Professional Documents
Culture Documents
Materi Kup
Materi Kup
together
to reach
success
Ketentuan umum dan tata cara perpajakan mengacu pada Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut UU KUP.
Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan
kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi
kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan.
Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur
perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan
sukarela Wajib Pajak.
Isu penting dalam UU KUP ini adalah peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi
masyarakat Wajib Pajak sehingga masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya dengan lebih baik. Selain itu, perbaikan dan penguatan kewenangan
aparatur pajak diharapkan tetap dapat berfungsi efektif, namun tetap menjaga prinsip-prinsip
akuntabilitas, proporsional dan integritas. UU KUP ini menjadi acuan bagi perubahan perundang-
undangan lainnya mengenai Pajak Pertambahan NIlai (PPN) dan pajak Penghasilan (PPh).
Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan modul ini tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa modul ini
jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis, meskipun demikian
penulis telah berusaha untuk menyelesaikan modul ini dengan baik.
Akhir kata, penulis berharap modul ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi siapa
saja yang membacanya khususnya para peserta Brevet Pajak yang diselenggarakan oleh TRIEBI
- FE Universitas Trisakti.
Diterbitkan oleh:
TRIEBI FE Universitas Trisakti
Kampus A :
Gedung Hendriawan Sie Lt. Dasar FE Usakti
Jl. Kyai Tapa No. 1 Grogol, Jakarta Barat
Telp. (021)56963238, 5663232 Ext. 8320
Fax. (021)56965032
Website : www.triebitrisakti.com
Email : triebitrisakti@gmail.com
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah
pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
6. Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta
rupiah).
7. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
8. Aplikasi e-Registration adalah sarana pendaftaran Wajib Pajak dan/atau pelaporan usaha
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, perubahan data Wajib Pajak dan/atau
Pengusaha Kena Pajak, pemindahan Wajib Pajak, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak,
dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak melalui internet yang terhubung
langsung secara on-line dengan Direktorat Jenderal Pajak.
9. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
10. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
11. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
12. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
13. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau
harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
B
BAAB
B II
NNO
OMMO
ORR PPO
OKKO
OKK W
WAAJJIIBB PPAAJJAAKK
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang
menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban
kenegaraan. Undang-Undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada
prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material, kecuali dalam undang-undang pajak
yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakannya.
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self
assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk dicatat
sebagai Wajib Pajak (WP) dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib
Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP diberikan kepada Wajib
Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek
pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya (UU PPh). Persyaratan
objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau
diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai
pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki
secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. Wanita kawin selain
tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atas namanya sendiri agar
wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah
dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Terhadap WP yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sanksi yang timbul adalah
diberikan NPWP secara jabatan untuk kemudian berdasarkan NPWP dilakukan pemeriksaan.
Begitupula dalam hal WP telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP).
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor DJP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan,
Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat
kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor DJP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP baik di kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha maupun di kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan
usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan PKP selain dipergunakan untuk mengetahui identitas PKP yang
sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN/PPnBM serta
untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap WP maupun PKP tertentu, DJP dapat menentukan kantor DJP selain yang ditentukan
pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP, sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh
NPWP dan/atau Pengukuhan PKP.
Perlu diketahui bahwa jenis ataupun jumlah kantor pelayanaan pajak akan selalu berubah
sesuai dengan perkembangan kegiatan ekonomi di suatu wilayah atau wajib pajak yang terdaftar
di Kantor Pelayanan Pajak tersebut.
Jenis-Jenis Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak adalah
sebagai berikut :
1. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar terdiri dari empat KPP Wajib Pajak
Besar
2. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Khusus terdiri dari sembilan KPP Khusus.
3. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya terdiri dari 28 KPP Madya.
4. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama terdiri dari 299 KPP Pratama.
5. Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) terdiri dari 207
KP2KP.
Keempat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar tersebut meliputi :
1. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Satu, untuk Wajib Pajak Badan Besar
tertentu yang melakukan kegiatan usaha di sektor pertambangan, jasa penunjang
pertambangan dan jasa keuangan.
2. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Dua, untuk Wajib Pajak Badan Besar
tertentu yang melakukan kegiatan usaha di sektor industri, perdagangan, dan jasa selain
jasa penunjang pertambangan dan jasa keuangan;
3. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Tiga, untuk Wajib Pajak BUMN yang
melakukan kegiatan usaha di sektor pertambangan, industri dan perdagangan.
4. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Empat, untuk Wajib Pajak BUMN yang
melakukan kegiatan usaha di sektor jasa dan Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu.
Catatan:
Tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha bagi Wajib Pajak Besar dan Khusus ditentukan
berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak.
Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi terhadap Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Wajib
Pajak Besar dan Khusus, kecuali untuk Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar Tiga,
KPP Wajib Pajak Besar Empat untuk Wajib Pajak BUMN, KPP Minyak dan Gas Bumi, dan KPP Badan
dan Orang Asing.
Untuk WP badan, kewajiban ini harus dilakukan paling lambat satu bulan setelah
saat usaha mulai dijalankan. Hal yang sama juga berlaku bagi WP orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Saat usaha mulai dijalankan adalah saat
pendirian atau saat usaha atau pekerjaan bebas nyata-nyata mulai dilakukan. Dengan demikian,
bagi WP badan, bisa kita baca bahwa WP tersebut harus mendaftarkan diri paling lambat satu
bulan sejak saat pendirian. Sedangkan bagi WP orang pribadi, satu bulan dihitung sejak usaha
atau pekerjaan bebas nyata-nyata mulai dilakukan.
Termasuk dalam pengertian WP orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan
pekerjaan bebas adalah wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah yang menjalankan
usaha atau melakukan pekerjaan bebas serta WP orang pribadi pengusaha tertentu (OPPT).
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 12
Bagaimana dengan WP orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas? Jika jumlah penghasilan WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak
melakukan pekerjaan bebas sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), WP tersebut wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP paling lama pada akhir bulan berikutnya. Termasuk dalam WP orang pribadi yang tidak
menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas adalah wanita kawin yang dikenakan
pajak secara terpisah yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.
Dalam hal WP mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai
PKP, kepada WP diberikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan/atau SPPKP dan kartu NPWP.
Jangka waktu penyelesaian permohonan pendaftaran NPWP dan/atau permohonan pengukuhan
PKP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
1. Untuk WP Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas:
fotokopi KTP bagi WNI; atau
fotokopi paspor atau fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau fotokopi Kartu Izin
Tinggal Tetap (KITAP) bagi WNA.
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah
karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan
harta, dan wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya
secara terpisah, permohonan juga harus dilampiri dengan:
fotokopi Kartu NPWP suami;
fotokopi Kartu Keluarga; dan
fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan
menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak
dan kewajiban perpajakan suami.
4. Untuk WP Badan yang tidak berorientasi pada profit (profit oriented) berupa:
fotokopi e-KTP salah satu pengurus badan atau organisasi; dan
surat keterangan domisili dari pengurus Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW).
NPWP diberikan oleh KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat
kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak atau KPP sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak. NPWP diadministrasikan dalam sistem informasi secara
terpusat oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
NPWP terdiri atas 15 (lima belas) digit dan merupakan satu kesatuan utuh, dengan
penjelasan sebagai berikut:
1. 9 (sembilan) digit pertama adalah identitas unik Wajib Pajak;
2. 3 (tiga) digit berikutnya adalah kode KPP, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Untuk pendaftaran/pemberian NPWP baru, kode KPP adalah kode KPP tempat WP
pertama kali terdaftar;
b) Untuk WP yang sudah terdaftar, kode KPP adalah kode KPP tempat WP terdaftar pada
saat SE-44/PJ/2015 tentang Struktur Penomoran Nomor Pokok Wajib Pajak dan
Arjuna Sriwendo juga membuka usaha di sebuah ruko yang berada di wilayah kerja KPP
Pratama Maros (Kode KPP 809). Arjuno Sriwendo mendaftarkan diri di KPP Pratama
Maros, dan diberikan NPWP Cabang 123456789809001.
- 9 (sembilan) digit pertama, 123456789, menunjukkan identitas unik Wajib Pajak
sesuai dengan pusatnya;
- 3 (tiga) digit berikutnya, 809, menunjukkan kode KPP tempat Wajib Pajak cabang
pertama kali terdaftar;
- 3 (tiga) digit terakhir, 001, menunjukkan kode status cabang.
1. NPWP tidak berubah meskipun WP pindah tempat tinggal/tempat kedudukan atau mengalami
pemindahan tempat terdaftar.
2. Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan WP dilakukan di KPP tempat WP
terdaftar.
3. Fungsi pelayanan, pengawasan dan penegakan hukum dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
4. Dalam hal pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada angka 3 memerlikan identifikasi
KPP tempat WP terdaftar, identifikasi dilakukan melalui sistem informasi Direktorat Jenderal
Pajak.
Penerapan NPWP Tetap dalam hal Wajib Pajak Pindah Berdasarkan Permohonan
PT Maju Ramah, NPWP 923456781922000, terdaftar di KPP Pratama Kupang (Kode KPP 922)
pindah tempat kedudukan ke wilayah kerja KPP Pratama Makassar Barat (Kode KPP 804). Wajib
Pajak mengajukan permohonan pindah secara tertulis langsung ke KPP Pratama Kupang.
Berdasarkan hasil verifikasi dalam rangka pemindahan Wajib Pajak, KPP Pratama Kupang
mengabulkan permohonan Wajib Pajak kemudian menerbitkan Surat Pindah dan Surat
Pencabutan SKT, selanjutnya menyampaikan ke KPP Pratama Makassar Barat dengan tembusan
kepada Wajib Pajak.
Berdasarkan Surat Pindah dan Surat Pencabutan SKT, KPP Pratama Makassar Barat
menerbitkan Kartu NPWP dan SKT atas nama PT Maju Ramah, NPWP 923456781922000.
Penerapan NPWP Tetap dalam hal Wajib Pajak Dipindahkan secara Jabatan
Berdasarkan Data dan/atau Informasi
Berdasarkan hasil verifikasi dalam rangka pemindahan Wajib Pajak atas data dan informasi
yang diperoleh, Agung Subroto, NPWP 213456789111000, terdaftar di KPP Pratama Medan
Barat (Kode KPP 111) telah pindah tempat tinggal ke wilayah kerja KPP Pratama Jakarta
Tebet (Kode KPP 015).
KPP Pratama Medan Barat (Kode KPP 111) memindahkan Wajib Pajak yang bersangkutan
dengan menerbitkan Surat Pindah dan Surat Pencabutan SKT, selanjutnya menyampaikan ke
KPP Pratama Jakarta Tebet dengan tembusan kepada Wajib Pajak.
Berdasarkan Surat Pindah dan Surat Pencabutan SKT, KPP Pratama Jakarta Tebet
menerbitkan Kartu NPWP dan SKT atas nama Agung Subroto, NPWP 213456789111000.
Berdasarkan Penetapan Tempat Terdaftar dan/atau Pelaporan Usaha bagi Wajib Pajak
pada Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar,
Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, dan Kantor
Pelayanan Pajak Madya
PT Inspirasi Bersama, berstatus PKP, NPWP 124356789517000, terdaftar di KPP Pratama
Semarang Candisari (Kode KPP 517) berdasarkan hasil evaluasi, yang bersangkutan
ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak terdaftar di KPP Madya, sehingga
terhadap Wajib Pajak tersebut dipindahkan oleh KPP Pratama Semarang Candisari ke KPP
Madya Semarang (Kode KPP 511).
Dalam Rangka Pemecahan Instansi Vertikal DJP atau Perubahan Wilayah Kerja Instansi
Vertikal DJP
Berdasarkan perubahan wilayah kerja, Kabupaten Kubu Raya berubah dari wilayah kerja KPP
Pratama Pontianak (Kode KPP 701) ke KPP Pratama Mempawah (Kode KPP 704).
Terkait dengan perubahan wilayah kerja tersebut, Davied Herliyan, berstatus PKP, NPWP
132456789701000 bertempat tinggal di Kabupaten Kubu Raya, dipindahkan dari KPP
Pratama Pontianak ke KPP Pratama Mempawah.
KPP Pratama Pontianak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak dan
menyampaikan daftar pengiriman surat pemberitahuan kepada KPP Pratama Mempawah.
H. Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi atau hak untuk melakukan
penagihan telah daluwarsa, kecuali dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa utang pajak tersebut
tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi antara lain karena:
Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan tidak
mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan; atau
Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan.
Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan
penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk WP orang pribadi atau 12 (dua
belas) bulan untuk WP badan, sejak tanggal permohonan WP diterima secara lengkap.
Penghapusan NPWP bagi WP wanita kawin dapat dilakukan dalam hal suami dari wanita tersebut
telah terdaftar sebagai Wajib Pajak.
Terhadap WP atau PKP yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri
dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara
jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh DJP
Perubahan data WP dan/atau PKP dapat dilakukan dalam hal data yang terdapat dalam
administrasi perpajakan berbeda dengan data WP dan/atau PKP menurut keadaan yang
sebenarnya yang tidak memerlukan pemberian NPWP baru dan/atau pengukuhan PKP baru.
Pembetulan data WP dapat dilakukan dengan mengisi dan menyampaikan formulir perubahan
data WP atau secara elektronik dengan mengisi Formulir Perubahan Data WP pada Aplikasi e-
Registration yang tersedia pada laman DJP di www.pajak.go.id.
Wajib Pajak dengan NPWP 3 (tiga) digit terakhir 000 (status domisili) yang tempat tinggal
atau tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya pindah ke wilayah kerja KPP lain
dapat mengajukan permohonan pemindahan dengan menggunakan Formulir Pemindahan Wajib
Pajak, dengan ketentuan :
1. WP yang pindah alamat dalam satu wilayah KPP, maka wajib pajak mengajukan permohonan
perubahan data alamat dengan cara mengisi formulir perubahan data di KPP tersebut disertai
bukti alamat yang baru (bagi WP Badan surat keterangan domisili dari kelurahan sedangkan
untuk WP Orang Pribadi adalah fotocopy KTP alamat baru). Kemudian diserahkan ke Tempat
Pelayanan Terpadu (TPT) di Seksi Pelayanan dan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari akan
diberikan kartu NPWP baru dan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Permohonan dapat juga
dilakukan secara elektronik dengan mengisi Formulir Pemindahan Wajib Pajak pada Aplikasi
Wajib Pajak Non Efektif merupakan WP yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan
tetapi masih terdaftar sebagai WP tetapi masih terdaftar sebagai WP. WP dapat ditetapkan
sebagai WP non efektif sehingga dikecualikan dari pengawasan rutin oleh KPP apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. WP orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas tetapi secara nyata tidak
lagi menjalankan kegiatan usaha atau tidak lagi melakukan pekerjaan bebas;
2. WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di
bawah PTKP;
3. WP orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di luar negeri lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan tidak bermaksud
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
4. WP yang mengajukan permohonan penghapusan dan belum diterbitkan keputusan;
5. WP yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif tetapi belum dilakukan
penghapusan NPWP.
1. NPWP WP yang berstatus NE dapat dihapuskan dari administrasi perpajakan atau tetap
berstatus sebagai WP NE sampai waktu yang tidak ditentukan;
2. Petugas pajak akan melakukan pemeriksaan pajak untuk menentukan apakah WP tetap
berstatus NE atau dihapus dari administrasi perpajakan;
3. Penentuan status WP NE didasarkan atas usulan petugas pajak yang melakukan
penelitian/pengamatan;
4. Petugas pemeriksa pajak harus mengisi formulir Berita Acara Pengusulan WP NE;
5. Berita Acara Pengusulan WP NE harus disetujui oleh Kepala KPP WP yang diusulkan
terdaftar;
6. Apabila Berita Acara tersebut telah disetujui, maka Kepala KPP akan memuat Daftar
Pengusulan WP NE dan dikirim ke Kantor Pusat DJP;
7. Pusat informasi perpajakan Kantor Pusat DJP akan memberikan kode "NE" pada master file
WP yang bersangkutan;
8. WP yang master filenya sudah diberi kode "NE" tidak diberikan Surat Teguran karena tidak
menyampaikan SPT, tidak diawasi pembayaran pajaknya, tidak diberikan STP dan tidak
diperhitungkan dalam analisis tingkat kepatuhan dan efektifitas pembayaran WP;
9. Apabila WP menjadi aktif karena memasukkan SPT baik Masa maupun Tahunan, membayar
pajak, diketahui ada kegiatan usaha atau alamatnya, maka tanda "NE" pada master file lokal
di KPP harus segera diubah tanpa pemberitahuan ke Kantor Pusat Dirjen Pajak;
BBAAB B IIII
W
WAAKKIILL DDAANN KKUUAASSAA W
WAAJJIIBB PPAAJJAAKK
Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib pajak diwakili dalam hal :
1. badan oleh pengurus;
2. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
3. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
4. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
5. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya
atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
6. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
pengampunya.
Dalam UU ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran,
badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang
berada dalam pengampuan. Bagi WP tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau
kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum
tersebut.
Melihat Pasal tersebut di atas, seorang pengurus adalah seseorang yang tidak harus duduk di
jajaran direksi (direktur atau komisaris). Selama orang tersebut memiliki kewenangan menentukan
arah kebijakan perusahaan, orang tersebut termasuk dalam pengertian pengurus.
Tanggung jawab wakil
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Ps 32 ayat (2) dan penjelasan)
Wakil bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang
terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Dirjen Pajak bahwa mereka dalam
kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, benar-benar tidak mungkin untuk dibebani
tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
Dalam praktek, dapat saja terjadi karena sesuatu hal Wajib Pajak tidak dapat
melaksanakan atau menjalankan sendiri hak dan kewajiban perpajakannya. Misalnya Wajib Pajak
sibuk atau tidak menguasai/memahami ketentuan perpajakan. UU KUP telah memberikan
kemudahan dan kelonggaran kepada Wajib Pajak di mana Wajib Pajak dapat menunjuk seorang
kuasa untuk membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sebagaimana diatur
dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP, kecuali bagi WP orang pribadi untuk memperoleh NPWP
dan/atau PKP harus dilaksanakan sendiri oleh WP. Dalam hal pelaksanaan kewajiban
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dilakukan melalui sistem administrasi yang
terintegrasi dengan sistem di DJP atau tempat tertentu yang ditetapkan oleh DJP, WP dianggap
telah melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan sendiri.
Kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari WP untuk melaksanakan hak
dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari WP sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Yang dapat menerima kuasa dari Wajib Pajak adalah
orang (individu) bukan badan. Misalnya, Sdr. Somat, Direktur Utama PT Maju Terus, ingin
memberikan kuasa untuk mengajukan keberatan kepada Sdr. Bahrul yang bekerja di Kantor
Akuntan Publik Masrul dan Rekan. Surat kuasa yang dibuat Sdr. Somat harus menyebutkan nama
Sdr. Bahrul sebagai penerima kuasanya, bukan kepada Kantor Akuntan Publik Masrul dan Rekan
sebagai penerima kuasa karena Kantor Akuntan Publik Masrul dan Rekan bukan individu tetapi
badan. Selain itu, seorang kuasa tidak dapat sembarangan bertindak, diantaranya tidak boleh
melimpahkan kuasa yang dia terima dari Wajib Pajak kepada orang lain.
Seorang kuasa meliputi konsultan pajak dan karyawan wajib pajak. Konsultan pajak dapat
menerima kuasa dari WP orang pribadi dan/atau WP badan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Sedangkan karyawan wajib pajak dapat menerima
kuasa dari WP orang pribadi atau WP badan sepanjang merupakan karyawan tetap dan masih
aktif yang menerima penghasilan dari WP yang dibuktikan dengan daftar karyawan tetap yang
dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
yang telah dilaporkan.
Seseorang yang tidak memenuhi persyaratan di atas, tidak dapat melaksanakan hak
dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan WP yang memberikan kuasa. Yang dapat menjadi
bukti bahwa seseorang menguasai ketentuan perundang-undangan perpajakan sehubungan
dengan pemenuhan syarat menjadi seorang kuasa antara lain :
1. Dalam hal seorang kuasa merupakan karyawan WP, persyaratan menguasai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat brevet
atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh Perguruan tinggi
negeri atau swasta dengan status terakreditasi A, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III
yang dibuktikan dengan menyerahkan fotokopi sertifikat brevet atau ijazah atau sertifikat
konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak.
2. Dalam hal seorang kuasa adalah konsultan pajak, persyaratan menguasai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dibuktikan dengan kepemilikan izin praktik
konsultan pajak yang diterbitkan oleh DJP atau pejabat yang ditunjuk dan harus menyerahkan
Surat Pernyataan sebagai konsultan pajak.
Seorang kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak yang
dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban
perpajakannya:
1. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
2. menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan; atau
3. dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya.
Pemberian kuasa dari Wajib Pajak kepada seorang kuasa berakhir dalam hal:
1. seorang kuasa terbukti melakukan perbuatan melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan atau menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan, atau dipidana melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan atau tindak pidana lainnya;
2. berakhirnya pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang
tercantum dalam surat kuasa khusus; atau
3. adanya pencabutan pemberian kuasa oleh Wajib Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. WP dapat mengadakan sendiri
formulir SSP dengan bentuk dan isi sesuai dengan formulir SSP. Pembayaran dan penyetoran
pajak dilakukan ke Kas Negara dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan SSP. Sarana administrasi lain di atas dapat berupa:
1. BPN atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak secara
elektronik atau dengan datang langsung ke Bank Persepsi;
2. SSPCP atas pembayaran dan penyetoran PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan PPnBM impor
serta PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri;
3. Bukti Pbk atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui pemindahbukuan; atau
4. Bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
SSP atau sarana administrasi lain dinyatakan sah, dalam hal telah divalidasi dengan
NTPN sedangkan bukti Pbk dinyatakan sah dalam hal telah ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang untuk menerbitkan bukti Pbk.
Apabila diperlukan di SSP dibuat rangkap 5 (lima) dengan ketentuan lembar ke-5 :
5. lembar ke-5 : untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain.
· SSP diisi sesuai dengan Buku Petunjuk Pengisian SSP sebagaimana ditetapkan dalam
lampiranII Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 jo PER-30/PJ/2015. Wajib
Pajak dapat mengadakan sendiri SSP Standar sepanjang bentuk, ukuran dan isinya sesuai
dengan lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pengisian Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dalam formulir SSP dilakukan berdasarkan
Tabel Kode Akun Pajak (MAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran II Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 jo PER-30/PJ/2015.
Satu formulir SSP hanya dapat digunakan untuk pembayaran satu jenis pajak dan untuk
satu Masa Pajak atau satu Tahun Pajak/surat ketetapan pajak/Surat Tagihan Pajak dengan
menggunakan satu MAP dan satu KJS, kecuali WP dengan kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (3a) huruf a UU KUP, dapat membayar Pajak
Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak dalam satu SSP.
403 PPh Pasal 22 atas Penjualan untuk pembayaran PPh Pasal 22 atas Penjualan
Barang yang Tergolong Sangat Barang yang Tergolong Sangat Mewah
Mewah
PPh Pasal 22 atas Ekspor untuk pembayaran PPh Pasal 22 atas Ekspor
404
Komoditas Tambang Batubara, Komoditas Tambang Batubara, Mineral Logam, dan
3. Kode Akun Pajak 411123 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Impor
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 Masa PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran pajak yang harus disetor yang
tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas
transaksi impor termasuk SPT pembetulan sebelum
dilakukan pemeriksaan.
199 Pembayaran Pendahuluan skp untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
PPh Pasal 22 Impor ketetapan pajak PPh Pasal 22 Impor.
300 STP PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 22
atas transaksi impor.
310 SKPKB PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 22
atas transaksi impor.
320 SKPKBT PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 22
atas transaksi impor.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
500 PPh Pasal 22 Impor atas untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
pengungkapan ketidakbenaran harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh
Pasal 22 atas pengungkapan ketidakbenaran atas
transaksi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (3), atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang
KUP.
501 PPh Pasal 22 Impor atas untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
penghentian penyidikan tindak harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh
pidana Pasal 22 atas penghentian penyidikan tindak pidana
atas transaksi Impor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa untuk pembayaran sanksi administrasi berupa
312 SKPKB PPh Final Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final
Pasal 23.
320 SKPKBT PPh Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 23
(selain SKPKBT PPh Pasal 23 atas dividen, bunga,
322 SKPKBT PPh Final Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final
Pasal 23.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
401 PPh Final Pasal 23 atas Bunga untuk pembayaran PPh Final Pasal 23 atas bunga
Simpanan Anggota Koperasi simpanan anggota koperasi.
500 PPh Pasal 23 atas untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
pengungkapan ketidakbenaran harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh
Pasal 23 atas pengungkapan ketidakbenaran
(termasuk PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti,
dan jasa) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3), atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Pasal 23 atas penghentian untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
penyidikan tindak pidana harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal
23 atas penghentian penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2)
Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa untuk pembayaran sanksi administrasi berupa
denda atau kenaikan atas denda atau kenaikan, atas pengungkapan
pengungkapan ketidakbenaran ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 23
pengisian SPT Masa PPh Pasal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan
23 Pasal 8 ayat (5)Undang-Undang KUP.
5. Kode Akun Pajak 411125 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi
yang terutang.
101 Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu Pengusaha Tertentu yang terutang.
199 Pembayaran Pendahuluan skp untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
PPh Orang Pribadi ketetapan pajak PPh Orang Pribadi.
200 Tahunan PPh Orang Pribadi untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Orang
Pribadi termasuk SPT pembetulan sebelum
dilakukan pemeriksaan.
300 STP PPh Orang Pribadi untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP PPh Orang
Pribadi.
310 SKPKB PPh Orang Pribadi untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Orang
Pribadi.
320 SKPKBT PPh Orang Pribadi untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Orang
Pribadi.
6. Kode Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badan
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 Masa PPh Pasal 25 Badan untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Badan yang
terutang.
199 Pembayaran Pendahuluan skp untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
PPh Badan ketetapan pajak PPh Badan.
200 Tahunan PPh Badan untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Badan
termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan
pemeriksaan.
300 STP PPh Badan untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP PPh Badan.
310 SKPKB PPh Badan untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Badan.
320 SKPKBT PPh Badan untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Badan.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
500 PPh Badan atas pengungkapan untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
ketidakbenaran harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Badan
atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat
(5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Badan atas penghentian untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
penyidikan tindak pidana harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Badan
atas penghentian penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2)
Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa untuk pembayaran sanksi administrasi berupa
denda atau kenaikan atas denda atau kenaikan, atas pengungkapan
pengungkapan ketidakbenaran ketidakbenaran pengisian SPT PPh Badan
9. Kode Akun Pajak 411129 Untuk Jenis Pajak PPh Non Migas Lainnya
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran masa PPh Non Migas lainnya
selain PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan dalam
negeri.
101 PPh Pasal 15 atas Jasa untuk pembayaran masa PPh Pasal 15 atas jasa
Penerbangan Dalam Negeri penerbangan dalam negeri yang memperoleh
penghasilan berdasarkan perjanjian charter (bersifat
non-final).
300 STP PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam STP PPh Non Migas
lainnya selain PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan
dalam negeri.
301 STP PPh Pasal 15 atas Jasa untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Penerbangan Dalam Negeri yang tercantum dalam STP PPh Pasal 15 atas jasa
penerbangan dalam negeri yang memperoleh
penghasilan berdasarkan perjanjian charter (bersifat
non-final).
310 SKPKB PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SKPKB PPh Non Migas
lainnya selain PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan
dalam negeri.
311 SKPKB PPh Pasal 15 atas Jasa untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Penerbangan Dalam Negeri yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 15 atas jasa
penerbangan dalam negeri yang memperoleh
penghasilan berdasarkan perjanjian charter (bersifat
non-final).
320 SKPKBT PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SKPKBT PPh Non Migas
lainnya selain PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan
dalam negeri.
321 SKPKBT PPh Pasal 15 atas Jasa untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Penerbangan Dalam Negeri yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 15 atas
jasa penerbangan dalam negeri yang memperoleh
penghasilan berdasarkan perjanjian charter (bersifat
non-final).
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Keputusan Pembetulan, Surat yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan,
Keputusan Keberatan, Putusan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Banding, atau Putusan Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
500 PPh Non Migas Lainnya atas untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
pengungkapan ketidakbenaran harus disetor yang tercantum dalam surat
pemberitahuan PPh Non Migas Lainnya atas
pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana
10. Kode Akun Pajak 411131 Untuk Jenis Pajak Fiskal Luar Negeri
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 Fiskal Luar Negeri untuk pembayaran Fiskal Luar Negeri.
300 STP Fiskal Luar Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP Fiskal Luar
Negeri.
11. Kode Akun Pajak 411111 Untuk Jenis Pajak PPh Minyak Bumi
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 PPh Minyak Bumi untuk pembayaran masa PPh Minyak Bumi.
300 STP PPh Minyak Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP PPh Minyak
Bumi.
310 SKPKB PPh Minyak Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Minyak
Bumi.
320 SKPKBT PPh Minyak Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Minyak
Bumi.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
12. Kode Akun Pajak 411112 Untuk Jenis Pajak PPh Gas Alam
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 PPh Gas Alam untuk pembayaran masa PPh Gas Alam.
300 STP PPh Gas Alam untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP PPh Gas Alam.
310 SKPKB PPh Gas Alam untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Gas
Alam.
320 SKPKBT PPh Gas Alam untuk pembayaran jumlah yang masih harus
13. Kode Akun Pajak 411119 Untuk Jenis Pajak PPh Migas Lainnya
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 PPh Migas Lainnya untuk pembayaran masa PPh Migas Lainnya.
300 STP PPh Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP PPh Migas
Lainnya.
310 SKPKB PPh Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Migas
Lainnya.
320 SKPKBT PPh Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Migas
Lainnya.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
14. Kode Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeri
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
Setoran Masa PPN Dalam Negeri untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar
100
yang tercantum dalam SPT Masa PPN Dalam Negeri.
Setoran PPN BKP tidak berwujud untuk pembayaran PPN terutang atas pemanfaatan
101
dari luar Daerah Pabean BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
Setoran PPN JKP dari luar Daerah untuk pembayaran PPN terutang atas Pemanfaatan
102
Pabean JKP dari luar Daerah Pabean.
Setoran Kegiatan Membangun untuk pembayaran PPN terutang atas Kegiatan
103
Sendiri Membangun Sendiri.
Setoran Penyerahan Aktiva yang
untuk pembayaran PPN terutang atas penyerahan aktiva yang
menurut tujuan semula tidak
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
untuk diperjualbelikan
104
Setoran Atas Pengalihan Aktiva
untuk pembayaran PPN yang terutang atas pengalihan aktiva
Dalam Rangka Restrukturisasi
dalam rangka restrukturisasi perusahaan.
Perusahaan
Penebusan Stiker Lunas PPN atas untuk pembayaran pajak untuk Penebusan Stiker
105 Penyerahan Produk Rekaman Lunas PPN atas Penyerahan Produk Rekaman Suara
Suara atau Gambar atau Gambar.
Pembayaran Pendahuluan skp untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
199
PPN Dalam Negeri ketetapan pajak PPN Dalam Negeri.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
300 STP PPN Dalam Negeri
yang tercantum dalam STP PPN Dalam Negeri.
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
310 SKPKB PPN Dalam Negeri
yang tercantum dalam SKPKB PPN Dalam Negeri.
SKPKB PPN Pemanfaatan BKP untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
311 tidak berwujud dari luar Daerah yang tercantum dalam SKPKB PPN atas pemanfaatan
Pabean BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean.
15. Kode Akun Pajak : 411212 untuk jenis pajak PPN Impor
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 Setoran Masa PPN Impor untuk pembayaran PPN terutang pada saat impor
BKP.
199 Pembayaran Pendahuluan skp untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
PPN Impor ketetapan pajak PPN Impor.
300 STP PPN Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus
16. Kode Akun Pajak 411219 Untuk Jenis Pajak PPN Lainnya
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 Setoran Masa PPN Lainnya untuk pembayaran PPN Lainnya yang terutang.
300 STP PPN Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP PPN Lainnya.
310 SKPKB PPN Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN Lainnya.
320 SKPKBT PPN Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN
Lainnya.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
500 PPN Lainnya atas pengungkapan untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
ketidakbenaran harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN
atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat
(5) Undang-Undang KUP.
501 PPN Lainnya atas penghentian untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
penyidikan tindak pidana harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN
atas penghentian penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2)
Undang-Undang KUP.
17. Kode Akun Pajak 411221 Untuk Jenis Pajak PPnBM Dalam Negeri
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 Setoran Masa PPnBM Dalam untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar
Negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPN Dalam Negeri.
199 Pembayaran Pendahuluan skp untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
PPnBM Dalam Negeri ketetapan pajak PPnBM Dalam Negeri.
300 STP PPnBM Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP PPnBM Dalam
Negeri.
310 SKPKB Masa PPnBM Dalam untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Negeri dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPnBM Dalam
Negeri.
311 SKPKB Pemungut PPnBM untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Dalam Negeri dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPnBM Dalam
Negeri yang menjadi kewajiban pemungut.
320 SKPKBT Masa PPnBM Dalam untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Negeri dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPnBM
Dalam Negeri.
321 SKPKBT Pemungut PPnBM untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Dalam Negeri dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPnBM
Dalam Negeri yang menjadi kewajiban pemungut.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
500 PPnBM Dalam Negeri atas untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
pengungkapan ketidakbenaran harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN
Dalam Negeri atas pengungkapan ketidakbenaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau
Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPnBM Dalam Negeri atas untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih
penghentian penyidikan tindak harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN
pidana Dalam Negeri atas penghentian penyidikan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B
ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa untuk pembayaran sanksi administrasi berupa
denda atau kenaikan atas denda atau kenaikan, atas pengungkapan
pengungkapan ketidakbenaran ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPN Dalam
pengisian SPT Masa PPN Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
Negeri (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa
berupa denda atas penghentian denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana
penyidikan tindak pidana di di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam
bidang perpajakan Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
900 Pemungut PPnBM Dalam Negeri untuk penyetoran PPnBM Dalam Negeri yang
dipungut oleh pemungut.
511 Sanksi denda administrasi atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa
berupa denda atas penghentian denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana
penyidikan tindak pidana di di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam
bidang perpajakan Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
900 Pemungut PPnBM Impor untuk penyetoran PPnBM Impor yang dipungut oleh
pemungut.
19. Kode Akun Pajak 411229 Untuk Jenis Pajak PPnBM Lainnya
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 Setoran Masa PPnBM Lainnya untuk pembayaran PPnBM Lainnya yang terutang.
300 STP PPnBM Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP PPnBM Lainnya.
310 SKPKB PPnBM Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPnBM
Lainnya.
320 SKPKBT PPnBM Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPnBM
Lainnya.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
199 Pembayaran Pendahuluan skp untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat
Bea Meterai ketetapan pajak Bea Meterai.
2XX Pembayaran deposit atas untuk pembayaran deposit bagi Wajib Pajak yang
penggunaan Mesin Teraan menggunakan Mesin Teraan Meterai Digital untuk
Meterai Digital untuk membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas.
membubuhkan tanda Bea
a. Digital pertama dalah angka "2" yaitu kode
Meterai Lunas
pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai lunas
dengan Mesin Teraan Digital, dan
b. Digit kedua dan ketiga (XX) adalah :
300 STP Bea Meterai untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam STP Bea Meterai.
310 SKPKB Bea Meterai untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKB Bea Meterai.
320 SKPKBT Bea Meterai untuk pembayaran jumlah yang masih harus
dibayar yang tercantum dalam SKPKBT Bea Meterai.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
500 Bea Meterai atas pengungkapan untuk kekurangan pembayaran penggunaan Bea
ketidakbenaran Meterai atas pengungkapan ketidakbenaran
501 Bea Meterai atas penghentian untuk kekurangan pembayaran penggunaan Bea
penyidikan tindak pidana Meterai atas penghentian penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2)
Undang-Undang KUP.
23. Kode Akun Pajak 411619 Untuk Pajak Tidak Langsung Lainnya
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 Setoran Masa Pajak Tidak untuk pembayaran Pajak Tidak Langsung Lainnya
Langsung Lainnya yang terutang.
300 STP Pajak Tidak Langsung untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Lainnya dibayar yang tercantum dalam STP Pajak Tidak
Langsung Lainnya.
310 SKPKB Pajak Tidak Langsung untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Lainnya dibayar yang tercantum dalam SKPKB Pajak Tidak
Langsung Lainnya.
320 SKPKBT Pajak Tidak Langsung untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Lainnya dibayar yang tercantum dalam SKPKBT Pajak Tidak
Langsung Lainnya.
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus
Keputusan Pembetulan, Surat dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan
Keputusan Keberatan, Putusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Peninjauan Kembali
900 Pemungut Pajak Tidak Langsung untuk penyetoran Pajak Tidak Langsung Lainnya
Lainnya yang dipungut oleh pemungut.
28. Kode Akun Pajak 411313 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 SPPT PBB Sektor Perkebunan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor Perkebunan
300 STP PBB Sektor Perkebunan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam STP PBB Sektor Perkebunan
310 SKP PBB Sektor Perkebunan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SKP PBB Sektor Perkebunan
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Keputusan Pembetulan, Surat yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan,
Keputusan Keberatan, Putusan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Banding, atau Putusan Putusan Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali
29. Kode Akun Pajak 411314 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perhutanan
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 SPPT PBB Sektor Perhutanan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor Perhutanan
300 STP PBB Sektor Perhutanan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam STP PBB Sektor Perhutanan
310 SKP PBB Sektor Perhutanan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SKP PBB Sektor Perhutanan
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Keputusan Pembetulan, Surat yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan,
Keputusan Keberatan, Putusan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Banding, atau Putusan Putusan Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
untuk Pertambangan Mineral dan yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor
Batubara Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan
Batubara
300 STP PBB Sektor Pertambangan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
untuk Pertambangan Mineral dan yang tercantum dalam STP PBB Sektor
Batubara Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan
Batubara
310 SKP PBB Sektor Pertambangan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
untuk Pertambangan Mineral dan yang tercantum dalam SKP PBB Sektor
Batubara Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan
Batubara
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Keputusan Pembetulan, Surat yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan,
Keputusan Keberatan, Putusan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Banding, atau Putusan Putusan Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali
31. Kode Akun Pajak 411316 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan
untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
untuk Pertambangan Minyak yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor
Bumi dan Gas Bumi Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi
dan Gas Bumi
300 STP PBB Sektor Pertambangan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
untuk Pertambangan Minyak yang tercantum dalam STP PBB Sektor
Bumi dan Gas Bumi Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi
dan Gas Bumi
310 SKP PBB Sektor Pertambangan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
untuk Pertambangan Minyak yang tercantum dalam SKP PBB Sektor
Bumi dan Gas Bumi Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi
dan Gas Bumi
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Keputusan Pembetulan, Surat yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan,
Keputusan Keberatan, Putusan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Banding, atau Putusan Putusan Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali
32. Kode Akun Pajak 411317 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan
untuk Pertambangan Panas Bumi
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
untuk Pertambangan Panas Bumi yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor
Pertambangan untuk Pertambangan Panas Bumi
300 STP PBB Sektor Pertambangan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
untuk Pertambangan Panas Bumi yang tercantum dalam STP PBB Sektor
Pertambangan untuk Pertambangan Panas Bumi
33. Kode Akun Pajak 411319 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Lainnya
KODE
JENIS JENIS SETORAN KETERANGAN
SETORAN
100 SPPT PBB Sektor Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor Lainnya
300 STP PBB Sektor Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam STP PBB Sektor Lainnya
310 SKP PBB Sektor Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
yang tercantum dalam SKP PBB Sektor Lainnya
390 Pembayaran atas Surat untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar
Keputusan Pembetulan, Surat yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan,
Keputusan Keberatan, Putusan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Banding, atau Putusan Putusan Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali
NPWP Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dimiliki Wajib Pajak.
Nama WP Diisi dengan Nama Wajib Pajak (WP).
Alamat WP Diisi sesuai dengan alamat yang tercantum dalam Surat Keterangan
Terdaftar (SKT).
Catatan: Bagi WP yang belum memiliki NPWP:
1. NPWP diisi dengan 00.000.000.0 – XXX.000.
2. XXX diisi dengan Nomor Kode KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pembayar
pajak, kecuali:
a. dalam hal pembayaran PPh Final Pasal 4 (2) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, dan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri, diisi dengan Nomor Kode KPP
lokasi Objek Pajak, dan
b. dalam hal pembayaran PPN terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean, diisi dengan Kode
KPP dari pihak yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar daerah
pabean tersebut.
Nama dan Alamat diisi lengkap sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas lain yang
sah.
NOP Diisi sesuai dengan Nomor Objek Pajak (NOP) berdasarkan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP),
atau Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Alamat Objek Pajak Diisi sesuai dengan alamat tempat Objek Pajak berada berdasarkan
SPPT.
Catatan: Wajib diisi untuk pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dan pajak yang terutang atau
transaksi yang terkait dengan tanah dan/atau bangunan yaitu transaksi pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dan kegiatan membangun sendiri.
Kode Akun Pajak Diisi dengan angka Akun Pajak sebagaimana dalam Lampiran II (Kode
Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran) untuk setiap akun pajak yang akan
dibayar atau disetor.
Kode Jenis Setoran Diisi dengan angka dalam kolom “Kode Jenis Setoran” sebagaimana
dalam Lampiran II untuk setiap jenis setoran pajak yang akan dibayar
atau disetor.
Catatan: Kedua kode tersebut harus diisi dengan benar dan lengkap agar kewajiban perpajakan
yang telah dibayar dapat diadministrasikan dengan tepat.
Uraian Pembayaran Diisi sesuai dengan uraian dalam kolom “Jenis Setoran” yang berkenaan
dengan Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran.
Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi Pengalihan Hak atas
Tanah dan Bangunan, dilengkapi dengan nama pembeli.
Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi Persewaan Tanah dan
Bangunan yang disetor oleh yang menyewakan, dilengkapi dengan nama
penyewa.
Masa Pajak Diisi dengan memberi tanda silang pada salah satu kolom Masa Pajak
untuk masa pajak yang dibayar atau disetor. Pembayaran atau
penyetoran untuk lebih dari satu masa pajak dilakukan dengan
menggunakan satu SSP untuk setiap masa pajak.
Untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, dapat menyetorkan PPh
Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak dalam satu SSP.
Untuk pajak tahunan, seluruh masa pajak diberi tanda silang.
Tahun Pajak Diisi dengan tahun terutangnya pajak.
Nomor Ketetapan Diisi dengan nomor ketetapan yang tercantum pada Surat Ketetapan
Pajak (SKPKB, SKPKBT, SKP PBB) atau Surat Tagihan Pajak (STP, STP
PBB) hanya apabila SSP digunakan untuk membayar atau menyetor
pajak yang kurang dibayar/disetor berdasarkan Surat Ketetapan Pajak,
Surat Tagihan Pajak, atau putusan lain.
Diterima oleh Kantor Diisi dengan tanggal penerimaan pembayaran atau setoran oleh Kantor
Penerima Pembayaran Penerima Pembayaran, tanda tangan, dan nama jelas petugas penerima
pembayaran atau setoran, serta cap/stempel Kantor Penerima
Pembayaran.
Wajib Pajak/Penyetor Diisi dengan tempat dan tanggal pembayaran atau penyetoran, tanda
tangan, dan nama jelas Wajib Pajak/Penyetor serta stempel usaha.
Ruang Validasi Kantor Diisi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor
Penerima Pembayaran Transaksi Bank (NTB), atau NTPN dan Nomor Transaksi Pos (NTP) oleh
Kantor Penerima Pembayaran.
Saat ini Wajib Pajak dapat lebih mudah dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dengan
memanfaatkan fasilitas-fasilitas elektronik yang telah disediakan DJP. Salah satu fasilitas tersebut
adalah Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik (billing system) yang memudahkan Wajib
Pajak untuk mebayarkan pajaknya dengan lebih mudah, lebih cepat dan lebih akurat.
Sistem pembayaran pajak secara elektronik adalah bagian dari sistem Penerimaan
Negara secara elektronik yang diadministrasikan oleh Biller Direktorat Jenderal Pajak dan
menerapkan Billing System. Billing System adalah metode pembayaran elektronik dengan
menggunakan Kode Billing. Surat setoran elektronik sendiri adalah surat setoran yang
berdasarkan pada sistem billing. Penerimaan negara dapat meliputi penerimaan pajak,
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun penerimaan bea dan cukai, yang harus masuk
ke kas negara melalui sistem MPN. Kode Billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui
Sistem Billing atas suatu jenis pembayaran atau setoran yang akan dilakukan Wajib Pajak.
Wajib Pajak dapat menginput sendiri, kapan saja / dimana saja. Input data dilakukan atas
nama dan NPWP sendiri, atau atas nama dan NPWP Wajib Pajak lain sehubungan dengan
kewajiban sebagai Wajib Pungut (bendaharawan). Wajib Pajak dapat mendaftarkan diri untuk
memperoleh User ID dan PIN secara online melalui menu daftar baru Aplikasi Billing DJP dan
mengaktifkan akun pengguna melalui konfirmasi e-mail. Setelah konfirmasi, Wajib Pajak baru
bisa log-in di sse.pajak.go.id. Wajib Pajak log-in dengan memasukkan User ID dan PIN akun
pengguna Aplikasi Billing DJP yang telah aktif.
Kode Billing yang dibuat sendiri oleh Wajib Pajak berlaku selama 48 (empat puluh
BPN termasuk cetakan, salinan dan fotokopinya, kedudukannya disamakan dengan SSP
dan SSP PBB dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam hal terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera dalam BPN dengan data
pembayaran menurut sistem Penerimaan Negara secara elektronik, maka yang dianggap sah
adalah data sistem Penerimaan Negara secara elektronik.
Catatan:
Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos Persepsi atas
transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB/NTP sebagai sarana administrasi lain
yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) adalah nomor tanda bukti pembayaran/penyetoran ke
Kas Negara yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara dan diterbitkan oleh sistem settlement yang
dikelola Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Nomor Transaksi Bank (NTB) adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan Negara yang
diterbitkan oleh Bank Persepsi.
Electronic Data Capture (EDC) adalah alat yang dipergunakan untuk transaksi kartu debit/kredit yang
terhubung secara online dengan sistem/jaringan Bank Persepsi.
Pembayaran dan penyetoran pajak mempunyai batas jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak sebagai berikut:
SPT Masa :
Batas Waktu
No Jenis SPT Masa Batas Waktu Penyetoran/Pembayaran Penyampaian SPT
Terakhir
11. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan bersamaan dengan saat pembayaran Bea -
PPnBM atas impor Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda
atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau
PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen
pemberitahuan pabean impor
12. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan secara mingguan paling
PPnBM atas impor yang dipungut pemungutan pajak lama pada hari kerja
oleh Direktorat Jenderal Bea dan terakhir minggu
Cukai berikutnya
13. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh pada hari yang sama dengan pelaksanaan 14 (empat belas) hari
bendahara pembayaran atas penyerahan barang yang setelah Masa Pajak
14. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak pada akhir Masa Pajak terakhir
dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang
KUP yang melaporkan beberapa
Masa Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa 20 (dua puluh) hari
15. Pembayaran masa selain PPh sesuai dengan batas waktu untuk masing- setelah berakhirnya
Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan masing jenis pajak Masa Pajak terakhir
kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b)
Undang-Undang KUP yang
melaporkan beberapa masa pajak
dalam satu Surat Pemberitahuan
Masa
16. PPN atau PPN dan PPnBM yang akhir bulan berikutnya setelah Masa
terutang dalam satu Masa Pajak Pajak berakhir dan sebelum Surat
Pemberitahuan Masa PPN disampaikan
17. PPN yang terutang atas kegiatan
membangun sendiri harus disetor
oleh orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun
sendiri tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
18. PPN atau PPN dan PPnBM yang setelah Masa Pajak berakhir
pemungutannya dilakukan oleh
Pemungut PPN selain Bendahara
Pemerintah atau instansi
Pemerintah yang ditunjuk
19. PPN atau PPN dan PPnBM yang tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah akhir bulan berikutnya
pemungutannya dilakukan oleh Masa Pajak berakhir setelah Masa Pajak
Bendahara Pengeluaran sebagai berakhir
Pemungut PPN
20. PPN yang terutang atas tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
pemanfaatan Barang Kena Pajak setelah saat terutangnya pajak
tidak berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean
harus disetor oleh orang pribadi
atau badan yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean
21. PPN atau PPN dan PPnBM yang pada hari yang sama dengan
pemungutannya dilakukan oleh pelaksanaan pembayaran kepada
Pejabat Penandatangan Surat Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Perintah Membayar sebagai Pemerintah melalui Kantor Pelayanan
SPT Tahunan :
Yang
Jenis Batas Waktu Penyampaian
No Menyampaikan Batas Waktu Pembayaran
Pajak SPT Terakhir
SPT
Sumber :
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 & Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 jo.
80/PMK.03/2010 jo 242/PMK.03/2014
Keterangan :
- Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya.
- Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
- Hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk hari yang diliburkan untuk
penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara
nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Jangka waktu pelunasan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), serta Surat
keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan
Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, paling lama 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan. Bagi WP usaha kecil dan WP didaerah tertentu, jangka waktu
pelunasan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.
WP orang pribadi usaha kecil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. WP orang pribadi dalam negeri; dan
2. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak.
Dalam hal terjadi kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak, WP dapat mengajukan
permohonan Pemindahbukuan (Pbk) kepada DJP. Pbk merupakan salah satu cara dalam
melakukan pembayaran pajak. Pemindahbukuan dapat dilakukan antar jenis pajak yg sama atau
berlainan, dari masa atau tahun pajak yang sama atau berlainan, untuk WP yang sama atau
berlainan, dalam KPP yang sama atau berlainan.
Pemindahbukuan meliputi:
1. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian formulir SSP, SSPCP, baik
menyangkut WP sendiri maupun WP lain;
2. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian data pembayaran pajak yang
dilakukan melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik yang tertera dalam BPN;
3. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan perekaman atas SSP, SSPCP yang dilakukan
Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing;
4. Pemindahbukuan karena kesalahan perekaman atau pengisian Bukti Pbk oleh pegawai DJP;
5. Pemindahbukuan dalam rangka pemecahan setoran pajak dalam SSP, SSPCP, BPN atau
Bukti Pbk menjadi beberapa jenis pajak atau setoran beberapa WP, dan/atau objek PBB;
6. Pemindahbukuan karena jumlah pembayaran pada SSP, BPN, atau Bukti Pbk lebih besar
daripada pajak yang terutang dalam SPT, SKP, STP, SPPT PBB, SKP PBB atau STP PBB;
7. Pemindahbukuan karena jumlah pembayaran pada SSPCP atau Bukti Pbk lebih besar
daripada pajak yang terutang dalam pemberitahuan pabean impor, dokumen cukai, atau surat
tagihan/surat penetapan; dan
8. Pemindahbukuan karena sebab lain yang diatur oleh DJP.
Pemindahbukuan bagi WP yang melakukan pembayaran dalam mata uang Dollar Amerika Serikat
hanya dapat dilakukan antar pembayaran pajak yang dilakukan dalam mata uang Dollar Amerika
Serikat. Pemindahbukuan atas pembayaran pajak dengan SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk
dapat dilakukan ke pembayaran PPh, PPN, PPnBM, PBB dan Bea Materai, namun tidak dapat
dilakukan dalam hal:
1. Pemindahbukuan atas SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang
tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) UU PPN;
2. Pemindahbukuan ke pembayaran PPN atas objek pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP
dengan menggunakan SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak; atau
3. Pemindahbukuan ke pelunasan Bea Meterai yang dilakukan dengan membubuhkan tanda
Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai digital.
Persyaratan Formal :
a) Asli SSP (lembar ke-1), asli SSPCP (lembar ke-1), asli Bukti Pbk (lembar ke-1), dokumen
BPN, atau asli bukti pembayaran PPh dalam mata uang Dollar Amerika Serikat yang
dimohonkan untuk dipindahbukukan;
3. Tanggal pembayaran pajak yang berlaku dalam bukti Pbk mengacu pada tanggal bayar yang
tertera pada BPN atau tanggal bayar berdasarkan validasi MPN pada SSP yang tertera pada
SSP, SSPCP, atau BPN yang diajukan Pbk.
Setiap Wajib Pajak harus mengambil sendiri formulir SPT di (1) Kantor Pelayanan Pajak
(KPP), (2) Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), (3) Kantor Wilayah
DJP, atau (4) Kantor Pusat DJP. Formulir SPT juga dapat diunduh dari situs web Ditjen
Pajak http://www.pajak.go.id, atau dicetak/digandakan/difotokopi dengan bentuk dan isi yang
sama dengan aslinya.
B. Penyampaian SPT
Penandatangan SPTdapat dilakukan dengan cara tanda tangan biasa, tanda tangan stempel atau
tanda tangan elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Yang dimaksud dengan mengisi SPT adalah mengisi formulir SPT, dalam bentuk kertas dan/atau
dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian
yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah:
benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya;
lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-
unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan
jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang
harus dilaporkan dalam SPT.
Jika tidak dapat menyampaikan SPT Tahunan dalam batas waktu yang telah ditentukan,
WP berhak memperoleh perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan. Kabar baiknya,
perpanjangan itu kini dapat diperoleh secara otomatis, yaitu dengan hanya mengajukan
pemberitahuan secara tertulis ke KPP.
1. Laporan Keuangan Sementara untuk tahun pajak yang bersangkutan dari WP sendiri (bukan
Laporan Keuangan Sementara dari Konsolidasi Grup);
2. SSP PPh Pasal 29 sebagai bukti pelunasan kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada ijin
untuk mengangsur/menunda pembayaran PPh Pasal 29; dan
3. Surat Pernyataan dari Akuntan Publik yang menyatakan audit Laporan Keungan belum
selesai (jika Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik).
WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha menggunakan formulir yang berbeda,
yaitu sesuai lampiran II PER-21/PJ./2009. Formulir ini pun cukup dilampiri dengan Surat
Pernyataan dari Pemberi Kerja yang menyatakan bahwa bukti potong PPh Pasal 21 memang
belum diberikan oleh pemberi kerja. Yang tidak boleh dilupakan, pemberitahuan perpanjangan
penyampaian SPT Tahunan harus ditandatangani oleh WP/kuasanya dan disampaikan sebelum
batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir. Jika pemberitahuan perpanjangan
penyampaian SPT Tahunan ditandatangani oleh Kuasa WP, maka pemberitahuan juga wajib
dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.
Apabila SPT telah disampaikan oleh WP kemudian WP merasa SPT yang telah
disampaikannya ternyata ada yang salah atau perlu dilakukan perbaikan, maka WP sebenarnya
dapat melakukan pembetulan SPT berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU KUP. Namun demikian,
terdapat batas waktu pembetulan SPT, yaitu sepanjang belum dilakukan pemeriksaan, tindakan
verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak dan tindakan pemeriksaan bukti
permulaan terbuka. Khusus untuk SPT pembetulan yang menyatakan lebih bayar atau rugi,
pembetulan SPT dapat dilakukan paling lambat dua tahun sebelum daluarsa penetapan.
Atas pembetulan SPT, baik SPT Tahunan maupun SPT Masa, yang menyebabkan pajak
terutang bertambah, WP dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% perbulan dari
jumlah pajak yang kurang bayar dihitung sejak berakhirnya batas waktu penyampaian SPT (untuk
SPT Tahunan) atau sejak tanggal jatuh tempo tanggal jatuh tempo pembayaran (untuk SPT Masa)
sampai dengan tanggal pembayaran. Yang dimaksud dengan “1 (satu) bulan” adalah jumlah hari
dalam bulan kalender yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21
Juli, sedangkan yang dimaksud dengan “bagian dari bulan” adalah jumlah hari yang tidak
mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.
Misalkan Tuan Ali menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2013 pada tanggal 31
Maret 2014. SPT Tuan Ali tersebut menyatakan kurang bayar Rp10.000.000,00. Kemudian pada
bulan September 2014, Tuan Ali baru menyadari bahwa terdapat penghasilan yang belum
dilaporkannya. Tuan Ali kemudian menyusun ulang SPT Tahunannya. Ternyata posisi seharusnya
SPT Tuan Ali adalah kurang bayar Rp15.000.000,00. Artinya Tuan Ali masih harus membayar
sisanya Rp5.000.000,00.
Setelah membayar PPh Pasal 29 sisanya sebesar Rp5.000.000,00 di bank pada tanggal 24
September 2014, Tuan Ali melaporkan SPT Tahunan PPh Pembetulan untuk tahun pajak 2013
pada tanggal 25 September 2014. Besarnya sanksi bunga adalah 2% x 6 bulan x Rp5.000.000,00
Dalam hal WP menerima skp, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding atau Putusan Peninjauan kembali Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan
rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang
akan dibetulkan tersebut, WP dapat membetulkan SPT Tahunan dimaksud dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan setelah menerima skp, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding atau Putusan Peninjauan kembali.
Apabila terhadap Wajib Pajak sudah dilakukan pemeriksaan, asalkan belum diterbitkan
surat ketetapan pajak, Wajib Pajak masih dapat melakukan koreksi atas SPT yang sudah
disampaikannya. Tindakan ini disebut pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT. PP Nomor
74 Tahun 2011 kemudian mempertegas lagi bahwa batas waktu pengungkapan ketidakbenaran
pengisian SPT ini adalah sepanjang surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) belum
disampaikan. Pengungkapan ketidakbenaran ini dilakukan dalam laporan tersendiri sesuai
keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan: a) pajak-pajak yang masih harus dibayar
menjadi lebih besar atau lebih kecil, b) rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil
atau lebih besar, c) jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil, atau d) jumlah modal
menjadi lebih besar atau lebih kecil. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian oleh WP ini tidak
mengakibatkan penghentian pemeriksaan. Dengan kata lain proses pemeriksaan tetap dilanjutkan
sampai dengan selesai untuk membuktikan kebenaran dari pengungkapan ketidakbenaran
pengisian SPT oleh WP.
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran
pengisian SPT beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang
dibayar, harus dilunasi terlebih dahulu oleh WP. Setelah itu WP melakukan pengungkapan
ketidakbenaran.
SPT dapat disampaikan WP ke KPP atau tempat lain yang ditetapkan oleh DJP secara
langsung, melalui pos dengan bukti pengiriman surat atau dengan cara lain, antara lain
perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat atau saluran tertentu
yang ditetapkan oleh DJP sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
Ada empat cara penyampaian SPT Tahunan yang diatur dalam peraturan ini, yaitu:
1. Secara langsung.
Penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
Melalui Tempat Pelayanan Terpadu (TPT).
Penyampaian SPT Tahunan harus disampaikan di KPP tempat WP terdaftar dalam hal:
a) SPT Tahunan LB;
b) SPT Tahunan pembetulan;
c) SPT Tahunan yang disampaikan setelah batas waktu penyampaian SPT; dan/atau
d) SPT Tahunan dalam bentuk e-SPT
e) SPT Tahunan PPh WP Badan
2. Melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman
surat ke KPP tempat WP terdaftar.
Penyampaian SPT Tahunan melalui pos dilakukan dalam amplop tertutup yang telah dilekati
lembar informasi amplop SPT Tahunan (format terlampir) yang berisi data sebagai berikut:
a) Nama Wajib Pajak.
b) NPWP.
c) Tahun Pajak.
d) Status SPT Tahunan (Nihil/Kurang Bayar/Lebih Bayar).
e) Jenis SPT Tahunan (SPT Tahunan/SPT Tahunan Pembetulan Ke-...).
3. Saluran tertentu yang ditetapkan oleh DJP sesuai dengan perkembangan teknologi
informasi diantaranya (E-filling) melalui website DJP (www.pajak.go.id) atau penyedia
jasa ASP pihak ketiga yang ditunjuk DJP (berbayar) antara lain:
a) http://www.pajakku.com
b) http://www.laporpajak.com
c) http://www.spt.co.id
Terhadap SPT Tahunan yang disampaikan WP secara langsung maupun melalui pos atau
perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, dilakukan pengecekan validitas NPWP oleh KPP
Penerima SPT Tahunan. Apabila diketahui NPWP tidak valid:
KPP penerima SPT Tahunan memberitahukan kepada KPP tempat WP terdaftar;
KPP tempat WP terdaftar melakukan proses validasi NPWP; dan
Kepada WP diberikan pemberitahuan.
Terhadap SPT yang disampaikan oleh WP atau kuasanya dilakukan pengolahan yang
meliputi penelitian SPT dan perekaman SPT. Apabila berdasarkan hasil penelitian, SPT yang
disampaikan WP atau kuasanya dinyatakan lengkap kepada WP diberikan bukti penerimaan untuk
kemudian dilakukan perekaman SPT ke dalam basis data perpajakan, sedangkan apabila tidak
lengkap, kepada WP diberikan kesempatan untuk memenuhi kelengkapan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
SPT Lengkap adalah SPT yang semua elemen SPT Induk dan lampirannya telah diisi
dengan lengkap, SPT Induk telah ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya, dan telah
dilengkapi dengan lampiran khusus, serta keterangan dan/atau dokumen yang disyaratkan serta
dalam hal e-SPT dapat diproses dalam sistem informasi pada DJP.
1. NPWP atau nama Wajib Pajak tidak dicantumkan dalam SPT Induk dengan benar, lengkap
dan jelas;
2. SPT Induk tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasanya;
3. SPT Induk ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak tetapi tidak dilampiri dengan Surat Kuasa
Khusus atau SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ditandatangani oleh ahli waris tetapi tidak
dilampiri dengan Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang;
4. Terdapat elemen SPT Induk yang diisi tidak lengkap;
5. SPT Kurang Bayar tetapi tidak dilampiri dengan bukti pelunasan berupa SSP yang sesuai;
6. SPT tidak atau kurang disertai dengan lampiran pada Formulir atau Lampiran Keterangan
dan/atau Dokumen yang Disyaratkan sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV PER-
29/PJ/2014;
7. Lampiran "Daftar Harta dan Kewajiban Pada Akhir Tahun dan Daftar Susunan Anggota
Keluarga" dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap;
Dalam hal WP membetulkan SPT Tahunan, terhadap SPT Tahunan Pembetulan tersebut,
Account Representative KPP tempat WP terdaftar melakukan:
1. penelitian kelengkapan SPT; dan
2. penelitian syarat pembetulan SPT Tahunan yaitu:
belum disampaikan surat pemberitahuan hasil Verifikasi;
belum disampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak;
belum disampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada
Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari
Wajib Pajak;
dalam hal pembetulan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan harus disampaikan
paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan; atau
dalam hal Wajib Pajak membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan
karena menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun
Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi
fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, pembetulan disampaikan
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali.
Apabila SPT Tahunan Pembetulan lengkap dan memenuhi syarat penyampaian SPT
Tahunan Pembetulan, maka SPT Tahunan Pembetulan diterima dan kepada Wajib Pajak
diberikan tanda terima SPT; namun apabila sebaliknya maka SPT Tahunan Pembetulan
dikembalikan kepada Wajib Pajak disertai dengan lembar penelitian SPT Tahunan.
Berdasarkan PMK No. 243/PMK.03/2014 terdapat pihak yang dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan SPT dapat diuraikan sebagai berikut :
Wajib Pajak lain sebagaimana dimaksud dalam angka 8 adalah Wajib Pajak yang tidak dapat
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditentukan karena keadaan
antara lain:
1. kerusuhan massal;
2. kebakaran;
3. ledakan bom atau aksi terorisme;
4. perang antarsuku;
5. kegagalan sistem informasi administrasi penerimaan negara atau perpajakan; atau
6. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
Penetapan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika
kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi.
Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib
Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib Pajak
memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang
dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja
yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang
jenis-jenis sanksi perpajakan dan perihal pengenaannya.
A. Sanksi Administrasi
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan.
Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah
tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi
denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini
adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja. Untuk mengetahui lebih laniut, dalam tabel
1 dimuat hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi administrasi berupa denda, bentuk pengenaan
denda, dan besarnya denda.
Tabel 1
Sanksi Administrasi, Bentuk Pengenaan dan Besarnya Denda
1 SPT tidak disampaikan sesuai atas waktu Pasal 7 ayat (1) a. Rp 500.000,- untukSPTMasa PPN
penyampaian atau batas waktu perpanjangan UU KUP b. Rp 100.000,- untuk SPT Masa
penyampaian SPT. lainnya;
c. Rp l.000.000,- untuk SPT Tahunan
PPh WP Badan;
d. Rp 100.000,- untuk SPT Tahunan
PPh WP Orang Pribadi.
2 Meskipun telah dilakukan pemeriksaan, tetapi belum Pasal 8 ayat (3) 150% dari jumlah pajak yang kurang
dilakukan tindakan penyidikan, Wajib Pajak dengan UU KUP dibayar.
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
tentang data yang dilaporkan dalam SPT dengan
disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah
pajak yang sebenarnya terutang.
9 Setiap orang yang dengan sengaja: Pasal 39 ayat Didenda paling sedikit 2 (dua) kali
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor (1) dan ayat (2) jumlah pajak terutang yang tidak atau
Pokok Wajib pajak (NPWP) atau tidak melaporkan UU KUP kurang dibayar dan paling banyak 4
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP; (empat) kali jumlah pajak terutang
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak yang tidak atau kurang dibayar,
NPWP atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena dan dipidana dengan pidana penjara
Pajak (NPPKP); paling singkat 6 (enam) bulan dan
c. Tidak menyampaikan SPT; paling lama 6 (enam) tahun. Pidana
d. Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang diatas ditambahkan 1 (satu) kali
isinya tidak benar atau tidak lengkap; menjad i2 (dua) kali sanksi pidana
e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan; apabila seseorang melakukan lagi
f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau tindak pidana di bidang perpajakan
dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah- sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung
olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan sejak selesainya menjalani pidana
yang sebenarnya penjara yang dijatuhkan.
g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan di lndonesia, tidak memperlihatkan atau
meminjam buku, catatan atau dokumen lain;
h. Tidak menyimpan buku, catatan atau dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
diselenggarakan secara program aplikasi online di
15 Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan Pasal 41C ayat Didenda paling banyak p800.000.000,-
tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain (2) UU KUP atau pidana kurungan paling lama 10
di instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan (sepuluh) bulan.
lainnya.
16 Setiap orang yang dengan sengaja tidak Pasal 41C ayat Didenda paling banyak
memberikan data dan informasi yang diminta oleh (3) UU KUP Rp800.000.000,- atau dipidana
Dirjen Pajak. kurungan paling lama 10 (sepuluh)
bulan.
17 Setiap orang yang dengan sengaja Pasal 4lC ayat Didenda paling banyak
menyalahgunakan data dan informasi perpajakan, (4) UU KUP Rp500.000.000,- atau dipidana
sehingga menimbulkan kerugian pada negara. kurungan paling lama 1 (satu)tahun.
18 Wajib Pajak yang sedang dilakukan tindakan Pasal 448 UU Didenda 4 (empat) kali jumlah pajak
penyidikan pajak namun kemudian memilih untuk KUP yang tidak atau kurang dibayar, atau
melunasi utang pajak yang tidak atau kurang yang tidak seharusnya dikembalikan.
dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan
19 Penanggung pajak yang: Pasal 41A ayat Paling banyak Rp12.000.000,- dan
a. Memindahkan hak,memindahtangankan, (1) UU Nomor pidana penjara paling lama 4 (empat)
menyewakan, meminjamkan, menyembunyikan, 19 Tahun 2000 tahun.
menghilangkan, atau tentang
merusak barang yang telah disita; Perubahan Atas
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang
pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu
jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak.
Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga).
Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar.
Tetapi, dalam hal Wajib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga
yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut
dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi. Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada
umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu)
bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung
secara harian. Untuk mengetahui lebih ielas mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi
bunga dan penghitungan besarnya bunga dalam pajak, pembaca dapat melihat dalam tabel 2.
1 Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Pasal 8 ayat Pasal 8 ayat (2) 2%per bulan atas jumlah pajak yang
(2) UU KUP Tahunan yang mengakibatkan utang UU KUP kurang dibayar, dihitung sejak saat
pajak menjadi lebih besar. penyampaian SPT berakhir sampai
dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan
2 Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang Pasal 8 ayat 2% per bulan atas jumlah pajak yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar. (2a) UU KUP kurang dibayar, dihitung sejak jatuh
tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari
bulan dihitung Penuh 1 (satu) bulan.
3 Pembayaran atau penyetoran Pasal 9 ayat (2a) UU Pasal 9 ayat 2% pet bulan dihitung dari tanggal
KUP pajak berdasarkan SPT Masa yang dilakukan (2a) UU KUP jatuh tempo pembayaran sampai
setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau dengan tanggal pembayaran, dan
penyetoran pajak. bagian dari bulan dihitung penuh
1 (satu) bulan.
4 Pembayaran atau penyetoran pajak berdasarkan Pasal 9 ayat 2% per bulan dihitung mulai dari
SPT Tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh (2b) UU KUP berakhirnya batas waktu penyampaian
tempo penyampaian SPT Tahunan SPT Tahunan sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
5 Dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak Pasal 13 ayat 2% per bulan dari jumlah pajak yang
yang terutang tidak atau kurang dibayar (2) UU KUP tidak atau kurang dibayar, paling lama
24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun
pajak atau tahun pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
6 Apabila Wajib Pajak diterbitkan NPWP dan atau Pasal 13 ayat 2% per bulan dari jumlah pajak yang
dikukuhkan PKP secara jabatan. (2) UU KUP tidak atau kurang dibayar, paling lama
24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun
pajak atau tahun pajak sampai dengan
diterbitkannya SKPKB.
7 SKPKB yang diterbitkan setelah melewati jangka Pasal 13 ayat 48% dari jumlah pajak yang tidak atau
waktu 5 (lima) tahun, yang diterima oleh Wajib Pajak (5) UU KUP kurang dibayar.
yang dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
8 Dari penelitian rutin: Pasal 14 ayat 2% per bulan untuk selama-lamanya
a. PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang (3) UU KUP 24 (dua puluh empat) bulan dihitung
dibayar; sejak saat terutangnya pajak atau
b. SPT salah tulis/salah hitung sehingga terdapat bagian tahun pajak atau tahun pajak
kekurangan pembayaran pajak. sampai dengan diterbitkannya STP.
9 Bagi PKP yang gagal berproduksi dan telah Pasal 14 ayat 2% pet bulan dari jumlah yang ditagih
diberikan pengembalian Pajak Masukan. (5) UU KUP kembali, dihitung dari tanggal
penerbitan Surat keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak sampai dengan tanggal
penerbitan STP, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang
paling ditakuti oleh Wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang
harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung
dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak
memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang. Untuk
lebih jelasnya, hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi berupa kenaikan dan besarnya kenaikan
dapat dilihat dalam tabel 3.
Tabel 3
Sanksi Administrasi, Bentuk Pengenaan dan Besarnya Kenaikan
1 WP mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT Pasal 8 ayat (5) 50% dari pajak yang kurang dibayar.
setelah jangka waktu pembetulan SPT berakhir dan UU KUP
belum pernah diterbitkan surat ketetapan pajak,
yang mengakibatkan pajak kurang dibayar.
2 SPT tidak disampaikan sesuai jangka waktu Pasal 13 ayat (l) a. 50% dari PPh yang tidak atau
penyampaiannya dan setelah ditegur secara tertulis huruf b UU KUP kurang dibayar dalam satu tahun pajak
5PT tetap tidak disampaikan pada waktunya b. 100% dari PPh yang tidak atau
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. kurang dipotong, tidak atau kurang
dipungut tidak atau kurang disetor, dan
dipotong atau dipungut tetapi tidak
atau kurang disetor.
3 Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain Pasal 13 ayat (l) 100% dari PPN atas barang dan jasa
mengenai PPN dan PPn BM, ternyata tidak huruf c UU KUP dan Ph BM yang tidak atau kurang
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak dibayar.
atau tidak seharusnya dikenai tarif 0%.
4 Apabila Wajib Pajak tidak melakukan pembukuan Pasal 13 ayat a. 50% dari PPh yang tidak atau
atau ketika diperiksa Wajib Pajak tidak: (3) UU KUP kurang dibayar dalam satu tahun
a. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku pajak;
atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan b. 100% dari PPh yang tidak atau
dokumen lain yang berhubungan dengan kurang dipotong, tidak atau kurang
penghasilan yang dipeproleh, kegiatan usaha, dipungut; tidak atau kurang disetor,
pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang dan dipotong atau dipungut tetapi tidak
terutang pajak; atau kurang disetor.
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat
atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan atau
c. Memberikan keterangan lain yang
diperlukan,sehingga tidak dapat diketahui besarnya
pajak yang terutang.
5 Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak Pasal 13A UU Sanksi kenaikan sebesar 200% dari
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, KUP jumlah pajak yang kurang dibayar
tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau yang ditetapkan melalui penerbitan
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, SKPKB.
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara. Kealpaan yang dilakukan
ini adalah yang pertama kali dilakukan oleh WP.
6 Diterbitkan SKPKBT, karena ditemukan data baru Pasal 15 ayat 100% dari jumlah kekurangan pajak
dan atau data yang semula belum terungkap (2) UU KUP
7 Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Pasal 17C ayat 100% dari jumlah kekurangan pajak
Wajib Pajak dengan criteria tertentu yang telah (5) UU KUP
mendapat pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak, diterbitkan SKPKB.
UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya
terakhir untuk meningkatkan kepatuhan WP. Namun, pemerintah masih memberikan keringanan
dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi WP yang baru pertama kali melanggar
ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi
isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan.
Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu
tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan
dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang
perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui. Jangka waktu
ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun
pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang
dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu
ada. Hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi pidana dan bentuk sanksinya dapat juga dilihat
pada tabel 1.
Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak
orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu,
Dirjen Pajak menerbitkan norma penghitungan dan diwajibkan membuat pencatatan yaitu
pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto
dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang,
termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Berdasarkan Pasal 14 ayat 2 UU PPh yang dimaksud dengan Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4,8 miliar atau Rp 400
juta per bulan atau kurang lebih sekitar Rp13,4 juta per hari. Dengan syarat Wajib Pajak tersebut
memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak
yang bersangkutan. Peredaran bruto Rp13,4 juta per hari untuk saat ini bukanlah jumlah yang
besar. Sehingga akan banyak sekali Wajib Pajak yang wajib untuk melakukan pembukuan.
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan
ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke Dirjen Pajak dalam jangka
waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan
usaha/pekerjaan bebas.
1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yaitu Wajib Pajak yang beroperasi
berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan Penanaman Modal Asing;
G. Tata Cara Pengajuan Pembukuan Dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah
1. Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan
mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai;
2. Sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pertama.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas
permohonan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara
lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan
keputusan maka permohonan WP tersebut dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah atas
nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian izin untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat.
WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang sejak
pendiriannya maupun yang akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal
pendirian (bagi WP yang sudah menyelenggarakan sejak pendiriannya) atau 3 (tiga) bulan
sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan
mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai (bagi WP yang belum menyelenggarakan sejak
pendiriannya).
WP yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat namun
merencanakan untuk tidak memanfaatkan izin tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan
pembatalan secara tertulis ke KPP dalam hal Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam surat
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik
atau secara program on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di
tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib
Pajak badan. Perubahan Tahun Buku Dan Metode Pembukuan Perubahan terhadap metode
pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak.
Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan ada dua:
Pertama,
menguji kepatuhan, yaitu pemeriksaan yang akan berujung pada penetapan pajak terutang.
Hasilnya berupa: SKPKB, SKPLB, SKPN, atau STP.
Kedua,
tujuan lain, yaitu pemeriksaan yang berujung rekomemdasi atau pendapat pemeriksa.
Wajib Pajak dapat mengetahui tujuan pemeriksaan dari surat pemberitahuan yang wajib
disampaikan oleh pemeriksa. Di surat pemberitahuan tertulis tujuan pemeriksaan. Atau bisa juga
dari SP2 (surat perintah pemeriksaan). Setiap pemeriksaan harus memperlihatkan SP2 kepada
Wajib Pajak. Disitu tercantum kode pemeriksaan dan kriteria pemeriksaan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup
pemeriksaan pajak terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Sedangkan
kewajiban SPT tersebut terkait dengan periode tertentu. Ruang lingkup pemeriksaan:
Pertama:
Satu atau beberapa bulan (masa), yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban pemungutan dan
pemotongan. Termasuk kewajiban pemotongan dan pemungutan adalan PPN, PPnBM, PPh
Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2).
Kedua:
Bagian tahun pajak atau tahun pajak, yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban PPh Badan
atau PPh OP. Bagian tahun pajak artinya tidak 12 bulan penuh. Bisa 1 sampai dengan 11 bulan.
Saat terutang PPh Badan dan PPh OP adalah pada akhir tahun. Dan periode pajak yang dihitung
tahunan. Sehingga ruang lingkup pemeriksaan juga satu tahun atau bagian tahun. Contoh bagian
tahun pajak adalah bulan April sebuah perusahaan dibubarkan dan dilikuidasi bulan Agustus.
Maka pemeriksaan tahun tersebut disebut bagian tahun pajak karena periode yang dihitung
adalah Januari sampai dengan Agustus.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, dilakukan dalam hal
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP;
Jenis Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan pajak ada dua: yaitu pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor.
Pemeriksaan Lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau
tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan
yang dilakukan di kantor DJP. Sesuai namanya, seharusnya hanya pemeriksaan kantor yang
dilakukan di kantor DJP. Tetapi prakteknya, dari definisi tadi pemeriksa pajak "mengartikan"
tempat lain sebagai kantor DJP. Sehingga (prakteknya) sebagian besar pemeriksaan lapangan
tetap dilakukan di kantor pajak.
Pertama, laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh akuntan
publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun
Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan publik, dengan pendapat wajar tanpa
pengecualian; dan
Kedua, Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, atau
penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak
pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Berdasarkan persyarat diatas, jika tahun pajak 2011 diaudit oleh akuntan publik maka DJP akan
melakukan pemeriksaan dengan jenis pemeriksaan kantor jika tahun 2013 ini Wajib Pajak
memohon restitusi. Baik restitusi PPh Badan, maupun restitusi PPN. Apa untungnya dengan
pemeriksaan kantor? Ada kebijakan baru mulai 2013 bahwa pemeriksaan restitusi pajak dilakukan
dengan satu jenis pajak saja (yaitu jenis pajak yang memohon restitusi saja) dan
"disederhanakan" jika pemeriksa tidak mendapatkan risiko audit tinggi.
Sebelumnya, jangka waktu pemeriksaan itu hanya satu. Termasuk pengujian dan pembahasan.
Akibatnya ada kerancuan. SPHP harus diselesaikan dan disampaikan terlebih dahulu dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak berakhirnya perpanjangan jangka waktu
Pemeriksaan Kantor atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lapangan. SPHP sampai LHP
harus diselesaikan paling lama 1 (satu bulan). Dengan demikian, total jangka waktu pemeriksaan
lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan perpanjangan + 7 hari + 1 bulan pembahasan, total 9 bulan
lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur bahwa jangka waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.
Dengan dipecahnya menjadi dua jangka waktu, maka jangka waktu pengujian menjadi konsisten.
SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak apabila:
Karena kecenderungan pemeriksaan pajak diperpanjang, maka anggap saja bahwa pemeriksaan
kantor itu 6 bulan, dan pemeriksaan lapangan 8 bulan. Ditambah dengan jangka waktu
pembahasan 2 bulan. Sehingga total jangka waktu pemeriksa akan menjadi 8 bulan untuk
pemeriksaan kantor atau 10 bulan untuk pemeriksaan lapangan.
Tetapi jangka waktu perpanjangan diatas ada pengecualian. Untuk Wajib Pajak berikut total
jangka waktu pengujian dapat 24 bulan ditambah jangka waktu pembahasan sehingga total jangka
waktu pemeriksaan menjadi 26 bulan, yaitu berlaku untuk pemeriksaan atas:
1. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi;
2. Wajib Pajak dalam satu grup;
3. Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi
khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.
Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda.
Pasal 17B mengatur bahwa Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan surat
ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara
lengkap. Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja
jangka waktu restitusi. Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi
berlaku prinsip mana yang lebih dulu!
berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama
berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.
Sedangkan pengembalian pajak yang tidak dimohonkan tidak ada jangka waktu restitusi 12 bulan.
Jatuh tempo DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak adalah sebelum daluwarsa penetapan,
alias 5 (lima) tahun. Pengembalian pajak ini mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP. Contoh yang
seperti ini adalah lebih bayar PPN tetapi dikompensasi ke masa pajak berikutnya, atau kelebihan
PPh Badan dengan mencontreng "diperhitungkan dengan utang pajak" di Formulir 1771, atau
lebih bayar PPh karena edit penelitian SPT di KPP (Wajib Pajak salah hitung).
Penyelesaian Pemeriksaan
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP (laporan hasil pemeriksaan) atau LHP
Sumir. Kecuali jika atas SP2 tersebut dibatalkan. Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah
pemeriksa pajak menyampaikan SPHP. Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu
pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan dengan
membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa WP harus diberitahu jika penyelesaian
pemeriksan dengan membuat LHP Sumir. Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk
WP tidak ditemukan!
LHP Sumir tidak hanya untuk WP tidak ditemukan. Berikut alasan LHP Sumir:
1. Wajib Pajak tidak ditemukan (kecuali pemeriksaan restitusi Pasal 17B);
2. Pemeriksaan terus di-Buper dan Buper-nya diselesaikan dengan Pasal 8 (3), Pasal 13A,
Pasal 44B KUP;
3. Pemeriksaan ulang tetapi pemeriksa pajak tidak menemukan novum;
4. Pertimbangan Dirjen Pajak.
Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan
penjelasan mengenai:
1. alasan dan tujuan Pemeriksaan;
2. hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
3. hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim
Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum
disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir
Hasil Pemeriksaan; dan
Penyegelan hanya ada dalam pemeriksaan lapangan. Sehingga jika pemeriksa pajak datang ke
tempat Wajib Pajak dengan membawa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal
yang pertama kali dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian
membuat berita acara. Selanjutnya, pemeriksa pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa
pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan penyegelan.
Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa pajak saat itu juga
meminjam dokumen. Kemudian dibuatkan bukti peminjaman dokumen.
Dalam hal (artinya kondisi tertentu saja) pemeriksa pajak ternyata tidak menemukan dokumen
yang terkait kegiatan usaha di tempat Wajib Pajak tetapi pemeriksa pajak yakin bahwa dokumen
tersebut ada maka pemeriksa pajak akan membuat Surat Permintaan Peminjaman Dokumen.
Kalimat yang diawali dengan kata "dalam hal". Artinya, Surat Permintaan Peminjaman Dokumen
sebenarnya tidak boleh dijadikan standar yang harus dibawa oleh pemeriksa pajak saat datang ke
tempat Wajib Pajak. Kalaupun dibuat surat permintaan peminjaman tersebut maka daftar
dokumen yang menjadi lampiran dari surat permintaan peminjaman tersebut harus persis sama
dengan yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Jika pemeriksa pajak membuat daftar dokumen secara
umum dan tidak dimiliki oleh Wajib Pajak maka Wajib Pajak tidak wajib memenuhinya.
Peminjaman dokumen melalui surat permintaan peminjaman juga memiliki kelemahan, yaitu Wajib
Pajak dapat menunda pemenuhannya sampai 1 (satu) bulan sejak sejak surat permintaan
peminjaman buku, catatan, dan dokumen disampaikan.. Artinya, pemeriksa pajak pasti buang-
buang waktu (wasting time) selama sebulan. Ketentuan satu bulan ini berlaku untuk setiap surat
permintaan peminjaman dokumen disampaikan!
Permintaan Keterangan
Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu:
1. keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau
anggota keluarga; dan
Terhadap pihak Wajib Pajak seperti angka 1 diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta
keterangan langsung. Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian
keterangan. Tetapi untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan
surat konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.
SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri Keuangan
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) UU KUP yang berbunyi:
“Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak
untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan”.
Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 31 (2) UU KUP terdiri dari:
[a.] pemeriksaan ulang,
[b.] angka waktu pemeriksaan,
[c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan
[d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference).
Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri)
pemeriksaan yang harus ditunaikan. Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan menjadi batal,
dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri.
Ketentuan "rukun" pemeriksaan ini diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP:
“Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak”.
SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim
melalui faksimili. Tidak diatur pengiriman melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di UU
KUP. Padahal sekarang era email (surel).
Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Jika setuju, sudah disediakan formulir
persetujuan. Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan kenapa
tidak setuju. Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok pembahasan di closing
conference. Sehingga jika Wajib Pajak menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan
membantu pemeriksa pajak untuk membuat risalah pembahasan.
Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum UU KUP 2007
ada pendapat seperti itu. Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan UU KUP
mengamanatkan pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada
Undangan pembahasan 10 hari kerja setelah SPHP diterima atau dikirim. Kira-kira dua minggu
kalender. Tetapi bisa kurang dari 10 hari kerja jika Wajib Pajak sudah memberikan tanggapan
SPHP. Misal pada hari kerja ke 2 tanggapan SPHP sudah diterima pemeriksa pajak maka pada
hari kerja ke 3 dapat dikirim undangan closing conference. Hak hadir diberikan melalui
penyampaian undangan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan
tanggal dilaksanakannya Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan dengan
mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir,
yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak. Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika
tidak hadir maka dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak. Pembahasan tidak harus
dilakukan sehari sesuai tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa
dilakukan hari berikutnya sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan
dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan.
Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality Assurance
Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak. Diskusi
atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada periode jangka waktu
pengujian. Sehingga ada waktu 6 bulan atau 8 bulan diskusi masalah pemeriksaan antara Wajib
Pajak dengan pemeriksa pajak. Lebih baik memberi ruang waktu pembahasan lebih banyak
kepada Tim QA supaya lebih independen. Perlu dipertimbangkan "jeda" waktu permohonan
pembahasan dengan Tim QA, yaitu 3 hari, kemudian "jeda" waktu pembuatan undangan
pembahasan oleh Tim QA. Dan pembahasan dengan Tim QA tetap harus dalam periode jangka
waktu pembahasan dua bulan sejak SPHP diterima oleh Wajib Pajak.
Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing conference baru
berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri
dengan ihtisar hasil pembahasan akhir. Artinya, Setelah pembahasan dengan Tim QA, Wajib
Pajak harus menandatangani risalah pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir
Hasil Pemeriksaan. Tetapi jika Wajib Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka
saat pembahasan dengan pemeriksa pajak, langsung saja dibuatkan berita acara Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir. Pastikan bahwa angka
yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka terakhir yang dibahas atau angka
sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam risalah Tim QA.
Kalau melihat sanksi administrasi Pasal 8 ayat (5) UU KUP diatas (yaitu 50%) maka sanksi ini
akan lebih tinggi 2% dibandingkan sanksi bunga di surat ketetapan pajak. Sanksi bunga di surat
ketetapan pajak paling banyak (maksimal) 48% saja. Tetapi beberapa Wajib Pajak ternyata tidak
peduli dengan besarnya sanksi ini. Mereka bersedia bayar lebih besar. Salah satu motif
melakukan pengungkapan ini adalah menghindari koreksi pajak yang besar. Jadi lebih kepada
pencitraan. Karena kalo pengungkapannya benar, maka nanti di surat ketetapan pajak tidak ada
lagi koreksi fiskal. Produk pemeriksaan pun SKPN. Karena hasil pemeriksaan menjadi nihil, maka
citra manajemen Wajib Pajak dianggap lebih baik. Padahal, sebelum pemeriksaan selesai mereka
telah bayar lebih dulu!
Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan Pemeriksaan
Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti
Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan. Jika pemeriksaan pajak kemudian menjadi
pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib Pajak akan menerima:
1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan, dan
2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.
Pemeriksaan yang dilakukan setelah empat kondisi diatas dilakukan dalam jangka waktu paling
lama empat bulan. Ketentuan 4 bulan ini diatur di Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 17/PMK.03/2013. Empat bulan ini adalah jangka waktu pengujian. Ditambah jangka waktu
pembahasan maka dalam enam bulan, pemeriksaan harus selesai dan diterbitkan surat ketetapan
pajak. Ketentuan 4 bulan ditambah 2 bulan ini berlaku baik untuk pemeriksaan lebih bayar
maupun bukan pemeriksaan lebih bayar.
Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 UU KUP. Berikut ketipan Pasal 15:
“Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan”.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari
yang seharusnya. Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau
pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP. Masing-masing memiliki
"jalur" atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan
fiskus, pembetulan karena ada salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat
ketetapan tidak benar. Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
Ada aturan yang baru terkait pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang
boleh sumir. Sebelumnya tidak diatur. Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka
sebelumnya pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung SKPKBT. Harus jelas dulu
novum-nya apa. Jika novum masih samar-samar maka tidak boleh dilakukan pemeriksaan ulang.
Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti
pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai apakah benar-benar sudah ada novum atau tidak.
1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan
Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai tata cara Verifikasi;
2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata
cara Verifikasi;
3. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan
berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5. pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
6. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10. penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian
sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
11. memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda.
Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya
pemeriksaan lapangan. Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis
pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja. Di
pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada
yang dibahas. Juga tidak ada jangka waktu pengujian karena memang bukan menguji SPT.
Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat kedua (second opinion).
Berdasarkan Pasal 1 angka 20 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Pihak yang
berwenang menerbitkan STP adalah KPP tempat seseorang atau badan terdaftar sebagai WP.
Terbitnya STP ini biasanya disebabkan WP tidak melakukan satu atau beberapa kewajiban pajak
yang diamanatkan oleh UU.
Hal-hal yang menyebabkan terbitnya STP diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) UU KUP yaitu :
2. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung.
Dengan ketentuan ini, pihak fiskus bisa menagih kekurangan pajak akibat salah tulis dan/atau
salah hitung yang tidak akan menimbulkan perdebatan. Misalnya dalam SPT Tahunan PPh
Badan terdapat angka Penghasilan Kena Pajak Rp10.000.000,-. Seharusnya PPh terutang
adalah Rp2.500.000,- (25% x PKP). Ternyata Wajib Pajak menghitung PPh terutangnya
Rp2.000.000,- (20% x PKP). Atas kekurangan Rp500.000,- pihak Kantor Pelayanan Pajak
akan menerbitkan STP ditambah sanksi bunga 2% per bulan.
4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu.
Ketentuan ini untuk menjamin agar PKP selalu membuat faktur pajak atas penyerahan
barang/jasa kena pajak serta membuatnya tepat waktu. Apabila ternyata PKP tidak
memenuhinya maka terhadapnya akan dikenakan sanksi denda 2% dari DPP PPN sesuai
Pasal 14 Ayat (4) UU KUP. Sarana menagih sanksi ini adalah dengan menerbitkan STP.
5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Sanksi yang dikenakan dalam STP adalah 2% dari DPP PPNnya.
6. PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak.
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 88
Ketentuan ini untuk menjamin PKP selalu melaporkan faktur pajaknya secara tetap waktu
agar pembeli barang atau pengguna jasanya tidak dirugikan. Sanksi yang dikenakan dalam
STP adalah 2% dari DPP sesuai Pasal 14 Ayat (4) UU KUP.
7. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Sanksi yang dikenakan dalam STP sesuai Pasal 14 Ayat (5) UU KUP adalah bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal
penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan
tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Penomoran STP
Setiap STP memiliki nomor unik atau disebut nomor kohir/ketetapan. Penomoran STP ini
sama persis dengan penomoran SKP dengan format sebagai berikut : AAAAA/BBB/CC/DDD/EE.
AAAAA menunjukkan nomor urut dalam lima digit. Misalnya 00202. BBB meunjukkan kode untuk
jenis pajak. Misalnya 106 untuk PPh Badan atau 107 untuk PPN. CC menunjukkan tahun pajak.
Misal untuk tahun pajak 2012 kodenya adalah 12. DDD adalah kode KPP yang menerbitkan.
Misalnya angka 059 menunjukkan KPP PMA Enam. EE menunjukkan tahun diterbitkannya STP
tersebut. Misalnya jika STP diterbitkan tahun 2014 maka kodenya adalah 14. Nah, apabila semua
kode di atas dirangkai maka penomoran STP tersebut adalah 00202/106/12/059/14.
Untuk melunasi STP maka Wajib Pajak harus membayarnya di bank-bank yang menerima
pembayaran pajak dengan menggunakan SSP. Jangan lupa untuk mencantumkan nomor STP
dalam SSP tersebut di bagian nomor ketetapan. Kelalaian pencantuman nomor STP ini biasanya
akan mengakibatkan permasalahan di kemudian hari karena WP akan dianggap belum membayar
STP tersebut. Untuk menyelesaikannya biasanya WP harus melalui proses pemindahbukuan yang
cukup memakan waktu.
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB
dalam hal-hal sebagai berikut:
1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau
kurang dibayar;
2. apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran;
3. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan PPnBM
ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai
tarif 0% (nol persen);
4. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi
sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
5. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a) UU KUP.
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam SPT menjadi
pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam Jangka
waktu 5 (lima) tahun, setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, SKPKB tetap dapat diterbitkan
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pada bulan April 2014 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar maka sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
1. Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00
2. Pajak yang terutang
(25% x Rp100.000.000,00) Rp 25.000.000,00
3. Kredit pajak Rp 10.000.000.00 (-)
__________________
4. Pajak yang kurang dibayar Rp 15.000.000,00
5. Bunga 24 bulan
(24 x 2% x Rp 15.000.000,00) Rp 7.200.000,00 (+)
___________________
6. Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp 22.200.000,00
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak
yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan (dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sebelumnya Pasal 15 UU KUP).
Hal ini untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu SKPKB yang ternyata telah ditetapkan
lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu SKPN ditetapkan lebih rendah atau telah
dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam
SKPLB, Dirjen Pajak berwenang untuk menerbitkan SKPKBT dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak.
SKPKBT timbul karena sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak
untuk jenis pajak pada masa pajak atau tahun pajak tertentu dan ternyata terdapat data baru yang
belum terungkap pada pemeriksaan pertama sehingga perlu dilakukan pemeriksaan kedua
terhadap wajib pajak tersebut, pemeriksaan kedua ini yang menghasilkan produk SKPKBT.
SKPKBT merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. SKPKBT baru
diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk
menerbitkan SKPKBT perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya
diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan
SKPKBT. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, SKPKBT juga harus diterbitkan
berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang. Dengan demikian, SKPKBT tidak
akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak.
Penerbitan SKPKBT dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang
semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat
ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah SKPLB diterbitkan sebagai akibat telah
lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, SKPKBT diterbitkan
hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal
masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat
diterbitkannya SKPKBT, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang
diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, SKPKBT masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala
sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib
Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam SPT dan lampiran-
lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data
yang:
1. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam SPT beserta lampirannya (termasuk laporan
keuangan); dan/atau
2. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data
dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak
memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam SPT atau mengungkapkannya
pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKBT ditambah dengan sanksi administrasi 100%
dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak
pidana yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berupa pajak berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, SKPKBT tetap dapat
diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun
telah lewat.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada bab
XI mengenai pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak
ada kredit pajak (Pasal 17A UU KUP).
Menurut ketentuan ayat ini, SKPN diterbitkan untuk:
1. Pajak Penghasilan (PPh) apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang
atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah paJak
yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak
yang dipungut oleh Pemungut PPN, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara
jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai tersebut; atau
3. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) apabila jumlah pajak yang dibayar sama
dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran
pajak.
”Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual
barang yang telah disita.”
Tujuan penagihan pajak adalah agar Wajib Pajak atau Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak. Agar tujuan penagihan pajak tersebut tercapai, maka diperlukan
serangkaian tindakan yang dapat diambil oleh Jurusita Pajak mulai dari tindakan penerbitan Surat
Teguran atau sejenisnya, kemudian penyampaian surat paksa, penyampaian surat perintah
melakukan penyitaan dan pelaksanaan penyitaan, penjualan barang hasil penyitaan, sampai
dengan tindakan pencegahan bepergian ke luar negeri dan penyanderaan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU KUP, Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali,
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar
penagihan pajak. Termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan (STPPBB), untuk Pajak Bumi dan Bangunan dan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), serta Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (STB).
Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
disebutkan pengertian Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak
atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan surat ketetapan pajak atau keputusan di atas terdapat satu kesamaan yaitu
adanya jumlah pajak yang masih harus di bayar. Jumlah yang masih harus dibayar tersebut
ditetapkan jatuh tempo pembayarannya. Jika sampai dengan tanggal jatuh temponya jumlah pajak
yang masih harus dibayar tersebut belum dilunasi oleh penanggung pajak, maka akan menjadi
tunggakan Pajak. Tunggakan pajak inilah yang menjadi dasar penagihan pajak.
Jatuh Tempo pembayaran Pajak adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) UU KUP,
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Dan bagi
Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan tersebut
1. Permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak harus diajukan
secara tertulis paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran,
disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan serta jumlah utang pajak
yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran dan besarnya
angsuran; atau jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk ditunda dan jangka waktu
penundaan.
2. Jangka waktu pengajuan ini dapat dilampaui dalam hal Wajib Pajak mengalami keadaan
di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga tidak mampu melunasi utang pajak tepat pada
waktunya.
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan ini harus memberikan jaminan yang besarnya
ditetapkan dengan pertimbangan Kepala KPP, yang dapat berupa garansi bank, surat/dokumen
bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau
sertifikat deposito. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak
setelah melampaui batas waktu di atas harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar
utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran.
Kepala KPP harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
tanggal diterimanya permohonan. Jangka waktu pemberian angsuran atau penundaan
pembayaran pajak dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterbitkan
surat keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak atau paling lama sampai dengan bulan
terakhir Tahun Pajak berikutnya. Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak (kecuali atas STP), maka Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU KUP. Sanksi administrasi
ditagih dengan STP pada setiap tanggal jatuh tempo angsuran, jatuh tempo penundaan atau pada
tanggal pembayaran, namun tidak dikenakan terhadap angsuran atau penundaan atas
pembayaran STP.
D. Bunga Penagihan
Surat Tagihan Pajak (STP) Bunga/Denda Penagihan bisa dikatakan sebagai bunga atas
bunga, kenapa? karena dasar pengenaan STP adalah SKPKB atau SKPKBT, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali
yang dalam nilai ketetapan tersebut telah mengandung unsur sanksi administrasi berupa bunga.
STP Bunga/Denda Penagihan adalah timbul apabila : i) pajak yang masih harus dibayar pada saat
jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, ii) Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau
menunda pembayaran/pelunasan utang pajak, iii) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau
dikabulkan sebagian dan iv) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian.
Berdasarkan lampiran Peraturan Dirjen Pajak Nomor 25/PJ/2008 Tentang Bentuk Dan Isi
Nota Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak Dan Surat Tagihan Pajak, bagian petunjuk pengisian
nota perhitungan STP Bunga/Denda Penagihan, peruntukan Pasal 19 ayat (1) KUP dan Pasal 19
Ayat (2) KUP adalah untuk menghitung STP Bunga Penagihan dari SKPKB atau SKPKBT yang
terlambat dan/atau kurang bayar atau mendapat ijin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran/pelunasan utang pajak atau SK Keberatan, Put.Banding dan Put. Peninjauan
Kembali tahun pajak sebelum tahun 2008. Sedangkan Pasal 25 Ayat (9) KUP dan Pasal 27 Ayat
(5d) KUP adalah untuk mengenakan denda atas Surat Keputusan Keberatan tahun pajak 2008
dst. atau Putusan Banding tahun pajak 2008 dst. yang ditolak atau diterima sebagian.
Saat jatuh tempo pembayaran pajak adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
SKPKB atau SKPKBT, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan
Kembali. Tarif sanksi bunga adalah 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung
dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat
Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Jika jumlah bulan untuk menghitung sanksi bunga dalam SKP/STP adalah maksimal 24
bulan, maka dalam menghitungan sanksi bunga penagihan jumlah bulan yang dapat
diperhitungkan tidak dibatasi, artinya dapat lebih dari 24 bulan tergantung kapan Wajib Pajak
melunasi utang pajaknya atau kapan pengenaan sanksi bunga tersebut dibuat. Saat pembuatan
STP Bunga Penagihan adalah Bulan Juni dan Desember dalam setiap satu tahun dua kali.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU No. Tahun 2009 tentang KUP pengenaan sanksi
bunga penagihan hanya dapat dikenakan kepada SKPKB atau SKPKBT, SK Keberatan, SK
E. Hak Mendahulu
Hak mendahulu adalah hak khusus yang dimiliki negara terhadap hasil lelang barang-
barang milik penanggung pajak untuk pelunasan utang kepada kreditur. Jika penanggung pajak
tersebut mempunyai tunggakan pajak, maka dengan Hak Mendahulu ini, negara menjadi Kreditur
Preferen yaitu kreditur yang diutamakan pelunasannya. Hak mendahulu untuk utang pajak
melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
1. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan atau tidak bergerak;
2. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang dimaksud;
3. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Hak mendahulu juga berlaku dalam hal penyelesaian kepailitan. Dalam hal WP
dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang/badan yang ditugasi
untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta WP dalam pailit, pembubaran atau
likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut
untuk membayar utang pajak WP tersebut.
Hak Mendahulu hilang setelah melampaui 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkannya
STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
Jangka waktu daluawarsa Hak mendahulu bergeser setelah dilakukan tindakan penagihan
sebagai berikut:
1. Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka
daluwarsa dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa.
2. Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan pembayaran atau
persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu daluwarsa tersebut dihitung sejak
batas akhir penundaan diberikan.
F. Daluarsa Penagihan
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum
kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi. Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun
dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak
mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa
penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
2. Piutang pajak yang dapat dihapuskan untuk Wajib Pajak orang pribadi adalah piutang
pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena:
a) WP dan/atau PP meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan;
b) WP dan/atau PP tidak dapat ditemukan;
c) Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluarsa;
d) dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan
penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan; atau
e) hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena
kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau
berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
3. Piutang pajak yang dapat dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Wajib
Pajak badan adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena:
a) WP bubar, likuidasi , atau pailit dan PP tidak dapat ditemukan;
b) hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
c) dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan
penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan; atau
Penghapusan piutang pajak dapat dilakukan dalam hal hak menagih Dirjen Pajak telah
melampaui jangka waktu dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan STP,
SKPKB, serta SKPKBT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang tidak dapat atau tidak
mungkin ditagih lagi, Dirjen Pajak wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi
dan hasilnya dilaporkan dalam Laporan Hasil Penelitian. Laporan Hasil Penelitian tersebut harus
menggambarkan keadaan Wajib Pajak atau Piutang Pajak yang bersangkutan sebagai dasar
untuk menentukan besarnya Piutang Pajak yang tidak dapat ditagih lagi sehingga diusulkan untuk
dihapus.
Piutang Pajak hanya dapat diusulkan untuk dihapuskan setelah adanya Laporan Hasil
Penelitian dan Kepala KPP setiap akhir tahun takwim menyusun Daftar Usulan Penghapusan
Piutang Pajak berdasarkan Laporan Hasil Penelitian.
Dalam posisi yang saling berlawanan kepentingan ini, kedua pihak seringkali berbeda
pendapat dalam hal-hal tertentu. Perbedaan ini biasa disebut sengketa pajak. Sengketa pajak ini
biasanya timbul jika pihak aparat pajak mengeluarkan produk-produk hukum dalam rangka
penagihan pajak yaitu Surat Tagihan Pajak (STP) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP), baik berupa
SKPKB, SKPLB, SKPN atau SKPKBT.
Untuk menyelesaian masalah sengketa pajak ini, Undang-undang KUP telah memberikan
beberapa upaya penyelesaian sengketa pajak.
A. Pembetulan
Berdasarkan Pasal 16 Undang-undang KUP, surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dapat dibetulkan baik atas
permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan.
Adapun prosedur penyelesaian permohonan pembetulan ketetapan pajak adalah sebagai berikut :
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak
tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tiidak
bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan
oleh Dirjen Pajak. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf a UU KUP, Dirjen Pajak karena jabatan
atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib
Pajak atau bukan karena kesalahannya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a dan Pasal 36 ayat (2) UU KUP serta
aturan pelaksanaannya, bahwa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan
alasan yang jelas dan meyakinkan untuk mendukung permohonan wajib pajak.
2. Disampaikan oleh wajib pajak kepada Dirjen Pajak melalui KPP yang mengenakan sanksi
administrasi tersebut.
3. Diajukan tidak lebih jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan STP, SKPKB atau
SKPKBT, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
4. Disamping hal-hal tersebut diatas bahwa setiap permohonan pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi hanya boleh diajukan oleh wajib pajak yang tidak mengajukan keberatan
atas ketetapan pajak, dan diajukan atas STP, SKPKB, atau SKPKBT.
Sesuai Pasal 32 UU KUP, surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
harus ditandatangani oleh wajib pajak / pengurus. Apabila surat permohonan yang dimaksud tidak
ditandatangani wajib pajak / pengurus, maka harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau
atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau
membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak
pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Permohonan
pengurangan atau pembatalan tersebut harus memenuhi ketentuan :
1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) STP, atau surat ketetapan pajak termasuk surat ketetapan
pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan
hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
3. Mencantumkan jumlah pajak yang seharusnya terutang menurut penghitungan WP disertai
dengan alasan yang mendukung permohonannya;
4. Disampaikan kepada Dirjen Pajak melalui KPP tempat WP terdaftar;
5. Surat permohonan ditandatangani oleh WP, dan dalam hal surat permohonan ditandatangani
oleh bukan WP, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan WP dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan WP. Apabila jangka
waktu tersebut telah lewat dan Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang
diajukan oleh WP dianggap dikabulkan dan harus menerbitkan keputusan sesuai dengan
permohonan yang diajukan. Keputusan yang diterbitkan Dirjen Pajak dapat berupa mengabulkan
sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan WP. WP dapat meminta secara tertulis
kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar untuk menolak atau
mengabulkan sebagian permohonan WP.
Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf c uu KUP, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan
atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar.
STP yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) UU KUP adalah STP yang diterbitkan oleh Dirjen
Pajak apabila:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tapi tidak membuat Faktur Pajak atau
membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu;
5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi Faktur Pajak secara
lengkap sebagaimana yang diatur di UU PPN;
6. PKP melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
7. PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan.
Adapun STP yang bisa diproses secara jabatan oleh kantor pajak (atau kantor pajak tidak
memerlukan permohonan Wajib Pajak) untuk dapat melaksanakan pengurangan atau pembatalan
atas STP yang bersangkutan, adalah STP yang diterbitkan sebagai akibat dari:
1. Diterbitkannya surat ketetapan pajak karena PKP tidak membuat Faktur Pajak; dan
2. STP yang berkaitan dengan bunga penagihan yang berkaitan dengan surat ketetapan pajak.
Wajib Pajak dapat meminta secara tertulis kepada Dirjen Pajak mengenai alasan yang
menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak. Untuk itu
Dirjen Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis atas permintaan Wajib Pajak.
Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar
dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) STP atau Surat Ketetapan Pajak, termasuk Surat
Ketetapan Pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
a. Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
b. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan
Pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud di atas dianggap telah
dilaksanakan apabila pemeriksa pajak telah memberikan kesempatan untuk hadir kepada
Wajib Pajak dalam rangka pembahasan akhir dan Wajib Pajak tidak menggunakan hak
tersebut sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
3. Mencantumkan jumlah pajak yang seharusnya terutang menurut perhitungan Wajib Pajak
disertai dengan alasan yang mendukung permohonannya;
4. Disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
5. Dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan
harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud diatas tidak dapat
dipertimbangkan.
Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar
hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Dalam hal Wajib Pajak
mengajukan permohonan kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal keputusan Dirjen Pajak atas permohonan yang pertama dikirim.
Permohonan untuk membatalkan hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa Penyampaian
SPHP atau PAHP hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 1 (satu) kali.
Dirjen Pajak harus memberi keputusan atas permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak. Apabila jangka
waktu tersebut telah lewat dan Dirjen Pajak tidak memberi suaru keputusan, permohonan yang
diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak harus menerbitkan keputusan
sesuai dengan permohonan yang diajukan. Keputusan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dapat
berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Dirjen Pajak atas
kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mernbatalkan hasil pemeriksaan pajak
yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) atau
F. Keberatan
Apabila Wajib Pajak merasa produk hukum yang dikeluarkan oleh aparat pajak berupa
surat ketetapan pajak (SKPKB, SKPLB, SKPN dan SKPKBT) tidak semestinya dan Wajib Pajak
berpendapat lain, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak.
1. SKPKB, kecuali SKPKB berdasarkan Pasal 13A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. SKPKBT;
3. SKPN;
4. SKPLB; atau
5. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Keberatan diajukan kepada Dirjen Pajak melalui Kepala KPP dengan surat keberatan.
Surat keberatan wajib memenuhi syarat:
Saat diterimanya surat keberatan menentukan jangka waktu penerbitan keputusan atas surat
keberatan tersebut. Dalam hal surat keberatan disampaikan:
1. secara langsung adalah sesuai tanggal terima yang tercantum pada bukti penerimaan surat
yang diberikan oleh KPP;
2. melalui pos adalah sesuai tanggal stempel pos yang tercantum pada bukti pengiriman surat;
3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah sesuai tanggal pengiriman yang
tercantum pada bukti pengiriman surat; atau
4. dengan e-Filing melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP)
adalah sesuai tanggal yang tercantum pada bukti penerimaan elektronik.
G. Banding
Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat
Keputusan Keberatan. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan
apabila telah melalui proses keberatan. Badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
Menurut pengertian yang tercantum pada Pasal 1 ayat (6) UU No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak, “Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap suatau keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan
peraturan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.”
Dari pengertian tersebut bisa dijelaskan beberapa hal. Pertama, banding merupakan
suatu proses tindakan hukum yang dapat ditempuh oleh WP atau Penanggung Pajak (PP). Hal itu
berarti bahwa upaya banding harus memenuhi kaidah hukum yang berlaku – hukum pajak – baik
kaidah formal maupun kaidah material. Disini tersirat pula, bahwa banding hanya dapat diajukan
oleh WP atau PP yang bersangkutan dan tidak dapat diwakilkan, kecuali dengan menunjuk Kuasa
Hukum (yang memenuhi kriteria undang-undang) dengan Surat Kuasa Khusus. Kedua, upaya
banding hanya dapat dilakukan atas suatu keputusan yang dapat diajukan banding (menurut UU
Perpajakan). Secara umum, banding hanya dapat diajukan atas Keputusan Keberatan yang
diterbitkan oleh fiskus yang masih mengandung sengketa antara WP dengan fiskus. Beberapa hal
pokok tersebut diatas cukup menunjukan hubungan erat antara proses banding dengan
keberatan. Bahkan, lebih jauh lagi akan tampak kaitan antara proses banding dengan
pemeriksaan. Sebab, bagaimanapun sengketa pajak yang diajukan bandingnya oleh WP timbul
dari hasil pemeriksaan pajak oleh fiskus.
Ketentuan formal mengenai pelaksanaan banding diatur dalam ketentuan Pasal 27 UU KUP jo.
UU Pengadilan Pajak, yang bisa diuraikan sebagai berikut :
1. WP dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak
terhadap keputusan keberatan yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
2. Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.
Prosedur dan Tata Cara banding, termasuk batasan jangka waktunya, telah ditetapkan di dalam
ketentuan UU Pengadilan Pajak. Lihat gambar 2 yang mengilustrasikan proses pelaksanaan
banding, dimulai dari terbitnya SKP sampai ke Putusan Banding.
Gambar 2
Proses Pelaksanaan Banding
Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU Pengadilan Pajak telah ditegaskan, bahwa Pengadilan
Pajak tetap akan melanjutkan pemeriksaan banding meskipun fiskus tidak menyerahkan Surat
Uraian banding (SUB) atau Surat Tanggapan dan WP Pemohon Banding tidak menyampaikan
Surat Bantahan. Hal itu bisa diartikan, pembuatan SUB oleh fiskus maupun Surat Bantahan oleh
WP bukan merupakan suatu keharusan. Namun, baik SUB maupun Surat Bantahan sebenarnya
sangat penting. Sebab, keduanya bisa menjadi saran untuk saling menyampaikan pendapat,
argumen, dan bukti-bukti dari masing-masing pihak yang bersengketa. Secara tidak langsung hal
itu dapat membentuk opini yang benar di mata Majelis atau Hakim Pengadilan Pajak yang
menangani sengketa.
Catatan:
Maksud singkatan PP diatas adalah Pengadilan Pajak
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU KUP, gugatan adalah upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh WP atau penanggung pajak (PP) terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau
terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan Pajak sesuai
dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.
Pemprosesan Gugatan
1. Gugatan diajukan dengan Surat Gugatan dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
2. Ditujukan kepada Pengadilan Pajak dengan melampirkan:
a. Salinan keputusan yang digugat;
b. Data dan bukti-bukti pendukung lainnya;
c. Surat Kuasa bermeterai cukup, bila diwakili oleh kuasanya.
Pencabutan Gugatan
1. Terhadap Gugatan dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak.
2. Gugatan yang dicabut tersebut, dihapus dari daftar sengketa melalui penetapan Ketua dalam
hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan dan putusan
Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan
dalam sidang atas persetujuan tergugat.
3. Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tersebut, tidak dapat diajukan
kembali.
Pengecualian
1. Pengajuan Gugatan atas pelaksanaan penagihan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
tidak mengikat apabila dalam jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan
diluar kekuasaan penggugat.
2. Pengajuan Gugatan selain atas pelaksanaan penagihan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari tidak mengikat apabila dalam jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaan penggugat.
Proses akhir dari pengadilan pajak adalah putusan pengadilan pajak yang merupakan
putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, pengadilan pajak juga dapat
mengeluarkan putusan sela atas gugatan berkenaan dengan permohonan penggugat agar tindak
lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang
berjalan, sampai ada putusan pengadilan pajak. Putusan pengadilan pajak dapat berupa
menolak, mengabulkan sebagian atau seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar,
tidak dapat diterima, membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau
membatalkan. Jika putusan pengadilan tidak/kurang memuaskan, sesuai dengan Pasal 77 ayat 3
UU Pengadilan pajak, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas
putusan pengadilan pajak ke Mahkamah Agung. Berikut adalah hal-hal yang terkait dengan
permohonan peninjauan kembali, antara lain:
1. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung
melalui Pengadilan Pajak.
2. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
putusan Pengadilan Pajak.
3. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah
dicabut, permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.
4. Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara
pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-
undang ini.
5. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut (Pasal 91 Jo Pasal 92 UU Nomor 14 TAHUN 2002 Jo SE - 17/PJ/2003) :
a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, maka permohonan Peninjauan
Kembali diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pengadilan pidana
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila
diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang
berbeda, permohonan Peninjauan Kembali diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal
ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut,
kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c UU No 14 TAHUN
2002, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.
d. Apabila mengenai suatu bagian dan tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pengajuan permohonan peninjauan
kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.
6. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali dengan
ketentuan :
Pengembalian pajak (restitusi) merupakan salah satu hak Wajib Pajak yang dijamin oleh
Undang-undang Perpajakan. Klaim terhadap pengembalian oleh Wajib Pajak pada umumnya
disebabkan karena terjadinya kelebihan pembayaran dan/atau pemotongan pajak dalam tahun
berjalan di atas pajak yang terutang. Dalam konteks PPN, kelebihan pembayaran pada umumnya
disebabkan oleh karena kelebihan Pajak Masukan dibandingkan Pajak Keluaran. Kelebihan
pembayaran bisa disebabkan pula karena danya pembayaran atau pemotongan pajak yang
semestinya tidak terutang.
Ketentuan tentang pengembalian pajak ini pada umumnya diatur dalam Undang-undang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Namun demikian, Undang-undang Nomor 42 Tahun
2009 yang merupakan perubahan terakhir atas Undang-undang PPN 1984 memberikan landasan
hukum pengembalian yang melengkapi apa yang sudah diatur dalam Undang-undang Ketentuan
Umum dan Tatacara Perpajakan.
Skema pengembalian pajak ini berlandaskan ada ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-
Undang KUP. Pengembalian pajak dilakukan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar (SKPLB) yang didahului dengan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan (SPT) yang
berstatus nihil, SPT kurang bayar atau SPT yang sebenarnya menyatakan lebih bayar tetapi atas
lebih bayar tersebut Wajib Pajak tidak memohon untuk dikembalikan.
Apabila setelah terbit SKPLB, Wajib Pajak menghendaki pengembalian kelebihan pajak, maka
Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan secara tertulis. Mungkin karena hal ini, maka
Direktur Jenderal Pajak tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan pajak atas SPT yang lebih
bayar dalam jangka waktu yang ditentukan seperti SPT LB yang sedari awal memang mengajukan
permohonan pengembalian.
Direktur Jenderal Pajak diberikan waktu selama 12 bulan sejak permohonan diterima
lengkap untuk menyelesaikan permohonan pengembalian tersebut. Dengan kata lain, Dirjen Pajak
harus menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 12 bulan tersebut. Apabila tidak,
permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Dirjen Pajak harus menerbitkan SKPLB yang
sama dengan lebih bayar yang diminta oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak
berakhirnya jangka waktu 12 bulan di atas. Keterlambatan penerbitan SKPLB dalam jangka waktu
12 bulan menimbulkan hak Wajib Pajak mendapatkan imbalan bunga.
Seperti yang kita ketahui, Perpajakan di Indonesia salah satunya menerapkan sistem
pemungutan dan pemotongan atas pajak yang terutang bagi pihak lain (Withholding Tax). Dalam
menjalankan sistem Withholding Tax, Wajib Pajak diberikan kewajiban untuk memotong,
menyetorkan dan melaporkan bukti pemotongan atas pajak dari pihak lain yang merupakan lawan
transaksinya. Pada prakteknya, seringkali dijumpai perbedaan penafsiran ataupun kekeliruan
dalam mengintepretasikan ketentuan perpajakan yang berujung pada kesalahan dalam
melakukan penghitungan ataupun pemotongan pajak pihak lain tersebut. Jika terjadi kesalahan
dalam pemungutan atau pemotongan pajak yang telah dilakukan oleh pihak lain (Wajib Pajak
yang merupakan lawan transaksinya) tersebut, bagaimanakah sikap yang dapat diambil oleh
Wajib Pajak yang telah dipungut atau dipotong pajaknya dengan tidak sesuai tersebut?
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara
Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang, Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak tersebut kepada
Direktur Jenderal Pajak
Pembayaran Pajak yang Bukan Merupakan Obyek Pajak yang Terutang atau yang
Seharusnya Tidak Terutang dapat berupa:
1. Pembayaran pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang;
2. Pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan;
3. Pembayaran pajak yang seharusnya tidak dibayar; atau
4. Pembayaran pajak terkait dengan permintaan penghentian penyidikan tindak pidana dibidang
perpajakan seperti yang dimaksud dalam pasal 44B UU KUP yang tidak disetujui
Atas kelebihan pembayaran pajak seperti yang disebutkan diatas dapat diajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Akan tetapi perlu untuk diperhatikan,
bahwa pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut yang bukan merupakan obyek pajak
atau yang seharusnya tidak terutang dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan berikut ini:
1. Pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor ke kas negara; dan
2. Pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud pada
huruf a tidak dikreditkan dalam SPT.
Permohonan pengambalian atas kelebihan pembayaran pajak yang terjadi dalam hal
yang disebutkan diatas dapat diajukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan (Wajib Pajak yang
membayarkan pajak tersebut), baik Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi
Jika terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan obyek pajak yang terutang atau
yang seharusnya tidak terutang, maka pada saat melakukan permohonan harus melampirkan
dokumen berupa:
1. Asli bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak;
2. Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
3. Alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang.
2. Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai, pengembalian tersebut dapat diberikan apabila memenuhi
ketentuan:
Pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
Pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dikreditkan dalam
SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan,
atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;
Pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh pemungut dalam SPT Masa PPN Wajib Pajak
Pemungut; dan
Pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.
3. Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan pemungutan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah pengembalian tersebut dapat diberikan apabila
memenuhi ketentuan:
Pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke kas negara;
Pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dibiayakan dalam
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipungut atau tidak dikapitalisasi
dalam harga perolehan;
Pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh pemungut dalam SPT Masa PPN Wajib Pajak
pemungut; dan
Pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP.
4. Dalam hal pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang terkait dengan pemotongan
atau pemungutan pajak terhadap WPLN, pengembalian tersebut dapat diberikan apabila
memenuhi ketentuan:
Pajak yang seharusnya tidak terutang yang telah dibayar atau disetor ke kas negara; dan
Pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud
pada huruf a telah dilaporkan dalam SPT Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut.
Apabila pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dilaporkan,
Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan pemungutan, tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut
tersebut. Akan tetapi, permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang dapat
dilakukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan pemungutan dapat dalam hal:
Pihak yang dipotong atau dipungut merupakan orang pribadi atau badan yang tidak
diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau;
Pihak yang dipotong atau dipungut merupakan WPLN yang tidak menjalankan kegiatan atau
usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
Pemotongan atau pemungutan PPh yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong
atau dipungut lebih besar daripada yang seharusnya dipotong atau tidak dipungut;
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan
subjek pajak;
Pemungutan PPN yang seharusnya tidak dipungut; atau
Pemungutan PPnBM yang seharusnya tidak dipungut.
Sementara itu aturan mengenai ketentuan yang harus dipenuhi sehingga pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan kepada Wajib Pajak, pihak yang dapat mengajukan
permohonan serta mekanisme pengajuan permohonan serta dokumen yang harus dilampiri dalam
surat permohonan, yang terkait pengembalian kelebihan pembayaran pajak akibat kesalahan
pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak tersebut sama dengan aturan
yang telah dibahas pada bahasan sebelumnya yaitu aturan tentang permohonan pengembalian
pajak atas kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong
atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut.
Atas kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan pajak impor seperti yang disebutkan diatas
dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Akan tetapi,
pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat diberikan apabila memenuhi ketentuan
berikut ini:
Pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor ke kas negara;
Dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor terkait dengan PPh Pasal 22 impor, pajak
tersebut tidak dikreditkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
Dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor terkait dengan PPN impor, pajak tersebut
tidak dikreditkan dalam SPT Masa PPN, tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan
Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan; dan
Dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor terkait dengan PPnBM impor, pajak tersebut
tidak dibebankan sebagai biaya dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan atau tidak
dikapitalisasi dalam harga perolehan.
Permohonan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan berdomisili dalam hal orang pribadi
atau badan tersebut tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Dalam hal untuk melakukan Verifikasi diperlukan tambahan dokumen pendukung lainnya yang
terkait dengan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen tersebut kepada Wajib Pajak
yang mengajukan permohonan.
Dalam hal permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang diajukan oleh orang
pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Surat Ketetapan
Berdasarkan Pasal 17C Undang-undang KUP, kepada Wajib Pajak yang memenuhi
kriteria tertentu dapat diberikan pengembalian pendahuluan. Penetapan sebagai Wajib Pajak
Dengan Kriteria Tertentu dilakukan berdasarkan permohonan dari Wajib Pajak atau berdasarkan
kewenangan Direktur Jenderal Pajak secara jabatan yang diajukan paling lambat tanggal 10
Januari pada tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu. Penerbitan keputusan
penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau pemberitahuan, dilakukan paling lama 1 (satu) bulan
setelah diterimanya permohonan penetapan. Apabila sampai dengan batas waktu Direktur
Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan atau pemberitahuan, permohonan Wajib Pajak
dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penetapan Wajib Pajak
Kriteria Tertentu. Keputusan penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan sampai dengan dilakukan pencabutan penetapan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Untuk mendapatkan pengembalian pendahuluan ini, Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
tertentu terlebih dahulu mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak. Atas permohonan tersebut, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian.
Produk hukum yang diterbitkan setelah melakukan penelitian ini adalah Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang harus diterbitkan dalam jangka
waktu 1 bulan untuk jenis pajak PPN atau 3 bulan untuk jenis pajak PPh, sejak permohonan
diterima lengkap. SKPPKP tidak diterbitkan apabila hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar,
SPT beserta lampiran SPT tidak lengkap, penulisan dan penghitungan pajak tidak benar, Kredit
Pajak atau Pajak Masukan berdasarkan hasil konfirmasi dalam sistem aplikasi DJP atau
konfirmasi dengan menggunakan surat tidak benar; atau pembayaran pajak tidak benar.
Terhadap pengembalian pendahuluan yang telah diberikan kepada Wajib Pajak, Dirjen
Pajak dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak dengan catatan jika
yang diterbitkan adalah SKPKB, maka jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi
administrasi kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebelumnya harus ditetapkan dulu oleh
Dirjen Pajak. Selanjutnya Wajib Pajak ini dinamakan Wajib Pajak Patuh. Adapun kriteria yang
harus dipenuhi agar dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria ini tertentu adalah :
1. penyampaian SPT Tahunan selama 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir yang wajib disampaikan
sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
dilakukan tepat waktu;
2. penyampaian SPT Masa yang terlambat dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih
dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;
3. seluruh SPT Masa dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan
Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November telah disampaikan; dan
4. SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada angka 2 telah disampaikan tidak
lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa Masa Pajak berikutnya.
Pencabutan keputusan penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
Berdasarkan Pasal 17D Undang-undang KUP, kepada Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu dapat diberikan pengembalian pendahuluan. Untuk mendapatkan
pengembalian pendahuluan ini, Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu terlebih dahulu
mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Atas permohonan tersebut, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian. Produk hukum
yang diterbitkan setelah melakukan penelitian ini adalah Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) yang harus diterbitkan paling lama:
1. 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk permohonan
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan orang pribadi;
2. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk permohonan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan badan; dan
3. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk permohonan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, sejak permohonan diterima
lengkap.
SKPPKP tidak diterbitkan apabila hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat kelebihan
pembayaran pajak, Surat Pemberitahuan beserta lampirannya tidak lengkap, penulisan dan
Terhadap pengembalian pendahuluan yang telah diberikan kepada Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak dengan
catatan jika yang diterbitkan adalah SKPKB, maka jumlah kekurangan pajak ditambah dengan
sanksi administrasi kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Nah, siapakah Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu ini? Jawabnya ada di Pasal 17D ayat (2)
Undang-undang KUP dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata
Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Bagi Wajib Pajak Yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu, yaitu :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih
bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
3. Wajib Pajak badan yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar
restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah); atau
4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih
bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu dan ditetapkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah diberikan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan
pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada setiap Masa Pajak.
Untuk ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah, PKP harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, Pengusaha Kena Pajak
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Pengusaha Kena Pajak merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan
pada angka 1 sampai dengan angka 5
2. Pengusaha Kena Pajak pabrikan atau produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai selama 12 (dua belas) bulan
terakhir dengan tepat waktu;
3. Pengusaha Kena Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
4. Pengusaha Kena Pajak tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, Pengusaha Kena Pajak
mengajukan permohonan ke KPP tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Berdasarkan hasil
penelitian, Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan berupa:
Keputusan diberikan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap. Keputusan penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah mulai berlaku sejak
tanggal ditetapkan sampai dengan dilakukan pencabutan penetapan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ada hal baru alam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yaitu adanya ketentuan resitusi
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi pemegang paspor luar negeri atas PPN yang sudah dibayar
untuk pembelian barang kena pajak yang akan dibawa ke luar Indonesia. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 16E ayat (1) sampai dengan ayat (5) Undang-undang PPN 1984. Dengan bahasa
yang berbeda, hal yang sama juga diatur dalam Pasal 17E Undang-undang KUP.
Pasal 16E ayat (2) UU PPN 1984 memberikan persyaratan PPN dan PPnBM yang dapat
direstitusi atau diminta kembali, yaitu :
1. Nilai PPN minimal Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah;
2. Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
3. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN,
kecuali pada kolom NPWP dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat
lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang
paspor luar negeri yang tidak mempunyai NPWP.
Pasal 16E ayat (3) UU PPN 1984 mengatur tentang mekanisme bagaimana pemegang
paspor luar negeri dapat melakukan restitusi PPN dan PPnBM. Berdasarkan ketentuan ini,
permintaan kembali dilakukan pada saat pemegang paspor luar negeri tersebut meninggalkan
Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang berada di bandara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Adapaun bandara yang
telah ditetapkan adalah bandara Soekarno Hatta Jakarta dan bandara Ngurah Rai Denpasar.
(Keputusan Menteri Keuangan Nomor 141/KMK.03/2010), bandara Adisutjipto Yogyakarta
(Keputusan Menteri Keuangan Nomor 427/KMK.03/2010), serta bandara Juanda Surabaya dan
Polonia Medan (Keputusan Menteri Keuangan Nomor 287/KMK.03/2011).
Adapun dokumen yang harus ditunjukkan pada saat melakukan permintaan kembali atas PPN dan
PPnBM yang sudah dibayar, sesuai dengan ketentuan Pasal 16E ayat (4) UU PPN 1984 adalah :
1. paspor;
2. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
3. Faktur Pajak.
Faktur Pajak dalam rangka pengembalian PPN untuk pemegang paspor luar negeri
adalah Faktur Pajak Khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
76/PMK.03/2010 yang diperoleh dari toko retail yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak ketika
pemegang paspor luar negeri membeli Barang Kena Pajak. Beberapa toko retail yang sudah
ditunjuk adalah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-347/PJ/2010
dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-386/PJ/2010.
Pengembalian dapat dilakukan secara tunai dan dalam mata uang Rupiah dalam hal nilai
pembayaran nilai pembayarannya paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sampai
Sejak terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, dan
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, skema pengembalian pajak menjadi semakin kaya.
A. Ruang Lingkup
Dulu ada yang berpendapat, kalau Wajib Pajak yang diperiksa memilki uang untuk
membayar hasil pemeriksaan dan Wajib Pajak yakin bahwa di tingkat banding bisa menang, maka
lebih baik bayar 100% hasil pemeriksaan. Kemudian keberatan, dan banding ke Pengadilan
Pajak. Anggap saja pembayaran tersebut investasi karena setelah banding akan keluar restitusi
sejumlah uang yang kita investasikan ditambah imbalan bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan.
Artinya, setahun dapat imbalan bunga 24%. Adakah bank yang bisa memberikan bunga deposito
sebesar itu? Apakah benar begitu perhitungannya? Mari kita kupas bersama!
Imbalan bunga yang terkait dengan PPh, PPN, dan PPnBM untuk Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal
terdapat:
1. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) UU KUP;
2. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17B ayat (3) UU KUP;
3. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17B ayat (4) UU KUP;
4. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau
permohonan peninjauan kembali, terkait dengan SKPKB, SKPKBT, SKPN, dan SKPLB yang
dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1) UU
KUP;
5. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang
mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27A ayat (1a) UU KUP, kecuali:
a. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan yang terkait dengan
Persetujuan Bersama; atau
b. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP;
6. kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat (4) UU KUP dan/atau
bunga Pasal 19 ayat (1) UU KUP karena Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi
atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27A ayat (2) UU KUP.
Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada angka 4
diberikan terbatas pada kelebihan pembayaran pajak karena:
a. pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan
sebagian atau seluruhnya atas SKPKB yang seluruhnya tidak disetujui oleh Wajib Pajak
dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang diterbitkan atas SPT yang menyatakan
lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) Peraturan Pemerintah;
b. pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan
sebagian atau seluruhnya atas SKPN yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam
Imbalan bunga yang terkait dengan PPh, PPN, dan PPnBM untuk Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2001 sampai dengan 2007 diberikan kepada Wajib Pajak dalam
hal terdapat:
a. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) UU KUP 2000;
b. keterlambatan penerbitan SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (3) UU KUP
2000;
c. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan atau permohonan banding terkait
dengan SKPKB atau SKPKBT, diterima sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27A ayat (1) UU KUP 2000, termasuk kelebihan pembayaran pajak sebagai
akibat permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya untuk Putusan
Peninjauan Kembali yang diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2012, selama pajak yang masih
harus dibayar dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar dan menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak;
d. kelebihan pembayaran sanksi administrasi Pasal 14 ayat (4) UU KUP 2000 dan/atau Pasal 19
ayat (1) Undang Undang KUP 2000 karena Keputusan Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (2) UU KUP 2000.
Imbalan bunga yang terkait dengan PPh, PPN, dan PPnBM untuk Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 1995 sampai dengan 2000 diberikan kepada Wajib Pajak dalam
hal terdapat:
a. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) UU KUP 1994;
b. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17B ayat (3) UU KUP 1994;
c. kelebihan pembayaran pajak yang timbul karena pengajuan keberatan atau permohonan
banding atas SKPKB, SKPKBT, SKPN, dan SKPLB, diterima sebagian atau seluruhnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A UU KUP 1994, termasuk kelebihan pembayaran
pajak sebagai akibat permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya
untuk Putusan Peninjauan Kembali yang diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2012, selama
pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar dan menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak.
Imbalan bunga yang terkait dengan PBB untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya
diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat keterlambatan pengembalian kelebihan
pembayaran PBB sebagai akibat adanya Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran PBB.
Imbalan bunga yang terkait dengan PBB untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya diberikan
kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran PBB
sebagai akibat adanya Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran PBB, Keputusan Keberatan,
Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, Surat Keputusan Pembetulan PBB, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi PBB atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi PBB, Surat Keputusan Pengurangan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atau
Batas waktu penerbitan SKPKPP atau SKPPIB di atas paling lama 1 (satu) bulan sejak:
1. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan
diterbitkannya SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP;
2. diterbitkan SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B UU KUP;
3. diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D UU KUP, termasuk untuk Wajib Pajak risiko
rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN;
4. diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
atau SKPIB, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak; atau
5. diterima Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan, yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak.
Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27A ayat (1a) UU KUP diberikan sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dihitung sejak:
1. tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, untuk SKPKB dan SKPKBT;
Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda Pasal 14
ayat (4) UU KUP dan/atau bunga Pasal 19 ayat (1) UU KUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) huruf f diberikan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah kelebihan pembayaran
pajak, untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung sejak tanggal pembayaran
pajak yang menyebabkan kelebihan pembayaran sanksi administrasi sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena permohonan peninjauan kembali
dikabulkan atas Putusan Banding yang Putusan Bandingnya menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah diberikan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah
kelebihan pembayaran pajak, untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung sejak
tanggal pembayaran berdasarkan Putusan Banding sampai dengan diterbitkannya Putusan
Peninjauan Kembali.
Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena kelebihan pembayaran pajak
karena pengajuan keberatan atau permohonan banding terkait dengan SKPKB atau SKPKBT,
diterima sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1) UU KUP
2000, termasuk kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat permohonan peninjauan kembali
dikabulkan sebagian atau seluruhnya untuk Putusan Peninjauan Kembali yang diterbitkan sejak
tanggal 1 Januari 2012, selama pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB dan SKPKBT telah
dibayar dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak diberikan sebesar 2% (dua persen) per
bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak
yang dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran sanksi administrasi Pasal 14 ayat (4) UU KUP
2000 dan/atau Pasal 19 ayat (1) Undang Undang KUP 2000 karena Keputusan Pengurangan atau
Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (2) UU KUP 2000 diberikan sebesar 2%
(dua persen) per bulan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak, untuk paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan yang dihitung sejak tanggal pembayaran pajak yang menyebabkan kelebihan
pembayaran sanksi administrasi sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan
Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat
diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat permohonan peninjauan
kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya untuk Putusan Peninjauan Kembali yang diterbitkan
sejak tanggal 1 Januari 2012, selama pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB dan
SKPKBT telah dibayar dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak diberikan sebesar 2%
(dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kelebihan
pembayaran pajak yang dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Putusan Banding.
Imbalan bunga atas keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (3) UU KUP 1994 diberikan sebesar 2% (dua
persen) per bulan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dihitung sejak jangka waktu 1
(satu) bulan untuk penerbitan SKPLB sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat
(2) UU KUP 1994 berakhir sampai dengan diterbitkannya SKPLB.
Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak yang timbul karena pengajuan
keberatan atau permohonan banding atas SKPKB, SKPKBT, SKPN, dan SKPLB, diterima
sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A UU KUP 1994 diberikan
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah
kelebihan pembayaran pajak yang dihitung sejak:
1. tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, untuk SKPKB dan
SKPKBT;
2. tanggal penerbitan SKPN dan SKPLB sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding.
Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat permohonan peninjauan
kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya untuk Putusan Peninjauan Kembali yang diterbitkan
sejak tanggal 1 Januari 2012, selama pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB dan
SKPKBT telah dibayar dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak diberikan sebesar 2%
(dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kelebihan
pembayaran pajak yang dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Putusan Banding.
Masa imbalan bunga dihitung berdasarkan satuan bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan. Pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak harus diperhitungkan terlebih dahulu
dengan utang pajak yang diadministrasikan di KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau PKP
dikukuhkan, termasuk di KPP tempat Wajib Pajak cabang terdaftar dan di KPP tempat objek pajak
PBB terdaftar.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan tata Cara
Perpajakan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang nomor 8 Tahun 1983 Tentang PPN dan PPnBM.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 Tentang Tata Cara
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara
Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan Atau Pembatalan
Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 Tentang Tata Cara
Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara
Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara
Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-01/PJ./2019 Tentang Tata Cara
Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Dalam Rangka Ekstensifikasi.
Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-02/PJ./2019 Tentang Tata Cara
Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan.
Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-03/PJ./2015 Tentang Penyampaian Surat
Pemberitahuan Elektronik.
Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ./2013 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-20/PJ./2013 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan
Pemberian NPWP, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengusaha Kena Pajak Serta
Perubahan data dan Pemindahan Wajib Pajak.
Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-02/PJ./2018 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-20/PJ./2013 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan
Pemberian NPWP, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ./2009 Tentang Bentuk Formulir
Surat Setoran Pajak.
Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-36/PJ/2015 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ./2010 Tentang Bentuk Formulir
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib
Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya.
Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-05/PJ./2017 Tentang Pembayaran Pajak
Secara Elektronik.
Republik Indonesia, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-01/PJ./2016 Tentang Tata Cara
Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Republik Indonesia, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-44/PJ/2015 Tentang Struktur
Penomoran Nomor Pokok Wajib Pajak dan Penerapan Nomor Pokok Wajib Pajak.