You are on page 1of 9

HUBUNGAN ANTARA SUPERNUMERARY TEETH DAN

AGENESIS DALAM PERAWATAN ORTODONTI

DISUSUN OLEH :

PPDGS ORTODONTI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam dunia kedokteran gigi sering ditemukan kelainan pada gigi dalam rongga
mulut yang biasanya disebut dengan anomali gigi. Gigi memiliki keunikan, meskipun
bagi orang awam gigi tersebut mungkin terlihat sama. Variasi bentuk, warna, posisi, pola
keausan, karies, periodontitis, restorasi gigi, prostesa gigi bahkan anomali gigi
mempunyai tingkat individualistik seperti sidik jari. Anomali gigi dapat didefinisikan
sebagai suatu abnormalitas morfologi gigi yang terjadi pada tahap pertumbuhan dan
perkembangan gigi. Menurut Tinoco, et al (2012) anomali gigi merupakan suatu kelainan
perkembangan yang merupakan perbedaan dari apa yang dianggap sebagai keadaan
normal dari proses perkembangan dan differensiasi. Anomali gigi juga merupakan
kelainan kongenital yang dapat terjadi sebagai bagian dari suatu sindrom. Faktor genetik
adalah faktor yang paling mempengaruhi terjadinya anomali gigi selain faktor lingkungan
dan adanya gangguan metabolisme. anomali gigi meliputi adanya kelainan atau
perubahan pada jumlah, ukuran, morfologi, struktur gigi, dan posisi.1
Perkembangan gigi-geligi melalui proses kompleks yang disebut juga
odontogenesis, dalam mekanisme pembentukan gigi terbagi dalam tahap morfologi dan
tahap fisiologis. Jika pada prosesnya tidak berjalan dengan baik maka dapat menyebabkan
abnormalitas pertumbuhan pada gigi baik itu kelebihan gigi atau kekurangan gigi
(supernumerary teeth atau anadontia). Kemungkinan anadontia sering ditemukan pada
gigi yang berkembang terakhir dari setiap kelas morfologi gigi, yakni insisivus lateral,
premolar dua, dan molar tiga. 2
Bentuk gigi desidui sudah mulai berkembang pada usia 4 bulan dalam kandungan.
Pertumbuhan dan perkembangan gigi melalui beberapa tahap, yaitu tahap inisiasi,
proliferasi, histodiferensiasi, morfodiferensiasi, aposisi, kalsifikasi dan erupsi. Pada
masing-masing tahap dapat terjadi anomali yang menyebabkan anomali dalam jumlah
gigi, ukuran gigi, bentuk gigi, struktur gigi, warna gigi dan gangguan erupsi gigi. 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anomali gigi
Anomali gigi adalah perubahan dari struktur gigi yang muncul dari anomali saat
pembentukan gigi, bisa karena bawaan ataupun pertumbuhan. Anomali gigi bisa terjadi
karena beberapa faktor, termasuk lingkungan dan pengaruh genetik. Anomali
pertumbuhan adalah kejadian yang sering terjadi saat proses pertumbuhan gigi. Anomali
gigi meliputi jumlah, morfologi, ukuran dan perubahan saat erupsi. Anomali tersebut bisa
menyebabkan komplikasi pada perawatan dental, seperti perawatan saluran akar dan
pencabutan gigi, dan bisa menyebabkan maloklusi. 2
Anomali gigi yang dipengaruhi faktor herediter adalah kekurangan jumlah gigi
(hipodontia), kelebihan jumlah gigi (hiperdontia), misalnya mesiodens, bentuk gigi yang
khas misalnya carabeli pada molar, kaninus yang impaksi di palatal, transposisi gigi
misalnya kaninus yang terletak diantara premolar pertama dan kedua. 3
Etiologi anomali gigi yaitu:
- Faktor herediter
- Gangguan pada waktu pertumbuhan dan perkembangan gigi
- Gangguan metabolisme

B. Klasifikasi anomali gigi


1. Anomali jumlah gigi
a. Kekurangan jumlah gigi : kelainan jumlah gigi dapat berupa tidak ada
pembentukan gigi atau agenesis. 3
- Anodontia : adalah suatu keadaan tidak terbentuk gigi sama sekali,
frekuensinya sangat jarang dan merupakan bagian dari sindrom dysplasia
ectodermal.3
- Hypodontia : suatu keadaan beberapa gigi mengalami agenesis (sampai 6
gigi). Hipodonsia dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti infeksi lokal,

radioterapi, kemoterapi atau obat-obatan. Pasien yang memiliki penyakit


sistemik seperti down’s Syndrome dan ektodermal displasia juga sering

mengalami hipodonsia atau anadonsia. Hipodonsia juga mungkin terjadi akibat

kongenital ataupun genetik. Gigi yang paling sering mengalami hipodonsia


adalah molar tiga, premolar, dan insisivus lateralis maksila. Hipodonsia
seringkali terjadi bersamaan dengan anomali gigi lain seperti mikrodonsia,
transposisi dari gigi permanen, taurodontisme dan impaksi kaninus ektopik. 4
- Oligodontia : suatu keadaan gigi yang tidak terbentuk lebih dari 6 gigi. 3

b. Kelebihan jumlah gigi (Supernumerary teeth) : merupakan kelebihan jumlah


gigi satu atau lebih dari jumlah normal gigi. Supernumerary teeth terjadi pada
1-4% populasi, dapat terjadi baik pada gigi desidui maupun gigi permanen,
namun paling sering terjadi pada gigi permanen. Kasus anomali supernumerary
teeth dapat terjadi sendiri (non-sindromic) atau bersamaan dengan anomali lain

(sindromic). Kasus multiple supernumerary teeth biasanya diasosiasikan


dengan bermacam sindrom genetik, misalnya cleidocranial displasia dan
sindrom Gardner. Anomali supernumerary ini dapat menghalangi erupsi gigi
permanen. Klasifikasi supernumerary teeth berdasarkan lokasinya yaitu: 3,4
a. Mesiodens : gigi berlebih yang terletak di garis median rahang atas atau
diantara insisivus sentralis. Letaknya kadang terbalik (inverted) yaitu
mahkota menghadap ke apical dan apeksnya mengarah ke oklusal,
jumlahnya dapat lebih dari satu, bentuknya kadang-kadang tidak normal. 3
b. Laterodens : gigi berlebih yang terletak di sekitar insisivus lateral.
Bentuknya kadang-kadang menyerupai insisivus lateral yang normal
sehingga sukar dibedakan. 3

C. Hubungan anomali gigi dengan ortodonti


Anomali gigi sering mengakibatkan maloklusi dan mengganggu fungsi, bicara,
dan estetika. Dengan demikian, perawatan yang tepat dianggap perlu untuk
memperbaiki atau mengimprovisasi kondisi ini. Ada kekurangan studi tentang
perawatan untuk pasien dengan anomali gigi dalam populasi mereka. Menurut hasil
penelitian, sebagian besar pasien (79,05%) dengan anomali direncanakan untuk
berbagai perawatan, sebagian besar perawatan cekat. Anomali tersebut dapat
menyebabkan gigi lain pada lengkung rahang menjadi ektrusi, intrusi, rotasi, overbite,
dan ruang pada lengkung rahang, terutama akibat hipodonsia. Kondisi tersebut dapat
dikoreksi dengan piranti ortodonti cekat, karena memungkinkan tidak hanya gerakan
vertikal dan miring dari gigi tetapi juga gerakan rotasi dan ke apikal. Perawatan ini
diindikasikan ketika gerakan gigi yang tepat diperlukan.8
Masalah gigi supernumerary yang dapat mempengaruhi oklusi normal karena
jumlahnya yang lebih banyak dari seharusnya, sehingga berdampak terhadap
terjadinya maloklusi dan kelainan di rongga mulut. Jika gigi supernumerary erupsi di
luar lengkung rahang, oklusi yang normal mungkin tidak terganggu, namun apabila
erupsi dalam lengkung gigi tempat gigi permanen seharusnya erupsi maka dapat
menyebabkan terjadinya maloklusi. berupa diastema sentral, gigi berjejal, rotasi dan
lain lain. 9
Penanganan gigi supernumerary tergantung dari banyak faktor, termasuk
diantaranya efek potensial gigi ini terhadap perkembangan gigi normal, posisi gigi,
jumlah dan komplikasi yang mungkin diakibatkan bila dilakukan tindakan pencabutan
2
gigi tersebut. Sebagian besar kasus gigi supernumerary dilakukan pencabutan dengan
pertimbangan agar tidak menghalangi erupsi gigi permanen.4
Pasien dengan agenesis gigi dapat menunjukkan perkembangan gigi yang lebih

lambat dan usia gigi yang tertunda dibandingkan dengan usia kronologis
. Informasi
ini dapat dijelaskan dengan hubungan kausalitas dari anomali gigi ini dan
memerlukan perhatian dokter gigi. Secara umum, pasien dengan agenesis gigi
mencapai kematangan oklusal lebih lambat. Gigi permanen dapat diselesaikan
beberapa tahun lebih lambat dari usia biasanya. Berdasarkan pengetahuan ini,
perawatan ortodontik fase dua harus ditunda. Diagnosis awal dan akhir perawatan
ortodontik komprehensive adalah kombinasi sempurna untuk pasien dengan pola
anomali gigi terkait. 10
BAB III
KESIMPULAN

I
mplikasi klinis dari terkait pola anomali gigi sangat penting, karena diagnosis
dini dari anomali gigi tertentu dapat mengingatkan profesional terhadap kemungkinan
perkembangan anomali terkait pasien yang sama atau dalam keluarga, memungkinkan
diagnosis dini dan intervensi ortodontik tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Annariswati, I. A., & Agitha, S. R. A. (2021). Anomali gigi sebagai sarana


identifikasi forensik. Jurnal Radiologi Dentomaksilofasial Indonesia (JRDI), 5(1), 31-
38
2. Yunus, B., & Iman, K. I. (2020). Prevalensi anomali jumlah gigi ditinjau dari
radiografi panoramik di RSGM UNHAS Makassar. Jurnal Radiologi
Dentomaksilofasial Indonesia (JRDI), 4(1), 17-22.
3. Rahardjo, P. (2019). Ortodonti Dasar Edisi 2. Airlangga University Press.
4. Tarigan AP. Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Mengenai Gambaran
Anomali Gigi Menggunakan Radiografi Kedokteran Gigi di FKG USU. 2017
5. Cendikiawan R. Status Maloklusi Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Hasanuddin. 2015
6. Hertiana, E. (2018). PENATALAKSANAAN AMELOGENESIS IMPERFEKTA:
LAPORAN KASUS. Cakradonya Dental Journal, 10(1), 38-43.
7. Ashar, F., & Abdurokhman, E. I. (2019). Laporan Kasus: Dentinogenesis
Imperfekta. STOMATOGNATIC-Jurnal Kedokteran Gigi, 16(1), 12-15.
8. Roslan, A. A., Ab Rahman, N., & Alam, M. K. (2018). Dental anomalies and their
treatment modalities/planning in orthodontic patients. Journal of orthodontic
science, 7.
9. Herlianti Iswari, S. Gigi Supernumerary dan Perawatan Ortodonsi.
10. Garib, D. G., Alencar, B. M., Ferreira, F. V., & Ozawa, T. O. (2010). Associated
dental anomalies: the orthodontist decoding the genetics which regulates the dental
development disturbances. Dental Press Journal of Orthodontics, 15, 138-157.

You might also like