam organisasi HKBP. Tanggal 2 Juli 1964,
“Dewan Koordinasi HKBP 1950” ini bersama dengan anggota-anggotanya,
mereka mengadakan “musyawarah besar” dan mengeluarkan pernyataan-
pernyataan yang isinya sebagai berikut:
a. Tidak menerima Majelis Pusat HKBP yang sekarang (periode 1962-1972)
sebagai langkah ke arah kembalinya keutuhan seluruh HKBP, dan wadah
ini menuntut mereka supaya segera diganti.

97
b. TG supaya jiwanya kembali ke TG 1950
c. Susunan dan cara pembentukan Majelis Pusat HKBP yang baru, supaya
disesuaikan dengan jiwa TG HKBP 1950.
d. Sebelum terbentuk Majelis Pusat HKBP yang dimaksud dalam poin c,
maka “Dewan Koordinasi Patotahon HKBP” melanjutkan pelayanan
terhadap semua jemaat yang telah tergabung dalam dan yang akan
menggabungkan diri pada “Dewan Koordinasi Patotahon HKBP” tersebut.

Segala tindakan oposisi “Dewan Koordinasi HKBP 1950”, selanjutnya


dibicarakan pada SA HKBP 19-25 Juli 1964 di Parapat. SA ini dihadiri oleh
utusan mereka yang diwakili oleh Pdt. H.P. Pakpahan. Pandangan golongan
opisisi ini dituangkan dalam sebuah keputusan Synode yang kemudian
mengangkat sebuah panitia yang bernama: “Panitia Khusus SA HKBP 1964
(PKC)”. Anggota PKC ini terdiri dari 8 orang dari HKBP, orang dari pihak
Dawan Koordinasi HKBP 1950, mereka dilantik oleh Ephorus HKBP tanggal
23 Juli 1964. Dengan terbtnuknya PKC ini, maka seluruh golongan oposisi
setelah SA tersebut semakin tidak mungkin. Ini berarti mereka harus
mengambil keputusan: apakah tetap berada di dalam HKBP atau keluar dari
HKBP ? Dampak dan pengaruh oposisi sebelumnya di dalam gereja semakin
dibatasi pengaruhnya setelah pengumuman Gubernur SUMUT ketika itu (Kol.
Ulung Sitepu) membatasi dan melarang segala polemik HKBP baik umum,
tulisan maupun lisan. Pengumuman ini mempertegas sikap HKBP ketika itu
untuk membicarakan bahwa setiap masalah HKBP harus diselesaikan di
dalam wadah PKC ini, mereka yang tidak patuh akan ditindak berdasarkan
peraturan pemerintah yang ada. Tanggal 19 Agustus 1964, golongan opsisi
yang menjadi anggota PKC ini ternyata mengundurkan diri. Bersamaan
dengan pengunduran diri ini, PKC mengumumkan agar setiap jemaat HKBP
yang mengadakan kebaktian terpisah mulai tanggal 23 Agustus 1964
melakukan kebaktian sesuai aturan HKBP. Pengumuan ini dinilai
menguatkan keputusan Gubernur SUMUT ketika itu, namun akhirnya
keputusan ini juga tidak terlalu ampuh bagi penyelesaian masalah. Tanggal
30 Agustus 1964, Dewan Koordinasi Patotahon HKBP melangsungkan
kebaktian minggu di pekarangan rumah Dr. Luhut Lumbantobing di
Pematangsiantar. Setelah kebaktian ini, diadakanlah rapat yangmemutuskan
membentuk gereja baru yang mereka namakan sebagai “Gereja Kristen
Protestan Indonesia (GKPI)”. Pimpinan gereja yang baru ini ditetapkan:
Pdt. Dr. Andar Lumbantobing sebagai Bishop yang pertama dan Pdt. S.M.
Hutagalung sebagai Sekretaris Jenderalnya.

Satu hal yang sangat penting diketahui bahwa: seluruh golongan oposisi
yang sebelumnya ada di dalam PKC (GKPI) tidaklah terhimpun dalam satu
kesepakatan. Sebab tanggal 25 Juli 1965, sebagian dari mereka juga
membentuk sebuah gereja yanglain yang mereka beri nama sebagai: “HKBP
Luther (HKBP-L)” dan basis jemaat mereka ada di Lumbansiagian Tarutung.
Kelompok ini diketuai oleh Pdt. J. Sinaga. Perkembangan populasi gereja ini
tidaklah begitu berarti hingga sekarang. Selanjutnya “HKBP-L” ini, berubah

98
menjadi “Gereja Kristen Lutheran Indonesia (GKLI)” yang sampai sekarang
masih diketuai oleh Pdt. J. Sinaga.

Lahirnya GKPI Menurut Versi GKPI Sendiri

4. Oleh para pelopor/pendiri gereja ini, GKPI dideklarasikan berdiri sebagai


salah satu denominasi gereja Batak di SUMUT, ini terjadi tanggal 30 Agustus
1964. Menurut mereka, lahirnya GKPI adalah sebagai akibat dari berbagai
masalah yang terjadi di seputar organisasi gereja HKBP: dalam hal ini konflik
demi konflik sangat berkaitan dengan adanya perubahan AP HKBP 1962-
1972. Pada satu pihak, ada keinginan akan pembaharuan pada AP HKBP,
pelayanan dan keinginan akan pembaharuan kepengurusan dalam
kepemimpinan HKBP. Namun, pada sisi lain adanya sebagian orang yang
berkeinginan untuk tetap mempertahankan dan menekankan supaya HKBP
kembali kepada AP-HKBP 1940-1950. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa lahirnya GKPI adalah karena HKBP mengalami konflik internal yang
telah merebak sejak tahun 1962 yang tidak terselesaikan melalui forum-forum
perdamaian dan hal itu berdampak luas pada aspek persekutuan,
kepemimpinan dan pelayanan gereja.

5. Menurut S.M. Hutagalung (lih. S.M. Hutagalung, Kata Sambutan Sinode Am


Islam GKPI, 1966): “adanya badan-badan/Panitia, anggota dalam gereja
yang telah kita tinggalkan yang secara keyakinan dan berdasarkan
pengalaman yang sudah-sudah menghendaki suatu pembaharuan aturan
huria/gereja, pelayanan rohani yang berdasarkan kasih, pengurus yang
perteliti (cermat) dan diperbaharui. Dan keputusan SG HKBP (Juli 1964) di
Parapat yang menentang adanya badan-badan panitia tersebut”. Selanjutnya
dikatakan oleh S.M. Hutagalung bahwa keputusan Pantja Tunggal I SUMUT
tanggal 14 Agustus 1964 yang ditanda tangani oleh GUBSU/Kep. Daerah
SUMUT (pada waktu itu: Ulung Sitepu) yang melarang Organisasi atau
lembaga-lembaga dalam lingkungan HKBP yang bertentangan dengan
peraturan HKBP yang berlaku”. Bila pernyataan ini disimak selanjutnya,
bahwa berdirinya GKPI adalah merupakan bagian dari masih berlangsungnya
semangat gerakan kemandirian dalam gereja Batak, dan peristiwa tahun
1962 sebagai peristiwa yang cukup penting bagi lartarbelakang berdirinya
GKPI sebab sangat membawa perubahan bagi HKBP, perubahan-perubahan
itu termasuk bidang organisasi. Hal ini ditandai dengan disetujuinya AP HKBP
yang baru oleh SA HKBP 16 – 23 Juni 1962, bahwa berbagai hal dalam TG
HKBP mengalami perubahan dari TG HKBP yang lama (1940-1950)
termasuk perubahan berbagai jabatan dan kepemimpinan di HKBP.

Perubahan dalam AP HKBP antara lain ada tiga hal yakni:

Pertama, menyangkut jabatan kerk bestuur diganti menjadi jabatan penatua.


Pada tahun 1920, Ephorus J. Warneck pernah mengundang warga gereja,
tokoh masyarakat tradisi dan pejabat pemerintah yang mempunyai pengaruh,

99
jujur dan saleh untuk turut dilibatkan dan ambil bagian dalam berbagai
kegiatan pelayanan gereja dan memberikan tugas dan jabatan kerk bestuur
dan sintua yang juga duduk sebagai anggota majelis pusat.

Kedua, perubahan AP HKBP yang berhubungan dengan synode distrik.


Peranan synode distrik dalam AP yang baru dilimpahkan atau dialihkan
kepada rapat resort, khususnya mengenai pemilihan utusan ke SG.
Sebelumnya (sejak tahun 1911) wilayah pelayanan di HKBP dibagi atas
beberapa distrik dan juga adanya synode distrik. Peranan distrik sangat
penting dalam hubungannya dengan SA.

Ketiga, anggota Majelis Pusat dalam AP HKBP dipilih oleh SA. Sejak tahun
1929, anggota Mejelis Pusat, merupakan perwakilan dari tiap-tiap distrik yang
dipilih leh synode distrik. Perubahan itu dimaksudkan untuk menghindari
dualisme kepemimpinan antara Praeses dan anggota Majelis Pusat dalam
satu-satu Distrik.

Keempat, perubahan tentang SA dalam AP HKBP, dari satu tahun menjadi


sekali dalam dua tahun. Sejak tahun 1881, telah dikenal adanya pertemuan
tahunan dari seluruh wakil jemaat. Sejak tahun 1929 dengan terbentuknya
majelis pusat, maka synode tahunan ditingkatkan menjadi synode untuk
pengambilan keputusan gerejani. Perubahan itu dimaksudkan untuk
memberikan lebih banyak kesempatan perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi kerja masing-masing. Perubahan sebagaimana dipaparkan di atas
mendapat tantangan dari sebagian warga dan tokoh HKBP sebab perubahan
AP itu dianggap belum saatnya bagi HKBP. Konsep AP tersebut sebelumnya
telah pernah ditolak oleh sidang dewan pendeta di Parapat dan SG HKBP
tahun 1961, masyarakat dan tokoh tokoh gereja.

Berdasarkan paparan di atas, memperlihatkan bahwa era kemandirian HKBP


diwarnai oleh berbagai konflik internal HKBP yang telah mengganggu dan
mempengaruhi kehidupan persekutuannya.

6. Konflik di tubuh HKBP diawali dengan perubahan AP HKBP yang diputuskan


pada SG HKBP 1962. Lahirnya GKPI disebabkan oleh dua hal, yakni: kasus
penolakan perubahan anggaran dasar dan anggaran RT, AP HKBP yang
diputuskan dalam SA bulan Juni 1962 dan perubahan fungsi, istilah dan
jabatan kerk bestuur ke jabatan sintua. Konflik dalam HKBP sebagaimana
disinggung di atas disebabkan perubahan dalam AP HKBP antara lain:
jabatan kerk bestuur menjadi sintua biasa. Perubahan itu dinilai belum
saatnya, dan dianggap merugikan kerk bestuur. Penghapusan synode distrik
dan synode resort. Perubahan penentuan utusan ke SA dari distrik
dilimpahkan secara langsung ke rapat resort. Perubahan ini dianggap telah
mengurangi kekuasaan pendeta distrik. Demikian juga disebabkan oleh
masalah pemutasian pendeta yang dianggap tidak berdasarkan pada
peraturan yang sah dan pemutasian itu dilihat sebagai tindakan sentimen dari

100
Epohorus yang berkuasa. Sehingga terjhadi sikap perlawanan dari 22 orang
pendeta yang berakibat terjadinya tindakan pemecatan. Alasan terhadap
adanya tindakan pemecatan yang dilakukan oleh pimpinan pusat HKBP
adalah disebabkan atau sebagai akibat pembangkangan (indispliner)
terhadap keputusan pimpinan. Demikian juga dengan masalah yang
berkaitan dengan pemilihan petinggi HKBP dan pertentangan antara rektor
UHN dengan pimpinan Yayasan UHN, telah mengakibatkan pemecatan
rektor dan wakilnya. Selain daripada pemecatan tersebut, TD Pardede yang
juga ketua pengurus Yayasan UHN diangkat menjadi tugas rangkap sebagai
Presiden UHN.

Masuknya tokoh awam yang menjadi unsur pimpinan dalam gereja dalam
struktur fungsional parhalado pusat kekuasaan Ephorus yang semakin luas
memberi makna pengumpulan dan penumpukan kekuasaan atau
kepemimpinan yang mengarah kepada absolutisme dan bersifat
proteksionisme adalah suatu kenyataan dari keadaan gereja yang primordial.
Penumpukan dan penggunaan kekuasaan menimbulkan adanya situasi krisis
dan sikap ketidakpuasan yang dimanipestasikan dalam bentuk kelompok
perlawanan seperti: Panitia Panindangi Reformasi (PPR), Panitia
Penghubung Hasadaon (PPH) HKBP, Deaan Keutuhan (DK), Dewan
Koordinasi Patotahon (DKP) HKBP. Dimensi kekuasaan menjadi sangat
penting untuk melegalisasi berbagai kebijakan yang dimungkinkan
berdasarkan AP yang baru. Kep[emimpinan gereja seperti penumpukan
kekuyasaan Ephorus merupakan pengaruh Hierarki Zending yang Patriarkhal
di dalam jabatan gereja Batak. Konflik yang terjadi di tubuh HKBP adalah
karena adanya sikap ketidakpuasan yang terjelma dalam tiga kelompok yakni
kelompok pendeta, kelompok kaum awam yang menuntut reformasi
(pembaharuan) dalam tubuh HKBP dan kelompok mahaguru UHN. Ketiga
kelompok ini menyatu sebagai kelompok oposisi di HKBP yang dikenal
sebagai sebutan Dewan Kehormatan. Modernisasi manajemen berkaitan
dengan sistem pemusatan kekuatan Ephorus yang lebih luas, hubungan
antara pendeta yang lebih luas, hubungan antara pendeta dengan
pemimpinnya yang mirip dengan pola pengelolaan pemerintahan serta
disebabkan faktor tradisional genealogik kemargaan. Penyelesaian konflik
mengalami kebuntuan dan pada puncaknya, pemerintah berada pada pihak
pemegang kekuasaan (power holder) HKBP dengan membuat larangan
kepada kelompok tersisih. Tidak diperbolehkannya kelompok tersisih
melakukan kegiatan dengan mengatasnamakan HKBP, telah mendorong
kelompok tersebut untuk membentuk organisasi gereja yang baru, yang diberi
nama GKPI. Lahirnya GKLPI adalah disebabkan oleh sikap ketidakpuasan
dari anggota setempat atas pelayanan gereja, khususnya dalam bidang
kerohanian. Tetapi juga dan terutama disebabkan oleh gagalnya panitia kerja
khusus bentukan SG Istimewa HKBP bulan Juli 1964 di Parapat untuk
mengupayakan perdamaian dan keutuhan. Pembentukan panitia kerja
khusus oleh SG Istimewa HKBP mengindikasikan adanya persoalan intern
yang berkaitan dengan masalah organisasi yang bertitik pangkal pada AP

101
HKBP. Keluarnya SK Pantja Tunggal SUMUT No. 13911/II/8 tanggal 14
Agustus 1964 yang antara lain mengacu pada Keputusan SG HKBP tanggal
23 Juli 1964 di Parapat dan gagalnya Panitia Kerja Khusus menjalankan
tugas yang diembankan oleh Synode atasnya, menjadi dorongan lahirnya
GKPI. Sebelumnya kebaktian minggu atau pun kebaktian Evanggelisasi
(Kebaktian Malam) dalam tubuh HKBP telah terpisah di berbagai tempat.
Pemisahan itu disebabkan konflik yang berkepanjangan dan telah merebak
dengan melibatkan warga jemaat. Tanggal 23 Agustus 1964, kelompok yang
memisahkan diri dalam kebaktian ini mengadakan kebaktian yang pertama
bagi organisasi gereja yang baru, yaitu atas nama GKPI di gedung kebaktian
gereja Bala Keselamatan, Jln Merdeka Pematangsiantar. Tanggal 30 Agustus
1964 adalah kebaktian kedua yang berlangsung di pekarangan rumah Dr.
Luhut Lumbantobing Jln. Simarito No. 6 Pematangsiantar. Pada saat itulah
GKPI resmi memilih kepengurusannya. Bulan Oktober 1964, berkaitan
dengan momentum hari Reformasi Martin Luther disusunlah konsep TG GKPI
dan konsep itu diterima sebagai TG GKPI yang pertama. Tahun 1966,
diadakanlah Synode Am GKPI yang pertama.

7. Alasan Teologis Berdirinya GKPI. Tentang pokok ini menarik mengutip


pernyataan J.R. Hutauruk mengatakan: “HKBP pecah bukan karena
perbedaan bahasa, suku atau dialek, karena HKBP secara etnis, identik
dengan Batak Toba. Mungkinkan karena usaha mencari kebenaran ajaran
yang relevan buat kehidupan gerejani seperti terjadi dulu di tengah-tengah
umat Kristen di benua Eropa Kuno ? Tetapi harus ada penyebabnya. Mencari
dan menemukan penyebabnya perlu dilakukan bersama oleh seluruh umat
Kristen Batak demi pembaharuan identitas gereja-gereja Batak. Dengan
berangkat dari pertanyaan itu, dan gagasan untuk mencari jawaban
sebagaimana di atas, akan membawa kita untuk memahami kembali
konsepsi tentang gereja yang kudus. Salah satu hal yang tidak dapat
diabaikan dalam bagian ini adalah apa yang dikemukakan oleh F.H. Sianipar:
“satu-satunya faktor yang dapat mentransformir pengertian kolektifisme
dengan isi yang baru yang benar menyehatkan dan menghidupan hanyalah
pengertian persekutuan di dalam Tuhan yaitu yang hampir tidak ada di dalam
pietisme dan moralisme. Pada hal, pengertian inilah merupakan salah satu
faktor yang turut menentukan relevannya dari metode (bahkan isi) dari teologi
bagi masyarakat Batak”.

Sebelum berdirinya GKPI, Dr. A. Lumbantobing dan Dr. S.M. Hutagalung


memberikan pandangannya ketika dimintai pendapatnya sehubungan dengan
adanya gagasan dan banyaknya dorongan dari warga dan tokoh-tokoh gereja
untuk memisahkan diri dari HKBP, untuk membentuk satu organisasi gereja
yang baru. Pandangan kedua tokoh tersebut dapat dikutip sebagai berikut:

Dr. A. Lumbantobing:

102
Tidak sependapat dengan pendirian utusan-utusan itu. Menurut pendapat
beliau, pemisahan diri dari satu gereja untuk mendirikan suatu gereja yang
baru, tidak sesuai dengan dogma dan hukum teologi: badan Kristus adalah
tunggal (satu). Dan tidak dapat dipecah-pecah. Dalam penjelasan itu beliau
menerangkan tentang perpecahan gereja di negeri Belanda pada permulaan
abad 19 yang dipimpinpin oleh dua orang ahli teologi Prof. Dr. Abraham
Kuyper dan Prof. Dr. Hoedemaker. Penjelasan beliau itu diakhiri dengan
keterangan bahwa bagi beliau belum ada alasan yang kuat untuk memisah
diri dari HKBP.

Dr. S.M. Hutagalung:


Sebelum mengemukakan pendirian, terlebih dahulu menekankan: bahwa
jemaat Kristus adalah satu di dalam Kristus, akan tetapi di dalam
perkembangan organisasi-organisasi gereja menurut sejarah maka semua
organisasi gereja yang ada sekarang adalah perkembangan/perpecahan dari
gereja. Setertusnya beliau mengatakan kalau di suatu huria (gereja)
kepercayaanmu dan imanmu untuk mendekati Tuhan terhalang oleh
perbuatan-perbuatan peraturan-peraturan dan ancaman-ancaman dari
pengurus huria itu, kalau saudara tidak berhasil dalam usaha tersebut dan
kepercayaanmu terus menerus terhalang dan tidak beroleh damai dan
kegembiraan lagi di dalam jemaat tersebut, maka saudara harus
meninggalkan gereja sedemikian sesuai dengan keyakinan pada saat ini.
Saya sendiri belum melihat suatu alasan yang dapat saya pakai untuk
mempertanggungjawabkan pengunduran dri saya dari HKBP secara mutlak.

GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA – GKPA

1. Gambaran Umum. Denominasi ini merupakan gereja yang resmi


dimandirikan oleh HKBP, oleh karena itu sejarah gereja GKPA tidaklah
terpisahkan dengan sejarah HKBP sejak awalnya. Untuk mendukung
pernyataan ini, anda masih ingat di awal pertemuan tentang diskusi tema:
perintisan lembaga misi RMG di Prau Sorat demikian dengan Rapat
Koordinasi Misi para (empat orang) Misionaris tanggal 7 Oktober 1861 di
Sipirok, juga dalam hubungan tibanya Nomensen pertama sekali di Sipirok
tahun 1962. Hanya, kesimpulan yang nyata dapat dikatakan bahwa
perkembangan misi kekristenan (gereja) di daerah Silindung (Tapanuli Utara
umumnya) jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan di daerah Angkola
(Tapanuli Selatan umumnya). Hingga pada akhirnya, jemaat-jemaat Kristen
Batak yang berdiam di daerah Angkola (Tapanuli Selatan) mereka dihimpun
dalam satu Distrik yang disebut sebagai Distrik Angkola yang berpusat di
Sipirok yang kemudian berkembangan menjadi distrik Tapanuli Selatan yang
berpusat di Padang Sidempuan.

103
2. Dipengaruhi oleh latarbelakang budaya dan bahasa yang sedikit berbeda,
dari masyarakat Kristen Batak Toba, maka tahun 1970-an jemaat-jemaat
HKBP yang berbahasa Angkola bermohon kepada HKBP agar mereka
dihimpun dalam suatu gereja yang berdiri sendiri. Permohonan ini dikabulkan
oleh HKBP melalui SA tahun 1972, sehingga mereka dihimpun dalam satu
wadah gereja yang berdiri sendiri. Dalam pemberian kemandirian itu, seluruh
jemaat yang berada di daerah Angkola dan Tapanuli Selatan dengan
latarbelakang etnis Angkola diijinkan masuk menjadi bagian dari gereja ini.
Tetapi tidak semua jemaat HKBP yang berada di daerah Angkola masuk
menjadi bagian dari gereja yang baru ini, sebab jemaat-jemaat yang
berlatarbelakang Toba tidak bersedia bergabung dengan HKBP Angkola,
tetapi tetap mempertahankan dirinya sebagai HKBP. Awalnya HKBP
berpusat di Sipirok, tetapi kemudian dipindahkan ke ibukota Kabupaten
Tapanuli Selatan dan namanya pun diganti menjadi: “Gereja Kristen
Protestan Angkola” (GKPA). Jemaat gereja ini tidak hanya berdiri di daerah
Angkola Tapanuli Selatan, tetapi juga ada yang berdiri di daerah-daerah lain
kalau orang-orang Kristen Batak yang berlatarbelakang Angkola dijumpai di
daerah itu seperti di Pematangsiantar, Medan dan Jakarta.

GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN (GKPS)

1. Pendahuluan. Jauh sebelum kekristenan mempengaruhi Simalungun,


sebagian besar wilayah ini sudah dipengaruhi oleh Islam (1850) terutama di
daerah Simalungun Bawah (daerah Simalungun yang berbatasan dengan
Kabupaten Sergai sekarang dengan kabupaten Asahan). Misalnya Raja
Siantar telah menjadi Islam sebelum kekristenan memasuki daerah ini, tetapi
sebagian besar orang-orang Simalungun itu masih menganut agama suku
Simalungun yakni kepercayaan kepada Dewata Tertinggi (Naibata Iatas),
Dewata Dunia Tengah (Naibata Itongah) dan Dewata Dunia Bawah (Naibata
Itoruh), selain itu raja-raja Simalungun juga dipercayai sebagai “Naibata
Nataridah” (dewata yang kelihatan). Sejarah GKPS sebenarnya tidak terlepas
dari sejarah HKBP, karena seperti diterangkan di atas GKPS adalah suatu
gereja yang berasal dari HKBP dan pemisahannya bukanlah karena suatu
pertikaian atau jalan yang tidak baik melainkan melalui persetujuan bersama.
Pemisahan ini dibaratkan sama seperti orang tua yang memandirikan
(pajaehon) anaknya yang sudah berkeluarga karena anaknya itu dianggap
sudah cukup mampu untuk membina keluarganya sendiri, demikianlah halnya
HKBP “pajaehon” GKPS karena dengan berdiri sendiri gereja itu sudah
dianggap mampu membangun dan mengembangkan gereja itu.

Apabila dikaji lebih dalam sejarah GKPS, periodesasinya dapat dibuat


sebagai berikut:
a. 1903 – 1928: Jaman permulaan dan pergumulan.
b. 1908 – 1940: Masa perkembangan gereja Simalungun

104
c. 1940 – 1952: Terbentuknya HKBP Distrik Simalungun
d. 1963 - … : Terbentuknya GKPS seagai salah satu gereja yang berdiri
sendiri.

2. Jaman Permulaan dan Pergumulan (Periode I: 1903-1928). Pada tanggal 2


September 1903, tiga orang penginjil pertama dari orang Jerman yang diutus
oleh I.L. Nomensen dari Tapanuli telah tiba di daerah Simalungun yakni: A.
Theis, Guillaume dan Simon. Oleh GKPS, tanggal inilah kemudian
ditetapkan sebagai tanggal permulaan dari gereja ini. Sejak awalnya, A.
Theis ditempatlan di Pematang Raya, Guillaume mula-mula ditempatkan
di Haranggaol, tetapi kemudian dipindahkan ke Saribu Dolok dan Simon di
tempatkan di Pematang Bandar (Simalungun Bawah). Simon terkenal
sebagai ahli dalam bidang agama Islam dan selain itu ia terkenal juga karena
sejak semula Simonlah yang mengusulkan supaya penginjilan di daerah
Simalungun dilakukan dalam bahasa Simalungun itu sendiri baik di jemaat
maupun di sekolah-sekolah yang diasuh oleh sending. Ketiga orang ini
segera dibantu oleh tenaga-tenaga evanggelis dan guru-guru orang Batak
Toba.

Pada periode permulaan ini, para penginjil dalam upaya PI–nya, mereka
menghadapi banyak kesulitan, a.l:
a. Soal pemakaian bahasa. Di kalangan para misionaris terdapat perbedaan
pendapat mengenai bahasa yang akan dipergunakan. Para penginjil yang
dari Batak Toba hanya memahami bahasa Batak Toba, mereka
menginginkan supaya bahasa Batak Tobalah yang dipakai sebagai
bahasa pengantar, mereka enggan mempelajari bahasa Simalungun
sehingga bahasa Batak Toba itulah yang dipakai sebagai bahasa
pengantar. Soal pemakaian bahasa Batak Toba ini sebagai bahasa
pengantar, ini tidak dikehendaki oleh umumnya msayarakat Simalungun.
4Walaupun banyak persamaan di antara bahasa Simalungun dengan
bahasa Toba namun banyak kata-kata dalam bahasa Batak Toba yang
tidak enak didengar bersifat kasar yang bagi terminology Simalungun ada
beberapa kata maknanya dirasakan tidak sopan bagi orang Simalungun.
b. Penduduk yang berjauhan dari satu tempat ke tempat lain, sedangkan
hubungan dari satu kampung ke kampung lainnya sangatlah sulit karena
daerah-daerah itu masih dipenuhi hutan-hutan yang sangat lebat.
c. Pengaruh dari “datu” (dukun) yang cukup besar. Para datu ini sangat
ditakui oleh masyarakat oleh karena mereka mempunyai daya magis yang
dipercayai dapat menyakiti atau menyusahkan mereka.
d. Pengaruh kuasa raja-raja yang sangat besar. Demikian besarnya pengaruh
raja-raja di Simalungun, para raja itu dianggap sebagai dewa dengan
berkuasa atas harta rakyatnya. Apa yang dikatakan oleh raja harus diikuti
dan tidak seorang pun bisa menentangnya dan kekuasaan raja-raja itu
berlangsung secara turun temurun.

105
Karena banyaknya tantangan dihadapi, maka selama 25 tahun periode
pertama ini jumlah orang Simalungun yang berhasil dibaptis menjadi Kristen
baru mencapai 900 orang dalam 31 jemaat.

3. Masa perkembangan gereja Simalungun (1928-1940). Pada periode ini,


mulai nampak perkembangan kekristenan di daerah Simalungun. Terutama
setelah adanya putera-putera daerah ini yang sudah tamat dari sekolah guru
Injil, antara lain: dari Seminari Depok Jawa Barat, dari Seminari Sipoholon
serta dari Narumonda. Mulai tahun 1929, sudah ada putera daerah
Simalungun yang menjadi pendeta yakni Pdt. J.W. Saragih, ia adalah
tamatan Semianri Sipoholon. Dengan adanya putera-putera Simalungun yang
menjadi penginjil dan pendeta, maka usaha ppenginjilan di daerah
Simalungun semakin bertumbuh dan berkembang cepat. Pdt. J.W. Saragih
dalam usaha penginjilannnya, juga memperhatikan metode PI empat dimensi
yang dikembangkan oleh Nomensen (metode PI melalui pendidikan,
kesehatan, perekonomian dan politik). Masalah pemakaian bahasa telah di
atasi dengan menetapkan bahasa Simalungun sebagai bahasa pengantar.
Perkembangan pada periode ini juga tidak terlepas dari adanya “Komite Na
Rah Marpoda” (Komite yang ingin belajar) yang didirikan oleh orang-orang
Kristen Simalungun tahun 1928. Komite ini menekankan bahasa Simalungun
sebagai bahasa pengantar dengan menerbitkan buku-buku bacaan Kristen
dalam bahasa Simalungun dan juga menerbitkan sebuah majalah yang cukup
besar artinya dalam usaha penginjilan, yakni majalah: “Sinalsal” (cahaya). Di
dalam majalah itu banyak dibicarakan mengenai masalah agama, pertanian,
peternakan, pendidikan dan lain-lain. Pada periode ini, terbentuk juga satu
kongsi penginjilan yang bernama “Laita” (artinya: beta ma hita) yakni suatu
perkumpulan yang giat mengajak orang-orang Simalungun menjadi Kristen.

4. Terbentuknya HKBP Distrik Simalungun (1940-1952). Sebelum tahun 1940


jemaat-jemaat Kristen Simalungun dimasukkan kepada lingkungan HKBP
Distrik Sumatera Timur. Tetapi sejak tahun 1940, mereka meminta supaya
jemaat-jemaat Simalungun dijadikan menjadi sebuah Distrik yang tersendiri
dalam tubuh HKBP, yakni HKBP Distrik Simalungun. Ini dimaksudkan supaya
pelayanan PI kepada masyarakat Simalungun makin diintensifkan. Praeses
Distrik ini juga telah dipegang oleh putera daerah Simalungun itu sendiri,
yakni: Pdt. Kerpanus Purba. Sedangkan anggota Majelis Pusat dari Distrik
ini adalah Pdt. J.W. Saragih.

Beberapa hal yang mendapat perhatian pada periode ini ialah:


a. Pengaruh Jepang pada kehidupan para pemuda sangat membaahayakan,
karena banyak pemuda tertarik menjadi Heiho, yang dibawakan oleh
pemerintah militer Jepang mempertahankan kekuasaannya dan
ekspansinya di banyak bangsa di Asia. Karena keadaan ini, dilihat dapat
membahayakan kehidupan gereja maka Pdt. J.W. Saragih tahun 1942
mendirikan sebuah badan yang bernama: “parguru saksi ni Kristus”.
Badan ini dimaksudkan untuk menampung pemuda/i Simalungun dilatih

106
menjadi penginjil-penginjil sukarela. Pengaruh dari badan ini ternyata lebih
besar dari pengaruh kongsi Laita yang sudah didirikan sebelumnya. Para
pendeta dan guru Injil yang bertugas di daerah Simalungun bersama-
sama dengan parguru saksi ni Kristus pergi ke kampung-kampung
(pelosok) untuk memberitakan Injil. Majelis sangat merasakan kagum
melihat kerajinan dan semangat mereka yang sangat besar yang setelah
tamat, mereka disebut sebagai saksi ni Kristus. Mereka mempunyai
prinsip: “sedapat mungkin seorang saksi ni Kristus” akan membawa
seorang yang masih kafir menjadi Kristen.
b. Tahun 1945 didirikan kongsi Bibel. Kongsi ini bertugas menterjemahkan
Bibel (Alkitab) ke bahasa Simalungun. Dari antara kitab itu, yang pertama
diterjemahkan adalah kitab Injil Lukas.
c. Tahun 1946, terjadi revolusi sosial terhadap raja-raja di Simalungun. Di
mana pada waktu itu, banyak orang Kristen yang menderita serta banyak
rumah pendeta, rumah guru jemaat, gedung gereja dan sekolah-sekolah
dibakar. Karena orang-orang Kristen dianggap sebagai pendukung
Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia setelah
memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945, oleh situasi ini banyak
pendeta yang mengungsi ke hutan-hutan dan mereka mengadakan
kebaktian di sana. Keadaan ini telah dimamfaatkan oleh para pendeta dan
misionaris untuk mengajarkan Injil kepada masyarakat Simalungun yang
tinggal di pedalaman. Sikap orang-orang Kristen yang baik, rendah hati
dan menaruh kasih yang besar, mereka telah menjadi pendorong yang
sangat besar bagi orang-orang yang masih parbegu untuk menjadi
Kristen.
e. Tahun 1950, kursus pendeta didirikan di Pematang Raya yang mendidik
orang-orang Simalungun menjadi pendeta gereja Simalungun itu sendiri.
Kursus ini hanya menamatkan siswanya satu kalia yakni tahun 1952.
Pendidikan pendeta di kalangan HKBP pada waktu itu termasuk untuk
orang-orang Simalungun adalah di pusat Seminari Sipoholon.

5. Terbentuknya HKBP Simalungun Yang Otonom (1952-1963). Satus HKBP


Simalungun yang otonom ini memang masih bernaung di bawah pimpinan
Ephorus HKBP walau kepada mereka telah diberikan kebebasan
organisatoris dan pengelolaan keuangan sendiri. Mereka juga sudah diberi
hak untuk mengadakan synode sendiri yang dipimpin oleh seorang wakil
Ephorus, wakil Ephorus pertama yang memimpin HKBPS ialah Pdt. J.W.
Saragih. Pembentukan HKBPS tahun 1952 didasaari oleh pergumulan
teologis praktis oleh beberapa tokoh yang berlatarbelakang Simalungun,
yang melihat bahwa usaha PI di Simalungun akan lebih berhasil apabila
strategi dan metode diatur oleh orang-orang Simalungun itu sendiri bukan
campuran antara Simalungun dan Toba. SA HKBP 1953, telah menerima
pemberitahuan berdirinya HKBPS sejak 5 Oktober 1952. Dengan demikian
organisasi HKBPS adalah sebagai bagian dari HKBP di daerah-daerah yang
berbahasa Simalungun dapat diharapkan lebih cepat bergerak dan
mendekatkan dirinya kepada tata hidup social, rohani budaya dan bahasa

107
Simalungun. Pada SA 1953, HKBPS telah mencanangkan “Plan 10 tahun”
(rencana sepuluh tahun) yang bertekad bahwa pada tahun 1963 seluruh
orang Simalungun yang masih “parbegu” akan menjadi anggota GKPS.
Tahun 1959, kongsi Bibel telah menterjemahkan Alkitab PL sampai kitab
Ulangan, di mana tiap-tiap jemaat mendirikan gereja masing-masing, dan
menjelang tahun 1963, HKBPS sudah siap menjadi gereja yang bedriri
sendiri.

6. Berdirinya GKPS menjadi sebuah gereja yang mandiri (1963- Sekarang).


HKBPS ditetapkan menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri dengan nama
baru “Gereja Kristen Protestan Simalungun” (GKPS) yang tanggal 2
September 1963, gereja ini telah berumur 60 tahun. Pada waktu itu anggoita
gereja berjumlah 61.147 orang, 177 jemaat, 22 pendeta, 16 resort, dan tiga
Distrik. Setelah kemandirinya itu, GKPS berkembang terus, hingga sekarang
ini boleh dikatakan hampir semua orang Simalungun yang dulunya “parbegu”
sudah menjadi Kristen. Dan seperti HKBP, gereja ini juga didirikan bukan
hanya di daerah Simalungun tetapi juga di daerah-daerah perantauan seperti
di Medan dan Jakarta.

SEJARAH MASUK DAN BERKEMBANGNYA


KEKRISTENAN DI NIAS

Pendahuluan
1. Sejarah masuk dan berkembangnya kekristenan di Nias, hampir sama
dengan sejarah masuk dan berkembangnya kekristenan di tanah Batak.
Demikian dengan badan zending yang bekerja di Nias, juga di motori oleh
badan zending RMG yang saat masuknya badan zending ini mendahului
masuk dan berpengaruhnya Belanda sebagai kekuasaan kolonial di sana.
Misionaris RMG pertama yang diutus dan bekerja di Nias adalah Denninger
setelah ia bersama dengan rekannya yang lain di usir dari Kalimantan akibat
dari perang Hidayat (1859) yang berkecamuk di sana. Denninger kemudian
datang ke Padang bersama-sama dengan temannya yang berhasil selamat,
yakni: Klammer. Rencana semula, mereka akan diutus oleh RMG untuk
mengabarkan Injil ke Tapanuli, tetapi Denninger tidak bisa sampai ke
Tapanuli karena di Padang isterinya jatuh sakit. Akhirnya di Padang,
Denninger bertemu dengan sejumlah orqang-orang Nias yang merantau ke
sana, dan tertarik untuk mengabarkan Injil kepada mereka. Penduduk
setempat, yakni orang-orang Minang itu sendiri sudah sulit untuk
dikristenkan, karena mereka sudah lebih dahulu menganut agama Islam. Di
Padang Denninger mempelajari bahasa Nias dan berencana mendirikan satu
gereja untuk orang-orang Nias perantau tersebut. Tetapi rencana itu tidak jadi

108
dilakukan karena ia berpikir bahwa pembangunan gereja tidak ada artinya,
karena orang-orang Nias tidak menetap tinggal di sana. Lalu Denninger
memutuskan untuk pergi langsung ke daerah Nias itu sendiri. Ia tiba di pulau
Nias tanggal 27 September 1865. Tanggal ini oleh BNKP ditetapkan sebagai
tanggal kelahiran gereja ini. Di Nias, Denninger berusaha sekuat tenaga
untuk memberitakan Injil, namun ia menghadapi banyak kesulitan sehingga
perkembangan usaha PI di sana agak lambat.

Ada beberapa hambatan dihadapi Denninger dalam memberhasilkan UPI-nya


DI Nias, yakni:
a. Di daerah Nias banyak bersarang penyakit malaria.
b. Suku-suku di daerah Nias terbagi ke dalam keluarga-keluarga yang
hampir tidak berhubungan satu sama lain. Mereka hidup sendiri-sendiri di
kmapung mereka.
c. Keadaan geografis yang sangat menyulitkan, karena di sana belum
ada jalan yang baik dan masih banyak hutan dan pegunungan. Selain itu,
perhubungan melalui laut juga sering mengalami gangguan karena ombak
yang besar.
d. DI daerah ini masih banyak dijumpai suku-suku pengayu
(pemenggal kepala).
e. Kehidupan social budaya yang masih kolot sekali, terutama dalam
hal yang menyangkut perkawinan dengan besarnya “borvo” (mas kawin)
yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Kalau “borvo” tidak lunas dibayarkan, pihak perempuan juga akan
menuntut ini dari keturunan menantunya itu. Sampai sekarang, masalah
“borvo” ini belum bisa diatasi secara sepenuhnya, walau pelaksanaannya
tidak seketat jaman dahulu. Tetapi masalah “borvo” telah menimbulkan
dampak social yangkurang baik, karena banyak orang yang sampai lanjut
usia tidak bisa kawin karena orangtuanya miskin.

Pembaptisan pertama dilakukan kepada orang-orang Nias terjadi pada hari


raya Paskah tahun 1874, yakni atas 25 orang Nias. Ini berarti bahwa
pembaptisan pertama ini terjadi setelah UPI berlangsung di Nias selama
sembilan tahun lamanya. Dan dalam waktu 25 tahun setelah kedatangan
Denninger (1890), orang-orang Nias yang beerhasil dibaptis menjadi Kristen
baru tercatat sebanyak 706 orang yang terhimpun dalam tiga jemaat.

Namun dalam kurun waktu 25 tahun pertama itu, di sana telah diciptakan
oleh para misionaris sarana-sarana yang memungkinkan perluasan di
kemudian hari, yakni:
a. Orang Kristen Nias sendiri telah belajar untuk ikut aktif mengabarkan Injil.
Salah seorang tokoh Nias yang berkemauan besar dalam UPI ialah
kepala kampung yang bergelar Ama Mandranga.
b. Sejumlah guru-guru serta penatua telah diangkat oleh para misionaris
untuk membantu mereka. Untuk ini, tahun 1882, telah didirikan sebuah
lembaga pendidikan guru.

109
c. Usaha-usaha untuk membina jemaat agar mereka mampu membiayai diri
sendiri sudah dimulai pada masa ini.
d. Penterjemahan Alkitab dan buku-buku Krisrten ke dalam bahasa Nias oleh
misioanaris Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan orang-
orang Nias lainnya.

Masa perkembangan Kekristenan di Nias


2. Tahun 1915, setelah 50 tahun UPI di Nias jumlah orang-orang Kristen di sana
telah naik menjadi 20.000 orang dan pada waktuitu daerah zending sudah
meliputi daerah nIas Barat dan Nias tengah. Tetapi perkembangan
kekristenan yang lebih pesat baru mulai sejak tahun 1916. Sejak saat ini,
sering terjadi pembaptisan secara massal. Pertobatan massal ini mula-mula
dilakukan oleh seorang evanggelis dari orang Nias itu sendiri yang bernama
Filemo (Philemon) di Humene. Dia seorang evanggelis yang sangat teguh
dalam iman dan menjadi gembala yang baik, sehingga ia menjadi suri teladan
dalam hidup kekristenan di Nias. Dalam UPI-nya, Philemon menekankan
pertobatan yang sungguh-sungguh, pengampunan dosa, dan pergi ke
tempat-tempat sunyi seperti yang dilakukan oleh Johanes pembaptis.
Philemon mengadakan penggembalaan di antara empat mata dan ia
mendoakan setiap orang yang datang kepadanya. Dengan cara ini,
berduyun-duyunlah orang-orang Nias menemuinya di tempatnya. Dalam
setiap pembeicaraan penggembalaan yang dilakukan sering terjadi bahwa
orang-orang yang digembalakannya itu sampai mencucurkan air mata,
setelah menyadari akan dosa-dosanya. Penggembalaan yang dilakukannya
juga sering mendorong terjadinya pertobatan yang sepenuh hati yang dalam
bahasa Nias disebut sebagai “fangesa dodo”. Tetapi ada juga orang-orang
Nias yang mencoba meniru-niru cara yang dilakukan oleh Filemo untuk
tujuan yang tidak baik. Mereka kemudian sering dijuluki sebagai “tukang
fangesa dodo”, menyelewengkan kepercayaan orang banyak kepada mereka
untuk mencari keuntungan diri sendiri. Tukang-tukang “fangesa dodo” ini
mengarah kepada praktek-praktek dukun yang mengutip bayaran dari orang-
orang yang datang kepada mereka dan ada juga yang melanggar hukum
yang ketujuh. Tetapi niat jahat “evanggelis-evanggelis” palsu seperti itu juga
ketahuan kepada orang banyak, sehingga mereka pun ditinggalkan oleh
orang Nias. Dengan adanya gerakan pertobatan massal pada kurun waktu
ini, maka dengan cepat bertambahlah jumlah orang-orang Kristen Nias.
Dalam perhitungan tahun 1929, jumlah mereka yang telah di baptis menjadi
Kristen tercatat sebanyak 85.000 orang.

Terbentuknya Synode BNKP (Banua Niha Keriso Protestan)


3. Synode BNKP pertama yang terbentuk adalah tahun 1936, yang sekaligus
menjadikan gereja ini sebagai gereja yang mandiri. Walau dikatakan sebagai
gereja yang mandiri, kepemimpinan BNKP masih tetap dipegang oleh para
misionaris Jerman sebagaimana halnya yang terjadi di HKBP. BNKP juga
mengalami akibat peristiwa 10 Mei 1940, di mana terjadinya orang antara
Jerman dengan Belanda, maka seluruh tenaga misionaris Jerman yang

110
bekerja di Nias ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Belanda di
Indonesua. Gereja di Nias juga mengalami ujian yang sangat berat dengan
hadirnya BNZ yang berusaha untuk menggantikan kedudukan RMG dan
mencoba mengambil kepemimpinan BNKP. Tetapi orang-orang Kristen Nias
tidak mau menyerahkan kepemimpinan gereja itu kepada pendeta-pendeta
Belanda dalam naungan BNZ ini. Mereka ingin berdiri sendiri dengan
dipimpin oleh putera Nias sendiri. Pada waktu inilah terpilih Ephorus BNKP
yang pertama dari kalangan pendeta Nias, yakni: Pdt. Atefona Harefa ia
memegang jabatan Ephorus dari tahun 1940-1955. Struktur gereja BNKP
hampir sama dengan struktur gereja HKBP, hanya jenjangnya sedikit
berbeda dari HKBP. Resort bagi HKBP, adalah sama dengan Distrik bagi
BNKP, dan sebaliknya: distrik bagi HKBP adalah resort bagi BNKP. Gereja
ini juga banyak menghadapi tantangan, baik yang muncul dari dalam maupun
yang datang dari luar. Yangmuncul dari dalam ialah adanya beberapa
gereja yang terpecah dari BNKP. Perpecahan pertama dalam tubuh gereja
BNKP terjadi tahun 1946 yang dilakukan oleh satu kelompok orang Kristen
Nias di daerah Humene. Mereka membentuk gereja mereka sendiri dengan
nama: “Angowuloa Masehi Idanoi Niha” (AMIN) atau disebut juga sebagai
“Agama Masehi Indonesia Nias”. Perpecahan kedua terjadi tahun 1950 di
daerah Nias Barat. Orang-orang Nias yang memisah ini membentuk gereja
yang diberi nama: “Orahua Niha Keriso Protestan” (ONKP). Kedua
perpecahan ini bukan karena persoalan teologis dogmatis (perbedaan
ajaran), tetapi karena masalah kepemimpinan atau organisasi gereja itu.
Tantangan adari luar adalah dengan masuknya beberapa gereja dan agama
lain ke daerah Nias. Gereja RK mulai berusaha masuk ke Nias tahun 1939
yangmula-mula bekerja di daerah Nias bagian Selatan. Perkembangan gereja
RK terlihat lebih pesat setelah PD II berakhir. Selain dari gereja RK, gereja
Adventist juga bekerja di daerah Nias bagian Selatan. Selain gereja-gereja
tersebut di atas, agama Islam berusaha mengembangkan pengaruhnya di
daerah Nias, tetapi pengaruh Islam ini tidak begitu berkembang di Nias
karena latarbelakang budaya Nias (makan daging babi) yang dipantangkan
oleh Islam. Kebiasaan ini tidak terpisahkan dari budaya dan adat kebiasaan
masyarakatnya. Pusat pendidikan pelayan gereja (seminari) yang mendidik
calon guru-guru jemaat dan calon pendeta Nias mula-mula didirikan di
Omblata tetapi kemudian dipindahkan ke Gunung Sitoli. Tamatan pertama
sekolah pendeta di Omblata, terjadi tahun 1906. Sebuah Rumah Sakit
didirikan di Hilisimaetano yang diberi nama RS Lukas. Pada akhir tahun
1980-an, keadaan jumlah orang Krosten di daerah Nias adalah sebagai
berikut: “BNKP beranggota kira-kira 250.000 orang ; AMIN beranggota
14.000 orang ; ONKP beranggota 35.000 orang dan RK beranggota + 50.000
orang. Hampir seluruh masyarakat Nias adalah penganut agama Kristen.

Kekristenan di Pulau-Pulau Batu


4. Pulau-pulau Batu terletak di sebelah selatan kepulauan Nias. Yang
meberitakan Injil ke pulau-pulau ini bukanlah penginjil RMG, melainkan para
misionaris Belanda yang beraliran Lutheran. Mereka diutus oleh “lembaga PI

111
Lutheri” dari negeri Belanda. Usaha PI di Pulau-pulau Batu di mulai tahun
1889 – 1940. DI pulau-pulau ini sudah terbentuk 15 jemaat yang kecil. Masa
PD II gereja ini berdiri sendiri di bawah pimpinan seorang kepala suku yang
sudah menjadi Kristen. Tetapi setelah perang berakhir, gereja ini telah
bergabung dengan gereja BNKP. Pendeta pertama putera daerah adalah
Pdt. Wao, lulusan dari seminari sekolah pendeta Sipoholon.

SEJARAH GEREJA KRISTEN


PROTESTAN MENTAWAI (GKPM)

Permulaan Kekristenan di Mentawai


1. Kepulauan Mentawai adalah terletak di sebelah Barat daerah Sumatrera Barat, dan
terdiri dari beberapa pulau dan pulau-pulaunya yang terbesar ialah: Siberut, Sipora
dan Page. Bahasa daerah di Pulau Page adalah berbeda dari bahasa daerah di
Pulau Siberut. Tetapi bahasa yang dipergunakan dalam gereja adalah bahasa
Page. Hal ini menunjukkan bahwa kekristenan di pulau Page lebih maju dari
kekristenan di Pulau Siberut. Bagaimana kekristenan di Pulau Mentawai ini ?
Menjelang tahun 1900, pimpinan RMG di Barmen mendapat sebuah kiriman berupa
sebilah tombak yang disertai dengan sepucuk surat dari Syah Bandar Padang
seorang Belanda. Dalam surat itu, ia menyebutkan: “dengan tombak ini orang
Mentawai telah membunuh seorang awak kapal dagang. Penduduk pulau itu masih
orang-orang kafir yang buas semua. Masih berapa lama lagi mereka baru sempat
mendengar Injil ?” Surat inilah yang mendorong RMG mengirim misionarisnya ke
Mentawai. Misionaris pertama yang diutus oleh RMG ialah, August Lett, yang tiba
di Mentawai tahun 1901. Namun sebelum adanya orang-orang Mentawai yang
dibaptis, August Lett dibunuh oleh orang-orang Mentawai sendiri tahun 1909, karena
ia berusaha menjadi pengantara masyarakat setempat dengan pemerintah Belanda.
Pekerjaan August Lett diteruskan oleh Pdt. F. Berger yang mulai bekerja di sana
tahun 1907, yang dibantu oleh seorang guru Injil yang diutus oleh Zending Batak
bernama: Gr. Manase Simanjuntak.
Namun, dalam UPI itu, mereka mengadapi banyak kesulitan, a.l:
a. Daerah ini juga merupakan sarang penyakit malaria.
b. Keadaan geografis, dan hubungan lalu lintas yang sulit. Hubungan lalu lintas
masih lebih banyak melalui laut dan sungai, karena perkampungan pada
umumnya berada di tepi laut atau sungai.
c. Pengaruh kekafiran dan kuasa dukun sangat besar. Bagi masyarakat Mentawai:
“datu” (Sikerei bahasa Mentawai) lebih dihargai daripada seorang raja atau
“rimata”. “Sikerei” sangat dihormati karena dia dianggap sebagai perantara
antara Tuhan dengan mereka. Sikerei juga dianggap mengetahui segala-
galanya, karena ia sering berhubungan dengan roh-roh atau “sanitu-sanitu”.
d. Tantangan dari pihak orang-orang Minang yang tidak menghendaki orang-orang
Mentawai mengalami kemajuan. Orang-orang Mentawai diharapkan oleh orang-
orang Minang yang datang berdagang ke Mentawai sebagai sumber penghasilan
yang cukup besar. Karena orang-orang Metawai masih bodoh, sering mereka
menyerahkan begitu saja hasil bumi mereka berupa cengkeh hanya dengan
imbalan sedikit tembakau.

Setelah bergumul hampir 15 tahun, maka pembaptisan pertama baru terjadi tanggal
9 Juni 1916 yakni atas empat orang (dua pasangan suami isteri) yakni: Pomanyang

112
dan isterinya dan Jago Mandi dan isterinya. Saat pembatisan yang pertama inilah
yang ditetapkan sebagai hari lahir dari GKPM.

Dalam upaya menyebarkan Injil itu, hal-hal yang mendapat perhatian dari zending
ialah:
a. Pembinaan rohani. Pembinaan ini dimaksudkan untuk memperdalam iman dan
pemahaman mereka akan nilai-nilai kekristenan itu. Tetapi pekerjaan ini sangat
sulit dilakukan karena kepercayaan yang lama, yakni agama Sabulungan yang
menganut paham animisme telah sangat sangat sulit dilepaskan dari kehidupan
mereka.
b. Usaha Pendidikan. Usaha ini dilakukan dengan mendirikan Sekolah-sekolah
Dasar. Usaha pendidikan di sana sangatlah lambat sekali jika dibandingkan
dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah sangat kurang memberi perhatian
kepada usaha pendidikan di sana. Sampai tahun 1957, sekolah SD yang
didirikan oleh pemerintah hanya satu dalam satu kecamatan, dan sampai tahun
1970 satu-satunya sekolah tingkat lanjutan yang ada hanya SMP yang dibuka
oleh sending HKBP mulai tahun 1957.
c. Usaha dibidang kesehatan. Bidang ini juga merupakan perhatian zending,
sehingga sending membangun sebuah RS di pulau Sikakap, dan sebuah
poliklinik masing-masing di pulau Sipora dan di Muara Siberut.
d. Mengenai kehidupan social ekonomi. Tingkat kehidupan social ekonomi
sehari-hari sangat rendah, walau daerah ini mempunyai hasil yang cukup banyak
seperti: kopra, rotan, cengkeh, dll. Namun yang memperoleh keuntungan yang
besar dari hasil bumi mereka adalah pedagang-pedagang yang datang dari luar
terutama orang-orang Minang. Sampai tahun 1957, system perdagangan di
sana masih system tukar menukar barang. Mereka sering memberikan hasil
bumi mereka kepada orang-orang luar hanya dengan memperoleh imbalan
tembakau. Orang-orang Mentawai menganggap mereka kaya, karena di sana
mereka tidak kekurangan bahan makanan berupa sagu, ketela pohon, keladi,
pisang dll.

Tantangan Terhadap Gereja Mentawai


2. Gereja Mentawai juga menghadapi banyak tantangan yang datang dari luar dirinya
antara lain dari gereja RK, dari agama Islam dan agama Baha’i. Gereja RK mulai
bekerja di sana sesudah PD II, mereka mendatangkan kesulitan bagi zending HKBP
karena “pada umumnya orang-orang yang sudah Kristen itulah yang diambil oleh RK
menjadi anggotanya”. Gereka RK mempengaruhi warga Kristen ini dengan berbagai
cara yang menarik antara lain, dengan membangun gereja yang besar dan bagus
walau di tempat itu belum ada anggota jemaatnya. Sebelumnya, apabila zending
mau membangun gedung gereja, partisipasi warga gereja dituntut misalnya dalam
bentuk iuran, bantuan gotongroyong mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan
seperti kayu, batu, pasir dll. Agama Islam juga dicoba dimasukkan di tengah-tenagah
masyarakat Mentawai melalu orang-orang Minang yang datang ke sana. Tetapi
agama Islam sulit diterima oleh orang Mentawai karena: “kebiasaan orang Mentawai
yang suka makan daging babi”. Cara-cara sembahyang Islam yang sulit diikuti oleh
orang-orang Mentawai itu. Adat kebiasaan mereka yang banyak bertentangan
dengan kebiasaan Islam. Misalnya, ketika seorang meninggal dunia, bagi orang
Islam pakaian orang yang meninggal itu tidak boleh ikut dikuburkan bersama
mayatnya, sedangkan menurut kebiasaan orang Mentawai semua pakaian orang
yang meninggal itu harus ikut dikuburkan, tidak boleh ada yang tertinggal, karena
menurut kepecayaan mereka, roh atau hantu orang yang meninggal itu bisa

113
tertinggal dalam pakaiannya. Suatu agama yang baru, yang bersifat sinkritisme
pernah masuk ke Mentawai tahun 1953 yang dibawa oleh seorang Dokter asal Iran
yang bekerja untuk pemerintah RI dan ditugaskan di daerah Mentawai, dan ia tinggal
di daerah Muara Siberut. Agama yang diajarkannya disebut sebagai agama Baha’i
atau Babisme. Agama ini mulai didirikan tahun 1843 di Iran oleh pendirinya yang
bernama Mirza Ali Muhammad dari Shiras. Tetapi karena pengikut agama ini
mengadakan pemberontakan (1848), pemerintah Iran membasmi agama ini dari
negeri itu dan sang pendiri yang bergelar “Bab-ed-Din” yang memperkenalkan diri
sebagai Nabi yang dipercayai oleh orang-orang Jahudi, Kristen dan Islam dihukum
mati. Babisme kemudian dilanjutkan oleh pemimpin yang baru yang bergelar Baha
Ullah (nabi utusan Allah). Ia adalah seorang Iran yang bernama Mirza Hussein Ali
dan mengumumkan dirinya sebagai pengganti Bab-ed-Din. Kaum Baha’i mengimani
hidup sederhana, pendidikan umum kesatuan semua agama, perdamaian dunia,
persamaan kaum pria dan kaum wanita. Agama ini meluas ke seluruh dunia pada
abad 20, dan berpusat di Willmette – AS. Hingga sekarang, banyak pemeluk
agama Baha’i yang sukses di AS dan kaya raya sehingga mereka dapat
membangun sebuah tempat ibadah mereka yang besar dan berlapis emas di Haifa
Israel. Dan kota inilah yang kemudian dijadikan sebagai pusat agama Baha’i.
Sekitar tahun 1953, agama ini mulai masuk ke Indonesia dan sempat berkembang di
wilayah Jakarta, Mentawai dan Jawa Timur. Tetapi karena ada segi-segi kegiatan
mereka tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan sering melawan hukum yang
ada maka pemerintah Indonesia melarangnya tahun 1962. Dari sudut ajaran agama
ini, dapat dikatakan bersifat sinkritis. Mereka yakin tidak ada satu pun agama yang
sudah ada sebelumnya, yang bisa memonopoli kebenaran seratus persen. Mereka
menolak pendapat yang mengatakan “agamaku yang paling benar”. Sebaliknya,
mereka percaya tiga agama yakni :Islam, Kristen dan Jahudi” serta percaya kepada
semua nabi yang dikenal oleh ketiga agama itu sejak nabi Musa, Isa (Yesus Kristus)
dan nabi Muhammd SAW. Setelah agama ini dilarang oleh pemerintah Indonesia,
maka agama ini menjadi hilang dari bumi Indonesia termasuk juga dari daerah
Mentawai.

GKPM Sebagai gereja yang bediri sendiri


3. Tahun 1978, HKBP mengubah status gereja ini dari gereja sending menjadi sebuah
gereja yang berdiri sendiri. Pada waktu itu, namanya yang lama “Paamian Kristen
Protestan Mentawai” (PKPM) diganti menjadi “Gereja Kristen Protestan
Mentawai” (GKPM). Setelah kemandiriannya itu, maka gereja ini dipimpin langsung
oleh putera itu sendiri dengan Ephorus yang pertama: Pdt. Melki Tatubetet, STh, ia
seorang alumni Fakultas theology Universitas HKBP Nomensen. Tetapi walau gereja
ini dikatakan sudah berdiri sendiri, gereja ini masih bergumul pada soal dana dan
sumber daya manusia. Sampai sekarang gereja ini masih tetap dibanrtu oleh HKBP
dan badan-badan gereja lain dari luar negeri.

114
SEJARAH GEREJA BATAK
KARO PROTESTAN (GBKP)

1. Pendahuluan. Denominasi ini adalah jemaat Kristen di Sumatera Utara yang


bertumbuh bukan sebagai hasil misi PI badan zending RMG (Jerman), tetapi
dihasilkan oleh badan misi zending NZG (Nederland Zending Genotschaft)
Belanda. Latarbelakang masuknya NZG di tanah Karo, sangat berhubungan
dengan dibukannya perusahaan-perusahaan perkebunan (khususnya
tembakau) melalui badan perdagangan (VOC) pemerintah Belanda tahun
1860) daerah Sumatera bagian Timur. Perusahaan-perusahaan perkenunan
ini kemudian semakin berkembang ketika tahun 1890 perusahaan minyak
bumi kemudian ditemukan di Brandan (Langkat). Hingga tahun 1890, daerah
Sumatera bagian Timur (Deli) penduduknya dominan dihuni oleh suku
Melayu (sebagai penduduk asli), suku Jawa (mereka khusus didatangkan
sebagai tenaga kerja di berbagai perkebunan dan pabrik-pabrik yang
didirikan oleh Belanda) dan orang Tionghoa yang datang untung tujuan
perdagangan mereka. Fenomena ini, mempengaruhi berkembangnya
beberapa kota di daerah Sumatera bagian Timur seperti misalnya, Binjai,
Medan dan Tebing Tinggi di mana kehidupan social masyarakat di kota-kota
ini tidak lagi dipengaruhi oleh hubungan daerah seperti halnya di daerah suku
yang masih murni. Daerah pedalaman sebelah Utara Danau Toba yang
didiami oleh suku Batak Karo (masih serumpun dengan Batak Toba)
penduduknya secara langsung mendapat pengaruh kuat dari pendirian
perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda ini. Akhrinya mereka semakin
terdesak, dan makin jauh masuk ke pedalaman yang melaluinya msayarakat
Karo sadar terhadap penyerobotan tanah mereka oleh perusahaan
perkebunan Belanda. Awalnya masyarakat Karo sangat tegas menolak
kehadiran perusahaan-perusahaan Belanda ini, dan aksi yang mereka
lakukan menolak perusahaan-perusahaan ini adalah melalui membakar
gedung-gedung perkebunan Belanda.

2. Latarbelakang GBKP sebagai gereja hasil misi PI NZG. Sejak awalnya,


tajamnya penolakan masyarakat Karo terhadap pendirian perusahaan-
perusahaan Belanda di daerah mereka (Sumatera bagian Timur - daerah
Langkat sekarang) merupakan alasan kuat bagi pemerintah kolonial untuk
mendatangkan para misionaris melalui badan misi NZG dari Belanda untuk
“merngkristenkan” masyarakat Karo. Ini dapat dikatakan bahwa inisiatif

115
pertama pengkristenan Karo, ini diprakarsai oleh perusahaan perkebunan
Belanda bukan badan zending. Akibat gangguan yang dialami oleh
perusahaan perkebunan itu, maka pimpinan perusahaan Belanda meminta
NZG mengutus para misonaris kepada orang Karo dengan satu-satunya
harapan agar masyarakat Karo dapat di “jinakkan” atas peristiwa gangguan
itu. Tawaran perusahaan perkebunan itu kepada pihak badan zending RMG
adalah, bahwa mereka akan menanggung semua biaya misi kepada
masyarakat Karo. Awalnya, pimpinan NZG di Belanda tidak menerima
permintaan ini, alasannya misi PI tidak boleh dicampuradukkan dengan
urusan perdagangan (kapitalisme). Namun, sadar akan rencana pertama
yang tertunda oleh pihak NZG untuk mengabarkan Injil di Karo (karena
ketiadaan biaya) maka tawaran ini dianggap sebagai peluang dan
kesempatan baik walau di kemudian hari setelah perjanjian ini dilaksanakan
pihak perusahaan tidak melanjutkan biaya misi NZG itu karena ketiadaan
biaya sebab krisis ekonomi ketika itu. Dengan keadaan seperti itu, NZG tetap
melanjutkan pekerjaan misi di Karo.

3. Sejak awal perjanjian ini, misionaris pertama yang di utus ke tanah


karo ialah H. C. Kruyt yang tiba di sana tanggal 18 April 1890. Tanggal inilah
kemudian ditetapkan oleh GBKP sebagai hari lahir Gereja itu. H.C.Kruyt
adalah anak dari J.Kruyt, seorang penginjil yang pernah bekerja di
Majowarno-Jawa Timur dan abang dari A.C.Kruyt (seorang etnologi
ternama) misionaris Ordo Yesuit di Sulawesi Tengah. Sebelumnya, H.C.
Kruyt bekerja sebagi kepala sekolah Guru di Tomohon, Minahasa. Dari
Minahasa dia membawa empat orang guru yang diharapkan akan bisa
membantu dirinya memberitakan Injil tanah Karo. Setibanya di Tanah Karo,
mereka kemudian menetap di Buluh Hawar (dekat Sibolangit), sebab
pemerintah Belanda belum mengijinkan mereka masuk lebih jauh ke daerah
yang waktu itu belum dikuasai oleh Belanda. Tetapi Kruyt bekerja di tanah
Karo hanya dua tahun, lalu ia pulang ke Negeri Belanda. Karena itu yang
menjadi tokoh penginjil yang paling terkenal di tanah Karo bukanlah dirinya,
melainkan J.H.Newmann yang bekerja di daerah itu dari tahun 1900 – 1949,
yang oleh orang Karo menganggap Newmann sebagai rasul mereka.
Setelah H.C.Kruyt pulang, ia diganti oleh Van Wijngaarden (1892), inilah
misionaris pertama yang melakukan pembaptisan pertama di Tanah Karo di
mana peristiwa itu berlangsung tanggal: 20 Agustus 1893, atas 6 orang Karo
dan sampai tahun 1900 tidak lebih dari 25 orang yang di baptis menjadi
Kristen. Baru setelah kedatangan Newmann penginjilan di daerah Karo
mengalami perkembangan yang lebih cepat. Jika dibandingkan dengan
penginjilan yang dilakukan Nommensen di Tapanuli Utara, hasil yang dicapai
di Tanah Karo sangatlah lambat. Pada tahun 1926, jumlah orang Krsiten
yang di baptis di Karo masih 1500 orang, dan setelah 50 tahun penginjilan itu
orang Kristen karo masih berjumlah 5000 orang.

Beberapa factor yang membuat penginjilan itu kurang maju di sana ialah:

116
- Orang Karo melihat Zending itu sebagai sahabat perusahaan
perkebunan yang mereka musuhi, karena makin mendesak mereka.
- Orang Karo tidak terdesak oleh Islam yang militan seperti
halnya di Tanah Batak bagian Selatan sehingga para misionaris kurang
berpacu melakukan penginjilan itu.
- Orang-orang Karo pada waktu itu belum membutuhkan
zending sebagai sarana untuk menampung modernisasi.
- Orang-orang karo kurang diberi kesempatan untuk
menanggung sendiri karya pekabaran Injil di daerahnya. Zending memang
terus berusaha mendirikan sekolah penginjil agar dari orang Karo itu ada
tenaga yang ikut membantu pekabar-pekabar Injil yang diutus oleh NZG.
Kemudian dari antara mereka tahun 1938 dipilih dua orang untuk di
sekolahkan mengikuti pendidikan kependetaan di Seminari Sipoholon,
Tarutung. Kedua orang itu tammat dan ditahbiskan menjadi pendeta,
tahun 1941. jadi sampai Gereja itu berumur 50 tahunn yakni tahun 1940,
belum ada satu orangpun pendeta Karo ditahbiskan.

Tetapi peranan Zending sangat besar dalam mendidik masyarakat Karo


menyesuaikan diri dengan ekonomi modern dengan jalan menanam kentang,
sayur-sayuran, buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan kota-kota besar di
Sumatera Utara bahkan dikemudian hari hasil tanaman sayur-sayuran tanah
Karo telah ada di ekspor ke luar negeri. Dari sudut inilah diketahui partisipasi
besar misionaris terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
masyarakat Karo hingga sekarang.

4. Terbentuknya Sinode GBKP yang pertama (1941). Sinode “Gereja


Batak Karo Protestan” (GBKP) yang pertama dilangsungkan di Sibolangit tanggal 21
Juli 1941, saat sinode ini berlangsung, mereka menetapkan sebuah tata Gereja dan
tata kebaktian yangbaru dan berlaku bagi Gereja itu. Pada tahun itu dua orang
pendeta Karo yang pertama telah ditahbiskan, yakni Thomas Sibero dan Palen
Sitepu, namun pimpinan gereja masih tetap dipengang utusan NZG. Masa
bergejolaknya PDI, para pendeta Belanda itu ditawan oleh pemerintah militer Jepang
tahun (1942), atas keadaan ini barulah kemandirian Gereja Karo berlangsung secara
penuh. Masa perang kemerdekaan (1945-1949), ini mempengaruhi terjadinya
perjuangan yang sengit khususnya di daerah Karo. Masa keadaan ini orang Kristen
Karo mendapatkan tantangan sengit dari suku Melayu yang berdekatan langsung
dengan mereka. Sebab baik orang Karo yang belum Kristen, maupun orang Melayu
yang eusdah menjadi Islam, mereka menganggap orang-orang Kristen Karo yang
dihasilkan oleh Zending NZG (Belanda) mereka dianggap (juga oleh pejuang
kemerdekaan Indonesia) sebagi kaki tangan Belanda, namun dalam situasi sulit
seperti itu warga jemaat GBKP tetap mampu dan berhasil mempertahankan dirinya.
Perkembangan kekristenan yang lebih pesat di tanah Karo baru terjadi mulai tahun
1950-an. Pada waktu itu banyak tentara dari suku Karo yang masuk Kristen.
Misalnya tahun 1953, semua anggota satu batalyon TNI masuk menjadi Kristen.
Dalam masa lima tahun anggota GBKP berlipat empat kali jumlahnya. Pertambahan
yang lebih besar lagi terjadi sejak peristiwa G30SPKI tahun 1965, pada waktu itu
banyak orang Karo belum beragama dan mereka beranggapan bahwa jika tidak
memasuki agama Kristen mereka akan dituduh sebagai komunis. Karena itu secara

117
beramai-ramai masuklah orang-orang yang masih pelbegu itu menjadi Kristen, yang
membuat sering terjadi pembaptisan massal. Untuk melayani pembaptisan massal
itu GBKP terpaksa meminta beberapa tenaga beberapa pendeta dari HKBP, HKI,
GMI, GKPS, dll. Tahun 1965 itu, ketika GBKP berusia 75 tahun, jumlah anggotanya
mencapai 35 ribu orang. Kemudian gerakan penginjilan yang lebih intensif mulai
dilakukan oleh GBKP menjelang tahun 1980, ketika gereja itu sudah beranggotakan
110 ribu orang. Misalnya tahun 1979, gereja itu telah menyusun suatu Pengakuan
Iman yang memberi patokan iman dan anjuran bagi warga gereja di GBKP.

PERKEMBANGAN GEREJA METHODIST


INDONESIA DI SUMATERA UTARA

1. Pendahuluan. Berbicara mengenai sejarah GMI, perlu diketahui terlebih


dahului mengenai sejarah permulaan dari gereja Methodist itu. Sebagaimana
diketahui bahwa gereja Methodist muncul di Inggris tahun 1738 sebagai hasil
dari gerakan kebangunan rohani yang telah dic etuskan oleh Jhon Wesley.
Aliran Methodisme ditandai oleh tekanan atas kehidupan suci dan displin
gereja yang sangat ketat. Gereja ini kemudian berkembang di Amerika yang
dibawakan oleh kaum imigran Inggris ke Amerika. Dan pada tahun 1784,
penganut-penganut gereja Methodist di Amerika telah memisahkan diri dari
gerakan di Inggris, dengan mendirikan gereja yang tersendiri yang dipimpin
oleh uskup-uskup (episkopal Methodist Church). Tahun 1818, gereja ini
membentuk sebuah badan penginjilan yang bernama: “Board of Mission
and Church Extention of The Methodist Church” atau “Dewan Pekabaran
Injil dan Perluasan Gereja Methodist”. Tahun 1855, badan penginjilan ini
mulai bekerja di Malaka dan Singapura dan dari sana mengembangkan
usaha penginjilannya sampai ke Kalimantan, Jawa dan Sumatera. Karena
tidak cukup tenaga dan dana untuk membiayai lapangan penginjilan yang
seluas itu, maka tahun 1928 zending Methodist membatasi diri pada pulau
Sumatera saja. Di Sumatera pun zending Methodist dapat menempuh
pekerjaan yang intensif hanya di Sumatera Utara dan di Palembang. Mereka
bekerja terutama di kalangan orang Cina yang tinggal di kota-kota dan orang
Batak perantauan. Karya penginjilan di Sumatera Utara, khususnya di Medan
di mulai tahun 1905, yang dirintsi oleh sejumlah bekas murid sekolah
Methodist di Penang yang dipimpin oleh seorang guru tamatan sekolah
Penang itu yang bernama Salomo Pakianathan (orang Tamil). Mereka mulai
mengadakan kebaktian Methodist dan mendirikan sekolah sekolah
khususnya bagi orang-orang Cina yang ada di tempat itu.

2. Perkembangan Selanjutnya Methodist Hingga Ke Sumatera Utara. Pada


tahun 1912, seorang pendeta utusan dari Amerika tiba di Medan. Misionaris
Methodist inilah yang pertama sekali melakukan perjanjian kerjasama dengan
zending RMG (gereja Batak) untuk melayani sebagian orang-orang Kristen
Batak yang pindah dari Tapanuli ke Sumatera Timur dan yang untuk bekerja
di perkebunan-perkebunan, pegawai pemerintah dan juga membuka lahan-
lahan pertanian yang baru. Tenaga RMG dan pendeta Batak tidak cukup

118
untuk ditempatkan untuk melayani mereka yang berserak di beberapa
tempat, sehingga RMG (gereja Batak) meminta bantuan dari misionaris
Methodist ketika itu. Pelayanan Ini didanai oleh uskup gereja Methodist dari
Singapura dengan mengirimkan beberapa pendeta dari evangelist Methodist
ke daerah Sumatera Timur. Dan untuk menghindari adanya salah paham dan
perselisihan di antara ke dua belah pihak, maka tahun 1912 ditetapkalah
perjajian ini yang isinya terutama menyangkut pembagian daerah pelayanan:
“gereja Methodist diberi kesempatan untuk melayani di daerah Asahan,
Labuhan Batu sampai ke daerah Bengkalis” sedangkan gereja Batak
(pimpinan RMG) akan melayani di daerah Deli Serdang dan Langkat.
Sedangkan daerah Simalungun sudah lebih dulu dilayani oleh misionaris
yang diutus oleh RMG (gereja Batak) dan khususnya mengenai daerah-
daerah perkebunan jika di sana sudah ada pendeta dari Tapanuli, maka
kepada orang-orang Kristen Batak yang ada di sana diberi kebebasan
apakah memilih pelayanan Methodist atau memilih pelayanan pendeta dari
Tapanuli itu (gereja Kristen Batak atau HKBP).

3. Tindaklanjut Realisasi Perjanjian Methodist dan RMG (gereja Batak). Kerjasama


antara gereja Methodist untuk seterusnya berjalan dengan baik, termasuk dalam
pendidikan kependetaan. Gereja Methodist juga menyekolahkan putera-puteranya di
Sekolah Seminari Sipoholon. Tenaga pengejar dari Methodist pun pernah di utus ke
Seminari Sipoholon yakni: Pdt. Klaus. Demikian juga setelah berdirinya Fakultas
theology di Pematangsiantar, gereja Methodist pernah mengutus tenaga pengajar
seperti Rev. Alm dan Rev. H. Parkin. Di kemudian hari, pernah terjadi perselisihan
di antara kedua gereja ini yang disebabkan oleh pemahaman dan penafsiran yang
berbeda mengenai isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya tahun 1912.
Setelah semakin banyak orang-orang Kristen Tapanuli (warga HKBP) yang pindah
ke daerah Asahan dan mereka tetap menginginkan agar dilayani dan menjadi warga
HKBP, maka mereka mendirikan gereja HKBP di sana seperti di Tanjung Balai
misalnya. Tindakan ini, dianggap oleh gereja Methodist sebagai pelanggaran
terhadap perjanjian yang pernah dimufakati. Karena itu, gereja Methodist pun
akhirnya melanggar kesepakanan itu dengan mendirikan beberapa gereja Methodist
di Tapauli Utara untuk menanmpung warga HKBP yang sedang bergelak seperti
yang pernah terjadi di Sigumpar. Pada mulanya, secara organisatoris, zending
Methodist dan gereja-gereja yang dihasilkannya dibawahi uskup di Singapura yang
merupakan warga negara Amerika Serikat. Pada masa konfrontasi Indonesia
dengan Malaysia, hal ini menimbulkan persoalan. Maka pada tahun 1964, dimulailah
proses menuju otonomi yang selesai tahun 1969 dengan pengangkatan seorang
warga negara Indonesia menjadi uskup yang berkedudukan di Medan. Gereja
Methodist Indonesia sesuai dengan pola Methodist terdiri dari dua “konferensi”
(sinode wilayah). Yakni, konferensi sumatera Utara dan konferensi Sumatera
Selatan. Kedua konferensi ini dipersatukan dalam sinode Am-nya yang disebut
sebagai “konferensi agung”. Konferensi agung inilah yang memilih uskup gereja itu.

4. Penutup. Belakangan ini, gereja Methoist mengalami perkembangan yang sangat


pesat di kalangan orang-orang Tionghoa. Hingga sekarang, gereja ini sangat aktif
dan maju melalui usahaa-usaha pendidikan mulai dari sekolah taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi. Di kota Medan sendiri, gereja in telah memiliki satu
Universitas yang cukup besar dan ternama. Hingga sekarang juga, gereja ini tidak

119
luput dari persoalan-persoalan yang menimbulkan perpecahan. Tahun 1964, gereja
Methodist telah mengalami perpecahan, yaitu dengan berdirinya sebuah gereja yang
memisah yakni: “gereja Methodist merdeka, yang persoalannya hampir sama
dengan persoalan yang menyebabkan perpecahan GKPI dari HKBP yang juga
terjadi tahun 1964.”

BIBIT-BIBIT KONFLIK DALAM GEREJA


BATAK DALAM SEJARAH

Pendahuluan
1. Dalam pelayanan jemaat, terdapat berbagai kelompok yang sering menjadi
pemicu dan pencetus/penggerak conflik. Mereka disebut sebagai musuh-
musuh dalam jemaat yang kalau tidak ditangani sedemikian rupa bisa
mengakibatkan masalah bahkan konflik yang besar. Mereka sering
melancarkan serangan kepada para pelayan dan kepemimpinan di jemaat
dengan mempergunakan kekuatan dan pengaruh mereka. Tanpa bukti yang
jelas dan substansial, mereka mau menyampaikan tuntutan dan serangan
kepada para pelayan. Musuh-musuh utama ini sering menolak bahkan tidak
mau mendengar apa yang masuk akal. Tujuan utama mereka hanyalah
menimbulkan kekacauan. Sebenarnya, tidak semua konflik itu tidak sehat
artinya: ada konflik yang sehat. Sangat alamiah jika ada perbedaan-
perbedaan pendapat tentang pengelolaan jemaat, tentang tafsiran Alkitab
dan lain-lain. Gereja adalah persekutuan orang berdosa bukan persekutuan
orang yang sudah sempurna. Jika demikian, kehadiran konflik dalam
persekutuan yang demikian sangatlah masuk akal. Namun yang menjadi
masalah adalah jika konflik tersebut melumpuhkan dan merusak pelayanan.

Berhubungan dengan ini, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam
mengatasi konflik, antara lain:
a. Menciptakan suasana yang kondusif
b. Melakukan klarifikasi persepsi dari masing-masing pihak yang terlibat
dalam konflik
c. Memfokuskan analisa pada kebutuhan masing-masing individu dan
kebutuhan bersama.
d. Membangun kekuatan yang positif. Di sini ajaran dan kepercayaan kita
orang Kristen dipraktekkan
e. Memandang dan berharap akan masa depan yang lebih baik dan belajar
dari masa lalu
f. Memunculkan beberapa opsi atau alternatif pemecahan maalah
g. Mengembangkan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan
h. Melihat dan memformulasikan kesepakatan-kesepakatan yang
menguntungkan semua pihak. Untuk sampai ke tahap ini harus disepakati
juga bahwa masing-masing pihak harus mau dan mampu mengalah.

120
2. Dalam hubungannya dengan tema ini, ada lima hal keadaan yang menjadi
pokok perhatian, jika hendak ditelusuri sejarah perjalanan gereja Batak saat
jatuh bangun akibat konflik yang terjadi di dalam dirinya, yakni:
a. Bibit-bibit konflik sudah bersemi sejak berdirinya jemaat di kalangan orang
Batak, yakni sejak tahun 1860-an pada jaman zending RMG. Hal ini
terjadi karena gereja Batak lahir dan bertumbuh di atas realitas hidup
orang Batak, bukan di atas tanah yang kosong (hampa).
b. Para pelayan jemaat-terutama para pelayan penuh waktu, yakni: pendeta,
guru huria, bibelvrouw, diakones, evangelist, dan sintua tidak pernah luput
dari bahaya konflik yang terjadi di tengah-tengah kehidupan mereka
sebagai komunitas kristiani.
c. Beberapa hal dapat dianggap sebagai titik-titik rawan dari berbagai konflik
itu.
i. Apa yang harus kita lakukan agar gereja Batak (HKBP) dapat keluar dari
konflik itu. Jalan terbaik bukanlah mencari siapa yang menang dan kalah
tetapi supaya semangat saling memaafkan dan bersama mencari solusi
“sama-sama menang” (win win solution) saat muncul konflik itu.
j. Bagaimana kita melihat diri kita sebagai pelayan yang punya power
(sederhananya: kuasa) dari segi teologis-pastoral ?
Beberapa segi inilah yang merupakan lingkaran pemikiran (pelayan HKBP
sekarang secara umum) yang perlu dijalani secara spritual saat ini.

Bibit-Bibit Konflik Dalam Organisasi Gereja Batak


Dan Warga Jemaat Sejak Awal
3. Terdapat berbagai bibit konflik di dalam organisasi dan warga jemaat.
Sehubungan dengan kehadiran para tokoh misionaris di tengah-tengah
masyarakat Batak, di sekitar para calon baptisan muncul rasa cemburu satu
sama lain. Mereka mencari posisi siapa yang terdekat pada sang misionaris,
contoh klasik tentang hal ini adalah: dari masa I.L. Nomensen di Silindung
adalah persaingan antara Raja Pontas Lumbamntobing dan Raja
Amandari Lumbantobing. Bibit konflik juga muncul ketika tokoh misionaris
mencari, memilih dan menggunakan sebidang tanah untuk dijadikan
pertapakan pargodungan, pendidikan, kesehatan atau bidang diakoni sosial.
Hal ini menyangkut masalah asset jemaat/gereja. Dalam beberapa kasus,
ada semacam perjanjian bahwa lahan itu bisa dipakai atau dimiliki oleh
badan zending sejauh dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan zending tetapi
ada juga yang tanpa perjanjian, artinya sepenuhnya dihibahkan kepada
zending. Ketika zending RMG harus keluar dari Hindia Belanda (Indonesia)
terjadilah kemelut yang mengakibatkan banyaknya asset zending yang
pindah tangan bukan kepada HKBP tetapi kepada orang atau kelompok yang
mengambilnya. Sampai saat ini HKBP masih harus sibuk menyelesaikannya
melalui jalur hukum dan jalur menang-menang (berbagai cara). Seiring
dengan perkembangan waktu, jemaat itupun mempunyai satu pedoman
hidup kristiani yang tertuang dalam apa yang dikenal dengan ruhut
paminsongon (yang kemudian diperbaharui menjadi RPP: Ruhut
Parmahanion dohot Paminsangon). Dalam menjalankannya, selalu muncul

121
pro dan kontra karena di antara mereka ada yang merasa bahwa keputusan
itu tidak benar/tidak adil, pilih kasih dan lain-lain. Apa benar tidak adil ? Kalau
benar bagaimana memperbaikinya ? Kalau tidak benar, bagaimana cara
untuk memberi penjelasan sehingga kesalahpahaman dapat terselesaikan ?
Bibit konflik yang lain, muncul karena dipicu oleh konflik social di luar jemaat.
Seiring waktu konflik eksternal itu merasuki kehidupan jemaat sehingga
menjadi konflik internal jemaat. Munculnya tokoh yang mengajak warga
jemaat memisahkan diri dari zending RMG juga melahirkan konflik. Kasus
Sutan Malu Panggabean misalnya muncul di Pematangsiantar yang
melahirkan Huria Chisten Batak (HChB yang kemudian menjadi HKI).
Ajakan pemisahan dari tokoh-tokoh lain melahirkan Mission Batak di Medan
dan Punguan Kristen Batak (PKB di Jakarta). Sementara tokoh-tokoh
Simalungun juga melakukan gerakan serupa karena masalah pemakaian
bahasa Simalungun untuk warga asal Simalungun di Jemaat
Pematangsiantar, Kampung Kristen dan lain-lain. Pemikiran dan pemahaman
baru tentang peranan gereja/zending dalam gerakan kebangsaan tahun 1917
juga melahirkan organisasi baru. Tokoh Kristen Batak yang harus dicatat di
sini adalah Hesekiel Manullang yang melahirkan Hatopan Kristen Batak
(HKB). Pdt. Herkules Marbun dan kawan-kawan muncul dengan semangat
keandirian dengan menuntut tempat pelayanan bagi pribumi di bidang
kepemimpinan, hal ini terjadi tahun 1920-an. Kemunculan yayasan pengelola
pendidikan di kalangan warga jemaat juga memicu konflik. Tahun 1930-an
misalnya muncul kasus Nomensen Shcoolvereeniging (Yayasan Sekolah
Nomensen di Sigompulon Tarutung). Konflik yang sering muncul adalah
konflik kepemimpinan Synodal (Hatopan). Konflik ini berlangsung sejak tahun
1960-an hingga tahun 1990-an. Akibatnya, tahun 1960-an, muncul
perpecahan gereja yang melahirkan GKPI. Perpecahan di kalangan pelayan
penuh waktu terjadi tahun 1970-an. Sementara konflik tahun 1990-an
mengakibatkan korban banyak materi dan juga korban jiwa.

Bibit Konflik Dalam Kehidupan Pelayan


4. Beberapa titik rawan dalam kehidupan pelayan adalah:
a. Mutasi: sikap tidak menerima karena berbagai alasan
b. Kompleks pargodungan: Konflik di antara anggota keluarga (sang isteri,
anak-anak, bahkan kerabat).
c. Pembaian tugas antara pendeta resort dengan pelayan lainnya: hal ini
biasanya melahirkan konflik antara pendeta resort dengan pendeta
diperbantukan, guru huria, bibelvrouw, diakones dan sintua
d. Hamauliateon (uang ucapan syukur): Ucapan syukur dalam bentuk uang
yang diberikan warga jemaat dan biasanya dicatat dalam warta jemaat
mingguan menjadi titik rawan munculnya konflik karena pembagiannya
bisa menimbulkan masalah.
e. Penatalayanan harta/uang/administrasi gereja; hal ini juga menjadi titik
rawan konflik petugas tertentu, biasanya mengelola aset gereja, misalnya
bendahara huria/resort, petugas keuangan dalam berbagai bidang,

122
lembaga atau kepanitiaan, misalnya dalam pembangunan gedung gereja
atau rumah inventaris gereja (jabu huria, jabu resort).
f. Pengambilan keputusan dalam rapat jemaat/rapat resort
g. Hubungan dengan pemerintah (pilkada tingkat desa, kecamatan maupun
kabupaten, juga partai politik). Titik rawan ini juga menyangkut masalah-
masalah social yang menyangkut ketidakadilan, korupsi, HAM, judi/togel
(dulu), lingkungan hidup, adat/kebudayaan dan lain-lain. Contoh kasusnya
adalah Indorayon (kini PT. TPL–Toba Pulp Lestari).
h. Geraka sectarian dan kharismatik.
i. Gerakan-gerakan yang berbau sara, fundamentalisme, kekerasan fisik,
fsikologis, ideologis dan teologis. Hal ini menyangkut juga kehidupan antar
umat beragama.
j. Pemilihan pimpinan gereja dalam tingkat Synodal (hatopan).

Ambiguitas (Sikap Menduahati/Dualisme) Kekuasaan/Power Pelayan Gereja


5. Secara teoritis setiap pelayan memiliki tiga corak power/kekuasaan di dalam
jemaat, yakni:
a. Kekuasaan yang mendominasi karena keahliannya dari segi pendidikan
atau materi yang diraih. Contoh: Daud ketika masih junior….!
b. Kekuasaan kharismatis yang ada di dalam diri sendiri. Contoh: Goliat …!
e. Kekuasan karena keahlian mempengaruhi orang lain. Contoh: Delila
(negatif), (contoh Positif: Paulus, I.L. Nomensen), dan lain-lain …!

Ketiga kekuasaan ini bisa menumpuk dalam diri seseorang pelayan, bisa
hanya satu atau dua. Sebagai seorang pemimpin, seorang pelayan dapat
berperan sebagai penguasa dari atas (bos), bisa sebagai kepala keluarga
(orangtua) dan biasa sebagai birokrat mewakili sebuah pranata, lembaga
atau institusi. Artinya, power itu bisa tampak dalam ketiga penampilan itu.
Sebagai pemimpin, pelayan dapat mempergunakannya untuk mencapai
berkat bagi pranata yang dia pimpin tetapi bisa menjadi bencana bahkan
kutukan bagi pranata yang dilayani. Masalahnya, bagaimana menyikapi
ambiguitas power pelayan ini, dia dapat menjadi berkat kalau digunakan
untuk mencari apa yang dibutuhkan oleh pranata (jemaat/gereja) tetaspi
sebaliknya akan menjadi bencana kalau dipakai untuk kepentingan pribadi
(kelompok). Sebagai pemimpin, seorang pelayan diberi kebebasan untuk apa
ia menggunakan power yang ada di dalam dirinya. Jika punya kuasa sebagai
atasan terhadap bawahan, kekuasan itu bisa digunakan sebagai alat yang
menjalin hubungan alamiah yang baik seperti hubungan ayah-anak, pelayan
jauga bisa mengandalkan kuasa birokratis yang tersedia dalam struktur atau
system organisasi yang tersedia. Ketiga macam bentuk itu, bisa dipakai
menjadi kebaikan, tetapi bisa juga menjadi bencana. Seorang pelayan harus
siap memilih yang terbaik untuk jemaat/gereja jika benar-benar ia seorang
pelayan yang melayani dan bukan pelayan yang menguasai, mendominasi
bahkan meneror orang yang kebetulan adalah “bawahan”. Kalau pelayan
ingin dan komit memakai power itu untuk menjadi berkat bagi warga
jemaat/gereja, maka ia akan selalu bersikap arif dan bijaksana dalam

123
mengelola konflik yang terjadi dalam jemaat yang dipimpin dengan solusi
“sama sama menang”. Sebagai teolog pelayan dapat membenarkan sikap
otoriternya dengan mengambil gambar Allah yang pemarah, hakim, tuan.
Contohnya banyak bisa ditemukan dalam cerita-cerita PL. Kalau pelayan
cenderung bersikap kebapaan, keibuan dalam kepemimpinan hendaknya
seorang pelayan dapat mengambil gambar Allah sebagai Bapak atau Ibu.
Contohnya juga banyak dalam cerita-cerita PB. Kalau ingin bersikap sebagai
juru damai, mediator di antara orang yang bertikai di tengah jemaat gerejawi
yang dipimpin, lihatlah Tuhan Allah dalam diri Yesus Kristus yang telah
mengosongkan dirinya itu (kenosis: lih. Fil. 2:5-11). Allah itu adalah
penguasa, Tuhan, hakim, yang telah mengosongkan keilahian diriNya supaya
menjadi manusia di tengah-tengah manusia yang bertikai itu. Dia menjadi
hamba, pelayan, orang hukuman. Inilah gambaran yang paling mulia dan
paling khas tentang bagaimana Allah menggunakan Power yang di atas para
bawahan. Gambaran Allah yang ber-kenosis itu, sangat berlawanan dengan
gambaran para penguasa dunia ini yang memakai power itu menjadi sumber
segala macam perang, tirani atau birokrasi yang korup. Makna yang sering
digunakan seperti empowerment (pemberdayaan/menyemangati),
sebenarnya ungkapan ini menyimpan makna dari gambaran Tuhan Allah
yang ber-kenosis sekalipun hal itu tidak memperlihatkan semua arti
sesungguhnya kenosis itu. Alasannya, kalau kita menerima power-kuasa dari
Tuhan Allah maka kita diberdayakan dan disanggupkan olehNya, sekaligus
Allah meminta atau menuntut sesuatu dari kita. Kita dipanggil menjadi
muridNya, menjadi pengikutNya untuk menjalani proses kenosis dalam
perjalanan hidup leyanan kita itu. Dalam hal ini kita harus menjaga diri
supaya jangan mengambil tempat Tuhan Allah dan Yesus Kristus. Jangan
kita mengangkat diri menjadi seperti Tuhan Allah, atau menjadi ilah-ilah yang
harus dipuja-dipuji oleh para jemaat. Melalui istilah pemberdayaan
(empowerment) ini, kita diingatkan supaya melihat Tuhan Yesus yang
menderita. Allah yang menderita tampak dalam peristiwa penyaliban,
peristiwa penyaliban yang mempertontonkan titik nadir dari power/kuasa yang
sudah korup, baik di kalangan pemimpin Jahudi maupun di kalangan
pemimpin sekuler yang diwakili oleh para petinggi kekaisaran Romawi. Entah
itu kaisar Agustus atau pun petinggi di Palestina yang bernama Herodes atau
Filatus. Di tengah kekacauan itulah terjadi peristiwa penyaliban Tuhan Yesus
Kristus yang menggunakan Power yang ada padaNya untuk tidak
bersekongkol dengan power/kuasa yang disalahgunakan oleh para penguasa
tersebut di atas. Tuhan Allah solider dengan orang-orang yang menderita
atas penindasan dan ketidak adilan dari mereka yang telah
menyalahgunakan power atau kuasa yang mereka raih. Tuhan Allah ikut
menderita di tengah-tengah manusia yang menderita itu. Apa artinya ini, di
dalam hal mengelola konflik di dalam jemaat/gereja ? Sebagai pemegang
kuasa, pelayan jangan ikut-ikutan menyalibkan Yesus ketika terjadi konflik di
tengah pelayanan kelak. Ikutlah jejak Yesus yang rela menahan
penyalahgunaan power/kuasa itu demi pepentingan pribadi dan kelompok.
Konflik dalam jemaat tidak sama makna dan artinya dengan konflik yang

124
terjadi di dalam masyarakat atau negara, karena jemaat atau gereja adalah
rumah Allah. Sepatutnyalah keluarga Allah harus seiring dengan teladan
Yesus Kristus, bukan sebaliknya. Tugas dan tanggungjawab kita sangatlah
mulia dan agung, karena sebagai pelayan kita berada pada jalan menuju
perdamaian (rekonsiliasi) yang dari Tuhan Allah.

Dua Kepentingan: Pranata (jemaat/gereja) dan Manusia


6. Secara teoritis sebagai pemimpin, pelayan harus menggumuli masalah
bagaimana cara memuaskan kebutuhan lembaga pelayanan tanpa
membahayakan citraanya sebagai mana murid Yesus Kristus. Ingatlah apa
yang dituntut oleh Yesus dari muridNya, yaitu ikut ber-kenosis sangat
menggunakan power/kuasa itu di tengah konflik yang mengarah pada
penyalahgunaan power/kuasa itu. Anda punya pengikut yang anda raih
karena keunggulan anda mempengaruhi mereka untuk tujuan yang benar
dan baik/kebutuhan pelayanan. Anda juga dipengaruhi oleh mereka yang
punya berbagai kepentingan dan kebutuhan. Anda mungkin sudah pernah
merasa terjepit dalam dua kepentingan, yaitu kepentingan jemaat/gereja dan
kepentingan pribadi-pribadi anggota jemaat yang mengikut anda. Apakah
anda sudah merasakan bahwa dalam ketergantungan sedemikian rupa itu,
kehidupan anda dan mereka yang anda pimpin itu diuji supaya sama-sama
bertumbuh secara rohani dan spritual ? Inilah tandanya anda sebagai
pemimpin (gembala) yang mengasihi. Anda pasti merasakan bahwa jemaat
mempunyai struktur atau system yang kadang-kadang lebih kaku, lebih
lamban daripada anda sendiri sebagai manusia. Kita merasakan juga bahwa
kita terjepit antara kebutuhan kita/keluarga sendiri dan tuntutan institusional
dari jemaat. Kenaliah situasi jemaat di mana anda menggunakan power
(kuasa) melayani. Karena terdapat jemaat/gereja yang baik maupun yang
buruk seperti ada pemimpin yang baik dan ada pemimpin yang jahat/jelek.
Dan tidak semuanya pemimpin itu adalah gembala. Jangan heran kalau anda
pernah merasakan tekanan jemaat atau tekanan system sebagai “gejala
kejahatan” seperti pernah diingatkan oleh oleh para ahli sejarah dalam
gereja. Artinya, kita harus sampai pada suatu arah pemahaman bahwa ketika
kita merasakan tekanan jemaat (system) sebagai tekanan seseorang yang
berada di atas kita maka pada saat itu kita mengalami bahwa power/kuasa
yang tersimpan dalam system/struktur tersebut dirasakan menindas kita.
Artinya, system yang berlaku tidak luput dari kejahatan atau kecurangan.
Dengan kata lain sesungguhnya yang pertama kali dirasuki oleh kejahatan itu
adalah jemaat/gereja lalu pindah kepada individu-individu yang berada pada
lembaga itu. Dalam proses demikian tidak mustahil pula bahwa kejahatan
lembaga itu dapat mengubah gembala menjadi dictator atau tiran yang
dikuasai oleh gairah kejahatan dan keserakahan. Gereja sebagai satu
lembaga pranata di dunia ini juga tidak luput dari bahaya ini bahkan sering
menjadi sasaran kejahatan system atau pranata. Dari pengalaman banyak
orang pelayan di HKBP, dapat ditambahkan bahwa para pelayan ke depan
harus sadar, “sebaik apapun struktur jemaat gereja, kalau perilaku
pelayan/budaya berorganisasi HKBP korupt/jahat maka hasilnya akan

125
membawa bencana bahkan kehancuran pada gereja HKBP”. Artinya, yang
paling penting adalah mempersiapkan diri agar mampau berorganisasi
secara sehat dan bukan secara sakit. Intinya, konflik yang terjadi sesaat atau
berkepanjangan dalam sejarah HKBP menandakan bahwa alangkah
lemahnya dan rapuhnya budaya berorganisasi gereja HKBP. Seolah-olah
setiap pribadi pendetalah yang menjadi biang masalah, seolah-olah segala
sesuatunya terletak dalam pikiran dan keputusan pribadi pendeta sehingga
tidak perlu lagi membaca dan memberlakukan aturan/pedoman kerja yang
berlaku. Sikap korupt yang seperti inilah bibit konflik yang paling mudah
muncul dalam jemaat HKBP sepanjang sejarahnya.

Penutup: Sebagai mediator


7. Teoritis pelayanan yang menghadapi dua kelompok yang berseteru dalam
jemaat, akan melihat hadirnya dua power/kuasa yang saling beradu tenaga
untuk mencapai kemenangan sepihak. Pertanyaan yang muncul adalah: apa
yang kemudian membuat konflik ini dapat bersifat kristiani dan
konstrukltif/membangun ? Jawabannya adalah: “sikap yang mampu
mengendalikan diri, kedua belah pihak yang berkonflik harus mau saling
mendengarkan dengan penuh hormat”. Mereka yang bertikai ingin
memahami dan menghargai kepentingan yang berbeda-beda. Mereka
akhirnya memperoleh perspektif-perspektif baru yang menjadi modal dasar
untuk mengembangkan solusi sama-sama menang (win-win solution).
Penting juga, bahwa menyikapi konflik sebagai pergumulan kekuasaan atas
berbagai perbedaan: informasi atau keyakinan yang berbeda, kepentingan,
keinginan atau nilai-nilai yang berbeda, kemampuan yang berbeda dalam
memperoleh sumber-sumber yang dibutuhkan. Kelompok-kelompok yang
bertikai itu sama-sama menggunakan power/kuasa. “Mereka menggunakan
kekuasaan mereka baik untuk saling menaklukkan (pertarungan curang)
atau untuk saling bekerjasama (pertarungan secara jujur)”. Sebagai mediator,
kita mengharapkan dan mengarahkan mereka supaya melakukan
“pertarungan jujur untuk mencapai solusi-sama sama menang-melalui cara
mediasi, tak perlu membawanya ke depan pengadilan negara. Mereka yang
sudah menemukan jalan menuju pertarungan yang jujur itu, pasti didasarkan
pada iman kristiani artinya kalau mereka yang bertikai itu berangkat dari
dasar iman yang sama maka mereka menyadari keterbatasan diri mereka
sehingga tidak mengklaim diri sebagai yang terbaik, paling benar, paling penting,
dan lain-lain. Mereka melihat bahwa pertikaian mereka bukan melulu/sekedar
menyangkut masalah perbedaan keyakinan, tetapi lebih dari itu yaitu: menjadi
masalah pengungkapan iman mereka. Mereka melihat secara bersama visi kristiani
tentang Syalom (perdamaian) Allah yang mencakup kasih, keadilan, penebusan,
pembebasan, kebenaran dan belaskasih Allah. Untuk itulah mereka dipanggil oleh
Tuhan Allah dan sekaligus punya tugas untuk menyampaikan Syalom Allah itu
kepada sesama dan lingkungan hidup.

VISI DAN MISI HKBP

126
1. Visi dan Misi HKBP sebagai upaya
untuk mempertahankan identitasnya.
Gereja-gereja Protestan di Indonesia sebagian besar merupakan produk
(berdiri sebagai hasil) dari penginjilan badan-badan PI (Pekabaran Injil) yang
datang dari Eropa. Misalnya badan misi RMG (Rheinische Missionsgesellschaft)
yang mengutus Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918), dan kemudian bekerja
di tanah Batak.69 Strategi dan metode kerja Nommensen sangat luar biasa untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat Batak baik dari segi iman maupun
kehidupan sosial orang Batak. Para missionaris dari semula telah memberikan
sumbangan besar terhadap kesehatan, pendidikan (mendirikan sekolah),
menebus budak, memperkenalkan cara bercocok tanam yang baru,
meminjamkan uang dengan bunga rendah. Semua upaya ini dilakukan tidak
hanya agar orang yang bukan Kristen tertarik olehnya pada injil, lebih dari itu
supaya orang yang sudah menerima Injil dapat hidup dalam suasana yang
sesuai dengan Kabar Kesukaan itu.

Para missionaris di tanah Batak juga berusaha memberi makna baru


terhadap adat Batak melalui Firman Tuhan dengan upaya menyusun suatu:
“hukum adat Kristen” yang lengkap.70 Para missionaris juga mempersiapkan dan
memampukan jemaat (gereja) supaya mandiri dan tidak selamanya berada di
dalam asuhan lembaga misi PI Eropa. Para pendeta pribumi dipersiapkan agar
kelak menajadi pemimpin gereja sekaligus menjauhkan gereja dari unsur
kepercayaan tradisional Batak yang bertentangan dengan Firman Tuhan
(hasipelebeguon). Namun demikian, cita-cita misi belumlah berjalan dan berhasil
sebagaimana diharapkan. Masih banyak unsur-unsur tradisi lama (adat) kuat
terpatri dalam kehidupan jemaat, sementara hal itu bertentangan dengan Firman
Tuhan. dari kondisi ini, perjalanan sejarah gereja nyata sangat sulit dilepaskan
dari bingkai perjumpaan Adat dan Injil di tanah Batak. Bahkan perjalanan gereja
HKBP dalam sejarah erat berkaitan dengan perjalanan suku Batak sebagai
konteks dominan jemaat HKBP. HKBP sebagai gereja yang menggunakan kata
“Batak” sebagai identitas dirinya, nyata selanjutnya bahwa HKBP sangat terikat
(cukup kental) dengan unsur-unsur budaya Batak dan memang hal itu tidak
dapat dipisahkan.

Etnisitas adalah nyata sebagai kodrat manusia yang diciptakan Tuhan


dengan suku yang berbeda-beda. Terdapat banyak suku (etnis) dan budaya
yang berbeda namun dipersatukan Allah dalam satu negara kesatuan Republik
Indonesia. Berhubungan dengan ini, gereja bertanggungjawab untuk
mengkampanyekan keberagaman etnisitas dalam bingkai tanggungjawab baru
yang terus diperbaharui agar di dalam masyarakat secara terus-menerus dapat
tercipta sikap yang terbuka kepada keberadaan orang lain, tanpa mengurangi
keunikan dan identitas budaya sendiri.

69
Th. Van den End & J. Weitjens, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm. 184-185.
70
Ibid, hlm. 189-190.

127
Banyak cap dan stempel negatif dikesankan oleh gereja-gereja yang tampak
sebagai gereja suku terkesan sangat eksklusif, tertutup serta mengasingkan diri.
Prinsip dan sikap eksklusif inilah yang digunakan sebagai tembok penghalang
untuk mempertahankan identitas dan kesiapannya. Namun apakah karena
budaya dan penanaman tersebut, seperti halnya HKBP tidak terbuka atau
inklusif dalam masyarakat majemuk. Bahkan bisa saja latar belakang
eksklusifisme itu bukan dalam kerangka suku bangsa yang melatar
belakanginya, tetapi lebih kepada pekabaran Injil yang melatar belakanginya.
Gomar Gultom, menjelaskan bahwa tidak lah mengherankan kalau HKBP
selama ini sangat eksklusif, karena ini merupakan akibat logis dari kesetiaan
kepada para “bapa-bapa rohani” yang meletakkan “dasar-dasar beriman” warga
gereja-gereja Batak, yakni para missionar yang memang memiliki pemahaman
yang eksklusif.71

Identitas merupakan hal yang tidak terlepas dari budaya masyarakat. Dengan
adanya identitas suatu masyarakat, hal itulah yang membedakan mereka
dengan kelompok masyarakat lain. Pada umumnya orang menilai budaya sendiri
lebih sempurna dari budaya lain bahkan tidak tertutup kemungkinan terhadap
pemujaan budaya sendiri. Pemujaan terhadap budaya sendiri mempengaruhi
sikap negatif terhadap budaya lain. Ancaman yang paling berat dari pemahaman
ini adalah bahwa orang (budaya) lain merupakan musuh yang harus ditaklukkan.
Atau paling tidak anti tehadap orang lain.72 Sikap yang anti terhadap orang lain
merupakan sikap yang tidak relevan dalam suatu masyarakat atau suatu bangsa
pada masa sekarang ini. Bila hal ini masih melekat pada dunia masa kini maka
akan terjadi pengucilan dan perpecahan dalam masyarakat. Demikian juga
halnya dengan gereja HKBP sebagai salah satu gereja suku yang terbesar di
Indonesia. HKBP harus mampu mempertahankan identitasnya dengan melihat
kenyataan sekitarnya. Artinya HKBP bukanlah mempertahankan identitasnya
dengan cara merugikan orang lain, atau bahkan menganggap gereja atau agama
lain adalah musuh yang harus dilenyapkan. Tetapi bagaimana HKBP berdiri
teguh di tengah masyarakat plural tanpa kehilangan identitas yang sebenarnya.

Dalam upaya mengatasi hal inilah maka HKBP berusaha keluar dari tuduhan-
tuduhan negatif terhadap gereja suku seperti di atas. HKBP yang walaupun
salah satu gereja suku terbesar di Indonesia, HKBP tidak menganut paham
eksklusivisme tersebut. Di samping penetapan visi dan misinya sebagai gereja
yang inklusif, dialogis dan terbuka, (bnd. Aturan dan Peraturan HKBP tahun
2002) sangat ditekankan bahwa:
“goar, inganan dohot parjongjongna (Ponggol Paduahon, bindu 2.2)
tertulis: “Huria Kristen Batak Protestan i ma pardomuan ni halak Kristen
sian sude marga dohot houm ni bangso Indonesia, dohot nasa bangso di
71
Gomar Gultom, Menggapai Gereja Inklusif; Bunga Rampai Penghargaan atas
Pengabdian Pdt. DR. J.R. Hutauruk (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004), hlm. v-
vi.
72
Nekson Simanjuntak, “HKBP Menuju Gereja Yang Inklusif dan Dialogis – Suatu Telaah Dari
Pendekatan Budaya dan Teologi”, dalam Immanuel HKBP Vol. 115 No. 9 Sep. 2004, hlm.
40.

128
sandok portibi on, na tardidi tu bagasan goar ni Debata Ama, Anak dohot
Tondi Parbadia. Sada hapataran ni pamatang ni Kristus do HKBP,
namanghamham na porsea na marpanindangion di sandok portibi on”.
(Huria Kristen Batak Protestan adalah persekutuan orang Kristen dari
segala suku dan golongan bangsa Indonesia dan segala bangsa di
seluruh dunia yang dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh
Kudus. HKBP adalah satu wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup
segenap orang percaya dan bersaksi di seluruh dunia).73

Dari uraian ini, jelaslah bahwa identitas HKBP adalah gereja yang terbuka,
universal (am) dan inklusif.

2. Visi dan Misi HKBP sebagai upaya dalam


menyikapi perkembangan zaman.
Manusia sekarang sedang terlibat dalam suatu proses yang tidak terelakkan,
yaitu proses globalisasi. Walaupun proses itu bukanlah merupakan sesuatu hal
yang baru dalam sejarah umat manusia, namun karena pengaruh informasi dan
intensitasnya yang sedemikian rupa, maka proses ini menjadi makin cepat.
Dunia sungguh-sungguh menjadi satu dengan berbagai akibatnya, baik yang
positif maupun yang negatif.74 Globalisasi telah menempatkan gereja pada
suasana keterbukaan yang luar biasa dengan berbagai dampaknya. Di satu
pihak tentu hal ini baik, karena dengan itu gereja-gereja pun makin dibebaskan
dari keterisolasiannya secara fisik dan teologis. Tetapi di pihak lain, gereja-gereja
seperti halnya masyarakat akan bertemu dengan nilai-nilai baru yang mungkin
belum pernah dipikirkan sebelumnya. Sebagai contoh, dalam pola kehidupan
rumah tangga yang berubah sebagai akibat dari keterbukaan itu, sehingga
seseorang harus memulai membiasakan diri dan menerima pola “bapa rumah
tangga”, dan bukan “ibu rumah tangga”. Bagaimana menangani kemungkinan ini,
apalagi kalau dikonfrontasikan dengan kecenderungan Alkitab yang memandang
suami sebagai: “kepala rumah tangga”.75

Dalam keadaan demikian, bagaimana gereja bersikap terhadap hal ini.


Bagaimana gereja-gereja menangani kemajuan teknologi informasi yang begitu
cepat yang dalam sekejap mata dapat mengakses berita dari dalam maupun luar
negeri? Bagaimana gereja-gereja dapat mengatasi dampaknya, misalnya
dengan sistem ini segala bentuk kerahasiaan hampir-hampir tidak dimungkinkan
lagi. Atau yang lebih parah jika jemaat tidak mau lagi datang bersekutu ke gereja
karena di berbagai saluran televisi sudah menyajikan acara-acara ibadah yang
siap sedia mereka nikmati?
Manusia tidak memilih dunia atau konteks di mana ia hidup, bekerja dan
melayani setiap saat. Konteks selalu berobah-obah dan panggilan pelayanan
selalu ditantang, diperhadapkan dan dibentuk oleh keadaan sosial-ekonomi,
politik, dan kekuatan budaya pada waktu tertentu. Dengan demikian konteks
73
HKBP, Aturan dohot Paraturan (Pearaja-Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2002), hlm. 99-
100. Penggunaan selanjutnya disingkat dengan AP HKBP 2002.
74
A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukuanan (Jakarta: BPK-GM, 2006), hlm. 127.
75
Ibid, hlm. 138.

129
hidup tersebut mempengaruhi juga kepada pengertian akan Allah dan
pengungkapan iman. Sekarang ini banyak pemikiran-pemikiran yang
memunculkan pemahaman baru dalam hubungannya dengan masalah sosial.
Misalnya masalah gender (kesetaraan perempuan dan laki-laki) dan masalah
kekerasan terhadap anak-anak. Tidak lupa bahwa pendidikan juga merupakan
masalah konkrit yang marak dewasa ini. Apa yang terjadi sekarang adalah tidak
adanya satu hari pun dapat terlewatkan tanpa kekerasan terhadap perempuan
dan anak-anak, persoalan-persoalan perempuan dan anak-anak sering
disepelekan.76 Perempuan selalu dinomor-duakan di dalam rumah tangga seperti
yang terjadi pada keluarga orang Batak dulu. Inilah fenomena yang harus
disikapi oleh gereja. Bagaimana gereja hidup dan berada di tengah-tengah dunia
yang penuh dengan kekerasan. Sudah seharusnya gereja berpartisipasi dalam
mengatasi kekerasan tanpa kekerasan. Atau setidaknya gereja berperan
mengurangi kekerasan tersebut. Gereja ikut serta dalam perjuangan untuk
mempertahankan hak-hak asasi manusia.

Di tengah perkembangan yang seperti inilah gereja-gereja di Indonesia hidup


dan melayani. Maka salah satu topik penting yang sangat hangat dibicarakan
dan didiskusikan akhir-akhir ini adalah mengenai kehadiran dan peran gereja di
tengah kepelbagaian agama, khususnya dalam konteks Indonesia. Perlu disadari
bahwa keberadaan dan kehadiran suatu agama tidak terlepas dari keberadaan
dan kehadiran agama lain. Kepelbagaian itu disadari sebagai hasil atau produk
dari globalisasi tersebut. Arus globalisasi menimbulkan perubahan yang sangat
cepat, bukan lagi hanya dalam lingkup budaya masyarakat tetapi lebih jauh
kepada perkembangan agama-agama. Pergeseran dan perpindahan nilai dan
tatanan hidup pun mulai terjadi. masyarakat yang dulunya hidup secara
homogen, akhirnya berobah menjadi masyarakat yang heterogen. Masyarakat
agama yang dulunya mengenal tolok ukur nilai-nilai moral dan spiritual
berdasarkan doktrin agamanya, akhirnya mengenal nilai-nilai dan kebenaran lain
dari berbagai agama, aliran kepercayaan, faham dan ideologi yang hidup dan
berkembang di sekitar kehidupannya.

Realitas dari kondisi kehidupan yang serba majemuk dan pluralistis tersebut
turut mempengaruhi gereja dan kehidupan orang Kristen masa kini. Sebab pada
kenyataannya, di mana gereja dan orang Kristen berada, di situ ia hidup
berdampingan, bersentuhan dan berhubungan dengan agama dan penganut
agama lain. Dengan demikian, gereja dan orang Kristen sudah harus memberi
perhatian tentang bagaimana hidup ditengah-tengah kepelbagaian agama. Pada
satu pihak, gereja harus memberikan dasar-dasar teologis-dogmatis tentang
paham dan sikapnya terhadap agama dan penganut agama lain. Sedangkan
pada pihak lain, gereja harus dapat memahami dan mengerti tentang
keberadaan, dasar-dasar kehidupan penganut agama lain, dan sedapat mungkin
mengenal ajaran agamanya. Atas dasar itulah gereja dan orang Kristen dapat
mengambil sikap praksis, bagaimana hidup bersekutu, melayani dan bersaksi di
76
Robinson Rajagukguk, “Pendeta HKBP Menjadi pelayan yang Menghayati Pelayanan
Koinonia, Marturia, Diakonia yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka”, dalam Buku Panduan
Rapat Pendeta HKBP 01-05 Agustus 2005 (Unpublished), hlm. 138-140.

130
tengah-tengah kepelbagaian agama dan penganut agama lain. Melalui
pemahaman dan pengenalan itulah gereja melakukan tugas dan panggilannya,
sebagai garam dan terang dunia, di tengah-tengah kehidupan yang
berdampingan, bersentuhan dan berhubungan dengan agama dan penganut
agama lain.

Gereja HKBP sebagai salah satu gereja yang berpijak di Indonesia,


diperhadapkan dengan situasi ini. Secara sosiologis, HKBP dirangkul oleh satu
etnis, yakni suku Batak. Sebagai gereja suku, HKBP akhirnya akan sering dikritik
dan disalah mengerti sebagai gereja yang tertutup atau gereja yang eksklusif.
Padahal Indonesia adalah negara pluralistik yang mengakui keberagaman
agama, suku dan budaya masyaraakat. Mungkin sudah menjadi kodrat bahwa
masyarakat Indonesia sekarang ini masih terikat dengan tradisi budaya nenek
moyang yang kental dalam berbagai segi kehidupannya walaupun mereka telah
menerima berlapis-lapis nilai-nilai budaya lain. Keanekaragaman itu merupakan
kekayaan tersendiri bagi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.
Oleh karena itulah, setiap orang atau kelompok termasuk gereja di dalamnya
harus menemukan strategi pelayanan yang tepat. Dalam kerangka itu, strategi
pewartaan dan pelayanan gereja dalam konteks masyarakat majemuk acap kali
membutuhkan pengkajian ulang dari waktu ke waktu. Bagaimana pun,
pewartaan harus tetap dijalankan, Firman Tuhan harus selalu disebarkan, jika
gereja mau tetap setia dalam tugas panggilannya di dunia ini, termasuk di tengah
ketegangan sosial bernuansa SARA yang semakin memuncak dewasa ini.
Termasuk HKBP harus menemukan rumusan dan sikap yang tepat dalam
menghadapi kenyataan ini sehingga HKBP dapat mempertahankan
keberadaannya sebagai wakil Allah dalam mewujudkan damaiNya di dunia ini.
Berdasarkan fenomena inilah Ephorus Emeritus HKBP Pdt. DR. J.R. Hutauruk
pada Sinode Godang HKBP 2000, mencetuskan harapannya agar warga beserta
pelayan HKBP dapat menumbuhkembangkan sikap yang inklusif dan dialogis.
Dalam berbagai pertemuan, khususnya dalam proses penyusunan konsep
Aturan dan Peraturan HKBP, beliau mengajukan istilah inklusif dan dialogis
tersebut.77 Dalam AP HKBP 2002, nyata dicantumkan visi dan misinya.

Dikatakan bahwa:

Misi HKBP adalah:


“HKBP berusaha menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka, serta
mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di
dalam kasih Tuhan Yesus Kristus, bersama-sama dengan semua orang di
dalam masyarakat global, terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan
Allah Bapa yang Mahakuasa”.

Misi HKBP adalah:

77
J.R. Hutauruk, “Gereja Yang Inklusif dan Dialogis, Merangkul Semua Tanpa Mengucilkan”
dalam Immanuel HKBP Vol. 112, No. 7 Juli 2002, hlm. 38.

131
“HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat,
terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu
agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap
perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan
bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di
tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan abad ke-21”.

Prinsip HKBP adalah:

“Untuk melaksanakan missi menuju visi tersebut di atas, HKBP berpegang


teguh pada prinsip di bawah ini:
a. Melayani, bukan dilayani (Mark. 10:45)
b. Menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14)
c. Menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (Mark.
16:15; Luk. 4:18-19).78

Tentu uraian visi79 dan misi80 ini sangat menegaskan seruan, ajakan ataupun
kerinduan agar HKBP sebagai lembaga agama dan masyarakat lebih dapat
terbuka dalam melaksanakan tugas, fungsi dan peranannya. Dengan konsep ini,
HKBP telah melihat kenyataan dan keberadaannya di tengah dunia ini. Semakin
HKBP sadar akan situasi nasional maupun internasional, HKBP aakan semakin
sadar untuk melakukan visi dan misi Tuhan Allah, yaitu membawa kasih yang
mendamaikan atau rekonsiliasi, menebarkan kasih yang mementingkan diri
orang lain terutama bagi kalangan yang sangat mengalami ketertindasan,
ketidakadilan dan keserakahan para penguasa dunia ini. Dalam kaitan itu, HKBP
harus lebih sadar diri untuk melepaskan diri dari sikap-sikap dan pikiran yang
tertutup, yang eksklusif dan monologis.

Istilah inklusif dan dialogis populer di HKBP adalah sebagai wacana dalam
upaya menyikapi realitas konteks kehidupan bersama. Karena sebenarnya
makna kedua istilah itu secara implisit berpadanan dengan visi dan misi Allah di
dunia ini yaitu aagar semua umat manusia mengasihi Tuhan Allah dan sekaligus
mengasihi sesama manusia. Visi dan misi Allah ini tidak berubah hingga kini
ayaitu kasihNya yang nyata dengan mengutus Tuhan Yesus Kristus ke dunia ini
serta mengutus Roh Kudus yang tetap bekerja dalam diri setiap orang Kristen.
Roh Kudus memberi pendampingan, peneguran dan peneguhan supaya setiap
orang Kristen, yang terhimpun dalam jemaat setempat atau kelompok kristiani
hidup dalam visi dan misi pelayanan Allah di dunia ini. Dan sesungguhnya,
setiap orang Kristen telah berjanji kepada Tuhan Allah Yang Maha Pengasih itu
bahwa dia hidup di dunia ini untuk visi dan misi pelayanan Allah.81
78
AP HKBP 2002, hlm. 95-95.
79
Visi adalah: kemampuan untuk melihat pada inti persoalan; pandangan luas; wawasan;
penglihatan; pengamatan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm.
1004).
80
Misi adalah: tugas yang dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya
demi agama, ideologi, patriotisme, dsb. (Ibid, hlm. 587).
81
Ibid, hlm. 38-39.

132
Sejarah perkembangan agama Kristen beberapa dekade terakhir ini
menyaksikan terjadinya pembakaran gereja-gereaja, sulitnya mendirikan gedung
gereja, dan sebagainya adalah sebagian pengalaman pahit yang dialami warga
HKBP. Dalam menghadapi situasi ini, HKBP berupaya mendekatkan diri dengan
saudara-saudara warga negara Indonesia yang berjiwa terbuka, inklusif dan
dialogis. Sehingga di berbagai daerah, di antara umat beragama terjalin
persaudaraan yang saling tolong-menolong dan bersama-sama mencermati
upaya-upaya yang sengaja mempertentangkan sentimen-sentimen etnis dan
agama.82 Dengan demikian diharapkan bahwaHKBP berkembang menjadi gereja
yang inklusif, dialogis, dan terbuka serta mampu mengembangkan kehidupan
yang bermutu dalam kasih Tuhan Yesus Kristus bersama-sama dengan
masyarakat global, khususnya masyarakat Kristen untuk kemuliaan Allah Bapa
Yang Maha Kuasa. Terhadap unsur persekutuan dengan sesama manusia,
gereja yang terpanggil untuk bersifat inklusif, terbuka dan dialogis. Gereja yang
inklusif, terbuka dan dialogis hendaknya belajar dari anjuran Rasul Paulus
kepada jemaat Roma: “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti
Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Rom. 15:7).83

Sebagaimana ditekankan oleh DR. J.R. Hutauruk, maka ada beberapa


program yang harus diprioritaskan HKBP guna mewujudkan citranya sebagai
gereja yang inklusif dan dialogis serta terbuka, yakni:

Pertama: adalah belajar dan melatih diri supaya semakin menjiwai sikap
yang terbuka, inklusif, dan dialogis. Ini dimaksudkan agar rumusan visi
dan misi HKBP bukan hanya formulasi tetapi menjadi komitmen setiap
warga HKBP dalam kehidupan bertetangga di tengah-tengah masyarakat
majemuk. Kedua: mendorong para pelayan HKBP untuk memberdayakan
setiap warga HKBP supaya semakin mampu hidup bertetangga dengan
baik. Setiap pelayan (parhalado) pada segenap jajaran HKBP seharusnya
memfokuskan program dan kegiatannya untuk memampukan warga
HKBP menjadi tetangga yang baik, yang pandai menjauhkan hal-hal yang
mencurigakan pihak lain. Ketiga: juga menjadi program prioritas HKBP
untuk melengkapi dirinya dari dalam yaitu dengan memberdayakan para
pelayan: pendeta, guru huria, bibelvoruw, diakones, evangelis, dan sintua
dalam berbagai bidang keterampilan sesuai dengan cakupan tugasnya
masing-masing.84

Titik tolak penyusunan program pelayanan yang seperti ini menunjuk bahwa
HKBP telah memegang prinsipnya, yaitu tidak untuk dilayani tetapi untuk
82
Ibid, hlm. 42.
83
Binsar Nainggolan, “HKBP Distrik X Medan-Aceh Terpanggil untuk Mewujudkan Gereja
sebagai Tubuh Kristus yang Inklusif, Dialogis, dan Terbuka Mencapai Cita-cita menjadi
Berkat bagi Sesamanya di tengah-tengah Masyarakat yang Pluralis”, dalam Arahan dan
Laporan Praeses ke Sinode distrik, disunting oleh Midian KH Sirait (Medan: HKBP Distrik
X Medan Aceh, 5-6 Desember 2006), hlm. 111.
84
J.R. Hutauruk, Op.cit, hlm. 42.

133
melayani, menjadi garam dan terang dunia, menegakkan keadilan, perdamaian
dan keutuhan ciptaan. Dengan demikian pelayanan HKBP akan dapat menjawab
berbagai tantangan dan pergumulan hidup manusia. Berdasarkan itu pula
pelayanan HKBP menjadi aktual dan relevan dalam kehidupan jemaat dan
masyarakat, baik untuk dirinya maupun bagi orang lain.

Sehubungan dengan visi dan misi HKBP tersebut, beberapa teolog besar
juga menekankan sikap keterbukaan gereja terhadap orang lain maupun
terhadap dunia. Salah seorang di antaranya adalah Jürgen Moltmann, yang
dalam beberapa tulisannya menyerukan supaya gereja hadir bagi orang lain.

3. Analisa Teologi Terhadap Visi dan Misi HKBP


Sesuai dengan visi dan misi HKBP sebagai gereja yang inklusif, dialogis dan
terbuka, maka perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam atas makna
yang terkandung dalam setiap pernyataan itu. Ada beberapa hal yang perlu
diteliti sehubungan dengan sikap teologis HKBP tersebut. Sikap inklusif yang
bagaimana yang dipahami oleh HKBP di tengah-tengah perkembangan agama-
agama sekarang ini. Sikap dialogis yang seperti apa yang akan dikembangkan
dan didukung oleh HKBP sebagai sarana untuk memahami orang lain itu. Di
tengah-tengah perkembangan pemahaman teologi baru sekarang ini yang
terkadang membingungkan jemaat, misalnya ajaran “Teologi Sukses” yang
mengajarkan hidup berkelimpahan dan kemakmuran.85 Jika demikian,
sejauhmana keterbukaan HKBP dalam bidang pemahaman teologinya dalam
menanggapi perkembangan tersebut. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan
pengkajian teologi-dogmatis sehingga makna dari visi dan misi HKBP tersebut
benar-benar berdasarkan prinsip Alkitabiah.

Ada tiga sikap hidup yang ditemukan dalam masyarakat saat ini dalam
hubungannya dengan hidup beragama. Alan Race mengelompokkannya
berdasarkan sikap teologis terhadap agama-agama lain. Ia menjelaskan bahwa
sikap hidup itu adalah eksklusif, inklusif, dan pluralis. 86 Pandangan tersebut akan
diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
Pertama sikap eksklusif,87 yaitu sikap yang menganggap dirinya lebih benar dari
orang lain, selalu merasa lebih mampu, bahkan pada akhirnya akan
menganggap rendah orang lain. Apabila sikap seperti ini melekat di dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, beragama, baik secara pribadi maupun
85
Herlianto, Teologi Sukses-Antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK-GM, 1993), hlm. 1.
Teologi Sukses, lebih memberikan tekanan pada hidup kaya, dibekarti dan berkelimpahan.
Ajaran tersebut juga menawarkan kepada manusia untuk menyembah Allah dan tetap
mencintai Mamon, suatu bentuk pandangan hidup mendua yang praktis dan populer pada
masa kini.
86
Alan Race, Christians and Religious Pluralism (Amrynoll-New York: Orbis Books, 1982).
Dalam buku ini, ia menguraikan pengelompokan itu berdasarkan pandangan para teolog
yang mengembangkan beberapa sikap dalam hidup keberagaman.
87
Eksklusif artinya: “terpisah dari orang lain; khusus”. Sedangkan eksklusivisme adalah
paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. (Bnd.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, hlm. 221). Bnd. juga Alan Race,
Op.cit, hlm. 10-37.

134
kelompok maka bangsa, agama, dan orang lain akan dianggap lebih rendah dari
dirinya. Ia akan menganggap dirinya lebih superior (mempunyai kemampuan
lebih), sedangkan orang lain dianggap inferior (kemampuan sangat terbatas).
Akibatnya, ia (bangsa, agama, atau pribadi) tidak terbuka kepada yang lain,
bahkan tidak mau bekerjasama dengan orang lain. Sikap seperti ini muncul
dalam hidup beragama karena respons terhadap kepercayaan bahwa
keselamatan dan kebenaran hany ada dalam ajaran agamanya saja. Sikap ini
juga timbul sebagai akibat dari penafsiran yang terlalu dangkal dan sempit
terhadap ajaran agamanya.88

Kedua sikap inklusif,89 yaitu sikap yang menganggap diri benar, tetapi yang lain
(bangsa, agama atau pribadi) juga mempunyai kebenaran. Merasa memiliki
kemampuan, daya dan tenaga, tetapi sekaligus menyadari adanya kekurangan,
keterbatasan, kelemahannya. Atas dasar kesadaran inilah, ia akan terbuka dan
mau berdiskusi dan berdialog dengan orang lain untuk mencari jalan terbaik
demi kepentingan bersama. Dalam menjalani tugas dan tanggungjawabnya, ia
akan lebih bersedia menjalin kerjasama dengan orang lain daripada bekerja
sendiri. Sikap seperti ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan dalam
kepelbagaian.90 Ketiga sikap pluralis,91 yaitu sikap yang mengakui dan
menghargai dan mengakui kepelbagaian yang beraneka ragam. Dalam hidup
beragama, setiap agama diharapkan untuk menghargai setiap kebenaran orang
lain yang sifatnya relatif dengan dasar bahwa Allah dipahami mewujudkan
diriNya dalam iman dan kebaikan orang lain, bukan hanya di pihak-pihak
tertentu.92 Dalam kadar tertentu sikap ini sangat membantu pemahaman agama-
agama untuk mengembangkan potensinya memahami orang lain. Tidak hanya
memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan orang lain yang ada di luar
dirinya. Sikap toleransi, pelayanan dan perhatian terhadap pelayanan sosial
semakin terbuka. Perbedaan dan kepelbagaian tidak dilihat sebagai ancaman,
tetapi justru sebagai kekayaan pengalaman manusia yang berguna bagi setiap
pemahaman, penghayatan dan refleksi iman. Tetapi di lain pihak, sikap ini juga
akan meruntuhkan pemahaman teologis yang sudah diwarisi oleh agama-agama
selama ini. Dengan demikian perlu membangun pemahaman yang baru, karena
pemahaman yang lama sudah dipertanyakan kebenarannya.93

Sehubungan dengan visi dan misi HKBP, maka uraian di atas dapat dijadikan
sebagai acuan untuk menjelaskan lebih luas terhadap makna teologivisi dan misi
HKBP tersebut. Sebenarnya, seruan kepada gereja untuk bersikap inklusif,
dialogis dan terbuka, bukanlah suatu formula yang baru dalam dunia
keberagaman. Jauh sebelum penetapan visi dan misi HKBP tersebut, sudah

88
Bnd. Alan Race, Op.cit, hlm. 37.
89
Inklusif artinya: “termasuk; terhitung” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit, hlm. 332).
90
Bnd. Alan Race, Op.cit, hlm. 38.
91
Pluralis artinya: bersifat jamak (banyak), sedangkan pluralisme adalah hal yang
mengatakan dan mengakui jamak atau tidak satu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit,
hlm. 691).
92
Alan Race, Op.cit, hlm. 72-73.
93
Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Op.cit, hlm. 276.

135
banyak pandangan yang menekankan hal itu. uraian dibawah ini akan
menunjukkan bahwa di beberapa teks Alkitab, doktrin gereja, maupun
pandangan para teolog telah membicarakan pemahaman yang berhubungan
dengan formula tersebut. Sehingga melalui uraian itu dapat dijadikan sebagai
tolok ukur atau landasan teolog dari visi dan misi HKBP.

3.1. Gambaran Gereja yang Inklusif berdasarkan Perjanjian Lama


Dalam Perjanjian Lama, para nabi Israel misalnya Elia dan Hosea di utara
dan Yesaya dan Yeremia di selatan, menekankan ibadat eksklusif kepada Allah
yang satu-satunya, yaitu ‫( הזהי‬Yhwh).94 Pemberitaan mereka menekankan kasih
Allah kepada umatNya pada masa lampau, keinginanNya yang khusus tentang
berkat pada masa yang akan datang. Bangsa Israel sebaliknya harus
mempertahankan kepercayaan yang murni dengan setia beribadat kepada satu
Allah saja. Bahkan para nabi juga memperingatkan akan terjadinya hukuman
yang dahsyat, termasuk hancurnya kerajaan tersebut bila Israel tidak setia dalam
menjalankan ibadah mereka.95 Para nabi tidak mentolerir agama lain, khususnya
ibadah kepada Baal dan Asyera, ilah-ilah kesuburan yang disembah bangsa-
bangsa Kanaan. Peristiwa pembunuhan para imam Baal yang diceritakan secara
hidup dan dramatik dalam 1 Raja-raja 18, mewakili pendirian semua kitab yang
ditulis pada zaman kerajaan dan sesudahnya. Para nabi dan para penulis kitab-
kitab tersebut tidak mau mentolerir dewa-dewa lain di Israel. Bagi mereka hanya
Yhwh yang boleh disembah; setiap ibadah yang asing di Israel harus dikecam.
Orang diminta untuk berpaling dari ibadat dan pemujaan terhadap dea-dewa dan
melawan politeisme rakyat. Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam melawan
agama-agama lain, para nabi biasanya berkhotbah atau menggunakan bentuk-
bentuk propaganda yang bersifat simbolis, misalnya mujizat-mujizat yang
dilakukan Elisa (2 Raj. 3-6) dan perkawinan Hosea (Hos. 1 dan 3). Mereka tidak
menggunakan kekerasan dan paksaan, kecuali bila mereka dan orang-orang
yang setia kepada Yhwh lebih dahullu diperlakukan secara bebas. Orang tidak
diizinkan membunuh atau bertindak kejam dalam melawan penyembahan Baal
dan agama-agama lain. Dengan demikian, Perjanjian Lama memberi kesan
bahwa di tengah-tengah keanekaragaman agama, orang yang percaya kepada
Yhwh sebagai Allah yang satu-satunya dan berpegang pads perjanjianNya tidak
berkompromi dengan agama-agama lain. Dalam mempertahankan kepercayaan
yang murni terhadap Allah, bangsa Israel harus mewujudkan keadilan serta
belas kasihan, sehingga setiap orang menunjukkan sikap tersebut dengan penuh
kemurahan hati kepada sesamanya tanpa memandang bulu.96

94
Nama tersebut dalam bahasa Ibrani terdiri dari empat konsonan (huruf mati). Vokalnya
tidak diketahui lagi dengan apasti karena sejak zaman Perjanjian Lama, nama yang maha
suci itu tidak diucapkan tetapi selalu diganti dalam pembacaan dengan kata ‫ינדא‬-adonay
(Tuhan). Bnd. Freedmann, “‫ הוהי‬Yhwh”, dalam Theological Dictionary of The Old
Testament Vol. V, disunting oleh G. Johannes Botterweck & Helmer Ringgren (Grand
Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing, Co., 1986), hlm. 501.
95
Richard S. Hess, “Pluralisme Agama di Israel Kuno”, dalam Satu Allah Satu Tuhan-
Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, disunting oleh Andrew D. Clarke & Bruce
W. Winter, diterjemahkan oleh Martin B. Dainton (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm. 16.
96
Ibid, hlm. 18.

136
Dengan demikian, uraian Hess di atas pada akhirnya bermuara kepada
seruan kepada suatu pelayanan terhadap orang lain. Orang percaya (gereja)
harus mengasihi orang lain sebagai konsekuensi ibadah dan imannya kepada
Allah (Yhwh). Hal ini jugalah yang mendorong HKBP dalam menetapkan visi dan
misinya sebagai upaya untuk menciptakan kerukunan bersama dengan agama
lain. Selanjutnya, John E. Goldingay dan Christopher J.H. Wright menjelaskan
bahwa teks penciptaan dapat dijadikan sebagai dasar dari toleransi hidup
beragam dalam konteks pluralitas.97 Mereka menjelaskan bahwa teks Kej. 1-11,
secara tidak langsung memperlihatkan adanya kesadaran keagamaan pada
manusia. Kesadaran itu terlihat dalam pemakaian nama Allah dengan Yhwh,
yang pada masa prasejarah nama itu bukan nama Allah yang dipakai oleh
manusia (bnd. Kel. 6), melainkan merupakan tafsiran teologis oleh penyunting
pada kemudian hari. Walaupun belum mengenal dengan jelas nama Yhwh
tersebut, namun mereka sungguh-sungguh menyembah Dia. Yhwh dikenal
sebagai pencipta dunia, pemberi berkat, hakim dan pelindung, yang pada
akhirnya direspons dalam bentuk persembahan, permohonan dan pemberitaan.
Hal ini menunjukkan bahwa Allah memerintah seluruh dunia dan campur tangan
dalam perkara-perkaranya (bnd. Amos 9:7). Menurut Perjanjian Lama dijelaskan
bahwa, hikmat Allah turut berperan dalam penciptaan dan tercermin dalam apa
yang diciptakan (Imago Dei). Nafas Allah yang Mahakuasa berada di dalam
manusia karena ia diciptakan. Hal ini merupakan alasan teologis untuk
menganggap kebenaran Allah dicerminkan dalam pengalaman, kebudayaan,
pemikiran dan budaya manusia. Dengan demikian, imam Israel kepada Yhwh
mengambil alih hal-hal yang baik dari kebudayaan lain: nilai-nilainya diakui
sambil dibersihkan dari unsur-unsur pemujaan berhala atau politeisme. 98 Melalui
pemahaman akan penciptaan tersebut, maka dalam setiap diri manusia
tercermin gambar dan rupa Allah, yang mempunyai kesamaan satu dengan yang
lain.

Dengan demikian, imam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa umat Israel


sebagai umat pilihan Allah, telah hidup dan berdampingan dengan bangsa-
bangsa dan agama-agama dan kepercayaan lain. Pemilihan itu bukanlah atas
dasar kemampuan yang dimiliki orang-orang Israel, melainkan berdasarkan
kasih Allah semata (Ul. 7:7). Maksud pemilihan itu adalah untuk menunjukkan
kepada bangsa dan kepercayaan lain bahwa Yhwh adalah Tuhan yang
menciptakan, melindungi dan memelihara setiap ciptaanNya. Allah tetap
mengasihi bangsa Israel sebagai umat pilihanNya dan sekaligus mengasihi
seluruh dunia sebagai ciptaanNya. Oleh karena itulah, dalam konteks hidup
beragama masa kini, orang percaya (gereja) harus bersikap terbuka dan tidak
menutup diri. Walaupun sebenarnya dalam beberapa bagian dalam Perjanjian
Lama, misalnya kitab Daniel yang bersifat sangat eksklusif dan menutup diri,
namun dalam suasana demikian ia sangat kreatif. Konteks kehidupan Israel yang
pluralistik menyediakan berapa contoh tentang cara berhubungan dengan

97
John E. Goldingay & Chistopher J.H. Wright, “Keesaan Allah Dalam Perjanjian Lama”, dalam
Satu Allah Satu Tuhan-Tinjauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama, Ibid, hlm. 33.
98
Ibid, hlm. 34.

137
agama-agama lain.99 Demikian halnya dengan konteks hidup beragama di
Indonesia, HKBP melalui penetapan visi dan misinya merupakan salah satu
contoh tentang cara berhubungan dengan agama-agama lain, bahkan dalam hal
tanggungjawabnya di tengah-tengah perkembangan zaman tempat di mana ia
berada. Sebagai umat Allah yang hidup berdampingan dengan bangsa, agama
dan kepercayaan lain, maka HKBP telah sadar akan kasih Allah yang diberikan
kepada seluruh dunia.

3.2. Gambaran Gereja yang Inklusif Berdasarkan Perjanjian Baru


Perjanjian Baru, menyaksikan bahwa Yesus semasa hidupNya, secara
historis di dunia ini, menunjukkan sikap yang inklusif, dialogis dan terbuka (Yoh.
3:16). Dengan sikap demikian, Yesus telah menyelesaikan tugas pelayananNya
secara sempurna di Bukit Golgota. Melalui penderitaan, kematian, dan
kebangkitanNya, darahNya telah tercurah untuk menebus dosa-dosa manusia
dan untuk pendamaian antara manusia dengan Allah, nyawaNya sebagai ganti
kebinasaan seluruh dunia. Dalam diri Yesus Kristus, Allah mewujudkan visi dan
misiNya kepada seluruh dunia, tidak terbatas pada individu atau kelompok
tertentu. Jadi bukan untuk sebagian bumi atau bangsa, tetapi untuk tebusan
banyak orang tanpa membedakan suku, bangsa, ras, dan agama. Dalam
menyempurnakan tugas pelayananNya, Yesus merangkul semuanya tanpa
mengucilkan pihak-pihak tertentu. Tuhan Allah telah memperlihatkan kepedulian,
keterbukaan, dan dialog dengan manusia melalui para nabi dan rasulNya kepada
dunia yang sering tidak menerima kasihNya itu. Penolakan akan kasih Allah itu
nyata melalui sikap dan perbuatan yang ingin mengumpulkan kekuatan dan
kekuasaan untuk dirinya sendiri, untuk kelompoknya sendiri, untuk suku atau
bangsanya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain, kelompok
alain, bangsa atau agama lain. Pada saat menjelang kenaikan Yesus ke sorga
setelah bangkit dari kematian, Dia menyampaikan perintah kepada para murid
agar pergi ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa muridNya,
membaptiskan mereka serta mengajarkan semua yang diperintahkanNya (Mat.
28:18-20).100 Perintah yang universal inilah yang menjadi tugas utama orang
percaya (gereja) sejak turunnya Roh Kudus. Dari tugas inilah dapat dilihat,
betapa tugas gereja sejak semula mencerminkan warna inklusif, dialogis dan
terbuka.

Imam Perjanjian Baru dalam teologi Paulus, juga menunjukkan sikap


bagaimana orang Kristen harus hidup dalam dunia yang mengenal pluralisme.
99
Ibid, hlm. 49.
100
Terdapat perbedaan penafsiran terhadap teks ini dalam hubungannya dengan tugas dan
misi orang Kristen (gereja) masa kini. Satu sisi teks ini dapat dipahami dan
diimplementasikan sebagai suatu pemahaman orang Kristen mula-mula, atau yang lebih
khususnya dapat dipahami sebaga konteks Injil Matius ketika jemaat (Yahudi) keluar dari
sinagoge. Pemahaman yang lain menyebutkan bahwa teks ini tidak asli sebagai ucapan
Yesus, tetapi berasal dari proselitisme triumphalis jemaat abad pertama. Tetapi pada intinya
bahwa interpretasi terhadap teks Mat. 28:18-20 merupakan salah satu contoh perbedaan
pandangan di dalam umat Kristen. (Bnd. Martin Harun “Amanat Aguung dan Pluralitas
Agama: Masalah Eksegetis dan Hermeneutis:, dalam DISKURSUS: Jurnal Filsafat dan
Teologi: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Vol. 5, No. 2, Oktober 2006, hlm. 181).

138
Paulus dalam suratnya ke jemaat di Korintus, menjelaskan bahwa pertama-tama
jemaat jangan menimbulkan keraguan dalam hati karena pluralisme agama itu.
Paulus mengecam orang yang mempengaruhi orang Kristen untuk mengikuti
pesta-pesta kafir karena tindakan seperti itu adalah dosa terhadap Kristus (1 Kor.
8:12). Paulus telah mengambil keputusan untuk mencari penyesuaian dengan
budaya-budaya lain, dengan tujuan mencari cara-cara baru untuk memberitakan
Injil kepada golongan-golongan sosial dan etnis yang berbeda-beda (1 Kor. 9).
Dengan demikian, dalam hal ini Paulus mengharapkan bahwa orang-orang
Kristen dalam dunia pluralisme agama tetap melakukan segala sesuatu demi
kemuliaan Allah dengan cara menyenangkan hati semua orang dengan tidak
mencari keuntungan sendiri; dan semuanya itu demi keselamatan orang lain oleh
Yesus Kristus.101 Lebih jauh, Robert Jewett menjelaskan bahwa inti pendekatan
Paulus tentang pluralisme ditemukan dalam suratnya ke jemaat Roma. Dalam
surat tersebut, Paulus menawarkan suatu sumber yang meyakinkan sebagai
formula doktrin tentang toleransi orang-orang Kristen. Surat Roma tersebut
menunjukkan suatu hubungan antara sikap etis dalam misi dan hubungannya
dengan pola hidup jemaat (Rom. 15:7).102 Beberapa teks Alkitab tersebut
hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak yang mengajarkan cara hidup praktis
di tengah-tengah dunia pluralis. Namun demikian, melalui uraian tersebut, maka
makna teologis dari visi dan misi HKBP tersebut dapat dipertanggungjawabkan
secara biblika dalam dunia akademis.

3.3. Gambaran Gereja yang Inklusif Berdasarkan Ajaran Gereja


Pada awalnya, gereja dalam memandang agama sekitarnya sangatlah
bersikap eksklusif. Sikap seperti ini dianut oleh gereja (Roma Katolik) pra-Konsili
Vatikan II. Dalam memandang orang lain itu, gereja Roma Katolik tidak
mengakui adanya keselamatan di luar gereja. Dengan kata lain, keselamatan
hanya ada dalam ruang lingkup gereja Roma Katolik, tidak ditemukan dalam
agama-agama lain. Dasarnya adalah bahwa Allah hendak menyelamatkan
semua orang dengan perantaraan Kristus, Penyelamat satu-satunya (Yoh. 14:6;
1 Yoh. 5:11-12). Pemahaman ini dirumuskan dalam pernyataan: extra ecclesiam
nulla salust (di luar gereja orang tidak mungkin diselamatkan).103 Sikap seperti ini
sangat mempengaruhi metode-metode penginjilan sampai bertahun-tahun
lamanya pada Abad Pertengahan. Tetapi sikap eksklusif ini bergeser menjadi
sikap inklusif setelah dicetuskannya Konsil Vatikan II (1962-1965). Salah satu
dokumen konsili itu adalah deklarasi “Nostra Aetate”, yaitu suatu pernyataan
tentang hubungan gereja dengan agama yang bukan Kristen. 104 Dalam
pernyataan itu dikatakan bahwa gereja-gereja bukan Katolik dengan jelas diakui
sebagai gereja Kristus, warna inklusif betapa dihargai. Mereka diakui dan

101
Bruce. W. Winter, “Orang Kristen Mula-mula dan Pluralisme Agama” dalam Andrew D.
Clarke & Bruce W. Winter (peny.), Op.cit, hlm. 95-97.
102
Robert Jewett, Christian Tolerance-Paul’s Message to The Modern Church
(Philadelphia: The Westminster Press, 1982), hlm. 10-11.
103
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid 1 A-Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
1991), hlm. 315-316.
104
Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi
dan Penerangan KWI, Obor, 2002), hlm. 309-315.

139
dihormati dalam segala keaslian pengalaman religiusnya di luar wahyu
kristiani.105

Dalam dokumen Konsili Vatikan II dijelaskan bahwa:

“Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu


serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja
merenungkan cara-cara bertindak dan hidup kaidah-kaidah serta ajaran-
ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini
dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar
Kebenaran, yang menerangi semua orang.”106

Pernyataan ini menunjukkan bahwa gereja Roma Katolik menerima ajaran


orang lain yang memantulkan sinar kebenaran. Artinya, bukan hanya gereja
Roma Katolik yang benar, tetapi juga agama-agama lain. Tetapi pada
kepemimpinan Paus Johanes Paulus II, sikap inklusif ini bergeser ke arah
eksklusifisme. Suatu kemunduran sikap Roma Katolik dalam menyikapi ajaran
agama lain. Pada Bulla Paus ayang dikeluarkan pada tanggal 17 April 2003
berjudul: Encyclical Letter “Ecclesia de Eucharistia” of His Holiness Pope John
Paul II to the Bishops, Priests and Deacons, Men and Women in the
Consecrated Life, and all the Lay Faithful: On the Eucharist in Its Relationship to
the Church (April 17, 2003), menyatakan bahwa di luar Roma Katolik, Pastor
tidak bisa menjalankan Perjamuan Kudus (eucaristi). Dalam enklisik (Bulla
Paulus) tersebut dinyatakan bahwa: “…..it is not possible to celebrate together
the same Eucharistic liturgy until those bonds are fully re-established”. 107
Semangat dalam menanggapi kemajemukan bangsa sudah sejak lama
menggema dalam lingkungan HKBP. Dalam menyikapi pluralitas bangsa
Indonesia, maka HKBP melalui pengakuannya (konfesi) sudah menunjukkan
pergeseran dari sikap eksklusif ke arah keterbukaan yang kreatif-positif. Dalam
Konfesi HKBP tahun 1996 tidak dicantumkan lagi mengenai gereja dan aliran
kepercayaan seperti Katolik, Advent, Pinkster dan lain-lain yang tadinya
dipahami sebagai sumber ajaran sesat dan ancaman bagi HKBP sebagaimana
dijelaskan dalam bagian Pendahuluan Konfesi HKBP tahun 1951.108

Berdasarkan Konfesi HKBP tahun 1996 tersebut, maka ada beberapa hal
yang ditemukan secara eksplisit dan implisit yang berkaitan dengan
kemajemukan agama, antara lain:
- Pasal 1 menyatakan, “hanya ada satu Allah yang memerintah seluruh
umat manusia.” Pernyataan ini mengandung makna sebuah panggilan
untuk melihat dan memperlakukan sesama manusia (tanpa
membedakan latar belakang agama dan ras) dari sudut Allah.
105
Bnd. Tom Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 27-28.
106
Dokumen Konsili Vatikan II, Op.cit, hlm. 311.
107
http: // www.Vatican.Encyclical Letter ecclesia de eucharistia, diakses tanggal 12
Desember 2007.
108
HKBP, Konfesi HKBP 1955 dan Konfesi HKBP 1996 (Pematangsiantar,HKBP, ttp),hlm. 5-
9.

140
- Pasal 4 berbunyi, “HKBP memahami keberadaannya yang hidup dalam
konteks pluralitas agama”. Meski tidak diuraikan secara detail, namun
pemahaman seperti itu menunjukkan kesadaran akan kebersamaan
dengan penganut agama lain.
- Pasal 13 secara tegas mengakui fungsi Apncasila sebagai asas
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Memang wacana sekitar
tinjauan teologis terhadap Pancasila terus berlangsung, akan tetapi
pernyataan Konfesi tersebut menunjukkan kesediaan HKBP menerima
kenyataan bahwa Pancasila dapat mempersatukan warga bangsa yang
beraneka ragam latar belakang.109

Demikian juga panggilan dan usaha untuk melakukan pemahaman terhadap


agama lain di dalam gereja oikumenis telah dikumandangkan oleh lembaga-
lembaga gereja. Misalnya, Konferensi Pekabaran Injil sedunia di Edinburg
atahun 1910, Yerusalem tahun 1928 dan di Tambaran 1938, telah bergumul
keras untuk memahami makna dari kepercayaan-kepercayaan lain di dalam
hubungannya dengan Injil. Usaha dan panggilan itu telah diwujudnyatakan dalam
beberapa dialog multilateral (yang melibatkan orang-orang dari berbagai agama)
di Ajaltoun (1970), Colombo (1974) dan Mauritus (1983).110
4. Analisa Teologi Terhadap Pandangan Jürgen Moltmann
5. Permasalahan Iman Dalam Hubungannya Dengan Keselamatan Universal
6. Tipe Kepemimpinan yang Inklusif, Dialogis serta Terbuka
7. Visi dan Misi HKBP Menjadikan Jemaat Missioner

SEBUAH REFLEKSI HISTORIS


TENTANG SEJARAH GEREJA BATAK

1. Selama beberapa abad masyarakat Batak telah mendiami wilayah pedalaman


Sumatera Utara yang secara umum mereka hidup terpencil dan terbelakang. Adalah
fakta bahwa sejak awalnya, masyarakat Batak telah melakukan hubungan dan
komunikasi antara satu dengan yang lain. Sebagai masyarakat yang hidup di dalam
keadaan demikian tentu kehidupannya juga terbelakang pada berbagai aspek. Hal
109
Willem T.P. Simarmata, “Mewujudkan HKBP yang Terbuka dan Dialogis”, dalam
Menggapai Gereja Inklusif; Bunga Rampai Penghargaan atas Pengabdian Pdt. Dr. J.R.
Hutauruk, Op.cit, hlm. 328.
110
Iman Sesamaku dan Imanku, diterjemahkan oleh Eka Darmaputra (Jakarta: BPK-GM,
1994), hlm. viii.

141
yang sangat penting diperhatikan bahwa: “metode kerja para misionaris menerapkan
Injil ke dalam kehidupan orang Batak dalam sejarah misi”. Bila para misionaris
menyesuaikan konsep-konsep kekristenan kepada perbendaharaan bahasa dan
struktur social serta budaya masyarakat Batak tradisionil, selanjutnya (kini) nyata
bahwa kebudayaan Batak telah membuktikan kekuatannya dengan mendapatkan
pengaruh pengaruh asing masuk ke dalam unsur kehidupan Batak. Melalui hikmat
pernyataan ini, barangkali merupakan tenaga pendorong bagi anda sebagai (calon)
pelayan di mana melalui ungkapan ini hendak menegaskan bahwa “metode kerja
pelayan sangat menentukan keberhasilannya menerapkan Injil ke dalam kehidupan
orang yang kepadanya keselamatan yang sesungguhnya diberitakan”. Bila
bercermin dari pengalaman sejarah, dapat dipetik hikmat bahwa “agama Kristen
hadir di Tapanuli (bagi masyarakat Batak), sangat tepat di tengah situasi kekacauan
social di seluruh tanah Batak berlangsung sekaligus melalui metode kerja para
misionaris, Injil (kekristenan) sangat membuktikan “keunggulan”-nya bagi
perubahan yang pasti bagi masyarakat Batak. Sekali lagi hikmat pernyataan ini
hendaknya dapat memotivasi anda sebagai mahasiswa teologi (calon pelayan)
terhadap kehadiran anda di tengah pelayanan jemaat kelak.

2. Barangkali adalah teladan yang sangat baik masa kini bagi misi dan pelayanan
jemaat, yakni: “sikap dan kepribadian serta dedikasi para misionaris melayani”. Jika
awalnya unsur ini merupakan kekuatan bagi misi kekristenan - melaluinya
perlawanan (tantangan) misi dapat dipatahkan: maka sikap yang sangat simpatik
dari pelayan akan menghasilkan komunitas yang unggul di tengah jemaat
(perkampungan Huta Dame) sekaligus sebagai kekuatan yang membawa perubahan
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, adalah hal yang tidak dapat disangkal bahwa
jemaat masa kini sangat menantikan: keramahan, kearifan, kepribadian (sikap),
keahlian, keteguhan iman seorang pelayan melaluinya jurang komunikasi antara Injil
(berita keselamatan) itu dengan dunia yang dilayani hendaknya dapat dijembatani.
Wibawa, kecerdasan, ketangkasan dan ketajaman berpikir peayan terhadap soal-
soal kemasyarakatan merupakan potensi yang sangat kuat bagi pelayanan masa
kini guna dimamfaatkan bagi perkembangan gereja. Bila Nomensen sudah
melakukan teladan ini, di mana nasehatnya terhadap memutuskan persoalan adat,
tata laksana kehidupan antar kampung, perselisihan antar keluarga, keadilan
pertimbangannya mendamaikan perselisihan antar penganut agama suku,
hendaknya ini juga menjadi corak kepemimpinan dan kepribadian pelayan masa kini
memberhasilkan misi kekristenan. Potensi ini sangat tidak dapat dipisahkan dari
kemampuan jemaat, artinya: bila refleksi histories terhadap perkembangan gereja
Batak (misalnya HKBP) dilakukan maka antusiasme anggota jemaatnya demikian
terhadap dedikasi yang tidak kenal takut menjadi factor paling menentukan bagi
perkembangan itu ke berbagai wilayah (seluruh tanah Batak khususnya dan
Indonesia Umumnya), maka kemampuan seperti ini agaknya tidak dapat dipisahkan
(sangat mempengaruhi) dari teladan dan cerminan yang dinampakkan oleh
gembalaNya yang mewaris kepada para hambaNya yang tidak lain adalah para
pelayan. Inilah modal dasar bagi perkembangan gereja dan kekristenan di tengah
dunia masa kini bahwa semangat dan dedikasi setiap orang Kristen sangat
menentukan untuk memperkenalkan panggilan Tuhan kepada orang yang belum
mengenal berita keselamatan itu.

3. Bercermin dari pengalaman gereja, adalah hal yang penting untuk dihindarkan
bahwa konflik nyata sangat memperlemah kedudukan gereja dan orang Kristen di

142
tengah sekitarnya. Demikian apabila konflik ini dihubungkan dengan munculnya
berbagai kekuatan di tengah masyarakat (fundamentalisme, globalisasi, dll) yang
semuanya menuntut terjadinya pembaharuan di berbagai bidang termasuk
bangkitnya semangat kerohanian berbagai agama masa kini. Maka sepatutnyalah
kita sebagai pelayan (calon) mengantisipasi ini dan sadar akan keadaan diri di
tengah perseteruan yang semakin tajam. Adalah fakta jaman masa kini bahwa
melihat munculnya kekuatan-kekuatan yang berlangsung di dalam masyarakat
secara luas nyatanya demi kelangsungannya ke depan gereja harus memberi
jawaban dan jawaban ini hendaknya sebagai pokok perhatian untuk memahami
sikap gereja agar tetap mengabdi kepada yang adalah Tuhan bagi gereja itu sendiri,
dan bukan kepada dua tuan. Hubungan pernyataan ini bagi diskusi kita adalah:
hendak ditekankan bahwa dari pengalaman banyak orang dan pelayan, bahwa para
pelayan ke depan harus sadar: “sebaik apapun struktur jemaat gereja, kalau perilaku
pelayan dan budaya berorganisasinya di dalam gereja adalah korup/jahat maka
hasilnya akan membawa bencana bahkan kehancuran pada gereja itu sendiri” (ingat
pertemuan terakhir sebelum diskusi ini). Artinya, bagi anda yang paling penting
adalah: bagaimana anda mempersiapkan diri agar mampu berorganisasi secara
sehat di dalam gereja dan bukan secara sakit. Intinya, konflik yang terjadi sesaat
atau berkepanjangan dalam sejarah (gereja), ini menandakan bahwa alangkah
lemah dan rapuhnya budaya berorganisasi gereja itu sendiri. Seolah-olah setiap
pribadi pendetalah yang menjadi biang masalah, seolah-olah segala sesuatunya
terletak dalam pikiran dan keputusan pribadi pendeta sehingga tidak perlu lagi
membaca dan memberlakukan aturan (pedoman kerja) yang berlaku. Sikap korupt
yang seperti inilah bibit konflik yang paling mudah muncul dalam jemaat sepanjang
sejarahnya.

4. Mungkin banyak hal yang tidak menyenangkan bagi anda selama proses kuliah SGB
semester ini. Melalui kesempatan ini, ada baiknya bila dimohonkan maaf sebab
semuanya berlangsung alamiah sebagai manusia alamiah. Semoga Tuhan
memberkati dan selamat berminggu sunyi (mempersiapkan ujian).

143

You might also like