You are on page 1of 9

OPENING

Kelas homogen adalah kelas yang terpisah antara laki-laki dan perempuan
(tunggal gender), sedangkan kelas heterogen adalah kelas campuran antara laki-
laki dan perempuan. Karena dalam kelas heterogen terjadi percampuran antara
laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, maka kelas heterogen bisa termasuk
dalam kategori istilah fikih yang dikenal dengan sebutan ikhtilath.
Said Al-Qatthani dalam Al-Ikhtilath, menyebut ikhtilath sebagai bertemunya
laki-laki dan perempuan (bukan mahrom) di suatu tempat yang bercampur baur
dan terjadi interaksi diantara laki-laki dan wanita itu (misal: bicara, bersentuhan,
ngobrol dan sebagainya). Imam Nawawi dalam syarah Al–
Muhadzdzab, mengungkap ikhtilath antara laki-laki dan perempuan jika bukan
khalwat adalah sesuatu yang bukan haram”. Lebih khusus Abdul Karim Zaidan
dalam Al-Mufassol Fi Ahkam Al-Mar’at mengatakan bahwa perkumpulan laki-
laki dan wanita dalam suatu majlis ilmu (pengajian) itu diperbolehkan.
Syekh Ibn Hajar Al-Haitamy dalam Al-Fatawa Al-Kubro juga mengatakan
bahwa ikhtilath ada yang boleh dan ada yang tidak boleh
(haram). Ikhtilath yang boleh adalah yang tanpa adanya persentuhan antara
tubuh dan bukan khalwat (berdua-duaan) yang diharamkan.
Sementara ikhtilath yang diharamkan adalah yang terdapat persentuhan, berbaur
hingga bersentuhan, (baca: berdesakan) antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, pada akhirnya hukum ikhtilat antara peserta didik laki-laki
dan perempuan sangat tergantung pada ada atau tidaknya aturan syariat yang
dilanggar, jika ada aturan syariat yang dilanggar maka haram, tetapi jika tidak
ada aturan syariat yang dilanggar maka tidak haram. Unsur-unsur yang perlu
dijaga dalam masalah ikhtilath ini adalah menjaga pandangan, memelihara
aurat, bersuara dengan nada yang sepantasnya, menjauhi khalwat (menyendiri)
dengan laki-laki atau wanita lain.
Sejauh yang ditemui, banyak lembaga pendidikan Islam yang menerapkan kelas
heterogen. Terutama ini diwakili oleh banyak lembaga pendidikan Islam kecil.
Tetapi lembaga pendidikan Islam yang menerapkan pola segregasi gender
umumnya berpegang pada Q.S An-Nur, ayat 30. Dengan tujuan pokok demi
terjaganya pergaulan antara laki laki dan perempuan sehingga peserta didik
lebih fokus pada pembelajaran (Imam Ahmadi, 2015). Selain tentu saja,
pemisahan gender didasarkan pada beberapa alasan seperti agama, pragmatis,
darurat, emansipatoris dan budaya (Evi Muafiah, 2018).
TIM PRO
Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, segregasi kelas berbasis
gender dapat membuat prestasi belajar lebih tinggi dibanding sekolah yang
menerapkan sistem non segregasi kelas berbasis gender . Sistem segregasi
gender membuat pembelajaran menjadi lebih nyaman dan lebih mandiri. Siswa
laki-laki juga lebih bertanggung jawab meski dari segi nilai mereka masih
belum menyamai siswa perempuan .
Sikap laki-laki dengan pembelajaran yang menerapkan segregasi lebih percaya
diri dan memiliki semangat yang lebih besar daripada siswi dalam ranah
ekstrakurikuler . Sistem pengajaran terpisah berdampak pada hasil belajar
peserta didik yang lebih konsen dalam belajar dan dapat menjaga akhlak
pergaulan antara lawan jenis . Temuan juga menunjukkan bahwa ruang kelas
dengan satu jenis kelamin di sekolah umum menunjukan hasil belajar yang
meningkat dalam aspek afektif dan kognitif .
Selain itu, kesimpulan penelitian lain mengungkap bahwa manajemen kelas
berbasis gender tunggal memiliki beberapa kelebihan, yakni; sekolah
mempunyai ciri khas, daya tarik dan daya jual, kelas menjadi bersih dan rapi
apabila dikelola oleh peserta didik putri, guru mudah mengkondisikan dan
mengelola iklim, serta lingkungan kelas, terjaganya pergaulan, pembelajaran
terasa aman dan nyaman, peserta didik fokus dalam belajar, aktif dalam
bertanya dan menjawab, lebih mandiri, berkesempatan menjadi pemimpin,
tercipta adil gender, serta meningkatkan hasil belajar dan prestasi peserta didik
TIM KONTRA
Meski memiliki banyak kelebihan, pembelajaran dengan sistem segregasi
gender menurut Uum Humairoh (2020) juga memiliki banyak kekurangan.
Kekurangannya adalah sekolah harus mengeluarkan banyak dana (lokal), kelas
menjadi kotor dan tidak rapi apabila dikelola oleh peserta didik putra, guru
perempuan sulit mengelola dan mengkondisikan kelas putra, karena ekstra
tenaga dan ekstra suara, terbentuk rasa canggung dengan lawan jenis, dan sulit
bersosialisasi. Sistem segregasi gender juga membuat peserta didik laki-laki
tidak ragu-ragu dalam melanggar beberapa peraturan saat jam pembelajaran.
Perbandingan hasil belajar ranah kognitif menunjukkan rata-rata nilai rapot laki-
laki di bawah nilai perempuan (Muhammad Toriq, 2017).
Selain itu, pembelajaran dengan model segregasi gender membutuhkan usaha
yang tidak mudah dalam pelaksanaanya. Tidak mengherankan kemudian
kebanyakan institusi atau lembaga pendidikan saat ini (termasuk lembaga
pendidikan Islam?) menerapkan kebijakan belajar mengajar tanpa memisahkan
peserta didik (kelas) berdasar jenis kelamin tertentu, hanya sebagian kecil saja
yang menerapkan kebijakan segregasi gender dalam kegiatan belajar
mengajarnya (KBM).
Bahkan, hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Myra Pendleton menunjukan
bahwa pembelajaran dengan sistem tunggal gender tidak terlalu berpengaruh
pada perilaku peserta didik. Jika sistem tunggal gender tidak memberikan efek
perubahan perilaku peserta didik, maka sistem tunggal gender tidak bisa
diharapkan meningkatkan prestasi peserta didik
TIM PRO
Based on several studies that have been conducted, gender-based class
segregation can result in higher learning achievement compared to schools that
implement a non-gender-based class segregation system. The gender
segregation system makes learning more comfortable and more independent.
Male students are also more responsible even though in terms of grades they are
still not equal to female students.
The attitude of males towards learning that applies segregation is more
confident and has greater enthusiasm than female students in the extracurricular
area. The separate teaching system has an impact on the learning outcomes of
students who are more concentrated in learning and can maintain social morals
between the opposite sex. Findings also show that single-sex classrooms in
public schools show improved learning outcomes in affective and cognitive
aspects.
Apart from that, other research conclusions reveal that single gender-based
classroom management has several advantages, namely; The school has
distinctive characteristics, attractiveness and marketability, the class is clean and
tidy when managed by female students, the teacher easily conditions and
manages the climate and class environment, social interactions are maintained,
learning feels safe and comfortable, students focus on learning, are active in
asking and answering, being more independent, having the opportunity to
become a leader, creating gender equality, and improving learning outcomes and
student achievement
TIM KONTRA
Even though it has many advantages, learning with a gender segregation system
according to Uum Humairoh (2020) also has many disadvantages. The
disadvantages are that schools have to spend a lot of (local) funds, classes
become dirty and untidy when managed by male students, female teachers find
it difficult to manage and condition male classes, because of extra energy and
extra noise, feelings of awkwardness are formed with the opposite sex, and it is
difficult to socialize . The gender segregation system also makes male students
not hesitate to break several rules during learning hours. A comparison of
learning outcomes in the cognitive domain shows that the average report card
score for men is below that of women (Muhammad Toriq, 2017).
Apart from that, learning with a gender segregation model requires effort that is
not easy to implement. It is not surprising then that most educational institutions
or institutions today (including Islamic educational institutions?) implement
teaching and learning policies without separating students (classes) based on
certain genders, only a small number implement gender segregation policies in
their teaching and learning activities (KBM).
In fact, the results of research conducted by Myra Pendleton show that learning
with a single gender system does not have much influence on student behavior.
If the single gender system does not have the effect of changing student
behavior, then the single gender system cannot be expected to improve student
achievement
CLOSING

Dari segi output pendidikan, pola segregasi maupun non-segregasi, keduanya


memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sedangkan dari segi fikih,
menerapkan pola segregasi gender dalam pembelajaran dapat lebih menjaga diri
dari terjatuh pada keharaman. Tetapi lembaga yang menerapkan non-segregasi
atau kelas heterogen dalam pembelajaran juga tidak masalah selagi bisa
menjaga kaidah dan aturan syariat jangan sampai ada yang dilanggar.
Menerapkan segregasi maupun non-segregasi, yang terpenting dan seharusnya
dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam adalah melakukan pengarusutamaan
gender. Hal ini agar seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan kegiatan di seluruh sektor lembaga
pendidikan Islam telah benar-benar memperhitungkan dimensi atau aspek
gender, yaitu peserta didik laki-laki dan perempuan yang setara dalam akses,
partisipasi dan kontrol atas pendidikan serta dalam memanfaatkan hasil
pendidikan.
Maka sebelum melakukan pengarusutamaan gender, analisis gender merupakan
tahap awal yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam. Analisis
gender dilakukan dengan mengkaji perbedaan dampak proses pendidikan
terhadap peserta didik perempuan dan laki-laki. Untuk melakukan analisis
gender, tentu diperlukan alat analisis (tool) yang dapat membantu secara mudah
dan efektif mengidentifikasi isu-isu gender dan merekomendasikan solusinya.
Salah satu alat analisis yang dapat digunakan adalah Gender Analysis
Pathaway (GAP). GAP bisa dijadikan sebagai instrumen analisis gender yang
berfungsi untuk menganalisis kebijakan, program, kegiatan lembaga pendidikan
Islam dengan menggunakan perspektif gender. Dalam hal ini, analisis bertujuan
untuk merumuskan indikator-indikator yang dapat mengatasi kesenjangan
gender dalam akses, partisipasi, kendali/kontrol, dan manfaat pendidikan.
Berdasarkan indikator GAP, terdapat empat tahapan evaluasi manajemen
segregasi gender peserta didik, yaitu analisis kebijakan, reformulasi kebijakan,
pelaksanaan kebijakan, dan tahap terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Pada
tahap analisis kebijakan, data dan informasi yang ada di lapangan dikumpulkan.
Khususnya dalam perumusan kebijakan terkait manajemen peserta didik dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan. Dari sana akan tampak beberapa
kebijakan pemberlakukan segregasi gender antara laki-laki dan perempuan yang
mengakibatkan kesenjangan gender maupun tidak.
Pada tahap reformulasi kebijakan, lembaga pendidikan Islam dapat
memanfaatkan agenda rapat rutin sebagai sarana untuk mengevaluasi beberapa
kebijakan apakah sudah setara gender atau perlu dievaluasi ulang. Sedangkan
pada tahap pelaksanaan kebijakan, misalnya pada proses pembelajaran dan
kebijakan terkait tata tertib peserta didik apakah sudah responsif gender atau
belum. Lalu pada tahap akhir yaitu tahap monitoring dan evaluasi, segala
kebijakan dan pelaksanaan dipantau dan dievaluasi jika terdapat kendala atau
masalah yang ditemui terkait pengarusutamaan gender
CLOSING
In terms of educational output, segregation and non-segregation patterns, both
have their respective advantages and disadvantages. Meanwhile, from the
perspective of jurisprudence, implementing gender segregation patterns in
learning can better protect oneself from falling into unlawfulness. But
institutions that implement non-segregation or heterogeneous classes in learning
also have no problem as long as they can maintain the rules and regulations of
the Shari'a so that nothing is violated.
Implementing segregation and non-segregation, the most important thing that
Islamic educational institutions should do is carry out gender mainstreaming.
This is so that the entire planning, implementation, monitoring and evaluation
process of all policies, programs and activities in all sectors of Islamic
education institutions truly takes into account gender dimensions or aspects,
namely that male and female students are equal in access, participation and
control over education and in utilizing educational results.
So before carrying out gender mainstreaming, gender analysis is the initial stage
that must be carried out by Islamic educational institutions. Gender analysis is
carried out by examining the differences in the impact of the educational
process on female and male students. To carry out gender analysis, analytical
tools are needed that can help easily and effectively identify gender issues and
recommend solutions.
One analytical tool that can be used is Gender Analysis Pathaway (GAP). GAP
can be used as a gender analysis instrument which functions to analyze policies,
programs and activities of Islamic educational institutions using a gender
perspective. In this case, the analysis aims to formulate indicators that can
overcome gender gaps in access, participation, control and benefits of
education.
Based on the GAP indicator, there are four stages of evaluating student gender
segregation management, namely policy analysis, policy reformulation, policy
implementation, and the final stage is monitoring and evaluation. At the policy
analysis stage, data and information in the field are collected. Especially in
formulating policies related to student management with a ratio of men to
women. From there it will be seen that several policies implementing gender
segregation between men and women have resulted in gender gaps or not.
At the policy reformulation stage, Islamic educational institutions can utilize
regular meeting agendas as a means to evaluate whether several policies are
gender equal or need to be re-evaluated. Meanwhile, at the policy
implementation stage, for example in the learning process and policies related to
student discipline, whether they are gender responsive or not. Then in the final
stage, namely the monitoring and evaluation stage, all policies and
implementation are monitored and evaluated if there are obstacles or problems
encountered related to gender mainstreaming.

You might also like