You are on page 1of 6

Kemunduran mutu ikan merupakan faktor alami yang terjadi akibat pengaruh enzim dan reaksi

biokimiawi dalam tubuh, serta aktivitas bakteri. Salah satu cara penanganan ikan yang dilakukan untuk
menjaga mutu ikan adalah dengan menggunakan penyimpanan suhu dingin. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan perubahan kimia selama proses kemunduran mutu ikan selar kuning (Selaroides
leptolepis) pada penyimpanan suhu dingin. Metode analisis yang digunakan yaitu ikan selar kuning
dengan perlakuan tanpa penyiangan yang disimpan selama 14 hari. Analisis yang dilakukan yaitu uji
organoleptik, pH, TVB, PLA, PLG, dan profil protein dengan SDS-PAGE setiap 2 hari sekali. Ikan selar
kuning masih termasuk kriteria ikan segar pada penyimpanan hari ke-2 dengan nilai organoleptik 8. Ikan
telah mengalami kebusukan pada pengamatan hari ke-12 hingga pengamatan hari akhir. Ikan selar
kuning masih dalam keadaan baik dan layak untuk dikonsumsi hingga penyimpanan hari ke-6
berdasarkan hasil dari pengujian TVB. Perubahan profil protein terjadi mulai dari penyimpanan hari ke-6
dengan menipisnya pita protein. Semakin lama waktu penyimpanan maka protein larut air dan protein
larut garam semakin menurun serta nilai TVB semakin naik.

Proses penurunan mutu ikan

segar ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal mencakup kondisi

lingkungan seperti suhu, musim,

jenis makanan yang tersedia dan

perlakuan penanganan pada ikan

sedangkan faktor internal meliputi

jenis ikan, umur, makanan, gonad,

kandungan lemak dan cara kematian


ikan. Cara kematian ikan merupakan

suatu cara yang dilakukan untuk

mengetahui tahapan penurunan

kesegaran ikan yang terjadi setelah

ikan mati.

Ikan yang telah mati akan

mengalami perubahan fisik, kimia,

enzimatis dan mikrobiologi yang

berkaitan dengan kemunduran mutu.

Secara umum proses terjadinya

kemunduran mutu ikan terdiri dari

tiga tahap yaitu prerigormortis,

rigormortis dan postrigormortis.

Kemunduruan mutu adalah

proses perubahan pada ikan setelah

mati terjadi karena adanya aktivitas


enzim, mikroorganisme, dan

kimiawi. Penurunan tingkat

kesegaran ikan ditandai dengan

adanya perubahan fisik, kimia, dan

organoleptik pada ikan. Semua

proses perubahan ini akhirnya

mengarah ke pembusukan.

Perubahan setelah ikan mati meliputi

perubahan

prerigormortis,

rigormortis,

aktivitas enzim,

aktivitas mikroba, dan oksidasi

(Junianto, 2003).

ikan lebih cepat


memasuki fase rigormortis dan

berlangsung lebih singkat. Fase

rigormortis

tidak dapat

dipertahankan lebih lama maka

pembusukan oleh aktivitas enzim dan

bakteri tersebut menyebabkan

perubahan

yang sangat pesat

sehingga ikan memasuki fase

postrigormortis.

Fase ini

menunjukan bahwa mutu ikan sudah

rendah dan tidak layak untuk

dikonsumsi
Junianto. 2003. Teknik Penanganan

Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pembusukan ikan adalah proses rumit yang disebabkan oleh kombinasi aksi enzim, bakteri dan bahan
kimia yang terdapat didalam ikan. Faktor-faktor yang berkontribusi pembusukan ikan adalah kadar air
tinggi, kandungan lemak tinggi, kandungan protein tinggi, jaringan otot yang lemah, suhu lingkungan,
dan penanganan yang tidak higienis. Pembusukan ikan biasanya disertai dengan perubahan karakteristik
fisik seperti perubahan warna, bau, tekstur, warna mata, warna insang, dan kelembutan otot. Adapun
tanda-tanda yang terlihat dari proses pembusukan adalah terjadinya perubahan bau dan rasa yang tidak
diinginkan, pembentukan lendir, produksi gas, perubahan warna, dan perubahan tekstur.

Proses Autolisis

Penurunan awal kualitas kesegaran ikan adalah akibat proses autolisis (aksi enzim). Autolisis adalah
proses perombakan jaringan ikan oleh enzim yang terdapat didalam tubuh ikan itu sendiri. Setelah
kematiannya, ikan akan mengalami rigor mortis (kaku setelah mati), yaitu efek fisik pada jaringan otot
ikan yang disebabkan oleh perubahan kimia setelah kematian. Pada ikan hidup, gerakannya dikendalikan
oleh sinyal kimia yang menyebabkan kontraksi dan relaksasi otot. Ini menghasilkan gerakan untuk
berenang. Setelah kematian, sistem peredaran darah yang normal berhenti, dan sinyal kimia masuk ke
dalam otot sehingga menyebabkan menjadi kaku. Dengan kata lain, pada ikan hidup keberadaan
glikogen dalam otot diubah menjadi karbon dioksida dan air setelah pasokan oksigen ke sel-sel. Setelah
mati, sirkulasi darah berhenti dan pasokan oksigen terhenti. Enzim yang ada dalam otot mengkonversi
glikogen menjadi asam laktat sehingga pH otot ikan turun. Pembentukan asam laktat ini berlanjut
sampai pasokan glikogen benar-benar habis.

Setelah selesai rigor mortis, kekakuan otot secara bertahap menurun disertai dengan peningkatan pH,
dan berakhir dengan pelunakan otot. Ini diikuti dengan pemecahan protein oleh enzim. Proses inilah
yang disebut sebagai autolisis. Dengan demikian autolisis dapat digambarkan sebagai gangguan internal
struktur protein dan lemak karena serangkaian kompleks reaksi oleh enzim. Autolisis protein dimulai
segera setelah kekakuan dan menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri.
Aksi penting lainnya dari enzim adalah mempengaruhi rasa ikan. Komponen yang bertanggung jawab
atas rasa dan aroma ikan diubah oleh aksi enzimatik. Contohnya adalah degradasi ATP (adenosine
triphospat) menjadi AMP (adenosine monophospat) dan hipoksantin. Hipoksantin dihasilkan oleh
pemecahan ATP yang merupakan komponen utama dari nukleotida otot ikan. Akumulasi hipoksantin
menyebabkan rasa pahit pada otot ikan disertai dengan hilangnya rasa ikan segar. Dengan demikian
pengukuran kandungan hipoksantin dalam ikan menunjukkan tingkat kesegaran. Aksi enzimatik juga
menyebabkan burst belly (pecahnya dinding perut) yang disebabkan oleh aksi enzim pencernaan dalam
usus ikan. Pembentukan bintik hitam di udang juga disebabkan oleh aksi enzim pada asam amino.
Warna hitam terjadi karena pembentukan melanin (pigmen hitam) oleh aksi enzim tirosinase pada
tyrosin yang terdapat pada udang. Bintik-bintik hitam menyajikan penampilan buruk yang
mengakibatkan produk tidak dapat diterima.

Kontribusi proses autolisis dalam proses pembusukan pada ikan dan produk ikan yang didinginkan
sebenarnya relatif kecil. Namun, pada ikan beku perubahan autolitik adalah sangat penting. Salah satu
contoh adalah pengurangan trimetilamina oksida (TMAO), dimana pada ikan yang didinginkan dengan
proses bakteri terjadi pembentukan trimetilamina (TMA). Tetapi, pada ikan beku, aksi bakteri dihambat
dan TMAO dipecah oleh enzim autolitik menjadi dimetilamina (DMA) dan formaldehid (FA). Efek dari FA
yang dibentuk pada ikan beku meningkatkan denaturasi jaringan ikan, perubahan tekstur, dan hilangnya
kapasitas pengikatan air. Reaksi enzimatik lain seperti pembentukan asam lemak bebas juga diyakini
sangat mempengaruhi kualitas sensorik ikan beku. Enzim autolitik aktif bahkan pada suhu -20°C atau di
bawahnya, tetapi jauh lebih cepat pada suhu diatasnya, di bawah nol.

You might also like