Professional Documents
Culture Documents
Paper Kerangka Pengukuran Resiko Keuangan Sistemik
Paper Kerangka Pengukuran Resiko Keuangan Sistemik
OCCASIONAL PAPER
Cicilia A. Harun
Sagita Rachmanira
R. Renanda Nattan
Desember, 2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper
ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan
merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
1
KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK*
Abstrak
* Pendapat dalam paper ini tidak merepresentasikan stance kebijakan Bank Indonesia.
Penulis bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan yang tidak disengaja.
† Peneliti Ekonomi Senior, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
charun@bi.go.id
‡ Peneliti Ekonomi, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
s_rachmanira@bi.go.id
§ Research Fellow, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:
raqrenanda@gmail.com
I. PENDAHULUAN
3
pada titik tempat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan menderita kerugian.
Sementara itu, penekanan yang berbeda disampaikan oleh Blancher et al. (2013).
Dalam penelitiannya, Blancher membahas risiko sistemik berdasarkan fase
terjadinya, yaitu build up phase, shock materialized phase, serta amplification and
propagation phase.
4
keuangan, tetapi hingga ke sektor riil, sosial, dan politik. Akibatnya, biaya recovery
(pemulihan) krisis yang ditimbulkan pun semakin tinggi. Guna merespons hal
tersebut, otoritas keuangan di beberapa negara mulai memprioritaskan upaya
untuk meningkatkan ketahanan institusi dan pasar keuangan serta upaya untuk
membatasi build-up risiko sistemik untuk mencegah terjadinya krisis. Hal tersebut
dilakukan sejalan dengan berkembangnya pendekatan makroprudensial dalam
mewujudkan stabilitas sistem keuangan. Instrumen kebijakan makroprudensial,
yang dinilai mampu melengkapi kebijakan moneter dan mikroprudensial, mulai
diimplementasikan di beberapa negara dengan ultimate goal meminimalkan risiko
sistemik. Sementara itu, guna meningkatkan ketahanan institusi keuangan,
otoritas mulai mengembangkan sistem pengawasan dengan pendekatan
makroprudensial.
5
Paparan di atas menjadi latar belakang kajian ini. Tujuan kajian ini adalah
pengidentifikasian indikator monitoring dan metode/tools pengukuran risiko
sistemik. Adapun kontribusi utama kajian ini ialah menghasilkan kerangka kerja
identifikasi, monitoring, dan pengukuran risiko sistemik yang dapat menjadi acuan
dalam pengawasan dan perumusan kebijakan makroprudensial di BI, yang
selanjutnya disebut dengan kerangka pengukuran risiko sistemik/KPRS
(systemic risk measurement framework). Selain alasan tersebut, identifikasi juga
diperlukan sebagai referensi dalam pengembangan indikator dan metode/tools ke
depan. Referensi ini diperlukan untuk memastikan agar pengukuran risiko sistemik
dilakukan dengan indikator dan metodologi yang tepat sehingga tidak menimbulkan
interpretasi yang keliru—misalnya dalam bentuk bias, over-estimation, atau under-
estimation—terhadap risiko sistemik yang terjadi di sistem keuangan. Kekeliruan
pengukuran risiko sistemik juga dapat terjadi jika cakupan penilaian tidak memadai
untuk dapat menarik simpulan mengenai risiko sistemik.
6
II. KARAKTERISTIK ALAT UKUR RISIKO SISTEMIK
Risiko sistemik adalah risiko yang berasal dan menular melalui sektor
finansial, antara lain, akibat kurangnya solvabilitas atau buffer likuiditas pada
institusi finansial yang berpotensi menimbulkan dampak yang parah pada
intermediasi finansial dan ekonomi riel (Blancher et al., 2013). Dalam penelitian
yang sama, risiko sistemik diidentifikasi terbentuk melalui 3 (tiga) fase, yang setiap
fasenya diperlukan alat ukur yang berbeda-beda. Pertama adalah fase build up
dengan gejala overheating pada sistem keuangan yang ditandai dengan boom (harga)
aset, pertumbuhan kredit yang konsisten tinggi, atau perkembangan financial
innovation yang cepat. Alat ukur risiko sistemik pada fase ini difokuskan untuk
menilai kemungkinan (probabilitas) terjadinya dampak sistemik dan indikator
pendeteksian krisis keuangan secara dini (early warning indicator). Ciri khas
metodologi dalam fase ini adalah fokus pada sektor tertentu dalam sistem keuangan
atau fokus pada sebuah indikator yang mewakili perilaku ambil untung dari pelaku
pasar. Contoh pengukuran dalam fase ini adalah pengukuran probabilitas
terjadinya krisis dengan menggunakan kinerja sektor perbankan dan penggunaan
indikator rasio kredit terhadap GDP untuk menilai siklus keuangan.
Tahap kedua adalah fase shock materialized. Fase ini merupakan fase awal
krisis yang ditandai dengan munculnya shock/tekanan pada sistem keuangan
(contohnya rasio GDP/fiscal shock, tekanan nilai tukar, tekanan harga properti,
atau kegagalan salah satu systemically-important financial institutions (SIFI)). Alat
ukur risiko sistemik pada fase ini difokuskan pada asesmen terhadap potensi
kerugian dalam sistem keuangan maupun sektor riel dengan asumsi terjadi stres
atau kegagalan. Metode penilaian yang telah mulai banyak digunakan oleh otoritas
keuangan maupun institusi keuangan dalam mengukur gap atau selisih dari potensi
kerugian dalam kondisi stres atau default terhadap kemampuan untuk menyerap
risiko yang diwakili oleh buffer likuiditas atau permodalan. Metodologi yang telah
sering diimplementasikan oleh otoritas keuangan dan institusi keuangan untuk
mengukur risiko sistemik jika sistem keuangan memasuki fase ini adalah metode
loss given default atau model stress testing.
7
sistemik pada fase ini difokuskan pada interconnectedness dan konsentrasi
eksposur dalam sistem keuangan, potensi fire sale terhadap aset-aset keuangan,
dan asesmen crossborder exposures. Dengan kata lain, metode pengukuran yang
paling tepat, antara lain, adalah (1) metode yang dapat memberikan penilaian
mengenai dampak sistemik sebagai akibat kegagalan salah satu elemen sistem
keuangan, atau yang disebut analisis dampak sistemik (systemic impact analysis);
serta (2) metode penilaian tingkat kerugian sebagai akibat terjadinya penularan
(contagion analysis).
amplification
&
propagation
shock
materialization
build up
phase
(Blancher,et al, 2013)
8
keuangan, dalam jalur financial market (pasar keuangan) digunakan indikator
indeks harga di pasar keuangan, dalam jalur real sector (sektor riel) digunakan
kinerja korporasi dan rumah tangga, dalam jalur infrastruktur digunakan indikator
sistem pembayaran, dan dalam jalur market confidence digunakan indikator tingkat
kepercayaan masyarakat yang dapat diperoleh dari survei.
9
identifikasi sinyal imbalances (ketidakseimbangan) dalam pengawasan
makroprudensial ataupun sebagai sarana monitoring dalam implementasi instrumen
kebijakan makroprudensial. Oleh karena itu, pemahaman yang baik mengenai
indikator mempengaruhi keakuratan pengawasan dan ketepatan implementasi
kebijakan. Berdasarkan pendapat Wolken (2013), indikator dalam proses identifikasi
pembentukan risiko sistemik hendaknya memenuhi persyaratan indikator yang
baik, yaitu sebagai berikut:
a. Procyclical indicator
10
Procyclical indicator adalah indikator yang bergerak searah dengan
pergerakan siklus bisnis atau kegiatan perekonomian agregat, baik ketika terjadi
ekspansi maupun kontraksi. Salah satu contoh indikator yang memiliki sifat
prosiklikal adalah pertumbuhan kredit perbankan. Berdasarkan Kajian Stabilitas
Keuangan (KSK) No. 25 tahun 2015, perbankan Indonesia mengalami perlambatan
pertumbuhan kredit hingga akhir 2015 sebagai akibat dari ketidakpastian dan
perlambatan ekonomi global dan domestik. Adanya perilaku prosiklikal antara
pertumbuhan kredit dan laju perekonomian ini ditunjukkan dengan penurunan laju
pertumbuhan aset, salah satunya melalui peningkatan lending standard untuk
menahan penyaluran kredit.
b. Countercyclical indicator
c. Acyclical indicator
a. Leading indicator
11
leading adalah market return yang akan mengalami penurunan terlebih dahulu
sebelum perekonomian melambat dan sebaliknya. Jika ditinjau dari sisi
penggunaan, indikator yang bersifat leading memiliki potensi untuk memprediksi
pergerakan ekonomi ke depan dan sebagai early warning indicators. Hal itu
dikarenakan indikator yang bersifat leading akan berubah arah terlebih dahulu jika
dibandingkan dengan perekonomian agregat, sebagai contoh penurunan harga aset
merupakan early warning indicator (EWI) terhadap perlambatan ekonomi.
b. Coincident indicator
Indikator dengan peak atau trough yang terjadi hampir bersamaan dengan
peak atau trough siklus bisnis disebut sebagai coincident indicator. Beberapa
indikator ekonomi seperti GDP, indeks produksi, gaji, dan penjualan ritel
merupakan contoh dari indikator coincident. Berbeda dengan indikator leading,
indikator coincident menyediakan informasi terkait kondisi perekonomian yang
sedang terjadi.
c. Lagging indicator
Indikator dengan peak atau trough yang terjadi setelah peak atau trough
siklus bisnis dinamakan lagging indicator. Indikator lagging biasanya digunakan
sebagai alat ukur terhadap kondisi yang telah terjadi, sebagai contoh: indikator
keuntungan perusahaan merupakan alat ukur performa dari perusahaan tersebut
dan angka penggangguran biasanya berubah setelah beberapa triwulan perubahan
siklus bisnis. Kendati indikator lagging cenderung mengikuti pergerakan
perekonomian daripada memimpinnya, Baumohl (2013) berpendapat bahwa
indikator lagging tetap memiliki andil untuk masa yang akan datang. Rasio
inventaris terhadap penjualan yang rendah akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi
karena perusahaan akan meningkatkan jumlah persediaan, dan sebaliknya
kenaikan rasio tersebut dapat menandai perlambatan perekonomian.
12
(contoh: average duration of unemployment), dan (iii) Coincident Indicator Index (CII)
yang terdiri atas 4 (empat) indikator (contoh: employees in nonagricultural payrolls).
Ketiga indeks di atas menggunakan bobot yang berbeda-beda untuk setiap
komponen penyusunnya. Indeks LEI didesain untuk memprediksi arah
perekonomian Amerika Serikat, sedangkan LII digunakan untuk mengonfirmasi
bagian dari siklus bisnis yang telah terlewati. Ketiga indeks ini selanjutnya dapat
digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap terkait dengan kondisi
ekonomi. Penurunan indeks LEI selama 4 (empat) bulan dalam 7 (tujuh) bulan dan
penurunaan CII secara berurutan dalam 3 (tiga) bulan dapat memberikan
peringatan akan datangnya resesi ekonomi.
a. Single indicator
b. Composite indicator
13
indicator adalah Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) yang digunakan BI untuk
menilai kondisi stabilitas sistem keuangan dalam pengawasan makroprudensial.
Kelemahan dari indeks ini adalah sifatnya yang lebih sebagai prompt indicator.
Composite indicator kurang dapat diproyeksikan ke depan, kecuali jika seluruh
indikator pembentuknya juga dapat diproyeksikan ke depan. Selain itu, composite
indicator pun biasanya terdiri atas indikator yang frekuensinya cukup tinggi
sehingga cukup dinamis dan sulit diproyeksikan. Selain itu, untuk memberikan
informasi mengenai kondisi stres atau krisis, composite indicator dapat dilengkapi
dengan threshold yang ditentukan dengan referensi kejadian stres atau krisis pada
masa lalu. Penggunaan referensi historis ini akan mengurangi kemampuan indeks
atau composite indicator dalam memprediksi kondisi stres atau krisis yang
direpresentasikan oleh kombinasi kondisi-kondisi di sistem keuangan yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, pembentukan composite indicator juga
terkadang menerapkan asumsi distribusi tertentu, misalnya distribusi normal.
Kelemahan dari asumsi ini adalah ketidakcocokan distribusi yang diasumsikan
dengan sebaran data yang seharusnya terjadi.
Selain indikator monitoring, mitigasi atas build-up risiko sistemik dapat pula
dilakukan dengan menggunakan metode/tools pengukuran. Metode/tools
pengukuran risiko sistemik merupakan model yang dikembangkan dan dibangun
dengan tujuan untuk melihat potential impact yang ditimbulkan dari sebuah risiko.
Beberapa contoh metode pengukuran risiko sistemik adalah conditional value at risk
(CoVaR), marginal expected shortfall (MES), dan network analysis. Meskipun
dikategorikan sebagai alat pengukuran risiko sistemik, penggunaan alat ukur
tersebut dapat bervariasi bergantung pada aspek risiko sistemik yang hendak
diukur. Sebagai contoh beberapa penelitian sebelumnya yang mengukur risiko
sistemik melalui mekanisme yang lebih spesifik, yaitu imbalances (Caballero, 2009),
spill over kepada ekonomi real (Group of Ten, 2001), eksposur yang berkorelasi
(Acharya, Pedersen, Philippon, and Richardson, 2010), disrupsi informasi (Mishkin,
2007), gelembung harga aset (Rosengren, 2010), dan feedback behavior (Kapadia,
Dhrehmann, Elliott, and Sterne, 2009).
14
sistem keuangan secara komprehensif, seperti yang dapat direpresentasikan oleh
composite indicator. Penggunaan indikator tertentu dalam metodologi pengukuran
semacam ini juga kurang dapat merepresentasikan interaksi antarelemen yang
terjadi dalam sistem keuangan sehingga terkesan hanya dapat merepresentasikan
risiko sektoral. Namun, dengan landasan teori mengenai transmisi risiko sistemik,
penggunaan metodologi pengukuran ini dapat secara intuitif memberikan informasi
mengenai kondisi sistem keuangan yang diwakili oleh satu indikator tertentu.
15
III. KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK DI BANK INDONESIA
a. KPRS menjamin perolehan data dan informasi yang tepat mengenai kondisi
stabilitas sistem keuangan. KPRS yang baik mampu memberikan informasi yang
tepat mengenai sumber permasalahan sebagai modal utama dalam upaya
mitigasi risiko sistemik;
Tahapan
Tipe Alat Ukur Dimensi Pembentukan
Risiko Sistemik
1. Munculnya sumber
1. Cross Section gangguan
1. Indikator monitoring 2. Time Series 2. Menyebarnya sumber
2. Model-based
gangguan menjadi risiko
3. Systemic event
16
Secara umum KPRS di BI tampak sebagaimana disampaikan pada Gambar
4. Berdasarkan gambar tersebut, terdapat tiga klasifikasi utama atas alat ukur
risiko sistemik di BI. Pertama, klasifikasi berdasarkan tipe atau jenis alat ukur,
yakni dapat berupa indikator dan hasil pengembangan metode pengukuran
tertentu. Kedua, klasifikasi berdasarkan dimensi cross section dan time series.
Ketiga, klasifikasi berdasarkan tahapan pembentukan risiko sistemik, yakni
tahapan munculnya sumber gangguan, tahapan penyebaran sumber gangguan
dalam sistem keuangan, serta tahapan pengukuran (potensial) dampak yang
ditimbulkan (systemic event).
Secara umum, alat ukur risiko sistemik dapat berupa indikator dan hasil
pengembangan atas metode pengukuran risiko sistemik. Dalam pengawasan
makroprudensial, indikator dapat digunakan pada tahapan monitoring, stress
identification, dan risk assessment. Indikator yang digunakan untuk pemantauan
(monitoring) umumnya adalah indikator sederhana, yang berasal dari laporan
keuangan institusi keuangan serta data pasar keuangan yang tersedia secara
publik. Indikator itu digunakan untuk mendeteksi vulnerability yang terdapat secara
mikrofinansial serta mendeteksi shock yang bersifat idiosyncratic dan systematic.
Selain indikator sistem keuangan, pemantauan dalam pengawasan
makroprudensial juga mengharuskan pengumpulan data makrofinansial untuk
mendeteksi vulnerability dan shock yang bersumber dari kondisi makroekonomi.
Adapun pemrosesan data yang dilakukan dalam tahap pemantauan biasanya hanya
dalam bentuk perhitungan rasio-rasio yang menggambarkan kinerja sistem
keuangan, contohnya: non-performing loans, capital adequacy ratio.
17
Selain penggunaan indikator, dalam proses identifikasi dan penilaian risiko
sistemik, diperlukan pula pengembangan metode pengukuran yang lebih kompleks,
terutama karena representasi variabel yang diukurnya. Dalam beberapa metodologi
pengukuran, risiko sistemik harus diukur dengan menggabungkan atau
mentransmisikan sejumlah indikator. Pengembangan itu dapat berupa penyusunan
indeks yang menggabungkan berbagai indikator kinerja dalam sistem keuangan
sebagaimana dilakukan oleh beberapa bank sentral (lihat Tabel 2). Di BI sendiri
telah dikembangkan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan/ISSK (Gunadi et al. 2013,
dan Gunadi et al. 2015).
18
merepresentasikan keseluruhan kondisi stabilitas sistem keuangan. Dengan
dilengkapi threshold, indeks juga dapat digunakan sebagai sinyal peringatan jika
kondisi SSK menuju pemburukan sehingga diperlukan upaya-upaya mitigasi risiko
segera. Oleh karena itu, indeks dapat juga digunakan sebagai indikator untuk
protokol manajemen krisis (crisis management protocols).
19
indikator pasar keuangan yang selalu berubah dari menit ke menit, bahkan dari
detik ke detik. Dalam frekuensi yang lebih rendah, risiko sistemik yang diukur
umumnya merupakan indikator ketidakseimbangan dalam intermediasi atau
perilaku ambil risiko (imbalances). Sebagai contoh, Drehman et al. (2012)
membangun indikator siklus finansial yang merepresentasikan perilaku ambil risiko
dari pelaku pasar sehubungan dengan reaksinya terhadap kondisi perekonomian.
Indikator yang dibangun dari pengukuran dengan frekuensi data yang lebih rendah
itu umumnya digunakan untuk menangkap perilaku prosiklikalitas dari agen
keuangan. Untuk frekuensi yang lebih tinggi dapat diambil contoh pengukuran
volatilitas harga aset di pasar keuangan yang merepresentasikan risiko pasar yang
bersangkutan.
Dari sisi cross section, pada suatu waktu pengukuran risiko sistemik perlu
menangkap kondisi elemen sistem keuangan yang berbeda-beda, misalnya indikator
permodalan individual bank pada satu waktu tertentu merepresentasikan
ketahanan sektor perbankan di bulan tersebut. Demikan pula, kondisi NPL
perbankan yang diagregasi dari angka NPL individual perbankan merepresentasikan
risiko kredit sektor perbankan. Indikator yang bersifat cross sectional digunakan
untuk menangkap risiko sistem keuangan sebagai akibat dari konsentrasi pada
portofolio atau sektor ekonomi dan bisnis tertentu. Selain itu, risiko yang datangnya
dari efek penularan (contagion effect) dari risiko sistemik sebagai akibat dari
interkoneksi antaragen keuangan juga membutuhkan data yang bersifat cross
sectional. Misalnya, interbank stress testing membutuhkan data eksposur interbank
dari semua bank pada satu waktu tertentu untuk mengukur dampak kegagalan
suatu bank kepada bank yang lainnya. Selanjutnya, sejumlah metodologi
pengukuran risiko sistemik menggabungkan data kedua dimensi ini dengan cara
menggunakan panel data untuk memperoleh dinamika dari kedua dimensi itu
sekaligus. Misalnya, credit risk stress testing menggunakan model yang dibangun
dari panel data bank. Penggunaan panel data ini mampu memfasilitasi heterogenitas
dari bank sekaligus menangkap perilaku sektor perbankan secara bersamaan dalam
menghadapi kondisi makroekonomi.
20
digunakan dalam bidang sistem keuangan dan makroprudensial, yakni terdiri atas
(i) tahapan pemunculan sumber gangguan yang melibatkan kombinasi antara shock
dan profil risiko yang buruk (vulnerability), tahapan itu sering disebut fase build-up;
(ii) tahapan penyebaran sumber gangguan dalam sistem keuangan hingga menjadi
risiko; serta (iii) tahapan pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic
event).
Pada tahapan pertama, alat ukur risiko sistemik digunakan dengan tujuan
untuk mengidentifikasi sumber gangguan. Dalam hal ini, sumber gangguan
dikategorikan menjadi dua, yaitu shock dan vulnerability. Risiko akan
termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability; dan akan memiliki
dampak sistemik apabila tidak diimbangi dengan tingkat ketahanan (resilience) yang
memadai. Berdasarkan Bernanke (2013), shock merupakan peristiwa tertentu yang
memicu (membarengi) terjadinya krisis (the proximate causes). Sementara itu,
vulnerability diasosiasikan dengan kondisi (preexisting feature) sistem keuangan
yang dapat memperkuat (amplify) dan mempercepat penyebaran shock. Selanjutnya,
risiko sistemik terbentuk melalui interaksi antara shock dari luar dan vulnerabilities
yang menjadi karakteristik dari sistem keuangan itu sendiri.
Sumber gangguan
2
VULNERABILITY (RISK PROFILE)
Dimension
Type of Risk
1 Cross section:
- concentration risk Market risk
- contagion risk Credit risk
SHOCK
Time series: Liquidity risk
- procyclicality risk Operational risk
3
Transmisi Risk in financial system
4
Resilient?
Dampak
Check
Yes liquidity & No
solvency
Stable Financial buffer SYSTEMIC RISK
System
Potential Impact
Temporary Structural
21
yakni apabila shock yang terjadi merupakan akibat dari bentuk interaksi yang baru
di dalam sistem keuangan sehingga belum tercakup dalam EWS yang digunakan4.
Sementara itu, vulnerability merupakan karakteristik elemen sistem keuangan yang
berupa simpul kerawanan yang mengamplifikasi dan mempropagasi shock awal
sehingga berpotensi untuk memperbesar shock pada sistem keuangan. Terdapat
dua jenis vulnerability dalam sistem keuangan, yakni vulnerability yang merupakan
karakteristik dasar setiap elemen (contoh: sifat maturity mismatch dari institusi
keuangan); serta vulnerability yang muncul akibat kegiatan bisnis elemen sistem
keuangan (cumulative behavior), seperti penyaluran kredit yang secara terus
menerus terkonsentrasi pada sektor tertentu. Secara umum identifikasi vulnerability
dilakukan melalui risk profiling atas perilaku setiap elemen dalam sistem keuangan,
yaitu dengan mengukur kinerja dan risiko elemen-elemen tersebut5. Identifikasi
vulnerability mencakup dimensi time series dan cross section dengan menggunakan
pendekatan risiko sistem keuangan, yakni kredit, likuiditas, pasar, dan operasional
(Gambar 5). Identifikasi vulnerabilities melalui pendekatan risiko kredit
merefleksikan risiko yang muncul dari fungsi intermediasi sistem keuangan.
Sementara itu, pendekatan risiko pasar diukur karena keterkaitan elemen sistem
keuangan pada aset keuangan yang diperdagangkan di pasar keuangan yang
mentransmisikan harga aset, tingkat bunga, dan nilai tukar (untuk aset dalam
valuta asing), sedangkan identifikasi vulnerabilities melalui pendekatan risiko
likuiditas akan mewakili kemampuan elemen sistem keuangan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek. Sementara itu, identifikasi melalui pendekatan risiko
operasional dilakukan berkaitan dengan fungsi sistem keuangan dalam memberikan
jasa keuangan seperti penyediaan media untuk sistem pembayaran, penyediaan
pembiayaan untuk sektor-sektor ekonomi, atau pemberian fasilitas untuk
4 EWS dikembangkan untuk mendeteksi shock atau krisis keuangan dengan menggunakan
beberapa pilihan indikator yang secara historis dapat menjadi leading indicator atau
indikator awal dari terjadinya shock dan/atau krisis. Jika shock dan krisis yang terjadi belum
pernah terjadi pada masa lalu dan diindikasikan dengan leading indicator yang berbeda
dengan EWS yang telah digunakan, masih ada kemungkinan shock/krisis yang tidak dapat
dideteksi secara dini. Sebagai contoh, kasus subprime mortgage crisis pada tahun 2007
menjadi shock yang tidak terdeteksi karena rendahnya transparansi dalam perdagangan
structured products pada saat itu.
5 Berdasarkan PBI No. 16/11/PBI/2015 perihal Pengaturan dan Pengawasan
Makroprudensial, sistem keuangan adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan,
pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga
yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan perekonomian.
Merujuk pada definisi di atas, yang dimaksud dengan elemen sistem keuangan adalah
institusi keuangan, baik bank maupun non-bank, pasar dan infrastruktur keuangan, serta
institusi non-keuangan dan rumah tangga
22
pengelolaan likuiditas dalam mata uang domestik atau valuta asing. Tabel 3
menunjukkan contoh identifikasi vulnerabilities sektor perbankan melalui
pendekatan risiko di atas.
Pada tahap kedua dalam fase pembentukan risiko sistemik, risiko akan
termaterialisasi dalam sistem keuangan ketika shock berinteraksi dengan
vulnerabilities (Gambar 5). Interaksi di antara kedua jenis sumber gangguan
tersebut menghasilkan kombinasi probabilitas sebagai berikut.
a. Jika tidak ada shock dan tidak ada vulnerability, tidak terjadi potensi risiko
sistemik.
b. Jika ada shock, tetapi tidak ada vulnerability, terdapat peningkatan probabilitas
terjadinya risiko sistemik relatif terhadap kondisi normal karena masih
dimungkinkan terdapat unknown vulnerability. Krisis keuangan masih dapat
dihindari karena elemen-elemen sistem keuangan akan memiliki ketahanan yang
cukup untuk menyerap risiko. Sebagai contoh, pada waktu terjadi tekanan pada
likuiditas global seperti yang terjadi pada kuartal terakhir tahun 2008,
perbankan Indonesia secara system-wide sanggup menyerap risiko yang terjadi
karena tidak terdapat vulnerability yang dapat menghasilkan risiko sistemik.
c. Jika tidak ada shock, tetapi ada vulnerability, probabilitas risiko sistemik akan
meningkat. Namun, seperti pada kombinasi sebelumnya, krisis keuangan pun
masih dapat dihindari karena tidak ada trigger yang meng-ekspos vulnerability
tersebut. Dalam kondisi ini, vulnerability telah terbentuk karena akumulasi risiko
dari perilaku ambil risiko pada saat siklus keuangan berada dalam kondisi
upswing.
d. Jika terjadi shock dan terdapat vulnerability secara bersamaan, tergantung dari
besarnya shock dan parahnya vulnerability, probabilitas terjadinya risiko
sistemik akan meningkat. Jika vulnerability berada pada sektor keuangan yang
dominan, seperti umumnya perbankan di emerging markets, risiko sistemik
dapat terjadi.6
23
Gambar 6. Interaksi Shock dan Vulnerability
24
sektor keuangan yang diukur). Metodologi stress test yang baik juga telah
memperhitungkan interaksi antarelemen sistem keuangan sehingga dinamika yang
terjadi di sistem keuangan dapat tertangkap dengan baik dan hasil stress test
mendekati kondisi yang sebenarnya. Untuk keperluan itu, metodologi stress test
memasukkan juga modul contagion stress test dan second round impact.
7 Harun (2013) dan Harun et al. (2014) adalah penelitian untuk keperluan internal Bank
Indonesia dan tidak dipublikasikan.
25
dampak dari kegagalan bank pada institusi keuangan lain yang terafiliasi dengan
bank tersebut; dampaknya terhadap kondisi pasar keuangan, terutama berkaitan
dengan aset-aset yang dimilikinya yang akan dijual untuk menutupi kerugiannya;
ataupun aset-aset atas nama bank yang bersangkutan, misalnya obligasi korporasi
diterbitkan, utang di pasar uang antarbank, dan aset-aset lain. Selanjutnya, melalui
analisis dampak sistemik dapat dihasilkan penilaian atas potensi dampak dari suatu
systemic event, apakah bersifat sementara (temporary) atau struktural. Jika bersifat
struktural, biaya untuk pemulihan sistem keuangan akan lebih besar daripada jika
dampaknya bersifat sementara. Dalam hal ini analisis dampak sistemik dapat juga
menentukan elemen sistem keuangan yang perlu ditargetkan untuk melakukan
mitigasi risiko.
26
Indikator ketidakseimbangan atau imbalances pada dasarnya mengacu pada
indikator time series yang frekuensinya relatif lebih rendah (bulanan hingga
kuartalan). Di berbagai bank sentral, harga properti digunakan sebagai proxy untuk
mendeteksi imbalances. Hal itu didasarkan pada premis bahwa harga properti
didorong oleh perilaku spekulatif dari investor (terutama sektor rumah tangga) yang
dibiayai oleh pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR). Selain itu, harga rumah
juga didorong oleh peningkatan permintaan terhadap barang kebutuhan pokok
sebagai akibat dari peningkatan daya beli masyarakat yang juga didorong oleh
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Imbalances yang dideteksi di sini berkaitan
dengan perilaku prosiklikalitas dari perbankan dalam penyaluran kredit.
Pembentukan indikator siklus keuangan, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya juga merupakan salah satu upaya untuk mendeteksi
ketidakseimbangan dalam sistem keuangan karena persepsi pelaku pasar terhadap
kondisi perekonomian dan perilaku ambil risikonya.
27
melihat pengaruhnya pada perekonomian domestik) adalah indikator yang perlu
diamati untuk setiap individual bank untuk melihat potensi propagasi
permasalahan. Pengukuran-pengukuran untuk meninjau potensi propagasi
permasalahan itu juga dilakukan dalam Analisis Dampak Sistemik.
Fase yang terakhir adalah fase systemic event atau pada bab II disebut juga
sebagai shock materialized. Fase itu berkaitan dengan krisis keuangan. Walaupun
bank sentral dan otoritas keuangan telah mengembangkan early warning system,
systemic event pada dasarnya hanya bisa dideteksi secara backward looking. Bank
sentral dan otoritas keuangan tidak pernah mampu secara akurat memprediksi
terjadinya krisis meskipun siklus keuangan memberikan informasi puncak siklus
dan data pada masa lampau menunjukkan bahwa krisis umumnya terjadi sekitar 2
(dua) tahun setelah terjadi puncak siklus keuangan. Dengan demikian, systemic
event merupakan periode yang sangat pendek di dalam fase propagasi karena shock
dan vulnerability terjadi dan membentuk risiko sistemik. Setelah systemic event
terjadi, segmen downswing yang terbentuk dapat berbentuk U atau berbentuk V.
Jika berbentuk U, downswing akan berlangsung lebih dalam dan lama pada siklus
keuangan dan disertai dengan masa pemulihan yang cukup lama. Kondisi itulah
yang berpotensi memberikan dampak yang bersifat struktural. Jika berbentuk V,
downswing akan berlangsung dalam periode yang lebih pendek dan pemulihan atau
recovery juga akan berlangsung cepat. Dalam siklus keuangan, systemic event bisa
saja tidak terjadi karena dalam segmen downswing pelaku pasar sudah secara
otomatis menyesuaikan portofolionya untuk mengurangi potensi kerugiannya. Hal
itu bergantung pada ketahanan dari elemen-elemen sistem keuangan. Pada
dasarnya segmen downswing dapat diupayakan untuk tidak jatuh terlalu dalam.
Hal yang dapat dilakukan oleh bank sentral dan otoritas keuangan adalah tetap
berjaga-jaga dengan menyiapkan sejumlah instrumen yang dimiliki untuk
menghindari terjadinya krisis keuangan yang akan menimbulkan biaya yang tinggi
untuk pemulihan.
Dalam fase ini frekuensi near crisis indicators dan stress indicators sangat
tinggi, misalnya indeks yang menggambarkan kondisi sistem keuangan secara
keseluruhan atau indikator likuiditas institusi keuangan menjadi sangat penting
untuk terus mengukur kemampuan elemen-elemen sistem keuangan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendek.. Jika krisis telah terjadi, protokol manajemen
krisis (PMK) telah diaktifkan dan dalam PMK tersebut dapat saja diaktivasikan
pelaporan dalam frekuensi yang lebih tinggi oleh institusi keuangan. Sebagai contoh,
28
ketika krisis keuangan global memuncak dalam kuartal IV 2008, Bank Indonesia
meminta bank-bank besar melaporkan kondisi likuiditasnya pada penutupan sesi
siang dan penutupan sesi sore atau meningkatkan frekuensi pelaporan
likuiditasnya dari 1 kali sehari menjadi 2 kali sehari.
29
IV. PENUTUP
30
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Andrew., and Bernanke, Ben., 2001, “Macroeconomics, 4th Edition”, Addison
Wesley Longman Inc.
Acharya, V., L. Pedersen, T. Philippon, and M. Richardson, 2010, “Measuring
Systemic Risk”, Working Paper , New York Univertsity.
Bank Indonesia, 2015, “Kajian Stabilitas Keuangan No. 25”.
Bank of Canada, 2014, “Financial System Review”, pp. 1-2, June
Basel Committee on Banking Supervision, 2011, “Global Systemically Important
Banks: Assessment Methodology and the Additional Loss Absorbency
Requirement”, Bank for International Settlements.
___________, 2012, “ Model and Tools for Macroprudential Analysis,” BIS Working
Paper No. 12, Bank for International Settlements.
Baumohl, B., 2013, “The Secrets of Economic Indicators: Hidden Clues to Future
Economic Trends and Investment Opportunities”, Pearson Education, Inc.
Bernanke, Ben., 2013, “Monitoring the Financial System,” speech at the 49th Annual
Conference on Bank Structure and Competition, Board of Governors of the
Federal Reserve System, May.
Billio, M., M. Getmansky, A. W. Lo, and L. Pelizzon, 2010, “Econometric Measures of
Systemic Risk in the Finance and Insurance Sectors”, NBER Working
Paper 16223, NBER.
Blancher, N., S. Mitra, H. Morsy., A. Otani., T. Severo., and L. Valderma., 2013,
“Systemic Risk Monitoring(“SysMo”) Toolkit – A User Guide”, IMF
Working Paper No. 13/168, July.
Boss, M., Krenn, G., Puhr, C., and Summer, M., 2006, “Systemic Risk Monitor: A
Model for Systemic Risk Analysis and Stress Testing of Banking Systems”,
Financial Stability Report 11, Oesterreichische Nationalbank, pp. 83-95,
June.
Burrows, O., Learmonth, D., and McKeown, J., 2012, “RAMSI: a top-down stress-
testing model”, Financial Stability Paper No. 17, Bank of England, September.
Caballero, R. J., 2009, “The ‘Other’ Imbalance and the Financial Crisis”, MIT
Department of Economics Working Paper No. 09-32, Massachusetts Institute
of Technology.
Cicilia, A. H., 2013, “Analisis Dampak Sistemik di Indonesia”, Internal Working
Paper, Bank Indonesia.
Cicilia, A. H., Derianto, Elis., Agusman., Rulina, Ita., 2015, “ A Framework of
Systemic Impact Analysis”, Bank Indonesia, forthcoming.
Drehmann, M., Claudio B., Kostas, T., 2012, “Characterising the Financial Cycle:
Don’t Lose Sight of the Medium Term!” BIS Working Paper No. 380, Bank for
International Settlements, June.
European Central Bank (ECB), 2010, “Financial Networks and Financial Stability”,
Financial Stability Reviews, pp. 138-146, June.
31
Gadanecz, B., and Jayaram, K., 2009, “Measure of Financial Stability – a Review”,
IFC Bulletin No 31. pp. 365-380, July.
Gauthier, C., and Souissi, M., 2012, “Understanding Systemic Risk in the Banking
Sector: A MacroFinancial Risk Assessment Framework”, Bank of Canada
Review, Financial Stability Department, Bank of Canada, pp.29-38.
Group of Ten, 2001, “Report on Consolidation in the Financial Sector”, International
Monetary Fund, January.
Gunadi, I., Aditya, A.T., dan Cicilia, A. H., 2013, “Penggunaan Indeks Stabilitas
Sistem Keuangan (ISSK) dalam Pelaksanaan Surveilans Makroprudensial”,
Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial,
Bank Indonesia.
______________, 2015, “Penyempurnaan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK)”,
Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial,
Bank Indonesia.
Gunadi, I., Cicilia, A.H., Sagita, R., dan Tevy, C., 2014, “Identifikasi Transmisi Risiko
Sistemik dalam Sistem Keuangan Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia,
Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.
Harun, Cicilia, and Sagita Rachmanira, 2013, “Kerangka Kebijakan
Makroprudensial Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen
Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia
____________, 2015, “Revisit Kerangka Kebijakan Makroprudensial Indonesia”,
Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial,
Bank Indonesia.
Jong, H.L., Ji, H. B., Sejin, Y., and Dongkyu, C., 2013, “Systemic Risk Assessment
Model for Macroprudential Policy”, Macroprudential Analysis Department,
Bank of Korea.
Kapadia, S., M. Drehmann, J. Elliott, and G. Sterne, 2009, “Liquidity Risk, Cash
Flow Constraints, and Systemic Feedbacks”, Working Paper, Bank of
England.
Mishkin, F. S., 2007, “Systemic Risk and the International Lender of Last Resort”,
Working Paper, Board of Governors of the Federal Reserve, Speech delivered
at the Tenth Annual International Banking Conference, Federal Reserve Bank
of Chicago, September 28th.
Organization for Economics Co-Operation and Development, 2008, “Handbook on
Constructing Composite Indicators: Methodology and User Guide”, OECD and
JRC European Comission.
Rosengren, E.S., 2010, “Asset Bubble and Systemic Risk”, The Global
Interdependence Center’s Conference on Financial Interdependence in the
World’s Post-Crisis Capital Market, Philadelphia
Wolken, Tony, 2013, “Measuring Systemic Risk: the role of Macro-prudential
Indicators”, Bulletin Vol. 76 No. 4, Reserve Bank of New Zealand, December.
32
APPENDIX
33
Sumber: Burrows et. al. (2012)
Gambar 1. Overview RAMSI
34
skenario pada nilai dari posisi pasar dan kredit noninterbank. Pada tahap kedua,
posisi tersebut akan digabungkan dengan model networking. Pada dasarnya model
networking bekerja untuk melihat apakah bank dapat tetap memenuhi kewajiban
interbank-nya dan kemudian diberikan nilai portofolionya. Distribusi dari faktor
risiko akan menghasilkan beberapa skenario dan beberapa skenario tersebut akan
diterapkan pada sistem portofolio sehingga menghasilkan distribusi dari selisih nilai
portofolio. Melalui distribusi selisih nilai portfolio, dapat dihasilkan pemetaan
probabilitas dari masalah selama satu triwulan ke depan.
35
dari shock pada kondisi makroekonomi. Kerugian itu terjadi akibat penurunan
kualitas kredit sejak terjadinya peningkatan ekspektasi gagal bayar seiring dengan
memburuknya kondisi makroekonomi. Pada tahap kedua, terjadi risiko pendanaan
likuiditas yang disebabkan oleh penurunan roll-over deposit oleh nasabah akibat
peningkatan ekspektasi risiko solvabilitas bank. Selanjutnya, pada tahap terakhir,
kegagalan atau stress pada satu bank akibat risiko solvabilitas maupun risiko
pendanaan likuiditas dapat menyebabkan spillover pada bank lain melalui eksposur
interbank. MFRAF memiliki dua aplikasi, yaitu (i) efek risiko pendanaan likuiditas
dan efek spillover pada kerugian agregat dan (ii) trade off antara modal dan
likuiditas.
36
melalui hubungan antarbank dan macro-financial selama beberapa periode. SAMP
dikembangkan oleh BoK dan terdiri dari atas enam modul berikut.
Bank profit and loss module merupkan modul yang digunakan untuk
mengukur dampak faktor risiko makro pada laba rugi bank melalui (i) kerugian
akibat risiko kredit; (ii) kerugian akibat risiko pasar; (iii) pendapatan melalui
suku bunga; dan (iv) pendapatan selain melalui suku bunga. Modul ini juga
digunakan untuk menghitung perubahan rasio modal menurut aturan BASEL
yang terkena imbas dari faktor risiko makro.
5. Multi-period module
37
menghasilkan kerugian bank selama satu tahun. Pada setiap interasi, neraca
akan diperbaharui secara dinamik untuk merefleksikan hasil dari estimasi
triwulanan.
38