You are on page 1of 8

Marine Fisheries ISSN 2087-4235

Vol. 1, No. 1, November 2010


Hal: 29-36

KONFLIK ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERBATASAN


INDONESIA-AUSTRALIA
Illegal Fishing Conflict at Indonesia-Australia Border Area

Oleh:
Akhmad Solihin1*

1 Direktur Eksekutif Ocean Watch Indonesi, Jl Puri Agung Mal Puri Indah, Jakarta 11610
* Korespondensi: akhmad_solihin@yahoo.com

Diterima: 8 Februari 2010; Disetujui: 23 Maret 2010

ABSTRACT
The habits of Indonesian fisher who ride into the territory of the Australian fisheries often
causing fluctuative relations between two countries, because repressive action of the Australian
Government's apparatus. Therefore, the purpose of this study are: to assess the economic interest
of fisher when get into the fishery regions of Australia, to analyze the offense of illegal fishing, and
to get the eradication strategies of illegal fishing in two countries agreement areas. This study is a
descriptive analysis, using a normative juridical approach which is equipped with comparative
approaches. Based on the analysis yielded that 1) sea cucumbers and sharks are the main target
of Indonesian fisher, wherein the value of profits from sea cucumbers of AU $ 14,000-AU $ 30,000,
2) illegal fishing violation occurred, i.e.; breach of the agreement not only operating areas, the
utilization of fishery resources, environmental pollution, but also agents of illegal immigrants, 3)
eradication of illegal fishing through the establishment of a legal approach by arbitration forming,
and economic approach with alternative livelihoods development.
Key words: fisher, illegal fishing, the agreement.

ABSTRAK
Kebiasaan nelayan Indonesia memasuki wilayah perikanan Australia kerap menimbulkan
pasang surut hubungan kedua negara, karena tindakan aparat Pemerintah Australia yang represif.
Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mengkaji kepentingan ekonomi nelayan memasuki wi-
layah perikanan Australia, menganalisis pelanggaran illegal fishing, dan strategi pemberantasan
illegal fishing di wilayah yang diperjanjikan kedua negara. Penelitian ini merupakan penelitian des-
kriptif analitis, yang menggunakan pendekatan yuridis normatif yang dilengkapi dengan pende-
katan pendekatan komparatif. Berdasarkan analisa dihasilkan bahwa 1) teripang dan hiu adalah
target utama nelayan Indonesia, dimana nilai keuntungan dari teripang sebesar AU$ 14.000-
AU$ 30.000; 2) pelanggaran illegal fishing yang terjadi yaitu pelanggaran terhadap perjanjian baik
wilayah operasi, pemanfaatan sumber daya ikan, pencemaran lingkungan hidup, dan agen imigran
gelap; 3) pemberantasan illegal fishing melalui pendekatan hukum dengan cara pembentukan
arbitrase, dan pendekatan ekonomi dengan pengembangan mata pencaharian alternatif.
Kata kunci: nelayan, illegal fishing, perjanjian
30 Marine Fisheries 1 (1): 29-36, November 2010

PENDAHULUAN normatif maksudnya penelitian ini menekankan


pada ilmu hukum dan menitikberatkan pada pe-
Perikanan dunia dihadapkan pada anca- ngumpulan data sekunder yang merupakan ba-
man kelangkaan sumber daya. Hal ini sebagai- han-bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
mana yang diungkapkan Worm et al. (2006),
bahwa pada tahun 2048 akan terjadi kehancu-
ran perikanan global. Meski hasil penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN
Worm mendapatkan tentangan Branch (2008),
karena dianggap mengabaikan berbagai faktor, Kepentingan Ekonomi Perikanan di Perba-
salah satunya adalah regulasi internasional dan tasan
nasional dalam mewujudkan perikanan dunia Pemerintah Indonesia dan Australia telah
yang berkelanjutan. Dilain pihak laporan FAO melakukan perjanjian bilateral untuk mengatasi
(2008) mengungkapkan bahwa produksi peri- masalah perikanan tangkap di wilayah perbata-
kanan tangkap dunia mengalami penurunan se- san. Berdasarkan penelusuran hukum, terda-
jak tahun 2004. pat tiga perjanjian Indonesia–Australia yang
Penurunan stok ikan selain disebabkan membahas kegiatan nelayan pelintas batas,
oleh alat penangkapan ikan yang semakin efi- khususnya untuk nelayan tradisional. Ketiga
sien, juga oleh tingginya sumbangan angka ke- perjanjian tersebut, yaitu: pertama, Memoran-
giatan illegal fishing. Gallic (2004) mengung- dum of Understanding between the Govern-
kapkan bahwa kontribusi kegiatan illegal fishing ment of Australia and the Government of the
mencapai 30% dari total tangkapan dunia. Ke- Republic of Indonesia Regarding the Opera-
giatan illegal fishing selain merugikan secara tions of Indonesian Traditional Fishermen in
ekonomi, merupakan ancaman bagi kelestarian Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone
sumber daya ikan. and Continental Shelf, yang ditandatangani
pada tanggal 7 November 1974.
Besarnya dampak yang ditimbulkan ille-
gal fishing tersebut, menuntut berbagai negara Perjanjian pertama yang dikenal dengan
menyusun kebijakan untuk mengatasinya. Sa- istilah MOU BOX 1974 ini berisi aturan, dian-
lah satu negara yang serius mengatasi illegal taranya adalah: aturan pertama yang terkait
fishing adalah Australia. Sebagai negara yang dengan kegiatan yang diperbolehkan, yaitu: 1)
berbatasan dengan Australia, nelayan-nelayan yang diperbolehkan melakukan kegiatan pe-
yang berasal dari Indonesia kerap ditangkap nangkapan ikan di dalam wilayah perikanan
oleh aparat pemerintah Australia dengan ala- Australia adalah nelayan-nelayan tradisional
san telah melakukan illegal fishing di wilayah Indonesia yang menggunakan perahu tradisio-
perikanannya. nal; 2) kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sum-
berdaya ikan di wilayah perikanan Australia
Tujuan penelitian ini adalah memaparkan dilakukan pada daerah-daerah yang berdekat-
kepentingan ekonomi di perbatasan Indonesia- an dengan Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott
Australia, illegal fishing di wilayah perbatasan Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet; 3)
dan hal-hal yang harus dilakukan kedua negara nelayan tradisional diperbolehkan untuk meng-
dalam melakukan pemberantasan illegal fishing ambil air minum pada East Islet dan Midle Islet;
di wilayah perbatasan tersebut. dan 4) nelayan tradisional diperbolehkan meng-
ambil: trochus (lola), beche de mer (teripang),
METODE PENELITIAN abalone (simping), greensnail (siput hi-jau),
spogens dan molusca (binatang lunak) lainnya,
Metode penelitian ini adalah deskriptif di dasar laut yang berdekatan dengan Ashmore
analitis, yaitu penelitian yang mencari data atau Reef, Cartier Islet, Browse Islet, Scott Reef dan
gambaran seteliti mungkin mengenai obyek dari Seringapatam Reef.
permasalahan (Soekanto, 1996). Gambaran
Aturan kedua yang terkait dengan kegiat-
tersebut berupa fakta-fakta mengenai permasa-
an yang dilarang, yaitu: 1) nelayan tradisional
lahan illegal fishing yang dilakukan nelayan In-
dilarang mendarat untuk mengambil air minum
donesia di wilayah perikanan Australia, yang di-
(air tawar) di luar dari daerah yang sudah dite-
analisis secara obyektif menurut hukum interna-
tapkan; 2) nelayan tradisional dilarang untuk tu-
sional di bidang perikanan yang dikaitkan de-
run ke darat pada waktu berlindung diantara
ngan implementasi peraturan perundang-unda-
pulau-pulau sebagaimana disebutkan dalam
ngan nasional serta hal-hal yang harus dilaku-
perjanjian ini; (3) nelayan tradisional dilarang
kan pemerintah untuk memberantas IUU fi-
untuk menangkap dan mengambil penyu di
shing.
wilayah perikanan Australia dan trochus (lola),
Penelitian ini menggunakan pendekatan beche de mer (teripang), abalone (simping),
yuridis normatif yang dilengkapi dengan pende- greensnail (siput hijau), spogens dan molusca
katan komparatif. Metode pendekatan yuridis (binatang lunak), pada daerah dasar laut dalam
Akhmad Solihin - Konflik Illegal Fishing di Perbatasan Indonesia 31

yang berbatasan dengan garis air tertinggi sam- kewajiban-kewajiban internasional tertentu un-
pai ketinggian kontinen; dan 4) nelayan tradi- tuk menjaga kelestarian alam pada wilayah
sional dilarang melakukan eksplorasi dan eks- Ashmore Reef dan Cartier Islet.
ploitasi sumber daya alam hayati di landas kon-
Ketiga, penegasan kembali keberadaan
tinen, di luar dari pada yang ditetapkan dalam
Indonesia dan Australia yang sama-sama men-
perjanjian ini.
jadi anggota CITES. Keempat, atas tawaran pi-
Perjanjian kedua, Memorandum of Un- hak Australia, disepakati bahwa para nelayan
derstanding between the Republic of Indonesia tradisional Indonesia diperbolehkan melakukan
and the Government of Australia Concerning penangkapan ikan tidak hanya di daerah-dae-
the Implementation of Provisional Fisheries rah yang berdekatan dengan Ashmore Reef,
Surveillance and Enforcement Arrangement. Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef,
Perjanjian kedua yang yang berlangsung 27-29 dan Browse Islet sebagaimana ditetapkan da-
Oktober 1981 ini disebabkan Pemerintah Aus- lam MOU BOX 1974, tetapi juga di daerah box
tralia mengumumkan wilayah perikanan pada 1 yang lebih luas pada wilayah perikanan dan
November 1979 dari 12 mil menjadi 200 mil. landas kontinen Australia, disamping melanjut-
Hal yang sama dilakukan juga oleh Pemrintah kan terus pelaksanaan MOU BOX 1974 bagi
Indonesia pada 21 Maret 1980 yang kemudian nelayan tradisional yang beroperasi dengan
dikukuhkan dengan UU No. 5 Tahun 1983 menggunakan metode dan perahu-perahu tra-
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indone-sia. disional.
Perjanjian kedua ini lebih menitikberat- Kelima, pihak Australia akan mengambil
kan pada batas wilayah laut antara Indonesia tindakan tegas terhadap para nelayan yang
dan Australia. Hal ini dikarenakan, nelayan-ne- beroperasi di luar wilayah sebagaimana yang
layan tradisional Indonesia masih banyak yang sudah ditetapkan dalam MOU BOX 1974.
melakukan pelanggaran-pelanggaran di wilayah Kedua belah pihak sepakat untuk melakukan
yang diperjanjikan. Untuk membatasi kegiatan kerjasama dalam bidang perikanan untuk me-
para nelayan tradisional Indonesia, maka pada ngadakan mata pencaharian pengganti (alter-
tahun 1983 Pemerintah Australia mengubah native livelihood) bagi nelayan tradisional indo-
status peruntukan Ashmore Reef dari daerah nesia yang melakukan kegiatan penangkapan
yang diperbolehkan untuk penangkapan ikan ikan berdasarkan MOU BOX 1974 di wilayah
menjadi kawasan taman nasional laut yang Indonesia bagian Timur. Keenam, kedua belah
harus dilindungi, sehingga dilarang penangkap- pihak juga sepakat untuk mempertimbangkan
an jenis-jenis biota yang selama ini diperbo- jenis-jenis satwa yang dilindungi melalui tukar
lehkan ditangkap. Selain itu, nelayan hanya di- menukar informasi agar menguntungkan kedua
perbolehkan mendarat untuk mengambil air belah pihak. Ketujuh, akhirnya kedua belah pi-
tawar. Larangan Pemerintah Australia terha- hak sepakat untuk berkonsultasi kapan saja
dap penangkapan ikan di Ashmore Reef ter- diperlukan untuk menjamin efektivitas pelak-
maktub pada “National Parks and Wildlife sanaan MOU dan Agreed Minute yang ada.
Conservation Act”, dimana Australia mendekla-
Meskipun telah dilakukan perjanjian, na-
rasikan “Ashmore Reef National Nature Reser-
mun nelayan-nelayan Indonesia kerap mema-
ve” pada 16 Agustus 1983.
suki wilayah perikanan Australia, baik secara
Ketiga, Agreed Minutes of Meeting legal maupun ilegal. Hal ini didasari oleh kepen-
Between officials of Indonesian and Australia tingan ekonomi masyarakat terhadap sumber-
on Fisheries. Kesepakatan ketiga ini diseleng- daya ikan di wilayah perbatasan. Hal ini sesuai
garakan pada tanggal 29 April 1989. Perjanjian perhitungan Fox dan Sen (2002), bahwa keun-
ketiga ini merupakan petunjuk praktis pelaksa- tungan yang diperoleh nelayan tradisional Indo-
naan MOU BOX 1974 serta perubahan yang nesia dalam memanfaatkan teripang di wilayah
dilakukan pada perjanjian tahun 1981, sehingga MOU BOX 1974 untuk satu kali trip yang lama-
kedua negara membicarakan hal-hal yang dia- nya empat bulan, yaitu mendapatkan pengha-
tur dalam memorandum sebelumnya. silan maksimal AU$ 30.000 dan minimal AU$
14.000 dengan nilai tukar yang berlaku pada
Hal-hal yang ditegaskan dalam Agreed
saat itu 1 AU$ sebesar Rp 5.000. Dengan kata
Minute 1989 ini adalah: Pertama, perubahan
lain, pendapatan satu trip kapal nelayan adalah
status Ashmore Reef dan Cartier Islet yang ta-
maksimal Rp 150.000.000 dan minimal Rp
dinya merupakan bagian dari tempat para nela-
70.000.000 (Tabel 1). Selain teripang, sirip ikan
yan tradisional Indonesia beroperasi menjadi
hiu adalah target nelayan Indonesia yang mela-
kawasan pelestarian alam. Kedua, terjadi pe-
kukan illegal fishing. Permasalahan illegal
nyusutan stok ikan di sekitar Ashmore Reef
fishing di wilayah perbatasan didasarkan pada
akibat aktivitas para nelayan tradisional Indone-
tingginya permintaan pasar terhadap teripang
sia, oleh karena itu pihak Australia dikenakan
dan sirip ikan hiu.
32 Marine Fisheries 1 (1): 29-36, November 2010

Tabel 1 Perkiraan Pendapatan Nelayan Tradisional Indonesia dalam Satu Kali Trip di Wilayah
MOU BOX 1974

Keterangan Maksimal Minimal


Jumlah Anak Buah Kapal (ABK) = 12
Hasil Tangkapan Teripang (kg) 1.500 1.000
Harga Jual Teripang per Ekor 24 20
Pendapatan Kotor 36.000 20.000
Total Biaya per Trip 6.000 6.000
Keuntungan Bersih (AU$ / Trip) 30.000 14.000
Pendapatan Pemilik Kapal (Trip) 2.500 1.167
Pendapatan Pemilik Mesin (Trip) 2.500 1.167
Pendapatan Semua Nelayan ABK 25.000 11.667
Pendapatan Setiap Nelayan 2.083 972
Pendapatan Nelayan per Bulan 521 243
Sumber: Fox and Sen (2002)

Tabel 2 Jumlah Perahu Pelintas Batas yang tertangkap di Perairan Australia

Tahun Jumlah Perahu Jumlah Nelayan


1975 3 Tidak ada data
1980 2 Tidak ada data
1985 5 Tidak ada data
1987 1 Tidak ada data
1988 46 Tidak ada data
1989 29 Tidak ada data
1990 43 Tidak ada data
1991 38 Tidak ada data
1992 15 Tidak ada data
1993 23 Tidak ada data
1994 111 Tidak ada data
1995 76 Tidak ada data
1996 97 Tidak ada data
1997 122 Tidak ada data
Sumber: Stacy (1999) diacu dalam Adhuri (2005)

Tabel 3 Jumlah Nelayan Indonesia yang Dideportasi dari Australia


Tahun
No. Asal Nelayan (Provinsi)
2004 2005 2006 2007 20081
1. Jawa Timur 24 182 59 - -
2. Nusa Tenggara Timur 83 158 262 70 20
3. Sulawesi 92 422 473 241 66
4. Maluku 23 77 625 124 8
5. Papua 65 116 495 199 14
6. Sumatera dan NTB 9 57 151 - -
Jumlah 296 1.012 2.065 653 108
Ket: 1 Data hingga 31 Maret 2008
Sumber: Alfiana (2008)

Illegal Fishing di Perbatasan juga memperlihatkan nelayan Indonesia yang


dideportasi dari Australia.
Nelayan Indonesia masih menjadikan wi-
layah perikanan Australia sebagai tempat po- Menurut Adhuri (2005), ada beberapa isu
tensial meskipun perjanjian bilateral telah ditan- utama yang harus diketahui dalam memahami
datangani,. Hal ini tercermin dari data tertang- konflik illegal fishing yang terjadi di wilayah
kapnya nelayan-nelayan Indonesia, baik tradi- perbatasan Indonesia-Australia, yaitu: Pertama,
sional maupun modern oleh aparat Pemerintah Conflicting Claims. Hingga saat ini, masyarakat
Australia. Pada Tabel 2 terlihat bahwa sejak ta- nelayan tradisional Indonesia, khususnya ma-
hun 1975 dengan pengecualian beberapa ta- syarakat nelayan dari Pulau Rote Nusa Teng-
hun, terdapat kecenderungan semakin mening- gara Timur (NTT) menganggap bahwa fishing
katnya jumlah perahu yang tertangkap. Tabel 3 ground tertentu, khususnya Pulau Pasir (Ash-
Akhmad Solihin - Konflik Illegal Fishing di Perbatasan Indonesia 33

more Reef) adalah wilayah mereka. Klaim ma- Kedua, pelanggaran terhadap ketentuan
syarakat NTT tersebut setidaknya didasarkan yang berhubungan dengan pemanfaatan sum-
pada dua hal, yaitu: secara geografis, gugusan berdaya alam hayati sesuai dengan kesepaka-
Pulau Ashmore letaknya jauh lebih dekat ke tan, baik sesuai MOU BOX 1974 maupun
Pulau Rote di NTT sekitar 170 km, dari pada ke Agreed Minutes 1989. Salah satu jenis pelang-
wilayah barat Darwin Australia yang jaraknya garan yang sering dilakukan oleh para nelayan
mencapai 840 km dan wilayah utara Broome tradisional Indonesia adalah pengambilan jenis-
Australia yang mencapai 610 km (Tanoni, jenis biota laut tertentu sebagai bagian dari
2008). sumber daya alam hayati yang dilarang, seperti
pengambilan penyu dan burung beserta telur-
Secara historis, klaim masyarakat NTT
nya.
terhadap Pulau Pasir didasarkan pada sejarah
panjang aktivitas nelayan-nelayan di pulau ini. Ketiga, pelanggaran terhadap pengguna-
Menurut sejarah, jauh sebelum Kapten Samuel an fasilitas yang digunakan dalam kegiatan pe-
Ashmore menemukan Pulau Pasir dan Inggris nangkapan ikan, dimana fasilitas tersebut tidak
mengklaimnya pada tahun 1878, sejak tahun sesuai dengan apa yang telah ditetapkan mela-
1602 masyarakat nelayan Indonesia secara de lui MOU BOX 1974 dan Agreed Minutes 1989.
facto menguasai Pulau Pasir, karena pulau ini Pelanggaran ini terlihat dalam bentuk: melaku-
tempat mencari nafkah sekaligus tempat peristi- kan kegiatan penangkapan dengan mengguna-
rahatan. Selain itu, kepemilikan Indonesia atas kan perahu yang digerakkan oleh mesin (mo-
Pulau Pasir diperkuat juga oleh hasil kajian Ya- tor), menggunakan alat-alat penangkapan yang
yasan Peduli Timor Barat yang menemukan tergolong modern, bahkan menangkap ikan hiu
studi McKnight (1976) serta studi Purwati dengan menggunakan gillnet.
(2005), bahwa menurut arsip Belanda diberita-
Keempat, pelanggaran yang dilakukan
kan sesorang saudagar Tionghoa diberi izin
berhubungan dengan masalah lingkungan hi-
pada tahun 1751 untuk mencari kulit penyu dari
dup. Hal ini dapat terlihat antara lain dari tin-
gugusan Pulau Pasir yang ada di selatan Pulau
dakan para nelayan yang dapat menimbulkan
Timor. Dengan demikian, kegiatan perekono-
kebakaran karena lalai memadamkan api sete-
mian masyarakat Indonesia jauh lebih dulu di-
lah memasak atau membuang puntung rokok
bandingkan dengan kedatangan Kapten Sa-
tanpa dimatikan terlebih dahulu apinya, atau-
muel Ashmore.
pun kegiatan lain yang menyebabkan terkonta-
Kedua, pasar internasional sumber daya minasinya sumber-sumber air minum pada tem-
ikan. Faktor keberadaan pasar internasional pat-tempat dimana para nelayan diperbolehkan
ikut andil dalam mendorong aktivitas nelayan- untuk mengambil air minum.
nelayan tradisional Indonesia untuk melakukan
Kelima, pelanggaran lain yang juga se-
penangkapan ikan di wilayah perikanan Austra-
ring dilakukan adalah pemanfaatan kegiatan
lia. Hal ini dikarenakan, sumber daya yang di-
penangkapan ikan ini sebagai sarana untuk
tangkap seperti teripang, trochus, dan sirip hiu
mengantar dan memasukan imigran gelap ke
bukan lah komoditas yang dikonsumsi secara
Australia. Hal ini sesuai dengan pernyataan
langsung oleh mereka, melainkan untuk dijual
Kepala Biro Personalia Polda Nusa Tenggara
ke luar negeri, yaitu pasar Cina.
Timur (NTT), Kombes Pol Drs Rochiyanto,
Terkait dengan kegiatan illegal fishing, bahwa patroli Angkatan Laut Australia yang
setidaknya terdapat lima pelanggaran yang menangkap nelayan Indonesia yang tengah
umumnya terjadi di wilayah perbatasan Indone- mencari ikan di wilayah perairan sekitar Laut
sia-Australia, yaitu (Songa, 2000): Pertama, Timor dan wilayah perairan negeri Kanguru itu,
pelanggaran terhadap wilayah operasi yang karena sering menjadi agen imigran gelap
telah ditetapkan dalam MOU BOX 1974 dan untuk menyusup masuk ke wilayah negara
Agreed minutes 1989. Pelanggaran ini meru- tersebut (www.nttonlinel.com).
pakan pelanggaran terbanyak yang dilakukan
oleh para nelayan tradisional Indonesia. Hal ini Pemberantasan Illegal Fishing di Perba-
dikarenakan, sebagai akibat dari berubahnya tasan
peta wilayah kegiatan para nelayan tradisional
Indonesia yang semula tunduk pada MOU BOX Kebijakan pemberantasan illegal fishing
1974 (Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, di wilayah perbatasan Indonesia–Australia ha-
Seringapatam Reef, dan Browse Islet) berubah rus memahami akar masalah terjadinya pelang-
sesuai dengan Agreed Minutes 1989 (Scott garan. Hal ini dikarenakan, kegiatan perikanan
Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet). di wilayah tersebut sudah berjalan secara turun
Dengan kata lain, Ashmore Reef dan Cartier temurun. Adapun beberapa faktor terjadinya
Islet dilarang untuk kegiatan pemanfaatan sum- pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nela-
berdaya alam hayati. yan tradisional Indonesia, yaitu (Songa, 2000):
34 Marine Fisheries 1 (1): 29-36, November 2010

Pertama, pengertian nelayan terhadap MOU yang disponsori beberapa lembaga negara
BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 masih maupun LSM dari Australia belum menunjukan
kurang. Hal ini disebabkan karena tingkat pen- tingkat keberhasilan. Beberapa usaha alternatif
didikan mereka yang masih relatif rendah, se- yang dikembangkan adalah budidaya rumput
hingga sangat besar kemungkinan mereka ti- laut, usaha pembesaran ikan kerapu, dan budi-
dak dapat membaca peta dan karenanya tidak daya sponges. Tujuan dari program ini adalah
dapat mengenali dengan tepat wilayah opera- menurunnya aktivitas pelanggaran kedaulatan
sinya. nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wila-
yah perairan Australia.
Kedua, nama pulau dan daerah yang
disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Kritikan terhadap cara-cara yang dilaku-
Minutes 1989, mungkin saja berbeda dengan kan selama ini sebagaimana yang disebutkan
nama yang dikenal sehari-hari oleh nelayan diatas adalah: Pertama, penanganan secara
tradisional Indonesia. Seperti Pulau Pasir yang hukum. Penyelesaian hukum yang kerap me-
dinamakan Australia sebagai Ashmore Reef, ngusik rasa keadilaan yang menyebabkan ke-
Pulau Baru dinamakan Cartier Islet, dan Pulau tersinggungan dan menyulut emosi kebangsa-
datu dinamakan Seringapatam Reef. an, maka Pemerintah Indonesia dan Australia
harus duduk bersama guna mendapatkan pe-
Ketiga, para nelayan tradisional Indone-
nyelesaian yang sifatnya win-win solution. Pe-
sia kurang mengetahui batas wilayah yang
nyelesaian kasus nelayan tradisional Indonesia
disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed
selama ini diselesaikan dengan proses peradi-
Minutes 1989 secara pasti. Hal ini terjadi kare-
lan telah menyebabkan pasang surut hubungan
na, selain para nelayan tradisional tidak dapat
Indonesia-Australia.
membaca peta tetapi juga karena tidak terdapat
tanda-tanda yang jelas yang menunjukan ba- Ada dua fenomena penting yang menarik
tas-batas sebagaimana yang dimaksudkan oleh mengenai penyelesaian per-soalan nelayan
MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989. Indonesia di perairan Australia, yaitu: 1) bahwa
Sementara para nelayan tradisional pada putusan hakim Australia ku-rang efektif karena
umumnya tidak dilengkapi dengan peralatan para nelayan Indonesia tidak jera untuk meng-
navigasi yang memadai. hentikan kegiatannya dalam jurisdiksi teritorial
Australia, dan 2) pemerintah Australia meng-
Keempat, hasil yang diperoleh dari usaha
klaim bahwa kedatangan nelayan-nelayan Indo-
penangkapan cukup banyak atau cukup memu-
nesia telah merugikan Pemerintah Australia
askan sehingga para nelayan tidak ingin mela-
dan orang asli aborigin (Thontowi, 2002).
kukan kegiatan di bidang usaha lain. Kelima,
pengaruh faktor sosial dan budaya, dimana ke- Penuntasan sengketa ini perlu mengede-
luarga-keluarga tertentu dari masyarakat nela- pankan penyelesaian secara damai guna men-
yan tradisional Indonesia asal Papela–Rote, ciptakan perdamaian dan keamanan internasi-
setiap tahunnya mengadakan kunjungan ke onal sesuai dengan yang diamanatkan Pasal
makam leluhurnya yang meninggal dan diku- 33 ayat (1) Piagam PBB, yaitu negosiasi, pe-
burkan di Pulau Pasir. Saat mengunjungi ma- nyelidikan dengan peraturan, konsiliasi, arbitra-
kam ini biasanya dilakukan bersama-sama se, penyelesaian menurut hukum, melalui ba-
dengan mencari hasil-hasil laut sebagaimana dan-badan atau perjanjian setempat, atau de-
dilakukan oleh nenek moyangnya sejak bera- ngan cara damai lain yang dipilihnya sendiri.
tus-ratus tahun yang lalu. Konsekuensinya dari Untuk kasus pelanggaran perikanan nelayan
kegiatan ini adalah bahwa nelayan tradisional Indonesia, Thontowi menyarankan alternatif pe-
Indonesia pasti memasuki wilayah konservasi nyelesaiannya melalui nonperadilan yang da-
alam Ashmore Reef, yang seyogyanya lam hal ini adalah komisi arbitrase yang diha-
dilarang. rapkan mampu mengambil tanggung jawab ber-
sama, sehingga baik secara moral maupun se-
Kegagalan pemberantasan illegal fishing
cara hukum internasional, kedua negara harus
di wilayah perbatasan Indonesia-Australia dise-
berusaha untuk menegakkan ketertiban dunia.
babkan oleh pengabaian terhadap faktor-faktor
Selain itu, dipilihnya komisi arbitrase dalam pe-
diatas. Selain itu, penanganan pemberantasan
nyelesaian pelanggaran diyakini dapat mencip-
illegal fishing tersebut lebih mengedepankan
takan rasa keadilan dan menjauhkan ketersing-
aspek hukum dan persuasif (Adhuri, 2005).
gungan, mengingat kedua negara diwakili oleh
Penanganan secara hukum yang dilakukan ber-
masing-masing wasit atau arbiter.
dasarkan hukum Australia kurang efektif, kare-
na masih banyak nelayan-nelayan tradisional Penyelesaian nonperadilan melalui komi-
Indonesia yang melakukan pelanggaran. Ada- si arbitrase Indonesia-Australia akan lebih ako-
pun kegiatan pengalihan mata pencaharian modatif dan relevan serta mencerminkan ke-
yang dilakukan Australian National University pentingan dua negara, meskipun bukan satu-
Akhmad Solihin - Konflik Illegal Fishing di Perbatasan Indonesia 35

satunya solusi alternatif. Hal ini dikarenakan, kawasan pelestarian taman nasional sejak ta-
komisi arbitrase dapat berperan dalam mengeli- hun 1983 serta pembatasan tangkapan biota
minir tumpang tindih ketentuan hukum laut laut. Hal ini dikarenakan, para ahli hukum dan
yang selama ini belum dapat dirumuskan. Konvensi Wina tahun 1969 mengisyaratkan
Tumpang tindih ketentuan hukum tersebut, harus ada kesekapatan kedua pihak dalam me-
yaitu perjanjian batas Landas Kontinen Indone- lakukan perubahan terhadap isi perjanjian yang
sia Australia yang merujuk pada Konvensi telah disepakati. Selain itu, dalam pembahasan
Jenewa Tahun 1958 sedangkan perjanjian ba- ulang perjanjian tersebut harus menuntaskan
tas Zona Ekonomi Eksklusif yang merujuk pada pengertian nelayan tradisional, karena ketidak-
UNCLOS 1982. Perbedaan penggunaan dasar jelasan pengertian ini menyebabkan perbedaan
aturan inilah yang menimbulkan tumpang tindih penafsiran. Bruce dan Wilson dalam Thontowi
zona sehingga dikhawatirkan menimbulkan (2002) menyatakan bahwa rumusan nelayan
konflik dikemudian hari. UNCLOS 1982 me- tradisional itu tidak tepat oleh karena mengan-
ngatur wilayah ZEE dan Landas Kontinen tun- dung kelemahan konseptual.
duk pada aturan yang berbeda sesuai dengan
Menurut pengertian hak perikanan tradi-
rezim hukumnya masing-masing. Namun da-
sional, ada empat yang harus diperhatikan,
lam perkembangan yang baru, penyelesaian
yaitu: 1) nelayan yang bersangkutan secara
batas maritim antara ZEE dan Landas Kontinen
tradisional telah menangkap ikan di suatu
cenderung satu garis.
perairan tertentu; 2) nelayan tersebut telah
Kedua, alternative livelihood. Mengenai menggunakan alat-alat tertentu secara tradisi-
kebijakan alternative livelihood yang ditawarkan onal; 3) hasil tangkapan mereka secara tradisi-
Australia perlu disikapi secara seksama, karena onal adalah jenis ikan tertentu; dan 4) nelayan
pengalihan mata pencaharian nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut
tradisional dari status sebagai nelayan menjadi haruslah nelayan yang secara tradisional telah
pembudidaya ikan dapat melemahkan eksisten- melakukan penangkapan ikan di daerah terse-
si hak-hak perikanan tradisional. Padahal, sta- but (Djalal, 1988).
tus hak-hak perikanan tradisional (traditional
Kriteria diatas juga menyimpan masalah
fishing rights) sudah diakui dalam hukum
yang menimbulkan ketidakjelasan, misalnya
internasional. Oleh karenanya, yang harus dila-
perbedaan istilah nelayan tradisional di Indone-
kukan oleh Pemerintah Australia dalam hal
sia dengan di Australia. Apakah yang dikatego-
menjalin kerjasama, bukanlah bertujuan me-
rikan nelayan tradisional itu sama dengan
ngalihkan kegiatan para nelayan, melainkan
nelayan kecil sebagaimana yang terdapat pada
memelihara dan melestarikannya sebagai suatu
UU No. 45 Tahun 2009, bahwa nelayan kecil
hak yang telah diakui oleh hukum internasional.
adalah orang yang mata pencahariannya mela-
Untuk itu, agar tidak terjadi pelanggaran, maka
kukan penangkapan ikan untuk memenuhi ke-
kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh Pe-
butuhan hidup sehari-hari yang menggunakan
merintah Australia adalah pengadaan fasilitas
kapal perikanan berukuran paling besar 5 GT.
berupa alat navigasi dan fasilitas lain yang
dapat membantu kegiatan para nelayan tradisi-
onal. Apabila hal ini diabaikan dan Pemerintah KESIMPULAN
Australia hanya memfokuskan pada pengalihan
mata pencaharian, berarti Pemerintah Australia Indonesia dan Australia telah melakukan
bermaksud menghilangkan hak perikanan tradi- perjanjian bilateral sebanyak tiga kali, yaitu
sional nelayan-nelayan Indonesia. MOU 1974, MOU 1981, dan Agreed Minute
1989. Namun demikian, kegiatan pelanggaran
Disamping menuntut dibentuknya komisi lintas batas masih berlangsung dikarenakan
arbitrasi untuk menyelesaikan kasus hukum pe- adanya kepentingan ekonomi, yang diperkira-
langgaran kedaulatan, Pemerintah Indonesia kan keuntungan satu kali trip sebesar AU$
harus menuntut pembangunan fasilitas navigasi 14.000 hingga AU$ 30.000.
agar tidak terjadi pelanggaran nelayan-nelayan
tradisional Indonesia dalam melakukan kegi- Pelanggaran yang umumnya terjadi di
atan penangkapan ikan di wilayah yang diper- wilayah perbatasan Indonesia-Australia, yaitu:
janjikan. 1) pelanggaran terhadap wilayah operasi yang
telah ditetapkan dalam perjanjian; 2) pelang-
Hal lain yang juga diperhatikan Pemerin- garan terhadap ketentuan yang berhubungan
tah Indonesia adalah pembahasan ulang per- dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati
janjian mengenai hak perikanan tradisional. Pa- sesuai perjanjian; 3) pelanggaran terhadap
da perjanjian MOU 1981 dan Agreed Minutes penggunaan fasilitas penangkapan ikan; 4)
1989, Pemerintah Australia secara sepihak pelanggaran yang dilakukan berhubungan de-
merubah sebagian isi perjanjian MOU 1974, ngan masalah lingkungan hidup; dan 5)
yaitu perubahan status Ashmore Reef sebagai pemanfaatan kegiatan penangkapan ikan yang
36 Marine Fisheries 1 (1): 29-36, November 2010

digunakan sebagai sarana untuk mengantar Box: A Report for Environment Australia.
dan memasukan imigran gelap ke Australia. Australia.
Pemberantasan illegal fishing di perba- McChesney, A. 2003. Memajukan dan Membe-
tasan Indonesia-Australia dapat ditempuh dua
la Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
cara, yaitu aspek hukum melalui pembentukan
arbitrase dalam penanganan hukum, dan aspek Yogyakarta. Insist Press.
ekonomi melalui pengembangan mata penca- McKnight, C.C. 1976. The voyage to Marege’:
harian alternatif. Macassan Trepangers on Northern Aus-
tralia. When did the Industry Begin?. Mel-
DAFTAR PUSTAKA bourne Univ. Press.
Adhuri, D.S. (Ed). 2005. Fishing In, Fishing Out: Purwati, P. 2005. Teripang Indonesia: Komposi-
Memahami Konflik-konflik Kenelayanan si Jenis dan Sejarah Perikanan. Oseana,
di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara
Vol. XXX Nomor 2, 2005: 11-18.
Timur. Jakarta. LIPI Press.
Alfiana. 2008. Sinkronisasi Nelayan Pelintas Soekanto, 1996. Pengantar Penelitian Hukum.
Batas Terkait MOU BOX 1974. Makalah Jakarta: Universitas Indonesia.
disampaikan pada Workshop Sinkronisa-
Songa, W.W. 2000. Pelaksanaan Perjanjian
si Masalah Nelayan Pelintas Batas Ter-
Antara Indonesia dan Australia tentang
kait MOU BOX 1974 pada 8-9 Mei 2008
hak Perikanan Tradisional Dikaitkan
di Surabaya.
dengan Nelayan Asal Nusa Tenggara
Gallic, B.L. “Using Trade Measures in the Fight Timur (Tidak Dipublikasikan). [Tesis].
Against IUU: Opportunities and Chal- Bandung. Program Studi Ilmu Hukum.
lenges”, makalah disampaikan pada Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.
IIFET 2004, Japan, 26-29 July 2004.
Tanoni, F. 2008. Skandal Laut Timor : Sebuah
Branch, T.A. 2008. Not all Fisheries will be Barter Politik-Ekonomi Canberra-Jakarta.
Collapsed in 2048. Marine Policy 32 Kupang: YPTB.
(2008) 38–39.
Thontowi, J. 2002. Hukum Internasional di
Worm B, Barbier EB, Beaumont N, Duffy JE, Indonesia: Dinamika dan Implementasi-
Folke C, Halpern BS. 2006. Impacts of nya dalam Beberapa Kasus Kemanusia-
Biodiversity Loss on Ocean Ecosystem an. Yogyakarta: Madyan Press.
Services. Science 2006; 314:787–90. Tribawono, D. 2002. Hukum Perikanan Indone-
sia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Djalal, H. 1988. Perkembangan Hukum Nasio-
nal dalam Hubungannya dengan Hukum Worm B, Barbier EB, Beaumont N, Duffy JE,
Laut Internasional. Makalah Terbatas Folke C, Halpern BS. 2006. Impacts of
Lemhanas. Biodiversity Loss on Ocean Ecosystem
FAO. 2008. the State of World Fisheries and Services. Science 2006; 314:787–90.
Aquaculture 2008, Information Division, www.nttonline.com. Nelayan Indonesia Sering
FAO, Rome, 2008. Menjadi Agen Imigran Gelap. Diakses
padahttp://www.nttonlinenews.com/ntt/id
Fox, J.J. and Sen, S. 2002. A Study of Socio-
ex.php?view=article&id=291%3Anelayan
Economic Issues Facing Traditional -indonesia-sering-menjadi-agenimigran
Indonesia Fishers Who Access the MOU gelap&option=com_content&Itemid=70,
tanggal 12 Juni 2010.

You might also like