You are on page 1of 11

Pendahuluan

Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan


pengendali utama ranah penyiaran. Oleh karena frekuensi adalah milik publik dan
sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan
publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran
harus menjalankan fungsi pelayanan publik yang sehat. Penyiaran berfungsi
sebagai media informasi, pendidikan, kebudayaan, hiburan, kontrol sosial,
perekat sosial, ekonomi, wahana pencerahan, dan pemberdayaan masyarakat.
Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yaitu Diversity of
Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip
keberagaman kepemilikan).
Kedua prinsip tersebut hendaknya menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang
dirumuskan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pelayanan informasi yang
sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi adalah tersedianya informasi yang
beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program.
Sedangkan prinsip keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan
media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir
orang atau lembaga saja. Prinsip ini juga menjamin iklim persaingan yang sehat
antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran lahir dengan dua semangat utama. Pertama, pengelolaan sistem
penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan
ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua,
adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi
daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.
Dengan kata lain, UU Penyiaran memiliki semangat penguatan kearifan lokal yang
pada dasarnya merupakan kebijaksanaan masyarakat yang bersandar pada filosofi
nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan
dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Regulasi dunia penyiaran yang
bisa dijadikan acuan model adalah regulasi penyiaran “demokratis-partisipatif”
yang salah satu substansinya memandang radio dan televisi sebagai agen
perubahan sosial, pengembangan kebudayaan berbasis kearifan lokal dan
pembangunan bangsa.
Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan “nilai-nilai“ yang harus
selalu dijunjung di manapun berada. Nilai entitas dan budayalah yang berharga
dan dijunjung dengan baik dalam menyikapi permasalahan di masyarakat.
Kedigdayaan suatu bangsa adalah di saat bangsa itu dapat memajukan “budaya
dan tradisinya” dengan baik, dan keterpurukan suatu bangsa adalah di saat
bangsa itu selalu bangga mengikuti trend bangsa lain.
Untuk mampu menjadikan dunia penyiaran sebagai agen perubahan sosial,
pengembangan kebudayaan berbasis kearifan lokal dan pembangunan bangsa,
harus ada regulation of fairness yang memuat prinsip objektivitas, imparsialitas,
dan akuntabilitas agar tercipta dunia penyiaran yang sehat dan hubungan yang
seimbang dan dinamis antar-stakeholders (pemangku kepentingan) yakni KPI,
pengelola industri penyiaran, pemerintah, dan publik/masyarakat.
Paradigma komunikasi untuk membangun hubungan dinamis antar-
stakeholders penyiaran di tanah air akan mampu mewujudkan grand
design dunia penyiaran Indonesia. Grand design dunia penyiaran Indonesia adalah
sebuah konsep komprehensif yang menjadi tujuan bersama dari
seluruh stakeholders dunia penyiaran, mulai dari publik, pelaku industri
penyiaran, pemerintah, dan KPI.
Di dalamnya ada desain struktur dunia penyiaran secara utuh, pola hubungan
antara seluruh stakeholders (berdasar peran, kewenangan, dan tanggung jawab),
mekanisme kerja bersama antara seluruh pelaku dan bentuk koordinasinya,
orientasi produk ideal, pola kepemilikan media, dan kode etik untuk pelaku
industri penyiaran non-jurnalis.
Dalam merumuskan visi-misi, saya melakukan analisis SWOT (strength, weakness,
opportunity, threats) dan mengevaluasi eksistensi serta kinerja tiga periode KPI
sebelumnya yang saya rumuskan berada pada era transisi, era konsolidasi, dan
era transformasi. KPI periode mendatang akan memasuki era dinamisasi.

1. KPI pada Era Transisi (Periode 2003-2007)


Era ini adalah peralihan kelembagaan, sistem, dan regulasi penyiaran yang
berlaku sebelumnya. UU No.24 Tahun 1997 tentang Penyiaran mengatur adanya
Badan Pembinaan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N) yang belum
sempat menjalankan perannya, disusul keberadaan Badan Informasi dan
Komunikasi Nasional (BIKN) yang dibentuk berdasarkan Keppres No.153 Tahun
1999. Lahirnya UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengamanatkan
kehadiran lembaga KPI.
Kekuatan KPI pada era ini adalah mulai mampu menjalankan kinerja sebagai
lembaga negara independen di bidang penyiaran meskipun baru berdiri. Lembaga
ini sudah berhasil dan bisa diterima, walaupun masih ada kelemahan di mana
beberapa hal belum bisa dilaksanakan. Dalam pergulatan berbagai persoalan,
sosialisasi pentingnya kehadiran KPI terkendala, sehingga KPI belum secara penuh
bisa dibentuk di daerah-daerah dalam kelembagaan KPID.
Kelemahan yang ada juga terutama akibat faktor eksternal yang notabene
menjadi permasalahan utama dunia penyiaran Indonesia saat itu. Pemerintah
tidak konsisten dan merasa sebagai satu-satunya representan penyiaran yang
berdaulat. Pemerintah pada prinsipnya melihat KPI sebagai ancaman, karena
menerima kewenangan yang tadinya ada di pemerintah. Sulit sekali bagi kalangan
ini untuk memahami paradigma pelaksanaan fungsi-fungsi negara oleh sebuah
lembaga yang tidak menjadi bagian dari pemerintah.

2. KPI pada Era Konsolidasi (Periode 2007-2010)


KPI pada era ini adalah periode di mana berlangsung penguatan eksistensi KPI
melalui kinerja yang diupayakan berjalan di tengah-tengah kondisi kontradiktif
dan konfrontatif. KPI berjuang menempatkan diri dalam konstelasi masalah yang
serba baru dan lebih rumit, sebagai konsekuensi bertemunya daya-daya yang
digerakkan kekuatan mekanisme pasar dan daya-daya politis kekuasaan negara.
KPI belum sepenuhnya menunjukkan respons yang signifikan atas kompleksitas
masalah itu. KPI disibukkan dengan berbagai urusan yang bersifat teknis, rutin,
dan sektoral, tanpa menggeluti benar masalah-masalah besar KPI sebagai
regulator penyiaran.
Penegakan hukum atas UU Penyiaran mendapat tantangan berat, menabrak
dinding tebal arogansi industri penyiaran akibat tidak didahului kepastian hukum
kedudukan KPI, legitimasi politik dan sosiologis, serta mekanisme penyelesaian
masalah yang baku.

3. KPI Era Transformasi (Periode 2010-2013)


Pada era KPI ini terjadi perubahan performance, sifat, fungsi dan format kinerja
secara bertahap. Penguatan kelembagaan yang sudah berlangsung pada periode
sebelumnya berlanjut dengan penyusunan standar kinerja KPIP dan KPID. Akan
tetapi KPI tetap masih dihadapkan pada konfrontasi dan konflik kewenangan
dengan pemerintah dan “perlawanan” kalangan industri. Lemahnya kewenangan
KPI masih terasa, dan ketidaktaatan industri sebagai penyelenggara penyiaran di
Indonesia masih menggejala.
Publik semakin berpartisipasi dan kinerja KPI periode ini mendapat apresiasi. KPI
telah melakukan penyempurnaan atau perubahan P3-SPS bersama berbagai
pemangku kepentingan dunia penyiaran di mana KPI tidak hanya berpegang pada
mandat yang dituangkan dalam Undang-undang, tetapi produk hukum tersebut
bisa diterima oleh semua pihak.

4. KPI Era Dinamisasi (Periode 2013-2016)


Pada era dan periode-periode sebelumnya masih menonjol sejumlah kelemahan
dan beratnya tantangan yang dihadapi KPI, mengalahkan kekuatan yang sudah
dimiliki dan peluang yang ada.
Dalam pengabdian saya sebagai komisioner KPI periode mendatang -- yang saya
istilahkan sebagai KPI pada “era dinamisasi” -- kekuatan yang ada harus
diberdayakan untuk menghadapi tantangan. Peluang yang terbuka harus
dimanfaatkan menuju terwujudnya sosok KPI yang ideal.
KPI periode mendatang dituntut mampu menggerakkan semua pihak dengan
penuh semangat untuk bersama-sama mewujudkan iklim penyiaran yang sehat
dan berkualitas yang berbasis kearifan lokal serta mampu menyesuaikan diri
dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan publik.
Dinamisasi hubungan antara KPI, pemerintah, industri penyiaran, dan publik
merupakan struktur dasar yang menentukan dan membentuk kualitas siaran yang
dihasilkan industri penyiaran dan dinikmati masyarakat.
Peran KPI dalam konteks ini sangat penting karena KPI harus menjaga dan
memperjuangkan hak masyarakat untuk mendapatkan siaran yang mengandung
informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas,
watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan,
serta mengamankan nilai-nilai kearifan lokal dan budaya Indonesia.
KPI tidak perlu hubungan yang “harmonis”, tetapi justru perlu hubungan yang
“dinamis” dengan industri penyiaran. KPI memiliki wewenang untuk menetapkan
standar program siaran. Wewenang inilah yang seharusnya menjadi landasan
hubungan KPI dengan industri penyiaran. Harus dibedakan dengan tegas antara
substansi sebuah hubungan dengan sifat sebuah hubungan.
Substansi sebuah hubungan terletak pada pembagian peran dan wewenang yang
jelas, di mana pihak-pihak yang saling berhubungan menghormati dan
menghargai peran dan wewenang masing-masing. Artinya, dalam konteks
hubungan dengan industri penyiaran, maka semua lembaga penyiaran baik
swasta maupun publik, harus pertama-tama menghormati wewenang KPI.
Demikian juga dalam konteks hubungan antara KPI dengan pemerintah, kedua
pihak harus saling menghormati peran, wewenang, fungsi, dan tanggungjawab
masing-masing. Jika substansi hubungan ini terjamin, maka sifat hubungan yang
terjalin akan sekaligus harmonis dan dinamis karena sebenarnya sebuah
hubungan yang harmonis adalah hubungan yang dinamis.
Mengingat besarnya peluang dan kontribusi yang bisa diberikan oleh KPI dalam
meningkatkan kualitas siaran dari lembaga penyiaran apa pun agar menyiarkan
materi siaran yang bermutu, mencerdaskan, edukatif, berkearifan lokal,
berwawasan kebangsaan, dan sekaligus menarik sebagai sebuah siaran, maka
semua anggota KPI harus memiliki totalitas dalam menjalankan peran dan
fungsinya sesuai wewenang dan tanggungjawabnya.
Hubungan antara KPI, pemerintah, industri, dan publik sangat menentukan dalam
meletakkan pondasi tatanan masyarakat Indonesia masa depan yang cerdas,
kritis, demokratis, dan menghargai keberagaman. Hubungan di antara semuanya
bisa dinamis, dalam arti terdapat hubungan mutualistik yang interaktif, saling
mengisi, dan tidak mendominasi. Pada titik ini, hubungan
semua stakeholders tersebut menjadi ideal untuk diciptakan. Hubungan para
pihak tetap harus menempatkan publik sebagai prioritas.
Dalam kerangka itu, untuk mewujudkan cita-cita ideal hubungan dinamis, KPI
harus mengambil peran. Sebagai fungsi regulator, KPI berhak dan memiliki
wewenang mengatur dunia penyiaran sehingga menguntungkan semua pihak.
Pada tahap ini, fungsi pemerintah negara menjadi vital untuk merumuskan
kebijakan yang tidak saling mendominasi di antara para stakeholders.
Bercermin pada kekuatan yang dimiliki di balik kelemahan yang ada, serta
peluang sejalan dengan beratnya tantangan, dalam menjalankan tugasnya pada
periode mendatang, menurut pandangan saya, KPI harus bertumpu pada 5 (lima)
kekuatan yang nantinya akan dapat dilaksanakan juga oleh pihak industri yakni :

1. Kekuatan Ideologi : adanya regulasi yang memilki roh kekuatan ideologi


sehingga apapun program dan isu-isu yang akan dikembangkan oleh lembaga
penyiaran selalu berpedoman pada satu kekuatan ideologi yang bertanggung
jawab, yakni Pancasila.
2. Kekuatan Kebebasan Beragama yang Bertanggungjawab : adanya regulasi yang
jelas dan mengikat untuk semua lembaga penyiaran agar dalam menyajikan
program-programnya terkait isu-isu kebebasan beragama senantiasa
memperhatikan kebebasan yang bertanggung jawab yang selalu ada dalam
koridor kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Kekuatan Moral : adanya regulasi yang jelas yang memperhatikan moralitas
dan identitas bangsa Indonesia.
4. Kekuatan Ekonomi : adanya regulasi yang mengatur porsi siaran haruslah
mengedepankan hal-hal yang memberikan informasi motivasi, yang memberikan
semangat tumbuhnya ekonomi kerakyatan yang berpihak pada rakyat pada
umumnya.
5. Kekuatan Sosial Budaya : adanya regulasi yang memberikan transformasi
informasi yang bersifat pembelajaran dari dan untuk rakyat Indonesia yang
bertumpu pada kearifan lokal, kemajuan budaya dan sosial bangsa Indonesia,
demi mempertahankan identitas bangsa.

KPI dituntut menjadi dinamisator dunia penyiaran berdasarkan logika ruang


publik (public sphere) di mana dalam pengelolaan penyiaran demokratis, KPI
harus dapat menyeimbangkan penguasaan besar-besaran kalangan bisnis dan
kepentingan publik untuk mendapat informasi yang sehat, menghibur, dan
bermutu dalam wilayah komunikasi publik.

VISI, MISI, DAN PROGRAM


Atas analisis segala kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan dunia
penyiaran Indonesia serta evaluasi atas eksistensi dan kinerja KPI sebelumnya,
saya merumuskan visi, misi, dan program sebagai calon komisioner Komisi
Penyiaran Indonesia Pusat.

VISI :
Terwujudnya dunia penyiaran sehat berbasis kearifan lokal melalui dinamisasi
hubungan antar-stakeholders penyiaran NASIONAL.

Misi :

1. Menguatkan peran KPI dalam mendorong program siaran yang menjunjung


tinggi kearifan lokal dalam kemajemukan masyarakat serta terwujudnya
infrastruktur dan program siaran yang memperkokoh eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Menguatkan tanggungjawab KPI sebagai fasilitator dan akomodator
partisipasi dalam penyelenggaraan penyiaran.
3. Menguatkan kapasitas kelembagaan KPI di berbagai lini guna menjalankan
fungsi pengaturan, pengawasan dan pengembangan di bidang penyiaran.
4. Menguatkan jalinan koordinasi KPI dengan pemerintah untuk menciptakan
saling pengertian dan saling menghargai dalam menjalankan fungsi,
wewenang, tugas dan kewajiban masing-masing.
5. Meningkatkan komunikasi efektif dan dinamis KPI dengan industri atau
lembaga penyiaran untuk menumbuhkan pemahaman yang sama tentang
tanggung jawab bersama dalam menjamin masyarakat mendapatkan
materi siaran sesuai fungsi penyiaran sebagai media informasi,
pendidikan, kebudayaan, hiburan, kontrol sosial, perekat sosial,
ekonomi, wahana pencerahan, dan pemberdayaan masyarakat.

PROGRAM :
1. Program penguatan peran KPI dalam mendorong program siaran yang
menjunjung tinggi kearifan lokal dalam kemajemukan masyarakat
serta terwujudnya infastruktur dan program siaran yang memperkokoh
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 Mendorong kehadiran media penyiaran yang menjunjung tinggi kearifan


lokal yang sangat dibutuhkan untuk menggali dan memperkenalkan
budaya lokal kepada masyarakat.
 Optimalisasi bertumbuhkembangnya lembaga penyiaran lokal khususnya
TV lokal dengan memaksimalkan konten berbasis kearifan lokal yang dapat
memicu para kreator di daerah untuk membuat program yang berkualitas
dan menarik. Pemerataan secara ekonomipun akan terwujud karena
adanya share iklan hasil kolaborasi antara TV berjaringan. Peluang TV lokal
diperkuat pula oleh P3-SPS yang mengangkat konten lokal ke permukaan.
 Mendorong lembaga penyiaran mampu menghadapi tantangan besar
kreativitas dalam menyajikan hal-hal baru dan menarik agar bisa diterima
oleh seluruh masyarakat, yang salah satunya adalah menyajikan siaran
berkearifan lokal dan menarik terkait budaya Nusantara.
 Mencegah kegiatan penyiaran dimonopoli oleh budaya tertentu, mengingat
masyarakat memiliki budaya yang beraneka ragam.
 Mendorong lembaga penyiaran terus meningkatkan komitmennya
mengemas program-program siaran yang menampilkan kearifan lokal
masyarakat Nusantara.

2. Program penguatan peran KPI sebagai fasilitator dan akomodator partisipasi


publik dalam penyelenggaraan penyiaran

 Membentuk wadah kemitraan KPI - kelompok representasi publik


khususnya masyarakat madani, yang mampu menjamin hak-hak publik atas
penyelenggaraan penyiaran yakni: mendapatkan perlindungan dalam setiap
aspek produksi siaran; memperoleh akses, fasilitas, dan pelayanan
penyiaran; mendapatkan berita yang benar dan berimbang; mendapatkan
hiburan dan pendidikan yang sehat; mendapatkan perlindungan hak-hak
privat; memperoleh kesempatan usaha di bidang penyiaran; memberikan
masukan dan menyampaikan laporan, pengaduan, dan gugatan atas
kerugian akibat penyelenggaraan penyiaran; dan melakukan pendidikan
literasi media penyiaran.
 Memfasilitasi pembentukan kelompok berkebutuhan khusus yang berhak
memperoleh pelayanan khusus sesuai dengan kebutuhannya atas
penyiaran.
 Memperluas dan memperkuat jalinan kemitraan dengan publik secara luas
melalui pemberdayaan dan kerja sama dengan masyarakat dalam bentuk
“Gerakan Sadar Media” atau dalam sebutan atau istilah yang lain.

3. Program penguatan kapasitas kelembagaan KPI di berbagai lini guna


menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan dan pengembangan di bidang
penyiaran.
a. Penguatan Kelembagaan KPI

 Menyelesaikan problem eksternal dan internal KPI terkait rasionalisasi


anggaran bagi tiap KPI Daerah (KPID), pembentukan KPID yang belum
terbentuk serta keberadaan sekretariat yang memadai untuk menunjang
kinerja KPI melalui lobi intensif kepada pemerintah pusat khususnya
Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Menteri Keuangan.
 Melakukan supervisi internal terhadap KPID dalam konteks implementasi
peraturan-peraturan KPI.
 Memperkuat kapasitas KPI sebagai lembaga publik dan anggota KPI sebagai
pejabat publik. Sebagai lembaga publik, KPI harus membudayakan prinsip-
prinsip transparansi dan akuntabilitas dari kinerja lembaga serta
penggunaan anggaran negara di muka publik dan didukung adanya “kode
etik” bagi setiap anggota KPI dalam menjalankan tugasnya.
 Memperkuat struktur organisasi internal dengan menegakkan
independensi, menyatukan visi dan misi serta meningkatkan kapasitas dari
keseluruhan anggota maupun staf sekretariat di KPIP maupun KPID dalam
menangani segala urusan administratif lembaga secara sinergis dan
cekatan.
 Memperbaiki infrastruktur guna menunjang efisiensi dan efektivitas kerja
organisasi yang mencakup penambahan fasilitas pemantauan, jaringan
telepon, dan koneksi internet yang memungkinkan lembaga lebih cepat
menemukan pelanggaran regulasi penyiaran, menerima dan menanggapi
masukan yang berasal dari publik, kemudian memberikan sanksi kepada
lembaga penyiaran apabila diperlukan.
 Melakukan penelitian dan studi banding mendalam mengenai
permasalahan-permasalahan spesifik dan aktual yang dihadapi lembaga.

b. Penguatan Struktur Sistem Penyiaran

 Meningkatkan intensitas dan sinergisitas koordinasi dengan DPR-RI untuk


terus mengembangkan pemahaman yang sama tentang permasalahan dan
tantangan dunia penyiaran nasional dan solusi penanganannya.
 Mengintensifkan pertemuan dan koordinasi dengan
Menkominfo/Kementerian Kominfo untuk mempertegas pembagian peran
di bidang perizinan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
 Membuat Standard Operating Procedure (SOP) di setiap tahapan perizinan
di semua KPID. Standarisasi juga dilakukan melalui penyeragaman berkas
formulir, Rekomendasi Kelayakan (RK), sampai dengan surat IPP
Sementara. Guna memastikan keberhasilan dari semua proses tersebut, KPI
mensosialisasikannya kepada semua lembaga penyiaran.
c. Penguatan Pengawasan Isi Siaran

 Menyempurnakan secara periodik Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan


Standar Program Siaran (SPS).
 Memberdayakan energi publik secara luas untuk membantu KPI dalam
mengawasi isi siaran dengan menggagas kemitraan dengan kelompok-
kelompok civil society.
 Melakukan aksi-aksi simbolik untuk mengampanyekan pentingnya siaran
yang sehat dan mencerdaskan kepada masyarakat luas dan terutama
program siaran yang menjunjung tinggi kearifan lokal.

4. Program penguatan jalinan koordinasi KPI dengan pemerintah

 Mempertegas garis koordinasi dan porsi kewenangan KPI dan pemerintah


dengan memastikan bahwa pemerintah tunduk pada UU dan muncul
dengan peraturan yang berkualitas tinggi yang mengedepankan
kepentingan publik, tetapi tidak mematikan institusi ekonomi dalam sistem
penyiaran. Hal ini penting karena KPI tidak pernah dan tidak bisa bekerja
sendiri untuk menegakkan demokratisasi di bidang penyiaran.
 Melakukan pendekatan secara berkesinambungan, bersikap tegas,
berwibawa, dan profesional saat berhadapan dengan seluruh kelompok
kepentingan untuk memperoleh meneguhkan legitimasi.
 Menjalankan lobi terus-menerus dan mencari jalan tengah untuk
menyeimbangkan posisi seluruh komponen kepentingan dalam satu
wahana dunia penyiaran yang tertata, adil dan beragam.

5. Program peningkatan komunikasi efektif KPI dengan industri atau lembaga


penyiaran

 Memperkuat komunikasi KPI dengan industri atau lembaga penyiaran.


Konsistensi KPI sebagai Independent State Regulatory Body yang memiliki
kewenangan melakukan pengaturan, pengawasan dan pengembangan
media penyiaran harus diperkuat.
 Mempertemukan berbagai aspirasi, kepentingan dan kebutuhan
masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha dunia penyiaran serta
menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan tepat bersandarkan
kepada kepentingan bersama, terutama dengan tidak merugikan
kepentingan-kepentingan publik, misalnya dalam revisi periodik P3-SPS.
 Melaksanakan pertemuan rutin KPI-lembaga penyiaran dalam konteks
mengkomunikasikan dan mensosialisasikan peraturan-peraturan,
kebijakan-kebijakan, program-program untuk mencegah-tangkal
munculnya permasalahan terkait berbagai aspek lembaga penyiaran.

You might also like