You are on page 1of 23

MAKALAH

“SEJARAH KERAJAAN CIREBON 1430-1666”

Di ajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah :


“SEJARAH PERJUANGAN UMAT ISLAM INDONESIA”
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Haris,M.Pd

Kelompok 4 :
1.Muhammad Taufik
2.Fikri Anhar A
3.Ai Amara Restu I
4.Asri Salimah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM TASIKMALAYA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah sebhanahuwata’ala atas segala Rahmat dan
karunianya sehingga makalah yang berjudul “SEJARAH KERAJAAN
CIREBON 1430-1666” ini dapat dikerjakan hingga selesai. Tidak lupa juga penulis
banyak mengucapkan Terima kasih kepada pihak yang telah berkontibusi dengan
memberikan sumbangan baik berupa materi maupun pikirannya.

Penulisan Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


“Sejarah Perjuanagan Islam Imdonesia (SPUII)” yang diampu oleh Dr.Abdul
Haris,M.Pd.Selain itu,pembuatan Makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca khususnya di Institu Agama
Islam Tasikmalaya, umumnya bagi semua.

Makalah ini disusun berdasarkan temuan dari beberapa sumber informasi


yaitu Buku,Artikel,dan juga dari media massa yang kemudian di rangkum oleh
Penulis,karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman,maka penulis memohon
maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Penulis
menyadari,makalah ini masih memerlukan perbaikan. Untuk itu,kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan untuk pembenahan pembuatan makalah
di masa yang akan dating. Semoga Makalah ini dapat menjadi setitik harapan
mengubah bangsa yang lebih baik.

Tasikmalaya, 11 Oktober 2023

Penulis,
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Untuk memahami sejarah Indonesia yang mencakup rentang waktu yang


panjang dan berdimensi luas, adalah baik bila disederhanakan menjadi dua masa
perkembangan: Pertama, masa kerajaan tradisional, kedua, masa kolonial.
Pembagian kedua masa itu bukanlah masa pembabakan yang ketat, sebab
perkembangan itu di dalam prosesnya dapat berjalan bersamaan atau bahkan tum
pang tindih. Tulisan yang akan disusun ini mengambil satu dari dua masa itu, yaitu
masa kerajaan tradisional, dengan pusat. perhatian pada Kerajaan Tradisional
Cirebon.
Pengertian tradisional dalam masa kerajaan tradisional dimaksudkan untuk
memberikan penekanan pada ciri-ciri lokal yang telah lama berakar pada kerajaan-
kerajaan di Indonesia. Pada umumnya unsur integratif yang ada pada kerajaan
tradisional tersebut adalah faktor agama Hindu, Budha, dan Islam. Dalam
perkembangan ini kerajaan-kerajaan di Nusantara memperlihatkan prosesnya
sendiri yang kemudian lebih bercorak nusantara daripada bercorak India atau Arab
sesuai dengan pengaruh dari ajaran agama masing-masing. Kerajaan tradisional
tersebut ada yang bercorak agraris dan ada yang bercorak maritim, atau bahkan
campuran dari keduanya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh letak geografis dari
masing-masing kerajaan. Cirebon atau yang kemudian dikenal pula dengan julukan
"Kota Udang" merupakan satu di antara beberapa daerah di Indonesia yang
menyimpan begitu banyak peristiwa bersejarah dan peninggalan sejarah. Hal ini
dapat terlihat dari adanya peninggalan berupa: kompleks kraton dan kompleks
makam/kUburan bercorak Islam dari keluarga sultan-sultan Cirebon. Selain itu,
juga terdapat karya tulis berupa naskah (babad) dan tradisi lisan yang menjadi
sumber penulisan tentang sejarah Cirebon.Peninggalan kraton, menjadi acuan
bahwa di Cirebon pernah berdiri sebuah kerajaan. Sedangkan terdapatnya kompleks
makam sultan dan keluarganya yang bercorak Islam, menunjukkan bahwa kerajaan
yang pernah ada tersebut dipengaruhi oleh agama Islam. Dari berbagai peninggalan
tersebut, tergambar bahwa Cirebon menyimpan kisah yang panjang, melintasi
kurun waktu beberapa abad lamanya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya, yakni antara lain :
1. Bagaimana lokasi Kerajaan Cirebon, letak geogratis, penduduk, struktur
masyarakatnya?
2. Bagaimana Dinamika Kehidupan Agama, Politik Dan perekonomian
Masyarakat?
3. Bagaimana kerajaan Cirebon Pada Abad XVII - XIX ?
4. Bagaimana runtuhnya kerajaan Cirebon ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuannya, yakni antara lain :
1. Untuk mendiskripsikan bagaimana lokasi Kerajaan Cirebon, letak
geogratis, penduduk, struktur masyarakatnya.
2. Untuk mendiskripsikan bagaimana Dinamika Kehidupan Agama, Politik
dan perekonomian Masyarakat.
3. Untuk mendiskripsikan bagaimana kerajaan Cirebon Pada Abad XVII-XIX.
4.Untuk mendiskripsikan bagaimana runtuhnya kerajaan Cirebon.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Cirebon Selayang Pandang
1. Sejarah berdirinya kerajaan cirebon
Cirebon adalah salah satu kota di ujung Jawa Barat. Letaknya secara geografis
berada pada 108º33 Bujur Timur dan 6º41 Lintang Selatan di pesisir pantai Pulau
Jawa, yaitu di bibir pantai utara Jawa Barat. Wilayah ini berbatasan dengan Sungai
Kedung Pane di sebelah Utara, Sungai Kalijaga di sebelah Selatan, Laut Jawa di
sebelah Timur, dan Sungai Banjir Kanal atau Kabupaten Cirebon di sebelah Barat.
Daerah ini merupakan bekas Karesidenan Cirebon yang terdiri dari Kabupaten
Cirebon, Kotamadya Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, dan
Kabupaten Indramayu.
Cirebon merupakan perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah yang menjadi
jembatan anatara Sunda dan Jawa. Cirebon adalah tempat menetap orang Jawa di
bumi Pasundan. Orang- orang Sunda menyebutnya Cirebon ; Ci yang berarti air
dalam bahasa sunda dan rebon adalah sejenis udang yang merupakan bahasa Jawa,
sedang Tome Pires seorang berkebangsaan Portugis menuliskan Cirebon dengan
Chorobon dan orang Belanda menyebutnya dengan Charobon. Wali Songo
menyebut Cirebon dengan Puser Bumi dan rakyatnya disebut Negara Gede dan
pada akhirnya disebut dengan Gerage. Adapun Cirebon dulunya juga dikenal
sebagai Caruban Nagari, Caruban artinya campuran dan Nagari yang berarti
kerajaan. Di dalam Babad Cirebon, Nagari Caruban yang berarti Kerajaan Cirebon
juga tidak lain dengan Negara Cirebon.Letak Cirebon yang berada di pesisir pantai
membuat kota ini memiliki pelabuhan yang menjadi salah satu pelabuhan yang
penting dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan. Oleh karenanya terjadi sebuah
interaksi antara pendatang dan penduduk setempat seperti adanya perubahan dan
percampuran budaya, masuknya agama baru, dan lain sebagainya. Terjadinya
interaksi antara pendatang dan masyarakat setempat membuat berbagai kejadian di
Cirebon seperti salah satunya, agama Islam yang datang, juga merupakan pengaruh
berdirinya kerajaan Cirebon. Cirebon yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Sunda Pajajaran, terus berkembang dan kemudian mengalami konflik dengan
Kerajaan Sunda Pajajaran. Usai dari konflik tersebut peran Sunan Gunung Jati
mulai terlihat hingga memiliki peran yang besar di Cirebon. Adapun Kerajaan
Cirebon yang mulai terpecah setelah meninggalnya Sunan Gunung Jati. Kerajaan
Cirebon juga memiliki simbol yang melambangkan kekuasaan dan pembakar
semangat pribumi yang erat hubungannya dengan agama Islam.
Kerajaan Cirebon adalah kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Sunda
atau Jawa Barat Sejarah berdirinya Kerajaan Cirebon berawal pada abad ke-
14.Pendiri Kerajaan Cirebon adalah Raden Walangsungsang alias Pangeran
Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran,setelah beranjak
dewasa, Raden Walangsungsang memilih memeluk agama Islam seperti ibunya dan
membangun pemerintahan yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan atau
Kesultanan Cirebon pada 1430 Masehi.
Pendirian Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari pengaruh Kesultanan Demak di
Jawa Tengah yang merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa sekaligus
sebagai kerajaan yang memungkasi sejarah Kerajaan Majapahit, Kerajaan Cirebon
kemudian berkembang pesat menjadi tempat persinggahan pedagang karena
lokasinya yang strategis yakni berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Banyak pedagang Islam dari Arab, Gujarat, dan Cina menetap di Cirebon,Islam pun
berkembang di Cirebon,setelah Raden Walangsungsang, Pangeran Cakrabuana,
berkuasa, Cirebon berkembang pesat menjadi tempat persinggahan pedagang
karena lokasinya yang strategis yakni berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa
Tengah banyak pedagang Islam dari Arab, Gujarat, dan Cina menetap di
Cirebon.Islam pun berkembang di CirebonKesultanan Cirebon kemudian
berkembang dengan cukup pesat dan menjadi pusat pemerintahan serta bagian
penyebaran agama Islam.Masa kejayaan Kerajaan Cirebon terjadi di bawah
kepemimpinan Sunan Gunung Jati.Keruntuhan Kerajaan Cirebon terjadi setelah
Sunan Gunung Jati meninggal duniaKerajaan Cirebon meninggalkan beberapa
peninggalan seperti Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan,
Masjid Agung Cirebon, dan Makam Sunan Gunung Jati.

2. Penduduk dan Budaya


Populasi : Penduduk Kerajaan Cirebon terdiri dari campuran budaya yang berbeda-
beda, antara lain Sunda, Jawa, Arab, Cina, dan lain-lain.
Kebudayaan : Kerajaan Cirebon mempunyai keunikan kebudayaan yang tidak
didominasi oleh satu kebudayaan saja, melainkan mempunyai perpaduan pengaruh
budaya yang berbeda. Kerajaan ini terkenal dengan seni dan arsitekturnya yang
khas, antara lain keraton Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton
Kacirebonan, serta Masjid Agung Cirebon dan Makam Sunan Gunung Jati.
Kerajaan ini juga terkenal dengan warisan Islamnya, dan tokoh-tokoh penting
seperti Sunan Gunung Jati memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam di
wilayah tersebut.
Sosial : Kerajaan Cirebon memiliki hierarki sosial yang mencakup berbagai kelas
masyarakat, seperti bangsawan, rakyat jelata, dan budak. Kaum bangsawan
memegang posisi kekuasaan dan pengaruh di kerajaan, sedangkan rakyat jelata
sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pedagang. Perbudakan juga
merupakan bagian dari struktur sosial kerajaan.
Perekonomian : Perekonomian Kerajaan Cirebon bertumpu pada pertanian,
dengan padi sebagai tanaman utama yang ditanam di wilayah tersebut. Kerajaan ini
juga merupakan pusat perdagangan yang penting, dengan lokasinya di pantai utara
Jawa menjadikannya pusat utama perdagangan maritim antara Jawa dan wilayah
lain di nusantara.

2.2 Dinamika Kehidupan Agama dan Peranan Pangguron Gunung Jati


1. Masuk dan berkembangnya Islam di kerajaan Cirebon.
Sebelum hadirnya Islam di Cirebon, situasi masyarakat dipengaruhi dengan
sistem kasta dalam agama Hindu yang membuat kehidupan di masyarakat terkotak-
kotak. Terdapat empat kasta yaitu kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, dan
kasta sudra. Kasta yang paling tinggi, yakni brahmana, tidak boleh bergaul dengan
kasta terendah, kasta sudra, sehingga membuat hidup kasta terendah tertindas.Di
abad ke-15 agama Islam telah berkembang di Pulau Jawa. Daerah Gunung Jati yang
letaknya di tepi Pelabuhan Muara Jati, membuat banyak pedagang asing seperti dari
Arab, Cina, maupun dari Gujarat yang berlabuh. Ki Gede Surawijaya sebagai
penguasa daerah dan kepala pelabuhannya (syahbandar) Ki Gede Tapa atau Ki
Jumajan Jati yang bersikap ramah dan toleran kepada para pedagang asing membuat
mudahnya penyebaran ajaran Islam.
Pada sekitar tahun 1420 M, Syekh Idlofi Mahdi beserta rombongan pedagang yang
ia pimpin dari Baghdad datang ke Muara Jati untuk berdagang. Syekh Idlofi juga
memohon untuk tinggal disekitar Muara Jati dan diizinkan oleh Ki Surawijaya
untuk tinggal di Gunung Jati. Di Gunung Jati, Syekh Idlofi berdagang juga
berdakwah hingga banyak penduduk yang datang dan memeluk Islam. Daerah ini
pun menjadi Pangguron Islam Gunung Jati yang sudah terkenal hingga Kerajaan
Pajajaran.
Raden Walangsungsang dan adiknya Ratu Rarasantang, anak dari raja
Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi yang juga cucu dari kepala pelabuhan Muara Jati
yaitu Ki Juman Jati, beserta istrinya Nyi Endang Geulis mendatangi Syekh Idlofi.
Prabu Siliwangi dengan berat hati mengizinkan putra-putri dan menantunya untuk
menuntut ilmu agama Islam, sebab Prabu Siliwangi kembali memeluk agama
Budha setelah istrinya, Nyi Subanglarang, meninggal. Raden Walangsungsang
pernah diminta Prabu Siliwangi untuk meninggalkan agama Islam hal ini
disebabkan karena Raden Walangsungsang adalah anak tertua dari seorang raja
yang hampir semua warganya beragama Hindu-Budha. Karena itu Prabu Siliwangi
memberikan pilihan kepada Raden Walangsungsang, pertama mengurungkan
niatnya masuk Islam dan imbalannya segera diangkat jadi putera mahkota dengan
resmi, kedua bila tetap ingin masuk Islam dan kemudian menganut ajaran Islam
sebagai agamanya, tidak boleh tetap berada di lingkungan istana kerajaan.Prabu
Siliwangi sebenarnya dalam posisi yang sulit. Pertama, sebagai raja ia harus
mendengarkan saran dari pemuka Pajajaran yang tentunya beragama Hindu-Budha.
Kedua, Prabu Siliwangi juga memahami keteguhan pendirian Raden
Walangsungsang. Sikap Raden Walangsungsang yang dianggap sangat berani untuk
meninggalkan kerajaan Pajajaran bisa saja ditafsirkan membangkang dan
melanggar tatakrama terhadap raja yang juga ayahnya bagi pikiran awam yang tidak
mengerti. Namun sikap itu merupakan tanda kesalehannya terhadap pemahaman
rukun agama.Kehadiran Raden Walangsungsang, istrinya Nyi Endang Geulis, dan
adiknya Ratu Rarasantang membuat Pangguron Gunung Jati semakin terkenal.
Beberapa tahun kemudian mereka diperintahkan untuk membuat perkampungan
atau disebut juga pedukuhan di selatan Gunung Jati yang kemudian diberi nama
Tegal Alang-Alang dan Raden Walangsungsang sebagai kepala pedukuhan tersebut.
Pembangungan pedukuhan ini dijadikan sebagai hari jadi kota Cirebon, yaitu pada
tanggal 1 Muharam 1375 atau bertepatan pada tahun 1445 Masehi. Raden
Walangsungsang kemudian diberi gelar Ki Kuwu yang juga dijuluki sebagai
Pangeran Cakrabuana. Tegal Alang-Alang terus berkembang dan banyak pedagang
asing dari berbagai bangsa yang menggelar dagangannya di daerah ini, seperti Cina
salah satunya. Raden Walangsungsang yang pintar bersosialisasi memanfaatkan
keahlian orang Cina di bidang pertanian dan mengubah padang alang-alang menjadi
subur dengan pertanian. Adapun dampak dari banyaknya interaksi dari berbagai
bangsa dan kepercayaan nama Tegal Alang-Alang pun berubah menjadi Cirebon.
Pangeran Cakrabuana juga belajar kepada Syekh Dzatul Kahfi, ialah seorang
ulama yang masih keturunan Rasulullah. Suatu ketika Pangeran Cakrabuana
diperintahkan untuk ibadah haji oleh guru Syekh Dzatul Kahfi bersama adiknya,
sementara istrinya tetap menetap sebab sedang hamil tua. Selama di Mekah kaka
beradik ini bermukim di rumah Syekh Bayanullah sambil menambah ilmu agama
juga. Kala menunaikan ibadah haji, Rarasantang bertemu dengan raja yang
berkuasa di daerah Mesir, tepatnya di kota Isma’iliyah, bernama Syarif Abdillah bin
Nurul Alim yang juga dari suku Bani Hasyim. Ratu Rarasantang dan raja tersebut
pun menikah dan untuk mudah diterima di lingkungannya, Rarasantang diganti
namanya oleh Syarif Abdillah menjadi Syarifah Muda’im. Dari pernikahan tersebut
lahirlah dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.Cirebon
yang bermula dari pedukuhan yang masih di Kawasan dan kemudian terus
berkembang berkat Raden Walangsungsang yang merupakan keturuan dari kerajaan
Pajajaran. Pesatnya perkembangan Cirebon juga didukung oleh kakeknya Raden
Walangsungsang yaitu Ki Jumanjan Jati yang merupakan syahbandar Pelabuhan
Muara Jati. Dengan wafatnya Ki Jumanjan Jati, seluruh harta-kekayaanya
diwariskan kepada Raden Walangsungsang yang digunakan untuk membangun
pusat pemerintahan. Salah satu cara percepatan pertumbuhan Cirebon adalah
dengan pasar-pasar.
Awal abad XVI Cirebon berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran
karena Cirebon adalah pintu gerbang arus perdagangan. Cirebon mempunyai pajak
khusus yang harus diberikan kepada Rajagaluh pada saat masih pedukuhan yaitu,
“diharuskan mengirim pajak tiap-tiap tahun asatu pikul bubukan gelondongan
rebon atau terasi…” Namun pesatnya pertumbuhan membuat Cirebon bertambah
beban pajaknya, tidak hanya bayar kepada Rajagaluh namun juga harus
memberikan upeti ke Pajajaran sebagai penguasa Tatar Galuh. Di tahun 1479 Raden
Walangsungsang menyerahkan kedudukannya kepada Sunan Gunung Jati. Langkah
pertama yang Sunan Gunung Jati adalah menghentikan pemberian upeti dan
memisahkan diri dari Pajajaran. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Shafar 887 H
atau bertepatan dengan 2 April 1482 yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi
kabupaten Cirebon.
Rajagaluh segera menghukum Cirebon ketika mengumumkan sebagai
kerajaan yang berdiri sendiri dan mengutus Tumenggung Jagabaya bersama 60
pasukannya untuk mendesak agar Cirebon memberikan upeti kembali. Tak jarang
pertempuran terseut dimenangkan oleh Cirebon. Karena terdapat dua faktor, yang
pertama karena memiliki keunggulan dalam bidang persenjataan seperti meriam
buatan Turki, senjata api dari Cina, maupun buatan sendiri. Kedua, iman
kepercayaan sebagai umat muslim bahwa Tuhan berada di pihak mereka. Namun
justru Tumenggung dan pasukannya menjadi memeluk Agama Islam dan menetap
di Cirebon juga mengabdi kepada Sunan Gunung Jati, yang pada saat itu memegang
peran penyebar Agama Islam di Cirebon. Raden Walangsungsang dan Sunan
Gunung Jati yang tidak berambisi untuk manguasai Sunda Pajajaran atau
memperluas wilayah, ia hanya ingin melindungi wilayah Cirebon, mengajak damai
Sunda Pajajaran.Cirebon menjadi kerajaan Islam dan istana Pakungwati adalah
salah satu yang menandakan bahwa Cirebon telah bebas dari Rajagaluh, sebab
istana merupakan lambang kekuasaan dari suatu daerah. Istana atau yang biasa
disebut Keraton Pakungwati dijadikan sebagai pusat pemerintahan.

2.Peranan Pangguron Gunung Jati Penyebaran Ajaran Islam di Cirebon


Syarif Hidayatullah atau yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati Bersama
adiknya, Syarif Nurullah, ia menimba ilmu-ilmu agama, yang salah satunya ilmu
Tasawuf dan ilmu sosial dari ulama-ulama Baghdad. Ia tumbuh besar dinegara
ayahnya dan sejak dulu ia mempunyai cita-cita untuk menyebarkan Agama Islam.
Di usia dua puluh tujuh tahun ayahnya meninggal dunia, dan Syarif Hidayatullah
diminta untuk menggantikan posisi ayahnya tetapi ia lebih memilih untuk
menyebarkan ajaran Islam Bersama pamannya yakni Raden Walangsungsang di
Cirebon dan Syarif Nurullah yang menggantikannya.
Syarif Hidayatullah di Nusantara pun berkelana kemana-mana untuk mencari ilmu
dan terus menyebarkan ajaran Agama Islam. Ketika kembali ke Cirebon pada tahun
1475, Syarif Hidayatullah dinikahkan dengan Nyi Ratu Pakungwati oleh Pangeran
Cakrabuana. Pada tahun 1479 Pangeran Cakrabuana memberikan seluruh
kekuasaan Cirebon kepada Syarif Hidayatullah karena usianya yang semakin lanjut
dan saat itulah Syarif Hidayatullah diberi gelar Susuhan atau Sunan.Sunan Gunung
Jati yang juga bergelar sebagai Pandita Ratu mempunyai dua peran yaitu, sebagai
wali yang menyebarkan Agama Islam di Jawa Barat juga sebagai raja yang
berkedudukan di Cirebon. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa
langkah awal Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin di
Cirebon dengan menghentikan pemberian upeti dan memisahkan diri dari
Pajajaran.Pada era Sunan Gunung Jati ini bisa dikatakan sebagai masa keemasan
perkembangan Islam di Cirebon. Sunan Gunung Jati menjalankan pemerintahannya
dengan sistem desentralisasi dan pola Kerajaan Pesisir, yaitu dimana pelabuhan
sebagai peranan penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi penunjang
yang vital. Selain itu ia juga memiliki strategi untuk pengembangan agama Islam
di Cirebon dengan cara pendekatan agama, ekonomi, politik dan kultural. Demi
kelancaran pemerintahannya, Sunan Gunung Jati juga menempatkan kerabat-
kerabat dan ulama-ulama sebagai unsur pimpinan pemerintah baik pusat maupun
daerah.Dalam bidang politik, Sunan Gunung Jati berhasil memperluas wilayah
kekuasaan hingga tahun 1530 yang meliputi wilayah Provinsi Jawa Barat, Banten,
serta pelabuhan-pelabuhan penting. Dibidang ekonomi Sunan Gunung Jati
menekankan perdagangan baik dengan negeri- negeri di Nusantara maupun luar
Nusantara seperti Cina, Arab, India, Campa, dan Malaka. Cirebon menjadi pusat
kekuatan politik Islam di Jawa Barat dan pusat perdagangan yang menjadi lintas
perdagangan internasional.Cara berdakwah Sunan Gunung Jati menganut
kecenderungan Timur Tengah. Menurut Dadan Wildan (2003) terdapat enam
metode dakwah Sunan Gunung Jati, yang juga merupakan anggota Wali Songo,
gunakan. Pertama, metode maw ‘izhatul hasanah wa mujahadalah bilati hiya ahsan
yaitu metode yang merujuk pada ayat al-Quran surat an-Nahl. Kedua, metode al-
Hikmah yang merupakan sistem berdakwah para wali dengan cara kebijaksanaan.
Ketiga, metode Tadarruj atau Tarbiyatul Ummah yaitu proses klasifikasi yang
disesuaikan dengan tahap pendidikan umat setiap jenjang, tingkat, dan bakat.
Keempat, metode pembentukan dan penanaman kader juru dakwah. Kelima,
metode kerjasama, dengan metode ini para wali saling bekerja sama membagi tugas
dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Keenam, metode musyawarah yang
dilaksanakan para wali untuk membicarakan tugas, perjuangan, dan pemilihan
wilayah dakwah. Salah satu hasil dari dakwah penyebaran Agama Islam oleh Sunan
Gunung Jati salah satunya adalah berdirinya pondok-pondok pesantren di
Cirebon.Di usia 120 tahun yaitu pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat
setelah berhasil membangun Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati dimakamkan
di Gunung Sembung yang juga dikenal sekarang menjadi Gunung Jati.
2.3 Kerajaan Cirebon Pada Abad XVII-XIX
1.Kesultanan Cirebon pada Masa Kolonel Belanda
Setelah Faletehan wafat yang menjadi Sultan Pakungwati Pangeran Mas atau
Penembahan Ratu I. Kemudian pada masa pemerintahan Pangeran Karim atau
Panembahan Ratu II dan lebih dikenal dengan gelar Panembahan Girilaya. Mataram
yang sudah bergabung dengan VOC (Kongsi dagang Belanda yang telah masuk ke
Nusantara sejak tahun 1602) mencurigai Cirebon yang telah m erintis keku at an
dengan Bant en untuk mengadakan pemberontakan. Oleh karena itu Panembahan
Girilaya diundang tanpa alas an sesuatu ke Mat aram oleh mertuanya Sultan
Amangkurat I. Dalam memenuhi undangan mertuanya itu Pangeran Girilaya
mengajak serta istri dan kedua putranya Pangeran Martawijaya dan Pangeran
Kertawijaya. Sementara Kesultanan dimandatkan kepada putra Bermuda yaitu
Pangeran Wangsakerta. (Hasan Basyari, 1989: 32)
Undangan yang semula dikira sebagai rasa rindu orang tua terhadap anak
mantu, temyata sebagai hukuman atas kecurigaan Mataram kepada Cirebon.
Amangkurat menahan Panembahan Girilaya untuk tidak kembali ke Cirebon
selamanya hingga wafat dan dimakamkan di Bukit Imogiri pada tahun 1667,
dengan rasa menyesal dan penuh kesedihan kedua putranya kembali ke Cirebon
untuk meneruskan tampuk kepemimpinan.Ternyata sebelah sampai di Cirebon
ketiga orang putra itu masing-masing merasa berhak menggantikan ayahnya. Maka
atas kebijakan Sultan Banten An Nasr Abdul Kohar yang sudah dianggap
seketurunan dan atas persetujuan VOC, dipecahkan Kesultanan Pakungwati
menjadi tiga bagian, yaitu; Keraton Kas e puhan dip e gang oleh Pangeran Mart
awij aya atau Panembahan Sepuh, Keraton Kanoman oleh Pangeran Kertawijaya
atau Penambahan Anom dan Keraton Kaeirebonan oleh Pangeran Wangsakerta atau
Penambahan Cirebon. (Sartono Kartodirdjo, 1999; 234)
Perlu diketahui dan sebagai bahan perbandingan, bahwa raja (penguasa) Cirebon
mempunyai peranan sangat penting dalam penyebaran agama Islam di Cir’ebon dan
sekitarnya, karena sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Veth, bahwa
kekuasaan para “raja” hanya terbatas pada nilai keagamaan saja (Dartono, 1991;
142).Oleh karena itu untuk lebih menampakkan keislaman, Pangeran Martawijaya
kemu dian ber gelar Sultan Raja Syamsuddin, Pangeran Kertawijaya bergelar
Sultan Moh. Badridin dan Pangeran Wangsakerta rriendapat sebutan Panembahan
Tokpati. Hal ini karena atas persetujuan bahwa yang memperoleh gelar Sultan itu
hanya Kesepuhan dan Kanoman. Awal abad XVIII timbul pergolakan dimana setiap
ada seorang raja meninggal terjadi lagi pertikaian mengenai kedudukan, seperti
tahun 1702 sewaktu Panembahan Sepuh meninggal, dan peraturan bam tersusun
pada tahun 1708, apanase semua pihak dikurangi dan diberi daerah-daerah dekat
perbatasan Priangan sebagai ganti.
Pada tahun 1715 dan 1733 pergolakan terjadi lagi, untuk mengurangi perselisihan
terseDut maka pada tahun 1752 sistem pergeseran dihapus dan peraturan pergantian
oleh putra laki-laki ditetapkan. Untuk meredakan perselisihan tersebut, maka VOC
mengizinkan pemakaian gelar Sultan lagi, yaitu pada tahun 1729. (Sartono K.,
1999; 235)
Pada tahun 1729 Panembahan Sepuh membagi daerah kesultanannya menjadi dua,
masing-masing diberikan kepada kedua putranya yaitu Sultan Sepuh dan Sultan
Cirebon. Panembahan Anom sebagai putra kedua dari Panembahan Ratu (Pangeran
Girilaya) diganti oleh putranya yaitu Sultan Anom. Namun putra bungsu
Panembahan Ratu yaitu Panembahan Cirebon pada tahun 1773 wafat dan beliau
tidak mempunyai anak, sehingga daerah kekuasaannya diwariskan kepada Sultan
Sepuh, Sultan Cirebon dan Sultan Anom. Jadi pada akhir abad 18 setelah terjadinya
pembagian wilayah kesultanan Cirebon, di daerah Cirebon terdapat empat
kesultanan yang masing-masing dikuasai oleh Sultan Sepuh, Sultan Cirebon, 5ultan
Anom dan Panembahan Cirebon. Perlu diketahui bahwa seluruh proses pembagian
kesultanan di Cirebon tidak lepas dari campur tangan VOC terhadap keberatan
pemerintahan kesultanan di Cirebon, yaitu dengan politik adu domba Belanda
terhadap persatuan Kesultanan Cirebon sejak tahun 1681.
Berawal tahun 1768 penguasa Kompeni di Batavia memecat isultan Cirebon,
alasannya karena telah melakukan korupsi. Otomatis daerahnya diserahkan kepada
Sultan Sepuh oleh VOC. Sedangkan Sultan Cirebon dibuang ke Maluku. Dengan
tindakan VOC itu, akhirnya Kesultanan Cirebon hanya dikuasai oleh Sultan isepuh
dan Sultan Anom. Dalam mengendalikan pemerintahannya kedua Sultan tersebut
selalu tergantung kepada Itompeni di Batavia (Edi Ekadjati, 1990, hlm. 99).
Setelah peran VOC dalam mencampuri urusan kesultanan terlihat ketika Sultan
Anom yang biasa disebut Sultan Kanoman wafat pada tahun 1798. Rakyat
mengharapkan sebagai penggantinya adalah Pangeran Surianagara atau Raja
Kanoman namun keinginan rakyat ditolak Belanda, dengan sengqia Belanda
mengangkat Pangeran Surantaka, konon Pangeran Surantaka tidak disenangi oleh
rakyat. Sedangkan Raja Kanoman yang sangat dicintai oleh rakyatnya diusir dari
keraton bersama kedua orang saudaranya yaitu Pangeran Kabupaten dan Pangeran
Lautan.Bersama kedua saudaranya, Raja Kanoman pergi meninggalkan keraton,
masuk desa keluar desa dengan membuat kebajikan sehingga lama kelamaan
mendapat simpati dari masyarakat Cirebon. Karena saat itu di wilayah Cirebon
sedang dilanda keresahan, berhubung rakyat di sana serasa habis tenaganya diperas
oleh orang-orang Cina yang menyewa desa mereka. Orang Cina memberlakukan
pajak tinggi seperti pajak kepala, pajak tanah, pajak jembatan dan sebagainya. Jadi
dengan adanya ketiga tokoh tersebut rakyat merasa tenang dan terayomi
kehidupannya, mereka merasakan telah menemukan pimpinan baru yang siap
melaksanakan perintahnya.
Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh orang-orang Cina dan
Belanda di desa-desa terhadap rakyat menimbulkan pertikaian, terutama mengenai
penggantian pemimpin mereka di Cirebon, sehingga terjadi huru-hara dan timbul
kekacauan yang öerlangsung belasan tahun (Edi Ekadjati, hlm. 100). Di antaranya
pada tahun 1802 timbul pertentangan dan perlawanan terhadap Belanda tidak saja
di daerah Cirebon melainkan telah meluas ke daerah Karawang yang waktu itu
beribukota di Itandanghaur dan daerah Sumedang sebelah timur laut. Sasaran
pertama rakyat adalah menyerang orang-orang Cina yang telah memeras mereka.
Akibatnya banyak orang-orang Cina yang tewas dibunuh dan diusir dari wilayah
Cirebon, misalnya di daerah Palimanan, Lokbener, dan Darmayu.
Demikian pula pengaruh perlawanan rakyat Cirebon terhadap orang-orang Cina,
membawa dampak negatif terhadap Belanda. Dimasa kedudukan Belanda di
wilayah Cirebon mulai terancam, misalnya pendapatan penerimaan dari pajak dan
penjualan hasil bumi mulai berkurang. Sehingga Belanda berpikir kalau hal ini
tidak dicegah maka akan menyulitkan kedudukannya, maka Belanda mengambil
keputusan dengan menumpas perlawanan rakyat Cirebon tersebut.Pangeran
Suriawijaya disinyalir oleh Belanda yang telah membuat lterusuhan di wilayah
Cirebon. Hal ini diperkuat oleh Residen Cirebon S.H. Rose bahwa yang
menyebarkan desas-desus r‹ntuk naembenci Belanda adalah Raja Kanoman.
Diperintahkan pula supaya para ulama yang memihak Kanoman harus ditangkap. S
H. Rose juga mengarıjurkan kepada Belanda di Batavia, apabila inan menumpas
gerakan, pemerintah Belanda harus mengundang Raja Kanoman beserta kedua
orang saudaranya ke Batavia dengan alasan untuk mengadakan perundingan.
Alhasil Raja Kanoman b eser ta kedua orang sau daranya di undang ke Batavia.
Tesampainya di Batavia Raja Kanoman oeserta saudaranya bukan diajak berunding
melainkan ditangkap, ditahan kemudian dibuang Ambon. Mendengar kabar bahwa
Raja Kanoman ditawan Belanda pada tahun 1805 rakyat Cirebon dengan 1000
orang ırengadakan long march, berjalan ke Batavia, mereka menuntut supaya Raja
Kanoman dibebaskan dan dinobatkan sebagai Sul- tan di Cirebon (Edi Ekadjati,
hlm. 101).Rakyat Cirebon tidak berhenti begitu saja, walaupun pimpinan rnereka
telah dibu ang ke Ambon, situ asi pergolakan terus berlangsung malahan meningkat
dan meluas. Dewan Penasehat Belanda di Batavia mengirim delegasi dipimpin
mantan Residen Cirebon P Walbeek. mengajukan suatu perjanjian yang berisi
sebagai berikut:
- Belanda akan memperbaiki keadaan rakyat
- Orang Cina tidak akan diperbolehkan lagi menyewa desa dan tidak diizinkan
tinggal di udik
- Perhambatan dibatasi
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda akan mengangkat Patih dan beberapa menteri
bagi tiap raja, supaya pemerintah lebih tetap
- Kepada Raja Kanoman akan diberi 1000 cacah oleh Panembahan Cirebon hingga
tahun 1773
- Penghasilan Residen dari kopi yang besar sekali jumlahnya akan dikurangi.

2.Cirebon sebagai bandar dagang


Cirebon merupakan salah satu bandar di pesisir utara Pulau Jawa yang berperan
penting dalam sejarah dan pelayaran serta perdagangan di Kepulauan Nusantara
dengan bagian-bagian lain dunia. Dengan demikian, Pelabuhan Cirebon
mempunyai makna penting sebagai bandar yang menjadi sarana komunikasi dan
dialog peradaban antar dunia. Sayangnya jalur-jalur yang tercipta pada
perkembangan awal pelayaran dan perdagangan telah hilang sejalan dengan
berlalunya waktu. Oleh sebab itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mencari dan
mengungkapkan bukti-bukti sejarah peranan Cirebon sebagai bandar niaga jalur
sutra.

3.Reaksi Terhadap Kekuasaan Belanda


Daerah Palimanan letaknya tidak jauh dari daerah Jatitujuh dan Majalengka, mulai
terganggu keadaan daerahnya,karena tindakan sewenang-wenang penguasa
daerahnya yang melakukan hal-hal yang menyengsarakan rakyat Palimanan.
Pasalnya daerah tempat tinggal rakyat Palimanan banyak yang disewakan oleh
Bupati kepada orang-orang Cina berikut dihisap tenaganya dan dikenakan pajak
yang tinggi. Rakyat Palimanan protes kepada Bupati supaya diberi keringanan
pajak, namun jawaban Bupati tidak memuaskan malahan seolah-olah membela
kepentingan Cina. Rakyat marah dan berusaha mengadakan perlawanan.Rakyat
minta nasehat Bagus Rangin bagaimana baiknya tindakan mereka. Bagus Rangin
menganjurkan bahwa yang dikalahkan terlebih dahulu adalah Bupati dan wakil
Residen Belanda, karena menurutnya kedua orang itulah yang paling bertanggung
jawab terhadap kesengsaraan rakyat Palimanan (Edi Ekadjati, hlm. 104).Setelah
segala sesuatu persiapan perlawanan beres serta mendapat restu dan dukungan
Bagus Rangin, rakyat Palimanan mulai bergerak maju dibawah pimpinan adik
Bagus Rangin yaitu : Bagus Serit. Sasaran pertama mereka langsung menyerbu
pendopo kabupaten dan membunuh Bupati Tumenggung Madenda, setelah selesai
kemudian mendobrak rumah kediaman wakil Residen Belanda dan membunuhnya
pula. Demikian pula rumah para bangsawan dan orang-orang Cina dikepung dan
diserang. Setelah berhasil mereka kembali ke tempat asalnya sementara yang lain
bergabung dengan Bagus Rangin.Banyak rakyat yang bergabung dengan Bagus
Rangin sehingga pasukannya berjumlah antara 300 sampai 500 orang yang sudah
terlatih untuk berperang. Selain Bagus Rangin sebagai pemimpin umum para
pemimpin perlawanan masih banyak lagi di antaranya Bagus Wariem dan Bagus
Ujar dari Bayawak, Bagus Sakti dan Bagus Kondur dari Jatitujuh, Rontui dari
Baruang Wetan, Bagus Sidung dari Sumber, Bagus Arisem dari Loyang, Bagus
Suara dari Bantarjati, Bagus Sanda dari Pamayahan, Bagus Narim dari Lelea, Bagus
Jamani dari Depok, Demang Penangan dari Kandanghaur,Demang Wargagupita
dari Kuningan, Wargamanggala dari Cikad,Wirasraya dari Mamis, Jurangprawira
dari Linggajati, Jayasasmita dari Ciminding, J angbaya dari Luragung, Harmanis
dari Cikad,Anggasraya dari Timbang, Demang Jayaprawata dari
Nagarawangi,Demang Angonklangon dari Weru, Ingabei Martamanggala dari
Pagebangan, Demang Jayapratala dari Sukasari. Banyaknya para pemimpin
perlawanan itu menunjukkan betapa luasnya daerah perlawanan terhadap Belanda,
yang meliputi wilayah Kabupaten Subang,
Karawang,Sumedang,Indramayu,Majalengka,Cirebon dan Kuningan.
Keberhasilan semua itu tidak luput dari dukungan masyarakat yang banyak
membantu baik dari tenaga yang dibutuhkan, maupun makanan, beras, senjata dan
bantuan moril.Dari desa-desa Benuang Kulon, Malandang, Conggeng, Cililin,
Depok, Selaawi dan Sukasari. Sedangkan kepala-kepala desa yang membantu
perlawanan adalah Batununggal, Tegal, Bentang,Gerudu, Cinaka, Tanggulun,
Tambal, Ayer, dan lain-lain. Seluruh rakyat dan masyarakat mendukung perjuangan
dan perlawanan pasukan yang dipimpin Bagus Rangin, dengan persenjataan
seadanya berupa tombak, pedang, bedog, keris, senapan, dan meriam.Karena
banyaknya dukungan dan bantuan baik moril maupun meteriil dari rakyat terhadap
keberhasilan pasukan yang dipimpin Bagus Rangin. Maka van Lawick pemah
memberitakan dalam resolusi 25 Februari 1806 tentang adanya gerakan di daerah
perbatasan Sumedang dan Cirebon daerah Jatitujuh dan sekitarnya bahwa ada
gerombolan yang berjumlah 1000 orang. Untuk mengantisipasi keadaan Gubernur
Jenderal A.H. Wiese mengirim 50 upas dan beberapa serdadu. Demikian pula
menurut F.W Stapel sampai tahun 1806 jumlah pemberontak ada sekitar 40.000
orang. Gubernur Jenderal A.H. Wiese 1805-1808 dengan persetujuan Dewan
Penasehat Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, segera menugaskan Nicolaes
Engelhard sebagai pemimpin pasukan dan dibantu oleh pasukan putra Bupati
Bangkalan Mangkudiningrat untuk segera menumpas perlawanan rakyat Cirebon
pimpinan Bagus Rangin. Akibat pertempuran yang berlangsung lama dan
banyakjatuh korban dikedua belah pihak. Dua orang Kepala Distrik yaitu putra
Patih Sumedang menjadi korban, dua puluh lima orang prajurit Sumedang ditawan
dan kemudian dihukum mati, sedangkan pasukan Bagus Rangin lebih banyakjatuh
korban, namun sebagian besar pasukannya berhasil meloloskan diri. Untuk
meredakan pertempuran kedua belah pihak mengadakan perjanjian pada tangal
1September1806 antara Sultan Sepuh dan Sultan Anom dengan pemerintah
kolonial Belanda, isinya antara lain menetapkan, "Raja Kanoman beserta
saudaranya dikembalikan ke Cirebon dan dinobatkan menjadi Sultan. Orang-orang
Cina tidak diperbolehkan tinggal di daerah pedalaman dan kepada para sultan yang
memihak Belanda tidak diperkenankan memeras rakyatnya". Namun sampai
berlakunya perjanjian itu belum dapat meredakan perlawanan rakyat daerah
Jatitujuh dan sekitarnya.Pada masa pemerintahan Gubemur J enderal W Deandels
1808-1811 perlawanan rakyat makin meluas sampai ke daerah Indramayu sebelah
selatan, karena Deandels bertindak sewenang-wenang dengan mengurangi
kekuasaan sultan. Raja Kanoman pada tanggal 25 Maret 1808 dikembalikan dari
pembuangannya di Ambon,kemudian diangkat menjadi Sultan Cirebon. Namun
Deandels membagi Cirebon menjadi dua yaitu Cirebon Utara dan Cirebon Selatan
yang meliputi Galuh, Limba ngan serta Sukapura. Sedangkan Cirebon Utara
menjadi tiga kabupaten yaitu:
1) Daerah perlawanan. Ditetapkan Bupati Sumedang pangeran
Kusumahdinata dan Bupati Karawang R.A. Surialaga masing-masing sebagai
komandan pasukan. Kedua pasukan itu dibantu pasukan Belanda dari Batavia
dipimpin seorang Mayor ditambah dengan para apir. Pasukan gabungan begitu tiba
di perbatasan Kertajati dan Babakan melihat umbul-umbul merah yang dipasang
pasukan Bagus Rangin. Itu berarti pasukan Belanda harus segera dipencar dan
sebagai tanda dimulainya perang dengan diawali dentuman meriam, maka
terjadilah pertempuran di Lapangan Jawura.Selanjutnya pasukan Bagus Rangin
pada tanggal 22 Juli 1810 dapat mengalahkan pasukan Sumedang dekat
Bantarjati,sedangkan pasukan Buyut Merat dan Buyut Deisa dapat mematahkan
pertahanan Karawang. Namun karena jumlah pasukan Belanda lebih banyak
dengan persenjataan lengkap akhirnya pasukan Bagus Rangin harus
mundur.Demikian pula Jatitujuh diblokade musuh, sehingga pasukan Bagus Rangin
ruang geraknya menjadi sempit dan hubungannya terputus. Pasukan Sumedang
dapat dikonsolidasi oleh Pangeran Kornel sehingga pasukan Bagus Rangin dapat
dipukul mundur sampai ke Desa Panongan.Perlawanan di daerah Cirebon belum
selesai, sebab terhalang oleh penggantia pemerintahan Belanda ke tangan Inggris
pada tahun 1811. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Bagus Rangin untuk
mengadakan konsolidasi dan menghimpun kekuatan pasukannya. Tanggal 9 Januari
1812 Gubernur Jenderal Inggris Raffies memerintahkan Komisaris Couperus yang
berkedudukan di Cianjur supaya mengumpulkan 500 orang prajurit dari Cianjur
yang dipimpin bupati sendiri untuk dikirimkan ke Karawang.Demikian pula Bupati
Karawang R.A. Surialaga menyerahkan pasukannya ke medan perang Bantarjati
guna menumpas pasukan Bagus Rangin.Pertempuran pun terjadi lagi di Bant arjati
dari tanggal 16 - 29 Februari 1812, dimana pasukan Bagus Rangin dapat dipukul
mundur dan menderita kerugian di ant aranya 87 orang prajurit tewas, 227 orang
serta 2 pemimpinnya ditangkap, 23 pucuk senapan, 19 buah tombak, 27 pedang, 3
buah keris serta payung kebesaran Bagus Rangin dan perlengkapan wayang
dirampas dan 776 orang keluarga besar Bagus Rangin serta keluarga sebagian
pasukannya terdiri dari wanita dan anak-anak ditahan (Edi Ekac:ljati, hlm.
112).Pasukan Pemerintah Belanda mengadakan operasi militer dan terus mencari
persembunyian kaum perlawanan dan berhasil menangkap Bagus Rangin di
Panongan pada tanggal 27Juni1812.Untuk sementara perlawanan rakyat Cirebon
terhadap Belanda terhenti, namun terse bar berita pada tanggal 8 Desember 1816
penduduk Karawang, Ciasem dan Pamanukan yang berjumlah sekitar 2500 orang
laki-laki bersenjata lengkap, dipimpin oleh seorang pemuda berumur 16 tahun
bernama Bagus Jabin keponakan Bagus Rangin berusaha mengadakan perlawanan
terhadap Belanda. Mereka berkumpul di kampung Lohbener pinggir Sungai
Cimanuk sebelah barat. Dan bermaksud untuk mengadakan penyerbuan ke
Kandanghaur (bekas ibukota Kabupaten Karawang dan Indramayu). Alasan
penyerbuan ke Kandanghaur yaitu:
1. Untuk menggulingkan kedudukan kepala daerahnya yang tidak disenangi
rak:yat, karena perbuatannya selalu menyengsarakan rak:yat serta bekerja sama
dengan Belanda.
2. Menuntut kepada pemerintah Belanda supaya pajak diperingan dan upeti
dihentikan.
3. Menyerang kedudukan Belanda yang ada di daerah itu.

2.4 Runtuhnya kerajaan Cirebon


Pada tahun 1528 Sunan Gunung Jati menyerahkan urusan pemerintahan
kepada Pangeran Pasarean, putra sunan Gunung Jati, sedangkan Sunan Gunung Jati
sendiri lebih mengkhususkan dirinya dalam penyebaran Agama Islam tetapi ia
masih memegang kekuasaan tertinggi. Pada tahun1568 Sunan Gunung Jati wafat
dan tidak ada keturunan Sunan Gunung Jati yang dapat menggantikannya, Sebab
ketiga putranya (Pangeran pasarean, Pangeran Jayakelana, dan Pangeran
Bratakelana)telah wafat terlebih dahulu. Adapun putranya,Pangeran Hasanudin,
telah menjadi sultan Banten. Kemudian posisi Sunan Gunung Jati,berdasarkan
kesepakatan sesepuh Cirebon, diberikan kepada Fatahillah22.Fatahillah merupakan
panglima perang Cirebon, tangan kanan, penasehat terpercaya Sunan Gunung Jati
yang kemudian dinikankan dengan putrinya. Namun Fatahillah hanya mampu
memimpin selama dua tahun saja, karena ditahun 1570 ia meninggal dunia dan
kemudian digantikan oleh Pangeran Emas yang mendapat gelar Panembahan Ratu
I. Pada masa Panembahann Ratu I, Cirebon mengalami kemajuan besar. Pada masa
Panembahan Ratu I,Cirebon menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan
Mataram. Namun Kerajaan Mataram juga sangat ingin menguasai Cirebon dengan
salah satu caranya dengan pernikahan politis antara Sultan Agung Anyokrokusumo
dengan putri Panembahan Ratu I, yang tidak diketahui namanya.
Cirebon cukup strategis menjadi pangkalan militer Mataram, untuk jalur
perdagangan internasional, dan Cirebon mampu mengamankan dan menyediakan
logistik militer Mataram untuk operasi ke arah barat.23 Usai masa pemerintahan
Sultan Agung di Kerajaan Mataram, Sunan Amangkurat I menggantikan posisinya.
Panembahan Ratu I masih menjalin hubungan diplomatik dengan menikahkan
cucunya, Pangeran Karim atau Pangeran Girilaya yang disebut juga Panembahan
Ratu II, dengan putri Amangkurat I yang tidak diketahui namanya. Harapan dari
pernikahan ini agar hubungan persahabatan ini berlangsung baik. Panembahan Ratu
I meninggal di tahun 1649 dan pemerintahan diberikan kepada sang cucu,
Panembahan Ratu II. Mengetahui hal ini, Sunan Amangkurat I menjadi lebih mudah
untuk menjalankan tujuannya karena Panembahan Ratu II merupakan menantunya
sendiri. Sunan Amangkurat memiliki sikap dan watak yang membuat kontraversi
dengan pembesar pemerintahan Kerajaaan Mataram. Hal ini membuat VOC, yang
berpusat di Batavia,memanfaatkannya. VOC pun melancarkan politik adu domba
dengan membujuk para adipati unutk memutuskan hubungan dan memberontak
pemerintahan pusat, dan memberi isu kepada Sunan Amangkurat I bahwa para
adipati ingin memberontak. Sejak itu situasi kerajaan semakin tidak kondusif dan
Sunan Amangkurat I bekerja sama dengan VOC, karena VOC juga memiliki
keinginan yang sama untuk menguasai Cirebon. Panembahan Ratu II dihasut oleh
Sunan Amangkurat I untuk menyerang armada Banten,namun kemenangan berada
di tangan Kesultanan Banten. Semenjak pemerintahan Panembahan Ratu II,
pemerintahan Cirebon tidak berjalan baik karena terdapat campur tangan Kerajaan
Mataram. Suatu ketika, Panembahan Ratu II mendapat undangan berkunjung ke
Mataram sebagai penghormatan atas penobatannya sebagai raja Cirebon dari Sunan
Amangkurat I pada tahun 1650.24 Panembahan Ratun II hadir beserta kedua
anaknya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, namun ketika sampai
di sana mereka menjadi tahanan rumah dan dilarang kembali ke Cirebon.Akhirnya
Pangeran Wangsakerta, putra ketiga Panembahan Ratu II, dinobatkan oleh Sultan
Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten untuk memerintah Cirebon. Panembahan
Ratu II meninggal pada tahun 1662 sedangkan kedua anaknya masih menjadi
tahanan Mataram. Kerajaan Cirebon saat itu mendapat tekanan dari Mataram
namun karena penobatan Pangeran Wangsakerta oleh Sultan Ageng tersebut,
masyarakat mengaku bahwa Banten pelindung satu satunya. Dengan begitu
Cirebon merupakan daerah protektorat Kesultanan Banten.25 Sultan Ageng yang
mengetahui Panembahan Ratu II ditahan bekerjasama dengan Pangeran Trunojoyo,
seorang pangeran bangsawan dari Madura,26 untuk mengalahkan Sultan
Amangkurat I. Mereka berdua mempunyai tujuan yang sama untuk mengalahkan
Mataram,terlebih Pangeran Trunojoyo memiliki dendam kepada Mataram atas
kematian ayahnya yang diperlakukan sewenang-wenang. Pada tahun 1677 pasukan
Trunojoyo menyerang Mataram. Sultan Amangkurat I berhasil melarikan diri dan
Pangeran Trunojoyo berhasil menguasai Martaram. Putra Panembahan Ratu II yang
ditahan berhasil dibebaskan dan diserahkan ke Banten. Saat itu kedua pangeran
tersebut disambut oleh Pangeran Wangsakerta. Sultan Banten memberi gelar sultan
kepada mereka bertiga, Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan
Pangeran Wangsakerta dan Kerajaan Cirebon pun dibagi tiga kekuasaan. Pangeran
Martawijaya bergelar Sultan Muhammad Syamsudin menjadi Sultan Kesepuhan,
Pangeran Kartawijaya bergelar Sultan Muhammad Badrudin menjadi Sultan
Kanoman, dan Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan Cirebon atau
Panembahan Toh Pati. Pangeran Wangsakerta sebenarnya memiliki hak seperti dua
saudaranya, tetapi Pangeran Wangsakerta merupakan anak dari selir maka tidak
mendapat gelar sultan. Pangeran Wangsakeerta hanya menjadi asisten Sultan Sepuh
yang berkedudukan di Keraton Kesepuhan Pangeran Kartawijaya yang mendapat
gelar Sultan Anom I membangun Keraton Kanoman di bekas rumah Pangeran
Cakrabuana.28 Hubungan antara dua keraton ini, Kearton Kanoman dan Keraton
Kasepuhan, tidak memecah Cirebon itu sendiri “walaupun dua Keraton namun
hukumnya tetap satu, malah jika ada perkara suka bersama-sama dalam
menjatuhkan hukuman.Jika shalat Jum’at bersama-sama di Masjid Agung,
Penghulunya juga hanya seorang saja yang berkedudukan di Kesepuhan. Adapun
yang berada di Kanoman, disebut Khatib dan Panghulu di Kanoman”29 Pangeran
Martawijaya yang juga mendapat gelar Sultan Sepuh menjadikan Keraton
Pakungwati menjadi Kesultanan Kesepuhan. Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I wafat
dan meninggalkan Kesultanan Kesepuhan kepada dua putranya, yaitu Pangeran
Dipati Anom dan Pangeran Aria Adiwijaya. Karena belum sempat menunjuk
pengganti Sultan Sepuh I, kedua putranya ini berseteru untuk menjadi sultan.
Kemudian Pangeran Adipati Anom mengalah dan “tatkala itu Sultan Anom
membangun keraton sendiri oleh karena itu kelak akan menjadi hak waris bagi anak
cucunya. Jadi ada dua Pedaleman/Keraton di dalam Kuta Pakungwati”Kesultanan
Kesepuhan dipecah menjadi dua Kesultanan Kasepuhan dipimpin oleh Pangeran
Dipati Anom yang bergelar Sultan Raja Tajularifin dan Pangeran Aria Adiwijaya
yang bergelar Pangeran Aria Cirebon memimpin Kacirebonan.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kerajaan Cirebon yang letaknya di bibir pantai utara Jawa Barat membuat daerah
ini menjadi pelabuhan penting dalam pealayaran dan perdagangan sehingga
terjadilah interaksi antara warga setempat dengan para pendatang. Salah satu
dampak dari interaksi tersebut adalah masuknya ajaran agama Islam. Seiring
berkembangnya Kerajaan Cirebon, Sunan Gunung Jati memberanikan untuk
melepas ikatan antara kerajaannya dengan Kerajaan Pajajaran. Peran Sunan
Gunung Jati yang begitu berpengaruh terhadap kerajaan, sangat membekas dibenak
Cirebon sendiri hingga sekarang. Namun setelah wafatnya sunan terjadi banyak
konflik yang membuat kerajaan terpecah menjadi beberapa kesultanan. Di samping
itu Kerajaan Cirebon. memiliki simbol bendera dan umbul-umbul yang sangat
mencerminkan kerajaan Islam.

Adapun hal-hal yang tak tertulis dalam jurnal ini yang disebabkan karena Kerajaan
Cirebon memiliki banyak sejarah. Seperti perkembangan Kerajaan Cirebon yang
pesat merupakan dampak dari salah satu perekonomian kerajaan yang terletak pada
jalur perdagangan internasional, yang juga disebut sebagai jalur sutra. Hubungan
Kerajaan Cirebon dengan Kerajaan Banten dan Jayakarta. Adapun Sunan Gunung
Jati yang memiliki beberapa istri yang salah satunya merupakan seorang putri dari
Cina.
DAFTAR PUSTAKA
Baidlowi Syamsuri. Kisah Walisongo: Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.
Apollo, Surabaya, 1935.
Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra - Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional. Direktorat J enderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, 1996, 1997.
Drs. Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional. Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta; 1998.
Dartono, PenyebaranAgama Islam di Cirebon, Skripsi Sl UI, 1991. Edi Ekadjati,
dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa
Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta, 1990,
hlm. 99.
Hasan Basyari. Sekitar Kompleks Makam Sunan Gunung Jati dan Sekitar
Riwayatnya, tt. 61
Ahmadi, Dadi. 2008. “Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar”. Jurnal MediatorVol.9
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/view/1115 diakses pada 9
Desember 2019 pukul 13.00 WIB.
Aminullah. 2015. Skripsi Sunan Gunung Jati dalam Islamisasi di Kesultanan
Cirebon. Makassar : Fakultas Adab dan Humaniora. Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar. Bochari, Sanggupri. 2001.
Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Irianto, Bambang. 2012.
Bendera Cirebon. Jakarta : Museum Tekstil. Irianto, Bambang dan Ki Tarka
Sutarahardja. 2013. Sejarah Cirebon Naskah Keraton Kacirebonan Alih Aksara dan
Bahasa Teks KCR 04. Yogyakarta : Deepublish.
Kurnia, Dadang. 2007. “Metode Da’wah Sunan Gunung Jati (Suatu Tinjauan dari
Sudut Antropologi Pendidikan)”. Jurnal Pendidikan Dasar VolumeV Nomor 7.
Kertawibawa, Besta. 2007. Dinasti Raja Petapa I Pangeran Cakrabuana Sang
Perintis Kerajaan Cirebon. Bandung : PT. Kiblat Buku Utama.
Lutfi, Fahmi dkk. 2016Peran Sunan Gunung Djati dalam Penyebaran Islam di Jawa
Barat.Bandung : Fakultas Adab dan Humaniora. Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati.
Pemerintah Proinsi Jawa Barat 2017,Kota Cirebon.
https://jabarprov.go.id/index.php/ pages/id/1061 diakses pada 8 September 2019
pukul 22.12 WIB.
Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap
Masyarakat Cirebon Tahun 1677-1752. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Susanto, Dwi. Pengantar Ilmu Sejarah. http://digilib.uinsby.ac.id diakses pada
Senin, 2 Desember 2019 pukul 20.15 WIB.
Wardani, Laksmi. “Fungsi, Makna, dan Simbol”. Seminar jelajah arsitektur
Nusantara 101010. https://core.ac.uk/download/pdf/32453016.pdf dakses pada 9
Desember 2019 pukul 13.00 WIB.

You might also like