You are on page 1of 15

MAKALAH

BUTUH TAMBAHAN TERAPI OBAT

Dosen Pengampu :Apt.Liniati Geografi, M.Sc

Di Susun Oleh :
Philipus Sulistrio Raja Lalo :231148201301
Cristianus Dwi Madang :231148201265
Grasilia Apriliani Joa :231148201274
Kresensia Apriliani Reny :231148201282
Marselin Ameliana :231148202189
Matius Rinaldo Sariandory :231148201290
Micolaus Lejiu :231148202195
Velanie Caroline :231148201317
Yosevina Huwan Tekwan :231148201323

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIRGAHAYU SAMARINDA
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya, sehingga
Makalah Pengantar Ilmu Farmasi dan Etika dengan judul “Butuh Tambahan Terapi Obat” dapat
tersusun dan selesai tepat pada waktunya.

Makalah ini dibuat sebagai pedoman dalam memahami tentang ilmu farmasi dan etika
terutama didalam pemberian terapi obat. Dengan adanya materi ini, diharapkan dapat membantu
mahasiswa dalam mempelajari metode terapi obat yang dilakukan dalam program studi Farmasi.

Pada setiap bab telah ditetapkan mengenai metode dan kategori masalah menurut ASHP
sesuai dengan materi yang akan dibahas. Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kami sendiri maupun pembaca dalam meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang
etika dalam terapi obat. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah ini.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkahi kita
semua. Amin.

Samarinda, 12 Oktober 2023

Penyusun.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i


DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1


A. Latar Belakang ................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................4
C. Tujuan Masalah ...............................................................................4

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................5


A. Pemakaian Obat................................................................................5
B. Ketepatan Penggunaan Obat............................................................6
C. Penyimpanan Obat...........................................................................7
D. Butuh Tambahan Terapi Obat..........................................................8

BAB III PENUTUP ..........................................................................................10


A. Kesimpulan ...................................................................................10
B. Saran ..............................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan sekelompok gangguan metabolisme yang ditandai
oleh hiperglikemia yang berhubungan dengan kelainan karbohidrat, lemak,
metabolisme protein dan komplikasi kronis termasuk mikrovaskular, makrovaskular,
dan gangguan neuropatik. Hampir 18,2 juta orang Amerika menderita Diabetes
Melitus (Dipiro, dkk., 2009). Penyakit Diabetes Melitus juga merupakan salah satu
penyakit yang menarik perhatian di Indonesia karena penderitanya terus bertambah
banyak. Dimana, menurut hasil RISKESDAS 2013 yang dipublikasikan dari
Departemen Kesehatan terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,4 persen
(2013) (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) Pada tahun 2014, terdapat
9% dari usia 18 tahun hingga usia tua mengalami diabetes . Pada tahun 2012, diabetes
merupakan penyebab kematian yakni sebanyak 1,5 juta. Dan lebih dari 80% kematian
yang disebabkan oleh diabetes terjadi pada negara yang berpenghasilan rendah dan
menengah.
Menurut Riskesdas 2007, berdasarkan diagnosis atau gejala bahwa DKI Jakarta
merupakan provinsi dengan prevalensi diabetes melitus tertinggi yaitu sebesar 2,6%.
Menurut riset yang sama bahwa data morbiditas pada pasien rawat inap RS di seluruh
Indonesia pada tahun 2009, jumlah penderita diabetes melitus tertinggi terdapat pada
kelompok umur 45-64 tahun, diikuti kelompok umur 65 tahun ke atas dan
kelompok 25-44 tahun. Sedangkan data mortalitas diabetes melitus di RS
menggambarkan 74,3% merupakan pasien diabetes yang tidak bergantung pada insulin
dan 25,7% selebihnya merupakan pasien diabetes yang bergantung pada insulin
(Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Diabetes melitus tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan yakni 90%
dari kasus diabetes melitus pada umumnya. Sebagian besar penyebab kenaikan kejadian
diabetes melitus tipe 2 karena meningkatnya lemak tubuh dan gaya hidup yang tidak
teratur. Dengan peningkatan jumlah obesitas di seluruh dunia maka terjadi
peningkatan juga pada prevalensi DM tipe 2. Pada pengelolaan terapi DM bertujuan
untuk mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, mengurangi
angka kematian, serta meningkatkan kualitas hidup. Langkah pertama pada pengelolaan
terapi diabetes melitus yaitu terapi non-farmakologi, jika target belum tercapai dapat di
lakukan terapi farmakologi (Dipiro, et.al., 2009).
Pasien DM tipe 2 banyak ditemukan pada usia tua (geriatri) dan sering tidak
terdapat gejala sebelumnya (Dipiro, et.al., 2009). Geriatri merupakan individu yang
telah mengalami proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan pada
jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
terjadi penurunan pertahanan tehadap infeksi dan untuk memperbaiki kerusakan yang
diderita. Secara umum masalah pada geriatri masih merupakan suatu masalah yang
belum dapat teratasi, hal ini berhubungan dengan kondisi pasien geriatri yang telah
mengalami penurunan fungsi organ tubuh dan daya tahan tubuh akibat proses menua
(Potter dan Perry., dkk, 2005). Populasi geriatri merupakan tantangan dan peluang yang
besar yang dihadapi oleh semua negara. Di negara-negara yang kurang berkembang
telah merubah sistem pelayanan kesehatan pada populasi geriatri agar dapat melengkapi
kebutuhan kesehatan populasi geriatri dan sambil terus mengatasi masalah kesehatan
lainnya seperti kesehatan ibu dan anak (Keller, dkk., 2002). Pada pengobatan pasien
geriatri harus selalu melakukan pertimbangan yang khusus terhadap kondisi kesehatan,
pemilihan obat, penyesuaian dosis serta melakukan pengobatan secara teratur.
Pada pasien geriatri kapasitas fungsional sebagian besar sistem organ utama
menunjukkan adanya penurunan. Beberapa perubahan ini mengubah farmakokinetik.
Bagi para ahli farmakologi dan klinisi, perubahan terpenting dari segala perubahan
adalah penurunan fungsi ginjal. Berbagai perubahan serta penyakit yang menyertai
lainnya dapat mengubah karakteristik farmakodinamik obat-obat tertentu pada beberapa
pasien (Katzung, 2010). Hal ini yang menyebabkan perlu perhatian khusus untuk
pengobatan pada pasien geriatri

Pengobatan diabetes melitus umumnya memerlukan waktu yang lama dan


sering merupakan pengobatan yang lebih dari satu obat. Komplikasi yang terjadi pada
diabetes melitus akan menambahkan kompleksitas pengobatan yang dilakukan terhadap
pasien. Hal ini berpotensi untuk terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Drug Related
Problems (DRPs) merupakan suatu peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh
pasien yang berpotensi atau terbukti dapat mengganggu pencapaian terapi obat. (Cipolle,
dkk., dalam review Adusumilli dan Adepu, 2014). Pada umumnya DRPs terdiri dari 7
kategori, namun salah satu kategori DRPs yakni ketidakpatuhan pasien tidak dapat
dilakukan pada penelitian ini karena penelitian bersifat retrospekftif sehingga tidak dapat
memantau pasien secara langsung.

Penelitian yang dilakukan di rumah sakit Malaysia periode Januari 2009 hingga
Juni 2012 tercatat sebesar 77,8% mayoritas usia 60 sampai 79 tahun (rata- rata usia
71tahun) yang mengalami DRPs dan kategori yang dialami pasien yaitu masalah
pemilihan obat sebesar 45,9%, masalah interaksi obat tercatat 24,9%, dan masalah dosis
tercatat sebesar 13,3% (Huri,et.al., 2014). Penelitian yang terjadi diindonesia salah
satunya, penelitian yang dilakukan di RSUP Jogjakarta periode Januari-Juni 2009 tercatat
sebesar 73,1% usia lanjut 60-75 tahun (elderly) yang mengalami DRPs dan kategori yang
dialami oleh pasien yaitu masalah dosis terlalu rendah (3,8%) dan (Adverse Drug
Reaction) reaksi obat yang tidak diinginkan (53,8%). (Ayuningtyas, 2010).
Pada praktek pelayanan farmasi klinik apoteker atau farmasis memegang peranan
penting dalam pencapaian terapi obat dan menghindari terjadinya Drug Related
Problems (DRPs). Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka
dalam penentuan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya
(Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2014).
Berdasarkan paparan diatas, menunjukan bahwa pentingnya pemilihan obat
terutama pada pasien geriatri dengan Diabetes Melitus Tipe 2 untuk menghindari atau
menurunkan angka terjadinya DRPs, sehingga diharapkan dapat membantu
meningkatkan kualitas layanan di Rumah Sakit Umum Pelabuhan Jakarta Utara agar
tercapai suatu keberhasilan terapi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa
rumusan masalah,antara lain:
1. Bagaimana Pemakaian Obat ?
2. Bagaimana Ketepatan Penggunaan Obat?
3. Bagaimana Cara Penyimpanan Obat?
4. Apa Saja Butuh Tambahan Terapi Obat?

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan dengan rumusan masalah diatas, maka penulis dapat menyimpulkan
beberapa tujuan permasalahan, antara lain:

1. Untuk Mengartahui Penggunaan obat.


2. Untuk Mengetahui Ketepatan Penggunaan Obat.
3. Untuk Mengetahui Cara Penyimpanan Obat.
4. Untuk Mengetahui Butuh Tambahan Terapi Obat.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pemakain Obat

Pemakaian obat banyak sekali yang digunakan untuk mengobati berbagai


penyakit. Pengertian obat itu sendiri merupakan bahan yang hanya dengan takaran
tertentu dan penggunaan yang tepat dapat dimanfaatkan untuk mencegah penyakit,
menyembuhkan atau memelihara kesehatan. Oleh karena itu, pada saat sebelum
penggunaan obat harus diketahui sifat dan cara pemakaian agar penggunaannya tepat dan
aman. Informasi tentang obat, utamanya obat bebas dapat diperoleh dari etiket atau
brosur yang menyertai obat tersebut. Apabila pasien kurang memahami isi informasi
dalam etiket atau brosur obat, dianjurkan untuk menanyakan pada tenaga kesehatan
(Depkes, 2007).
Nyeri dapat menjadi suatu masalah jika rasa nyeri tersebut tidak segera di obati,
sehingga penyakit menjadi berkepanjangan dan dapat merugikan penderita. Oleh karena
itu, berbagai upaya telah dilakukan manusia untuk meringankan rasa nyeri tersebut
supaya dapat berkurang bahkan sampai hari ini pengaruh nyeri atau rasa sakit ini adalah
penyebab utama pasien menemui dokter untuk pengobatan (Ekasari, 1998). Analgetika
atau yang sering disebut dengan obat penghalang rasa nyeri merupakan bagian zat-zat
yang dapat mengurangi atau menghalangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
(Tjay dan Rahardja, 2007).
Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri sering disebut dengan istilah
swamedikasi. Hal tersebut biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhankeluhan yang
muncul pada penyakit ringan yang banyak dialami oleh masyarakat, seperti demam,
pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit dan penyakit lain-
lain. Pada pelaksanaan swamedikasi justru dapat menimbulkan sumber terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) karena adanya keterbatasan pengetahuan oleh
masyarakat akan obat dan penggunannya (Depkes, 2006).
Salah satu tanggung jawab dari apoteker dalam menjalani pengobatan sendiri
adalah memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa obat yang akan digunakan
tersebut aman, efektif, dan terjangkau agar pengobatan sendiri yang dilakukan
masyarakat dapat memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Pengobatan sendiri yang
berkualitas dapat dilihat dari indikator rasionalitas terapi yaitu tepat obat, tepat penderita,
tepat dosis, tepat waktu pemberian, dan waspada akan efek samping (Ganiswara,1995)

B. Ketepatan Penggunaan Obat


Pengobatanswamedikasi terdapat beberapa kriteria dalam ketepatan penggunaan
obat, antara lain:
1. Tepat Indikasi Yaitu responden memilih penggunaan obat yang berdasarkan gejala-
gejala yang telah dialami dan dirasakan nyerinya.
2. Tepat Obat Yaitu melilih kelas terapi dan jenis obat berdasarkan pertimbangan manfaat,
keamanan, harga, dan mutu.
3. Tepat Pasien Yaitu pasien memilih/menggunakan obat yang tidak terdapat
kontraindikasi pada penderita yang bersangkutan (nyeri) dan riwayat penyakit lain
yang dideritas
4. Tepat Dosis Yaitu dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut.
Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang
akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus
disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia, berat badan, maupun kelainan
tertentu. (Lestari, 2014)
C. Cara Penyimpanan Obat
Dalam upaya pengobatan suatu penyakit, diperlukan pengetahuan dalam
menyimpan suatu obat dengan benar, supaya tidak terjadi perubahan sifat obat bahkan
sampai terjadi kerusakan obat.
Berikut merupakan cara menyimpan obat secara umum obat yang benar menurut
Depkes (2008), diantaranya :
1. Dijauhkan dari jangkauan anak – anak.
2. Disimpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.
3. Disimpan obat ditempat yang sejuk dan terhindar dari sinar matahari
langsung atau ikuti aturan yang tertera pada kemasan.
4. Dihindari meninggalkan obat di dalam mobil dalam jangka waktu
lama karena suhu yang tidak stabil dalam mobil dapat merusak sediaan
obat.
5. Tidak diperbolehkan menyimpan obat yang telah kadaluarsa.
Penyimpanan Secara Khusus di antaranya :
1. Tablet dan kapsul Obat bentuk sedian tablet atau kapsul dilarang
dismpan ditempat yang panas dan atau lembab karena dapat
memnyebabkan kerusakan obat dari bentuk fisik dan khasiatnya.
2. Sediaan obat cair Obat dalam bentuk cair tidak boleh disimpan dalam
lemari pendingin (freezer) agar tidak beku kecuali disebutkan pada
etiket atau kemasan obat, karena dapat merubah bentuk fisik dan
khasiat serta susah ketika nantinya diminum obatnya.
3. Sediaan obat vagina dan ovula Sediaan obat untuk vagina dan anus
(ovula dan suppositoria) disimpan di lemari es karena dalam suhu
kamar akan mencair.
4. Sediaan Aerosol / Spray Sediaan obat tidak boleh disimpan di tempat
yang mempunyai suhu tinggi, karena dapat menyebabkan ledakan.
(Depkes, 2007)
D. Butuh Tambahan Terapi Obat

Diabetes melitus tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan yakni 90%
dari kasus diabetes meliputi pada umumnya. Sebagian besar penyebab kenaikan kejadian
diabetes melitus tipe 2 karena meningkatnya lemak tubuh dan gaya hidup yang tidak
teratur. Dengan peningkatan jumlah obesitas di seluruh dunia maka terjadi peningkatan
juga pravelensi diabetes melitus tipe 2. Pada pengelolaan terapi diabetes melitus
bertujuan untuk mengurangi resiko komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular,
mengurangi angka kematian, serta meningkatkan kualitas hidup. Langkah pertama pada
pengelolaan dapat dilakukan terapi farmakologi (Dipiro, dkk., 2009)
Pengobatan diabetes melitus umumnya memerlukan waktu yang lama dan sering
merupakan pengobatan yang lebih dari satu obat. Komplikasi yang terjadi pada diabetes
melitus akan menambahkan kompleksitas pengobatan dilakukan terhadap pasien. Hal ini
berpotensi untuk terjadi Drug Related Problem (DRP). Drug Related Problem (DRP)
merupakan suatu peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang
berpotensi atau terbukti dapat mengganggu pencapaian terapi obat (Cipolle, dkk., 1998).
Berdasarkan hal diatas, diperlukanlah penilitian tentang Drug Related Problem
(DRP) yaitu bagian asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) yang mengambarkan suatu
keadaan, dimana profesional kesehatan (apoteker) menilai adanya ketidaksesuain
pengobatan dalam mencapai terapi yang sesungguhnya (Hepler, 2003).
Dari beberapa pembahasan diatas maka dapat di simpulkan bahwa penderita
penyakit DM perlu mendapatkan beberapa terapi penambahan obat dan juga Penderita
DM bisa mengalami komplikasi yang tidak diharapkan, oleh karena itu perlu mencermati
apakah ada indikasi penyakit yang tidak diobati. Adanya indikasi penyakit yang tidak
tertangani ini dapat disebabkan oleh:
1. Penderita mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat
2. Penderita memiliki penyakit kronis lain yang memerlukan keberlanjutan
terapi obat
3. Penderita mengalami gangguan medis yang memerlukan kombinasi
farmakoterapi untuk menjaga efek sinergi/potensiasi obat
4. Penderita berpotensi untuk mengalami risiko gangguan penyakit baru yang
dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaktik atau premedikasi
(Depkes RI, 2005).
Ada pun terapi tambahan obat yang harus dijalani untuk pasien penderita penyakit
DM yaitu Terapi Kombinasi Pada keadaan tertentu diperlukan beberapa terapi
kombinasi dari beberapa OHO atau OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah
antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan
merangsang sekresi pangkreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida
bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap
sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling
menunjang. Pengalaman menunjukan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat
efektif pada penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-
sendiri.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat hipoglikemik oral:
1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
dinaikkan secara bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaiman cara kerja, lama kerja dan efek samping
obatobat tersebut.
3. Misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama
kerjanya 24 jam.
4. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
5. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal, baru beralih kepada
insulin.
6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh orang dengan diabetes.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dengan pembahasan diatas, maka penulis dapat menjabarkan
beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) Pada tahun 2014, terdapat
9% dari usia 18 tahun hingga usia tua mengalami diabetes . Pada tahun 2012,
diabetes merupakan penyebab kematian yakni sebanyak 1,5 juta. Dan lebih dari
80% kematian yang disebabkan oleh diabetes terjadi pada negara yang
berpenghasilan rendah dan menengah.
2. Pada pengobatan pasien geriatri harus selalu melakukan pertimbangan yang
khusus terhadap kondisi kesehatan, pemilihan obat, penyesuaian dosis serta
melakukan pengobatan secara teratur.
3. Pemakaian obat banyak sekali yang digunakan untuk mengobati berbagai
penyakit. Pengertian obat itu sendiri merupakan bahan yang hanya dengan takaran
tertentu dan penggunaan yang tepat dapat dimanfaatkan untuk mencegah
penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan.
4. Tepat Dosis Yaitu dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat
tersebut. Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun
farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat di dalam darah dan efek
terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dari segi usia,
berat badan, maupun kelainan tertentu.
5. Dalam upaya pengobatan suatu penyakit, diperlukan pengetahuan dalam
menyimpan suatu obat dengan benar, supaya tidak terjadi perubahan sifat obat
bahkan sampai terjadi kerusakan obat.
6. Pengobatan diabetes melitus umumnya memerlukan waktu yang lama dan sering
merupakan pengobatan yang lebih dari satu obat. Komplikasi yang terjadi pada
diabetes melitus akan menambahkan kompleksitas pengobatan dilakukan terhadap
pasien.
7. Dari beberapa pembahasan diatas maka dapat di simpulkan bahwa penderita
penyakit DM perlu mendapatkan beberapa terapi penambahan obat dan juga
Penderita DM bisa mengalami komplikasi yang tidak diharapkan, oleh karena itu
perlu mencermati apakah ada indikasi penyakit yang tidak diobati.
8. Ada pun terapi tambahan obat yang harus dijalani untuk pasien penderita penyakit
DM yaitu Terapi Kombinasi Pada keadaan tertentu diperlukan beberapa terapi
kombinasi dari beberapa OHO atau OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum
adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan
mengawali dengan merangsang sekresi pangkreas yang memberikan kesempatan
untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral
ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi
keduanya mempunyai efek saling menunjang.

B. Saran
Setelah mengulas terkait Terapi Obat tambahan pada pasien yang menderita
penyakit DM maka penulis dapat memeberikan beberpa saran sebagai berikut:
1. Perlu adanya Monitoring dan Evaluasi Penggunaan Obat secara Teratur
2. Perlu adanya kerja sama antara dokter dan Apoter secara benar guna untuk
meningkatakan kualitas pelayanan kefarmasian dan pengobatan pada pasien
sehingga didapatkan terapi yang tepat,efektik dan aman.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Asoociation. 2014. Standards of Medical Care In


Diabetes 2014, Vol 37 (suppl 1) . American Diabetes Asoociation.
Hal. 27

Atkinson A, Abernethy DR, Daniels CE, Dedrick RL, Markey SP .2007.


Principles of Clinical Pharmacology Second Edition.USA: Elsevier
Inc. p.230.

Ayuningtyas, Maria Fea Fessy. 2010. (Skripsi) Evaluasi Drug Related


Problems Obat Hipoglikemik Kombinasi Pada Pasien Geriatri
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Periode Januari- Juni 2009. Yogyakarta:
Fakultas Farmasi USD.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan,


Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Laporan Nasional 2012. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Baxter, Karen. 2008. Stockley’s Drug Interaction. Edisi Kedelapan. Great


Britain: Pharmaceutical Press. p.1-10.

Cello. 2010. Diabetes melitus Type 2 Protocol. Leiden: Mw. M. van


Mierlo,practice nurse, Mw. C. Gieskes, diabetes nurse. p.1-10

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk penyakit


Diabetes melitus . Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik.

You might also like