You are on page 1of 37

Model Atom Klasik

Model Atom Thomson

Sekitar tahun 1910 telah terdapat bukti-bukti eksperimental yang memadai


bahwa atom mengandung muatan positif.
Hasil eksperimen juga menunjukkan bahwa setiap atom unsur memiliki
jumlah elektron yang spesifik.
Secara keseluruhan atom bersifat netral sehingga terdapat muatan positif
sebesar jumlah muatan negatif.
Bukti-bukti yang ada mendorong J.J Thompson untuk membuat suatu
hipotesis tentang model atom. Dalam model atom yang diusulkan oleh
Thomson, muatan negatif tersebar secara merata pada muatan positif yang
berupa sautu bola yang masif.
Muatan positif ini diasumsikan terkumpul sebagai suatu bola dengan jari-jari
setara dengan ari-jari atom.
Untuk menghasilkan kestabilan dalam atom elektron harus tersebar merata
diseluruh bagian bola bermuatan positif.
Gambar 4.1 berikut menunjukkan model atom Thomson atau yang biasa
disebut dengan model atom puding kismis.

Gambar 4.1

Pada tingkat energi dasar (ground state) elektron akan berada pada
kesetimbangan dan memiliki tingkat energi terendah.
Jika terdapat pasokan energi dari luar, maka elektron akan tereksitasi dari
keadaan kesetimbangannya, dan mengalami getaran seperti suatu
osilator. Spektrum energi yang dipancarkan akan sesuai dengan prediksi
dari teori elektromagnetik klasik yang menyatakan bahwa suatu benda
bermuatan yang bergetar akan memancarkan radiasi elektromagnetik.
Eksperimen Rutherford

Dalam eksperimennya tentang hamburan partikel alfa oleh inti atom,


Rutherford menyimpulkan bahwa muatan positif tidak berukuran sebesar
atom, melainkan hanya terkonsntrasi pada suatu daerah yang sangat kecil.
Inti atom ini, karena sangat kecil ukurannya maka memiliki densitas yang
sangat tinggi sehingga mampu menghamburkan partikel alfa yang
menumbuknya.
Gambar skematis perangkat eksperimen hamburan partikel alfa dapat
ditunjukkan pada Gambar 4.2 berikut ini.

Gambar 4.2
Perangkat eksperimen pada Gambar 4.2 memperlihatkan suatu lapisan tipis
bahan penghambur yang terbuat dari berberapa jenis bahan logam.
Lapisan ini dibuat sangat tipis sehingga partikel alfa dapat menembus lapisan
tersebut dan hanya mengalami sedikit pengurangan kecepatan.
Jika pergerakan setiap partile alfa di dalam bahan penghambur dianalisis,
maka akan dapat diketahui bahwa setiap partikel alfa yang berinteraksi
dengan atom bahan penghambur akan mengalami defleksi sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3
Defleksi ini terjadi karena partikel alfa yang bermuatan positif akan
mengalami interaksi dengan atom penghambur yang memiliki muatan positif
dan negatif. Akibat defleksi ini, maka lintasan setiap partikel alfa tidak lagi
paralel satu dengan yang lain, melainkan akan bersifat divergen dan
membentuk suatu sudut tertentu terhadap berkas sinar alfa sebelum
berinteraksi dengan bahan penghambur.
Suatu layar pendar terbuat dari ZnS dapat dipergunakan untuk menangkap
berkas partikel alfa yang terhambur pada sudut hambur tertentu, sekaligus
menghitung intensitasnya dengan mencacah jumlah pendaran yang
tertangkap setiap waktu di layar ZnS.
Misalkan jumlah atom yang menghamburkan partikel alfa adalah N, θ adalah
sudut hambur untuk satu kali interaksi, dan Θ adalah net deflection dari suatu
partikel alfa selama pergerakannya melintasi atom-atom bahan, maka
terdapat hubungan

 
2
1
2
 
 N 2
1
2
Nilai  
2
1
2
disebut sebagai nilai rms (root mean square) dari hamburan total

suatu partikel alfa oleh atom-atom penghambur, dan nilai  


2
1
2

disebut sebagai nilai rms dari partikel alfa untuk suatu hamburan tunggal.
Jika hamburan partikel alfa terjadi dalam arah yang seragam, maka persamaan
rms untuk defleksi total harus dikalikan dengan N dan bukan dengan √N.

Secara umum, partikel alfa dengan intensitas mula-mula I dapat memiliki


distribusi angular pada sudut hamburan antara Θ dan dΘ+Θ, dan distribusinya
dapat dinyatakan sebagai berikut

2 I  2 
N  d  exp    d
2  2 
 Elektron di dalam atom penghambur memiliki massa yang jauh lebih kecil
daripada massa partikel alfa yang digunakan, sehingga elektron ini hanya
bisa menghamburkan partikel alfa dengan sudut hambur yang kecil.
 Dengan mengasumsikan bahwa atom memiliki struktur internal sesuai
dengan model yang diusulkan Thomson, maka secara teoritis, sudut
hamburan total dari suatu partikel alfa akibat proses multiple scattering
juga hanya akan memiliki nilai yang kecil.
 Eksperimen yang dilakukan Rutherford menunjukkan bahwa terdapat
sejumlah kecil partikel alfa yang terhambur dengan sudut hambur besar
(mendekati 180o). Hasil ini menunjukkan perlunya suatu koreksi terhadap
model atom Thomson, yang akan diberikan oleh model atom yang baru
Model atom Rutherford
Dalam model atomnya, Rutherford mengusulkan bahwa seluruh muatan positif
dari atom terkonsentrasi disuatu titik. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini,
maka massa atom juga akan terpusat di suatu titik karena fraksi terbesar dari
massa atom dimiliki oleh muatan positifnya. Daerah dimana massa atom ini
terkonsentrasi disebut sebagai inti atom atau nucleus. Jika ukuran inti cukup
kecil, maka partikel alfa yang bergerak mendekati inti akan terhambur dengan
sudut hambur yang besar karena adanya gaya tolak Coulomb antar partikel
alfa dan inti atom. Gambar 4.4 menunjukkan detil interaksi antara partikel alfa
dan inti atom

Gambar 4.4
Dalam analisisnya, Rutherford menggunakan beberapa asumsi. Asusmsi
pertamanya adalah berkaitan dengan ukuran inti atom.
Ukuran inti atom diasumsikan sangat kecil sehingga baik partikel alfa maupun
inti atom dapat dianggap sebagai partikel titik, dan selama interaksi terjadi
partikel alfa tidak menembus ke dalam inti atom.
Asumsi kedua adalah mengabaikan interaksi antara elektron dan partikel alfa
karena hamburan yang dihasilkan hanya memiliki sudut hambur yang kecil.
Asumsi ketiga adalah massa inti atom jauh lebih besar daripada massa
partikel alfa sehingga recoil process dari inti atom dapat diabaikan. Asumsi
yang terakhir adalah penggunaan persamaan mekanika non relativistik
karena kecepatan partikel alfa sebelum dan sesudah hamburan hanya pada
kisaran v/c ≈ 1∕20.
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa lintasan partikel alfa akan membentuk
suatu kurva hiperbola dengan persamaan

 sin   2 cos   1
1 1 D
r b 2b
Konstanta D didefinisikan sebagai

zZe 2
1
D
4 0 Mv 2 / 2

Besaran D menunjukkan jarak terdekat antara partikel alfa dan inti atom
penghambur pada head on collision. Pada titik dimana nilai D tercapai, partikel
akan diam sejenak dan mengalami perubahan arah. Saat diam sejenak akan
terdapat hubungan sebagai berikut

Ek = Ep

Dimana Ek dan Ep menunjukkan energi kinetik dan energi potensial dari partikel
alfa atau dapat dinyatakan pula sebagai berikut

(1/4πε0) (zZe2/D) = Mv2/2

Hubungan antara D dan θ dapat dinyatakan sebagai :


 2b
cot 
2 D
Misalkan suatu berkas partikel alfa dengan intensitas sebesar I menumbuk
lapisan tipis logam dengan ketebalan t dan densitas inti sebesar ρ, maka
jumlah partikel alfa yang terhambur dengan sudut ruang antara Θ dan Θ + dӨ
dapat dinyatakan sebagai
2 2
 1   zZe 2  I  t 2 sin  d
N   d     
 4 0   2Mv
2
  
sin 4 
2

Pada suatu kondisi dimana nilai Θ =180o, maka nilai D akan sama dengan nilai
pendekatan untuk jari-jari inti atom, R, yaitu :

R = D = ( 1 / 4πε0 ) (z Z e2/(Mv2/2))

Jari-jari atom yang diperoleh berdasarkan pendekatan ini tidak akan lebih kecil
dari nilai D karena diasumsikan partikel alfa tidak akan menembus inti atom
akibat tertahan oleh gaya Coulomb.
Persamaan untuk R menunjukkan bahwa nilai R akan sebanding dengan Z.
Selanjutnya, akan timbul pertanyaan tentang seberapa kecil nilai Z yang
mungkin sampai nilai R akan lebih kecil dari jari-jari atom. Pada kasus dimana
inti atom target adalah atom dengan massa inti kecil, maka terdapat
penyimpangan dari hasil yang diprediksikan oleh persamaan hamburan
Rutherford. Berikut ini ditunjukkan hasil eksperimen hamburan partikel alfa
dengan menggunakan target lembaran aluminium.

Gambar 4.5

Berdasarkan grafik pada Gambar 4.5 terlihat bahwa nilai jari-jari inti atom
aluminium berkisar pada orde 10-14 m atau 10 F (F adalah singkatan dari fermi,
yang menujukkan satuan ukuran untuk jari-jari inti atom).
Spektrum Energi Atom

Peralatan yang digunakan untuk mengamati spektrum atom dapat diperlihatkan


pada Gambar 4.6 sebagai berikut ini.

Gambar 4.6

Bahan yang akan diamati spektrumnya biasanya dalam wujud gas.


Pada gas monoatomik, proses pengamatan tingkat energi atomnya dilakukan
dengan melewatkan suatu percikan elektron ke dalam ruang gas yang
menyebabkan gas-gas tersebut mengalami eksitasi.
Ketika proses eksitasi terjadi, tingkat keadaan energi gas menjadi lebih tinggi
(excited state) dari tingkat keadaan dasarnya (ground state).
Untuk menuju ke kondisi stabil, maka atom tersebut akan mengalami proses
deeksitasi.
Proses deeksitasi ditandai dengan turunnya energi atom menjadi seperti
kondisi sebelum mengalami proses eksitasi.
Energi yang dilepaskan selama proses deeksitasi ini akan berwujud radiasi
elektromagnetik.
Untuk menganalis radiasi elektromagnetik yang dilepaskan oleh atom, maka
gelombang elektromagnetik tadi dilewatkan pada sebuah prisma atau kisi
difraksi untuk memisahkan gelombang elektromagnetik tersebut berdasarkan
panjang gelombangnya.
Hasil pemisahan gelombang tersebut direkam pada suatu pita fotografi dan
kumpulan panjang gelombang tunggal yang menyusun energi suatu atom
disebut sebagai spektrum energi atom.
Gambar 4.7 menunjukkan contoh pengamatan terhadap spektrum energi atom
hidrogen.

Gambar 4.7
Pada Gambar 4.7 terlihat bahwa spektrum atom hidrogen terdiri dari garis-
garis tunggal yang mewakili radiasi elektromagnetik dengan panjang
gelombang tertentu.
Berdasarkan pengamatan terhadap atom-atom yang berbeda didapatkan
hasil yang serupa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap atom memiliki kesamaan
dalam hal pola spektrum energi, yaitu berpola diskrit.
Perbedaannya hanya terletak pada besar panjang gelombang yang
dipancarkan atom-atom tersebut selama proses deeksitasi.
Keteraturan pada pola spektrum atom mendorong beberapa orang untuk
mencoba nemenukan aturan umum bagi pola penyusunan energi dari suatu
atom. Pada tahun 1885, Balmer menemukan aturan umum bagi penyusunan
spektrum energi atom hidrogen sebagai berikut

o n2
  3646  2
n 4

Untuk n ≥ 3. Deret ini berlaku untuk daerah diantara Visible-Near UV. Deret-
deret lain yang diketemukan kemudian diperlihatkan pada Tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1
Untuk mendapatkan formula bagi spektrum atom-atom lain yang lebih
kompleks, digunakan persamaan yang dirumuskan oleh Rydberg sebagai
berikut

1  1 1 
  R  2 
  m  a  2
n  b  

Untuk atom hidrogen, nilai a = b = 1 dan R =RH = (10967757,6 ± 1,2) m-1.

Spektrum yang didapatkan dengan jalan mengeksitasi atom-atom gas disebut


sebagai spektrum emisi. Dengan sedikit prosedur yang berbeda, maka akan
didapatkan spektrum absorpsi dari atom
Prosedur untuk mendapatkan spektrum absorpsi adalah dengan melewatkan
suatu spektrum kontinyu dari suatu sumber cahaya polikromatis ke dalam
suatu ruang yang berisi gas atom tertentu.
Dengan menggunakan suatu plat fotografi, maka dapat ditangkap garis-garis
spektrum yang lolos dari ruang yang berisi gas.
Dengan membandingkan antara pola spektrum sebelum dan sesudah
melewati ruang gas maka dapat ditemukan spektrum yang diserap oleh gas,
dimana spektrum yang tidak ada (hilang) dari plat fotografi sesudah melewati
ruang gas menunjukkan spektrum yang diserap oleh gas tersebut.
Kedua tipe spektrum ini, yaitu spektrum absorpsi dan spektrum emisi menjadi
dasar bagi prosedur analisis penentuan jenis atom melalui metode yang
disebut sebagai Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) dan Atomic Emission
Spectroscopy (AES).
Postulat Bohr

Untuk memberikan penjelasan secara komprehensif terhadap data-data


spektroskopi dan juga data-data lain yang tersedia dari eksperimen, maka
Niels Bohr menyusun postulat sebagai berikut :

Sebuah elektron di dalam suatu atom bergerak dengan lintasan berbentuk


lingkaran dalam pengaruh gaya Coulomb antara elektron dan inti atom, serta
mematuhi hukum-hukum mekanika klasik.

Elektron yang bergerak dengan lintasan melingkar hanya dapat memiliki


momentum angular sebesar L dimana

L = n.ħ ( n = 1, 2, 3,…)

Elektron yang bergerak dengan lintasan melingkar kendatipun selalu


mengalami percepatan tangensial, tidak meradiasikan gelombang
elektromagnetik, sehingga akan berada pada keadaan stationer (energi total,
E selalu konstan).
 Radiasi elektromagnetik akan dipancarkan oleh elektron yang berpindah
dari orbit dengan energi total Ei menuju orbit dengan energi total Ef.
Frekuensi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan, ν dapat dinyatakan
sebagai
Ei  E f

h
Postulat Bohr ini merupakan gabungan dari teori fisika klasik dan teori fisika
kuantum. Aspek dari fisika klasik yang dipertahankan adalah gerak elektron
yang mengikuti hukum newton tentang gerak melingkar dan juga hukum
Coulomb tentang gaya tarik antar partikel bermuatan. Sedangkan aspek baru
yang ditambahkan adalah batasan terhadap nilai angular momentum, dan juga
aspek stasioner dari suatu partikel bermuatan yang mengalami percepatan
gerak.

Berdasarkan mekanika klasik, maka gaya Coulomb yang dialami oleh elektron
akan disetimbangkan oleh gaya sentrifugalnya atau dapat dinyatakan sebagai
berikut
1 Ze 2 v2
m
4 0 r 2 r
Postulat yang lain juga menyatakan bahwa angular momentum dari elektron
hanya dapat memiliki nilai kelipatan bulat tertentu, atau dapat dinyatakan
sebagai berikut

mvr = nħ

Dengan menngabungkan persamaan gaya dan persamaan momentumangular


akan didapatkan persamaan untuk jari-jari orbit, r dan kecepatan linier elektron,
v sebagai berikut

n2 2
r  4 0
mZe 2
n 1 Ze 2
v 
mr 4 0 n
Untuk menghitung energi total yang dimiliki elektron pada keadaan stationer,
digunakan pendekatan sebagai berikut. Energi potensial, V yang dibutuhkan
untuk melepaskan elektron dari lintasannya dapat dinyatakan sebagai berikut

Ze 2 Ze 2
V   dr  
r 4 0 r
2
4 0 r
Sedangkan energi kinetiknya, K dapat dinyatakan sebagai berikut

1 2 Ze 2
K  mv 
2 4 0 2r

Energi total elektron, E dapat dinyatakan sebagai

Ze 2
E  K V  
4 0 2r
Dengan menggunakan persamaan untuk r, maka didapatkan

mZ 2 e 4 1
E
4 0 2 2 2 n 2
Untuk atom hidrogen, tingkat-tingkat energi yang terhitung dapat ditunjukkan
pada Gambar 4.8 sebagai berikut.

Gambar 4.8
Interpretasi Aturan Kuantisasi

Interpretasi terhadap aturan kuantisasi pertama kali diberikan oleh Wilson dan
Sommerfield pada tahun 1916. Interpretasi ini didasarkan pada konsep dasar
sebagai berikut

Untuk sembarang sistem fisis dimana kooordinat yang dimilikinya adalah


periodik terhadap waktu, maka akan terjadi suatu kondisi terkuantisasi untuk
setiap kooordinat yang dapat dinyatakan sebagai

p q dq  nq h
Dimana q adalah kooordinat dimana sistem fisis berada, pq adalah momentum
pada koordinat tersebut, nq adalah bilangan kuantum pada koordinat tersebut
(berupa bilangan bulat), dan
periode penuh.
 artinya pengintegralan dilakukan pada satu
Untuk menggambarkan contoh dari aturan ini, dipergunakan suatu osilator
harmonik sederhana satu dimensi yang memiliki persamaan energi total
sebagai berikut
p x2 kx 2
E  K V  
2m 2
Atau
p x2 x2
 1
2mE 2 E
k
Jika plot px terhadap x dibuat, maka akan didapatkan suatu persamaan elips
dimana persamaan ini ekivalen dengan
p x2 x 2
2
 2 1
a b

Untuk a  2E k dan b  2mE


Integral sepanjang lintasan tertutup dari px terhadap x akan menghasilkan luas
elips yang bernilai πab, atau

p x dx   a b

Dengan mensubstitusikan nilai a dan b didapatkan


2E
p x dx 
k m
Dengan mengingat hubungan antara m, k dan ν untuk osilator harmonik, didapatkan

k m  2
Sehingga diperoleh hubungan

2E E
 p x dx  k m


Dengan mengingat kembali aturan Wilson-Sommerfield, didapatkan
E
 p x dx  n h  
Atau dapat dituliskan ulang sebagai berikut

E=nhν (n = 1, 2, 3..)

Persamaan E ini identik dengan persamaan kuantisasi energi radiasi dari


Planck.

Dengan konsepsi pemikiran yang sama, dapat dideduksi persamaan kuantisasi


momentum anguler dari Bohr.

Mengingat kembali konsepsi Wilson-Sommerfield, bahwa

p q dq  nq h

Maka momentum anguler dalam koordinat polar dapat dituliskan

 L d  nh
Untuk pengintegralan satu lintasan penuh, didapatkan
2

 L d  L  d  2L  nh
0
Sehingga didapatkan nilai L sebagai berikut

L = nh/2π ≡ nħ (n = 1, 2, 3…)

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana menghubungkan


perilaku elektron sebagai gelombang dengan perilaku elektron sebagai partikel
yang dibatasi oleh aturan kuantisasi momentum anguler.
Dengan menuliskan kembali persamaan kuantisasi momentum anguler dari
Bohr, maka didapatkan

L = pr = mvr = nħ
Hubungan momentum dan panjang gelombang de Broglie dapat dinyatakan
sebagai
p = h/λ

Momentum anguler dapat dituliskan kembali sebagai

L = pr = h/λ = nħ

Didapatkan panjang gelombang de Broglie adalah

nλ = 2πr ( n = 1, 2, 3…)

Persamaan terakhir ini menunjukkan bahwa setiap lintasan yang


diperkenankan bagi elektron harus memiliki orbit yang dapat melingkupi
kelipatan bulat dari panjang gelombang de Broglie.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa perilaku gelombang yang dimiliki
elektron haruslah menyerupai sifat gelombang stationer, sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar .10 berikut ini.

Gambar 4.10
Model atom Sommerfield

Pengamatan yang teliti pada spektrum atom menghasilkan suatu pola-pola


halus yang merupakan pecahan dari pola –pola utama yang teramati. Struktur
pola halus ( fine structure) ini teramati pertama kali pada spektrum atom
hidrogen. Dalam usahanya untuk menjelaskan keberadaan spektrum halus ini,
Sommerfield menerapkan kembali prinsip kuantisasinya sebagai berikut.

 L d  n h (1)

p r dr  n r h (2)

Kondisi pertama berlaku untuk sembarang bentuk lintasan baik berupa elips
maupun berupa lingkaran, sedangkan kondisi kedua berlaku hanya untuk
lintasan berbentuk lingkaran.

Hubungan antara kedua kondisi ini dapat dinyatakan sebagai berikut

L(a/b-1) = nr ħ (nr = 1, 2, 3, …)
Nilai a, b, dan E adalah

Sedangkan nilai n diberikan oleh

n ≡ nθ + nr

Nilai n disebut sebagai bilangan kuantum utama, dan nilai nθ disebut sebagai
bilangan kuantum azimuth. Untuk masing-masing nilai n, nr dan nθ harus
dipenuhi aturan sebagai berikut

n = 1, 2, 3, …
nr = 0, 1, 2, 3, ..
nθ = 1, 2, 3,..
Gambar 4.11 menunjukkan beberapa orbit dengan nilai n dan nθ yang berbeda.

Gambar 4.11

Orbit dengan nilai n sama tetapi nilai nθ berbeda akan tetap memiliki energi
total E yang sama. Kondisi ini disebut sebagai degenerasi energi. Aspek
degenerasi orbit (dan degenerasi energi) ini terjadi karena adanya proses
kesetimbangan antara energi kinetik dan energi potensial dari elektron selama
gerakannya mengelilingi inti atom.
Dalam analisisnya, Sommerfield mempertimbangkan efek relativistik dari
pergerakan elektron mengelilingi inti atom. Sebagai hasilnya didapatkan
koreksi terhadap nilai energi total elektron E dan menganggap bahwa
degenerasi enrgi selanjutnya dapat dihilangkan karena untuk setiap nθ akan
terdapat nilai E yang bersesuaian.

Nilai E yang telah dikoreksi ini dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut

Z 2 e 4   2Z 2  1 3 
E 1    
4 0 2 2n 2  2  n  n 4n 

Besaran α disebut sebagai tetapan struktur halus (fine structure constant), dan
didefinisikan sebagai

e2
1 1
  7,297  10 3 
4 0 c 137
Gambar 4.12 berikut ini menunjukkan tingkat-tingkat energi utama hidrogen
dan juga struktur halusnya. Pada Gambar 4.12 juga ditunjukkan proses transisi
elektron dari satu tingkat energi ke tingkat energi yang lain. Transisi ini akan
mengikuti suatu aturan (selection rule) sebagai berikut

nθi - nθf = ± 1

Gambar 4.12
Prinsip Korespondensi

Niels Bohr pada tahun 1923 menyampaikan suatu aturan yang disebut sebagai
prinsip korespondensi (correspondence principle), yang terdiri dari dua pokok
yaitu :
 Untuk suatu sistem fisis dimana bilangan kuantum dari sistem tersebut
bernilai sangat besar, maka prediksi yng diberikan teori kuantum harus
bersesuaian dengan prediksi yang diberikan oleh fisika klasik
 Aturan seleksi berlaku untuk semua kondisi, baik untuk bilangan kuantum
yang bernilai besar, maupun untuk bilangan kuantum yang bernilai kecil.
Salah satu metode pembuktian prinsip korespondensi ini adalah dengan
membandingkan antara teori radiasi Rayleigh-Jeans dan teori radiasi Planck.
Kedua teori ini bertemu pada nilai ν yang kecil. Jika ν→0, maka ε→kT.

Berdasarkan hubungan persamaan Planck ε = nhν, dan teori klasik Rayleigh-


Jeans, maka

ε = nhν = kT,

sehingga untuk ν→0, didapatkan nilai n adalah

n = kT/hν

atau n→∞
Tabel 4.2 berikut ini menunjukkan aplikasi prinsip korespondensi untuk atom
hidrogen pada berbagai nilai bilangan kuantum.

Tabel 4.2

You might also like