You are on page 1of 164

PENGURUSAN HAK ATAS TANAH DAN

PENDAFTARAN TANAH
A. PENGERTIAN
B. KEWENANGAN NEGARA
C. TANAH UNTUK ORANG ASING
D. PENDAFTARAN TANAH
E. TANAH SEBAGAI JAMINAN KREDIT
F. PENGADAAN TANAH UTK KEPENTINGAN UMUM
G. HAK PENGELOLAAN

Dosen: Rafael Edy Bosko, S.H., MIL


Hak atas Tanah
Siapa yang berwenang memberikan dan mengatur?

Ps 2 UUPA
(1) Atas dasar ps 33 (3), BARAK, pd tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sbg organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak mengusai dr negara menurut ayat (1) di atas memberi
wewenang utk:
a.mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan BARAK
b.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hk antara
org-org dengan BARAK
c.menentukan dan mengatur hubungan-hubung-an hk antara
org-org dgn perbuatan-perbuatan hk mengenai BARAK
“negara berwenang menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hk antara orang-orang dengan BARAK” (?)
-Apa maksudnya?:

- Bdk dgn Numerus Clausus dlm hukum pertanahan di negara-negara


Eropa. Pada prinsipnya setiap individu bebas menentukan hak-hak yang
berlaku atas tanahnya dalam kaitannya dengan orang lain (dkl. Jenis-
jenis hak atas tanah didasarkan atas kebebasan berkontrak).

- Tapi, hukum negara (baik statutory law, maupun judge made law) sdh
menentukan macam-macam hak atas tanah yang boleh ada. Jadi
semacam pembatasan jenis-jenis hak (Itu yang dimaksud dgn numerus
clausus, yakni pembatasan jenis-jenis hak atas tanah yang termasuk hak
kebendaan).
- Contoh di Belanda (lihat buku Hukum Pertanahan di Belanda dan
Indonesia).
“hubungan-hubungan hk antara orang-orang dengan BARAK”
Apa maksudnya?
Bandingkan dengan pengertian property right: “relationships
among/between people that concern things”
“bundle of rights”:
-Right to exclude
-Right to transfer
-Right to possess and to use
Isi/kandungan/muatan property right menurut Hohfeld:
Property right mengandung 4 kategori hubungan
a. Right vs duty
b. Liberty vs. no-right
c. Power vs liability
d. Immunity vs. disability
A. HAK-HAK ATAS TANAH

Apa yang dimaksud dengan Tanah dan apa pula HAT


Lihat pasal 4 ayat 1 dan 2 UUPA

Tanah: permukaan bumi, termasuk ruang udara dan bagian


bawah permukaan bumi, sejauh digunakan untuk keperluan
yang langsung terkait dengan permukaan bumi.

Bdk dgn Singapura: “the surface of any defined parcel of the


earth, so much of the subterranean space below and so much
of the column of airspace above the surface as is reasonably
necessary for the proprietor’s use and enjoyment.” (Singapore
Land Title Act, 1993, revised 2004)

Hak atas tanah ≠ hak penguasaan atas tanah


HAK PENGUASAAN ATAS TANAH
❑ PENGERTIAN
Rangkaian kewenangan, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya
untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Hak Penguasaan bisa publik, bisa perdata, atau dua-duanya. Dkl, hak penguasaan
bisa berupa kewenangan publik (imperium), yakni kewenangan untuk mengatur
mengenai tanah yang dihaki, atau kewenangan perdata (dominium), berupa
kewenangan untuk mempunyai (to posses), atau dua-duanya.
Kandungan kewenangan dan atau kewajiban atau larangan pada masing-masing
hak penguasaan inilah yang membedakan jenis hak penguasaan yang satu dari
hak penguasaan yang lainnya.
Misalnya, hak milik (pasal 20) berbeda dari hak guna usaha (pasal 28) karena hak
milik memberi wewenang utk menggunakan tanah yg dihaki tanpa batas waktu
dan utk keperluan yg tidak ditentukan, sedangkan HGU dibatasi jangka wkt haknya
dan peruntukkannya hanya utk keperluan perkebunan/pertanian.
Demikian pula Hak Tanggungan: Kreditor selaku pemegang hak tanggungan
berwenang untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan.
Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, tetapi kewenangan
untuk menjualnya dan mengambil hasil penjualannya entah seluruh ataupun
sebagian, jika debitor tidak melunasi hutangnya kepada debitor.
Hak Menguasai dari Negara (HMN) juga berbeda dari jenis hak
penguasaan lainnya. HMN meliputi semua tanah, tanpa ada yang
terkecuali. Namun HMN tidak memberi kewenangan untuk
menguasai tanah secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas
tanah, karena sifatnya semata-mata hukum publik, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 2. Jika Negara sebagai Penyelenggara
Negara memerlukan tanah untuk melaksanakan tugasnya, tanah ybs
akan diberikan kepadanya bukan selaku Badan Penguasa yang
dimaksud dalam pasal 2, tetapi sebagai lembaga Pemerintah yang
berwenang (seperti Departemen), dengan suatu atas tanah yang
dimungkinkan untuknya, seperti hak pakai. Tanah diberikan kepada
lembaga tsb dengan satu hak atas tanah, untuk dikuasai secara fisik
dan digunakan, bukan sebagai Badan Penguasa yang mempunyai
Hak Menguasai yang disebut dalam pasal 2, tetapi sebagai badan
hukum seperti halnya perorangan dan badan-badan hukum perdata
yang diberi dan menjadi pemegang hak atas tanah.
MACAM-MACAM HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

❑ Dalam/atau menurut hukum adat:


a. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat: hak penguasaan yang tertinggi,
beraspek hukum keperdataan (privat) dan publik.
b. Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat: bersumber pd hak ulayat dan
beraspek publik; berisi kewenangan utk mengatur penguasaan dan
penggunaan tanah hak ulayat baik oleh anggota masyarakat hk adat
maupun oleh org luar.
c. Hak-hak atas tanah: hak-hak individual, yg secara langsung atau tidak
langsung bersumber pd hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan
(privat)
❑Menurut Hukum agraria nasional (UUPA):
a. hak bangsa (ps. 1): hak penguasaan yg tertinggi, beraspek
publik dan perdata
b. hak menguasai dr negara (Ps. 2): beraspek publik
c. Hak ulayat masyaarakat hk adat (Ps. 3): beraspek publik
dan perdata
d. Hak-hak individual: semuanya beraspek perdata
1) Hak atas Tanah (Ps. 4)
• primer: HM, HGU, HGB yg diberikan oleh Negara, dan
Hak Pakai yg diberikan oleh Negara (Ps. 16)
• sekunder: HGB dan HP yg diberikan oleh pemilik
tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya.
2) Wakaf (Ps. 49)
3) Hak jaminan atas tanah (Ps. 23, 33, 39, 51 UUPA dan
UU 4/1996)
Hak Bangsa Indonesia
❑ Diatur: Pasal 1 ay.1 s/d 3 UUPA
❑ Merupakan:
▪ hak penguasaan tertinggi; hak penguasaan atas tanah yg lain-nya,
secara langsung ataupun tidak langsung, bersumber padanya.
▪ Mengandung unsur kepunyaan (aspek perdata/dominium) dan unsur
tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan
penggunaan tanah bersama yg dipunyai (aspek publik/imperium)
▪ Pemegang haknya adalah seluruh rakyat Indonesia yg bersatu sbg
bgs Indonesia, dan tanahnya meliputi seluruh tanah di dlm wilayah
Indon.
▪ Mrpkan hub. hk yg bersifat abadi, dlm arti bahwa hak bgs ini ada
selama rakyat Indon. yg bersatu sbg bgs tetap ada, dan selama
tanah/wilayah Indon. masih ada pula.
▪ Hak bgs ini, dlm aspek publiknya, pelaksanaannya dilimpahkan kepd.
Negara berupa Hak Menguasai Negara.
▪ Paralel dengan hak atas “permanent sovereignty over natural
resources” yang melekat pada setiap bangsa (nation/peoples) (1962
UN General Assembly Resolution 1803 on Permanent Sovereignty over
Natural Resources (GAR 1803)
Hak Menguasai Negara
❑ Diatur dlm Ps. 2 UUPA:
(1) BARAK (dhi. tanah, pd tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara
(2) HMN memberi wewenang utk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan tanah.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hk antara org-org dgn
tanah.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hk antara org-org dan
perbuatan-perbuatan-perbuatan hk yg mengenai tanah.
(3) Wewenang yg bersumber pd HMN itu digunakan utk mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat
(4) HMN tsb, dlm pelaksanaannya dpt dikuasakan kpd daerah-daerah
swatantra dan MHA sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dgn
kepent. nasional, menurut ketentuan PP.

❑ Jadi,: Negara bukanlah pemilik seperti pd masa kolonial (melaui asas domein
verklaring) (Penjelasan Umum)
: Tugas/kewenangan tsb di atas adalah tugas/kewenangan Pem. Pusat; dpt
didelegasikan kpd pem. daearah dlm kerangka medebewind; subjek HMN
adalah Negara RI sbg organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indon.
❑ Tanah yg dihaki dgn HMN
▪ HMN meliputi semua tanah dlm wilayah RI, baik tanah yg belum dilekati
sesuatu hak atas tanah maupun yg belum.
▪ Jadi, meliputi dua kategori:
1. Tanah yg dikuasai langsung oleh negara (sering disingkat “tanah
negara” saja), yakni tanah yg belum dilekati oleh hak atas tanah
seperti hak milik, HGU, HGB, hak pakai atas tanah negara, hak
pengelolaan, tanah hak ulayat dan tanah wakaf. Tanah yg dikuasai
langsung oleh negara (“tanah negara”) ini meliputi antara lain:
a. tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya;
b. tanah-tanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak
diperpanjang lagi;
c. tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli
waris;
d. tanah-tanah yang ditelantarkan; dan
e. tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum.
2. Tanah yg tidak langsung dikuasai oleh negara yakni tanah-tanah yg
sudah dilekati hak atas tanah (sering pula disebut “tanah hak”)
Bagaimana dengan tanah yang dikuasai oleh Departemen dan Lembaga-lembaga
pemerintah non-departemen?
Menurut Sumardjono, apabila definisi tanah negara tersebut di atas diterima,
maka tanah (yang dikuasai oleh) pemerintah tersebut tidak serta merta masuk
dalam pengertian tanah negara, walaupun tanah tersebut merupakan
aset/kekayaan negara, karena tanah-tanah negara yang dikuasai oleh suatu
instansi pemerintah yang dipergunakan sesuai dengan tugas masing-masing
diberikan dengan hak pengelolaan atau hak pakai sesuai dengan Peraturan
Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965. Apabila suatu instansi pemerintah menguasai
tanah namun tidak memegang hak pengelolaan atau hak pakai, maka status
tanahnya adalah tanah negara. Dan menurut Boedi Harsono, tanah-tanah yang
dikuasai departemen-depertemen dan lembaga-lembaga pemerintah non-
departemen dengan Hak Pakai itu, merupakan aset atau bagian kekayaan negara,
yang penguasaannya ada pada Menteri Keuangan (Boedi Harsono, 1999)
Dalam prakteknya, kekayaan negara berupa tanah tersebut dapat
dipindahtangankan atau dipertukarkan dengan pihak lain (ruilslag) atau dapat juga
dimanfaatkan dengan cara disewakan atau dipergunakan dengan cara dibangun,
dioperasikan, dan diserahterimakan kepada pihak lain (BOT).
Hak Ulayat/Hak Wilayah
❑ Pengertian:
▪ Based on the references on adat (customary) law, it can be stated that ulayat
right is a sui generis property right. These sui gereris aspects of ulayat right
are that: (1) Ulayat right is a communal right, i.e. the right that is possessed
in common by the adat law community as an entity; (2) Being possessed by
adat law community, the ulayat right gives to such a community, public
(government-like) authorities to regulate and control the use of the ulayat
land; (3) Ulayat land are permanently inalienable.
▪ Mochamad Tauchid: hak daerah atau suku bangsa atas selingkungan tanah,
yang berisi kewenangan utk mengatur penguasaan dan penggunaan tanah
dalam lingkungan wilayahnya.
▪ Depdagri-FH UGM, 1978: hak yg melekat sbg kompetensi khas pd masyarakat
hk adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah
seisinya, dgn daya laku ke dlm maupun ke luar.
▪ PMA 5/1999 ttg Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hk
Adat, hak ulayat adalah:
“kewenangan yg menurut hk adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yg merupakan lingkungan hidup para
warganya, utk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,
yg timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan
tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dgn wilayah ybs.”
Dari beberapa pandangan ahli, bisa dilihat adanya beberapa unsur dan ciri
hak ulayat, yaitu: :
▪ masyarakat hk adat sebagai subjek hak: suatu kelompok yg teratur,
bersifat tetap dan mempunyai kekuasaan sendiri, juga kekayaan sendiri
(termasuk tanah ulayat sendiri), di mana para anggota kesatuan masing-
masing mengalami kehidupan dlm masyarakat sbg hal yg wajar menurut
kodrat alam dan tidak seorg pun di antara para anggota itu mempunyai
pikiran atau kecenderungan utk membubarkan ikatan yg telah tumbuh
itu atau meninggalkannya dlm arti melepaskan diri dr ikatan itu utk
selama-lamanya (menurut Ter Haar);

▪ Hubungan dan hak masyarakat hukum adat atas tanah dalam wilayahnya
itu bersifat:
- hubungan kebatinan dan keagamaan (magis religius);
- hubungan yg bersifat ekonomis;
- hubungan kemasyarakatan.

▪ Hak ulayat meliputi semua sumber daya alam, termasuk tanah, yg ada
dlm lingkungan wilayah masyarakat hk yg bersangkutan, baik yg sudah
dihaki oleh seseorg maupun yg belum. Di beberapa masyarakat hk adat,
seperti di Maluku, hak ulayat itu meliputi wilayah perairan/lautan juga.
▪ Kekuatan berlaku ke dlm dan ke luar:
Ke dlm, memberikan wewenang kpd “penguasa” masyarakat
hk adat utk mengatur penguasaan dan penggunaan
wilayah ulayat itu oleh warga dan utk kepentingan
masyarakat hk adat ybs.
Ke luar, memberikan kewenangan utk mengatur
penggunaan/akses oleh “org luar” terhadap tanah ulayat.

▪ Hubungan dgn hak perseorangan:


Semakin kuat hak perseorangan atas tanah, maka semakin
lemah kekuatan berlaku hak ulayat. Kalau sebidang tanah
disahakan secara intensif dan tidak diterlantarkan, maka
tercipta hubungan hak yg kuat, seperti hak milik, dan dlm hal
ini, kekuatan hak ulayat terhadap bidang tanah tsb melemah
atau bahkan hilang.
Hak-hak individual meliputi:
a. Hak atas Tanah (Ps. 4)
1) primer: HM, HGU, HGB yg diberikan oleh Neg., dan Hak
Pakai yg diberikan oleh Neg (Ps. 16
2) sekunder: HGB dan HP yg diberikan oleh pemilik tanah,
Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak
Sewa.
b. Wakaf (Ps. 49)
c. Hak jaminan atas tanah (Ps. 23, 33, 39, 51 UUPA dan UU
4/1996)
d. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (UU 20/2011)

Ada juga Hak Pengelolaan


Hak Penguasaan atas tanah terdiri dari:
a. hak bangsa (ps. 1): hak penguasaan yg
tertinggi, beraspek publik dan perdata
b. hak menguasai dr negara (Ps. 2):
beraspek publik
c. Hak ulayat masyarakat hk adat (Ps. 3):
beraspek publik dan perdata
d. Hak-hak individual: semuanya beraspek
perdata (ps 16)
Bdk dgn konsep Land Tenure:
Land tenure menurut FAO
Land tenure is the relationship, whether legally or
customarily defined, among people, as individuals or
groups, with respect to land. (For convenience,
“land” is used here to include other natural resources
such as water and trees.) Land tenure is an
institution, i.e., rules invented by societies to
regulate behavior. Rules of tenure define how
property rights to land are to be allocated within
societies. They define how access is granted to rights
to use, control, and transfer land, as well as
associated responsibilities and restraints. In simple
terms, land tenure systems determine who can use
what resources for how long, and under what
conditions.
Asas-asas Penguasaan, Penggunaan dan Persediaan Sumber Daya Agraria
menurut UUPA

UUPA menetapkan 3 (tiga) tujuan pembentukannya, salah satunya adalah


meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan hukum agraria nasional yang
mengabdi kepada kepentingan dan tujuan nasional/bangsa.

Dalam rangka mencapai tujuan tsb, oleh UUPA ditetapkan/dirumuskan beberapa


asas penting berkaitan dengan penguasaan dan penggunaan sumber daya agraria,
sehingga menjamin tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Asas-asas tsb mrpkan dasar dalam menentukan dan mengatur hubungan antara
bangsa, negara dan rakyat Indonesia di satu pihak, dengan sumber daya agraria
(bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) di
pihak lain. Asas-asas ini sebagian terkait dengan semua sumber daya agraria, dan
sebagiannya lebih terkait dengan sumber daya tanah (atau permukaan bumi)
sebagai salah satu unsur/bagian sumber daya agraria.
Asas Pertama: ASAS KENASIONALAN
▪ Pasal 1 (ayat 1,2,3,4,5)
▪ Apa maknanya?

o Klaim atas hak kepemilikan (possession=kepunyaan) sekaligus hak


berdaulat (sovereignty) atas BARAK Indonesia oleh bgs Indonesia;

o Dua aspek sekaligus: aspek perdata (dominium): possession


aspek publik (imperium): hak berdaulat

▪ Derivasinya: psl 9 (ayat 1) dan psl 21 (ayat 1) keutamaan kepada WNI


(hanya WNI yg dpt mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan BARAH (i.e.
tanah).
Asas Kedua: NEGARA MENGUASAI BARAK (HAK MENGUASAI NEGARA)

❑ Ketentuan Pokok UUPA


• deklarasi ttg HMN
• isi kewenangan HMN
• siapa yang punya HMN
• tujuan HMN: “utk sebasar-besar kemakmuran rakyat.”

❑ Kandungan kewenangan hak menguasai (menurut MK):


1. membuat kebijakan (beleid);
2. melakukan pengaturan (regelendaad);
3. melakukan pengurusan (bestuursdaad);
4. melakukan pengelolaan (beheersdaad); dan
5. melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad)
❑ Penafsiran MK ttg “utk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
❑ Penafsiran MK ttg “utk sebesar-besar kemakmuran rakyat”: kapan?
Tolok Ukur:
(1) kemanfaatan BARAK bagi rakyat;
(2) tingkat pemerataan pemanfaatan BARAK bagi rakyat;
(3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat SDP-3-K;
(4) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam
memanfaatkan SDP-3-K.

Lihat Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 tanggal 16 Juni 2011


(judicial review atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Asas Ketiga: HAK ULAYAT DIAKUI (psl 3 UUPA)

Apa maknanya:

❖ pengakuan mengenai eksistensi dan mengenai implementasi


(pelaksanaannya).
➢ eksistensi: “diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada”, apa
tolok ukurnya?
➢ pelaksanaannya: sesuai dgn kepentingan nasional dan negara yang
berdasar atas persatuan bangsa…”
❖ Baru pengakuan (recognition), belum perlindungan (protection)

❖ Bdk dgn ketentuan Konstitusi ( psl 18 B dan 28 I)


Psl 18 B Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan
Psl 28 I (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Asas Keempat: FUNGSI SOSIAL (psl 6)
“….hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan,
bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata
untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat
daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan
yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara...”

Apa maknanya?
Asas Kelima: PENGUTAMAAN KEPADA WNI
➢ psl 9 (1): Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa
➢ psl 21 (1): Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
➢ psl 26: Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-
negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-
negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh
Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2),
Asas Keenam: NON-DISKRIMINASI (psl 9 {2})

“ Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai


kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”

Tapi ada affirmative action: (psl 11 {2})

“ Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat


dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan
yang ekonomis lemah.”
Asas Ketujuh: Perlindungan bagi golongan ekonomi lemah (non-
eksploitasi terhadap sesama):
Ps. 10 (1) (yang mempunyai HAT pertanian pd asasnya wajib
mengerjakan sendiri dengan mencegah cara-cara pemerasan)
Ps. 11 (1) (hubungan hukum antara orang dengan BARAK serta
kewenangan yang bersumber padanya akan diatur supaya
dicapai masyarakat adil dan makmur dan dicegah eksploitasi
atas orang lain yang melampaui batas.
Ps. 13 (2) pencegahan usaha-usaha di bidang agraria yang bersifat
monopoli swasta.
Asas Kedelapan: Tanah pertanian untuk petani, termasuk asas
bahwa tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh
pemiliknya pemiliknya:
Ps. 7 (pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak diperkenankan)
Ps. 10 (1) (orang atau BH yang mempunyai HAT pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan tanahnya
secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan).
sehubungan dengan ini ada larangan pemilikan tanah
pertanian secara absente.
Ps. 17 (tentang perlunya pengaturan ttg luas maksimum
dan/atau minimum tanah yang boleh dimiliki)
Asas Kesembilan: penggunaan tanah secara berencana dan
pemeliharaan kelestarian/kesuburan tanah:
Ps. 14 (ttg perlunya dibuat rencana umum penggunaan BARAK
untuk berbagai keperluan),
Ps 15 (ttg kewajiban memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburan dan mencegah dari kerusakan).
sehubungan dengan ini, ada larangan untuk menelantarkan
tanah; penelantaran tanah dapat mengakibatkan hapusnya
hak atas tanah.
Pengertian Hak atas Tanah

Kewenangan untuk menggunakan tanah (dalam arti permukaan


bumi) yang dihaki yang bisa juga meliputi sebagian tubuh bumi dan
sebagian ruang udara di atasnya sejauh berkaitan langsung dengan
penggunaan tanah atau permukaan bumi (Pasal 4 ayat 1 dan 2
UUPA)
Kandungan/Isi HAT
a. Kewenangan: umum dan khusus
b. Pembatasan kewenangan :Umum dan khusus
c. Kewajiban-kewajiban: Umum dan khusus
Kewenangan
a. Kewenangan yang bersifat umum, atau kewenangan yang
berlaku untuk semua hak atas tanah: kewenangan untuk
mempergunakan tanah (pasall 4 ayat 2 UUPA). Kewenangan
ini ada pembatasan-pembatasannya.
b. Kewenangan yang bersifat khusus: berlaku sesuai dengan
jenis haknya.
Misalnya:
-hak milik sebagai hak yang turun temurun, terkuat dan
terpenuh, memberi kewenangan untuk menggunakan tanah
tersebut untuk segala macam keperluan selama waktu yang
tidak terbatas, sepanjang tidak ada larangan khusus untuk itu.
- HGU memberi kewenangan untuk mengusahakan tanah
negara, selama jangka waktu yang terbatas, untuk keperluan
usaha/perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.
- HGB memberi kewenangan untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan di atas tanah negara atau milik orang
lain, selama jangka waktu yang terbatas.
Pembatasan Kewenangan
Yang bersifat umum:
- Dalam menggunakan tanahnya tidak boleh menimbulkan
kerugian atau mengganggu pihak lain (ada doktrin
penyalahgunaan hak);
- Pembatasan berkenaan dengan Rencana Tata Ruang/Tata
Guna Tanah, misalnya berapa bagian tanah yang boleh
dibangun, batas tinggi bangunan.
- Hak atas tanah juga tidak meliputi pemilikan kekayaan alam
yang ada dalam tubuh bumi (Pasal 8)

Yang bersifat khusus:


Pembatasan yang sesuai dengan jenis haknya, misalnya, HGU hanya
untuk usaha pertanian, peternakan dan perikanan, tidak bisa untuk
yang lainnya.
Kewajiban-kewajiban:
Umum, terkait dengan:
a. Fungsi sosial (Pasall 6 UUPA)
b. Kewajiban memelihara tanah (Pasal 15), dikaitkan dengan pasall52
ayat 1 (ancaman pidana bila melanggar pasall15)
c. Kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara
aktif (khusus mengenai tanah pertanian).

Khusus:
Kewajiban-kewajiban yang secara khusus dicantumkan dalam surat
keputusan pemberian haknya atau dalam surat perjanjiannya serta
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik peraturan
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Misalnya pemberian hak atas tanah kepada perusahaan real estat
disertai kewajiban untuk menyediakan tanah bagi keperluan fasilitas
sosial dan utilitas umum dan memelihara dalam jangka waktu tertentu
prasarana lingkungan dan utilitas umum sebelum nantinya diserahkan
kepada Pemda yang bersangkutan (lihat Permendagri No. 3/1987
tentang Penyediaan dan Pemberian Hak atas Tanah untuk Keperluan
Perusahaan Pembangunan Perumahan).
Ketentuan-ketentuan mengenai subjek haknya
Ketentuan Pokok: pasal 9 UUPA, sebagai manifestasi asas
kebangsaan/kenasionalan (ayat 1) dan asas demokrasi/penghormatan
terhadap HAM (ayat 2);
Pasal 9 ayat 1: Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai
hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa,
dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
Pasal 9 ayat 2: Tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak
atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya
Ketentuan-ketentuan umum mengenai subjek hak
Karena ketentuan pasal 9 dan ketentuan-ketentuan UUPA lainnya serta peraturan-
peraturan pelaksanaannya, maka berlaku beberapa asas umum yang terkait
dengan subyek hak atas tanah:
a. Dalam hal pemindahan hak atas tanah, ada pembatasan berkenaan dengan
subyek hak, karena bagi tiap hak atas tanah ditentukan syarat yang harus
dipenuhi oleh subyeknya. Misalnya, untuk hak hak milik, subyeknya harus
berstatus WNI tunggal dan badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah (Pasal
21 ayat 1,2 dan 4). Lebih lanjut, berlaku larangan pemindahan hak milik kepada
orang yang bukan WNI tunggal atau badan hukum tertentu tersebut (pasal 26)
b. Tiap WNI diperbolehkan menguasai tanah dengan hak apa pun, kecuali jika
secara tegas ada larangan yang tidak memungkinkannya; Misalnya, Hak
Pengelolaan yang merupakan gempilan dari hak menguasai negara, hanya
dikhususkan bagi badan-badan hukum tertentu (BUMN atau BUMD), dan tidak
mungkin diberikan kepada perorangan WNI.
c. Tidak diadakan permbedaan antara sesama WNI, yang didasarkan atas
perbedaan ras atau kelamin (pasal 9 ayat 2), melainkan atas perbedaan
kedudukan ekonomi yang kuat dan lemah (Pasal 11). Artinya bahwa diberikan
jaminan perlindungan (affirmative action) bagi masyarakat golongan ekonomi
lemah.

.
lanjutan

a. Status hukum tanah tidak mengikuti status hukum pemegang


haknya. Perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah yang
termasuk Hukum Tanah, diselesaikan menurut hukum yang
berlaku terhadap tanahnya, bukan menurut hukum pemegang
haknya.
b. Tempat tinggal/domisili subyek hak bisa merupakan faktor
penentu untuk dimungkinkan mempunyai suatu hak atas tanah di
suatu wilayah. Misalnya, seseorang dilarang memiliki tanah
pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya, kecuali bagi
pegawai negeri dan yang dipersamakan dengan mereka.
c. Juga, orang asing bisa menguasai tanah dengan Hak Pakai, kalau
dia berdomisili di Indonesia (pasal 42 UUPA). Bahkan untuk
memiliki rumah tempat tinggal (termasuk tanah di mana
rumah/apartemen tersebut berdiri, dengan hak pakai), di samping
harus berdomisili di Indonesia, kehadirannya di Indonesia harus
juga memberi manfaat bagi pembangunan nasional (PERATURAN
PEMERINTAH 41/1996, pasal 1).
Sistematika hak penguasaan dalam/menurut Hukum agraria nasional (UUPA):
1. hak bangsa (pasal 1): hak penguasaan yang tertinggi, beraspek publik dan
perdata;
2. hak menguasai dari negara (Pasal 2): beraspek publik;
3. hak ulayat masyarakat hukum adat (Pasal 3): beraspek publik dan perdata;
4. hak-hak individual: semuanya beraspek perdata
1) Hak atas Tanah (Pasal 4)
a. primer: HM, HGU, HGB yang diberikan oleh Negara, dan Hak Pakai
yang diberikan oleh Negara (Pasal 16)
b. sekunder: HGB dan HP yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-
lainnya.
2) Wakaf (Pasal 49)
3) Hak jaminan atas tanah (Pasal 23, 33, 39, 51 UUPA dan UU 4/1996)
4) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (UU 20/2011)
Catatan:
- aspek keperdataan: menunjuk pada hak kepunyaan (baik oleh perseorangan
maupun oleh kelompok/bersama)
- aspek publik: menunjuk pada kewenangan dan tugas/kewajiban untuk
mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan
dan penggunaan tanah
Hak Menguasai Negara (psl 2 UUPA)

▪ HMN meliputi semua tanah dalam wilayah RI, baik tanah yang belum dilekati
sesuatu hak atas tanah maupun yang belum.
▪ Jadi, meliptuti dua kategori:
a. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara (sering disingkat “tanah negara”
saja), yakni tanah yang belum dilekati oleh hak atas tanah seperti hak
milik, HGU, HGB, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan, tanah hak
ulayat dan tanah wakaf.

Tanah yang dikuasai langsung oleh negara (“tanah negara”) ini meliputi
juga:
1) tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya;
2) tanah-tanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak
diperpanjang lagi;
3) tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli
waris;
4) tanah-tanah yang ditelantarkan; dan
5) tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum

b. Tanah Tanah yang tidak langsung dikuasai oleh negara yakni tanah-tanah
yang sudah dilekati hak atas tanah (sering pula disebut “tanah hak”)
Bagaimana dengan tanah yang dikuasai oleh Departemen dan Lembaga-
lembaga pemerintah non-departemen?
Menurut Sumardjono, apabila definisi tanah negara tersebut di atas
diterima, maka tanah (yang dikuasai oleh) pemerintah tersebut tidak serta
merta masuk dalam pengertian tanah negara, walaupun tanah tersebut
merupakan aset/kekayaan negara, karena tanah-tanah negara yang
dikuasai oleh suatu instansi pemerintah yang dipergunakan sesuai dengan
tugas masing-masing diberikan dengan hak pengelolaan atau hak pakai
sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965. Apabila suatu
instansi pemerintah menguasai tanah namun tidak memegang hak
pengelolaan atau hak pakai, maka status tanahnya adalah tanah negara.
Dan menurut Boedi Harsono, tanah-tanah yang dikuasai departemen-
depertemen dan lembaga=lembaga pemerintah non-departemen dengan
Hak Pakai itu, merupakan aset atau bagian kekayaan negara, yang
penguasaannya ada pada Menteri Keuangan (Boedi Harsono, 1999)
Dalam prakteknya, kekayaan negara berupa tanah tersebut dapat
dipindahtangankan atau dipertukarkan dengan pihak lain (ruilslag) atau
dapat juga dimanfaatkan dengan cara disewakan atau dipergunakan
dengan cara dibangun, dioperasikan, dan diserahterimakan kepada pihak
lain (BOT).
Perbedaan macam hak yg dapat dipunyai oleh kelompok subyek

SUBYEK HM HGU HGB HP Wkt HP SMD HPL

WNI x x x x
Sendiri
WNI x x x x
Bersama
WNA x
Sendiri
WNA x
Bersama
BH x x x
Swasta Ind
BH Swas x
ta Asing
BH Publik x x (incl
Ind. BUMN)
BH Publik x
Asing
HAK-HAK INDIVIDUAL (PERORANGAN) ATAS TANAH

HAK MILIK
a. Diatur: Pasal 20-27, Pasal 50
b. Pengertian: Psl 20 (1): hak milik adalah HAT yang:
- turun-temurun (maksudnya, jangka waktu-nya tak terbatas atau tidak dibatasi)
- terkuat (dapat jadi induk HGB, Hak Pakai)
- terpenuh (beri kewenangan untuk brbagi jenis usaha)
- dapat dipunyai orang atau Badan Hukum
- mengingat Pasal 6

Note: HM untuk badan hukum (psl 21 ayat 2)


Menurut PP 38/1963, badan hukum yg dpt mempunyai HM):
1. Bank-bank Negara;
2. Koperasi pertanian yang didirikan menurut UU 79/1958;
3. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Agama;
4. Badan- badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial;

5. Berdasarkan UU 13/2012, maka ditambah lagi dua badan hukum yng bisa
mempenyai tanah dengan hak milik, yaitu Kesultanan dan Pakualaman.
c. Terjadinya HM (Pasal22)
a. menurut hukum adat: kalau HM itu
diberikan/terjadi di atas tanah ulayat menurut
hukum adat (akan diatur dgn PP; tp sampai saat ini
PP tsb belum ada)
b. penetapan pemerintah, dengan cara &syarat yang
diatur PP(sudah diatur dalam Permeneg
Agraria/KaBPN 9/99): kalau HM itu
terjadi/diberikan di atas tanah negara;
pemberiannya dilakukan melalui penetapan
pemerintah)
c. ketentuan UU: HM itu tejadi krn UU, seperti karena
ketentuan konversi Pasal II dlm UUPA, yang
menertukan bahwa hak-hak lama (misalnya hak
agrarisch eigendom, hak andarbeni), sejak
berlakunya UUPA menjadi HM.
d. Hapusnya Hak Milik (pasal 27): kendati HM mrpkan hak turun temurun (tidak ada
jangka waktunya), tetapi HM dapat hapus, bila:
1. Tanahnya jatuh kepada negara, karena:
a).pencabutan hak oleh negara berdasarkan psl 18 UUPA
b).penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya
c).diterlantarkan
d).krn ketentuan psl 21 (3) UUPA:
WNA memperoleh HM krn pewarisan atau krn percampuran harta krn
perkawinan; atau
WNI dgn HM tp kehilangan kewarganegaraan (krn berubah
kewarganegaan, misalnya) dlm jangka wkt 1 thn sejak memperoleh
HM tsb hrs melepaskan MH tsb
e).krn ketentuan psl 26 (2): setiap perbuatan hukum yang langsung
ataupun tdk langsung dimaksudkan memindahkan HM kpd WNA, WNI
rangkap WN lain, atau badan hukum (kecuali BH yg ditentukan bisa
mempunyai HM), batal krn hukum, dan tanahnya jatuh ke tangan
negara

2. Tanahnya musnah

e. Menurut UUPA (psl 50 ayat 1), tentang HM perlu diatur lebih lanjut dalam UU .
(Sampai sekarang UU tsb blm dibuat).
HAK GUNA USAHA
Pengertian (Pasal28, 29): HGU adalah HAT untuk:
-mengusahakan tanah negara (hanya dpt diberikan di atas
tanah negara)
-untuk usaha pertanian: perkebunan, perikanan,
peternakan
-jangka waktu 25 tahun atau 35 tahun,dapat diperpanjang
25 tahun (bdk dgn ketentuan PP 40/1996)
-luas: perorangan (5-25 ha), perusahaan (disesuaikan) (bdk
dgn ketentuan PP 40/1996)

Ciri-ciri lain:
-dapat beralih dan dialihkan [Pasal28(3)]
-harus didaftarkan [Pasal 32(1)]
-dapat dibebani hak tanggungan (Pasal33)
Subjek hak guna usaha (HGU) (Pasal30):
1.WNI;
2.Badan Hukum Indonesia (didirikan menurut hukum Indonesia)
Terjadinya (Pasal31):
karena penetapan pemerintah setelah ada permohonan hak
Hapusnya (Pasal34)
▪ jangka waktu habis
▪ dihentikan karena dlm pelaksanaannya tidak memenuhi syarat
▪ dilepaskan oleh pemegang hak
▪ diacbut untuk kepent.umum
▪ diterlantarkan
▪ tanahnya musnah
▪ subjek haknya tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan psl 30 ayat 2 UUPA.
Pengaturan HGU dalam PP 40/1996
1. Subyek HGU: sama dgn yg diatur dlm UUPA
2. Pemberiannya: hanya di atas tanah negara (spt dlm UUPA);
ditambah ketentuan lebih lanjut:
a. Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan HGU adalah
tanah Negara yang merupakan kawasan hutan, maka
pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah itu
dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan.
b. Apabila akan diberikan di atas tanah, maka pemberian HGU
baru dpt dilakukan kalau sdh ada pelepasan hak;
Luas Tanah HGU (psl 5 PP):
a. Minimum 5 ha; maksimum utk perorangan 25 ha
b. Maksimum utk BH ditetapkan oleh Menteri dengan
memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang
di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas
yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang
paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan.
Jangka Waktu HGU
Paling lama 35 thn, dpt diperpanjang paling lama 25 tahun, dapat diperbarui 35
tahun (psl 8);
Diperpanjang atau diperbarui, jika memenuhi syarat2 (psl 9):
a. tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan
tujuan pemberian hak tersebut;
b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak; dan
c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Permohonan perpanjangan atau pembaruan diajukan paling lambat 2 tahun
sebelum jangka wkt berakhir (psl 10);
.
Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau
pembaharuan HGU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat dilakukan
sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada
saat pertama kali mengajukan permohonan HGU (psl 11)
(Bdk dgn ketentuan Psl 22 UU 25/2007: HGU dapat diberikan dengan jumlah 95
(sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama
35 (tiga puluh lima) tahun;)
Lihat Putusan MK No. 21-22/PUU-V/2007, terkait judicial review atas UU
25/2007.
Kewajiban2 Pemegang HGU (Pasal 12 PP 40/1996)
(1) Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk :
a. membayar uang pemasukan kepada Negara;
b. melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau
peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian haknya;
c. mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan bik sesuai dengan
kelayakan usaha berdasarkan criteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;
d. membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah
yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e. memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam
dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan
Hak Guna Usaha;
g. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha
kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;
h. menyerahkan sertipikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala
Kantor Pertanahan.
(2) Pemegang Hak Guna Usaha dilarang menyerahkan pengusahaan tanah Hak
Guna Usaha kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal diperbolehkan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hapusnya Hak Guna Usaha (Pasal 17 PP 40/1996)
(1) Hak Guna Usaha hapus karena :
a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangannya;
b. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka
waktunya berakhir karena :
1.tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak
dan/atau melanggar ketentuan-ketentuan terkait;
2.putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap;
c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir;
d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. Pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat sbg subyek HGU.
(2) Hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mengakibatkan tanahnya menjadi Tanah Negara.
HAK GUNA BANGUNAN: psl 35 – 40
Pengertian (Pasal 35): hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas tanah bukan miliknya sendiri (bisa tanah
negara, bisa tanah hak milik orang lain)
Ciri l: -jangka waktu: 30 tahun20 tahun [Pasal35(1)(2)]
-dapat beralih dan dialihkan [Pasal35(3)]
-wajib didaftarkan (Pasal38)
-dapat dibebani hak tanggungan (Pasal39)
Cara terjadinya (Pasal 37), karena:
▪ penetapan pemerintah, kalau di atas tanah negara
▪ perjanjian otentik, kalau di atas tanah HM orang lain
Subjek haknya (Pasal36): 1. WNI 2. Badan Hukum Indonesia
Hapusnya (Pasal 40): sama seperti HGU
Pengaturan HGB dlm PP 40/1996
Tanah yg dapat diberikan dengan HGB (psl 21 & 22)adalah :
a. Tanah Negara: HGB di atas tanah negara diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.;
b. Tanah Hak Pengelolaan: HGB di atas tanah Hak
Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang Hak Pengelolaan
c. Tanah Hak Milik: HGB di atas tanah HM terjadi dengan
pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang
dibuat oeh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

HGB di atas tanah negara dan tanah HPL didaftar di Kantor


Pertanahan. Demikian juga HGB di atas tanah HM, wajib
didaftar; dgn demikian ia mengikat pihak ketiga.
Jangka Waktu HGB: psl 25-29
❑ HGB di atas tanah negara dan tanah HPL, jangka waktunya:
▪ pd saat pemberian 30 thn, perpanjangan 25 thn, dan pembaruan hak 30 tahun.
▪ HGB di atas tanah negara dpt diperpanjang atau diperbarui jika memenuhi syarat:
a. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan
tujuan pemberian hak tersebut;
b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang
hak; dan
c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 19.
d. penggunaan tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang bersangkutan.
▪ HGB di atas tanah HPL diperpanjang atau diperbarui setelah mendapat
persetujuan dari pemegang HPL;
▪ Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau
pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhir-
nya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya.
▪ Perpanjangan dan pembaruan jangka waktu HGB dpt dilakukan sekaligus
bersamaan dgn pemberian jangka waktu hak tsb pertama kali.
▪ HGB di atas HM jangka waktunya maksimal 30 tahun; atas kesepakatan para
pihak dapat diperbarui dgn pemberian HGB baru di atas bidang tanah yang sama,
yg dilakukan oleh/di hadapan PPAT dan hrs didaftarkan.
Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan (Pasal 30)
Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban :
a. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya
ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
b. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagai-
mana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
c. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan
kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;
e. menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada
Kepala Kantor Pertanahan.
Hapusnya Hak Guna Bangunan (Pasal 35)
(1) Hak Guna Bangunan hapus karena :
a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
b. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau
pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena :
1) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau
dilanggarnya ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30,
Pasal 31 dan Pasal 32; atau
2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang
dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak
Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan
tanah Hak Pengelolaan; atau
3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir;
d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. Subjek hanya tdk lagi memenuhi syarat.
HAK PAKAI (HP): UUPA Pasal 41-43, 49(2), 50(2), 52
Pengertian: hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil di atas tanah negara
(berdasarkan penetapan pemerintah) atau tanah milik orang lain (berd. perjanjian
dengan pemilik tanah)
Jangka waktu:
Hak pakai dapat diberikan:
a. selama jangka waktu yang tertentu;
b. atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu (tanpa
jangka waktu);
Hak pakai dapat diberikan:
a. dengan cuma-cuma;
b. dengan pembayaran ;
c. atau pemberian jasa berupa apapun.
.
Subjek hak: 1. WNI; 2. Badan Hukum Indonesia; 3. WNA tinggal di Ind. 4. Badan Hukum
Asing punya perwakilan di Indonesia.
Terjadinya, karena:
1. Penetapan pemerintah (di atas tanah negara)
2. Perjanjian (kalau di atas tanah orang lain)
Peralihannya:
1. Dengan izin (kalau tanah negara)
2. sesuai dengan ketent. perjanjian (untuk tanah hak)
Pengaturan Hak Pakai dalam PP 40/1996
Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, dan Pemerintah Daerah;
d. Badan-badan keagamaan dan sosial;
e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia;
g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan
Internasional.
Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah :
a. Tanah Negara;
b. Tanah Hak Pengelolaan;
c. Tanah Hak Milik.
Terjadinya HP di atas masing2 tanah itu, sama spt
dlm HGB.
HP wajib didaftar, dan HP itu lahir pd saat didaftarkan.
Jangka waktu: 25 + 20 +20
Ketentuan selanjutnya ttg jangka wkt sama dgn HGB
HP di atas tanah negara dan HPL dpt dijadikan jaminan
hutang dgn dibebani hak tanggungan.
Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Pakai (Pasal 50)
Pemegang Hak Pakai berkewajiban :
a. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara
pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian
haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau
dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
b. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
pemberiannya, atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas
tanah Hak Milik;
c. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di
atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak
Pakai kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau
pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus;
e. menyerahkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada
Kepala Kantor Pertanahan.
❑HAK ATAS ATAS TANAH UNTUK ORANG ASING
❑ Dasar:
1. Psl 1 (ay 1,2 dan 3 UUPA): seluruh wilayah
Indonesia milik bangsa Indonesia, sbg karunia
abadi dari Tuhan;
2. Psl 9 (ay. 1): hanya WNI yang dpt mempunyai
hubungan yang sepenuhnya dgn tanah di
Indonesia
3. Psl 21 ay. 1: hanya WNI yg dpt mempunyai HM
4. Psl 26 ay 2: setiap peralihan yang langsung atau
tdk langsung memindahkan HM kpd WNA batal
demi hukum
5. Psl 30 dan psl 36: yg dpt mempunyai HGU atau
HGB hanya WNI atau badan hukum Indonesia
Pembatasan hak atas tanah untuk orang asing di
negara-negara lain:
Di Asia: Vietnam, Camboja dan China
Di Israel: sangat dibatasi
Di USA: di beberapa negara bagian ada pembatasan
untuk non-resident aliens, bahkan untuk resident
aliens juga.

Pertimbangan pembatasan:
Pembatasan hak atas tanah dalam UUPA
sesungguhnya diadopsi dari prinsip hukum adat:
larangan untuk mengalihkan secara permanen tanah
ulayat (baik sebagian apalagi seluruhnya) kepada
orang asing (yang bukan warga masyarakat hukum
adat)
❑HAK ATAS ATAS TANAH UNTUK ORANG ASING
❑ Dasar:
1. Psl 1 (ay 1,2 dan 3 UUPA): seluruh wilayah Indonesia milik bangsa
Indonesia, sbg karunia abadi dari Tuhan;
2. Psl 9 (ay. 1): hanya WNI yang dpt mempunyai hubungan yang sepenuhnya
dgn tanah di Indonesia
3. Psl 21 ay. 1: hanya WNI yg dpt mempunyai HM
4. Psl 26 ay 2: setiap peralihan yang langsung atau tdk langsung memindahkan
HM kpd WNA batal demi hukum
5. Psl 30 dan psl 36: yg dpt mempunyai HGU atau HGB hanya WNI atau badan
hukum Indonesia
Pembatasan hak atas tanah untuk orang asing di negara-
negara lain:
Di Asia: Vietnam, Camboja dan China
Di Israel: sangat dibatasi
Di USA: di beberapa negara bagian ada pembatasan untuk
non-resident aliens, bahkan untuk resident aliens juga.

Pertimbangan pembatasan:
Pembatasan hak atas tanah dalam UUPA sesungguhnya
diadopsi dari prinsip hukum adat: larangan untuk
mengalihkan secara permanen tanah ulayat (baik
sebagian apalagi seluruhnya) kepada orang asing (yang
bukan warga masyarakat hukum adat)
HAT BAGI WNA
❑ Dua kemungkinan:
1.Hak pakai dgn jangka waktu
2. Hak Sewa utk Bangunan
❑ Bila dgn Hak Pakai:
▪ Jangka waktunya: 25 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan dapat
diperbarui untuk jangka 25 tahun (PP 40/1996, ps 45 ay 1&2)
Syaratnya:
▪ Menurut UUPA (Pasal 42) : WNA harus Berdomisili di Indonesia
▪ Dan juga:
➢WNA berada di Indonesia dengan Izin Singgah/Izin Kunjungan/Izin
Tinggal Sementara/Izin Tinggal Tetap ( UU & PP Keimigrasian
(UU9/1992 + PP 22/1994) ;
➢ Keberadaannya memberikan manfaat bagi pembangunan Indonesia (ps
1 ayat 2 PP 41/1996 )
❑Apa makna Memberi Manfaat?
▪ Luas : setiap kegiatan usaha termasuk pembelian rumah + tanah itu sendiri
(Permennag No.7/1996)
▪ Sempit : usaha yg dilakukan harus memberikan kontribusi bagi penciptaan
lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi (SE Menper No.124/1997)
Catatan:
Menurut Sumardjono, sesungguhnya untuk kepentingan WNA, HP sudah cukup
memadai dan fleksibel:
▪ Dibandingkan dengan HGB, jangka waktu HP hanya terpaut lima tahun.
▪ Subyek HP lebih luas, yaitu WNI, Badan Hukum Indonesia (BHI), WNA, dan BHA.
▪ Penggunaannya pun lebih fleksibel, tidak dibatasi jenisnya.
▪ HP atas tanah negara didaftarkan dan dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan (HT).
Namun, banyak pihak masih kurang paham atau kurang percaya terhadap HP,
sehingga memicu terjadinya penyelundupan hukum melalui perjanjian notariil
antara WNI pemegang HM dan WNA, yang memberikan kemungkinan bagi WNA
untuk ”memiliki” HM secara material walaupun secara legal-formal pihak WNI
adalah pemegang HM.

Dalam perjanjian itu, kedudukan WNI adalah trustee atau nominee. Perjanjian yang
dimaksudkan untuk secara tak langsung mengalihkan HM ke WNA itu melanggar
Pasal 26 Ayat (2) UUPA yang berakibat perjanjian batal karena hukum, tanahnya
jatuh kepada negara dan pembayaran yang telah diterima pihak WNI tak dapat
dituntut kembali. Dalam perjanjian semacam ini, WNA tak memperoleh
perlindungan hukum. Namun, penyelundupan hukum semacam ini tak serta-merta
dapat dideteksi kecuali bila di kemudian hari timbul sengketa dan diproses di
pengadilan.
❑ Bila dengan HSUB (Hak Sewa utk Bangunan) (ps 44 dan 45
UUPA)
➢ Seperti HP, HSUB dapat dimiliki WNI, BHI, WNA, dan
BHA. HSUB memberikan hak kepada seseorang untuk
menggunakan tanah HM orang lain yang diserahkan
dalam keadaan kosong, untuk mendirikan bangunan,
dengan membayar kepada pemilik tanah sejumlah uang
tertentu.
➢ Namun, HSUB tidak termasuk hak atas tanah yang
didaftarkan dan tidak dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani HT.
➢ HSUB hanya dapat beralih dengan izin pemilik tanahnya.
Berbeda dengan HP, HSUB hanya dapat terjadi di atas
tanah HM.
➢ Untuk memperoleh hak mendirikan dan memiliki
bangunan di atas tanah HM harus dibayarkan uang sewa
(Sumardjono)
Namun, menurut Sumardjono, penggunaan HSUB
berpotensi menimbulkan penyelundupan hukum.
Dapat terjadi, pembuatan perjanjian antara WNI
pemegang HM dan WNA dengan ”kedok” HSUB itu
digunakan untuk menyimpangi ketentuan Pasal 26
Ayat (2) UUPA dengan cara (1) memberikan HSUB
dengan jangka waktu ”sewa” yang melampaui batas
kewajaran; (2) ”uang sewa” yang diberikan
sebenarnya merupakan harga tanah yang
sebenarnya; (3) pemilik tanah hanya dapat meminta
kembali tanahnya dengan membayar kembali sebesar
harga tanah. Konstruksi hukum pemberian HSUB bagi
WNA semacam ini akibat hukumnya disebutkan
dalam Pasal 26 Ayat (2) UUPA.
HAK ATAS TANAH SEBAGAI JAMINAN KREDIT
HAK TANGGUNGAN: Mengapa penting?
Fakta
▪ di AS, sekitar 15% rumah tangga menghabiskan lebih dari separuh
pendapatannya untuk membeli rumah. Pendapatan rata-rata penduduk AS
tidak bisa mengejar laju harga rata-rata rumah yang semakin tinggi (UN-Habitat,
2012).
▪ Di Indonesia, berdasarkan hasil kajian Bank Dunia, hanya sekitar 20% penduduk
di perkotaan Indonesia yang dapat menjangkau harga rumah di pasaran.
Sedangkan sebanyak 40% rumah tangga yang ada di berbagai daerah di
Indonesia juga tidak dapat menjangkau rumah dengan harga dasar (REI, 2015).
▪ Sebagian besar negara-negara berkembang, menurut Hernando de Soto, tetap
ketinggalam dalam hal pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, karena tanah
di negara-negara tsb tidak diprivatisasi dan tidak diadministrasikan dengan baik
(dkl. tidak didaftarkan). Tanah-tanah tsb hanya bisa menjadi “dead capital”,
karena tidak bisa dijadikan modal, dengan menggunakannya sebagai jaminan
kredit. Oleh karena itu, menurut de Soto, negara-negara berkembang perlu
menggalakkan privatitisasi/individualisasi serta pendaftaran tanah (de Soto,
2000).
Pendaftaran tanah sangat penting untuk mendukung pelaksanaan
hak tanggungan. Tujuan pendaftaran tanah adalah:
a. Untuk menyediakan kepastian hukum mengenai
orang/badan yang menjadi pemegang hak (subyek hak);
kepastian mengenai lokasi, batas serta luas suatu bidang
tanah hak (obyek hak); dan kepastian hukum mengenai
haknya.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan

Dalam kaitannya dengan Hak Tanggungan, pendaftaran tanah


mempunyai dua fungsi:
a. Sebagai syarat konstitutif lahirnya Hak Tanggungan;
b. Untuk keperluan pembuktian, karena nama pemegang
hak/Hak Tanggungan akan dicatat pada buku tanah dan
sertipikat hak/Hak Tanggungan
Tanah (hak atas tanah) sangat baik/ideal untuk
dijadikan jaminan kredit dengan dibebani hak
tanggungan karena:
a. Dapat dengan mudah membantu perolehan kredit itu
oleh pihak yang memerlukannya;
b. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari
kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya;
c. Memberi kepastian kepada si pemberi kredit dalam
arti menjamin bahwa setiap waktu hak atas tanah
tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat
dengan mudah diuangkan untuk melunasi utang
penerima kredit.
Dasar Hukum
Sebelum keluarnya UU 4/1996 yang diperintahkan pembentukannya oleh ps 51
UUPA, maka berdasarkan Pasal 57 UUPA, yang berlaku adalah ketentuan-
ketentuan mengenai Hypotheek (KUH Perdata) dan Credietverband (S. 1908-542
sebagaimana yang telah diubah dengan S. 1937-190).
Dengan diundangkan dan disahkannya Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
pada tanggal 9 April 1996, maka Hak Tanggungan menjadi satu-satunya lembaga
hak jaminan atas tanah.
Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) maka ketentuan-
ketentuan Hypotheek dan Credietverband yang berfungsi melengkapi ketentuan
Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi dan Fidusia sebagai lembaga hak
jaminan yang obyeknya Hak Pakai di atas tanah negara (vide UU No. 16 Tahun
1985, tentang Rumah Susun) tidak diperlukan lagi karena Hak Pakai tersebut oleh
UUHT telah ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan.
Peraturan dan Dasar Hukumnya
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria;
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, pengganti UU No. 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun
PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24
Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah;
PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak
Tanggungan dan Sertipikat HT
PMNA/Ka BPN No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu SKMHT
untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu;
Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberi kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.
Jadi ada beberapa unsur pokok:
a. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang
b.Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA
c. Hak Tanggungan dapat dibebankan pada tanahnya saja atau
benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah tersebut
d.Hutang yang dijaminkan adalah hutang tertentu
e. Krediturnya mempunyai kedudukan yang diutamakan dari
kreditur lainnya
Ciri-Ciri Hak Tanggungan
Sebagai hak jaminan yang kuat, Hak Tanggungan mempunyai empat
ciri pokok, yaitu :
a. Memberi kedudukan yang diutamakan kepada kreditornya
(“droit de preference”);
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun
obyek itu berada (“droit de suite”);
c. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat
mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum pada
pihak-pihak yang berkepentingan;
d. Mudah dan pasti pelaksanaannya eksekusi.
Asas Hak Tanggungan
Tidak dapat dibagi-bagi (Ps 2):
Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan
setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang
dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban
Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani
seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Sifat tersebut dapat disimpangi jika Hak Tanggungan
dibebankan pada beberapa hak atas tanah dan pelunasan
utang yang dijamin dilakukan dengan angsuran sebesar
nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian
dari obyek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan dari Hak
Tanggungan tersebut. Dengan demikian, Hak Tanggungan
hanya akan membebani sisa obyek untuk sisa utang yang
belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, harus
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT).
Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan pada
kreditur pemegang hak tanggungan.
a. Angka 4 penjelasan umum UUHT, yaitu: dalam hal debitur cidera janji,
kreditur berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan
jaminan dengan hak mendahului dari kreditur lain;
b. Pasal 6: Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Namun,
❑ Dalam penjelasan umum → hak kreditur pemegang Hak Tanggungan
ternyata harus mengalah pada piutang negara yang berkaitan dengan
Hak Tanggungan → dalam UUHT piutang negara = pajak
❑ Pendapat Kepala BUPLN → piutang negara tidak hanya pajak tetapi juga
piutang-piutang macet dari Bank Pemerintah dan BUMN lain sesuai UU
No.49 Prp 1960 → yang penagihannya pada BUPLN
Hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah
ada (Ps 8)
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan
hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan, dan
kewenangan tsb harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat
pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.

Objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh kreditur jika debitur cidera
janji (ps 12)
“janji yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk memiliki objek
hak tanggungan, jika debitur cidera janji, batal demi hukum”.
Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor
dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek Hak
Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak
Tanggungan dilarang untuk secara serta merta men-jadi pemilik obyek
Hak Tanggungan ketika debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah
dilarang bagi pemegang Hak Tang-gungan untuk menjadi pembeli obyek
Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20.
Hak tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya
juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah
tersebut (ps 4 ayat 4 dan 5):
Benda-benada yang berkaitan dengan tanah itu bisa berupa
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau
akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut,
- Baik yang dimiliki oleh pemegang HAT, dimana
pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan;
- Maupun yang dimiliki oleh pihak lain (bukan pemegang
HAT ybs), dimana pembebanan Hak Tanggungan atas
benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau
yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian accesoire
❑ Butir 8 Penjelasan Umum → “Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya
merupakan ikutan atau accesoire pada suatu piutang tertentu yang
didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka
kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin
pelunasannya”
❑ Pasal 10 ayat (1): perjanjian untuk memberi Hak Tanggungan → merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang tersebut.
❑ Pasal 18 ayat (1) point a UUHT → Hak Tanggungan hapus karena hapusnya
hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan
Asas Specialitas (ps 11 ayat 1):
Dalam APHT, hrs secara spesifik dicantumkan:
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di
antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula
dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili
pilihan itu tidak dicantum kan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pem-
berian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1);
d. nilai tanggungan;
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
Asas Publisitas (ps 13)
(1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan.
(2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penan-datanganan
Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mengirimkan Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain
yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
(3) Pendaftaran Hak dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam
buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan
serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
(4) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara
lengkap surat-surat yang di-perlukan bagi pendaftarannya dan jika
hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan
diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
(5) Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Subjek Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan (ps 8)
adalah orang atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan yang
bersangkutan.

Pemegang Hak Tanggungan (ps 9)


adalah orang atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Objek Hak Tanggungan
Syarat:
1. Mempunyai nilai ekonomis;
2. Dapat dipindahtangankan;
3. Terdaftar dalam daftar umum;
4. Ditunjuk oleh Undang-undang
a. Yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT);
Hak Milik (Pasal 25 UUPA)
Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA)
Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA)
b. Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2 UUHT)
Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
c. Yang ditunjuk oleh Undang-undang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT):
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
(Pengganti UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun):
SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-
undangan (Pasal 47 ayat (5))
Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan

Pembebanan Hak Tanggungan terdiri atas dua tahap, yaitu:


1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, yaitu dengan dibuatkannya
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT [pasal 10
ayat (2) yang didahului dengan perjanjian pokoknya yaitu
perjanjian utang piutang (perjanjian kredit)
2. Tahap pendaftaran Hak Tanggungan pasal 13 UUHT jo PMA/Ka.
BPN No.5/1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan
dengan cara:
a. Membuat buku tanah Hak Tanggungan
b. Mencatat dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi
objek HT
c. Menyalin catatan tersebut pada sertifikat Hak
Tanggungan
Pemberian HT
Dalam rangka memenuhi asas spesialitas, menurut Pasal 11 ayat 1 UUHT,
di dalam APHT wajib dicantumkan :
- nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
- domisili pihak-pihak yang bersangkutan;
- penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin;
- nilai tanggungan;
- uraian yang jelas tentang obyek Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan di hadapan PPAT wajib dihadiri oleh pemberi
Hak Tanggungan, penerima Hak Tanggungan dan dua orang saksi. Jika
tanah yang dijadikan jaminan belum bersertipikat, maka yang wajib
bertindak sebagai saksi adalah Kepala Desa/Lurah dan seorang anggota
pemerintahan desa/kelurahan.

Jika tanah yang akan dibebani tersebut belum dibukukan (belum


bersertipikat) maka pembebanan Hak Tanggungan dilakukan bersamaan
dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal
10 ayat 3 UUHT).
Pemberian HT (lanjut)
Jadi pemberian Hak Tanggungan dan pembuatan APHT dapat
dilakukan dalam keadaan tanah belum bersertipikat.
Permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut diajukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran Hak
Tanggungan yang bersangkutan.

APHT dibuat dirangkap dua, yang semuanya ditandatangani


oleh pemberi dan penerima Hak Tanggungan, para saksi dan
PPAT. Satu lembar akta tersebut disimpan di kantor PPAT.
Lembar yang lain berikut warkah-warkah lain yang
diperlukan disampaikan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan
untuk keperluan pendaftaran Hak Tanggungan selambat-
lambatnya 7 hari kerja setelah ditandatanganinya APHT yang
bersangkutan (Pasal 13 ayat 2 UUHT).
Pendaftaran Hak Tanggungan (Pasal 13 UUHT)
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan cara :
a. membuat Buku Tanah Hak Tanggungan;
b. mencatat dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek;
c. menyalin catatan tersebut pada Sertipikat Hak Tanggungan.

Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan adalah hari ketujuh setelah penerimaan
secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran. Jika hari ketujuh
jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja
berikutnya. Pada tanggal tersebutlah Hak Tanggungan dianggap sudah lahir.

Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan


Sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari :
Salinan Buku Tanah Hak Tanggungan, dan
Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dijilid menjadi satu dalam sampul
dokumen (PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1996).

Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan


yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Sertipikat Hak Tanggungan memuat
irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kata-kata : “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Ps 15)
Pada asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh
pemberi Hak Tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan, yaitu
dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT,
diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Namun, surat kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi Hak
Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya,
yaitu:
a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain selain
membebankan Hak Tanggungan.
b. tidak memuat kuasa substitusi;
c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang
dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor
apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
Tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang
bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang
bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib menolak permohonan untuk
membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, apabila Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak
Tang-gungan atau tidak memenuhi persyaratan termaksud di atas
Eksekusi Hak Tanggungan (Ps 20)
Apabila debitor cedera janji, maka pemegang hak tanggungan, berdasarkan janji untuk
menjual atas kekuasaan sendiri, dan berdasarkan titel eksekutorial, berwenang untuk
menjual lelang objek hak tanggungan melalui pelelangan umum, atau

Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak, namun, hal ini hanya
dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis
oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada
pihak yang menyata-kan keberatan.

Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan melalui


pelelangan umum dapat dihindarkan, dengan pelunasan utang yang dijamin
dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan
Hapusnya Hak Tanggungan

Menurut ketentuan Pasal 18 UUHT, Hak Tanggunagn dapat hapus karena:


a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Roya atau Pencoretan Hak Tanggungan
Hapusnya Hak Tanggungan membawa akibat administratif, yaitu
menghapus beban Hak Tanggungan pada buku tanah dan sertipikat hak
atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan
setempat berdasarkan surat pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya
Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak
Tanggungan sehubungan dengan pelunasan utangnya oleh debitor
pemberi Hak Tanggungan.
Buku Tanah dan Sertipikat Hak Tanggungan ditarik dan dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.

Permohonan pencoretan dilakukan oleh kreditor sebagai pemegang Hak


Tanggungan dengan melampirkan Sertipikat Hak Tanggungan. Jika kreditor
tidak bersedia, dapat diajukan permohonan pencoretan tersebut kepada
Ketua Pengadilan Negeri setempat yang wilayah hukumnya meliputi
dimana Hak Tanggungan tersebut didaftarkan.

Pencoretan karena ada roya parsial (Pasal 2 ayat 2 UUHT jo. Pasal 16 UU
No. 16 Tahun 1985) dilakukan dengan mencatat hapusnya Hak Tanggungan
yang bersangkutan, yaitu pada buku tanah dan sertipikat Hak Tanggungan
yang bersangkutan.
Hak Pengelolaan (HPL)

Diambil dari Prof. Arie Hutagalung dgn perubahan di sana-sini


Sejarah Perkembangan dan Pengaturan HPL

Era Pemerintah Hindia-Belanda

Sejak pemerintahan Hindia-Belanda, khususnya sejak


tahun 1911, banyak instansi pemerintah diberikan hak
penguasaan atas bidang tanah untuk kepentingan
pelaksanaan tugasnya. Dalam tata pemerintahan saat itu
dipergunakan istilah “in beheer” yang dalam tata
hukumnya termasuk hukum publik. Kata “in beheer” dapat
dibaca antara lain dalam Staatsblaad (Stbl) 1911 Nomor
110 jo Stbl 1940 Nomor 430.
Era Sebelum Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (“UUPA”)

Pada masa pemerintahan Republik Indonesia, diatur kembali


mengenai penguasaan tanah-tanah Negara sebagaimana yang telah
diatur dengan Stb tersebut diatas, dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1953 (“PP 8/1953”) tentang Penguasaan Tanah-
tanah Negara. Peraturan Pemerintah itu tidak mencabut Staatsblaad
1911 Nomor 110 jo Stbl 1940 Nomor 430, tetapi mengesampingkan
materi hukum yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah
tersebut. Dengan berlakunya PP 8/1953, secara jelas diatur
kewenangan Menteri Dalam Negeri atas penguasaan tanah negara
yang ditegaskan dalam Pasal 2 yang menyatakan:

“Kecuali jika penguasaan atas tanah negara dengan undang-undang


atau peraturan lain pada waktu berlakunya peraturan pemerintah
ini, telah diserahkan kepada sesuatu Kementerian, Jawatan atau
Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah negara ada pada
Menteri Dalam Negeri.”
Dengan adanya Keputusan Presiden tanggal 30 Juli 1953 Nomor 132
diadakan jabatan Menteri Agraria yang kemudian dengan Keputusan
Presiden tanggal 29 Maret 1955 Nomor 55 dibentuklah Kementerian
Agraria yang dipimpin oleh Menteri Agraria. Selanjutnya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1958 tentang
Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria, wewenang Menteri Dalam
Negeri di bidang Agraria beralih kepada Menteri Agraria sejak
tanggal 1 Agustus 1953. Namun peralihan tugas dan wewenang
bidang agraria dari aparat Departemen Dalam Negeri didaerah-
daerah barulah beralih kepada Menteri Agraria setelah dikeluarkan
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria
tanggal 5 Maret 1959 Nomor Pem.19/22/33-7 dan No. SK/63/Ka/59
Era Sesudah Berlakunya UUPA

Setelah berlakunya UUPA, kewenangan menguasai tanah oleh


Negara diatur dalam Pasal 2 UUPA, yang menyatakan :

“Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini


memberi kewenangan untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai air dan
ruang angkasa.”
Meskipun mengenai HPL tidak secara eksplisit diatur/disebut alam
UUPA, namun secara tersirat dapat dirujuk ketentuan dalam
Penjelasan Umum UUPA Bagian II Nomor 2, yang menyatakan
bahwa:
“kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu
hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.
Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas Negara
dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau
badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai atau
memberikannya dalam pengelolaan pada sesuatu Badan Penguasa
(Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan
bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat 4)”
Berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA dan Penjelasan Umum UUPA Bagian II Nomor 2
tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa HPL bukan merupakan hak atas tanah
namun hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian
dilimpahkan kepada pemegangnya. Adapun HM, HGU, HGB dan Hak Pakai diatur
dalam Pasal 16 UUPA merupakan hak-hak atas tanah, dan termasuk bidang hukum
perdata.
Dan PP 40/1996 kemudian menegaskan hal tersebut. Psl 1 angka 2 PP tsb
mengartikan HPL sbg: “hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.”

Dengan demikian HPL merupakan hak publik sbgmana HMN, dan bukan
merupakan hak atas tanah. Adapun HM, HGU, HGB dan Hak Pakai diatur dalam
Pasal 16 UUPA merupakan hak-hak atas tanah, dan termasuk bidang hukum
perdata.

Catatan: Namun UU 21/1997 ttg Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan,
secara salah memasukkan HPL sebagai hak atas tanah (HPL bukan
termasuk hak atas tanah atau hak perorangan, tetapi merupakan
“gempilan” hak menguasai negara (lihat Psl 2 UU 21/1997).
Istilah HPL baru diperkenalkan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun
1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan
Ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya (“PMA 9/1965”).
Ketentuan-ketentuan dalam PMA 9/1965 yang menyinggung mengenai HPL antara
lain adalah:
▪ Pasal 1 PMA 9/1965
menyatakan bahwa “Hak penguasaan atas tanah negara sebagai dimaksud
dalam PP 8/1953 yang diterima pada Departemen-Departemen, Direktorat-
direktorat dan Daerah-daerah Swatantara sebelum berlakunya peraturan ini
sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan
instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi “Hak Pakai” sebagaimana
dimaksud dalam UUPA yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan
untuk keperluan itu oleh instansi bersangkutan.”
▪ Pasal 2 PMA 9/1965
antara lain menyatakan “Jika tanah Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 1,
selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri dimaksudkan juga
untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak
penguasaan tersebut diatas dikonversi menjadi “Hak Pengelolaan”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 yang berlangsung selama tanah
tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.”
▪ Pasal 2 PMA 9/1965

antara lain menyatakan “Jika tanah Negara sebagai dimaksud


dalam Pasal 1, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi
itu sendiri dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan
sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut
diatas dikonversi menjadi “Hak Pengelolaan” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 yang berlangsung selama tanah
tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang
bersangkutan.”
dan Pasal 6 ayat 1 menyatakan “Hak Pengelolaan sebagai dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 5 diatas, memberi wewenang kepada
pemegangnya untuk:
1. Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah tersebut.
2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya.
3. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak
ketiga dengan Hak Pakai yang berjangka waktu 6 (enam)
tahun.
4. Menerima uang pemasukan atau ganti rugi dan/atau uang
wajib tahunan.”

Dengan dikeluarkannya PMA 9/1965 maka tercipta istilah yang


disebut Hak Pengelolaan dengan pengertian yang lebih jelas.
Dalam Perkembangannya Ketentuan HPL dalam PMA 9/1965 diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Hak untuk
Keperluan Perusahaan (“PMDN 5/1974”) jo. Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 1977 (“PMDN 1/1977”).
Dalam tingkat UU, HPL kemudian mendapat landasan hukum dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (“UU
16/1985”).
Dalam Pdl 7 UU tsb ditentukan bahwa
(1) Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak
guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyelenggaraan pembangunan yang membangun rumah susun di
atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan, wajib
menyelesaikan status hak guna bangunan di atas hak pengelolaan
tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 3 PMDN 5/1974, pemegang HPL mempunyai
kewenangan untuk:
1. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan;
2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan
usahanya;
3. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak
ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh
perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi
peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya,
dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada
pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-
pejabat yang berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang “Pelimpahan Wewenang
Pemberian Hak atas Tanah” (sudah diganti dengan Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1999 (“PMA 3/1999”), sesuai dengan peraturan
perundangan agraria yang berlaku.
Disamping itu, pemegang HPL juga mempunyai kewenangan untuk
menggunakan tanah HPL tersebut untuk keperluan usahanya. Tetapi
hal ini bukan merupakan tujuan utama dari pemberian hak tersebut.

Tujuan utama pemberian HPL adalah bahwa tanah yang


bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain
yang memerlukan. Bagian-bagian tanah HPL tersebut dapat
diberikan kepada pihak lain dengan HM, HGB atau Hak Pakai (“HP”).
Pemberian hak atas tanah tersebut, dilakukan oleh Pejabat Badan
Pertanahan Nasional yang berwenang, atas usul pemegang HPL yang
bersangkutan berdasarkan perjanjian antara pemegang HPL dengan
calon pemegang hak atas tanah diatas HPL.

Dengan didaftarkannya hak-hak atas tanah itu di Kantor Sub-


Direktorat Agraria setempat (“sekarang Kantor Pertanahan
setempat”), maka hak atas tanah dari pihak ketiga tersebut telah
memperoleh jaminan kepastian hukum yang kuat dan tunduk pada
UUPA dan peraturan pelaksanaannya yang mengatur hak-hak itu
seperti halnya hak atas tanah yang lain.
Sebagaimana halnya dengan Tanah Negara, selama dibebani hak-hak
atas tanah tersebut, HPL yang bersangkutan tetap berlangsung atau
tidak hapus (Pasal 5 PMDN 1/1977). Selanjutnya setelah jangka
waktu HGB atau HP yang dibebankan itu berakhir, tanah yang
bersangkutan kembali ke dalam penguasaan sepenuhnya dari
pemegang HPL.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa eksistensi dari HPL


dikukuhkan oleh UU 16/1985 tentang Rumah Susun yang antara lain
terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi “Rumah Susun hanya
dapat dibangun diatas tanah hak milik, HGB, HP atas tanah Negara
atau HPL sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” Apabila Rumah Susun dibangun diatas tanah HPL, pihak
penyelenggara pembangunan wajib memohonkan HGB diatas HPL.
Dalam penjelasannya diuraikan bahwa yang dimaksud dengan HPL
adalah hak sebagaimana dimaksudkan dalam PP 8/1953 jo PMA
9/1965, PMDN 5/1974 dan PMDN 1/1977. Hal tersebut
membuktikan eksistensi HPL dalam Hukum Tanah Nasional.
Subjek HPL: Menurut Permenag/Kepala BPN No 9 tahun 1999,
pasal 67, Hak Pengelolan dapat diberikan kepada :
a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
b. Badan Usaha Milik Negara;
c. Badan Usaha Milik Daerah;
d. PT. Persero;
e. Badan Otorita;
f. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk
pemerintah.
Apakah HPL dapat dibebani Hat Tanggungan?

HPL memang didaftar dan diterbitkan sertifikat sbg tanda bukti haknya; tetapi sbg
“gempilan” HMN, tidak dpt dipindahkan tangankan, dan oleh krn itu, HPL tidak
dpt dijadikan jaminan hutang; (itu sebabnya UU 4/1996 tidak memasukkan HPL
sbg salah satu objek hak tanggungan).

Namun apakah HGB di atas HPL tidak boleh juga dibebani Hak Tanggungan?
Namun terkait konsekuensi kemungkinan beralihnya HGB diatas tanah HPL
tersebut kepada pihak ketiga dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan, yaitu
apabila debitur tidak dapat melunasi hutang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan tersebut, ketentuan Pasal 34 PP 40/1996 menetapkan bahwa
pengalihan HGB dan Hak Pakai diatas tanah HPL memerlukan persetujuan tertulis
dari pemegang HPL.

Dan menurut Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan No.
630.1-3430 tanggal 17 September 1998: “karena eksekusi Hak Tanggungan
mengakibatkan HGB beralih kepada pihak lain maka pembebanan Hak
Tanggungan diperlukan persetujuan tertulis dari pemegang HPL yang akan
berlaku sebagai persetujuan untuk pengalihan hak tersebut dalam rangka eksekusi
Hak Tanggungan”.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Pengambilan (pengadaan) tanah untuk kepentingan umum:
Konsep Umum

Apakah Negara berwenang untuk mengambil tanah WN untuk kepentingan umum?

Jaminan konstitusi terhadap hak kepemilikan (termasuk hak atas tanah)

Pasal 28H
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secarasewenang-wenang oleh siapa pun.

Bdk dgn Amerika Serikat:


Takings Clause (Fifth Amendment): "... nor shall private property be taken for
public use, without just compensation."
Tetapi, ada hak kedaulatan negara (atas sumber daya alam)

Pasal 33 UUD
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.

Lalu diderivasikan ke psl 2 UUPA.


(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) psl ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa tersebut;
Manifestasi konkrit: memberlakukan pembatasan-pembatasan dalam menggunakan hak atas tanah melalui
rencana tata ruang
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa;
Manifestasi konkrit: memberikan hak atas tanah, dan bisa juga, mencabut hak atas tanah.

Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-
undang.

Bdk dgn yang berlaku umum: “eminent domain”


‘... the property of subjects is under the eminent domain of the state, so that the state or he who acts for it may use
and even alienate and destroy such property, not only in the case of extreme necessity, in which even private persons
have a right over the property of others, but for ends of public utility, to which ends those who founded civil society
must be supposed to have intended that private ends should give way. But it is to be added that when this is done the
state is bound to make good the loss to those who lose their property.’
Grotius, De iure belli ac pacis, 1625
Menurut Black’s Law Dictionary, eminent domain:
“the power to take private property for public use by
the state, municipalities, and private persons or
corporation authorized to exercise functions of
public character.”
Menurut Bouvier, eminent domain: “The superior
right of property subsisting in sovereignty by which
private property may in certain cases be taken or its
use controlled for the public benefit, without regard
to the wishes of the owner.”
Menurut Nichols, eminent domain : “the power of
the sovereign to take property for ‘public use’
without the owner’s consent.”
Eminent domain (US, the Phillipines), compulsory
purchase (UK, New Zeeland,
Ireland), resumption (Hong
Kong), resumption/compulsory
acquisition (Australia), or expropriation (South
Africa, Canada ) is the power of a state or a national
government to take private property for public use.
However, it can be legislatively delegated by the
state to municipalities, government subdivisions, or
even to private persons or corporations, when they
are authorized to exercise the functions of public
character.
Negara, sbg pemegang kedaulatan, berwenang, asal
tidak sewenang-wenang; kriteria/persyaratannya:
▪ only for public purpose;
▪ based on law;
▪ fair compensation
PENGADAAN TANAH: Hk Positif Indonesia

Dasar Hukum :
1. Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tanggal 14 Januari 2012;
2. Peraturan Presiden No. 71 tahun 2012 tanggal 7 Agustus
2012; (sdh dirubah empat kali, terakhir dengan Perpres 148
tahun 2015 ttg Perubahan Keempat atas Perpres 71 tahun
2012 tentang Penyeleggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
Pengadaan Tanah
Pengertian2:
1. Pengadaan Tanah:
a. Pengadaan tanah: kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi
ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak (Psl 1 UU
12/2012).
b. Secara konseptual, pengadaan tanah bisa :
1) Pembebasan tanah: musyawarah untuk sampai kepada kesediaan
pemilik tanah untuk melepaskan haknya secara sukarela;
2) Pencabutan hak: dalam hal pemilik tdk bersedia secara sukarela
melepaskan haknya, negara mencabut hak secara paksa (diatur
dlm UU 20/1961 tentang pencabutan hak atas tanah);
3) Secara langsung, melalui jual beli
❖ UU 2/2012 tdk menyinggung mengenai pencabutan hak, dan tdk
menyebut tentang UU 20/1961. Namun ketentuan tentang konsinyasi
(penitipan ganti kerugian di pengadilan) secara implisit
memberlakukan juga lembaga pencabutan hak atas tanah (lihat
ketentuan psl 42 UU 2/2012).
2. Kepentingan Umum
a.Kepentingan umum adalah: (psl 1 dan psl 11 UU 2/2012)
• kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat;
• yang hrs diwujudkan oleh pemerintah;
• digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
• Tanahnya selanjutnya dimiliki oleh pemerintah
b. meliputi/berupa 18 kegiatan (psl 10) (dirumuskan secara limitatif)
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan
bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk
masyarakat
berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
❖ Menurut Michael G. Kitay, dari berbagai praktek di
berbagai negara, kepentingan umum dimaknai dengan
memberikan pengertian serta kriteria sebagai pedoman
umum (general guide) dan atau disertai daftar kegiatan
yang termasuk dalam kategori untuk kepentingan umum
(list provision).
❖ Konsep kepentingan umum memang sulit untuk
didefinisikan secara memuaskan. Praktek berbagai negara
adalah dgn merumuskan kriteria sebagai pedoman umum
dan menyediakan daftar kegiatan.
❖ UU 2/2012 menggunakan pendekatan campuran dgn
menyediakan general guide dan list provision.
3. Pihak yang berhak:
Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan
tanah;
4. Objek pengadaan tanah adalah tanah (=permukaan bumi), ruang atas tanah dan
bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau
lainnya yang dapat dinilai.
5. Hak atas tanah: hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA dan hak lain
yang akan ditetapkan dengan undang-undang;
6. Konsultasi Publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antar pihak
yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam
perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum;
7. Ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak
dalam proses pengadaan tanah. (UU tdk menjelaskan lebih lanjut pengertian layak
dan adil)
Ganti Kerugian
Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan
langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila
berhalangan, Pihak yang Berhak karena hukum dapat
memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima
kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak
atas Ganti Kerugian.

Yang berhak antara lain:


a. pemegang hak atas tanah;
b. pemegang hak pengelolaan;
c. nadzir, untuk tanah wakaf;
d. pemilik tanah bekas milik adat;
e. masyarakat hukum adat;
f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik;
g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
h. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan
dengan tanah.
Dalam hal ganti kerugian untuk Pemegang Hak atas Tanah:
▪ Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya,
Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai, atas
bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau
dipunyainya sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak
milik atau hak pengelolaan.
▪ Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti,
permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
▪ Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai
tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih
menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai
tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau
memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan.
▪ Yang dimaksud dengan "pemegang dasar penguasaan atas tanah" adalah pihak yang
memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan
adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya
pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta
jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertifikat, dan pemegang surat izin
menghuni.
▪ UntukBangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau
tidak dipunyai dengan Hak atas Tanah, Ganti Kerugian diberikan kepada pemilik
bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
5. Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan yang
melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik
penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan
untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah.

Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dilakukan bidang per bidang tanah,
meliputi:
a. tanah;
b. ruang atas tanah dan bawah tanah;
c. bangunan;
d. tanaman;
e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f. kerugian lain yang dapat dinilai.

Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman
penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26.

Besarnya nilai Ganti Kerugian tsb disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk
kemudian dijadikan dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian.
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam
bentuk:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. permukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah
pihak.
TAHAPAN PENGADAAN TANAH
1. Perencanaan (Instansi & pemerintah
daerah)

2. Persiapan (Pemprov/instansi
penetapan lokasi
Gubernur)

3. Pelaksanaan (BPN RI)

4. Penyerahan hasil (BPN RI)


SKEMA PROSES PENGADAAN TANAH
PERENCANAAN PERSIAPAN

Instansi Yang Memerlukan


Instansi Yang Memerlukan Tanah
Tanah & Pemerintah Provinsi :
(mengajukan dokumen2) :
Pendataan awal Lokasi
Pengumpulan data awal pihak Pemberitahuan
DOKUMEN PERENCANAAN yang berhak & obyek Kepada masyarakat di lokasi
a. MAKSUD DAN TUJUAN pengadaan tanah (30 hk) pembangunan
RENCANA PEMBANGUNAN;
b. KESESUAIAN DENGAN RTRW,
RENC.PEMB.NAS & DAERAH Konsultasi Publik Konsultasi Publik Ulang
c. LETAK TANAH (30 hk)
d. LUAS YANG DIBUTUHKAN Kesepakatan lokasi rencana
e. GAMBARAN UMUM pembangunan dari pihak yang
STATUS TANAH berhak (60 hari kerja/hk)
Ya
f. PERKIRAAN WAKTU Sepakat
PELAKSANAAN PENG. TANAH
g. PERKIRAAN WAKTU Tidak
Sepakat Tidak
PELAKS. PEMBANGUNAN
h. PERKIRAAN NILAI TANAH Tim Kajian
melakukan kajian keberatan
i. RENCANA PENGANGGARAN Berita Acara masyarakat (14 hk)
Kesepakatan

Ditolak
Pemerintah Provinsi Penetapan Keberatan
Lokasi
Diterima

Pindah Lokasi
PELAKSANAAN PENYERAHAN HASIL

Penetapan Lokasi
Lembaga Pertanahan
Lembaga Pertanahan
Verifikasi&perbaika
n data
Hasil
(14 hk)
Inventarisasi&Identifikasi Pengadaan
(30 hk) pengumuman Tanah
(14 hk)
Keberatan

Penilai Penilaian
Independen Ganti Rugi Instansi yang
Memerlukan Tanah

Tdk setuju
Lembaga Musyawarah Pengadilan Negeri
Pertanahan (30 hK) (30 hk)
(14 hk) Pelaksanaan
dan Pihak Pembangunan
Yang Berhak
Mahkamah Agung
(30 hk)
Lembaga
Pertanahan
Pendaftaran Tanah
Jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan memerlukan :

1. tersedianya perangkat hukum tertulis, yang


lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara
konsisten;
2. penyelenggaraan pendaftaran tanah yang
efektif.
PENDAFTARAN TANAH
1. PENDAFTARAN TANAH SEBAGAI LEGAL CADASTRE
(RECHTSKADASTER)
ADALAH PENDAFTARAN TANAH DALAM RANGKA
MEMBERIKAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM.

2. PENDAFTARAN TANAH SEBAGAI FISCAL CADASTRE


ADALAH PENDAFTARAN TANAH DALAM RANGKA
KEPERLUAN PEMUNGUTAN PAJAK.
PENDAFTARAN TANAH
SEBAGAI FISCAL CADASTRE
Sampai tahun 1961 :
1. untuk tanah-tanah hak barat: Verponding Eropa
2. untuk tanah-tanah hak milik adat di dalam kota:
Verponding Indonesia
3. untuk tanah-tanah hak milik adat di luar kota:
Landrente/Pajak Bumi

• Dasar Penentuan obyek : STATUS TANAH


• Wajib pajak : PEMEGANG HAK
atau PEMILIK
DASAR HUKUM

1. PASAL 19; psl 23, 32, dan 38 UUPA


2. PP NO. 24 TAHUN 1997 pengganti PP NO.
10 TAHUN 1961 tentang PENDAFTARAN
TANAH;
3. PMNA/KABPN NO. 3 TAHUN 1997 tentang
KETENTUAN PELAKSANAAN PP NO. 24
TAHUN 1997 tentang PENDAFTARAN
TANAH.
Pasal 19 UUPA
(1) Utk menjamin kepastian hk oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wil. RI, yang diatur dgn peraturan
pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut meliputi:
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah
b. pendaftaran HAT dan peralihan hak tersebut
c. pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat
(3) pendaftaran tanah diselenggarakan dgn mengingat keadaan
negara dan masy , keperluan lalin sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya
(4) dalam peraturan pemerintah diatur biaya, dengan ketentuan
rakyat yang tdk mampu dibebaskan dari pembayaran biaya
tersebut
PENGERTIAN PT

Adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan
dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti hak-haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
(Pasal 1 PP No. 24 Tahun 1997)
TUJUAN PENDAFTARAN TANAH
1. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,
satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan;
2. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan
mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan suatu perbuatan hukum mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang
sudah terdaftar;
3. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
(Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997)
Tapi, ada satu tujuan lagi:

Memajukan land market, supaya tanah bisa menjadi “komoditas”


dalam pasar tanah (cf. Hernando de Soto, The Mystery of Capital:
Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else.
Basic Books, 2000).

dormant capital/dead capital


However, due to its informality this capital is too unsure to be used
as collateral for generating more capital to be invested in the
economy as a whole. To be able to do that the properties will have
to be formalized, or as de Soto also calls it ‘paperized’.
OBYEK PENDAFTARAN TANAH

1. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak


guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;
2. tanah hak pengelolaan;
3. tanah wakaf;
4. hak milik atas satuan rumah susun;
5. hak tanggungan;
6. tanah Negara.
(Pasal 9 PP No 24 Tahun 1997)

Ditambah
7. “hak komunal (Permen ATR 10/2019)
Asas Pendaftaran Tanah
(Pasal 2 PP No 24/1997)
1. SEDERHANA : ketentuan dan prosedur mudah dipahami
2. AMAN : diselenggarakan secara teliti dan cermat shg
hasilnya dpt menjamin kepastian hukum
3. TERJANGKAU: terjangkau oleh pihak yang memerlukan
4. MUTAKHIR: kelengkapan yang memadai dlm
pelaksanaannya dan kesinambungan dlm pemeliharaan
datanya
5. TERBUKA ; masyarakat dapat memperoleh keterangan
mengenai data yang benar setiap saat.
PENYELENGGARA DAN PELAKSANA PENDAFTARAN
TANAH

A. PENYELENGGARA PENDAFTARAN TANAH


Badan Pertanahan Nasional

B. PELAKSANA PENDAFTARAN TANAH


a. Kepala Kantor Pertanahan
b. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat
lain yang ditugaskan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP No. 24
Tahun 1997
SATUAN WILAYAH TATA USAHA
PENDAFTARAN TANAH
1. untuk hak milik, hak guna bangunan, hak
pakai, tanah wakaf dan hak milik atas satuan
rumah susun adalah desa/kelurahan;
2. untuk hak guna usaha, hak pengelolaan, hak
tanggungan dan tanah Negara adalah
kabupaten/Kotamadya
PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH

I. PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI


(Initial Registration)

II. PEMELIHARAAN DATA


PENDAFTARAN TANAH
(Maintenance)
PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI

Pengertian
Kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar menurut PP
No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997.

Cara
1.Pendaftaran tanah secara sistematik;
2.Pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sistematik

adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk


pertama kali yang dilakukan serentak yang
meliputi semua obyek pendaftaran tanah
yang belum didaftar dalam wilayah atau
bagian wilayah suatu desa/Kelurahan.
Pendaftaran tanah secara sporadik

adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk


pertama kali mengenai satu atau beberapa
obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau
bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara
individual atau massal.
Kegiatan pendaftaran tanah pertama kali meliputi:

1. pengumpulan dan pengolahan data fisik;


2. pengumpulan dan pengolahan data yuridis
serta pembukuannya;
3. penerbitan sertipikat;
4. penyajian data fisik dan data yuridis;
5. penyimpanan dalam daftar umum dan
dokumen.
PENG & PENGOLAHAN PEMB. PETA PENETAPAN
DATA FISIK DASAR PEND BATAS TANAH

PEMB PEMB. DAFT. PENGUKURAN,


S.UKUR TANAH PEMETAAN BID.
TANAH DAN
PEMB. PETA
PENDAFTARAN
PEMB. HAK DAN
PEMBUKUANNYA HAK BARU

PEMBUKTIAN HAK LAMA/KONVERSI :


1. BUKTI TERTULIS
2. KET. SAKSI
3. PERNYATAAN YBS

PEMBUKUAN BK TANAH DATA FISIK


YURIDIS

PENERBITAN SERTIF. BARU/PERTAMA


SERTIFIKAT
SERTIF. PENGGANTI RUSAK

HILANG

PENYAJIAN DATA TUPT DAFTAR UMUM

PENYIMPANAN
DAFT. UMUM & DISIMPAN DI KANTAH
DOKUMEN
PEMELIHARAAN DATA PENDAFTARAN TANAH

Adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk


menyesuaikan data fisik dan data yuridis
dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar
nama, surat ukur dan buku tanah dan
sertipikat dengan perubahan-perubahan yang
terjadi kemudian.
PEMELIHARAAN DATA
A. Pembukuan perubahan yang terjadi :
1. Perubahan haknya
a. Pembebanan Hak Tanggungan
b. Pembebanan Hak Guna Bangunan/Hak pakai diatas Hak Milik
2. Perubahan Subyeknya
a. Karena terjadi pemindahan hak : jual beli tanah, hibah, inbreng,
tukar menukar dll.
b. Pemindahan hak karena lelang
c. Pewarisan karena hukum
3. Perubahan Tanahnya, karena:
- Pemecahan, pemisahan dan penggabungan
B. Peralihan hak karena penggabungan, konsolidasi
C. Hapusnya hak yang membebani hak atas tanah
D. Perubahan data karena putusan hakim
SISTEM PENDAFTARAN TANAH

Ada 2 macam sistem pendaftaran tanah:


1. Sistem Pendaftaran Akta (Registration of deeds/ROD)
2. Sistem Pendaftaran hak (Registration of titles/ROT)

Sumber data :
Baik untuk pemberian hak, pemindahan hak dan
pembebanan hak sumber data yuridis yang dipergunakan
adalah AKTA baik untuk ROD atau ROT karena di dalam akta
tersebut tercantum dengan jelas mengenai perbuatan hukum
yang dilakukan, hak dan penerima haknya.
SISTEM PENDAFTARAN TANAH

AKTA HAK

• Akta yang didaftar • Penciptaan hak baru dan


perbuatan-perbuatan hukum
yang menimbulkan perubahan
kemudian (Yang harus dibuktikan
dengan akta)

• Pejabat pertanahan bersikap • Pejabat pertanahan bersikap


pasif aktif

• Tanda bukti : Akta • Tanda bukti : Buku Tanah dan


sertipikat
lanjutan
AKTA HAK

• Setiap kali terjadi perubahan • Setiap kali terjadi perubahan,


wajib dibuatkan akta sebagai tidak dibuatkan buku tanah baru
buktinya dan cacat hukum melainkan dilakukan
pada suatu akta bisa pencatatannya pada ruang mutasi
mengakibatkan tidak sahnya yang disediakan pada buku tanah
perbuatan hukum yang yang bersangkutan
dibuktikan dengan akta yang
dibuat kemudian
Sistem Pendaftaran Tanah yang dipergunakan
oleh Indonesia adalah:

SISTEM PENDAFTARAN HAK

Dasar Hukum :
Pasal 29 dan Pasal 31 PP No. 24/1997

Adanya :
a. Buku Tanah dan Surat Ukur
b. Sertipikat sebagai tanda bukti hak
SISTEM PUBLIKASI

YANG DIPERMASALAHKAN ADALAH :

1. SEJAUH MANA ORANG BOLEH MEMPERCAYAI KEBENARAN DATA YANG


DISAJIKAN ?

2. SEJAUH MANA HUKUM MELINDUNGI KEPENTINGAN ORANG YANG


MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM MENGENAI TANAH YANG HAKNYA
SUDAH DIDAFTAR, BERDASARKAN DATA YANG DISAJIKAN DI KANTOR
PERTANAHAN ATAU YANG TERCANTUM DALAM SURAT TANDA BUKTI
HAK YANG DITERBITKAN ATAU DIDAFTAR OLEH PEJABAT PERTANAHAN,
JIKA KEMUDIAN TERNYATA DATA TERSEBUT TIDAK BENAR?
SISTEM PUBLIKASI
POSITIF NEGATIF

• Pendaftaran atau pencatatan • Sahnya perbuatan hukum yang


nama seseorang dalam buku dilakukan yang menentukan
tanah sebagai pemegang haklah berpindahnya hak kepada
yang membuat seseorang pembeli
menjadi pemegang hak yang
bersangkutan, bukan perbuatan
pemindahan hak yang dilakukan
(Title by registration, The
register is everything)
lanjutan

POSITIF NEGATIF

• Dengan didaftarkannya namanya • Pendaftaran tidak membuat


sebagi pemegang hak dalam buku seseorang yang memperoleh
tanah maka orang yang namanya tanah dari pihak yang tidak
terdaftar tersebut mempunyai hak berhak menjadi pemegang hak
yang tidak dapat diganggu gugat yang baru
(indefeasible title) walaupun jika Berlaku asas nemo plus juris:
kemudian terbukti bahwa yang orang tidak dapat
terdaftar sebagai pemegang hak menyerahkan atau
tersebut bukan pemegang hak memindahkan hak melebihi
yang bersangkutan apa yang dia sendiri punyai
lanjutan

POSITIF NEGATIF

• Negara menjamin data yang • Negara tidak menjamin data


disajikan, karena data yang yang disajikan karena data yang
disajikan dapat dipercaya disajikan dalam pendaftaran
kebenarannya dan daya tidak boleh begitu saja
mempunyai daya pembuktian dipercaya kebenarannya
yang mutlak
• kalau digunakan sistem
• Selalu menggunakan sistem pendaftaran akta sistem
pendaftaran hak publikasinya selalu negatif
lanjutan

NEGATIF
POSITIF
KELEMAHAN:
KELEMAHAN:
Biarpun sudah melakukan
Dgn selesai dilakukan pendaftaran pendaftaran, pembeli selalu
atas nama penerima hak, mengahdapi kemungkinan
pemegang hak yang sebenarnya gugatan dari orang yang dapat
menjadi kehilangan haknya karena membuktikan bahwa dialah
tidak dapat menuntut pembatalan pemegang hak yang sebenarnya.
perbuatan hukum tersebut (dlm
keadaan tertentu hanya bisa
menuntut ganti kerugian kpd
Negara)
SISTEM PUBLIKASI

Sistem publikasi yang digunakan :


Sistem negatif yang mengandung unsur positif

Alasan :
Karena menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dasar Hukum :
Pasal 19 ayat (2) huruf c, pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2),
pasal 38 ayat (2).
RECHTSVERWERKING

• KETENTUAN HUKUM YANG SUDAH ADA DALAM HUKUM


ADAT (tidak menciptakan ketentuan hukum yang baru -
penjelasan pasal 32 ayat 2 PP No. 24 Th. 1997- )

• DIKUATKAN DENGAN YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG:


1. Putusan tgl. 10-1-1957 no. 210/K/sip/1955
2. Putusan tgl. 24-9-1958 no. 329/K/Sip/1957
3. Putusan tgl. 26-11-1958 no. 361/K/Sip/1958
4. Putusan tgl. 7-3-1959 no. 7/K/Sip/1959
RECHTSVERWERKING
Adalah lampaunya waktu sebagai sebab
kehilangan hak atas tanah, kalau hak atas tanah
yang bersangkutan selama waktu yang lama
tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan
dikuasai oleh pihak lain melalui perolehan hak
dengan itikad baik
PASAL 32 PP NO. 24 TH. 1997

(1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak


yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan data yuridis
yang termuat didalamnya, sepanjang
mengenai data fisik dan data yuridis tersebut
sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
PASAL 32 PP NO. 24 TH. 1997
(2) Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan
sertipikat secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad
baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain
yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat
lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu
tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan
yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan
ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertipikat tersebut.
Dalam PP 24/1997 ada beberapa hal substantif yang dapat
dipahami sebagai tendensi untuk menuju sistem
pendaftaran tanah positif :

a. Itikad baik yang melatarbelakangi kepemilikan hak


atas tanah
b. Pemberlakukan azas kontradiktur delimitasi ; untuk
mendapatkan kepastian obyek hak atas tanah
c. Pemberlakuan lembaga pengumuman ; untuk
menjamin kebenaran subyek dan obyek hak atas
tanah yang terdaftar
d. Pemberlakuan jaminan untuk tidak dapat diganggu
gugat oleh pihak lain setelah 5 tahun sertipikat
diterbitkan (Rechtsverwerking)

You might also like