You are on page 1of 57

MAKALAH

GANGGUAN PADA SISTEM KARDIOVASKULER

Disusun oleh:
Erie Meilani C1AB23015

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN SUKABUMI
Jl. Karamat No. 36, Karamat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat 4312
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Illahi Rabbi karena berkat rahmat
dan karuniaNya, dengan didorong semangat dan daya upaya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Gangguan pada sistem kardiovaskuler
Adapun makalah ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa
agar dapat menunjang proses pembelajaran kami mengakui bahwa pembuatan
makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran sangat
diperlukan untuk membangun dan memberikan kamisebuah masukan untuk dapat
menjadi yang lebih baik lagi.
Semoga makalah yang kami buat dengan sederhana ini dapat berguna bagi
para pembaca sekalian.

Sukabumi, juli 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN TEORI ................................................................................. 5
2.1 Konsep Kardiovaskuler .................................................................................. 5
2.1.1 Definisi ....................................................................................... 5
2.1.2 Perkembangan Sistem Kardiovaskuler ........................................... 6
2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Kardiovaskuler ........................................... 6
2.2 Konsep CHF .................................................................................................. 21
2.2.1 Definisi CHF ..................................................................................... 21
2.2.2 Anatomi Fisiologi ............................................................................ 22
2.2.3 Patofisiologi ...................................................................................... 26
2.2.4 Etiologi .............................................................................................. 31
2.2.5 Manifestasi klinis ............................................................................. 31
2.2.6 Komplikasi ........................................................................................ 32
2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik .................................................................. 33
2.2.8 Penatalaksanaan Medis.................................................................... 34
2.3 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan ............................................................ 5
2.3.1 Pengkajian ........................................................................................... 5
2.3.2 Diagnosa Keperawatan .................................................................... 14
2.3.3 Intervensi ........................................................................................... 15
2.3.4 Implementasi ..................................................................................... 28
2.3.5 Evaluasi ............................................................................................. 28
2.4 Konsep Hipertensi......................................................................................... 29
2.4.1 Definisi .............................................................................................. 29

iii
2.4.2 Etiologi .............................................................................................. 29
2.4.3 Patofisiologi ...................................................................................... 30
2.4.4 Manifestasi klinis ............................................................................. 32
2.4.5 Pemeriksaan diagnostik ................................................................... 32
2.4.6 Pemeriksaan penunjang ................................................................... 32
2.4.7 Penatalaksanan medis ...................................................................... 33
2.4.8 Terapi medis ..................................................................................... 34
2.4.9 Komplikasi ........................................................................................ 34
2.4.10 Penatalaksanaan medis .................................................................... 36
2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Penderita Hipertensi ....................... 41
2.5.1 Pengkajian Keperawatan ................................................................. 41
2.5.2 Kemungkinan Diagosa Keperawatan ............................................ 43
2.5.3 Intervensi ........................................................................................... 43
2.5.4 Evaluasi ............................................................................................. 51
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 52
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 53

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kardiovaskular dapat berasal dari aneurisma, shunts, emboli,
pelepasan enzim maupun protein jantung, stenosis, thrombus, dan
inkompetensi katub (Kowalak, 2014: 139). Terdapat beberapa macam kelainan
seperti penyakit jantung koroner, infark miokard, gagal jantung, kardiomiopati,
kelainan katup jantung, penyakit jantung rematik, thrombosis, endocarditis,
atherosclerosis (Rony, Setiawan, Fatimah, 2009: 47) yang menyebabkan
perubahan-perubahan dalam fungsi jantung. Perubahan fungsi jantung ini
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan akan oksigen dan nutrisi pada
jaringan tubuh.
Adapun faktor yang memperburuk penyakit kardiovaskular (Syamsudin,
2011: 45) seperti kebiasaan merokok yang diakibatkan karena zat nikotin yang
terkandung dalam asap rokok dapat berpengaruh terhadap penumpukan lemak
dalam pembuluh darah, status sosial ekonomi yang rendah dapat berpengaruh
terhadap tingkat stress, pola makan yang tidak terkontrol, tidak diimbangi
dengan aktivitas yang cukup sehingga menyebabkan obesitas dan hipertensi
yang dapat menyebabkan kerja jantung semakin kuat (Azam, Farahdika, 2015:
2). Hal ini dapat menjadi masalah serius bahkan dapat menyebabkan kematian
apabila tidak ditangani dengan tepat. Menurut data American Heart
Association (2015), angka kematian penyakit kardiovaskular di Amerika
Serikat sebesar 31, 3%. Lebih dari 5 juta penduduk US mengalami penyakit
kardiovaskular, dan 550. 000 kasus baru ditemukan tiap tahunnya (Smeltzer,
et. al. , 2010: 210). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2013: 90)
Hasil menunjukkan prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia
seperti jantung koroner yang didiagnosis atau dengan gejala sebesar 1, 5% dan
gagal jantung yang didiagnosis atau dengan gejala sebesar 0, 3%. Prevalensi
penyakit kardiovaskular terus meningkat seiring bertambahnya usia.
Dalam laporan World Health Organization (WHO) Expert Consultation
Geneva pada tahun 2001, diperkirakan 12 juta penduduk dunia menderita

1
Demam Rematik (DR) dan Penyakit Jantung Rematik (PJR), dan paling tidak
3 juta diantaranya menderita penyakit jantung kongestif. pada tahun 2000,
dilaporkan angka kematian akibat PJR bervariasi di setiap negara, mulai dari
1, 8 per 100. 000 penduduk di Amerika hingga 7, 6 per 100. 000 penduduk di
Asia Tenggara Prevalensi DR di Indonesia belum diketahui secara pasti. Dalam
beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi
PJR berkisar antara 0, 3-0, 8 per 1. 000 anak sekolah
(Hasnul, 2015: 895). Prevalensi kasus gagal jantung kongestif di
Indonesia terutama di Yogyakarta sebanyak 3. 459 orang pada tahun 2012
dengan pasien rawat inap yang mengalami GJK sebanyak 401 orang. Berbagai
terapi seperti terapi farmakologi dan non farmakologi hanya mampu
mengurangi gejala pada gagal jantung kongestif, sehingga akan mempengaruhi
kualitas hidup pasien (Raghu et al, 2010; Dimos et al, 2009 dalam Akhmad,
2016: 28).
Keadaan patologis gagal jantung seperti kerusakan struktur dan fungsi
jantung secara tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup pasien tetapi sudah
diawali saat timbulnya tanda dan gejala penyakit. Gejala utama seperti sesak
napas dan kelelahan, serta tingginya angka rehospitalisasi dan mortalitas dapat
menyebabkan keterbatasan fungsional, sehingga mempengaruhi kualitas hidup
pasien. Keterbatasan fungsional ini merujuk pada keterbatasan fisik, sosial,
fungsi peran dan fungsi mental sebagai dampak dari penyakit jantung
(Tatukude, 2016: 116). Menurut Widmar (2005) dalam Hwang (2012: 27)
menuliskan bahwa klien yang mengalami gangguan sistem kardiovaskuler
akan mengalami masalah psikososial dan penurunan kualitas hidup. Ini
dikarenakan dampak hospitalisasi pada penderita yang menderita
kardiovaskular dapat merubah perilaku normal tidak hanya pada penderita,
tetapi juga keluarga seperti kurangnya privasi yang menimbulkan rasa tidak
nyaman, mengalami perubahan pola gaya hidup, perubahan otonomi diri dalam
menerima tindakan medis, perubahan peran dalam keluarga hingga masalah
ekonomi (Asmadi, 2008: 64).
Kualitas hidup yang baik ditemukan pada seseorang yang dapat
menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan sehari-hari dengan baik,

2
sesuai tahap perkembangannya. Menurut Renwick, Brown, dan Nagler (1996)
dalam Primadi dan Hajam (2010: 124), kualitas hidup individu dapat dilihat
dari lima hal, yaitu produktivitas kerja, kapabilitas intelektual, stabilitas emosi,
perannya dalam kehidupan sosial, serta ditunjukkan dengan adanya kepuasan
hidup yang baik dari segi materi maupun non-materi. Penderita kardiovaskular
cenderung mengalami perubahan respon fisiologis dan psikologis yang yang
dapat mengganggu proses kehidupan. Adanya perubahan fisiologis dan kondisi
kronis terhadap kesehatan sangat berpengaruh terhadap perubahan kualitas
hidup seseorang (Black & Hawks, 2009: 252), namun secara tidak langsung
dapat juga memengaruhi perubahan kualitas hidup yang diawali dengan
timbulnya keterbatasan fungsional hingga distres bagi penderita. Keterbatasan
fungsional yang merujuk pada keterbatasan fisik, sosial, fungsi peran, dan
fungsi mental (Effendi, Makhfudli, 2009: 43) sebagai dampak dari salah satu
penyakit kardiovaskular.
Pencegahan agar tidak terulangnya kembali serangan jantung, pasien
kardiovaskular perlu melakukan perubahan gaya hidup yang cukup masif.
Seperti perubahan dalam pola diet, kebiasaan merokok, pembatasan aktivitas,
serta pengendalian stres dan kecemasan. Kondisi ini justru dapat memicu
timbulnya distres baru, ditambah lagi perubahan dalam kondisi fisik dan
perubahan peran yang terjadi akibat sakit yang berkepanjangan. Beberapa
penelitian mengungkapkan bahwa stress, depresi, rendahnya dukungan sosial
dan spiritual dapat meningkatkan perburukan kondisi penyakit pada pasien
kardiovaskular (Nuraeni et al. , 2013: 108).
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara status sosiodemografi dan psikososial pasien kardiovaskular dengan
kualitas hidup. Terjadi peningkatan kualitas hidup pada pasien yang masih
tetap bekerja, menikah, aktif secara fisik dan menjalani rehabilitasi dan tidak
depresi pada populasi pasien kardiovaskular di Amerika (Christian et al. , 2007
dalam Nuraeni et al. , 2013: 108). Dalam penelitian aziza (2013: 24)
menyatakan bahwa 5 dari 7 orang penderita kardiovaskular mengalami
peningkatan kualitas hidup setelah menjalani oprasi Coronary Artery Bypass
Graft (CABG). Penderita yang memiliki gejala gangguan fungsi

3
kardiovaskular ringan mampu melakukan pekerjaan, serta tidak menunjukkan
kecemasan, dan melaporkan memiliki kualitas hidup yang sangat baik (Heo,
et. al. , 2008: 125).
Komunitas penduli jantung dan pembuluh darah kota malang adalah
salah satu pusat rehabilitasi jantung dan pembuluh darah yang bertujuan untuk
memulihkan penderita penyakit jantung yang telah mengalami kesembuhan
selepas dirawat dari rumah sakit agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Kegiatan di komunitas tersebut mulai dari kegiatan fisik seperti senam jantung,
kegiatan rohani, hingga kegiatan yang bersifat social.
Berdasarkan analisa di atas terlihat begitu kompleks dampak yang
ditimbulkan pada penderita kardiovaskular yang mempengaruhi kualitas
hidupnya. Oleh karena itu peneliti ingin membuktikan melalui penelitian yang
berjudul “gambaran kualitas hidup pada penderita gangguan fungsi dan
struktur jantung di Komunitas Peduli Jantung dan Pembuluh Darah Kota
Malang”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut, gangguan pada sistem kardiovaskuler.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran kualitas hidup pada penderita gangguan fungsi
dan struktur jantung di Komunitas Peduli Jantung dan Pembuluh Darah
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khususnya:
1. Mengidentifikasi angka kejadian kualitas hidup pada penderita dengan
penyakit jantung.
2. Mengidentifikasi gambaran kualitas hidup pada penderita penyakit
kardiovaskular berdasarkan gangguan fungsi jantung.
3. Mengidentifikasi gambaran kualitas hidup pada penderita penyakit
kardkular berdasarkan gangguan struktur jantung.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.1.1 Pengkajian
1. Identitas
2. Keluhan utama
Keluhan klien dengan CHF adalah kelemahan saat beraktivitas dan
sesak napas.
3. Riwayat Penyakit saat ini
Pengkajian RPS yang mendukung keluhan utama dilakukan
dengan mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai kelemahan fisik
klien Secara PQRST, yaitu:
a. Provoking Incident: kelemahan fisik terjadi setelah melakukan
aktivitas ringan sampai berat, sesuai derajat gangguan pada jantung
b. Quality of pain: seperti apa keluhan kelemahan dalam melakukan
aktivitas yang dirasakan atau digambarkan klien. Biasanya setiap
beraktivitas klien merasakan sesak napas (dengan menggunakan alat
atau otot bantu pernapasan)
c. Region radiation, relief
d. Severity (scale) of pain: kaji rentang kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Biasanya kemampuan klien dalam
beraktivitas menurun sesuai derajat gangguan perfusi yang dialami
organ.
e. Time: sifat mula timbulnya (onset), keluhan kelemahan beraktivitas
biasanya timbul perlahan. Lama timbulnya (durasi) kelemahan saat

5
beraktivitas biasanya setiap saat, baik saat istiahat maupun saat
beraktivitas.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian RPD yang mendukung dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, hipertensi, iskemia
miokardium, diabetes mellitus, dan hiperpidemia. Tanyakan mengenai
obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu dan masih
relevan dengan kondisi saat ini. Obat-obat ini meliputi diuretik, nitrat,
penghambat beta, dan antihipertensi. Catat adanya efek samping yang
terjadi di masa lalu, alergi obat, dan tanyakan reaksi alergi apa yang
timbul. Sering kali klien menafsirkan suatu alergi dengan efek samping
obat.
5. Riwayat keluarga
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh
keluarga, anggota keluarga yang meninggal terutama pada usia
produktif, dan penyebab kematiannya. Penyakit jantung iskemik pada
orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan faktor risiko
utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
6. Riwayat pekerjaan dan kebiasaan
Perawat menanyakan situasi klien bekerja dan lingkungannya.
Menanyakan kebiasaan dan pola hidup misalnya minum alkohol atau
obat tertentu. Kebiasaan merokok dengan menanyakan tentang
kebiasaan merokok, sudah berapa lama, berapa batang perhari, dan jenis
rokok.
7. Pengkajian Psikososial
Perubahan integritas ego didapatkan klien menyangkal, takut mati,
perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan yang tak
perlu, khawatir dengan keluarga, pekerjaan dan keuangan. Kondisi ini
ditandai dengan sikap menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak
mata, gelisah, marah, perilaku menyerang, fokus pada diri sendiri.
Interaksi sosial dikaji terhadap adanya stres karena keluarga,
pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi, kesulitan koping dengan stressor

6
yang ada. Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan
oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernapas dan pengetahuan
bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik. Penurunan lebih lanjut dari
curah jantung dapat ditandai dengan insomnia atau tampak
kebinggungan.
8. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien gagal jantung
biasanya baik atau compos mentis dan akan berubah sesuai tingkat
gangguan perfusi system saraf pusat.
9. Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum klien gagal jantung biasanya
didapatkan kesadaran yang baik atau compos metis dan akan berubah
sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi system saraf pusat.
a. B1 (Breathing)
1) Kongesti Vaskular Pulmonal
Gejala-gejala kongesti vascular pulmonal adalah dispnea,
ortopnea, dispnea noktural paroksimal, batuk, dan edema
pulmonal akut.
2) Dispnea
Dispnea, di karakteristikan dengan pernafasan cepat, dangkal,
dan keadaan yang menunjukkan bahwa klien sulit mendapatkan
udara yang cukup, yang menekan klien. Terkadang klien
mengeluh adanya insomnia, gelisah, atau kelemahan, yang
disebabkan oleh dispnea.
3) Ortopnea
Ortopnea adalah ketidakmampuan untuk berbaring datar karena
dispnea, adalah keluhan umum lain dari gagal vertikel kiri yang
berhubungan dengan kongesti vaskular pulmonal. Perawat harus
menetukan apakah ortopnea benar-benar berhubungan dengan
penyakit jantung atau apakah peninggian kepala saat tidur adalah
kebiasaan klien. Sebagai contoh bila klien menyatakan bahwa ia
terbiasa menggunakan tiga bantal saat tidur. Tetapi, perawat

7
harus menenyakan alasan klien tidur dengan menggunakan tiga
bantal. Bila klien mengatakan bahwa ia melakukan ini karena
menyukai tidur dengan ketinggian ini dan telah dilakukan sejak
sebelum mempunyai gejala gangguan jantung, kondisi ini tidak
tepat dianggap sebagai ortopnea.
4) Batuk
Batuk iritatif adalah salah satu gejala kongesti vascular pulmonal
yang sering terlewatkan, tetapi dapat merupakan gejala
dominan. Batuk ini dapat produktif, tetapi biasanya kering dan
pendek. Gejala ini dihubungkan dengan kongesti mukosa
bronkial dan berhubungan dengan peningkatan produksi mukus.

8
5) Edema pulmonal
Edema pulmonal akut adalah gambaran klinis paling bervariasi
dihubungkan dengan kongesti vascular pulmonal. Ini terjadi bila
tekanan kapiler pulmonal melebihi tekanan yang cenderung
mempertahankan cairan di dalam saluran vaskular (kurang lebih
30 mmHg). Pada tekanan ini, terdapat transduksi cairan ke dalam
alveoli, yang sebaliknya menurunkan tersediannya area untuk
transport normal oksigen dan karbondioksida masuk dan keluar
dari darah dalam kapiler pulmonar. Edema pulmonal akut
dicirikan oleh dispnea hebat, batuk, ortopnea, ansietas dalam,
sianosis, berkeringat, kelainan bunyi pernapasan, sangat sering
nyeri dada dan sputum berwarna merah mudah, dan berbusa dari
mulut. Ini memerlukan kedaruratan medis dan harus ditangani.
b. B2 (Blood)
1) Inspeksi
Inspeksi tentang adanya parut pada dada, keluhan kelemahan
fisik, dan adanya edema ekstermitas
2) Palpasi
Denyut nadi perifer melemah. Thrill biasanya ditemukan.
3) Auskultasi
Tekanan darah biasanya menurunkan akibat penurunan volume
sekucup. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup
biasanya ditemukan apabila penyebab gagal jantung adalah
kelainan katup
4) Perkusi
Batas jantung mengalami pergeseran yang menunjukkan adanya
hipertrofi jantung (kardiomegali)
5) Penurunan Curah Jantung
Selain gejala-gejala yang diakibatkan gagal ventrikel kiri dan
kongesti vascular pulmonal, kegagalan ventrikel kiri juga
dihubungkan dengan gejala tidak spesifik yang berhubungan
dengan penurunan curah jantung. Klien dapat mengeluh lemah,

9
mudah lelah, apatis letargi, kesulitan berkonsentrasi, defisit
memori, atau penurunan toleransi latihan. Gejala ini mungkin
timbul pada tingkat curah jantung rendah kronis dan merupakan
keluhan utama klien. curah jantung rendah kronis dan
merupakan keluhan utama klien. Namun, gejala ini tidak spesifik
dan sering dianggap sebagai depresi, neurosis atau keluhan
fungsional.
6) Bunyi Jantung dan Crackles
Tanda fisik yang berkaitan dengan kegagalan vertikel kiri yang
dapat dikenali dengan mudah adalah adanya bunyi jantung
ketiga dan keempat (S3, S4) dan crakles pada paru-paru. S4 atau
gallop atrium, dihubungkan dengan dan mengikuti konstraksi
atrium dan terdengar paling baik dengan bell stetoskop yang
ditempelkan dengan tepat pada apeks jantung. Klien diminta
untuk berbaring pada posisi miring kiri untuk mendapatkan
bunyi. Bunyi S4 ini terdengar sebelum bunyi jantung petama
(S1) dan tidak selalu merupakan tanda pasti kegagalan kongestif,
tetapi bunyi jantung pertama (S1) dan tidak selalu merupakan
tanda pasti kegagalan kongestif, tetapi dapat menunjukkan
adanya penurunan complains (peningkatan kekakuan)
miokardium. Bunyi S4 umumnya ditemukan pada klien dengan
infark miokardium akut. S3 terdengar pada awak diastolik
setelah bunyi jantung kedua (S2) dan berkaitan dengan periode
pengisian ventrikel pasif yang cepat. Suara ini juga terdengar
paling baik dengan bell stetoskop yang diletakkan tepat apeks,
akan lebih baik dengan posisi klien berbaring miring kiri, dan
pada akhir ekspirasi. Crackles atau ronkhi basah halus secara
umum terdengar pada dasar posterior paru dan sering dikenali
sebagai bukti gagal vertikel kiri. Sebelum crackles ditetapkan
sebagai kegagalan pompa jantung, klien harus diinstruksikan
untuk batuk dalam yang bertujuan membuka alveoli basilaris

10
yang mungkin mengalami kompresi karena berada di bawah
diafragma.
7) Disritmia
Karena peningkatan frekuensi jantung adalah respons awal
jantung terhadap stress, sinus takikardia mungkin dicurigai dan
sering ditemukan pada pemeriksaan klien dengan kegagalan
pompa jantung. Irama lain yang berhubungan dengan kegagalan
pompa meliputi konstraksi atrium prematur, takikardia atrium
proksimal, dan denyut vertikel prematur. Kapan pun
abnormalitas irama terdeteksi, seseorang harus berupaya untuk
menemukan mekanisme dasar patofisiologisnya, kemudian
terapi dapat direncanakan dan diberikan dengan tepat.
8) Distensi Vena Jugularis
Bila vertikel kanan tidak mampu berkompensasi, maka akan
terjadi dilatasi ruang, peningkatan volume dan tekanan pada
diastolik akhir vertikel kanan, tahanan untuk mengisi vertikel,
dan peningkatan lanjut pada tekanan atrium kanan. Peningkatan
tekanan ini sebaiknya memantulkan ke hulu vena kava dan dapat
diketahui dengan peningkatan pada tekanan vena jugularis.
Klien diinstruksikan untuk berbaring ditempat tidur dengan
kepala tempat tidur ditinggikan antara 30 sampai 60 derajat,
kolom darah di vena-vena jugularis eksternal akan meningkat.
Pada orang normal, hanya beberapa millimeter di atas batas atas
klavikula, namun pada klien gagal vertikel kanan akan tampak
sangat jelas dan berkisar 1 sampai 2 cm.
9) Kulit dingin
Kegagalan arus darah ke depan (forward failure) pada ventrikel
kiri menimbulkan tanda-tanda yang menunjukkan berkurangnya
perfusi ke organ-organ. Karena darah dialihkan dari organ-organ
nonvital ke organ-organ vital seperti jantung dan otak untuk
mempertahankan perfusi organ-organ seperti kulit dan otot-otot
rangka. Kulit tampak pucat dan terasa dingin karena pembuluh

11
darah perifer mengalami vasokonstriksi dan kadar hemoglobin
yang tereduksi meningkat. Sehingga akan terjadi sianosis.
10) Perubahan nadi.
Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung menunjukkan
denyut yang cepat dan lemah. Denyut jantung yang cepat atau
takikardia, mencerminkan respons terhadap perangsangan saraf
simpatis. Penurunan yang bemakna dari curah sekuncup dan
adanya vasokonstriksi perifer mengurangi tekanan nadi
(perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik), sehingga
menghasilkan denyut yang lemah atau theready pulse. Hipotensi
sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat. Selain
itu, pada gagal jantung kiri yang berat dapat timbul pulsus
alternans (suatu perubahan kekuatan denyut arteri). Pulsus
alternans menunjukkan gangguan fungsi mekanis yang berat
dengan berulangnya variasi denyut ke denyut pada curah
sekuncup.
c. B3 (Brain)
Kesadaran klien biasanya compos mentis, didapatkan sianosis
perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pengkajian objektif
klien meliputi wajah meringis, menangis, merintih, meregang, dan
menggeliat.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran volume keluaran urine selalu dihubungan dengan
intake cairan. Perawat perlu memonitor adanya oliguria karena
merupakan tanda awal dari syok kardiogenik. Adanya edema
ekstermitas menandakan adanya retensi cairan yang parah.
e. B5 (Bowel)
1) Hepatomegali
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
terjadi akibat pembesaran vena di hepar. Bila proses ini
berkembang, maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat,
sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen, yaitu suatu

12
kondisi yang dinamakan asites. Pengumpulan cairan dalam
rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada
diafargma dan distress pernapasan.
2) Anoreksia
Anoreksia (hilangnya selera makan) dan mual terjadi akibat
pembesaran vena dan statis vena di dalam rongga abdomen.
f. B6 (Bone)
1) Edema
Edema sering dipertimbangkan sebagai tanda gagal jantung
ditandai dengan gagal vertikel kanan. Akibat ini terutama lansia
yang menghabiskan waktu mereka untuk duduk di kursi dengan
kaki tergantung sehingga terjadi penurunan tugor jaringan
subkutan yang berhubungan dengan usia lanjut, dan mungkin
penyakit vena pimer seperti varikositis, edema pergelangan kaki
dapat terjadi yang mewakili faktor ini daripada kegagalan
ventrikel kanan. Bila edema tampak dan berhubungan dengan
kegagalan di vertikel kanan, bergantung pada lokasinya. Bila
klien berdiri atau bangun, edema akan ditemukan secara primer
pada pegelangan kaki dan akan terus berlanjut ke bagian atas
tungkai bila kegagalan makin buruk. Bila klien berbaring di
tempat tidur, bagian yang bergantung adalah area sacrum.
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstermitas
bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan piting
edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran
hepar), distensi vena leher, asites (penimbunan cairan didalam
rongga peritoneum), anoreksia dan mual, nokturia, serta
kelemahan. Edema sakral sering jarang terjadi pada klien yang
berbaring lama. Pitting edema adalah edema yang akan tetap
cekung bahkan setelah penekanan ringan dengan ujung jari, dan
akan jelas terlihat setelah terjadi retensi cairan minimal 4, 5 kg.

13
2) Mudah lelah
Klien dengan gagal jantung akan cepat merasa lelah, hal ini
terjadi akibat curah jantung yang berkurang yang dapat
menghambat sirkulasi normal dan suplai oksigen ke jaringan dan
menghambat pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi
akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas dan
insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk.
Perfusi yang kurang pada otot-otot rangka menyebabkan
kelemahan dan keletihan. Gejala-gejala ini dapat dipicu oleh
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau anoreksia.

2.1.2 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko tinggi penurunan curah jantung b. d penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduki ektrikal.
2. Nyeri dada b. d kurangnya suplai darah ke miokardium, perubahan
metabolisme, peningkatan produksi asam laktat
3. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan
perembesan cairan, kongesti paru akibat sekunder dari perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan intertestial
4. Resiko tinggi ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan
pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di paru
5. Resiko tinggi gangguan perfusi perifer b. d menurunnya curah jantung
6. Resiko tinggi penurunan tingkat kesadaran yang berhubungan dengan
penurunan aliran darah ke otak.
7. Resiko tinggi kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan
kelebihan cairan sistemis akibat sekunder dari penurunan curah jantung,
gagal jantung kanan.
8. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai oksigen jaringan yang kebutuhan akibat sekunder dari
penurunan curah jantung.
9. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan penurunan intake, mual, dan anoreksia.

14
10. Gangguan pemenuhan istirahat dan tidur yang berhubungan dengan
adanya sesak nafas
11. Resiko tinggi cedera yang berhubungan dengan pusing dan kelemahan
12. Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian, penurunan
status kesehatan, situasi krisis, ancaman, atau perubahan kesehatan
13. Resiko tinggi konstipasi yang berhubungan dengan penurunan intake
serat dan penurunan bising usus.
14. Ketidakefektifan koping individu yang berhubungan dengan prognosis
penyakit, gambaran diri yang salah, perubahan peran.
15. Resiko ketidakpatuhan terhadap aturan terapeutik yang berhubungan
tidak mau menerima perubahan pola hidup yang sesuai.

2.1.3 Intervensi
1. Resiko tinggi penurunan curah jantung b. d penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduki
ektrikal.
Ditandai dengan: Peningkatan frekuensi jantung (takikardia), disritmia,
perubahan gambaran pola EKG, perubahan tekanan darah
(hipotensi/hipertensi), bunyi jantung ekstra (S3, S4) tidak terdengar,
penurunan output urine, nadi perifer tidak teraba, kulit dingin (kusam),
diaphoresis, otopnea, krakles, distensi vena jugularis, pembesaran
hepar, edema ekstermitas, dan nyeri dada.
a. Tujuan
Dalam waktu 3x24 Jam, penurunan curah jantung dapat teratasi dan
tanda vital dalam batas yang diterima (disritmia terkontrol atau
hilang), dan bebas gejala gagal jantung (parameter hemodinamika
dalam batas normal), output urine adekuat.
b. Kriteria evaluasi
Klien akan melaporkan penurunan episode dispneu, berperan dalam
aktivitas yang dapat mengurangi beban kerja jantung, tekanan darah
dalam batas normal (120/80 mmHg, nadi 80x/menit), tidak terjadi

15
aritmia, denyut jantung dan irama jantung teratur, CRT kurang dari
3 detik, produksi urine > 30 mi/jam
c. Intervensi
1) Kaji dan lapor tanda penurunan curah jantung
Rasional: kejadian mortalitas dan morbiditas sehubungan
dengan MI yang lebih dari 24 jam pertama.
2) Periksa keadaan klien dengan mengaukultasi nadi apical, kaji
frekuensi, irama jantung (dokumentasi disritmia, bila tersedia
telemetri)
Rasional: biasanya terjadi takikardi meskipun pada saat istirahat
untuk mengompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel, KAP,
PAT, MAT, PVC, dan AF disritmia umum berkenan dengan
GJK meskipun lainnya juga terjadi.
3) Catat bunyi jantung
Rasional: S1 dan S2 mungkin lemah kaena menurunnya kerja
pompa, irama gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai
aliran darah yang mengalir ke dalam serambi yang mengalami
distensi, mumur dapat menunjukkan inkompetensi/stenosis
mitral
4) Palpasi nadi perifer
Rasional: penurunan curah jantung dapat ditunjukkan dengan
menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis pedis, dan post tibial,
nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur saat dipalpasi dan
gangguan pulpasi (denyut kuat disertai dengan denyut lemah)
mungkin ada.
5) Pantau adanya output urine, catat jumlah dan kepekatan/
konsentrasi urine.
Rasional: ginjal berespon terhadap penurunan curah jantung
dengan mereabsorbsi natrium dan cairan, output urine biasanya
menurun selama tiga hari karena perpindahan cairan ke jaringan
tetapi dapat meningkat pada malam hari sehingga cairan
berpindah kembali ke sirkulasi bila klien tidur.

16
6) Istirahatkan klien dengan tirah baring optimal
Rasional: karena jantung tidak dapat diharapkan untuk benar-
benar istirahat saat proses pemulihan seperti luka pada patah
tulang, maka hal terbaik yang dilakukan adalah dengan
mengistirahat kan klien, sehingga melalui in aktivitas,
kebutuhan pemompaan jantung diturunkan. Tirah baring
merupakan bagian yang penting dari pengobatan gagal jantung
kongestif, khususnya pada tahan akut dan sulit disembuhkan.
Selain itu untuk menurunkan seluruh kebutuhan kerja pada
jantung, tirah baring membantu dalam menurunkan beban kerja
dengan menurunkan volume intravascular induksi diuresis
berbaring, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan
menurunkan TD.
7) Atur posisi tirah baring yang ideal. Kepala tempat tidur harus
dinaikkan 20 sampai 30 cm (8-0 inci) atau klien didudukkan di
kursi.
Rasional: untuk mengurangi kesulitan bernafas dan dan
mengurangi jumlah darah yang kembali ke jantung yang dapat
mengurangi kongesti paru.
8) Kaji perubahan pada sensorik, contoh letargi, cemas, depresi.
Rasional: dapat menunjukkan tidak adekuatnya perfusi serebral
akibat sekunder dan penurunan curah jantung.
9) Berikan istirahat psikologi dengan lingkungan dengan tenang
Rasional: Stress emosi menghasilkan vasokonstriksi, yang
terkait dan meningkatkan TD dan meningkatkan frekuensi/kerja
jantung.
10) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai
indikasi.
Rasional: meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan
miokrdium melawan efek hipoksia/iskemia.
11) Hindari manuver dinamik seperti berjongkok sewaktu
melakukan BAB dan mengepal-ngepalkan tangan.

17
Rasional: berjongkok meningkatkan aliran balik vena dan
resistensi arteri sistemis secara stimulan menyebabkan kenaikan
volume sekuncup (stroke volume) dan tekanan atrial.
Peregangan ventrikel kiri bertambah akan meningkatkan beban
kerja jantung secara timulan. Latihan isometrik/ mengepal-
ngepalkan tangan secara terusmenerus 20-30 detik
meningkatkan retensi aterial sistemis, TD, dan ukuran jantung
dan akan meningkatkan beban kerja jantung.
12) Kolaborasi untuk pemberian diet jantung
Rasional: mengatur diet sehingga kerja dan ketegangan otot
jantung minimal, dan status nutrisi terpelihara, sesuai dengan
selera dan pola makan klien.
13) Kolaborasi untuk pemberian obat
Rasional: untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki
kontraktilitas, dan menurunkan kongesti.
a) Diuretik, Furosemid (Lasix), Sprironolaktor (aldakton)
Rasional: obat yag dapat menurunkan preload Vasodilatator
b) Nitrat (isosorbide, dinitrat, isordil)
Rasional: untuk meningkatkan curah jantung, menurunkan
volume sirkulasi dan tahan vaskuler sistemik/ antridiatol
kerja ventrikel.
c) Digoxin (lanoxin)
Rasional: untuk meningkatkan kekuatan miokardium dan
memperlambat frekuensi jantung, menurunkan volume
sirkulasi dan tahan vaskuler sistem
d) Captropil (capoten), Lisinopril (prinvil), Enapril (vasotec)
Rasional: meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium dan
memperlambat frekuensi jantung dengan menurunkan
konduksi dan memperlambat periode refaktori angiotensin
dalam paru dan menurunkan vasokonstriksi, svr, dan TD.

18
e) Morfin sulfat
Rasional: menurunkan kerja miokardium, menurunkan
cemas, dan mengistirahatkan sirkulasi umpan balik,
pengeluaran katekolmin, vasokonstriksi.
f) Tranqulizer/sedatife
Rasional: meningkatkan istirahat dan menurunkan
kebutuhan oksigen dan kerja miokardium.
g) Antikoagulan, contoh heparin dosis rendah, warfarin
(Coumadin)
Rasional: untuk mencegah pembentukan thrombus/emboli
pada adanya faktor risiko seperti statis vena, tirah baring,
disritmia jantung, dan riwayat episode sebelumnya.
h) Pemberian cairan IV, pembatasan jumlah total sesuai dengan
indikasi, hindari cairan garam.
Rasional: karena adanya peningkatan tekanan ventrikel kiri,
klien tidak dapat menoleransi peningkatan volume cairan
(preload), klien juga mengeluarkan sedikit natrium, yang
menyebabkan retensi cairan dan meningkatkan kerja
miokardium.
14) Pantau rangkaian gambaran EKG dan perubahan foto Rontagen
toraks Rasional: depresi segmen ST dan datarnya gelombang T
dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan oksigen. Foto
rontagen toraks dapat menunjukkan pembesaran jantung dan
perubahan kongesti pulmonal.

2. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan


perembesan cairan, kongesti paru akibat sekunder dari perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan intertestial.
a. Tujuan
Dalam waktu 3x24 jam tidak ada keluhan sesak atau terdapat
penurunan respon sesak napas

19
b. Kriteria evaluasi
Secara subjektif klien menyatakan penurunan sesak napas, secara
objektif didapatkan tanda vital dalam batas normal (RR 16-20
x/menit), tidak ada penggunaan otot bantu nafas, analisa gas darah
dalam batas normal.
c. Intervensi
1) Berikan tambahan oksigen 6 liter/menit.
Rasional: untuk meningkatkan konsentrasi oksigen dalam
pertukaran gas.
2) Pantau saturasi (oksimetri), Ph, Be, HCO3 dengan analisa gas
darah.
Rasional: untuk mengetahui tingkat oksigenisasi pada jaringan
sebagai dampak adekuat tidaknya proses pertukaran oksigen.
3) Koreksi keseimbangan asam basah
Rasional: mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi
pernapasan.
4) Cegah atelectasis dengan melatih batuk efektif dan napas dalam
Rasional: kongesti yang berat kan memperburuk proses
penukaran gas sehingga berdampak pada timbulnya hipoksia.
5) Kolaborasi:
a) RL 500 cc/ 24c jam
b) Digoxin 1-0-0
Rasional: meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga
dapat mengurangi timbulnya edema sehingga dapat
mencegah gangguan pertukaran gas.
c) Furosemide
Rasional: membantu mencegah terjadinya retensi cairan
dengan menghambat ADH.

20
3. Resiko tinggi kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan
kelebihan cairan sistemis akibat sekunder dari penurunan curah
jantung, gagal jantung kanan.
a. Tujuan
Dalam waktu 3x24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan
sistemis.
b. Kriteria evaluasi
Klien tidak sesak napas, edema ekstermitas berkurang, pitting
edema (-), produksi urine > 600 mi/hr.
c. Intervensi
1) Kaji adanya edema ekstermitas
Rasional: dugaan adanya gagal jantung kongestif/kelebihan
volume cairan.
2) Kaji tekanan darah
Rasional: sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan
jumlah cairan yang dapat peningkatkan jumlah cairan yang dapat
meningkatkan beban kerja jantung dan dapat diketahui dari
meningkatnya tekanan darah.
3) Kaji distensi vena jugularis
Rasional: peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel
kanan yang dapat dipantau melalui pemeriksaan vena jugularis
4) Ukur intake dan output
Rasional: penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan
perfusi ginjal, retensi natrium/ air, dan penurunan output urine.
5) Timbang berat badan
Rasional: perubahan berat badan yang tiba-tiba menunjukkan
gangguan keseimbangan cairan.
6) Beri posisi yang membantu drainase ekstermitas, lakukan latihan
gerak pasif.
Rasional: meningkatkan aliran balik vena dan mendorong
berkurangnya edema perifer.

21
7) Kolaborasi
a) Berikan diet tanpa garam
Rasional: natrium meningkatkan retensi cairan dan
meningkatkan volume plasma yang berdampak terhadap
peningkatan beban kerja jantung dan akan meningkatkan
kebutuhan miokardium.
b) Beriakan diuretik contoh : furosemide, sprinolakton,
hipdronolakton.
Rasional: diuretik bertujuan untuk menurunkan volume
plasma dan menurunkan retensi cairan di jaringan sehingga
menurunkan resiko terjadinya edema paru.
c) Pantau data laboratorium elektrolit kalium.
Rasional: hipokalemia dapat membatasi efektifitas terapi

4. Resiko tinggi gangguan perfusi perifer b. d menurunnya curah


jantung
a. Tujuan
Dalam waktu 2x24 jam, perfusi perifer meningkat.
b. Kriteria evaluasi:
Klien tidak mengeluh pusing, tanda vital dalam batas normal, CRT
<3 detik, urine > 600 ml/hari.
c. Intervensi
1) Auskultasi TD. Bandingkan kedua lengan, ukur dalam keadaan
berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan
Rasional: hipotensi dapat terjadi sehubungan dengan disfungsi
vertikel, hipertensi juga merupakan fenomena umum
berhubungan dengan nyeri, cemas, pengeluaran katekolamin.
2) Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaphoresis
secara teratur.
Rasional: mengetahui derajat hipoksemia dan peningkatan
tahanan perifer.
3) Kaji kualitas peristaltik, jika perlu pasang selang nasogastric.

22
Rasional: mengetahui pengaruh hipoksia terhadap fungsi saluran
pencernaan serta dampak penurunan elektrolit.
4) Kaji adanya kongesti hepar pada abdomen kanan atas.
Rasional: sebagai dampak gagal jantung kanan berat akan
ditemukan adanya tanda kongesti pada hepar.
5) Pantau output urine
Rasional: penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya
produksi urine, pemantauan yang ketat pada produki urine <600
mI/hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok kardigenik.
6) Catat mumur
Rasional: menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung
(kelainan katup, kerusakan septum, atau vibrasi otot papilaris).
7) Perlu frekuensi jantung dan irama
Rasional: perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukkan
komplikasi disritmia.
8) Beri makanan kecil dan mudah dikunyah, batasi intake kafein
Rasional: makanan besar dapat meningkatkan kerja jatung.
Kafein dapat merangsang langsung ke jantung sehingga
meningkatkan frekuensi jntung.
9) Kolaborasi: pertahankan jalur masuk pemberian heparin (IV)
sesuai indikasi
Rasional: jalur yang paten penting untuk pemberian obat darurat.

5. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan


antara suplai oksigen jaringan yang kebutuhan akibat sekunder
dari penurunan curah jantung.
a. Tujuan
Dalam waktu 3x24 Jam terdapat respons perbaikan dengan
meningkatnya kemampuan beraktivitas klien.
b. Kriteria evaluasi
Klien menunjukkan kemampuan beraktivitas tanpa gejala-gejala
yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur, klien tidak
mengalami sesak napas akibat sekunder dari beraktivitas.

23
c. Intervensi
1) Catat frekuensi jantung, irama dan perubahan TD, selama dan
sesudah aktivitas.
Rasional: respon klien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan
penurunan oksigen miokardium.
2) Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas
senggag yang tidak berat
Rasional: menurunkan kaji miokardium dan konsumsi oksigen
3) Anjurkan menghindari prilaku yang meningkatkan tekanan
abdomen seperti mengejan saat defekasi.
Rasional: mengejan dapat mengakibatkan konstraksi otot dan
vasokonstriksi pembuluh darah yang dapat meningkatkan
preload, tahanan vascular sistemis, dan beban jantung.
4) Berikan diet sesuai program (pembatasan air dan natrium)
Rasional: mencegah retensi cairan dan edema akibat penurunan
kontraktilitas jantung.
5) Rujuk ke program rehabilitasi jantung
Rasional: meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk
kebutuhan jantung sekaligus mengurangi ketidaknyamanan
sehubungan dengan terjadinya iskemia.

6. Cemas yang berhubungan dengan rasa takut akan kematian,


penurunan status kesehatan, situasi krisis, ancaman, atau
perubahan kesehatan
a. Tujuan
Setelah 2x24 Jam di rawat, kecemasan berkurang
b. Kriteria evaluasi
Tidur 6-8 jam/hari, gelisah hilang, klien kooperatif, mengungkapkan
perasaannya pada perawat tentang tindakan yang diprogramkan,
klien dapat mengindentifikasikan penyebab atau faktor yang
mempengaruhinya, menyatakan ansietas berkurang/hilang.

24
c. Intervensi
1) Kaji tanda-tanda dan ekspresi verbal dari kecemasan.
Rasional: tingkat kecemasan dapat berkembang ke panik yang
dapat merangsang respon simpatik dengan melepas
katekolamin. Ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan jantung
akan oksigen.
2) Temanin klien selama periode kecemasan tinggi, beri kekuatan,
gunakan suara tenang.
Rasional: pengertian yang empati merupakan pengobatan dan
mungkin meningkatkan kemampuan koping klien.
3) Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang
diharapkan
Rasional: orientasi dapat menurunkan kecemasan
4) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
ansietasnya
Rasional: dapat menghilangkan ketegangan terhadap
kekhawatiran yang tidak diekspresikan
5) Lakukan pendekatan dan konsumsi
Rasional: membina saling percaya
6) Beri kesempatan pada orang terdekat untuk mendampigi klien
Rasional: respon terbaik adalah klien mengungkapkan perasaan
yang dihadapinya. Keluarga dapat membantu klien untuk
mengungkapkan perasaan kecemasan
7) Berikan penjelasan tentang penyakit, penyebab serta
penanganan yang akan dilakukan
Rasional: untuk memberikan jaminan kepastian tentang
langkahlangkah tindakan yang akan diberikan sehingga klien
dan keluarga mendapatkan informasi yang lebih jelas.
8) Kolaborasi: berikan anticemas/hipnotik sesuai indikasi
contohnya diazepam
Rasional: meningkatkan relaksasi dan menunjukan kecemasan.

25
7. Resiko ketidakpatuhan terhadap aturan terapeutik yang
berhubungan tidak mau menerima perubahan pola hidup yang
sesuai.
a. Tujuan
Dalam waktu 1x24 jam, klien mengenal faktor-faktor yang
menyebabkan peningkatan resiko kekambuhan.
b. Kriteria evaluasi
Klien secara subjektif menyatakan bersedia dan termotivasi untuk
melakukan aturan terapeutik jangka panjang dan mau menerima
perubahan pola hidup yang efektif, klien mampu mengulang faktor-
faktor risiko kekambuhan.
c. Intervensi
1) Identifikasi faktor yang mendukung pelaksanaan terapeutik
Rasional: keluarga terdekat apakah istri/suami atau anak yang
mampu mendapat penjelasan dapat menjadi pengawas klien
dalam menjalankan pola hidup yang efektif selama klien di
rumah dan memiliki waktu yang optimal dalam menjaga klien.
2) Berikan penjelasan penatalaksanaan teraputik lanjutan
Rasional: setelah mengalami serangan akut, perawat perlu
menjelaskan penatalaksanaan lanjutan dengan tujuan dapat
membatasi progesivitas kegagalan jantung, meningkatkan
perawatan diri, menurunkan kecemasan, mencegah aritmia dan
komplikasi.
3) Menyarankan kepada keluarga agar memanfaatkan sarana
kesehatan dimasyarakat
Rasional: untuk memudahkan klien dalam memantau status
kesehatannya.
4) Ajarkan strategi menolong diri sendiri, ajurkan untuk memantau
berat badan pada saat bangun tidur, sebelum makan pagi, dengan
pakaian yang sama dan dengan timbangan yang sama,
melaporkan peningkatan berat badan yang melebihi 1, 5 kg
dalam 1 minggu (tanpa perubahan pola makan)

26
5) Mengikuti latihan fisik rutin.
Rasional: latihan fisik rutin secara bertahap memberikan
adaptasi pada ventrikel kiri dalam melakukan kompensasi
kebutuhan suplai darah otot rangka.
6) Beri penjelasan tentang pemakaian obat nitrogliserin
Rasional: minum obat nitrogliserin (vasodilatasi perifer dan
koroner) 0, 4-0, 6 mg tablet secara sublingual 3-5 menit sebelum
melakukan aktivitas dengan tujuan untuk mengantisipasi
serangan angina. Klien dianjurkan untuk selalu membawa obat
tersebut setiap berada diluar rumah walaupun klien tidak
merasakan gejala dari angina.
7) Hindari merokok
Rasional: merokok akan meningkatkan adhesi trombosit dan
merangsang pembentukan trombus pada arteri coroner. Hb lebih
mudah berikatan dengan monoksida dibandingkan dengan
oksigen sehingga akan menurunkan suplai oksigen secara
umum, nikotin dan tar mempunyai respon terhadap sekresi
hormon vasokonstriktor sehingga akan meningkatkan beban
kerja jantung.
8) Pendidikan kesehatan diet
Rasional: merupakan faktor prespitasi serangan sesak nafas dan
edema ekstermitas.
9) Manuver dinamik
Rasional: klien menghindari seperti berjongkok, mengejan, dan
terlalu menahan nafas, serta klien dianjurkan untuk
menggunakan laktstif saat defekasi agar terhindar dari angina.
10) Pendidikan kesehatan seks
Rasional: jika hubungan seks merupakan prepistasi angina maka
klien sebelum melakukan aktivitas seksual dianjurkan untuk
meminum obat nitrogliserin atau sedative atau keduanya.

27
11) Stres emosional
Rasional: serangan sesak napas akibat gagal jantung kiri lebih
mudah sering terjadi pada klien yang mengalami kecemasan,
ketegangan, euforia atau kegembiraan yang berlebihan klien
diberi obat sedative untuk mengurangi stress emosional
12) Beri dukungan secara fisiologis
Rasional: dapat membantu meningkatkan motivasi klien dalam
mematuhi aturan terapeutik.

2.1.4 Implementasi
1. Mengkaji skala nyeri
2. Mengobservasi tanda tanda nyeri
3. Mengkolaborasikan dengan dokter pemberian obat analgetik
4. Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam
5. Melakukan penyuluhan kesehatan sesuai indikasi.

2.1.5 Evaluasi
Hasil yang diharapkan pada proses perawatan klien dengan gagal jantung
1. Bebas dari nyeri
2. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari
a. Tanda-tanda vital kembali normal
b. Terhindar dari risiko penurunan perfusi perifer
c. Tidak terjadi kelebihan volume cairan
d. Tidak sesak
e. Edema ekstermitas tidak terjadi
3. Menunjukkan peningkatan curah jantung
4. Menunjukkan penurunan kecemasan
5. Memahami penyakit dan tujuan perawatannya`
a. Mematuhi semua aturan medis
b. Mengetahui kapan harus meminta bantuan medis bila nyeri menetap
atau sifatnya berubah.

28
c. Memahami cara mencegah komplikasi dan menunjukkan tanda-
tanda bebas dari komplikasi
d. Menjelaskan proses terjadinya gagal jantung
e. Menjelaskan alasan tindakan pencegahan komplikasi
f. Mematuhi program perawatan diri
g. Menunjukkan pemahaman mengenai terapi farmakologi Kebiasaan
sehari-hari penyesuaian gaya hidup.

2.2 Konsep Hipertensi


2.2.1 Definisi
Hipertensi adalah peningkatan dari tekanan systolik diatas standar
dihubungkan dengan usia. Tekanan darah normal adalah refleksi dari
kardiaouput (denyut jantung dan volume strocck) dan resistisensi
peripheral. Perubahan satu dari beberapa faktor denyut jantung, volume
strock atau akan resistensi peripheral oleh karena berubahnya hasil dalam
tekanan darah sistemik arterial. Diagnosa dari hipertensi pada orang dewasa
dibuat ketika dari dua atau lebih tekanan darah diastolik terbaca pada dua
kejadian yang berbeda adalah 90 mmHg.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang abnormal dengan
sistolik lebih dari 140 mmHg dan diastolic lebih dari 90 mmHg.

2.2.2 Etiologi
1. Faktor genetik: terbukti bahwa faktor ini merupakan faktor predisposisi
bagi individu untuk menderita hipertensi.
2. Karakteristik: faktor-faktor yang terdapat pada individu yang terpenting
untuk terjadinya hipertensi adalah umur, jenis kelamin dan ras.
3. Stress: peranan stress dalam menimbulkan hipertensi sukar dinilai,
sudah lama diketahui bahwa stress akut dapat meningkatkan darah untuk
sementara, stress merupakan sesuatu yang sering dihubungkan dengan
kegiatan.
4. Merokok: dalam kasus hipertensi seorang perokok mempunyai risiko
yang lebih besar dibandingkan orang yang tidak merokok.

29
5. Obesitas: kelebihan berat badan atau kenaikan berat badan di atas
beberapa standar yang ditetapkan, biasanya didefinisikan dalam
hubungan tinggi badan.
6. Garam: penyakit hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku
bangsa dengan asupan garam yang minimal.
7. Konsumsi alkohol: perlu diperhatikan oleh penderita penyakit
kardiovaskuler adalah konsumsi alkohol, karena adanya bukti yang
saling tolak belakang antara keuntungan dan risiko minum.
8. Olahraga: kurangnya olahraga atau aktivitas fisik adalah kontribusi
utama pada obesitas, diabetes dan hipertensi.
9. Usia: paling tinggi kejadian pada usia 30-40 thn. Kejadian dua kali lebih
besar pada orang kulit hitam, dan lima kali lebih besar untuk wanita kulit
hitam.
10. Jenis kelamin: komplikasi hipertensi meningkat pada laki-laki
11. Riwayat keluarga: 75% pasien hipertensi mempunyai riwayat keluarga
hipertensi
12. Serum lipid: meningkatnya triglycerida atau koletrol meninggi resiko
dan hipertensi.
13. Diet: meningkatnya resiko dengan diet sodium tinggi, resiko meninggi
pada masyarakat industri dengan tinggi lemak, diet tinggi kalori.

2.2.3 Patofisiologi
Penyebab hipertensi primer tidak diketahui meskipun telah banyak
penyebab yang dapat diidentifikasi. Penyakit ini memungkinkan banyak
faktor dan termasuk:
1. Aterosklerosis
2. Meningkatnya pemasukan sodium
3. Baroreceptor
4. Renin secretion
5. Renal exoretion dari sodium dan airr
6. Faktor genetik dan lingkungan

30
Menurunnya tonus vaskuler meransang saraf simpatis yang diterukan
ke sel jugularis. Dari sel jugalaris ini bias meningkatkan tekanan darah. Dan
apabila diteruskan pada ginjal, maka akan mempengaruhi eksresi pada
rennin yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan adanya perubahan
pada angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada
pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah. Selain itu juga
dapat meningkatkan hormone aldosteron yang menyebabkan retensi
natrium. Hal tersebut akan berakibat pada peningkatan tekanan darah.
Dengan Peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan
pada organ organ seperti jantung.

31
2.2.4 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pada klien dengan hipertensi:
a. meningkatkan tekanan darah > 140/90 mmHg
b. sakit kepala
c. epistaksis
d. pusing/migrain
e. rasa berat ditengkuk
f. sukar tidur
g. mata berkunang kunang
h. lemah dan lelah
i. muka pucat suhu tubuh rendah.

2.2.5 Pemeriksaan diagnostik


Pemeriksaan laboratorium rutin ysng dilakukan sebelum memulai
terapi bertujuan untuk menean pemeriksaan lain seperti ntukan adanya
kerusakan organdan factor resiko lain atau mencari penyebab hipertensi.
Biasannya di periksa, urinaria, darah ferifer lengkap, kimia darah(kalum,
natrium, kreatinin, gula darah puasa, kolestrol total, kolestrol HDL dan
EKG. Sebagai tambahan dapat dilakukan pemriksaan lain seperti
klirenskreatini, protein, urine 24 jam, asam urat, kolesterol LDL, TSH dan
echokardiografi(mansjoerr A, dkk, 2001)

2.2.6 Pemeriksaan penunjang


1. Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti:
hipokoagulabilitas, anemia.
2. BUN (blood urea nitrogen) / kreatinin: memberikan informasi tentang
perfusi / fungsi ginjal.
3. Glucosa: Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4. Urinalisa: darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal dan
ada DM.

32
5. CT Scan: Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
6. EKG: Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
7. IUP: mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti: Batu ginjal,
perbaikan ginjal.
8. Foto dada: Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup,
pembesaran jantung
9.
2.2.7 Penatalaksanan medis
Tujuan dari pada penatalaksaan hipertensi adalah menurunkan resiko
penyakitkardiovaskuler dan morbilitas yang berkaitan. Sedangkan tujuan
terapi pada penderita hpertensi adalah mencapai dan mempertahankan
tekanan sistolik di bawah140 mmHg dan tekanan distolikdi bawah 90
mmHg dan mengontrol adanya resiko. Hal ini dapat dicapai melalui
modifikasi gayaa hidup saja atau dengan obatantihipertensi (mansjoer A,
dkk, 2001). Kelompok resiko di kategorikan menjadi:
1. Pasien dengan tekanan darah perbatasan atau tingkat 1, 2, 3 tanpa
sengaja penyakit kardiovaskuler, kerusakan organ atau fakor resiko
lainnya. Bila denganmodifikasi gaya hidup tekanan darah belum dapat
di turunkan maka harus diturunkan obat anti hipertensi.
2. Pasien Tanya penyakit kardiovaskular atau kerusakn organ lainnya,
tetapi memiliki satu tau lebih factor resiko yang terera di atas, namun
bukan diabetesmellitus. Jika terdapat beberapa factor maka harus
langsung di berikan obat antihipertensi.
3. Pasien dengan gejala klinis penyakit kardiovaskular atau kerusakan
organyang jelas, factor resiko: usia lebih dari 60 tahun, merokok,
dislipedemia, diabetesmellitus, jenis kelamin (pria dan wanita
menopause), riwayat penyakitkardiovaskular dalam keluarga.
4. Kerusakan organ: penyakit jantung ( hpertrofi ventrikel kiri, infark
miokard, angina pectoris, gagal jantung, riwayat revaskularisai korener,
stroke, transientischemic attack, nefropati, penyakit arteri perifer dan
retinopati). (mansjoer A, dkk, 2001)

33
2.2.8 Terapi medis
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis
penatalaksanaan:
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis:
a. Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB
dapat menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan
aktivitas rennin dalam plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
b. Aktivitas
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan
dengan batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti
berjalan, jogging, bersepeda atau berenang.
2. Penatalaksanaan Farmakologis.
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
a. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
b. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
c. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
d. Tidak menimbulakn intoleransi.
e. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
f. Memungkinkan penggunaan jangka panjang. Golongan obat–obatan
yang diberikan pada klien dengan hipertensi seperti golongan
diuretic, golongan betabloker, golongan antagonis kalsium,
golongan penghambat konversi rennin angitensin.

2.2.9 Komplikasi
Pada jadi pada hipertensi berat yaitu apabila tekanan darah diastolic
sama atau lebih besar dari 130 mmHg, atau kenaikan tekanan darah yang
terjadi secara mendadak, Komplikasi hipertensi antara lain:
1. Arterosklorosis
Orang yang menderita hipertensi kemungkinan besar akan
menderita arterosklorosis. Arterosklorosis merupakan suatu penyakit

34
pada dinding pembuluh darah yakni lapisan dalamnya menjadi tebal
karena timbunan lemak yang dinamakan plaque atau suatu endapan
keras yang tidak normal pada dinding arteri. Pembuluh darah mendapat
pukulan paling berat, jika tekanan darah terus menerus tinggi dan
berubah, sehingga saluran darah tersebut menjadi sempit dan aliran
darah menjadi tidak lancar
2. Jantung
Jantung berfungsi memompa darah keseluruh tubuh. Untuk itu
otot jantungmemerlukan oksigen dan zat gizi yang cukup. Zat gizi dan
oksigen diangkut olehdarah melalui pembuluh darah. Persoalan akan
timbul bila terdapat halangan ataukelainan dipembuluh darah, yang
berarti kurangnya suplai oksigen dan zat gizi untukmenggerakan
jantung secara normal.
3. Stroke
Hipertensi dapat menyebabkan tekanan yang lebih besar pada
dinding pembuluhdarah sehingga dinding pembuluh darah menjadi
lemah dan pembuluh darah akanmudah pecah. Pada kasus seperti itu,
biasanya pembuluh darah akan pecah akibatlonjakan tekanan darah
yang terjadi secara tiba-tiba. Pecahnya pembuluh darah diotak dapat
menyebabkan sel-sel otak yang seharusnya mendapatkan asupan
oksigendan zat gizi yang dibawa melalui pembuluh darah tersebut
menjadi kekurangan zatgizi dan akhirnya mati.
4. Mata: berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan
kebutaan.
5. Ginjal: berupa gagal ginjal
6. Jantung: berupa payah jantung, jantung koroner.
7. Otak: berupa pendarahan akibat pecahnya mikro anerisma yang dapat
menggakibatkan kematian, iskemia dan proses emboli (mansjoer, 2001)
8. Gagal jantung
Penyakit pembuluh darah perifer (misal gejalanya semutan)
Sering dirujuk pada penyakit organ akhir
9. Hipertensif encephal

35
2.2.10 Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis atau penanganan yang tepat bagi penderita
hipertensi sebagai berikut:
1. Terapi Non Farmakologis
Pencegahan dan manajemen hipertensi lebih utama ditekankan
pada perubahan gaya hidup dan pengaturan diet.
a. Diet
Diet untuk hipertensi membatasi konsumsi garam, makanan
asin, meningkatkan konsumsi sayuran dan buah sebagai sumber
utama kalium. Diet yang banyak mengonsumsi buah-buahan,
sayuran, dan rendah lemak serta rendah lemak jenuh (diet DASH)
dapat menurunkan tekanan darah. Selain itu, terapi tambahan yang
perlu dilakukan untuk mencegah atau mengurangi hipertensi, yaitu:
1) Kurangi berat badan jika berlebih
2) Batasi asupan alkohol, etanol tidak lebih dari 1 oz (30 ml), bir
(missal 24 oz (720 ml), anggur 10 oz (300 ml) atau wiski 2 oz
(60 ml) tiap hari atau 0, 5 oz (15 ml) etanol tiap hari untuk
wanita dan orang dengan berat badan yang lebih ringan
3) Tingkatkan aktivitas fisik aerobic (30-45 menit hampir tiap hari
dalam satu minggu)
4) Kurangi asupan natrium tidak lebih dari 100 mmol/hari (2, 4
gram natrium atau 6 gram natrium klorida)
5) Pertahankan asupan kalium yang adekuat dalam diet (kira-kira
90 mmol/hari)
6) Pertahankan intake kalsium dan magnesium yang adekuat
dalam diet untuk kesehatan secara umum
7) Berhenti merokok dan kurangi asupan lemak jenuh dalam diet
dan kolesterol untuk kesehatan kardiovaskuler secara
keseluruhan.
Berikut merupakan beberapa contoh makanan yang
diperbolehkan dan dihindarkan untuk dikonsumsi diantaranya:

36
Tabel 2.1
Contoh Makanan Yang Diperbolehkan Dan Dihindarkan
Sumber Bahan Makanan yang Makanan yang Harus
Makanan Diperbolehkan Dihindarkan
Protein nabati Tahu, tempe, kacang Keju, kacang tanah,
hijau, kacang kedelai, kacang asin, tauco,
kacang tolo, kacang tahu asin
tanah, kacang kapri, dan
kacang lain yang segar
Lemak Santan encer, minyak Salad dressing,
mentega tanpa garam mentega margarine,
lemak hewan
Sayuran Semua sayuran segar Sayuran yang
diawetkan: sawi asin,
acar, asinan, sayuran
dalam kaleng
Buah-buahan Semua buah-buahan Buah yang diawetkan
segar menggunakan zat
pengawet: buah kering,
buah kaleng
Bumbu Semua bumbu dapur Garam dapur, MSG,
kecap, saus tomat
botol, saus cabai,
pengempuk daging,
maggi, terasi, soda kue,
petis, saus tiram
Minuman Teh, kopi encer Cokelat, cafein,
alcohol
b. Olahraga
Selain mengatur pola makan atau diet, dianjurkan pula untuk
olah raga secara teratur dan mengontrol tekanan darah, dan juga
berhenti merokok untuk mencegah kemungkinan komplikasi.

37
2. Terapi Obat
Tujuan pengobatan adalah memperkecil kerusakan organ target
akibat tekanan darah dan menghindari pengaruh buruk akibat
pengobatan. Untuk yang menjalani terapi obat ini juga memiliki criteria
tertentu, yakni:
Tabel 2.2
Terapi Obat
Derajat tekanan Kelompok risiko Kelompok risiko Kelompok risiko
darah (mmHg) A (tidak ada B (Paling sedikit C (TOD/CCD
faktor risiko; 1 faktor risiko, dan/atau diabetes
tidak ada tidak termasuk dengan atau tanpa
TOD/CCD) diabetes; tidak faktor risiko
ada TOD/CCD) lainnya
Normal tinggi Modifikasi gaya Modifikasi gaya Terapi obat
(130-139/85-89) hidup hidup

Derajat 1 (140- Modifikasi gaya Modifikasi gaya Terapi obat


159/80-99) hidup (sampai hidup (sampai 6
dengan 12 bulan) bulan)
Derajat 2 dan 3 Terapi obat Terapi obat Terapi obat
(≥160/≥100)
Keterangan: TOD/CCD (Target Organ Damage/Clinical
Cardiovascular Disease) menunjukkan adanya kerusakan
organ target atau penyakit kardiovaskuler klinis.

Jenis anti hipertensi tersebut yaitu:


a. Diuretik
Menurunkan tekanan darah pada awalnya dengan cara
menurunkan volume plasma (dengan menekan reabsorpsi natrium
oleh tubulus ginjal sehingga meningkatkan ekskresi natrium dan air)
dan curah jantung, tetapi selama terapi kronis pengaruh
hemodinamik yang utama adalah mengurangi resistensi vaskuler
perifer. Contoh obat pada golongan ini adalah hidroklortiazid,
klortalidon, metolazon, furosemid, dsb.

38
b. Agen Penghambat Beta Adrenergik
Obat ini efektif karena menurunkan denyut jantung dan curah
jantung, kemudian juga menurunkan pelepasan rennin dan lebih
manjur pada populasi dengan aktivitas rennin plasma yang
meningkat seperti orang kulit putih yang berusia lebih muda. Efek
sampingnya antara lain: mencetuskan atau memperburuk gagal
ventrikel kiri, kongesti nasal, dapat terjadi kelemahan, letargi,
impotensi, dsb. Beberapa obat dalam golongan ini adalah:
acebutolol, atenolol, betaksolol, labetalol, dll.
c. Penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme)
Banyak digunakan sebagai pengobatan awal hipertensi ringan
hingga sedang. Aksi kerja utamanya dengan menghambat system
rennin-angiotensin-aldosteron, tetapi juga menghambat degradasi
bradikinin, menstimulasi sintesis prostaglandin dan kadang
mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Keuntungan ACE adalah
relative bebas dari efek samping yang menggangu. Contoh obat
golongan ini yaitu: benazepril, kaptopril, enalpril, fosinopril,
lisinopril, dll.
d. Agen Penghambat Reseptor Angiotensin II
Jenis ini sebaiknya hanya digunakan terutama pada pasien
yang mengalami batuk jika menggunaan penghambat ACE. Contoh
obat pada golongan ini adalah: eprosartan, irbesartan, losartan,
valsartan, dll.
e. Agen Penghambat saluran Kalsium
Obat ini beraksi dengan cara menyebabkan vasodilatasi
perifer, yang berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang begitu
nyata dan retensi cairan daripada vasodilator yang lain. Efek
samping yang paling biasa yakni nyeri kepala, edema perifer,
bradikardi dan konstipasi, dsb. obat yang tergolong dalam golongan
ini diantaranya: amlodipin, isradipin, nikardipin, nifedipin, dll.

39
f. Antagonis Adrenoseptor Alfa
Parazosin, terazosin dan doksazosin memblok reseptor alfa
pasca sinaptik, membuat rileks otot polos dan menurunkan tekanan
darah dengan menurunkan resistensi vaskuler perifer. Efek samping
utama adalah hipertensi yang nyata dan sinkop setelah dosis
pertama, yang oleh sebab itu sebaiknya diberikan dosis kecil dan
diberikan pada saat akan tidur.
g. Obat-obat dengan Aksi Simpatolitik Sentral
Metildopa, klonidin, gunabenz, dan guanfacine menurunkan
tekanan darah dengan cara menstimulasi reseptor alfa adrenergic
pada sistem saraf pusat, sehingga mengurangi aliran keluar
simpatetik perifer eferen. Hal yang perlu diperhatikan yaitu
hipertensi kembali terjadi setelah penghentian pemberian obat dan
beberapa efek samping lainnya.
h. Dilator Arteriolar
Hidralazin dan minoksidil menyebabkan rileks otot polos
vaskuler dan menyebabkan vasodilatasi perifer. Hidralazin
menyebabkan gangguan gastrointestinal dan dapat menginduksi
sindroma menyerupai lupus. Minoksidil menyebabkan hirsutisme
dan retensi cairan yang nyata; agen ini diberikan pada pasien yang
refrakter.
i. Penghambat Simpatetik Perifer
Reserpin merupakan agen hipertensi yang hemat biaya. Oleh
karena efek samping obat ini yang dapat menginduksi depresi
mental dan efek samping lainnya seperti sedasi, hidung tersumbat,
gangguan tidur, dan ulkus peptikum, menyebabkan obat ini tidak
popular digunakan, meskipun masalah ini tidak biasa terjadi pada
dosis yang rendah.

40
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Penderita Hipertensi
2.3.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam peruses
keperawatan. Untuk itu, di perlukan kecermatan dan ketelitian dalam
menangani masalah klien sehingga dapat memberi arah terhadap tindakan
keperawatan.
1. Anamnesis.
a. Identitas meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa
yang di gunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, nomor register, tanggal masuk rumah
sakit, dan giagnosis medis.
b. Aktifitas/ istirahat
Gejala: Kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton
Tanda: Frekwensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,
takipnea
c. Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner aterosklerosis.
Tanda: Kenaikan tekanan darah, tachycardi, disrythmia, denyutan
nadi jelas, bunyi jantung murmur, distensi vena jugularis
d. Integritas Ego
Gejala: Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria,
marah, faktor stress multiple (hubungan, keuangan, pekerjaan)
Tanda: Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue
perhatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang (khususnya
sekitar mata), peningkatan pola bicara
e. Eliminasi
Gejala: Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu ( infeksi, obstruksi,
riwayat penyakit ginjal ), obstruksi.
f. Makanan/ cairan
Gejala: Makanan yang disukai (tinggi garam, tinggi lemak, tinggi
kolesterol), mual, muntah, perubahan berat badan (naik/ turun),
riwayat penggunaan diuretic.

41
Tanda: Berat badan normal atau obesitas, adanya oedem.
g. Neurosensori
Gejala: Keluhan pusing berdenyut, sakit kepala sub oksipital,
gangguan penglihatan.
Tanda: Status mental: orientasi, isi bicara, proses berpikir, memori,
perubahan retina optik. Respon motorik: penurunan kekuatan
genggaman tangan.
h. Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala: Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, nyeri abdomen/
masssa.
i. Pernafasan
Gejala: Dyspnea yang berkaitan dengan aktifitas/ kerja, tacyhpnea,
batuk dengan/ tanpa sputum, riwayat merokok.
Tanda: Bunyi nafas tambahan, cyanosis, distress respirasi/
penggunaan alat bantu pernafasan.
j. Keamanan
Gejala: Gangguan koordinasi, cara brejalan.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Hb: untuk mengkaji anemia, jumlah sel-sel terhadap volume cairan
(viskositas).
b. BUN: memberi informasi tentang fungsi ginjal.
c. Glukosa: mengkaji hiperglikemi yang dapat diakibatkan oleh
peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan hipertensi).
d. Kalsium serum
e. Kalium serum
f. Kolesterol dan trygliserid
g. Urin analisa
h. Foto dada
i. CT Scan
j. EKG

42
2.3.2 Kemungkinan Diagosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b/d peningkatan tekanan
vaskuler serebral.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi inadekuat
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum,
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.
4. Inefektif koping individu berhubungan dengan mekanisme koping tidak
efektif, harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistic.
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan
dengan kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak
mengetahui sumber-sumber informasi.
6. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan
vasokontriksi pembuluh darah.
7. Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit lapang
pandang, motorik atau persepsi.

2.3.3 Intervensi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri (sakit kepala) b. d peningkatan
tekanan vaskuler serebral Tujuan: Menghilangkan rasa nyeri
a. Kriteria hasil:
1) Melaporkan ketidanyamanan hilang atau terkontrol.
2) Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan.
b. Intervensi:
1) Pertahankan tirah baring selama fase akut.
R/ Meminimalkan stimulasi dan meningkatkan relaksasi.
2) Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit
kepala, misalnya kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan
leher.
R/ Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral,
efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya.

43
3) Hilangkan/minimalkan aktifitas vasokontriksi yang dapat
meningkatkan sakit kepala, misalnya batuk panjang, mengejan
saat BAB.
R/ Aktifitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan
sakit kepala pada adanya peningkatan vaskuler serebral.
4) Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.
R/ Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang
berlebihan yang memperberat kondisi klien.
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti
ansietas, diazepam dll.
R/ Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan
saraf simpatis.

2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan


tubuh b. d intake nutrisi inadekuat
a. Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
b. Kriteria Hasil:
1) Klien menunjukkan peningkatan berat badan
2) Menunjukkan perilaku meningkatkan atau mempertahankan
berat badan ideal
c. Intervensi
1) Bicarakan pentingnya menurunkan masukan lemak, garam dan
gula sesuai indikasi.
R/ Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya
aterosklerosis, kelebihan masukan garam memperbanyak
volume cairan intra vaskuler dan dapat merusak ginjal yang
lebih memperburuk hipertensi.
2) Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.
R/ Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diit
terakhir. .

44
3) Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian
termasuk kapan dan dimana makan dilakukan, lingkungan dan
perasaan sekitar saat makanan dimakan.
R/ Memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang
dimakan dan kondisi emosi saat makan, membantu untuk
memfokuskan perhatian pada factor mana pasien telah/dapat
mengontrol perubahan.
4) Intruksikan dan bantu memilih makanan yang tepat, hindari
makanan dengan kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur,
es krim, daging dll) dan kolesterol (daging berlemak, kuning
telur, produk kalengan, jeroan).
R/ Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol
penting dalam mencegah perkembangan aterogenesis.
5) Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.
R/ Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi
kebutuhan diet individual.

3. Intoleransi aktivitas b. d kelemahan umum, ketidakseimbangan


antara suplai dan kebutuhan O2.
a. Tujuan: tidak terjadi intoleransi aktivitas
b. Kriteria Hasil:
1) Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan atau
diperlukan
2) Melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat
diukur.
c. Intervensi
1) Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan
parameter: frekwensi nadi 20 x/menit diatas frekwensi istirahat,
catat peningkatan TD, dipsnea, atau nyeri dada, kelelahan berat
dan kelemahan, berkeringat, pusing atau pingsan.
R/ Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap
stress, aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja
jantung.

45
2) Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh :
penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi,
peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/ Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan
tingkat aktivitas individual.
3) Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat
meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas
bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan
kursi mandi, menyikat gigi/rambut dengan duduk dan
sebagainya.
R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi
dan sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.
5) Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode
aktivitas.
R/ Jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas
dan mencegah kelemahan.

4. Inefektif koping individu b. d mekanisme koping tidak efektif,


harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistik.
a. Tujuan: klien menunjukkan tidak ada tanda-tanda inefektif koping
b. Kriteria Hasil:
1) Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya
2) menyatakan kesadaran kemampuan koping / kekuatan pribadi
3) mengidentifikasi potensial situasi stress dan mengambil langkah
untuk menghindari dan mengubahnya.
c. Intervensi
1) Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi
perilaku, Misalnya: kemampuan menyatakan perasaan dan
perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan.

46
R/ Mekanisme adaptif perlu untuk megubah pola hidup seorang,
mengatasi hipertensi kronik dan mengintegrasikan terapi yang
diharuskan kedalam kehidupan sehari-hari.
2) Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan
konsentrasi, peka rangsangan, penurunan toleransi sakit kepala,
ketidak mampuan untuk mengatasi/menyelesaikan masalah.
R/ Manifestasi mekanisme koping maladaptif mungkin
merupakan indicator marah yang ditekan dan diketahui telah
menjadi penentu utama TD diastolic.
3) Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan
kemungkinan strategi untuk mengatasinya.
R/ Pengenalan terhadap stressor adalah langkah pertama dalam
mengubah respon seseorang terhadap stressor.
4) Libatkan klien dalam perencanaan perwatan dan beri dorongan
partisipasi maksimum dalam rencana pengobatan.
R/ Keterlibatan memberikan klien perasaan kontrol diri yang
berkelanjutan. Memperbaiki keterampilan koping, dan dapat
menigkatkan kerjasama dalam regiment teraupetik.
5) Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan
perubahan hidup yang perlu. Bantu untuk menyesuaikan
ketimbang membatalkan tujuan diri / keluarga.
R/ Perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistic
untuk menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya.

5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan


dengan kurangnya informasi mengenai penyakitnya.
a. Tujuan: Klien menunjukkan peningkatan pengetahuan mengenai
penyakitnya
b. Kriteria hasil:
1) Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regiment
pengobatan.

47
2) Mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan
komplikasi yang perlu diperhatikan. Mempertahankan TD
dalam parameter normal.
c. Intervensi
1) Kaji tingkat pemahaman klien tentang pengertian, penyebab,
tanda dan gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut.
R/ Mengidentifikasi tingkat pegetahuan tentang proses penyakit
hipertensi dan mempermudah dalam menentukan intervensi.
2) Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor-faktor resiko
kardivaskuler yang dapat diubah, misalnya: obesitas, diet tinggi
lemak jenuh, dan kolesterol, pola hidup monoton, merokok,
pola hidup penuh stress dan minum alcohol (lebih dari 60
cc/hari dengan teratur).
R/ Faktor-faktor resiko ini telah menunjukan hubungan dalam
menunjang hipertensi dan penyakit kardiovaskuler serta ginjal.
3) Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang
terdekat.
R/ Kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan
sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minimal
klien/orang terdekat untuk mempelajari penyakit, kemajuan dan
prognosis. Bila klien tidak menerima realitas bahwa
membutuhkan pengobatan kontinyu, maka perubahan perilaku
tidak akan dipertahankan.
4) Jelaskan pada klien tentang proses penyakit hipertensi
(pengertian, penyebab, tanda dan gejala, pencegahan,
pengobatan, dan akibat lanjut) melalui penkes.
R/ Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan klien tentang
proses penyakit hipertensi.

48
6. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan
vasokontriksi pembuluh darah.
a. Tujuan: Tidak terjadi penurunan curah jantung
b. Kriteria Hasil:
1) Klien berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan
darah/beban kerja jantung
2) Mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat
diterima.
3) Memperlihatkan norma dan frekwensi jantung stabil dalam
rentang normal pasien.
c. Intervensi
1) Observasi tekanan darah
R/ Perbandingan dari tekanan darah memberikan gambaran
yang lebih lengkap tentang keterlibatan vaskuler.
2) Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
R/ Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin
teramati saat palpasi. Denyut pada tungkai mungkin menurun,
mencerminkan efek dari vasokontriksi dan kongesti vena.
3) Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas.
R/ S4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena
adanya hipertropi atrium, perkembangan S3 menunjukan
hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels,
mengi dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap
terjadinya atau gagal jantung kronik.
4) Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian
kapiler.
R/ Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian
kapiler lambat mencerminkan dekompensasi/penurunan curah
jantung.
5) Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas
atau keributan ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan
lamanya tinggal.

49
R/ Membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis,
meningkatkan relaksasi.
6) Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi.
R/ Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress,
membuat efek tenang, sehingga akan menurunkan tekanan
darah.
7) Kolaborasi dengan dokter dalam pembrian terapi anti hipertensi
dan diuretik.
R/ Menurunkan tekanan darah.

7. Resiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan defisit


lapang pandang, motorik atau persepsi. Tujuan: Tidak terjadi
cidera
a. Kriteria hasil:
1) Mengidentifikasi faktor yang meningkatkan resiko terhadap
cedera.
2) Memperagakan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.
3) Meminta bantuan bila diperlukan.
b. Intervensi:
1) Lakukan tindakan untuk mengurangi bahaya lingkungan.
R/ Membantu menurunkan cedera.
2) Bila penurunan sensitifitas taktil menjadi masalah ajarkan klien
untuk melakukan:
a) Kaji suhu air mandi dan bantalan pemanas sebelum
digunakan.
b) Kaji ekstremitas setiap hari terhadap cedera yang tak
terdeteksi.
c) Pertahankan kaki tetap hangat dan kering serta kulit
dilemaskan dengan lotion emoltion.
R/ Kerusakan sensori pasca CVA dapat mempengaruhi persepsi
klien terhadap suhu.

50
3) Lakukan tindakan untuk mengurangi resiko yang berkenaan
dengan pengunaan alat bantu.
R/ Penggunaan alat bantu yang tidak tepat atau tidak pas dapat
meyebabkan regangan atau jatuh.
4) Anjurkan klien dan keluarga untuk memaksimalkan keamanan
di rumah.
R/ Keamanan yang baik meminimalkan terjadinya cidera

2.3.4 Evaluasi
1. Apakah rasa nyeri pasien / sakit kepala berkurang ?
2. Apakah pasien sudah bisa beraktifitas sendiri / mandiri ?
3. Apakah pola nutrisi pasien seimbang atau normal ?

51
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Infeksi endocarditis merupakan peradangan endocardium atau katup-
katup jantung. Penyakit ini di klasifikasikan berdasarkan keganasan dan
penyebab yaitu endocarditis bacterial akut dan endocarditis bacterial kubakut
Katup jantung berfungsi mengendalikan arah aliran darah dalam jantung.
Kelainan katup jantung merupakan keadaan dimana katup jantung mengalami
kelainan yang membuat aliran darah tidak dapat di atur dengan maksimal oleh
jantung
Menurut JNC 7 (joint national committee of hypertension) definisi
hipertensi adalah peningkatan tekanan darah didalam arteri > 140mmHg
systolic dan. 90mmHg diastolic

52
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Kardiovaskuler. Jakarta. Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


kardiovaskuler. . Jakarta. Penerbit: Salemba Medika

http: //www. scribd. com/doc/55255412/Anatomi-FisiologiSistemKardiovaskular/


07/04/20120_11. 00

Syaifuddin, H. 2002. Anatomi fisiologi berbasis kompetensi untuk keperawatan dan


kebidanan. Jakarta: Penerbi EKG

Syaifuddin, Haji. 2006. Anatomi fisiologis mahasiswa keperawatan. Jakarta


Penerbit: EKG

Syaifuddin. 2009. Fisiologi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta


Penerbit: Salemba Medika.

Yasmin, Ni Luh Gede. 1993. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Sistem Kardiovaskuler. Jakarta. Salemba Medika.

www. academia. edu

53

You might also like