You are on page 1of 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Konsep pertumbuhan inklusif dewasa ini menjadi salah satu konsep yang

paling banyak diadopsi terutama oleh negara-negara emerging countries dan

terjebak dalam middle income trap yang menghadapi pertumbuhan ekonomi

tinggi diikuti dengan ketimpangan yang besar. Meskipun diakui oleh berbagai

ekonom bahwa tidak ada resep yang baku dalam mencapai pertumbuhan inklusif,

namun pendekatan makro, perdagangan dan tenaga kerja masih menjadi strategi

utamanya. Seacara spesifik redistribusi fiskal, kebijakan moneter untuk

mendukung stabilitas makro, reformasi struktural untuk menstimulasi

perdagangan, menurunkan pengangguran dan meingkatkan produktivitas

dianggap sebagai penentu pertumbuhan inklusif.

Meski demikian, dimensi sosial menjadi faktor yang dianggap paling

menentukan. Ketimpangan tidak saja dikaitkan dengan pendapatan (ketimpangan

outcome) yang di proksikan oleh ketimpangan pendapatan, namun juga

ketimpangan kesempatan yang menunjujkkan ketimpangan non-pendapatan.

Ketimpangan kesempatan menunjukkan pentingnya dimensi sosial dalam

mengatasi permasalahan ketimpangan kesempatan dan akses terhadap sumber-

sumber yang dapat menunjang akslerasi peningkatan pendapatan kelompok

berpendapatan terendah.

Sektor perbankan merupakan salah satu sektor yang menguasai industri

keuangan Indonesia. Perbankan memiliki aset terbesar dibandingkan dengan

1
2

lembaga keuangan yang ada di industri keuangan Indonesia yaitu mencapai Rp

4.330 triliun atau 68,25 persen dari total aset industri keuangan pada tahun 2017.

Besarnya aset perbankan menunjukkan perbankan merupakan lembaga keuangan

yang mampu menarik konsumen lebih banyak dibandingkan dengan lembaga

keuangan lainnya. Masyarakat lebih memilih menyimpan asetnya di perbankan

dalam bentuk dana pihak ketiga.

Tabel 1.1
Jumlah Total Aset Industri Keuangan Indonesia Tahun 2017

Lembaga Jasa Keuangan Aset (triliun Rp Persen


Bank 4.330,0 68,25
Asuransi 1.173,1 18,49
Lembaga Pembiayaan 556,9 8,78
Dana Pensiun 262,2 4,13
Lembaga jasa keuangan lainnya 22,7 0,35
Total 6.344,9 100
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2017

Berdasarkan keterangan dari tabel tersebut menunjukkan bahwa sektor

perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling banyak memiliki aset yaitu

sebesar 4.330 triliun rupiah atau sebesar 68,25% dari jumlah keseluruhan aset

lembaga keuangan. Untuk aset asuransi sebesar 1.173,1 triliun rupiah atau

18,49%, sedangkan dana pensiun berada pada posisi ketiga dengan jumlah aset

yang dimiliki sebesar 556,9 triliun rupiah atau sebesar 8,78% pada aset dana

pensiun sebesar 262,2 triliun rupiah atau sebesar 4,13% sedangkan untuk aset

yang dimiliki oleh lembaga jasa keuangan lainnya sebesar 22,7 triliun rupiah atau

0,35%.

Demirguc-Kunt et al. (2015:12) menyatakan bahwa sektor keuangan

merupakan inti dari proses pembangunan. Empiris baik pada tingkat perusahaan,
3

industri, rumah tangga, maupun perbandingan antar negara, bahwa terdapat hubungan

positif antara fungsi sistem keuangan dengan pertumbuhan ekonomi dalam jangka

panjang. Pembangunan sektor keuangan, terutama sektor perbankan, dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi (Cheng dan Degryse, 2010:19). Pembangunan

sektor keuangan, terutama sektor perbankan, dapat meningkatkan akses dan

penggunaan jasa perbankan oleh masyarakat. Semakin terbukanya akses terhadap jasa

keuangan, masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan akses tersebut serta

meningkatkan pendapatannya melalui penyaluran kredit oleh lembaga keuangan

terutama apabila digunakan untuk kegiatan produktif. Sulitnya akses terhadap jasa

keuangan menyebabkan masyarakat miskin harus mengandalkan tabungan yang

terbatas untuk investasi dan pengusaha kecil harus mengandalkan laba untuk

meneruskan usaha. Akibatnya, ketimpangan pendapatan tidak berkurang dan

pertumbuhan ekonomi melambat.

Seiring dengan berkembangnya sektor perbankan, distribusi layanan jasa

perbankan juga harus merata. Meskipun jumlah kantor cabang bank, DPK yang

terhimpun, serta kredit yang disalurkan semakin meningkat, namun masih terdapat

masyarakat Indonesia yang belum dapat mengakses jasa perbankan. Berdasarkan data

Global Financial Index World Bank tahun 2011, jumlah penduduk dewasa di

Indonesia baik yang memiliki rekening, menabung, atau meminjam di lembaga

keuangan formal, salah satunya sektor perbankan, pada tahun 2011 masih di bawah

20%. Jasa keuangan formal sulit diakses terutama oleh penduduk desa sehingga

mereka memilih untuk meminjam dan menabung di lembaga keuangan informal.

Rendahnya akses ini disebabkan karena tingkat pendapatan yang rendah, tata
4

operasional bank rumit, kurangnya edukasi keuangan dan perbankan, biaya

administrasi bank yang tinggi serta jauhnya lokasi bank dari tempat tinggal mereka.

Salah satu cara untuk mengetahui distribusi layanan sektor perbankan dapat

diukur dengan tingkat inklusi keuangan. Inklusi keuangan berkaitan dengan

kemudahan dalam mengakses dan menggunakan jasa keuangan (Sarma, 2012:34).

Saat ini, inklusi keuangan telah menjadi agenda penting di berbagai negara termasuk

Indonesia. Pada bulan Juni 2012, Bank Indonesia bekerjasama dengan Sekretariat

Wakil Presiden - Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)

dan Badan Kebijakan Fiskal - Kementerian Keuangan mengeluarkan Strategi

Nasional Keuangan Inklusif. Program ini dibentuk untuk mendukung pemerintah

dalam mengurangi angka kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang inklusif dan

berkelanjutan. Dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif, strategi keuangan inklusif

dijabarkan dalam 6 pilar yaitu edukasi keuangan, fasilitas keuangan publik, pemetaan

informasi keuangan, kebijakan/peraturan pendukung, fasilitas intermediasi dan

distribusi, serta perlindungan konsumen.

Salah satu tujuan dari strategi tersebut adalah menjadikan strategi keuangan

inklusif sebagai bagian dari strategi besar pembangunan ekonomi, penanggulangan

kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas sistem keuangan. Keuangan yang

semakin inklusif dapat memberikan akses terhadap jasa keuangan yang lebih luas

bagi setiap penduduk, terutama bagi kelompok miskin dan marjinal yang memiliki

keterbatasan akses terhadap layanan keuangan. Masyarakat miskin memiliki

kesempatan untuk memperbaiki kondisi hidupnya menjadi lebih sejahtera dengan

mengakses layanan keuangan. Hal ini dapat mendorong pendapatan masyarakat

miskin semakin meningkat sehingga kesenjangan pendapatan dapat berkurang.


5

Maka berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Analisis Inklusi Keuangan dan

Pemerataan Pendapatan di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat inklusi keuangan setiap provinsi di Indonesia?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi inklusi keuangan di Indonesia?

3. Bagaimana hubungan inklusi keuangan dengan ketimpangan pendapatan

di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui tingkat inklusi keuangan setiap provinsi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi inklusi keuangan di

Indonesia.

3. Untuk mengetahui hubungan inklusi keuangan dengan ketimpangan

pendapatan di Indonesia.
6

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian mengenai inklusi dan pemerataan

pendapatan ini adalah:

1. Memberikan gambaran terkait inklusi keuangan antar provinsi di Indonesia

2. Memberikan gambaran terkait inklusi keuangan dengan ketimpangan

pendapatan di Indonesia.

3. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan tinjauan dalam menentukan

kebijakan strategis terkait peningkatan akses dan penggunaan jasa keuangan

terkait dengan ketimpangan pendapatan yang terjadi antar provinsi di

Indonesia.

1.
BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1 Inklusi Keuangan (Financial Inclusion)

Menurut Sanjaya (2014:71) inklusi keuangan merupakan penyediaan akses

bagi masyarakat termarginalkan (lebih kepada masyarakat miskin) dengan tujuan

agar dapat memiliki dan menggunakan layanan system keuangan. Sedangkan

menurut Radyati (2012:52) inklusi keuangan adalah suatu keadaan dimana semua

orang memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan yang berkualitas dengan

biaya terjangkau dan cara yang menyenangkan, tidak rumit serta menjunjung

harga diri dan kehormatan.

Global Financial Development Report (2014:38) mendefinsikan Financial

Inclusion sebagai “The proportion of individuals and firms that use financial

service has become a subject of considerable interest among policy makers,

researchers and other stakeholders (Keuangan inklusi ialah suatu keadaan dimana

mayoritas individu dapat memanfaatkan jasa keuangan yang tersedia serta

meminimalisir adanya kelompok individu yang belum sadar akan manfaat akses

keuangan melalui akses yang telah tersedia dengan biaya terjangkau).

Sedangkan Bank Dunia (2015:73) mengartikan keuangan inklusi sebagai

kondisi ketika setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai

layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu, lancar, dan aman

dengan biaya terjangkau yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan

yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tingkat

penggunaan layanan keuangan penduduk di suatu negara dapat dilihat dari

7
8

bagaimana penduduk menabung, meminjam uang, melakukan pembayaran, dan

mengatur risiko.

Supartoyo dan Kasmiati (2013:42) inklusi keuangan adalah sebagai suatu

kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk

hambatan baik dalam bentuk harga maupun non harga terhadap akses masyarakat

dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan.

Chakrobarty (2011:36) mengatakan inkusi keuangan mempromosikan

penghematan dan mengembangkan budaya menabung, meningkatkan akses kredit,

baik kewirausahaan maupun konsumsi dan juga memungkinkan mekanisme

pembayaran yang efisien, sehingga memperkuat basis sumber daya lembaga

keuangan yang mampu memberikan manfaat ekonomi sebagai sumber daya dan

tersedianya mekanisme pembayaran yang efisien dan alokatif. Bukti empiris

menunjukan bahwa negara-negara dengan populasi penduduk yang besar, belum

mempunyai akses yang luas terhadap sektor formal lembaga keuangan dan juga

menunjukan rasio kemiskinan.

Financial Inclusion ini bukan sekedar institusi perbankan, bukan sekedar

mendapatkan kredit. Tetapi lebih kepada bagaimana mereka yang tidak pernah

menabung, tidak pernah menggunakan fasilitas kredit diberikan kesempatan untuk

menabung dan mendapat kredit sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun

2010 tentang Program Pembangunan Yang Berkeadilan.

Berdasarkan dari penjelasan tersebut diatas maka inklusi keuangan

merupakan sebagai bentuk strategi nasional keuangan inklusif yaitu hak setiap

orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga keuangan secara
9

tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya, dengan penghormatan

penuh kepada harkat dan martabat.

2.2 Visi dan Tujuan Inklusi Keuangan

Visi nasional Financial Inclusion (keuangan inklusif) dirumuskan untuk

mewujudkan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat

untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penanggulangan kemiskinan,

pemerataan pendapatan, dan terciptanya stabilitas sistem keuangan di Indonesia.

Menurut Agung (2015:8) Tujuan Financial Inclusion (keuangan inklusif)

tersebut dijabarkan dalam beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Menjadikan strategi keuangan inklusif sebagai bagian dari strategi besar

pembangunan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pendapatan

dan stabilitas sistem keuangan. Kelompok miskin dan marjinal merupakan

kelompok yang memiliki keterbatasan akses ke layanan keuangan.

Memberikan akses ke jasa keuangan yang lebih luas bagi setiap penduduk,

namun terdapat kebutuhan untuk memberikan fokus lebih besar kepada

penduduk miskin.

2. Menyediakan jasa dan produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat. Konsep keuangan inklusif harus dapat memenuhi semua

kebutuhan yang berbeda dari segmen penduduk yang berbeda melalui

serangkaian layanan holistik yang menyeluruh.

3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai layanan keuangan.

Hambatan utama dalam keuangan inklusif adalah tingkat pengetahuan


10

keuangan yang rendah. Pengetahuan ini penting agar masyarakat merasa lebih

aman berinteraksi dengan lembaga keuangan.

4. Meningkatkan akses masyarakat ke layanan keuangan. Hambatan bagi orang

miskin untuk mengakses layanan keuangan umumnya berupa masalah

geografis dan kendala administrasi. Menyelesaikan permasalahan tersebut

akan menjadi terobosan mendasar dalam menyederhanakan akses ke jasa

keuangan.

5. Memperkuat sinergi antara bank, lembaga keuangan mikro, dan lembaga

keuangan non bank. Pemerintah harus menjamin tidak hanya pemberdayaan

kantor cabang, tetapi juga peraturan yang memungkinkan perluasan layanan

keuangan formula. Oleh karena itu, sinergi antara Bank, Lembaga Keuangan

Mikro (LKM), dan Lembaga Keuangan Bukan Bank menjadi penting

khususnya dalam mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan.

6. Mengoptimalkan peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk

memperluas cakupan layanan keuangan. Teknologi dapat mengurangi biaya

transaksi dan memperluas sistem keuangan formal melampaui sekedar

layanan tabungan dan kredit. Namun pedoman dan peraturan yang jelas perlu

ditetapkan untuk menyeimbangkan perluasan jangkauan dan resikonya.

2.3. Strategi Nasional Inklusi Keuangan

Target utama dari keuangan inklusif adalah menyediakan akses layanan

keuangan pada lembaga formal bagi 75 persen penduduk dewasa pada akhir tahun

2019. Hal ini sejalan dengan Agenda Pembangunan Nasional yang tertuang dalam

RPJMN 2015-2019, yang merupakan penjabaran butir ketujuh Nawa Cita, yaitu
11

‘mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis

ekonomi domestik’.

Menurut Group Pengembangan Keuangan Inklusif (2018:8) strategi

nasional inklusi keuangan:

1. Sasaran Umum Keuangan Inklusif

Keuangan inklusif ini merupakan strategi pembangunan nasional untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan,

pengentasan kemiskinan serta stabilitas sistem keuangan Strategi yang

berpusat pada masyarakat ini perlu menyasar kelompok yang mengalami

hambatan untuk mengakses layanan keuangan.

Pengelompokkan kategori miskin:

a) Termiskin dari yang miskin

Penduduk miskin yang tidak memiliki sumber pendapatan karena

berbagai faktor seperti sakit, cacat fisik sehingga tidak memiliki

pendapatan.

b) Miskin berpendapatan rendah

Mereka yang memiliki akses sangat terbatas atau tanpa akses sama sekali

ke semua jenis layanan keuangan. Termasuk kelompok miskin yang

bekerja sebagai buruh dengan penghasilan sangat terbatas dan bersifat

tidak tetap atau musiman yang pada umumnya bekerja di sektor pertanian

atau sektor-sektor lainnya yang bersifat padat karya.


12

c) Miskin bekerja

Kelompok penduduk miskin yang berpenghasilan relatif cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidup dasar dengan bekerja di sektor informal.

d) Bukan miskin

Kategori ini meliputi semua penduduk yang tidak memenuhi criteria

untuk masuk dalam kelompok masyarakat miskin berpendapatan

terendah dan miskin bekerja.

e) Pekerja migrant domestik dan intenasional

Indonesia merupakan Negara penerima remitansi ketiga terbesar di

wilayah asia-pasifik. Sekitar 80 persen pekerja migran atau lazim disebut

TKI (Tenaga Kerja Indonesia) adalah perempuan dan lebih dari 85

persen bekerja di sektor informal. TKI biasanya kurang terlayani oleh

sektor keuangan, atau memiliki akses yang terbatas ke layanan keuangan.

Mereka terutama membutuhkan sarana untuk mengirim uang secara

aman, cepat, dan murah dari tempat kerja ke rumah, yang sering kali

terletak di daerah terpencil dan tertinggal. TKI umumnya berasal dari

rumah tangga pertanian yang miskin, yang terletak di daerah pedesaan

dengan tingkat pendapatan rendah.

f) Perempuan

Di banyak Negara berkembang, kerap terdapat perbedaan besar antara

laki-laki dan perempuan dalam hal akses, kebutuhan, dan pilihan mereka

terhadap jasa keuangan. Sehingga dalam mengembangkan akses terhadap

layanan keuangan adalah penting untuk mengenali perbedaan-perbedaan


13

tersebut. Di Indonesia, laki- laki dan perempuan miliki kesempatan yang

sama untuk mempunyai rekening tabungan. Namun, motivasi utama laki-

laki saat membuka rekening tabungan bank lebih sering adalah untuk

memperoleh kredit, sedangkan perempuan menabung demi keperluan

mendatang. Dalam hal kepemilikan asuransi, perempuan lebih sering

membeli asuransi pendidikan, sementara laki-laki lebih memilih asuransi

jiwa, dan pada taraf tertentu juga memiliki asuransi harta benda.

g) Penduduk daerah terpencil

Sekitar 52 persen penduduk Indonesia hidup di daerah perdesaan dan

sekitar 60 persennya tidak memiliki akses ke jasa keuangan formal. Dari

sekitar 12,49 persen penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan,

sekitar 64 persen tinggal di daerah pedesaan. Angka-angka ini ditambah

dengan kondisi sebaran geografis dari kepulauan Indonesia,

menunjukkan pentingnya bagi strategi nasional keuangan inklusif untuk

member perhatian khusus kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil.

Kesenjangan akses ke jasa keuangan untuk kategori ini sebagian dapat

diatasi dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

2. Kerangka keuangan inklusif

Kerangka kerja umum keuangan inklusif dibangun di atas enam pilar sbb:

a) Edukasi keuangan. Bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran

masyarakat luas tentang produk-produk dan jasa-jasa keuangan yang ada

dalam pasar keuangan formal. Ruang lingkup edukasi keuangan ini

meliputi: 1) pengetahuan dan kesadaran tentang ragam produk dan jasa


14

keuangan, 2) pengetahuan dan kesadaran tentang risiko terkait dengan

produk keuangan, 3) perlindungan nasabah, 4) ketrampilan mengelola

keuangan.

b) Fasilitas keuangan publik. Strategi pada pilar ini mengacu pada

kemampuan dan peran pemerintah dalam menyediakan pembiayaan

keuangan publik baik secara langsung maupun bersyarat guna

mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Beberapa inisiatif dalam

pilar ini meliputi: 1) subsidi dan bantuan sosial, 2) pemberdayaan

masyarakat, 3) pemberdayaan UMKM.

c) Pemetaan informasi keuangan. Bertujuan untuk meningkatkan kapasitas

masyarakat terutama yang sebenarnya dikategorikan tidak layak untuk

menjadi layak atau dari unbankable menjadi bankable oleh institusi

keuangan normal, terutama kaum miskin produktif serta serta usaha

mikro kecil. Inisiatif pilar ini meliputi: a) peningkatan kapasitas melalui

penyediaan pelatihan dan bantuan teknis, b) sistem jaminan alternatif, c)

penyediaan layanan kredit yang lebih sederhana, d) identifikasi nasabah

potensial.

d) Kebijakan atau peraturan yang mendukung. Pilar ini mengacu pada

kebutuhan untuk menambah atau memodifikasi peraturan, baik oleh

pemerintah atau BI, untuk meningkatkan akses akan jasa keuangan. Pilar

ini meliputi beberapa aspek: 1) kebijakan mendorong sosialisasi produk

jasa keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, 2) menyusun

skema produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, 3) mendororng


15

perubahan ketentuan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian

secara proporsional, 4) menyusun peraturan mekanisme penyaluran dana

bantuan melalui perbankan, 5) memperkuat landasan hukum untuk

meningkatkan perlindungan konsumen jasa keuangan, 6) menyusun

kajian yang berkaitan dengan keuangan inklusif untuk menentukan arah

kebijakan secara berkelanjutan.

e) Fasilitas intermediasi dan saluran distribusi. Bertujuan untuk

meningkatkan kesadaran lembaga keuangan akan keberadaan segmen

potensial di masyarakat dan memperluas jangkauan layanan jasa

keuangan dengan memanfaatkan metode distribusi alternatif. Beberapa

aspek pada pilar ini meliputi: 1) fasilitas forum intermediasi dengan

mempertemukan lembaga keuangan dengan kelompok masyarakat

produktif (layak dan unbanked) untuk mengatasi masalah informasi yang

asimetri, 2) peningkatan kerjasama antar lembaga keuangan untuk

meningkatkan skala usaha, 3) eksplorasi berbagai kemungkinan produk,

layanan, jasa, dan saluran distribusi inovatif dengan tetap memberikan

perhatian pada prinsip kehati-hatian.

f) Perlindungan konsumen. Bertujuan agar masyarakat memiliki jaminan

rasa aman dalam berinteraksi dengan institusi keuangan dalam

memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan.

Komponen yang ada pada pilar ini meliputi: 1) transparansi produk, 2)

penanganan keluhan nasabah, 3) mediasi, 4) edukasi konsumen.


16

3. Indikator keuangan inklusif.

Untuk mengetahui sejauh mana perekembangan kegiatan keuangan inklusif

diperlukan suatu ukuran kinerja. Dari beberapa referensi, indikator yang dapat

dijadikan ukuran sebuah Negara dalam mengembangkan keuangan inklusif

adalah:

a) Ketersediaan/ akses: mengukur kemampuan penggunaan jasa keuangan

formal dalam hal keterjangkauan fisik dan harga.

b) Penggunaan: mengukur kemampuan penggunaan aktual produk dan jasa

keuangan (a.l. keteraturan, frekuensi dan lama penggunaan).

c) Kualitas: mengukur apakah atribut produk dan jasa keuangan telah

memenuhi kebutuhan pelanggan.

d) Kesejahteraan: mengukur dampak layanan keuangan terhadap tingkat

kehidupan pengguna jasa.

2.4. Implementasi Strategi Nasional Inklusi Keuangan

Berbagai inisiatif telah dilakukan oleh kementerian/instansi terkait dalam

rangka implementasi strategi nasional keuangan inklusif. Hal ini menunjukan

komitmen dari berbagai kementerian/instansi terkait untuk secara aktif berupaya

mengimplementasikan rencana-rencana masa depan serta program-program yang

berkaitan dengan strategi nasional keuangan inklusif diantaranya (Badan

Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2013: 33):

1. Peran keuangan inklusif sangat penting untuk pengentasan kemiskinan,


pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas keuangan.
2. Penerapan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) memerlukan kerja
sama dan koordinasi yang baik dari berbagai pemangku kepentingan, baik
dari lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat sendiri.
17

3. Proses implementasi dan pemantauan strategi nasional keuangan inklusif


akan terbagi dalam
a. Inventarisasi ketersediaan data dan diagnose kondisi saat ini.
b. Penentu target dan tujuan yang tercantum dalam indikator kinerja utama
c. Peran sektor publik dan swasta, dan
d. Pemantauan kemajuan kegiatan
4. Kepemimpinan diperlukan untuk mengkoordinasikan tindakan dan
mempertahankan dorongan serta momentum untuk reformasi.

Dari pembahasan tersebut menjelaskan bahwa dalam implemtasi strategi

menggunakan seluruh program keuangan inklusif di Indonesia, yang salah satunya

adalah merupakan langkah pemerintah dalam mendorong perluasan akses layanan

keuangan formal kepada penduduk dewasa di Indonesia. Melalui program-

program tersebut, diharapkan angka kemiskinan akan semakin menurun serta

pertumbuhan ekonomi akan semakin merata.

2.5 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi di definisikan suatu proses peningkatan kapasitas

produktif dalam suatu perekonomian secara terus menerus atau berkesinambungan

sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional

yang semakin lama semakin besar (Todaro. 2011:115). Sedangkan Sukirno

(2013:423) juga mendefinisikan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah

perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan

pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan

persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu

dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya.

Menurut Todaro (2011:118) ada 3 (tiga) faktor utama dalam pertumbuhan

ekonomi yaitu :

1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang

ditanamkan pada tanah, peralata fisik, dan modal atau sumber daya manusia.
18

2. Pertumbuhan penduduk, yang pada tahun-tahun berikutnya akan

memperbanyak jumlah angkatan kerja.

3. Kemajuan teknologi, dengan adanya teknologi dapat menciptakan metode

produksi yang baru. Pertumbuhan teknologi yang baik dapat meningkatkan

produktivitas kerja, modal dan faktor produksi lainnya, sehingga dapat

menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Bedasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan sebagai peningkatan

kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan

jasa- jasa.

2.6 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Jhingan (2014:67) para ahli ekonomi menganggap faktor

produksi sebagai kekuatan utama yang memepengaruhi pertumbuhan. Beberapa

faktor ekonomi tersebut adalah:

1. Sumber Alam

Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan suatu perekonomian adalah

sumber alam atau tanah. Sebagaimana dipergunakan dalam ilmu ekonomi

mencakup sumber alam seperti kesuburan tanah, letak dan susunannya,

kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan dan sebagainya.

2. Akumulasi Modal

Pembentukan modal merupakan kunci utama pertumbuhan ekonomi. Disatu

pihak akumulasi modal mencerminkan permintaan efektif, dan dipihak lain

akumulasi modal juga menciptakan efesiensi produktif bagi produksi dimasa

depan. Proses pembentukan modal menghasilkan kenaikan output nasional


19

dalam berbagai cara. Pembentukan modal diperlukakan untuk memenuhi

permintaan penduduk yang meningkat di negara tersebut.

3. Organisasi

Organisasi berkaitan dengan dengan penggunaan faktor produksi didalam

kegiatan ekonomi. Organisasi bersifat melengkapi modal, buruh dan

membantu meningkatkan produktivitasnya.

4. Kemajuan Teknologi

Perubahan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan

perubahan didalam metode produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau

hasil dari teknik penelitian baru. Perubahan pada teknologi telah menaikkan

produktivitas buruh, modal dan faktor produksi yang tinggi.

5. Pembagian Kerja dan Skala Produksi

Spesialisasi dan pembagian kerja menimbulkan peningkatan produktivitas.

Keduanya membawa kearah ekonomi produksi skala besar yang selanjutnya

membantu perkembangan industri. Adam Smith menekankan arti penting

pembagian kerja bagi perkembangan ekonomi, karena pembagian kerja

menghasilkan perbaikan kemampuan produksi buruh.

6. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita

Pendapatan perkapita adalah hasil bagi antara pendapatan regional atas dasar

harga konstan (ADHK) dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB

perkapita dapat dilihat atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga

konstan.
20

7. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk merupakan jumlah seluruh penduduk yang menetap di

suatu wilayah. Jumlah penduduk juga merupakan faktor pendukung dan

sekaligus sebagai faktor penghambat didalam pembangunan.

2.7 Penelitian Sebelumnya

Bintan, dkk (2014) dengan judul penelitian "Analisis Inklusi Keuangan

dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia". Studi terbaru menunjukkan bahwa

peningkatan akses dan penggunaan layanan perbankan berkurang ketimpangan

pendapatan. Saat ini akses perbankan di Indonesia semakin meningkat tetapi

pendapatan kesenjangan kesetaraan semakin melebar. Oleh karena itu, dengan

menggunakan data sekunder dari 33 provinsi 2007-2011, skripsi ini bertujuan

untuk mengukur tingkat akses dan penggunaan untuk layanan keuangan lintas

provinsi di Indonesia oleh Index of Financial Inclusion, menganalisa faktor-faktor

itu mempengaruhi inklusi keuangan dengan regresi tobit panel, dan

menggambarkan hubungan antara inklusi keuangan dan distribusi pendapatan di

Indonesia. Hasilnya menunjukkan itu tingkat inklusi keuangan di Indonesia

tergolong rendah. Ukuran ekonomi dan ketimpangan pendapatan secara positif

mempengaruhi tingkat inklusi keuangan. Hipotesis penelitian ini, memperluas

ketimpangan pendapatan menyebabkan inklusi keuangan yang lebih tinggi di

Indonesia. Selain itu, jumlah ponsel dan pengguna internet berpengaruh positif

tingkat inklusi keuangan di Indonesia. Ketimpangan pendapatan dan inklusi

keuangan memiliki hubungan satu arah, ketidaksetaraan pendapatan

mempengaruhi inklusi keuangan di Indonesia tetapi tidak sebaliknya.


21

Marlina (2016) dalam penelitiannya yang berjudul "Analisis Keterkaitan

Indeks Inklusi Keuangan Terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan

Jawa Tengah 2010-2014". Metode yang digunakan adalah analisis indeks inklusi

keuangan dan analisis uji hubungan kausalitas antara indeks inklusi keuangan

terhadap tingkat kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Secara keseluruhan

indeks inklusi keuangan di kabupaten/kota Jawa Tengah termasuk dalam kategori

indeks inklusi keuangan yang rendah, hanya dua wilayah yaitu Kabupaten/Kota

Semarang dan Kota Surakarta yang memiliki indeks inklusi keuangan yang tinggi.

Hasil uji kausalitas indeks inklusi keuangan terhadap indeks gini menunjukkan

hubungan satu arah dimana indeks gini mempengaruhi indeks inklusi keuangan.

Sedangkan hubungan kausalitas indeks inklusi keuangan dengan tingkat

kemiskinan menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas.

Roberto (2016) dalam judul penelitiannyan "Komparasi Peningkatan

Inklusi Keuangan dan Indikator Pembangunan di Indonesia". Tingkat inklusi

keuangan menggambarkan partisipasi publik atau akses produk dan layanan

keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan di suatu negara. Akses seperti

itu dipandang penting, karena menggambarkan peluang kehidupan yang lebih

sejahtera bagi masyarakat. Hasil survei yang dilakukan oleh Otoritas Jasa

Keuangan Indonesia menunjukkan bahwa inklusi keuangan di Indonesia telah

meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, apakah peningkatan

kondisi untuk inklusi keuangan sejalan dengan peningkatan indikator

pembangunan di Indonesia? Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab

pertanyaan ini. Alat analisis yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan
22

memanfaatkan data sekunder yang tersedia di Otoritas Jasa Keuangan dan Biro

Pusat Statistik. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa peningkatan

inklusi keuangan ternyata belum mampu memberikan kontribusi positif terhadap

banyak indikator pembangunan Indonesia. Berbagai perbaikan diperlukan agar

peningkatan inklusi keuangan dapat ditransmisikan secara efektif untuk

peningkatan kesejahteraan penduduk Indonesia.

Sanjaya dan Nursechafia (2016) dengan judul penelitian "Inklusi Keuangan

dan Pertumbuhan Inklusif: Analisis Antar Provinsi di Indonesia". Penelitian ini

mengukur dan menganalisis tingkat inklusi keuangan dan pertumbuhan inklusif di

Indonesia. Dengan menggunakan data provinsi, penelitian ini menghitung Index

of Financial Inclusion (IFI) berdasarkan aksesibilitas, availibilitas, dan

penggunaan jasa sektor keuangan. Di sisi lain, perhitungan Index of Inclusive

Growth (IIG) juga dikembangkan melalui metode fungsi kesempatan sosial

(social opportunity function) dengan meningkatkan tingkat kesempatan rata-rata

dan indeks pemerataan kesempatan (equity index of opportunities). Hasilnya

menunjukkan bahwa inklusi keuangan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh

dimensi aksesibilitas, sedangkan dimensi availabilitas dan penggunaan hanya

memiliki proporsi yang kecil. Hal ini membawa kita pada kesimpulan bahwa

kelompok masyarakat miskin cukup terbatas dalam memanfaatkan layanan jasa

sektor keuangan. Lebih jauh lagi, penelitian ini menggunakan fungsi kesempatan

sosial (social opportunity function) untuk mengukur pertumbuhan inklusif, dan

menemukan korelasi positif dengan inklusi keuangan. Temauan ini dapat menarik

perhatian pemangku kebijakan untuk mendorong sektor keuangan untuk


23

memperluas cakupan layanan jasanya tidak hanya pada target pasar yang ada saat

ini.

Anwar & Amri (2017) judul penelitian "Pengaruh Inklusi Keuangan

Terhadap PDB Indonesia". Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh

inklusi keuangan terhadap PDB Indonesia. Data yang digunakan adalah data

sekunder dari tahun 2004 sampai tahun 2015 yang diperoleh dari World

Development Indicator (WDI) dan Financial Access Survey – International

Monetary Fund (FAS IMF). Metode analisis data yang digunakan adalah OLS

(Ordinary Least Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel inklusi

keuangan yang seperti jumlah kantor bank, jumlah ATM, dan jumlah rekening

kredit memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap PDB. Perbankan dan

pemerintah diharapkan dapat bekerja sama dengan baik serta berperan dalam

menciptakan sektor keuangan yang lebih inklusif agar dapat mendorong

meningkatkan PDB. Penelitian selanjutnya diharapkan meneliti bagaimana

pengaruh inklusi keuangan terhadap transmisi kebijakan moneter.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode Penelitian ini merupakan metode penelitian kuantitatif, dengan

jenis penelitian deskriptif. Menurut Arikunto (2012:12) yang mengemukakan

penelitian kuantitatif adalah pendekatan penelitian yang banyak dituntut

menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data

tersebut serta penampilan hasilnya. Penelitian deskriptif adalah sebuah penelitian

yang bertujuan untuk memberikan atau menjabarkan suatu keadaan atau fenomena

yang terjadi saat ini dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk menjawab

masalah secara aktual (Sugiyono, 2015:80).

3.2 Objek dan Subjek Penelitian

Menurut Arikunto (2012: 29) objek penelitian adalah variabel penelitian

yaitu sesuatu yang merupakan inti dari problematika penelitian. Subjek penelitian

ini adalah inklusi keuangan dan pemerataan pendapatan.

Objek penelitian merupakan sasaran untuk mendapatkan suatu data. Sesuai

dengan pendapat Made (2011:39) mendefinisikan objek penelitian sebagai

berikut: “Objek penelitian (variabel penelitian) adalah karakteristik tertentu yang

mempunyai nilai, skor atau ukuran yang berbeda untuk unit atau individu yang

berbeda atau merupakan konsep yang diberi lebih dari satu nilai. Objek penelitian

ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik

24
25

Indonesia periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 2013-2017 provinsi di

Indonesia.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dimaksudkan untuk

memperoleh data yang relevan dan akurat dengan masalah yang dibahas. Teknik

pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut:

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini,

penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis

tertulis terutama berupa arsip-arsip dan termaksud juga buku mengenai

pendapat serta hal-hal yang berhubungan dengan masalah penyelidikan.

2. Studi kepustakaan adalah metode pengumpulan data yang dapat dilakukan

dengan cara melakukan pengamatan data dan buku-buku yang mendukung

terhadap penelitian yang akan diteliti penulis.

3.4 Operasionalisasi Variabel

Bentuk Operasionalisasi dari variabel-variabel yang digunakan dalam

penelitian ini dijabarkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel

Skala Sumber
No Variable Definisi Indikator
Pengukuran data
1. Inklusi Suatu keadaan - Penetrasi Nominal OJK
Keuangan dimana mayoritas Perbankan
26

individu dapat (dp)


memanfaatkan jasa - Ketersediaan
keuangan yang jasa
tersedia serta keuangan
meminimalisir (da)
adanya kelompok - Kegunaan
individu yang belum (du)
sadar akan manfaat
akses keuangan
melalui akses yang
telah tersedia dengan
biaya terjangkau
(Global Financial
Development Report,
2014:38)
2. Peubah Merupakan peubah - Sosial Nominal BPS
bebas yang mempengaruhi Ekonomi
atau yang menjadi
sebab terjadinya
perubahan terhadap
peubah tak bebas.
Atau yang
menyebabkan
terjadinya variasi
bagi peubah tak
bebas (variabel
dependent).
(Suharto, 2013:1)

3.5 Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data dalam penelitian ini adalah dengan cara

mengumpulkan data-data yang diperoleh, memilah data menurut jenis datanya.

Data yang diperoleh ditulis dalam bentuk laporan atau data yang terperinci.

Laporan disusun berdasarkan data yang diperoleh yang direkomendasikan,

dirangkum, dipilih hal yang pokok, difokuskan pada hal yang penting. Data hasil

menggambarkan dan memilah berdasarkan satuan konsep, tema, dan kategori

tertentu untuk memberikan gambaran yang lebih pasti tentang hasil pengamatan
27

dan mempermudah penelitian untuk mencari kembali data sebagai tambahan atas

data sebelumnya yang diperoleh jika diperlukan.

3.6 Teknik Analisis Data

1. Indeks Inklusi Keuangan

Indeks dari setiap dimensi, 𝑑𝑖, dapat dihitung dengan menggunakan

persamaan berikut:

A i−mi
d i=W i ; i=1 , 2, 3 … … … … (1)
M i−mi

Keterangan:

𝑤𝑖 = bobot untuk dimensi i, 0 ≤ 𝑤𝑖 ≤ 1


𝐴𝑖 = nilai terkini dari peubah i
𝑚𝑖 = nilai minimum (batas bawah) dari peubah i
𝑀𝑖 = nilai maksimum (batas atas) dari peubah i

Semakin tinggi nilai indeks suatu dimensi, samakin tinggi pula pencapaian

di dalam dimensi tersebut. Misalkan, semakin tinggi indeks dimensi ketersediaan

suatu provinsi, semakin tinggi pula jumlah bank yang dapat dijangkau masyarakat

di provinsi tersebut. Untuk menghitung indeks setiap dimensi memerlukan bobot.

Bobot ditentukan berdasarkan seberapa besar dimensi tersebut dapat

mempengaruhi inklusi keuangan. Dalam penelitian ini, seluruh dimensi

diasumsikan memiliki peranan yang sama penting dalam menentukkan tingkat

inklusi keuangan, sehingga masing-masing dimensi memiliki bobot sebesar 1.

Selain menentukan bobot, untuk menghitung indeks setiap dimensi inklusi

keuangan memerlukan batas atas dan batas bawah dari setiap indikator. Batas atas

maupun batas bawah harus dijadikan nilai tetap. Batas bawah atau nilai minimum

(𝑚𝑖) setiap dimensi dalam penelitian ini adalah 0. Sedangkan untuk menentukan
28

batas atas atau nilai maksimum (𝑀𝑖) setiap indikator, ditentukan oleh sebaran

masing-masing indikator.

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, dimensi inklusi keuangan yang akan

diukur terdiri dari tiga dimensi. Dimensi yang pertama adalah penetrasi perbankan

yang menggambarkan banyaknya pengguna jasa perbankan. Indikator yang

menggambarkan dimensi ini adalah jumlah rekening deposit. Dalam penelitian

ini, indikator yang digunakan untuk dimensi penetrasi perbankan adalah jumlah

rekening deposit di bank umum konvensional di setiap provinsi di Indonesia

dibagi dengan jumlah populasi dewasa di provinsi tersebut.

Dimensi kedua dari inklusi keuangan adalah ketersediaan jasa perbankan

yang manggambarkan jangkauan perbankan kepada masyarakat. Indikator yang

menggambarkan dimensi ini dapat berupa outlet dari perbankan misalkan jumlah

kantor cabang atau ATM yang tersebar di suatu wilayah. Dalam penelitian ini,

indikator yang digunakan untuk dimensi ketersediaan jasa perbankan adalah

jumlah kantor cabang bank umum konvensional di setiap provinsi dibandingkan

dengan jumlah populasi dewasa di provinsi tersebut.

Dimensi ketiga dari inklusi keuangan adalah kegunaan jasa perbankan

yang menggambarkan manfaat jasa perbankan yang dirasakan oleh masyarakat.

Indikator yang digunakan untuk menggambarkan dimensi ini dapat berupa jumlah

tabungan, kredit, remitansi, asuransi, dan jasa lainnya yang ditawarkan oleh

perbankan. Namun, untuk mempermudah dalam perhitungan, indikator yang

digunakan dalam penelitan ini adalah jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK), proksi

dari jumlah tabungan, dan kredit yang disalurkan bang umum konvensional di

setiap provinsi dibagi dengan PDRB provinsi tersebut. Untuk perhitungan

indikator dimensi ketiga setiap provinsi pada tahun t, yaitu kegunaan

menggunakan rumus:
29

tabungan+ kredit
kegunaan= … … … … …(2)
PDRB

Persamaan (1) akan menghasilkan nilai 0 < 𝑑𝑖< 1. Semakin tinggi nilai di,

semakin tinggi pula perolehan provinsi di dimensi i. Jika terdapat 3 dimensi dari

inklusi keuangan yang dihitung, yaitu 𝑝 untuk penetrasi, 𝑎 untuk ketersediaan, dan

𝑢 untuk penggunaan, maka perolehan suatu provinsi dari dimensi tersebut

direpresentasikan dengan titik X = (𝑑𝑝,𝑑𝑎,𝑑𝑢) pada ruang 3-dimensi. Dalam

ruang 3-dimensi, titik O = (0,0,0) menunjukkan titik kondisi inklusi keuangan

yang buruk, sedangkan titik W = (𝑤𝑝,𝑤𝑎,𝑤𝑢) menunjukkan kondisi inklusi

keuangan yang ideal dari setiap dimensi.

Letak titik X, O, dan W merupakan faktor penting dalam mengukur

tingkat inklusi keuangan provinsi. Semakin besar jarak antara titik O dengan titik

X, semakin tinggi pula tingkat inklusi keuangan. Semakin kecil jarak antara titik

X dengan titik W, semakin tinggi tingkat inklusi keuangan. Kedua jarak tersebut

dinormalisasi dengan jarak antara W dan O agar nilainya antara 0 dan 1. Oleh

karena itu, nilai indeks inklusi keuangan akan berada antara 0 dan 1. Semakin

tinggi nilai indeks, sistem keuangan semakin inklusif.

Jika jarak antara titik O dengan titik X dilambangkan dengan X1, yaitu:

X =
√ d +d + d2
p
2
a
2
u
… … …(3)
√ w +w + w
1 2 2 2
p a u

Dan jarak antara titik X dengan titik W dilambangkan dengan X2,

X =1−
√( W p
2 2
−d p ) + ( W a−d a ) + ( W u−d u )
2

… … …(4)
√w
2 2 2 2
p +w a +w u

Maka nilai indeks inklusi keuangan adalah rata-rata keduanya,


30

1
IIK = [ X + X 2 ] … … … (5)
2 1

Setelah masing-masing indeks dari ketiga dimensi inklusi keuangan setiap

provinsi dihitung, indeks inklusi keuangan setiap provinsi dapat dihitung. Dengan

bobot masing-masing dimensi sebesar 1, batas bawah setiap dimensi 0, dan batas

atas setiap indikator yang telah ditentukan dari sebaran masing-masing indikator,

Indeks dari inklusi keuangan dari provinsi K dapat dihitung dengan:

[ √ p + a +u
( √( 1−P ) +( 1−a ) +( 1−u )
)]
2 2 2 2 2 2
1 k k k k k k
IIK = + 1− … (6)
2 √3 √3

Nilai indeks inklusi keuangan berada antara 0 dan 1. Nilai IIK=1

menunjukkan provinsi itu memiliki kondisi inklusi keuangan terbaik di antara

provinsi yang lain. Sedangkan nilai IIK=0 menunjukkan provinsi tesebut memiliki

kondisi inklusi keuangan paling buruk. Tingkat inklusi keuangan semakin baik

jika nilai indeks inklusi keuangan mendekati 1.

Dalam penelitian ini, nilai indeks inklusi keuangan akan dikelompokkan

ke dalam tiga kategori. Tingkat inklusi keuangan tinggi jika nilai indeks inklusi

keuangan 0,6 < IIK ≤ 1, tingkat inklusi keuangan sedang jika nilai indeks inklusi

keuangan 0,3 ≤ d ≤ 0,6, dan tingkat inklusi keuangan rendah jika nilai indeks ≤

0,3.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inklusi Keuangan

Faktor yang mempengaruhi inklusi keuangan dalam penelitian ini

dianalisis melalui dua pendekatan, yaitu faktor sosial ekonomi dan infrastruktur.

Masing-masing pendekatan akan dilakukan analisis regresi dengan peubah bebas

yang berbeda. Peubah respon dari setiap pendekatan dalam penelitian ini adalah
31

nilai indeks inklusi keuangan. Karena nilai indeks inklusi keuangan bersifat

kontinu dari 0 sampai 1, maka regresi panel yang digunakan adalah regresi panel

tobit. Regresi Tobit disebut juga regresi tersensor, hal ini dikarenakan variabel

dependen dari regresi tobit nilainya berada pada rentang tertentu. Berikut model

tobit secara umum:


¿ '
Y t =X t β 0 + ε t , t=1, 2 , … , n … … … … … …(7)

Dimana:

εt | xt menyebar N(0,σ02) dan {Yt , Xt } (t = 1,2,…,n). Model tobit juga dapat

juga ditulis:

Y ¿t =max ( X 't β 0 +ε t , c ) … … … … … … …(8)

Dalam mengestimasi variabel dengan menggunakan model tobit

digunakan metode Maximum Likelihood Estimation (Hansen, 2014:36). Untuk

menentukan likelihood, variabel tersensor yang diobservasi memiliki probabilitas:

P ( y i=0| xi ) =P ( y ¿i <0| xi )

¿ P ( X 'i β 0 <0|x i )

( |)
'
ei X i β
¿P ← xi
σ σ

( )
'
− Xi β
¿Ф
σ

Tujuan utama dari pembentukan model adalah untuk memilih variabel

yang sesuai dan memberikan hasil yang terbaik dalam menjelaskan masalah yang

dihadapi. Semakin banyak variabel yang masuk kedalam model, maka semakin

kompleks model yang dihasilkan. Begitu juga semakin banyak variabel prediktor
32

yang diperlukan untuk menduga respon. Hal ini diatasi dengan menyeleksi

variabel yang masuk ke model secara bertahap agar didapatkan model yang layak

digunakan. Sedangkan untuk menguji data menggunakan software Stata 14.2 for

Windaws

Persamaan umum yang digunakan dalam penelitian ini untuk faktor sosial

ekonomi adalah:

Yit = a0 + a1pdrbit + a2pengangguranit + a3melek_hurufit + a4giniit + εit

Dimana Y merupakan nilai indeks inklusi keuangan, i adalah identsitas

yaitu provinsi, dan t menunjukkan tahun analisis. 𝑎 merupakan koefisien yang

diestimasi, sedangkan 𝜀𝑖𝑡 merupakan error term.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambar Umum Penelitian

Secara astronomis, Indonesia terletak antara 60 04’ 30’’ Lintang Utara dan

110 00’ 36’’ Lintang Selatan dan antara 940 58’ 21’’ sampai dengan 1410 01’

10’’ Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau garis khatulistiwa yang

terletak pada garis lintang 00. Berdasarkan posisi geografisnya, negara Indonesia

memiliki batas-batas: Utara - Negara Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina,

Thailand, Palau, dan Laut Cina Selatan; Selatan - Negara Australia, Timor Leste,

dan Samudera Hindia; Barat - Samudera Hindia; Timur - Negara Papua Nugini

dan Samudera Pasifik. Batas-batas tersebut ada pada 111 pulau terluar yang perlu

dijaga dan dikelola dengan baik. Pulau-pulau tersebut digunakan untuk

menentukan garis pangkal batas wilayah negara Indonesia dengan negara lain

(Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil

Terluar).

Indonesia terdiri dari 34 provinsi yang terletak di lima pulau besar dan

empat kepulauan, yaitu: - Pulau Sumatera: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. - Kepulauan Riau:

Kepulauan Riau. - Kepulauan Bangka Belitung: Kepulauan Bangka Belitung. -

Pulau Jawa: DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan

Jawa Timur. - Kepulauan Nusa Tenggara (Sunda Kecil): Bali, Nusa Tenggara

Barat, dan Nusa Tenggara Timur. - Pulau Kalimantan: Kalimantan Barat,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan

33
34

Utara. - Pulau Sulawesi: Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara Kepulauan Maluku: Maluku dan

Maluku Utara. - Pulau Papua: Papua dan Papua Barat. Sebagai negara kepulauan,

Indonesia memiliki ribuan pulau dan terhubung oleh berbagai selat dan laut. Saat

ini, pulau yang berkoordinat dan terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (2012)

berjumlah 13.466 pulau.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Tingkat Inklusi Keuangan Antar Provinsi di Indonesia

1. Penetrasi Perbankan

Dimensi pertama dari inklusi keuangan adalah penetrasi perbankan yang

menggambarkan banyaknya pengguna jasa perbankan. Jasa keuangan semakin

inklusif jika pengguna jasa perbankan semakin banyak. Salah satu ukuran dari

dimensi ini adalah jumlah rekening deposit yang ada di perbankan. Proksi dari

penetrasi perbankan dalam penelitian ini digambarkan dengan jumlah rekening

deposit yang terdapat di BUK. Penetrasi perbankan adalah indikator utama dalam

inklusif keuangan. Semakin banyak penggunanya maka semakin baik, karena itu

sistem keuangan diharapkan dapat menjangkau secara luas di antara penggunanya.

Salah satu indikator penetrasi perbankan adalah proporsi populasi yang memiliki

rekening dibank. Indikator penetrasi perbankan menjelaskan tentang sejauh mana

masyarakat telah memiliki nomor rekening di perbankan.Hal ini dapat

menunjukkan financial awareness (kesadaran keuangan) pada masyarakat untuk

memanfaatkan produk perbankan. Berikut tabel 4.1 mengenai penetrasi perbankan di

Indonesia tahun 2013-2017.


35

Tabel 4.1
Penetrasi Perbankan di Indonesia

Rata-
No Provinsi 2013 2014 2015 2016 2017
rata
1 Aceh 0.084 0.119 0.154 0.189 0.224 0.154
2 Sumatera Utara 0.154 0.189 0.224 0.259 0.294 0.224
3 Sumatera Barat 0.099 0.134 0.169 0.204 0.239 0.169
4 Riau 0.116 0.151 0.186 0.221 0.256 0.186
5 Kepulauan Riau 0.095 0.130 0.165 0.200 0.235 0.165
6 Jambi 0.119 0.154 0.189 0.224 0.259 0.189
7 Sumatera Selatan 0.080 0.115 0.150 0.185 0.220 0.150
8 Bangka Belitung 0.142 0.177 0.212 0.247 0.282 0.212
9 Bengkulu 0.084 0.119 0.154 0.189 0.224 0.154
10 Lampung 0.062 0.097 0.132 0.167 0.202 0.132
11 DKI Jakarta 1.011 1.046 1.081 1.116 1.151 1.081
12 Jawa Barat 0.087 0.122 0.157 0.192 0.227 0.157
13 Banten 0.134 0.169 0.204 0.239 0.274 0.204
14 Jawa Tengah 0.102 0.137 0.172 0.207 0.242 0.172
15 DI Yogyakarta 0.178 0.213 0.248 0.283 0.318 0.248
16 Jawa Timur 0.139 0.174 0.209 0.244 0.279 0.209
17 Bali 0.243 0.278 0.313 0.348 0.383 0.313
18 Nusa Tenggara Barat 0.056 0.091 0.126 0.161 0.196 0.126
19 Nusa Tenggara Timur 0.067 0.102 0.137 0.172 0.207 0.137
20 Kalimantan Barat 0.128 0.163 0.198 0.233 0.268 0.198
21 Kalimantan Tengah 0.086 0.121 0.156 0.191 0.226 0.156
22 Kalimantan Selatan 0.078 0.113 0.148 0.183 0.218 0.148
23 Kalimantan Timur 0.198 0.233 0.268 0.303 0.338 0.268
24 Sulawesi Utara 0.133 0.168 0.203 0.238 0.273 0.203
25 Gorontalo 0.087 0.122 0.157 0.192 0.227 0.157
26 Sulawesi Tengah 0.086 0.121 0.156 0.191 0.226 0.156
27 Sulawesi Selatan 0.083 0.118 0.153 0.188 0.223 0.153
28 Sulawesi Barat 0.050 0.085 0.120 0.155 0.190 0.120
29 Sulawesi Tenggara 0.068 0.103 0.138 0.173 0.208 0.138
30 Maluku 0.110 0.145 0.180 0.215 0.250 0.180
31 Maluku Utara 0.065 0.100 0.135 0.170 0.205 0.135
32 Papua 0.109 0.144 0.179 0.214 0.249 0.179
33 Papua Barat 0.110 0.145 0.180 0.215 0.250 0.180
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2019)
36

Berdasarkan dari penjelasan tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa

hampir seluruh provinsi di Indonesia memiliki nilai dimensi penetrasi perbankan

rendah kecuali Jakarta. Penetrasi perbankan di Jakarta digolongkan ke dalam

kategori tinggi, yaitu berkisar 1 selama tahun 2013 sampai dengan tahun 2017.

Adanya peningkatan nilai penetrasi di perbankan menunjukkan pengguna jasa

bank umum konvensional di Jakarta semakin meningkat. Selain jumlah pengguna

jasa perbankan semakin banyak, peningkatan ini juga dapat disebabkan oleh

individu yang awalnya hanya memiliki satu rekening menjadi lebih dari satu

rekening.

2. Ketersediaan Jasa Perbankan

Dimensi kedua dari inklusi keuangan adalah ketersediaan jasa perbankan.

Keberadaan jasa perbankan merupakan hal yang penting dalam keuangan yang

inklusif. Indikator yang digunakan untuk dimensi ini adalah jumlah kantor cabang

bank umum konvensional. Tersedianya kantor cabang perbankan yang dapat

dijangkau oleh masyarakat menunjukkan penyebaran jasa perbankan. Semakin

banyak dan semakin luas penyebaran kantor cabang perbankan, maka layanan jasa

perbankan yang diberikan semakin tinggi. Jasa keuangan harus tersedia bagi

semuapengguna, dalam suatu sistem keuangan yang inklusif. Ukuran ketersediaan

ini adalah jumlah outlet (kantor cabang, ATM, dan lain lain). Ketersediaan jasa

dapat dilihat dari jumlah cabang lembaga keuangan atau jumlah ATM (Automatic

Teller Machine). Berikut adalah tabel 4.2 mengenai ketersediaan jasa perbankan

di Indonesia.
37

Tabel 4.2
Ketersediaan Jasa Perbankan di Indonesia

N Rata-
Provinsi 2013 2014 2015 2016 2017
o rata
1 Aceh 0.345 0.380 0.415 0.450 0.485 0.415
2 Sumatera Utara 0.264 0.299 0.334 0.369 0.404 0.334
3 Sumatera Barat 0.329 0.364 0.399 0.434 0.469 0.399
4 Riau 0.308 0.343 0.378 0.413 0.448 0.378
5 Kepulauan Riau 0.610 0.645 0.680 0.715 0.750 0.680
6 Jambi 0.339 0.374 0.409 0.444 0.479 0.409
7 Sumatera Selatan 0.269 0.304 0.339 0.374 0.409 0.339
8 Bangka Belitung 0.421 0.456 0.491 0.526 0.561 0.491
9 Bengkulu 0.316 0.351 0.386 0.421 0.456 0.386
10 Lampung 0.127 0.162 0.197 0.232 0.267 0.197
11 DKI Jakarta 1.022 1.057 1.092 1.127 1.162 1.092
12 Jawa Barat 0.209 0.244 0.279 0.314 0.349 0.279
13 Banten 0.157 0.192 0.227 0.262 0.297 0.227
14 Jawa Tengah 0.203 0.238 0.273 0.308 0.343 0.273
15 DI Yogyakarta 0.291 0.326 0.361 0.396 0.431 0.361
16 Jawa Timur 0.249 0.284 0.319 0.354 0.389 0.319
17 Bali 0.440 0.475 0.510 0.545 0.580 0.510
18 Nusa Tenggara Barat 0.187 0.222 0.257 0.292 0.327 0.257
19 Nusa Tenggara Timur 0.264 0.299 0.334 0.369 0.404 0.334
20 Kalimantan Barat 0.286 0.321 0.356 0.391 0.426 0.356
21 Kalimantan Tengah 0.338 0.373 0.408 0.443 0.478 0.408
22 Kalimantan Selatan 0.418 0.453 0.488 0.523 0.558 0.488
23 Kalimantan Timur 0.658 0.693 0.728 0.763 0.798 0.728
24 Sulawesi Utara 0.412 0.447 0.482 0.517 0.552 0.482
25 Gorontalo 0.381 0.416 0.451 0.486 0.521 0.451
26 Sulawesi Tengah 0.288 0.323 0.358 0.393 0.428 0.358
27 Sulawesi Selatan 0.335 0.370 0.405 0.440 0.475 0.405
28 Sulawesi Barat 0.321 0.356 0.391 0.426 0.461 0.391
29 Sulawesi Tenggara 0.286 0.321 0.356 0.391 0.426 0.356
30 Maluku 0.560 0.595 0.630 0.665 0.700 0.630
31 Maluku Utara 0.312 0.347 0.382 0.417 0.452 0.382
32 Papua 0.588 0.623 0.658 0.693 0.728 0.658
33 Papua Barat 0.658 0.693 0.728 0.763 0.798 0.728
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2019)
38

Berdasarkan dari tabel tersebut di atas, jumlah ketersediaan jasa perbankan

masih sangat tinggi di Jakarta pada nilai 1 dari tahun 2013-2017, selain itu

Kepulauan Riau dengan nilai ketersediaan jasa perbankan mencapai 0,680 begitu

juga Kalimantan Timur, Maluku, Papua dan Papua Barat. Tinggi ketersediaan jasa

perbankan di daerah tersebut di tinjau dari banyaknya layanan perbankan yang

tersedia, walaupun Maluku, Papua dan Papua Barat masih termasuk daerah

tertinggal ketersediaan jasa keuangan di ketiga daerah tersebut disebabkan oleh

sedikitnya jumlah penduduk bila dibandingkan dengan kemampuan bank untuk

melayani nasabah.

Meskipun jumlah kantor cabang bank umum konvensional di pulau jawa

tinggi, tetapi nilai indeks ketersediaan di pulau jawa rendah. Sedangkan di Papua,

Papua Barat dan beberapa provinsi lainnya jumlah kantor cabang yang tersedia jauh

lebih rendah dari pulau jawa, tetapi nilai indeks ketersediannya lebih tinggi dari

provinsi yang berada di Pulau Jawa. Jumlah populasi dewasa yang rendah, yaitu

sekitar 400 ribu orang, menyebabkan nilai dimensi ketersediaan Papua berada pada

kategori sedang, lebih tinggi dari provinsi yang berada di pulau Jawa.

3. Kegunaan Jasa Perbankan

Kegunaan dari jasa perbankan merupakan dimensi ketiga dari inklusi

keuangan. Banyak orang yang memiliki akses terhadap jasa perbankan tetapi tidak

menggunakan jasa tersebut dikarenakan berbagai alasan seperti jarak yang cukup jauh

untuk menjangkau bank terdekat, produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan

kebutuhan, atau memiliki pengalaman yang buruk dengan penyedia jasa.


39

Tabel 4.3
Keguanaan Jasa Perbankan di Indonesia

N Rata-
Provinsi 2013 2014 2015 2016 2017
o rata
Aceh 0.23
1
4 0.269 0.304 0.339 0.374 0.304
Sumatera Utara 0.37
2
7 0.412 0.447 0.482 0.517 0.447
Sumatera Barat 0.21
3
7 0.252 0.287 0.322 0.357 0.287
Riau 0.14
4
5 0.180 0.215 0.250 0.285 0.215
Kepulauan Riau 0.20
5
7 0.242 0.277 0.312 0.347 0.277
Jambi 0.31
6
4 0.349 0.384 0.419 0.454 0.384
Sumatera Selatan 0.24
7
8 0.283 0.318 0.353 0.388 0.318
Bangka Belitung 0.25
8
5 0.290 0.325 0.360 0.395 0.325
Bengkulu 0.32
9
5 0.360 0.395 0.430 0.465 0.395
Lampung 0.24
10
6 0.281 0.316 0.351 0.386 0.316
DKI Jakarta 1.02
11
2 1.057 1.092 1.127 1.162 1.092
Jawa Barat 0.20
12
4 0.239 0.274 0.309 0.344 0.274
Banten 0.23
13
1 0.266 0.301 0.336 0.371 0.301
Jawa Tengah 0.26
14
4 0.299 0.334 0.369 0.404 0.334
DI Yogyakarta 0.34
15
3 0.378 0.413 0.448 0.483 0.413
Jawa Timur 0.26
16
9 0.304 0.339 0.374 0.409 0.339
Bali 0.45
17
8 0.493 0.528 0.563 0.598 0.528
Nusa Tenggara Barat 0.21
18
1 0.246 0.281 0.316 0.351 0.281
Nusa Tenggara Timur 0.32
19
6 0.361 0.396 0.431 0.466 0.396
Kalimantan Barat 0.31
20
5 0.350 0.385 0.420 0.455 0.385
40

N Rata-
Provinsi 2013 2014 2015 2016 2017
o rata
Kalimantan Tengah 0.26
21
3 0.298 0.333 0.368 0.403 0.333
Kalimantan Selatan 0.28
22
9 0.324 0.359 0.394 0.429 0.359
Kalimantan Timur 0.21
23
4 0.249 0.284 0.319 0.354 0.284
Sulawesi Utara 0.27
24
2 0.307 0.342 0.377 0.412 0.342
Gorontalo 0.45
25
1 0.486 0.521 0.556 0.591 0.521
Sulawesi Tengah 0.18
26
7 0.222 0.257 0.292 0.327 0.257
Sulawesi Selatan 0.34
27
9 0.384 0.419 0.454 0.489 0.419
Sulawesi Barat 0.19
28
6 0.231 0.266 0.301 0.336 0.266
Sulawesi Tenggara 0.25
29
4 0.289 0.324 0.359 0.394 0.324
Maluku 0.49
30
1 0.526 0.561 0.596 0.631 0.561
Maluku Utara 0.41
31
0 0.445 0.480 0.515 0.550 0.480
Papua 0.32
32
3 0.358 0.393 0.428 0.463 0.393
Papua Barat 0.22
33
2 0.257 0.292 0.327 0.362 0.292
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2019)

Berdasarkan tabel di atas, Jakarta menjadi daerah dengan penggunaan jasa

perbankan paling tinggi. Provinsi yang dikategorikan sedang dalam dimensi

kegunaan jasa perbankan adalah provinsi Nusa Tenggara Barat dan Maluku Utara.

Jika dibandingkan dengan provinsi yang berada di pulau Jawa ataupun Sumatera,

kedua provinsi ini memiliki volume kredit dan deposit yang jauh lebih sedikit.

Tetapi, karena PDRB yang kecil dibandingkan dengan penjumlahan kredit yang

disalurkan dan tabungan yang terhimpun, nilai dimensi kegunaan jasa perbankan

menjadi lebih besar.


41

4. Indeks Inklusi Keuangan antar Provinsi

Dalam penelitian ini, indeks inklusi keuangan dibagi kedalam tiga kategori

berdasarkan nilai indeks inklusi keuangannya. Pertama, suatu provinsi dikategorikan

sebagai provinsi dengan inklusi keuangan tinggi adalah provinsi yang memiliki

indeks inklusi keuangan antara 0,6-1. Provinsi yang memiliki indeks inklusi keuangan

antara 0,3-0,6 dikategorikan sebagai provinsi dengan inklusi keuangan sedang, dan

provinsi yang memiliki indeks inklusi keuangan dibawah 0,3 dikategorikan sebagai

provinsi dengan inklusi keuangan rendah.

Rendahnya tingkat inklusi keuangan di Indonesia dapat disebabkan oleh

banyaknya penduduk yang tidak dapat mengakses perbankan. Masyarakat tidak dapat

mengakses perbankan karena adanya hambatan geografis Indonesia yang merupakan

negara kepulauan sehingga biaya pendirian kantor cabang mahal. Selain itu,

persyaratan yang ketat, proses yang kompleks, dan formalitas yang tinggi menjadi

hambatan bagi masyarakat untuk mengakses perbankan.

Tabel 4.4
Indeks Inklusi Keuangan Provinsi di Indonesia

N Indeks Inklusi Keuangan Rata-


Provinsi
o 2013 2014 2015 2016 2017 rata
1 0.23
Aceh 0 0.263 0.296 0.330 0.364 0.297
2 0.27
Sumatera Utara 0 0.304 0.338 0.372 0.407 0.338
3 0.22
Sumatera Barat 2 0.256 0.289 0.324 0.358 0.290
4 0.19
Riau 6 0.230 0.264 0.298 0.332 0.264
5 0.32
Kepulauan Riau 3 0.354 0.385 0.417 0.449 0.386
6 Jambi 0.26 0.297 0.331 0.365 0.399 0.331
42

N Indeks Inklusi Keuangan Rata-


Provinsi
o 2013 2014 2015 2016 2017 rata
3
7 0.20
Sumatera Selatan 5 0.239 0.273 0.307 0.341 0.273
8 0.28
Bangka Belitung 0 0.313 0.347 0.381 0.415 0.347
9 0.25
Bengkulu 0 0.283 0.317 0.351 0.385 0.317
10 0.15
Lampung 3 0.186 0.220 0.254 0.288 0.220
11 1.00
DKI Jakarta 0 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
12 0.17
Jawa Barat 0 0.205 0.239 0.273 0.308 0.239
13 0.17
Banten 6 0.210 0.245 0.280 0.315 0.245
14 0.19
Jawa Tengah 4 0.228 0.262 0.297 0.331 0.263
15 0.27
DI Yogyakarta 3 0.308 0.342 0.377 0.412 0.342
16 0.22
Jawa Timur 2 0.256 0.291 0.325 0.360 0.291
17 0.38
Bali 3 0.417 0.451 0.486 0.520 0.451
18 0.15
Nusa Tenggara Barat 7 0.191 0.225 0.259 0.294 0.225
19 Nusa Tenggara 0.22
Timur 8 0.261 0.295 0.329 0.363 0.295
20 0.24
Kalimantan Barat 8 0.282 0.316 0.350 0.385 0.316
21 0.23
Kalimantan Tengah 7 0.270 0.304 0.338 0.372 0.304
22 0.27
Kalimantan Selatan 3 0.305 0.339 0.372 0.405 0.339
23 0.36
Kalimantan Timur 9 0.401 0.433 0.465 0.497 0.433
24 0.27
Sulawesi Utara 9 0.313 0.347 0.381 0.415 0.347
25 0.31
Gorontalo 7 0.349 0.382 0.416 0.449 0.383
26 0.19
Sulawesi Tengah 4 0.227 0.261 0.295 0.330 0.261
27 0.26
Sulawesi Selatan 5 0.298 0.331 0.365 0.399 0.331
43

N Indeks Inklusi Keuangan Rata-


Provinsi
o 2013 2014 2015 2016 2017 rata
28 0.20
Sulawesi Barat 0 0.233 0.266 0.300 0.334 0.267
29 0.21
Sulawesi Tenggara 1 0.244 0.278 0.312 0.346 0.278
30 0.39
Maluku 5 0.428 0.460 0.493 0.525 0.460
31 0.27
Maluku Utara 4 0.307 0.340 0.373 0.406 0.340
32 0.35
Papua 2 0.384 0.416 0.449 0.481 0.417
33 0.34
Papua Barat 8 0.379 0.410 0.441 0.473 0.410
Sumber: Data Olahan (2019)

Berdasarkan dari tabel di atas bahwa Indeks Inklusi Keuangan (IIK) yang

rendah termasuh Provinsi Aceh sebesar 0,297 dan 14 Provinsi lainnya, sedangkan

nilai indeks inklusi keuangan dalam kategori sedang sebanyak 18 Provinsi dan

yang tertinggi hanya provinsi Jakarta saja yang indeks inklusi keuangan sebesar 1.

Jika dilihat dari sebaran ketiga dimensi inklusi keuangan, DKI Jakarta jauh

lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Akibatnya tingkat inklusi

keuangan semua provinsi terlihat jauh lebih buruk. Tetapi jika Jakarta dikeluarkan

dalam perhitungan, nilai dari indeks inklusi keuangan setiap provinsi

overestimate, atau terlalu besar.

Berdasarkan indeks inklusi keuangan, tingkat keinklusifan perbankan di

pulau Jawa lebih rendah dari Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Rendahnya nilai indeks inklusi keuangan di pulau Jawa dikarenakan jumlah

rekening yang terdaftar, jumlah kantor cabang, maupun jumlah DPK dan kredit

relatif lebih tinggi, tetapi tidak sebanding dengan jumlah populasi yang ada di

pulau Jawa. Selain jumlah populasi dewasa yang sangat tinggi, penduduk provinsi
44

di Pulau Jawa memiliki banyak pilihan jasa keuangan selain bank umum

konvensional.

Rendahnya indeks inklusi keuangan menunjukkan penyebaran dan

pemanfaatan jasa perbankan masih rendah. Perbedaan indeks inklusi keuangan

antar provinsi di Indonesia menunjukkan masih terjadinya ketimpangan akses jasa

perbankan antar provinsi. Selain itu, beberapa provinsi yang memiliki kantor

perbankan, rekening deposit, dan tingkat penggunaan perbankan yang cukup

tinggi memiliki indeks inklusi keuangan lebih rendah dibandingkan dengan

provinsi yang memiliki kantor perbankan, rekening deposit, dan tingkat

penggunaan perbankan yang relatif lebih rendah. Indeks inklusi keuangan di

Papua, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan lebih tinggi dibandingkan dengan

indeks inklusi keuangan di Pulau Jawa. Besarnya indeks di beberapa provinsi

tersebut menunjukkan bahwa indikator yang digunakan Sarma dalam menghitung

indeks inklusi keuangan belum mampu menangkap fenomena di Indonesia.

4.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inklusi Keuangan di Indonesia

Faktor-faktor yang mempengaruhi inklusi keuangan di Indonesia dianalisis

menggunakan panel tobit. Baik model dari pendekatan sosial ekonomi, model

yang memiliki nilai statsitik Wald Chi-Square dengan p-value sebesar 0,000,

artinya tolak H0, bahwa pada tingkat kepercayaan 95 persen paling tidak ada salah

satu peubah bebas yang berpengaruh terhadap peubah terikatnya.

Tabel 4.5
Regresi Tobit Model I Peubah Bebas Sosial Ekonomi

Model I
Variabel
Koefisien p>│z│
45

log_pdrb .6406354 0.000


log_pengangguran -.0060662 0.724
melek_huruf .0063407 0.019
rasio_gini -.3084853 0.002
_cons -9.236242 0.000
Wald Chi-square 1005.90
Log likelihood 314.1843
Probability 0.0000
Sumber: data olahan (2019)

Berdasarkan dari tabel 4.5 di atas maka dapat diketahui secara keseluruhan

bahwa terdapat hubungan antara Indeks Inklusi Keuangan (IIK) terhadap peubah

social ekonomi dalam pemerataan pendapatan di Indonesia dengan nilai

probability sebesar 0,0000, namun jika dilihat dari hubungan antara indicator pada

variabel peubah bebas terhadap IIK maka pengangguran tidak memiliki hubungan

yang dimana nilai signifikan sebesar 0,724 melebihi ketetapan yang telah

ditentukan yaitu sebesar 0,05, sehingga dibutuhkan pengujian ulang pada regresi

tobit model II. Sebagai berikut:

Tabel 4.6
Regresi Tobit Model II Peubah Bebas Sosial Ekonomi

Model II
Variabel
Koefisien p>│z│
log_pdrb .6400892 0.000
melek_huruf .0061077 0.020
rasio_gini -.307092 0.002
_cons -9.237172 0.000
Wald Chi-square 1009.17
Log likelihood 314.12164
Probability 0.0000
Sumber: data olahan (2019)

Berdasarkan dari tabel 4.6 dapat dijelaskan bahwa masih ada hubungan

secara keseluruhan antara Indeks Inklusi Keuangan (IIK) dengan peubah bebas

sosial ekonomi yang dilihap pada besaran nilai probability dihasilkan sebesar
46

0,000 tidak lebih besar dari nilai 0,05. Sedangkan secara individu dari indikator

peubah bebas nilai probabilitas log_pdrb sebesar 0,000, nilai probabilitas

melek_huruf sebesar 0,020 dan nilai probabilitas rasio_gini sebesar 0,002 yang

tidak melebihi dari nilai nilai 0,05.

4.3 Pembahasan

Pengujian penetrasi jasa perbankan yang dilakukan pada seluruh provinsi

di Indonesia didapatkan bahwa 1 wilayah yang memiliki penetrasi perbankan

tinggi yaitu Provinsi DKI Jakarta sedangkan untuk 32 provinsi lain masih sangat

rendah kurang dari 0,3. Selain jumlah pengguna jasa perbankan semakin banyak,

peningkatan ini juga dapat disebabkan oleh individu yang awalnya hanya

memiliki satu rekening menjadi lebih dari satu rekening.

Ketersediaan jasa perbankan merupakan banyaknya kantor cabang

perbankan yang dapat dijangkau oleh masyarakat menunjukkan penyebaran jasa

perbankan. Semakin banyak dan semakin luas penyebaran kantor cabang

perbankan, maka layanan jasa perbankan yang diberikan semakin tinggi. Dalam

kajian mengenai ketersediaan jasa perbankan yang memiliki nilai yang tinggi

yaitu 6 wilayah dengan nilai ketersediaan jasa perbankan diatas 0,61 sedangkan

untuk nilai ketersediaan jasa perbankan yang sedang terdiri dari 22 wilayah yang

nilai ketersediaan jasa perbankan antara 0,60-0,30 dan nilai ketersediaan jasa

perbankan dibawah 0,30 sebanyak 5 wilayah.

Kegunaan dari jasa perbankan merupakan dimensi ketiga dari inklusi

keuangan. Banyak orang yang memiliki akses terhadap jasa perbankan tetapi tidak

menggunakan jasa tersebut dikarenakan berbagai alasan seperti jarak yang cukup jauh
47

untuk menjangkau bank terdekat, produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan

kebutuhan, atau memiliki pengalaman yang buruk dengan penyedia jasa. Pada hasil

pengujian kegunaan jasa perbankan dengan nilai tinggi sebanyak 1 wilayah yaitu

Provinsi DKI Jakarta, untuk nilai kegunaan jasa perbankan sedang sebanyak 21

wilayah dan yang terendah sebanyak 11 wilayah.

Rendahnya tingkat inklusi keuangan di Indonesia dapat disebabkan oleh

banyaknya penduduk yang tidak dapat mengakses perbankan. Rendahnya indeks

inklusi keuangan menunjukkan penyebaran dan pemanfaatan jasa perbankan

masih rendah. Perbedaan indeks inklusi keuangan antar provinsi di Indonesia

menunjukkan masih terjadinya ketimpangan akses jasa perbankan antar provinsi.

Selain itu, beberapa provinsi yang memiliki kantor perbankan, rekening deposit,

dan tingkat penggunaan perbankan yang cukup tinggi memiliki indeks inklusi

keuangan lebih rendah dibandingkan dengan provinsi yang memiliki kantor

perbankan, rekening deposit, dan tingkat penggunaan perbankan yang relatif lebih

rendah. Indeks inklusi keuangan di Papua, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan

lebih tinggi dibandingkan dengan indeks inklusi keuangan di Pulau Jawa.

Besarnya indeks di beberapa provinsi tersebut menunjukkan bahwa indikator yang

digunakan Sarma dalam menghitung indeks inklusi keuangan belum mampu

menangkap fenomena di Indonesia.

Ada hubungan secara keseluruhan antara Indeks Inklusi Keuangan (IIK)

dengan peubah bebas sosial ekonomi yang dilihap pada besaran nilai probability

dihasilkan sebesar 0,000 tidak lebih besar dari nilai 0,05. Sedangkan secara

individu dari indikator peubah bebas nilai probabilitas log_pdrb sebesar 0,000,
48

nilai probabilitas melek_huruf sebesar 0,020 dan nilai probabilitas rasio_gini

sebesar 0,002 yang tidak melebihi dari nilai nilai 0,05.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan diatas, maka penulis dapat

menarik kesimpulannya adalah:

1. Indeks Inklusi Keuangan (IIK) yang tinggi sebanyak 1 wilayah yaitu

Provinsi DKI Jakarta, sedangkan untuk nilai sedang sebanyak 18 wilayah

yaitu Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Bangka Belitung,

Bengkulu, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo,

Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat dan

yang rendah sebanyak 14 wilayah yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat,

Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah,

Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara.

2. Faktor-faktor yang yang mempengaruhi Indeks Inklusi Keuangan

Indonesia dari peubah bebas pada indicator sosial ekonomi yaitu PDRB,

melek huruf dan rasio gini sedangkan yang tidak berpengaruh yaitu

variabel pengangguran.

3. Ada hubungan Indeks Inklusi Keuangan (IIK) dengan peubah bebas pada

indikator sosial ekonomi dengan nilai probability sebesar 0,000.

49
50

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis data dan kesimpulan mengenai analisis inklusi

keuangan dan pemerataan pendapatan maka dapat disarankan:

1. Baik pemerintah maupun pelaku sektor perbankan bekerja sama untuk

meningkatkan akses dan penggunaan jasa perbankan yaitu dengan

meningkatkan setiap dimensi inklusi keuangan. Penetrasi perbankan dapat

ditingkatkan dengan mengajak masyarakat untuk menabung. Akses

perbankan dapat ditingkatkan dengan mengembangkan branchless banking

seperti pengadaan ATM dan mesin setor tunai serta mobile banking. Salah

satu pilar dari kebijakan Bank Indonesia terkait Strategi Nasional Inklusi

Keuangan adalah fasilitas distribusi/intermediasi. Mobile banking dapat

menjadi intermediasi antara penyedia jasa keuangan dengan penduduk

Indonesia di berbagai daerah. Sedangkan untuk dimensi kegunaan,

pemerintah, Bank Indonesia, serta stakeholder terkait dapat menyediakan

kredit murah dan mudah diakses oleh pengusaha kecil yang membutuhkan

modal.

2. Penentuan indikator dan pemberian bobot yang tepat dari setiap dimensi

inklusi keuangan adalah hal penting yang harus diperhatikan dalam

perhitungan indeks inklusi keuangan di Indonesia. Penentuan indikator dari

setiap dimensi inklusi keuangan disesuaikan dengan kondisi Indonesia yang

memiliki kondisi sosial ekonomi beragam antar provinsi. Pemberian bobot

yang berbeda dari setiap dimensi inklusi keuangan dapat menghasilkan indeks

inklusi keuangan yang nilainya mendekati kondisi tingkat inklusi keuangan


51

provinsi yang sebenarnya. Hubungan antara inklusi keuangan dengan

ketimpangan pendapatan di Indonesia dapat dijelaskan dengan tepat jika

indeks inklusi keuangan yang dihasilkan juga tepat.

You might also like