You are on page 1of 7

Modul III

Sejarah Filsafat: Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Sebagai makhluk multidimensional dan unik, dalam diri Manusia sebagai makhluk
multidimensional tercermin melalui predikat yang disandangnya, mulai dari homo habilis,
animal rationale, animal symbolicum, homo faber, hingga homo educandum. Berbeda
dengan hewan dan tumbuhan yang lahir dengan kemampuan mengerti secara naluriah yang
dibawa sejak lahir, manusia harus beradaptasi dengan alam sekitarnya untuk hidup
bertahan.

Kemampuan manusia beradaptasi dengan lingkungannya melalui berbagai pengetahuan


yang diperolehnya dari pengalaman. Dari kumpulan pengetahuan itulah, pada
perkembangan selanjutnya, lahir ilmu pengetahuan. Berikut ini paparan sejarah filsafat dari
sudut perkembangan ilmu pengetahuan dari zaman Peradaban Sumeria hingga era Post-
moderisme.

A. Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Perkembangan ilmu pengetahuan (sains) dengan peradaban umat manusia, sebenarnya


berada di lintasan sejarah yang sama. Hubungan perkembangan ke duanya, bagaikan dua
sisi mata uang.

Ilmu pengetahuan merupakan produk kreativitas dan inovasi manusia yang berlangsung
melalui proses dan penahapan yang sangat panjang. Prosesnya berlangsung di sepanjang
rangkaian peradaban manusia itu sendiri.

Pada awalnya, manusia mengenal ilmu pengetahuan sebagai kepercayaan terhadap bentuk
kekuatan gaib (mistik). Selanjutnya, kepercayaan terhadap kekuatan mistik tersebut
berkembang menjadi kepercayaan terhadap agama dan seni.

Pada hampir semua sejarah bangsa-bangsa kuno di dunia, dijumpai adanya mitologi
dewa-dewa. Dalam mitologi bangsa Yunani kuno misalnya, dikenal adanya para dewa yang
dipercaya menguasai kehidupan "alam atas".

Pada kehidupan zaman kuno, kepercayaan umat manusia terhadap mitos masih kental dan
memasuki semua bidang kehidupan. Setiap gejala alam dan lingkungan yang dialami umat
selalu dikaitkan dengan dewa-dewa sebagai penguasa alam.

Namun setelah menyadari bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi rasio,
pandangan terhadap mistis mulai ditinggalkan. Potensi rasionya mulai dikembangkan,
sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.

Dalam memahami perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, para ahli mengkajinya


melalui beberapa pendekatan, diantaranya; pendekatan proses yang kemukakan oleh
George J. Mouly, pendekatan kultural yang dikemukakan oleh Franz Dahler, pendekatan
kreativitas dikemukakan oleh Conny R. Semiawan, Pendekatan peradaban dikemukakan
oleh Jerome R. Ravertz, dan pendekatan sejarah dan budaya yang dikembangkan oleh
Marshall G. S. Hidgson.

Dalam kesempatan ini, penulis akan menyajikan perkembangan ilmu pengetahuan dengan
pendekatan Sejarah dan Kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Marshall G. S.
Hidgson.

A. Era Kebangkitan Ilmu Pengetahuan

1. Peradaban Sumeria

Sejarah kehidupan umat manusia saat benar-benar memiliki peradaban dimulai sejak masa
Sumeria. Peradaban yang kemudian dikenal sebagai "Sumerisme" tumbuh dan berkembang
berkat dukungan dan peranan kaum intelektual yang mengusung literasi pranata
keagamaan.

Para sejarawan sepakat bahwa peradaban Sumeria hidup sekitar tahun 5500 SM hingga
4000 SM di Mesopotamia (kini: Irak bagian selatan). Orang Ubaid (bangsa penggerak
peradaban Sumerisme) diketahui sudah mengenal cara bercocok tanam, berdagang dan
membangun industri rumahan seperti pengrajin tenun, tembikar, batu, kulit, dan besi.

Sejarah perjalanan peradaban Sumeria terhampar dari masa negeri Mesopotamia, Akkadia,
Assyria, Babylonia hingga kerajaan Persia Kuno.

2. Yunani Kuno

Selanjutnya dua setengah milenium yang lalu bangsa Yunani menciptakan suatu sistem
pemikiran yang sangat mirip dengan pemikiran ilmiah, pada abad-abad selanjutnya hanya
sedikit kemajuan yang dicapai.

Baru sekitar abad ke-6 dan ke-5 SM, bangsa Yunani menciptakan suatau sistem pemikiran
yang dikenal kemudian sebagai pemikiran ilmiah melalui karya para filsufnya.

Sederet nama-nama besar seperti Thales, Socrates, Plato, Aristoteles, Thales, Pythagoras,
Euclid, Archimides, Aristarchus, Hipparchus, dan Ptolomeus dianggap sebagai peletak dasar
filsafat Yunani.

Peradaban Yunani Kuno mencapai puncak keemasan pada zaman Aristoteles (384-322 SM).
Seorang murid Plato yang berhasil menjawab berbagai persoalan dalam filsafat dengan satu
sistem ilmu pengetahuan, yaitu; logika, matematika, fisika dan metafisika.

Bangsa Romawi yang menggantikan kedudukan Yunani di Eropa, boleh dikatakan tidak
melahirkan peradaban baru. Dalam kegiatan ilmu dan filsafat, bangsa Romawi umumnya
hanya berpegang pada karya-karya orang Yunani, khususnya Aristoteles, tanpa banyak
mengadakan perubahan.
Sejak runtuhnya kekuasaan Romawi, kerajaan-kerajaan Eropa masuk ke dalam Abad
Kegelapan. Saat itu terjadi kemandekan perkembangan ilmu dan filsafat.

3. Abad Pertengahan

Rentang masa kemandekan itu berlangsung cukup lama, yakni sejak kehancuran Kekaisaran
Roma tahun 450-an Masehi, dan baru bangkit kembali setelah munculnya pengaruh
peradaban Arab. Di balik itu terjadi kebangkitan di Dunia Islam, meski perkembangan ilmu
pengetahuan di Zaman Pertengahan ini tak dapat dilepaskan dari pemaduan antara filsafat
Yunani dan syariat Arabiyah.

Gerakan intelektual yang ditandai oleh penerjemahan karya berbahasa Persia, Sansekerta,
Yunani ke bahasa Arab. Era penerjemahan berawal dari didirikannya lembaga khusus yang
bernama Al-Hikmah oleh Al-Ma'mun sekitar tahun 830 M. Dimana lembaga Al-Hikmah
mencakup sarana perpustakaan, akademi, dan sekaligus sebagai biro penerjemah.

Bait al-Hikmah (Wisma Kearifan) sebagai pusat kegiatan ilmiah telah menciptakan suasana
yang subur di kalangan kaum Muslimin tertentu bagi berkembangnya pemikiran spekulatif
Bait al-Hikmah fungsi utamanya adalah untuk menampung aktivitas dan hasil-hasil
terjemahan dari bahasa Persia ke bahasa Arab.

Sejalan dengan fungsinya itu, maka di tempat ini kemudian dipekerjakan penerjemah-
penerjemah yang mampu melakukan pekerjaannya dan sekaligus melestarikan buku-buku.

Di rentang masa itu, boleh dikatakan hampir setiap kekhalifahan Islam, ikut mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan. Memang yang umum dikenal dua kekhalifahan besar,
yakni kekhalifahan Bani Umayah periode pertama (661-749) dan periode kedua (750-1027),
serta Bani Abbas periode pertama (749-1200) dan periode kedua (861-1258).

Di masa keemasan kedua kekhalifahan tersebut, ilmu pengetahuan berkembang dengan


pesatnya. Sehingga, masa itu dikatakan pula sebagai tonggak dari kemunduran yang terjadi
di Eropa.

Kebangkitan ilmu pengetahuan terus berlanjut di kawasan luar Eropa. Semasa kekhalifahan
Dinasti Abbasiyah pengembangan ilmu pengetahuan meliputi kajian bidang kedokteran,
filsafat, astronomi, matematika, kimia, geografi, historiografi, teologi, hukum dan etika
Islam, sastra dan bidang kesenian lainnya. Khusus di bidang kesenian perkembangan itu
mencakup seni arsitektur, seni rupa, dan seni musik.

Berikutnya, kekhalifahan Umayah di Spanyol tak ketinggalan dalam pengembangan ilmu


pengetahuan ini. Dikemukakan di masa kekhalifahan kemajuan bidang keilmuan ditandai
oleh perkembangan lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya
dalam bidang arsitektur, seni rupa, dan seni musik.

Selanjutnya, melalui Avicenna (Ibn Sina) dan Averroes (Ibn Rusyd), maka Platonisme dan
Aristotelianisme masuk ke dunia Latin dan memberikan pengaruh terhadap skolatisisme
Eropa pada Abad Pertengahan.
Abad Pertengahan menjadi jembatan bagi peletak dasar-dasar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di Eropa.

4. Eropa Modern

Kebangkitan kembali ilmu pengetahuan di Benua Eropa menandai lahirnya Abad Modern.
Dalam pandangan Marshall G. S. Hodgson, Abad Modern (zaman modern), hakikatnya
adalah teknikalisme dengan tuntutan efisiensi kerja yang tinggi, yang diterapkan kepada
semua bidang kehidupan, sehingga melatarbelakangi timbulnya Revolusi Industri di Eropa
Barat. Meski hal tersebut dinilai banyak ahli sebagai sesuatu yang di luar dugaan. Jika
mencermati masa lampaunya yang panjang dan gemilang, seharusnya peradaban Modern
lahir di Yunani dan Romawi.

Selain itu, Abad Modern juga tidak terjadi secara spontan, melainkan melalui suatu proses
rentang masa transisi yang cukup panjang, yakni masa renaisans (renaissance) yang dalam
bahasa Prancis berarti lahir kembali. Masa ini membentangi waktu antara sekitar tahun
1350-1650.

Renaisans dikenal sebagai era sejarah yang penuh kemajuan dan perubahan ketika
dilancarkannya gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi Gereja Katolik Roma.
Ranaisans pada hakikatnya adalah masa transisi yang menjembatani antara Zaman
Pertengahan dan Zaman Modern.

Sejarawan Philip K. Hitti (1886-1978) mengemukakan bahwa beberapa karya Islam tentang
astronomi telah diterjemahkan ke bahasa Latin, terutama di Spanyol, dan sangat
berpengaruh terhadap ilmu pengetahuan di Eropa.

Kontak antara Islam dan Eropa Latin sebagian besar berlangsung melalui Spanyol, di mana
orang-orang Kristen dan Yahudi bertindak sebagai perantara dan penerjemah. Abad ke-12
menunjukkan adanya suatu program penerjemahan besar-besaran karya-karya berbahasa
Arab ke dalam bahasa Latin. Sedangkan rute-rute kecil berlangsung melalui Italia
berdasarkan kontak-kontak komersial yang berlangsung dengan Tunisia.

Philip K. Hitti melihat ada mata rantai penghubung antarkebudayaan. Budaya Hellenis yang
mengalir ke Timur dibelokkan kembali oleh orang Arab di Spanyol dan Sisilia, melalui
terjemahan karya Yunani ke bahasa Arab. Conny R. Semiawan (1920-2021) mengemukakan,
bahwa sumbernya adalah: 1) Hubungan antara Kerajaan Arab di Jazirah Spanyol dengan
Prancis; 2) Perang Salib; dan 3) jatuhnya Konstantinopel ke tangan bangsa Turki.

Sedangkan menurut Jerome R. Ravetz (1929 - ), asal-usul kebangkitan keilmuan Eropa


bersumber dari: 1) produk renaisans tentang penemuan manusia dan alam; 2) pemanfaatan
matematika praktis dalam pengolahan metalurgi; dan 3) penjelajahan bangsa Spanyol dan
Portugis.

Perkembangan ilmu di Barat (Eropa) dalam berbagai bidang terus berkelanjutan. Sejumlah
tokoh dari berbagai bidang keilmuan terus bermunculan dengan karya-karyanya, seperti
filsuf Rene Descartes (1596-1650), di bidang astronomi ada nama Copernicus maupun
Galileo, dilanjutkan oleh Tycho Brache dan Keppler.

Di bidang fisika ada Isaac Newton (1643–1727), perhitungan kalkulus oleh Gottfried Wilhelm
Leibniz, Antoine Laurent Lavoisier (1743-1794) ilmu kimia , Charles Darwin (1809-1882) di
bidang Biologi, Wilhelm Konrad Roentgen menemukan Sinar X (Roentgen) pada tahun 1895,
Francis Bacon (1560-1626) bidang geometri.

Meski ada pendapat bahwa kebangkitan ilmuwan-ilmuwan barat tidak lepas dari ilmu-ilmu
yang sudah dikembangkan lebih awal oleh ilmuwan muslim. Fakta lain menunjukkan, bahwa
kebangkitan ilmu pengetahuan merupakan suatu proses yang panjang, berjalin berkelindan
dengan karya-karya para ilmuwan sebelumnya.

Barangkali nama-nama ilmuwan yang dianggap sebagai pelopor kebangkitan Eropa ini sama
sekali tak bakal muncul, bila tidak terjadi persentuhan dengan peradaban Timur dan Arab.

Memang sejak lahirnya zaman renaisanse, peradaban Islam secara bertahap mengalami
kemunduran, di sisi lain Revolusi Sains lahir.

Mengutip Nurcholis Madjid (1984), “dunia Islam berhenti berkembang karena kejenuhan
dan kemantapan kepada dirinya sendiri”. Sementara di Dunia Eropa terjadi hal yang
sebaliknya. Kemunduran perkembangan ilmu pengetahuan di Dunia Islam terwariskan ke
Eropa. Kebangkitan ini melalui dua fase, yakni perkembangan teknis di abad ke-16, dan
revolusi filosofis di abad ke-17.

Kemenangan-kemenangan ilmu pengetahuan tampak menjanjikan pengetahuan dan


kekuasaan yang berlimpah ruah. Mereka melihat bahwa ilmu pengetahuan Eropa modern
adalah bagian yang penting bagi peradaban. Cacat-cacatnya dan juga kebajikan-
kebajikannya berasal dari aspek-aspek Eropa yang tertanam dengan kuat dalam cara hidup
Barat.

Dalam lingkungan sosial dan alamiahnya, berdasarkan penerapan ilmu pengetahuan jiwa
agresif yang tak berubah selama lima abad ekspansi Eropa. Setelah Revolusi Sains, boleh
dikatakan perkembangan ilmu pengetahuan sudah mencapai tingkat kemapanannya.

5. Postmodernisme

Menjelang abad ke-21, postmoderisme muncul sebagai cara pandang baru atas ilmu-ilmu
sosial dan humaniora. Era ini mula-mula muncul karena adanya keinginan untuk berpaling
dari paham modernisme yang dianggap berlebihan dalam mendefinisikan kehidupan.

Paham postmodernisme tercetus di St. Louis, Missouri, AS, pada 15 Juli 1972, dengan tokoh-
tokoh antara lain Jeans Francois Lyotard, Michel Faucault, Jacques Derrida, dan Richard
Rorty. Menurut mereka, modernisme dinilai tidak berhasil mengangkat martabat manusia
modern.
Postmodernisme yang tidak memerhatikan tapal batas yang ketat dari isme yang satu
dengan yang lain, memungkinkan penyesuaian, transformasi, dan transendensi beberapa
isme, seperti strukturalisme, romantisme, fenomenisme, nihilisme, eksistensialisme,
herminetika, marxisme barat, teori kritik dan anarkisme.

Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, postmodernisme mengorganisasikan ilmu


pengetahuan di sekitar personal, intuitif dan epistemologis. Dengan demikian, dalam
pandangan postmodernisme bahwa ilmu pengetahuan bersifat subjektif.

Permasalahan hubungan antara ilmu pengetahuan dan sistem nilai, sebagai bidang kajian
aksiologis sudah merupakan polemik sejak masa sebelumnya. Hal ini banyak menyangkut
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hubungannya dengan moral.

Postmodernisme yang membangkitkan kembali ketertarikan dalam hal-hal yang bersifat


tradisional dan sejarah, memungkinkan mengembangkan pemikiran-pemikiran ke masa
depan, dan juga menerima tradisi-tradisi masa lalu yang dinilai relevan.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat terkenal di era postmodernisme adalah


teknologi rekayasa genetika, seperti teknologi kloning. Teknologi ini dikembangkan pertama
kali oleh Dr. Gordon dari Cambridge University (Inggris), tahun 1961, melalui kloning
kecebong. Tahun 1993, Dr. Hall berhasil mengkloning embrio manusia. Lalu tahun 1997 Dr.
Ian Wilmut mengkloning mamalia pertama, yakni domba. Seiring dengan itu terjadi pula
kloning lembu.

Pada garis besarnya rekayasa genetik digunakan untuk dua tujuan. Pertama,
membudidayakan gen yang mengandung sifat-sifat yang menguntungkan. Kedua,
membuang gen yang membawa sifat-sifat yang merugikan.

Cara pertama banyak digunakan dalam bidang kedokteran untuk menghasilkan vaksin, atau
memproduksi obat antibiotika. Sedangkan cara kedua banyak dipakai di bidang pertanian,
misalnya untuk membuang sifat-sifat bakteri yang merugikan penghuni tetap pada pohon
buah-buahan yang produktif, dan merangsang perkembangbiakan bakteri-bakteri yang tidak
merugikan.

Teknik rekayasa genetika berkembang dari waktu ke waktu dan untuk selanjutnya para ahli
akan mencobanya pada manusia. Gagasan ini menimbulkan kontroversi yang sangat gencar.
Masa depan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat kita bayangkan betapa
sophisticated-nya kelak. Namun, betapa pun "canggihnya" produk ilmu pengetahuan dan
teknologi itu ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau
mengubah hakikat kemanusiaan.

Seperti halnya modernisme, perkembangan ilmu pengetahuan periode postmodernisme


juga ternyata menuai kritik. Di antara kritik tersebut adalah mengenai pandangan
postmodernisme terkait nilai kebenaran yang sulit untuk dipastikan (interpretatif) dan yang
utama kaitannya dengan nilai-nilai moral dan etika.

**
Pada satu sisi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari zaman ke zaman telah
ikut menopang kebudayaan dan peradaban manusia. Kemajuan yang dicapai telah ikut
mempermudah kehidupan manusia. Namun belum sepenuhnya dapat membahagiakan
kehidupan manusia.

Kebutuhan dan kebahagiaan tidak hanya terbatas pada kemudahan dan pemanfaatan yang
disediakan oleh produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat materi semata. Lebih
dari itu masih ada nilai-nilai non-materi yang juga perlu dipenuhi, yakni moral. Nilai-nilai
yang non-materi ini terkait dengan harkat dan martabat manusia.

Sebagai makhluk yang luhur, sejak manusia sadar akan nilai-nilai luhur yang dimilikinya,
manusia melepaskan diri dari kungkungan "mitos". Kemudian dengan kemampuan "rasio",
manusia berusaha menemukan hakikat alam melalui perenungan filsafat. Kebutuhan
hidupnya secara praktis sudah dipenuhi oleh produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dihasilkannya.

Sayangnya, kreativitas ilmu pengetahuan yang kian "mencengangkan" ini dimitoskan


kembali oleh manusia. Kreativitas ini pula yang kemudian menjauhkan manusia dari nilai-
nilai kemanusiaannya.

***

You might also like