You are on page 1of 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASFIKSIA NEONATORUM

STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN

Oleh :
Tri Windarti
NIM. PB. 1905059

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
KLATEN
2020
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ASFIKSIA

A. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera
atau beberapa saat setelah lahir. Secara klinik ditandai dengan sianosis, bradikardi,
hipotonia, dan tidak ada respon terhadap rangsangan, yang secara objektif dapat dinilai
dengan skor APGAR. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan
asidosis. Konsekuensi fisiologis yang terutama terjadi pada bayi dengan asfiksia adalah
depresi susunan saraf pusat dengan kriteria menurut WHO tahun 2008 didapatkan
adanya gangguan neurologis berupa Hypoxic Ischaemic Enchepalopaty (HIE), akan
tetapi kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera.
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan. Asfiksia dalam kehamilan
dapat disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis, keracunan obat bius, uremia,
toksemia gravidarum, anemia berat, cacat bawaan, atau trauma. Sementara itu, asfiksia
dalam persalinan disebabkan oleh partus yang lama, ruptura uteri, tekanan terlalu kuat
kepala anak pada plasenta, prolapsus, pemberian obat bius yang terlalu banyak dan pada
saat yang tidak tepat, plasenta previa, solusia plasenta, serta plasenta tua (serotinus)
(Nurarif, 2013).
B. Prevalensi
Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator dalam menentukan derajat
kesehatan anak. Setiap tahun kematian bayi baru lahir atau neonatal mencapai 37% dari
semua kematian pada anak balita. Setiap hari 8.000 bayi baru lahir di dunia meninggal
dari penyebab yang tidak dapat dicegah. Mayoritas dari semua kematian bayi, sekitar
75% terjadi pada minggu pertama kehidupan dan antara 25% sampai 45% kematian
tersebut terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan seorang bayi. Penyebab utama
kematian bayi baru lahir atau neonatal di dunia antara lain bayi lahir prematur 29%,
sepsis dan pneumonia 25% dan 23% merupakan bayi lahir dengan Asfiksia dan trauma.
Asfiksia lahir menempati penyebab kematian bayi ke 3 di dunia dalam periode awal
kehidupan (WHO, 2012).
Asfiksia Neonatorum merupakan kondisi atau keadaan dimana bayi tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan tersebut akan disertai
dengan keadaan hipoksia, hiperkapnea, dan berakhir dengan asidosis. Asfiksia
merupakan masalah yang terjadi pada bayi baru lahir, suatu kelahiran erat kaitannya
dengan proses persalinan, dalam persalinan terdapat 4 tahapan yaitu kala I (pembukaan
0 sampai lengkap), kala II (persalinan janin), kala III (persalinan plasenta), kala IV (2
jam setelah plasenta lahir).
C. Etiologi
Asfiksia dapat terjadi karena beberapa faktor (Nurarif, 2013).
1. Faktor Ibu
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta
berkurang. Akibatnya, aliran oksigen ke janin juga berkurang dan dapat
menyebabkan gawat janin dan akhirnya terjadilah asfiksia. Berikut merupakan
keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia pada bayi baru lahir:
a. Preeklamsia dan eklamsia
b. Demam selama persalinan
c. Kehamilan postmatur
d. Hipoksia ibu
e. Gangguan aliran darah fetus, meliputi :
1) Gangguan kontraksi uterus pada hipertoni, hipotoni, tetani uteri
2) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
3) Hipertensi pada penyakit toksemia
f. Primi tua, DM, anemia, riwayat lahir mati, dan ketuban pecah dini
2. Faktor Plasenta
Keadaan berikut ini berakibat pada penurunan aliran darah dan oksigen melalui
tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia:
a. Abruptio plasenta
b. Solutio plasenta
c. Plasenta previa
3. Faktor Fetus
Pada keadaan berikut bayi mungkin mengalami asfiksia walaupun tanpa didahului
tanda gawat janin:
a. Air ketuban bercampur dengan mekonium
b. Lilitan tali pusat
c. Tali pusat pendek atau layu
d. Prolapsus tali pusat
4. Faktor Persalinan
Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu :
a. Persalinan kala II lama
b. Pemberian analgetik dan anastesi pada operasi caesar yang berlebihan sehingga
menyebabkan depresi pernapasan pada bayi
5. Faktor Neonatus
Berikut merupakan kondisi bayi yang mungkin mengalami asfiksia:
a. Bayi preterm (belum genap 37 minggu kehamilan) dan bayi posterm
b. Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum,
forsep)
c. Kelainan konginetal seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran
pernapasan, hipoplasi paru, dll.
d. Trauma lahir sehingga mengakibatkan perdarahan intracranial
D. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
Asfiksia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu asfiksia pallida dan asfiksia livida
dengan masing-masing manifestasi klinis sebagai berikut (Nurarif, 2013):
Tabel 1. Karakteristik Asfiksia Pallida dan Asfiksia Livida
Perbedaan Asfiksia Pallida Asfiksia Livida
Warna Kulit Pucat Kebiru-biruan
Tonus Otot Sudah kurang Masih baik
Reaksi Rangsangan Negatif Positif
Bunyi Jantung Tidak teratur Masih teratur
Prognosis Jelek Lebih baik

Klasifikasi asfiksia dapat ditentukan berdasarkan nilai APGAR (Nurarif, 2013).


Tabel 2. APGAR score
Tanda Nilai
0 1 2
A : Appearance Biru/pucat Tubuh kemerahan, Tubuh dan
(color/warna kulit) ekstremitas biru ekstremitas
kemerahan
P : Pulse (heart rate/denyut Tidak ada < 100x per menit >100x per menit
nadi)
G : Grimance (reflek) Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
A : Activity (tonus otot) Lumpuh Fleksi lemah Aktif
R : Respiration (usaha Tidak ada Lemah, merintih Tangisan kuat
bernapas)
Bayi akan dikatakan mengalami asfiksia berat jika APGAR score berada pada
rentang 0-3, asfiksia sedang dengan nilai APGAR 4-6, dan bayi normal atau dengan
sedikit asfiksia jika APGAR score berada pada rentang 7-10 (Nurarif, 2013).
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5
menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7.
Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan
menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30
detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor
apgar). Asfiksia neonatorum di klasifikasikan (Fida & Maya, 2012) :
1. Asfiksia Ringan ( vigorus baby) Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan istimewa.
2. Asfiksia sedang ( mild moderate asphyksia) Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan
fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau
baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia Berat Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung kurang dari 100 x permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-
kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Pada asphyksia dengan henti jantung yaitu
bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau
bunyi jantung menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asfiksia berat.
E. Anatomi Fisiologi Paru-paru

Paru-paru berada pada rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot
dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru
terbagi atas dua bagian yaitu paru-paru kanan yang terdiri atas 3 lobus yaitu lobus atas,
tengah dan bawah. Paru-paru kiri yang terdiri atas 2 lobus yaitu lobus atas dan lobus
bawah yang dibatasi oleh fisura obliq. Bagian atas atau puncak paru disebut apeks yang
menjorok ke atas arah leher dan pada bagian bawah disebut basal. Paru-paru dibungkus
oleh dua selaput yang tipis, yang disebut pleura.
F. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor maternal,
plasenta-tali pusat, dan fetus atau neonatus:
1. Kelainan maternal, dapat meliputi hipertensi, peyakit vaskular, diabetes, drug abuse,
penyakit jantung, paru, gangguan susunan saraf pusat, hipotensi, ruptura uteri, tetani
uteri, panggul sempit.
2. Kelainan plasenta dan tali pusat, meliputi infark dan fibrosis plasenta, prolaps atau
kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah umbilikus.
3. Kelainan fetus atau neonatus meliputi anemia, hidrops, infeksi, pertumbuhan janin
terhambat, serotinus.
Selain itu, kurangnya kesadaran calon ibu untuk melakukan ANC, status nutrisi yang
rendah, perdarahan saat melahirkan, dan infeksi saat kehamilan juga merupakan faktor
resiko terjadinya asfiksia. Ditambah lagi dengan letak bayi sungsang dan kelahiran
dengan berat bayi kurang dari 2500 gram, maka akan memperburuk keadaan dan
meningkatkan resiko asfiksia (Pitsawong, 2011). Namun sayangnya, berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Ogunlesi dkk (2013) dinyatakan bahwa dari 354 orang
responden yang diteliti, hampir seluruhnya tidak mengetahui faktor resiko terjadinya
asfiksia (Ongunlesi, 2013).
G. Patofisiologi
Pembuluh darah arteriol yang ada di paru-paru bayi masih dalam keadaan kontriksi
dan hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru-paru sehingga
darah dialirkan melalui duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta namun suplai
oksigen melalui plasenta ini terputus ketika bayi memasuki kehidupan ekstrauteri
(Masruroh, 2016). Hilangnya suplai oksigen melalui plasenta pada masa ekstrauteri
menyebabkan fungsi paru neonatus diaktifkan dan terjadi perubahan pada alveolus yang
awalnya berisi cairan kemudian digantikan oleh oksigen. Proses penggantian cairan
tersebut terjadi akibat adanya kompresi dada (toraks) bayi pada saat persalinan kala II
dimana saat pengeluaran kepala, menyebabkan badan khususnya dada (thoraks) berada
dijalan lahir sehingga terjadi kompresi dan cairan yang terdapat dalam paru dikeluarkan.
Setelah thoraks lahir terjadi mekanisme balik yang menyebabkan terjadinya inspirasi
pasif paru karena bebasnya toraks dari jalan lahir, sehingga menimbulkan perluasan
permukaan paru yang cukup untuk membuka alveoli. Besarnya tekanan cairan pada
dinding alveoli membuat pernapasan yang terjadi segera setelah alveoli terbuka relatif
lemah, namun karena inspirasi pertama neonatus normal sangat kuat sehingga mampu
menimbulkan tekanan yang lebih besar ke dalam intrapleura sehingga semua cairan
alveoli dapat dikeluarkan (Hall & Guyton, 2014). Selain itu, pernapasan pertama bayi
timbul karena ada rangsangan-rangsangan seperti penurunan PO2 dan pH, serta
peningkatan PCO2 akibat adanya gangguan pada sirkulasi plasenta, redistribusi curah
jantung sesudah tali pusat diklem, penurunan suhu tubuh dan berbagai rangsangan
taktil. Namun apabila terjadi gangguan pada proses transisi ini, dimana bayi tidak
berhasil melakukan pernapasan pertamanya maka arteriol akan tetap dalam
vasokontriksi dan alveoli akan tetap terisi cairan. Keadaan dimana bayi baru lahir
mengalami kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah dilahirkan
disebut dengan asfiksia neonatorum (Fida & Maya, 2012). Gagal napas terjadi apabila
paru tidak dapat memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi
darah arteri dan pembuangan karbon dioksida. Proses pertukaran gas terganggu apabila
terjadi masalah pada difusi gas pada alveoli. Difusi gas merupakan pertukaran antara
oksigen dengan kapiler paru dan CO2 kapiler dengan alveoli. Proses difusi gas pada
alveoli dipengaruhi oleh luas permukaan paru, tebal membran respirasi/permeabelitas
membran, perbedaan tekanan dan konsentrasi oksigen dan afinitas gas (Hidayat, 2010).
H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan diantaranya yaitu :
1. Analisa Gas Darah (AGD) : pH kurang dari 7,20
2. Penialaian APGAR score, meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha napas, tonus
otot, dan reflek
3. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
4. Pengkajian spesifik.
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada
pasien asfiksia berupa pemeriksaan:
1. Laboratorium AGD : mengkaji tingkat dimana paru-paru mampu memberikan O2
yang adekuat.
2. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
3. Babygram (photo rongten dada)
4. Elektrolit darah
5. Gula darah
6. Pulse oximetry : metode pemantauan non invasive secara kontinyu terhadap saturasi
O2 Hb, pemantauan SPO2
I. Komplikasi
Komplikasi dapat mengenai beberapa organ pada bayi, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
2. Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persiste pada neonatus, perdarahan paru,
edema paru
3. Gastrointestinal : enterokolitis nekotikos
4. Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH, anuria atau oliguria (< 1 ml/kg/jam) untuk 24
jam atau lebih dan kreatinin serum > 100 mmol/L
5. Hematologi : DIC
6. Hepar : aspartate amino transferase > 100 U/L, atau alanine amino transferase >
100 U/L sejak minggu pertama kelahiran
Komplikasi yang khas pada asfiksia neonatorum yaitu Enselopati Neonatal atau
Hipoksik Iskemik Enselopati yang merupakan sindroma klinis berupa gangguan fungsi
neurologis pada hari-hari awal kehidupan bayi aterm. Penelitian yang dilakukan oleh
oleh Wintermark dkk (2011) menyatakan bahwa meskipun induksi hipotermia sedang
selama 72 jam pada bayi dengan asfiksia neonatorum tidak secara signifikan
mengurangi tingkat kematian maupun cacat berat, tetapi menghasilkan pengaruh baik
terhadap sistem saraf pada bayi yang selamat.
J. Pathway

Dalam rahim pembuluh darah arteriol di paru-paru masih


konstriksi dan alveolus berisi cairan

Bayi lahir
Kelainan
maternal
Suplai O2 ke plasenta
Kelainan terputus
plasenta dan
tali pusat
Kompresi terganggu
Kelainan fetus

Inspirasi bayi pertama terganggu

Tekanan intrapleura lebih


kecil dari tekanan udara luar

Cairan paru tidak bisa


dikeluarkan

Peningkatan PCO2 dan


Alveoli masih terisi cairan PH dan penurunan PCO2

Gagal Napas

Dx : Ketidakefektifan Dx : Hipotermia Dx : Hambatan


pemberian ASI pertukaran gas

(Sumber pathway : Fida & Maya, 2012: Hidayat, 2010)


K. Penatalaksanaan Medis
1. Resusitasi
a. Apneu primer : nafas cepat, tonus otot berkurang, sianosis
b. Apneu sekunder : nafas megap-megap dan dalam, denyut jantung menurun,
lemas, tidak berespon terhadap rangsangan
c. Tindakan ABC
1) Assesment/Airway : observasi warna, suara, aktivitas bayi, HR, RR, Capilary
refill
2) Breathing : melakukan rangsangan taksil untuk mulai pernafasan
3) Circulation : bila HR < 60 x per menit atau 80 x permenit, jika tidak ada
perbaikan dilakukan kompresi.
2. Penatalaksanaan dari sisi medika mentosa dapat dilakukan dengan (IDAI, 2012):
a. Cairan penambah volume darah
Cairan diberikan jika bayi terlihat pucat, kehilangan darah, dan atau tidak
memberikan respon yang memuaskan terhadap resusitasi. Cairan yang dipakai
dapat berupa garam fisiologis (dianjurkan), ringer laktat, dan dapat juga berupa
darah O-negatif dengan dosis 10 ml/kgBB/5-10 menit melalui jalur vena
umbilikalis.
b. Epinefrin
Epinefrin diberikan setelah VTP (ventilasi tekanan positif) 30 detik dan
VTP+kompresi dada selama 30 detik tidak memberikan hasil positif sehingga
frekuensi jantung tetap > 60 kali per menit. Dosis yang diberikan sebanyak 0,1
s.d. 0,3 ml/kgBB melalui rute IV dengan pengenceran 1 : 10.000 dan diberikan
secepat mungkin.
c. Natrium bikarbonat
Hanya diberikan jika dicurigai terjadinya asidosis metabolik atau terbukti
sudah terjadi asidosis metabolik. Dosis pemberian yaitu sebanyak 2 mEq/kgBB
(larutan 4,2%) melalui jalur vena umbilikus dengan kecepatan < 1
mEq/kgBB/menit. Natrium bikarbonat tidak boleh diberikan jika ventilasi masih
belum adekuat.
Penelitian yang dilakukan oleh Gregorio dkk (2011) menyatakan bahwa ternyata
kafein dapat digunakan untuk penanganan apneu pada bayi baru lahir prematur
sehubungan dengan belum matangnya sistem saraf pada bayi tersebut. Dinyatakan
bahwa kafein memiliki toksisitas yang rendah dan waktu paruh yang panjang.
Beberapa penelitian juga melaporkan beberapa kemungkinan menarik dari efek
yang dihasilkan oleh kafein, seperti efek perlindungan kafein terhadap otak dan
paru-paru (Gregorio, 2011).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gathwala dkk (2010) menyatakan bahwa
pemberian magnesium dalam dosis tertentu kepada bayi dengan asfiksia berat dapat
memberikan perlindungan terhadap sistem saraf bayi. Ion magnesium mempunyai
reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) yang dapat melindungi otak dari kerusakan
lebih lanjut akibat asfiksia (Gathwala, 2010).
L. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan dilakukan dengan cara pengumpulan data secara
subjektif (data yang didapatkan dari pasien/keluarga) melalui metode anamnesa dan
data objektif (data hasil pengukuran atau observasi).
Hal-hal yang dikaji pada bayi baru lahir dengan asfiksia setelah tindakan
resusitasi meliputi:
a. Sirkulasi
Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110-180 kali per menit. Tekanan darah 60-80
mmHg sistolik dan 40-45 mmHg diastolik
1) Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat
di kiri dari mediasternum pada ruang intercostae III/IV
2) Mur-mur biasanya terjadi pada selama beberapa jam pertama kehidupan
3) Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena
b. Eliminasi
Dapat berkemih saat lahir
c. Makanan atau cairan (status nutrisi)
1) Berat badan : 2500-4000 gram
2) Panjang badan : 44-45 cm
3) Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai dengan gestasi)
d. Neurosensori
1) Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas
2) Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit
pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris
(molding, edema, hematoma)
3) Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan
abnormalitas genetik, hipoglikemia, atau efek nekrotik)
e. Pernapasan
1) APGAR score optimal : antara 7 s.d. 10
2) Rentang RR normal dari 30-60 kali per menit, pola periodik dapat terlihat
3) Bunyi napas bilateral, kadang-kadang krekels umum awalnya silidrik thorax :
kertilago xifoid menonjol umum terjadi
f. Keamanan
Suhu normal pada 36,5 s.d. 37,5 0C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung
pada usia gestasi
g. Kulit
Kulit lembut, fleksibel, pengelupasan kulit pada tangan atau kakai dapat
terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang
menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan
warna herliquin, petekie pada kepala atau wajah (dapat menunjukkan peningkatan
tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portuine,
telengiektasis ( kelopak mata, antara alis dan mata, atau pada nukhal), atau bercak
mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat.Abrasi kulit
kepala mungkin ada (penampakan elektroda internal).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain yaitu:
a. Hambatan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-
kapiler (00030)
b. Hipotermia berhubungan dengan penundaan menyusu ASI (00006)
c. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan refleks isap bayi buruk
(00104)
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan tahap ketiga dalam proses keperawatan dimana pada tahap ini perawat menentukan
suatu rencana yang akan diberikan pada pasien sesuai dengan masalah yang dialami pasien setelah pengkajian dan
perumusan diagnosa. Menurut Moorhead (2013) dan Bulechek (2013), intervensi keperawatan yang ditetapkan pada anak
dengan kasus asfiksia adalah :
Diagnosa Keperawatan Tujuan (NOC) Kode Intervensi (NIC) Rasional
NOC
a. Hambatan pertukaran Setelah dilakukan tindakan 3350 Monitor pernafasan
gas berhubungan keperawatan selama 1x24  Kaji frekuensi pernafasan
dengan perubahan jam, diharapkan klien dapat dan pola pernafasan.
membrane alveolar- menunjukkan pertukaran  Perhatikan adanya apnea dan
kapiler gas efektif yang perubahan frekuensi jantung,
efektif,dengan kriteria tonus jantung, tonus otot, dan
hasil : warna kulit berkenaan
NOC dengan prosedur atau
1. Respiratory status (0403) perawatan.
 Frekuensi nafas  Lakukan pemantauan jantung
normal dan pernafasan yang
 Irama pernafasan kontinyu.
normal (regular)  Berikan rangsangan taktil
 Perkusi dada normal yang segera (misal gosokan
(sonor) punggung bayi) bila terjadi
 Tidak dada retriksi apnea.
dinding dada  Kolaborasi pemberian obat-
 Tidak ada dispnue obatan sesuai indikasi.
 Tidak ada  Pencegahan aspirasi
penggunaan otot  Bersihkan saliva yang Saliva yang berlebih
pernafasan berlebih pada mulut bayi. akan terjadi aspiasi
3. Respiratory Patency  Posisikan bayi pada abdomen jika tertelan ke faring
(0410) atau posisi terlentang dengan
 Dapat mengeluarkan gulungan pokok di bawah
sekret bahu untuk menghasilkan
 Tidak ada nafas sedikit hiperektensi.
cuping hidung Terapi oksigen
 Tidak ada akumulasi  Berikan oksigen sesuai
sekret di saluran nafas indikasi.
 Tidak ada gasping
 Tidak ada suara nafas
tambahan
4. Respiratory Status Gas
Exchage (0402)
 Nilai AGD
 Normal (Pao2,
PaCO2, PH)
 Tidak ada sianosis
 Tidak ada penurunan
kesadaran
b. Hipotermia Setelah dilakukan tindakan 3900 Pengaturan suhu
berhubungan dengan keperawatan selama 1x24  Pertahankan suhu tubuh Untuk mengurangi
penundaan menyusu jam, diharapkan suhu tubuh optimal dengan meminimalkan kehilangan panas
ASI klien tetap normal dengan pembukaan inkubator terlalu tubuh secara
kriteria hasil: lama. evaporasi
NOC  Kaji suhu dengan sesering
1. Termoregulasi (0800) mungkin.
 Berkeringat saat  Gunakan lampu pemanas
demam selama prosedur.
 Tidak ada perubahan  Pasang alat monitor suhu inti
warna kulit secara kontinu, sesuai
 Tidak ada kebutuhan.
hyper/hypotermia  Pertahankan kelembaban pada
 Tidak terjadi dehidrasi 50% atau lebih besar dalam
 Suhu tubuh normal incubator.
(360-370C)  Perhatikan adanya takipnea
2. Neurological status atau apnea, sianosis umum,
(0909) bradikardia, menangis buruk,
 Tidak ada penurunan atau letargi.
kesadaran  Berikan Dextrose secara
3. Tissue perfusion periferal intravena, sesuai dosis yang
(0407) dianjurkan.
 Tidak teraba  Perawatan Metode Kanguru
panas/dingin pada kulit
 Elastisitas kulit
 Tidak ada sianosis
 Tidak terjadi gangguan
integritas kulit
4.Vital sign (0802)
 Nadi Normal
 Respirasi Normal
 Suhu Normal
 Hipertemi/hipotemi
tidak ada.
c. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1120 Terapi nutrisi
pemberian ASI tindakan keperawatan  Berikan nutrisi sesuai
berhubungan dengan selama 3x24 jam, nutrisi kebutuhan bayi (pemberian
refleks isap bayi buruk tubuh seimbang dengan ASI).
hasil kriteria:  Pantau masukan dan
NOC pengeluaran. Hitung konsumsi
1. Infant nutritional status kalori dan elektrolit setiap hari
(1020) (nutrisi parenteral).
 Nutrition intake Manajemen nutrisi
 oral food intake  Mengkaji maturitas refleks
 oral fluid intake berkenaan dengan pemberian
 HB normal makan (misalnya:
 Serum albumin menghisap, menelan, dan
 Normal batuk ).
2.Nutrition status:  Kaji berat badan dengan
(1004) menimbang berat badan. Untuk mengetahui
 Berat badan sesuai  Kaji tingkat dehidrasi, status gizi
 Bayi tampak aktif perhatikan fontanel, turgor
 Tidak ada tanda kulit, berat jenis urine,
dehidrasi/ overhidarasi kondisi membrane mukosa,
dan fluktuasi berat badan.
 Kaji tanda-tanda
hipoglikemia: takipnea dan
pernapasan tidak tratur,
apnea, letargi, fluktuasi suhu,
dan diaphoresis. Pemberian
makan buruk, gugup,
menangis nada tinggi,
gemetar, mata terbalik, dan
aktivitas kejang.
M. Sumber Pustaka
Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-
Based Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.

Agarwal R, Ashish J, Ashok K, Deorari, Vinod KP. 2010. Post-


Resuscitation Management of Asphyxiated Neonates. Indian Journal of
Pediatrics : 75; 175-80.

Aurora S, Snyder EY. 2011. Perinatal Asphyxia. In : Cloherty JP,


Eichenwald EC, Stark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 536-55.

Azzopardi DV, Brenda S, David E, Leight D, Henry LH, Edmund J, et al.


2011. Moderate Hypothermia to Treat Perinatal Asphyxial
Encephalopathy. The New England Journal of Medicine : 361 (14);
1349-58.

Berglund S, Mikael N, Charlotta G, Hans P, Sven C. 2012. Neonatal


Resuscitation After Severe Asphyxia – A Critical Evaluation of 177
Swedish Cases. Acta Pediatric : 97; 714-9.

Bulecheck, Gloria M, et all. 2018. Nursing intervention Classification (NIC)


Fifth Edition. USA: Mosbie Elsevier.

IDAI. 2012. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir. Jakarta : IDAI.

Gathwala G, Khera A, Singh J, Balhara B. 2010. Magnesium for


Neuroprotection in Birth Asphyxia. Jornal of Pediatric
Neurosciences : (5); 102-4.

Gregorio HO, Rojas DM, Villanueva D, Jaime HB, Bonilla XS, Gonzales
LT, et al. 2011. Caffeine Therapy for Apnoea of Prematurity :
Pharmacological Treatment. African Jornal of Pharmacy and
Pharmacology : 5(4); 564-71.

Herdman T. Heather.2017. NANDA-I Diagmosis Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi 2018-2020. Jakarta : EGC
Hidayat, A.A.2010. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta : Medika Selemba.

Ikatan Apoteker Indonesia. 2012. Informasi Sesialite Obat Indonesia


volume 47. Jakarta : ISFI Penerbitan.

Mohan, H. 2013. Pathology Practical Book. Ed 3. Jaypee Replika press


PVT

Moorhead, Sue, et all. 2018. Nursing Outcomes Classification (NOC)


Fourth Edition. USA: Mosbie Elsevier.

Nurarif AH, Kusuma H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan


Diagnosa Medis, NANDA, dan NIC-NOC. Yogyakarta : Media
Action.

Ongunlesi TA, Fetuga MB, Adekanmbi AF. 2013. Mother’s Knowladge


About Birth Asphyxia : The Need to Do More!. Nigerian Journal of
Clinical Practice : 16(1); 31-6.

Pitsawong C, Prisana P. 2011. Risk Factors Associated with Birth Asphyxia


in Phramongkutklao Hospital. Thai J of Obstertrics and
Gynaecology : 19; 165-71.

T. Heather Herdman, PHD, FNI dan Shigemi Kamitsuru PHD, FNI. 2018.
Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2018-2020.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Wintermark P, Hansen A, Gregas MC, Soul J, Lebrecque M, Robertson RL,


et al. 2011. Brain Perfusion in Asphyxiated Nerborns Treated with
Therapeutic Hypothermia. Am J Neuroradiol : 32; 2023-29.

You might also like