You are on page 1of 37

MAKALAH

HUKUM PERIKATAN

HUBUNGAN ANTARA WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN

HUKUM

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Achmad Busro, S.H., M.Hum

Disusun Oleh :
Zahra Amalia Maimanah 11000217410006
Cornella Olivia Rumbay 11000217410009
Mega Prawesthie 11000217410011
Ruci Pebriyani 11000217410027
Qiroatul Anis Ummami 11000217410017

UNIVERSITAS DIPONEGORO

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum merupakan peraturan atau ketentuan tertulis maupun tidak tertulis

yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi

pelanggarnya.

Hukum bertujuan mengatur berbagai kepentingan manusia dalam rangka

pergaulan hidup di masyarakat.

Hukum perikatan merupakan

Hukum perikatan ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan

kewajiban subyek hukum dalam tindakan hukum kekayaan. Hukum perikatan

yang terdapat dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan

hukum yang bersifat khusus dalam melakukan perjanjian dan perbuatan hukum

yang bersifat ekonomis atau perbuatan hukum yang dapat dinilai dari harta

kekayaan seseorang atau badan hukum.

Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang

dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Maksudnya, semua perjanjian

mengikat mereka yang tersangkut bagi yang membuatnya, mempunyai hak yang

oleh perjanjian itu diberikan kepadanya dan kewajiban melakukan hal-hal yang

oleh perjanjian itu diberikan kepdanya dan berkewajiban melakukan hal-hal yang

ditentukan dalam perjanjian. Setiap orang dpat mengadakan perjanjian, bilamana

memenuhhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata (tentang syarat

sahnya perjanjian).

Di zaman milenium ini di tambah lagi telah telah dibukanya masyarakat

enomoni ASEAN yang berdapak pada perdagangan bebas. Sehingga kepentingan


manusia dalam mmasyarakat begitu luas, mulai dari kepentingan pribadi hingga

masyarakat dengan Negara.

Terpenuhinya segala hak dan kewajiban sesuai dengan yang telah

diperjanjian antara pihak-pihak sampai perjanjian tersebut berakhir dikenal

dengan istilah prestasi. Namun dalam perjanjian adakalanya salah satu pihak tidak

melakukan kewajiban dengan baik atau tidak memperoleh haknya, hal ini disebut

wanprestasi. Sedangkan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur

juga oleh hukum, walaupun akibat itu memang tidak dikehendaki oleh yang

melakukan perbuatan tersebut disebut dengan perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini akan mengkaji tentang

hubungan antara kedua hal tersebut diatas dengan judul Makalah “ Hubungan

Antara Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum”.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana hubungan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan

hukum?

2. Bagaimana akibat hukum wanprestasi ?


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian sudah sangat lazim digunakan dalam kehidupan masyarakat.

Pada umumnya perjanjian dinamakan juga sebagai suatu persetujuan, oleh

karenanya sekiranya harus ada dua pihak yang yang setuju untuk melakukan

sesuatu. Prof. Subekti menjelaskan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa

dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan suatu hal.1

Menurut Gifis, Steven H seperti yang dikutip oleh Munir Fuady

menyatakan bahwa pengertian kepada kontrak diidentikan sebagai suatu

perjanjian, atau serangkaian perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi

terhadap wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau pelaksanaan kontrak tersebut

oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas.2 Perumusan tersebut juga didasarkan

pada Pasal 1313 KUH-Perdata yang merumuskan tentang perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih.

Wirjono Pradjodikoro berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu

hubungan hukum mengenai harta benda dua pihak, dalam mana suatu pihak

berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sedang pihak lain

berhak menuntut pelaksanaan janji itu.3 Dari peristiwa ini muncullah suatu

hubungan antara dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan.

1
R. Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, hal. 1.
2
Munir Fuady I, 2007, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti,
hal. 4.
3
Wirjono Pradjodikoro, 1973, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung Sumur Bandung, hal. 19.
Menurut Prof. Subekti, perikatan merupakan suatu hubungan hukum

antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak

menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk

memenuhi tuntutan itu.4

Menurut Abdulkadir Muhammad perikatan adalah hubungan hukum yang

terjadi antara debitur dan kreditur yang terletak dalam bidang harta kekayaan. 5

Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian dan

perikatan saling berhubungan, bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan.

Dari perikatan itu timbullah sebab akibat yang mana satu pihak berkewajiban

untuk memenuhi suatu pretasi dan pihak lain berhak untuk menuntut atas prestasi

tersebut. Perikatan merupakan suatu hubungan hukum yang bersumberkan pada

undang-undang dan persetujuan (Pasal 1233 KUH-Perdata). Dan perikatan itu

dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

(Pasal 1234 KUH-Perdata).

2. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yaitu :

a. Asas Konsensusalisme

Perkataan konsensualisme berasal dari kata Consensus yang berarti

sepakat. Berdasarkan asas ini, maka suatu perjanjian dan/atau perikatan sudah

dilahirkan sejak tercapainya kata sepakat diantara para pihak yang membuat

perjanjian tersebut. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1320

KUH-Perdata yang menjelaskan mengenai syarat-syarat sahnya suatu

perjanjian. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada

umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya

kesepakatan antara kedua belah pihak.

Menurut Munir Fuady dengan prinsip konsensual yang dimaksudkan

adalah bahwa jika suatu kontrak dibuat, maka dia telah sah dan mengikat

4
Ibid., hal. 29.
5
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan,Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 78.
secara penuh, tanpa memerlukan persyaratan lain, seperti persyaratan tertulis,

kecuali jika undang-undang menentukan lain.6 Konsekwensi dengan adanya

asas ini adalah tidak diperlukan lagi adanya formalitas atau perbuatan lain

untuk sahnya perjanjian, kecuali jika undang-undang menentukan lain.

Terhadap asas ini terdapat pengecualian, yaitu oleh undang-undang ditetapkan

persyaratan formalitas tertentu,, misalnya hak tanggungan yang harus dibuat

secara tertulis dengan suatu Akta Notaris.

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUH-Perdata “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa orang

bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja, menetapkan sis,

memberlakukan syarat-syarat sesuai kehendaknya sendiri sepanjang perjanjian

itu dibuat secara sah dan beritikad baik serta tidak melanggar ketertiban umum

dan kesusilaan. Sehingga perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi

para pihak yang membuatnya.

Adapun ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut hukum

perjanjian di Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut :

1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

2) Kebebasan untuk memilih dengan siapa ingin membuat perjanjian.

3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang

akan dibuat.

4) Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.

5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan perundang-

undangan yang bersifat opsional.7

6
Munir Fuady II, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, hal. 50.
7
Farns Satriyo Wicaksono, 2008, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Jakarta: Visimedia,
hal. 3.
Dari ruang lingkup tersebut dapat dipahami secara seksama bahwa

kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya.

4) Menentukan bentuk perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.

Keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar

undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini disebut juga dengan asas kepastian hukum. Menurut

ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata menyatakan bahwa “Semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya”. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian, bahwa

hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat

oleh para pihak, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi

konrak dan/atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak. 8 Pacta sunt servanda

diakui sebagai suatu aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang

dibuat secara sah, mengikat kekuatan hukum yang dikandung didalamnya,

dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya akan dapat dipaksakan

penataannya.9

d. Asas Itikad Baik

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan itikad

atau itikat adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan yang

baik.10 Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH-Perdata, bahwa :

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik mengandung

makna bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian harus berjalan dengan

8
Salim I, 2010, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 10.
9
Herlien Budiono, 2008, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya dibidang Kenotariatan,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 31.
10
Tim Penyusun Kamus, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 708.
mengindahkan norma-norma kepatutan dan keadilan. Ridwan Khairandy

mengklasifikasikan mengenai itikad baik dapat dibedakan atas 2 (dua) hal,

yaitu :

1) Bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Standar

yang digunakan dalam itikad baik obyektif adalah standar yang mengacu

pada suatu norma obyektif. Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji

atas dasar norma-norma obyektif yang tidak tertulis yang berkembang di

masyarakat. Contoh : Si A melakukan perjanjian dengan Si B untuk

membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap essenza namun di

pasaran habis maka diganti cap platinum oleh Si B.

2) Bersifat subyektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Itikad baik

subyektif dikaitkan dengan hukum benda. Disini ditemui istilah pemegang

yang beritikad baik atau pembeli barang yang beritikad baik sebagai lawan

dari orang-orang yang beritikad buruk. Contoh : Si A ingin membeli

motor, kemudian dating Si B yang berpenampilan preman yang akan

menjual motor tanpa surat dengan harga yang sangat murah, Si A menolak

mambeli karena takut bukan barang halal atau tidak legal.11

e. Asas Kepribadian (Personalita)

Asas kepribadian ini merupakan asas yang menentukan bahwa

seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk

kepentingan perorangan saja. Dengan demikian seorang tidak dapat

mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH-Perdata, Pasal 1315 KUH-Perdata

berbunyi “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya

sendiri”, sedangkan Pasal 1340 KUH-Perdata berbunyi “persetujuan hanya

berlaku antara pihak-pihakyang membuatnya”. Namun terdapat pengecualian

11
Ridwan Khairandy, 2003, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal. 194-195.
yaitu yang terdapat dalam Pasal 1317 dan 1318 KUH-Perdata. Salim

menjelaskan, Pasal 1317 KUH-Perdata pada intinya megatur bahwa seseorang

dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu

syarat yang ditentukan, sedangkan inti Pasal 1318 KUH-Perdata tidak hanya

mengatur mengenai perjanjian untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk

kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari

padanya.12

3. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Sebagaimana diketahui perjanjian baru akan sah menurut hukum, apabila

syarat-syarat untuk sahnya perjanjian itu dapat dipenuhi. Suatu perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,

agar perjanjian itu mengikat bagi pihak yang membuatnya, maka dalam perjanjian

harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 KUH-

Perdata, suatu perjanjian baru sah apabila memenuhi 4 (empat) syarat sebagai

berikut :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

c. Suatu hal tertentu.

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat yang pertama dan kedua adalah merupakan syarat subyektif karena

menyangkut orangnya. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat

obyektif karena mengenai obyek hukum atau bendanya.

Uraian dari syarat-syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kata sepakat dimaksudkan abhwa kedua belah pihak yang

mengadakan perjanjian itu harus setuju atau seia sekata mengenai hal-hal
12
Sudaryati, 2011, Prinsip-Prinsip Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Pada
Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, Jember: Program Magister Ilmu Hukum Kosentrasi Hukum Ekonomi,
hal. 37.
pokok dari perjanjian. Menurut Sudikno Mertokusumo seperti yang dikutip

oleh Salim, bahwa ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak,

yaitu dengan :

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis.

2) Bahasa yang sempurna secara lisan.

3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.

4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.

5) Diam atau membisu tetapi diterima oleh pihak lawan.13

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Kecakapan bertindak adalah ecakapan atauu kemampuan untuk

melakukan perbuatan hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian

haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk

melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang telah ditentukan oleh

undang-undang. Hal ini sangat diperlukan sebab, orang yang membuat suatu

perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian harus mempunyai cukup

kemampuan untuk mengerti betul mengenai tanggung jawab yang dipikulnya.

Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum

adalah orang yang telah dewasa. Ukuran dewasa menurut hukum perdata

adalah telah berumur 21 tahun dan/atau sudah kawin. Orang-orang yang

dianggap tidak cakap atau tidak berwenang untuk membuat suatu perbuatan

hukum adalah seperti yang telah di rumuskan dalam Pasal 1330 KUH-Perdata

sebagai berikut :

1) Orang-orang yang belum dewasa.

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.

3) Orang-orang perempuan/ istri (Pasal 1330 KUH-Perdata). Akan tetapi

dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum,

13
Sudaryati, 2011, Prinsip-Prinsip Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Pada
Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, Jember: Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum
Ekonomi, hal. 25.
sebagaimana yang diataur dalam Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 jo SEMA

No. 3 Tahun 1963.14

Ketentuan tentang belum dewasa diatur dalam Pasal 330 ayat (1)

KUH-Perdata yang berbunyi “Belum dewasa adalah mereka yang belum

mencapai genap duapuluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

Pasal 47 undang-undang No.1 Tahun 1974 secara implicit menjelaskan

batas umum kedewasaan manakala anak yang belum mencapai usia delapan

belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah

kekuasaan orang tua.

c. Suatu hal tertentu

Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu sesuai

dengan apa yang telah disepakati. Hal ini berarti dalam perjanjian harus ada

suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas, yang menjadi hak dan kewajiban

para pihak dalam perjanjian. Suatu perjanjian harus memenuhi obyek tertentu,

sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Obyek tertentu ini dapat berupa benda

yang ada sekarang atau benda yang baru nanti akan ada.

d. Suatu sebab yang halal

Suatu perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Didalam

suatu perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya suatu sebab yang halal.

Suatu sebab yang halal atau tidak terlarang adalah syarat terakhir untuk

berlakunya suatu perjanjian. Yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal

adalah isi dan tujuan atau maksud dalam suatu perjanjian tidak bertentangan

dengan ketentuan perundang-undangan, kesusilaan atau dengan ketertiban

umum, hal ini termaktub dalam Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 KUH-

Perdata.

Di awal telah di jelaskan bahwa persyaratan yang terdiri dari suatu hal

tertentu dan suatu sebab yang terlarang disebut sebagai syarat obyektif karena

menyangkut obyek dari perjanjian. Jika syarat itu tidak terpenuhi maka
14
Salim I, 2010, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 34.
perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula perjanjian itu tidak

pernah dilahirkan dan tidak pernah ada suatu perikatan.

B. Tinjauan Tentang Wanprestasi

1. Pengertian Wanprestasi

Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya prestasi

buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi

atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan

dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.

Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji,

cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah

menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada

beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi

pendapat tentang pengertian mengenai wanprestasi tersebut.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan

suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus

dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa

Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan

ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.”

R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau

kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.


b. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana
yang diperjanjikan.
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.
d. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat
dilakukan.

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur “karena

kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu

wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena
debitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena

salahnya.15

Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak

memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan

kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.

Yahya Harahap mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan

kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak

menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk

memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan

adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut

pembatalan perjanjian.

Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau

tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah

mereka buat maka yang telah melanggar isi perjanjian tersebut telah melakukan

perbuatan wanprestasi. Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui maksud

dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seorang dikatakan

melakukan wanprestasi bilamana “tidak memberikan prestasi sama sekali,

terlambat memberikan prestasi, melakukan prestasi tidak menurut ketentuan yang

telah ditetapkan dalam pejanjian”. Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah

sangat penting, karena dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu

perjanjian kedua belah pihak menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat

terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu

sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban untuk

menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati.

Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan

suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prestasi

merupakan isi dari suatu perjanjian, apabila debitur tidak memenuhi prestasi

sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka dikatakan

15
Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-4, Pembmbing Masa, Jakarta
wanprestasi.

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang

melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang

dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan

ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang

dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Dasar hukum wanprestasi yaitu:

Pasal 1238 KUHPerdata: “Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau

dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri,

yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan

lewatnya waktu yang ditentukan”.

Pasal 1243 KUHPerdata: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak

dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah

dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang

harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya

dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

2. Bentuk-Bentuk Wanprestasi

Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali Sehubungan dengan dengan debitur

yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi

prestasi sama sekali.

b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka

debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru

tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi

prestasi sama sekali.


Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;


b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu

perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan

dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang

diperjanjikan.

Menurut Pasal 1238 KUHPerdata yang menyakan bahwa:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan

sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri,

ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan

lewatnya waktu yang ditentukan”.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan

wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-

bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata adalah:

1) Surat perintah.

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk

penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara

lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini

biasa disebut “exploit juru Sita”

2) Akta

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta Notaris

3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya

wanprestasi.

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur

yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk
mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut

berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang

debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam

perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu,

debitur mengakui dirinya wanprestasi.

3. Pengaturan Wanprestasi Dalam KUHPerdata

Pasal 1235 KUHPerdata:

“dalam tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termasuk kewajiban si

berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk

merawatnya sebagai seorang bapak keluarga yang baik, sampai pada saat

penyerahan.”

Penyerahan menurut Pasal 1235 KUHPerdata dapat berupa penyerahan

nyata maupun penyerahan yuridis.

Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada

unsur kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas tuntutan dari

kreditur bisa menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236

KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata, juga diatur pada Pasal 1237

KUHPerdata.

Pasal 1236 KUHPerdata:

“si berhutang adalah wajib untuk memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada

si berhutang, apabila ia telah membawa didinya dalam keadaan tidak mampu

menyerahkan bendanya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna

menyelamatkannya”.

Pasal 1243 KUHPerdata:

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan,

barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi


perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau

dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang

telah dilampaukannya”.

Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata berupa ganti rugi dalam

arti:

a. Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya.

b. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi

atas dasar cacat tersembunyi.

c. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur.

d. Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok

maupun ganti rugi keterlambatannya.

Pasal 1237 KUHPerdata:

“dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu,

kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si

berpiutang. maka sejak debitur lalai, maka resiko atas obyek perikatan menjadi

tanggungan debitur.”

Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Dalam

hal menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan

perhitungan ganti rugi dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang

diusulkan. Kalau debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya,

maka debitur dapat dipersalahkan, maka kreditur berhak untuk menuntut

ganti rugi.

C. Tinjauan tentang Perbuatan Melawan Hukum

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Pasal 1365 B.W. (burgelijk wetboek atau KUHPerdata) yang terkenal sebagai

Pasal yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum onrectmatige daad)

memegang peranan penting dalam bidang hukum perdata. Telah terjadi


perdebatan hebat yang berlangsung bertahun-tahun lamanya di kalangan para

sarjana di Negeri Belanda tentang arti daripada “onrechtmatige daad” ini.

Pasal 1365 B.W. (KUHPerdata) memuat ketentuan sebagai berikut:

tiap perbuatan yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
mengganti kerugian tersebut.
Dalam Pasal 1365 B.W. telah disebutkan “melawan hukum”, maka

timbul pertanyaan makna apakah yang terkandung dalam istilah tersebut.

Untuk dapat menjawab pertanyaan itu, maka kita harus berpaling kepada

sejarah dan perkembangannya, yaitu masa sebelum dan sesudah ArrestHoge

Raad 31 Januari 1919.

Sebelum tanggal 31 Januari 1919, di bawah pengaruh ajaran legisme,

maka “onrechtmatige daad” (perbuatan melawan hukum) ditafsirkan dalam arti

sempit, yaitu: perbuatan melawan hukum adalah perbuatan melanggar undang-

undang. Melawan hukum adalah suatu perbuatan melanggar hak subjektif orang

lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku.

Dalam waterleiding arrest (Arrest H.R. 10 Juni 1910), H.R. menganut

paham legisme ini, artinya perbuatan melawan hukum adalah melanggar undang-

undang. Tetapi kemudian dengan Arrest Cohen- Lindenbaum (H.R. 31 Januari

1919), pengertian onrechtmatigedaad diberi penafsiran yang lebih luas. Kasus

posisinya sebagai berikut.

Di Kota Amsterdam ada dua orang pengusaha percetakan buku bernama

Samuel Cohen dan Max Lindenbaum. Pada suatu waktu Cohen membujuk

(dengan cara memberikan sesuatu/hadiah) salah seorang pegawai Lindenbaum

agar membocorkan rahasia perusahaan Lindenbaum kepadanya. Akhirnya

perusahaan Lindenbaum mengalami kerugian. Ketika Lindenbaum

mengetahui hal tersebut, Lindenbaum menggugat Cohen berdasarkan Pasal

1401 B.W. (1365 KUHPerdata).


Pengadilan Negeri berpendapat bahwa Cohen telah melakukan perbuatan

melawan hukum. Tetapi pada tingkat Pengadilan Tinggi perbuatan melawan

hukum tidak dapat diterapkan kepada pihak ketiga (Cohen) karena ia tidak

melanggar undang-undang. Perbuatan melawan hukum tersebut hanya dapat

diterapkan terhadap pekerja/pegawai Lindenbaum. Akan tetapi tingkat kasasi

H.R. (Hoge Raad) memenangkan Lindenbaum dengan pertimbangan sebagai

berikut: bahwa penafsiran Pengadilan Tinggi mengenai perbuatan melawan

hukum adalah sangat sempit, karena hanya mengenai perbuatan yang

dilarang oleh Undang-Undang.

Hingga sekarang masih belum ada definisi yang positif dalam Undang-

Undang tentang pengertian perbuatan melawan hukum ini. Semuanya diserahkan

pada Ilmu Pengetahuan dan Yurispridensi.

Menurut Munir Faudy, perbuatan melawan hukum adalah sebagai

suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol

atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu

kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi

terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.

Menurut R. Wirjono Projodikoro, perbuatan melawan hukum diartikan

sebagai perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan

kegoncangan dalam neraca keseimbangna dari masyarakat. Lebih lanjut beliau

mengatakan, bahwa istilah “onrechtmatige daad” dirafsirkan secara luas,

sehingga meliputi juga suatu hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan

atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat.

Perbuatan melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-

undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain

bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan

kepatutan dalam lalu lintas masyarakat. Perbuatan melawan hukum juga dapat

diartikan sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan


untuk mengontrol atau mengatur prilaku berbahaya, untuk memberikan

tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk

menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.

Menurut arrest 1919 tersebut di atas, bahwa berbuat atau tidak berbuat

merupakan suatu perbuatan melawan hukum, jika :

a. melanggar hak orang lain;

b. bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat;

c. bertentangan dengan kesusilaan;

d. bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu-lintas

masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.

2. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 di atas, gugatan ganti rugi berdasarkan

perbuatan melawan hukum harus memenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur

sebagai berikut :

a. Adanya perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige daad).

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa sebelumnya adanya

putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, perbuatan melawan hukum

memiliki pengertian yang sangat sempit, yaitu apabila perbuatan

tersebut melanggar undang-undang. Setelah adanya putusan putusan Hoge

Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen- Lindenbaum, pengertian

perbuatan melawan hukum diperluas menjadi: melanggar hak orang lain,

bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, bertentangan dengan

kesusilaan, serta bertentangan dengan kepatutan yang berlaku di dalam

masyarakat.

b. Adanya Kesalahan

Untuk dapat dituntut berdasarkan perbuatan melawan hukum, pasal 1365

KUHPerdata mensyaratkan adanya kesalahan, syarat kesalahan ini

dapat diukur secara objektif dan subjektif. Secara objektif harus


dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat

menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan

mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat. Secara

subjektif harus diteliti, apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia

miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya.

c. Adanya Kerugian

Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat

berupa :

1) Kerugian materiil, dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata

diderita dan keuntungan yang seharusnya diperoleh.

2) Kerugian non materiil, perbuatan melawan hukum pun dapat

menimbulkan kerugian yang bersifat non materiil: ketakutan, sakit,

dan kehilangan kesenangan hidup.

d. Adanya hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara perbuatan dengan

kerugian.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Hubungan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum.

Perbuatan Melawan Hukum (PMH) diatur dalam Pasal 1365 KUHPer,

berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena

kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut ”.Dahulu perbuatan

melawan hukum hanya terbatas pada perbuatan yang melanggar undang-undang

tertulis saja. Namun sejak tahun 1919, Hoge Raad Belanda dalam perkara

Lindenbaum vs Cohen memperluas penafsiran perbuatan melawan hukum

sehingga perbuatan melawan hukum tidak lagi terbatas pada perbuatan yang

melanggar undang-undang tapi juga mencakup salah satu perbuatan sebagai

berikut:

1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain;

2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;

3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;

4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam

pergaulan masyarakat yang baik;

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dipahami unsur-unsur Perbuatan Melawan

Hukum sebagai berikut:

1. Adanya suatu perbuatan;

2. Perbuatan tersebut melawan hukum;

3. Adanya kesalahan pihak pelaku;

4. Adanya kerugian bagi korban;


5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

Menurut R. Wirjono Projodikoro, perbuatan melawan hukum diartikan

sebagai perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan

kegoncangan dalam neraca keseimbangna dari masyarakat. Lebih lanjut beliau

mengatakan, bahwa istilah “onrechtmatige daad” dirafsirkan secara luas,

sehingga meliputi juga suatu hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan

atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat.

Perbuatan melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-

undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain

bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan

kepatutan dalam lalu lintas masyarakat. Perbuatan melawan hukum juga dapat

diartikan sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan

untuk mengontrol atau mengatur prilaku berbahaya, untuk memberikan

tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk

menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.

Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPer), berbunyi: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena

tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah

dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang

harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya

dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

Sehingga unsur-unsur wanprestasi adalah:

1. Ada perjanjian oleh para pihak;

2. Ada pihak melanggar atau tidak melaksakan isi perjanjian yang sudah

disepakati;

3. Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi perjanjian.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa wanprestasi adalah

keadaan di mana kreditur maupun debitur tidak/lalai melaksanakan perjanjian

yang telah disepakati.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan para praktisi hukum masih

bingung tentang Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, kerap kali

ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan

antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum. Umumnya

mereka beranggapan bahwa wanprestasi merupakan bagian dari perbuatan

melawan hukum (genus spesific). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak

memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak

kreditur.

Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan

dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya

karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan

mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri. Ada beberapa perbedaan yang

sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan

prinsipil tersebut adalah :

1. Sumbernya;

Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan

suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian

antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320

KUHPerdata :

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat

suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak

terlarang.”
Wanprestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak

memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :

1. Tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,

2. Tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi.

3. Tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjikan,

Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri yang

menentukan. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUHPerdata :

“Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang

sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan

orang”

Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-

undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan

melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri

oleh undang-undang. Ada 2 kriteria perbuatan melawan hukum yang

merupakan akibat perbuatan manusia, yakni :

a. Perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg, lawfull)

b. Perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig,

unlawfull).

Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan

melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum),

kesalahan perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan

kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana

sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman

pidana dan pertanggung jawaban perdata (civil liability).

2. Timbulnya hak menuntut;


Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan

lalai (inmorastelling, negligent of expression, interpellatio, ingeberkestelling).

Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan :

“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau

untuk tidak berbuat sesuatu”atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut

terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa

memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Hal ini diperkuat

yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959

yang menyatakan :

“Apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian,

menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban

sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.

Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa

diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga

pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim,

rechtvordering.

3. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification);

Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi

kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata :

“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi

tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk

menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak

perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.

Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan :


“Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas

kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat

diperolehnya”.

Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi,

penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya

secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh

sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).

Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam

wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.

Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai

dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi

bagaimana bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti

rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan

moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada

keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke

toestand, herstel in de vorige toestand).

Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa

yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah

ganti rugi, seperti :

Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976,

menyatakan : “Besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum,

diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada

penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”. Putusan Mahkamah

Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan : “ Soal

besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan

kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.


2. Akibat Hukum Wanprestasi

Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya,

maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji.

Prof. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau

kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.


b. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana
yang diperjanjikan.
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.
d. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat
dilakukan.

Abdul kadir Muhammad, menyatakan wanprestasi terjadi dikarenakan adanya 2

(dua) kemungkinan yaitu:

1. Keadaan memaksa (overmach / force mejeur).

2. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun.

Overmach adalah suatu keadaan atau kejadian yang tidak dapat diduga-duga

terjadinya, sehingga menghalangi seorang debitur untuk melakukan prestasinya

sebelum ia lalai untuk apa dan keadaan mana tidak dapat dipersalahkan

kepadanya.

Overmacht di bagi dua yaitu:

1. Overmacht mutlak adalah apabila prestasi sama sekali tidak dapat

dilaksanakan oleh siapapun.

2. Overmacht yang tidak mutlak adalah pelaksanaan prestasi masih

dimungkinkan, hanya memerlukan pengobanan dari debitur.

Kesengajaan maupun lalai, kedua hal tersebut menimbulkan akibat yang

berbeda, dimana akibat akibat adanya kesengajaan, sidebitur harus lebih banyak

mengganti kerugian dari pada akibat adanya kelalaian.

Surat peringatan yang menyatakan debitur telah melakukan wanprestasi disebut

dengan somasi.

Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur

yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika


atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.

Dari ketentuan pasal 1238 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa debitur

dinyatakan apabila sudah ada somasi ( in grebeke stelling ).

Menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukanlah kelalaian

debitur yang menyebabkan batal, tetapi putusan hakim yang membatalkan

perjanjian, sehingga putusan itu bersifat “constitutief” dan tidak “declaratoir”.

Malahan hakim itu mempunyai suatu kekuasaan “discretionair” artinya ia

berwenang menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu

kecil hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipun ganti

rugi yang diminta harus dikabulkan.

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah

hukuman atau sanksi hukum berikut ini:

a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh

kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata).

“penggantian biaya, rugi, danbunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan,

barulah mulai diwajibkan, apabila siberhutang, setelah dinyatakan lalai

memenuhi perikatannya, tetap memalaikannya, atau jika sesuatu yang harus

diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang

waktu yang telah dilampaukannya.”

b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan

atau pembatalan perikatan melalui hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).

Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada

keadaan sebelum perjanjian diadakan. Apabila satu pihak sudah menerima

sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus

dikembalikan. Jadi akibat pembatalan perjanjian ini adalah perjanjian atau

perikatan itu dianggap tidak pernah ada.

c. Apabila perikatan itu untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada

debitur sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata).


d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan,

atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267

KUHPerdata).

e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkenankan di muka

Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.

Tentang ganti rugi debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah

diderita oleh kreditur. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan juga

kerugian yang diakibatkan karena wanprestasi. Persyaratan-Persyaratan yang

ditetapkan oleh KUHPerdata sehingga terjadinya kerugian adalah sebagai

berikut:

1. Komponen kerugian

Komponen kerugian yang dapat diberikan berdasarkan pasal 1246

KUHPerdata terdiri dari 3 (tiga) unsur, yakni :

a. Ongkos-ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya

ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan.

b. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur

akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian disini adalah sungguh-

sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena kelambatan

penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga

merusak perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.

c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur

lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya. Meskipun

debitur telah melakukan wanprestasi dan diharuskan membayar sejumlah

ganti kerugian, undang-undang masih memberikan pembatasan-

pembatasan yaitu: dalam hal ganti kerugian yang sebagaimana

seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan kreditur. Pembatasan-

pembatasan itu diberikan undang-undang sebagai bentuk perlindungan


terhadap debitur dari perbuatan kesewenang-wenangan kreditur

2. Mulai diwajibkannya ganti kerugian.

Mulai diwajibkannya sesuatu pembayaran ganti rugi atau starting

point pembayaran ganti rugi berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata adalah:

a. Sejak dinyatakan wanprestasi, debitur tetap melalaikan

kewajibannya, atau

b. Terhadap sesuatu yang harus dibuat atau diberikan, sejak saat

dilampauinya tenggang waktu di mana debitur dapat membuat atau

memberikan tersebut.

Berdasarkan pasal ini, ada dua cara penentuan titik awal penghitungan ganti

kerugian, yaitu sebagai berikut :

a. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran

ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan

lalai, tetapi tetap melalaikannya.

b. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu,

pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka

waktu yang telah ditentukan tersebut.

3. Kerugian bukan karena alasan Force Majeure

Terhadap debitur baru dapat dimintakan ganti rugi jika wanprestasi tersebut

bukan dikarenakan oleh alasan yang tergolong ke dalam force majeure, yaitu

dalam hal- hal sebagai beikut :

a. Karena sebab-sebab yang tidak terduga

Menurut Pasal 1244, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga

(pembuktiannya di pihak debitur) yang menyebabkan terjadinya

kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk

dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk ke dalam

kategori force majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali.

Kecuali jika debitur beritikad jahat, di mana dalam hal ini debitur tetap
dapat dimintakan tanggung jawabnya.

b. Karena keadaan memaksa

Sebab lain mengapa seseorang debitur dianggap dalam keadaan force

majeure sehingga dia tidak perlu bertanggung jawab atas tidak

dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut

disebabkan oleh keadaan memaksa. Lihat Pasal 1245 KUHPerdata.

c. Karena perbuatan tersebut dilarang.

Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur

ternyata dilarang (oleh perundang-undangan yang berlaku), maka kepada

debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (Pasal 1245

KUHPerdata).

4. Kerugian dapat diduga .

Untuk dapat diberikan ganti rugi kepada debitur berdasarkan Pasal

1247 KUHPerdata, maka kerugian yang ditimbulkannya tersebut haruslah

diharapkan akan terjadi atau sedianya sudah dapat diduga sejak saat

dilakukannya perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut. Ketentuan

seperti ini tidak berlaku jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut

disebabkan oleh tipu daya yang dilakukan olehnya.

5. Kerugian merupakan akibat langsung.

Ganti rugi dapat dimintakan oleh kreditur dari debitur yang

melakukan wanprestasi berdasarkan Pasal 1248 KUHPerdata terhadap suatu

kontrak hanya sebatas kerugian dan kehilangan keuntungan yang

merupakan akibat langsung dari wanprestasi tersebut, sungguh pun tidak

terpenuhinya kontrak itu terjadi karena adanya tindakan penipuan oleh pihak

debitur

6. Ganti rugi yang ditetapkan dalam kontrak.

Apabila dalam suatu kontrak ada provisi yang menentukan jumlah ganti rugi

yang harus dibayar oleh pihak debitur jika debitur tersebut wanprestasi, maka
pembayaran ganti rugi tersebut hanya sejumlah yang ditetapkan dalam

kontrak tersebut. Tidak boleh dilebihi atau dikurangi berdasarkan pada

Pasal 1249 KUHPerdata.

7. Ganti rugi terhadap perikatan tentang pembayaran sejumlah uang.

Terhadap pembayaran ganti rugi yang timbul dari perikatan tentang

pembayaran sejumlah uang yang disebabkan karena keterlambatan

pemenuhan prestasi oleh pihak debitur berdasarkan Pasal 1250

KUHPerdata, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:


a. Ganti rugi hanya terdiri dari bunga yang ditetapkan oleh undang-

undang, kecuali ada perundang-undangan khusus yang menentukan

sebaliknya;

b. Pembayaran ganti rugi tersebut dilakukan tanpa perlu membuktikan

adanya kerugian terhadap kreditur;

c. Pembayaran ganti rugi tersebut terhitung sejak dimintakannya di

pengadilan oleh kreditur, kecuali jika ada perundang-undangan yang

menetapkan bahwa ganti rugi terjadi karena hukum.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.


Achmad Busro,Hukum Perikatan berdasar Buku III KUHPerdata, Pohon Cahaya,

Yogakarta, 2011.

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

Rosa Agustina, Hukum Perikatan (Law of Obligation)Edisi 1, Pustaka Larasan, Denpasar,

2012

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa

You might also like