You are on page 1of 11

PENILAIAN PASIEN DENGAN POLIPOSIS HIDUNG MENGGUNAKAN

RASIO NEUTROFIL TERHADAP LIMFOSIT DAN RASIO EOSINOFIL

TERHADAP LIMFOSIT

ABSTRAK

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki tingkat rasio neutrofil

terhadap limfosit (NLR) dan tingkat rasio eosinofil terhadap limfosit (ELR) pada

poliposis hidung berulang dan non-berulang, dan mengidentifikasi bagaimana

NLR dan ELR menggambarkan status inflamasi dalam diagnosis spesifik ini

sebelum operasi.

Pasien dan Metode: Sebanyak 158 pasien (102 laki-laki, 56 perempuan; rata-rata

usia 29,40 ± 5,44 tahun; kisaran 14-48 tahun) dilibatkan dalam penelitian ini. Para

pasien dibagi menjadi dua kelompok: kelompok 1 mencakup 80 pasien poliposis

hidung berulang (44 laki-laki, 36 perempuan; rata-rata usia 30,0 ± 9,4 tahun;

kisaran 14-47 tahun) dan kelompok 2 mencakup 78 pasien poliposis hidung non-

berulang tanpa latar belakang alergi atau atopik (58 laki-laki, 20 perempuan; rata-

rata 28,8 usia ± 10,1 tahun; kisaran 17-48 tahun). Nilai-nilai NLR dan ELR untuk

setiap pasien dihitung dari hitung darah lengkap yang diambil sebelum operasi.

Nilai-nilai sel darah putih/leukosit, neutrofil, limfosit, eosinofil, NLR dan ELR

sebelum operasi dibandingkan untuk setiap kelompok, dan juga di antara kedua

kelompok.

Hasil: Nilai-nilai neutrofil, eosinofil, NLR dan ELR sebelum operasi untuk

kelompok 1 secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok 2 (masing-masing p

= 0,042, p = 0,013, p = 0,019, dan p = 0,0001).

1
Kesimpulan: Pengukuran rasio neutrofil terhadap limfosit dan ELR dapat

digunakan secara efektif pada pasien dengan poliposis hidung sebagai suatu

metode tambahan dalam memutuskan keperluan follow-up kekambuhan.

Kata kunci: Eosinofil; peradangan; limfosit; polip hidung; neutrofil.

Polip hidung adalah tonjolan mukosa edema jinak yang biasanya terjadi bilateral,

multipel dan dapat bergerak bebas. Lesi ini berkilau/mengkilap, lembut berwarna

pucat keabu-abuan dan semi translusen pada penampilannya. Frekuensi polip

hidung adalah sekitar 4-25% populasi. Polip hidung menyebabkan morbiditas

yang cukup besar meliputi sumbatan hidung, rhinorrhea dan anosmia. Etiologi dan

patofisiologi poliposis hidung masih sebagian besar tidak diketahui meskipun

pengetahuan yang signifikan telah diperoleh mengenai fisiologi hidung dan

poliposis hidung dengan kemajuan ilmiah di bidang biokimia, mikrobiologi, dan

imunologi. Secara histopatologi, pembengkakan mukosa yang disebabkan oleh

peradangan disebabkan oleh penebalan membran basal, pembentukan kelenjar

atipikal, hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel inflamasi dan edema subepitel.

Edema, yang terlihat pada polip hidung, adalah suatu peradangan

bukannya suatu edema yang disebabkan oleh mediator inflamasi, sitokin, molekul

adhesi, dan reseptor endothelial counter. Eosinofil adalah sel-sel inflamasi yang

paling sering terlihat. Alasan dari terjadinya eosinofilia mungkin karena

peningkatan migrasi dan perpanjangan masa hidup eosinofil.

Menurut penelitian-penelitian sebelumnya, secara keseluruhan status

inflamasi tubuh digambarkan oleh trombositosis, limfopenia perifer dan

neutrophilia. Rasio neutrofil terhadap limfosit (NLR) adalah suatu uji berbiaya

2
rendah, dapat direproduksi dan tersedia dengan mudah, yang telah diidentifikasi

sebagai sutu penanda inflamasi sistemik. Efek-efek merusak yang terintegrasi dari

limfopenia dan neutrophilia juga didefinisikan sebagai penanda inflamasi

sistemik. Hasil klinis yang buruk pada penyakit jantung dan beberapa keganasan

berkorelasi dengan peningkatan pada NLR.

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki apakah NLR dan rasio eosinofil

terhadap limfosit (ELR), sebagai suatu penanda inflamasi yang baru diusulkan,

akan membantu dalam menunjukkan reaksi sistemik yang sedang berlangsung dan

peradangan pada pasien dengan poliposis hidung.

PASIEN DAN METODE

Penelitian ini merupakan suatu penelitian retrospektif cross sectional, disetujui

oleh komisi etik penelitian klinis lokal pada 2013/12/25 dengan nomor pertemuan

2013/19 dan nomor keputusan 2013/371. Seratus lima puluh delapan pasien (102

laki-laki, 56 perempuan; rata-rata usia 29,40 ± 5,44 tahun; kisaran 14-48 tahun)

dilibatkan dalam penelitian ini sebagai populasi sampel, yang telah menjalani

operasi selama Oktober-Desember 2012, di klinik telinga hidung dan

tenggorokan. Seorang ahli bedah tunggal melakukan semua prosedur bedah

tersebut.

Semua kasus memiliki hitung darah lengkap (CBC) mereka sebelum

operasi dalam grafik mereka. Kasus-kasus yang luput untuk follow-up, atau tidak

memiliki hasil CBC pasca operasi tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Kriteria untuk mengeksklusikan subjek dari penelitian ini adalah sebagai

berikut: penyakit paru-paru kronis, hipotiroidisme, penyakit ginjal kronis, anomali

3
kraniofasial, cerebral palsy, malnutrisi, penyakit neuromuskuler, rhinitis alergi

kronis, keterbelakangan mental dan/atau fisik karena berbagai penyakit seperti

sindrom Down, cystic fibrosis, penyakit jantung, infeksi aktif, infeksi parasit,

berbagai kondisi atopik (yaitu rhinitis alergi, asma) atau riwayat keluarga alergi

atau atopi, penggunaan steroid sistemik baru-baru ini, termasuk steroid oral

sebelum operasi, dan merokok.

Pasien dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan diagnosis mereka -

kelompok 1, poliposis hidung berulang (44 laki-laki, 36 perempuan; rata-rata usia

30,0 ± 9,4; kisaran 14-47 tahun) dan kelompok 2, poliposis hidung non-berulang

tanpa latar belakang alergi atau atopik (58 laki-laki , 20 perempuan; rata-rata usia

28,8 ± 10,1; kisaran 17-48 tahun). Pasien yang tidak mengalami polip pada tahun

pasca operasi dimasukkan dalam kelompok non-berulang; mereka yang

mengalami poliposis setidaknya sekali dimasukkan dalam kelompok berulang.

Diagnosis poliposis hidung menurut konsensus European position paper

on rhinosinusitis and nasal polyps tergantung pada kehadiran dua atau lebih gejala

hidung salah satunya harus berupa penyumbatan hidung atau discharge/sekret

hidung, dan/atau pengurangan/kehilangan indra penciuman/anosmia, dan/atau

nyeri wajah selama lebih dari 12 minggu, dan adanya polip hidung yang dilihat

dengan endoskopi hidung atau perubahan mukosa dalam kompleks ostiomeatal

dan/atau sinus paranasal yang terlihat dengan computed tomography (CT) scan.

Pasien-pasien ini telah mendatangi ke klinik kami dengan keluhan

penyumbatan hidung, penurunan sensasi bau, sakit kepala, dan pernapasan mulut

terbuka saat tidur. Pasien-pasien ini didiagnosis dengan poliposis hidung berulang

4
dan non-berulang melalui pemeriksaan endoskopi dan tomografi sinus paranasal;

dan operasi sinus endoskopi fungsional telah dilakukan pada pasien ini. Pada

pemeriksaan kontrol setahun setelah operasi dari Oktober-Desember 2012, pasien

diperiksa dengan endoskopi dan tomografi sinus paranasal untuk melihat

kekambuhan poliposis.

Dalam semua kasus, nilai-nilai jumlah sel darah putih (WBC), neutrofil,

eosinofil dan limfosit, NLR dan ELR dicatat dari perbedaan CBC sebelum operasi

mereka. Nilai-nilai WBC, neutrofil, eosinofil, limfosit, NLR dan ELR sebelum

operasi dibandingkan pada masing-masing kelompok dan antara kedua kelompok.

Menghitung NLR dan ELR

Sampel darah diperoleh dari semua pasien untuk CBC sebelum operasi.

CBC memiliki hitung jenis/diferensial otomatis, yang diukur dengan Sysmex XT

2000i (Sysmex Corporation, Kobe, Jepang), dan menunjukkan hitung WBC,

neutrofil, eosinofil dan limfosit total per mikroliter. NLR dihitung untuk setiap

pasien dua kali, hanya dengan membagi jumlah neutrofil dengan jumlah limfosit:

NLR = neutrofil (10 pangkat 3 mcL) / limfosit (10 pangkat 3 mcL). ELR dihitung

untuk setiap pasien dua kali, hanya dengan membagi jumlah eosinofil dengan

jumlah limfosit: ELR = eosinofil (10 pangkat 3 mcL) / limfosit (10 pangkat 3

mcL).

Analisis statistik

Program NCSS (Number Cruncher Statistical System) 2007 & PASS

(Power Analysis and Sample Size) 2008 Statistical Software (Statistical Software,

Utah, USA) digunakan untuk mengevaluasi data yang dikumpulkan dalam

5
penelitian ini. Selain menggunakan statistik deskriptif (rata-rata, standar deviasi)

dalam mengevaluasi data, uji T dua sampel digunakan untuk membandingkan data

kuantitatif, untuk membandingkan parameter yang terdistribusi secara normal

antara kelompok-kelompok. Tingkat signifikansi ditetapkan pada p <0,001 dan p

<0,05.

HASIL

Karakteristik demografi pasien ditunjukkan pada Tabel 1. Tidak ada perbedaan

yang signifikan secara statistik antara usia rata-rata kelompok-kelompok (p>

0,05).

Ada perbedaan yang signifikan secara statistik pengukuran neutrofil,

eosinofil, NLR dan ELR sebelum operasi antara kelompok-kelompok (p <0,05).

Uji T dua sampel menunjukkan bahwa kadar neutrofil, eosinofil, NLR dan ELR

sebelum operasi pada pasien dari kelompok 1 secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan pasien pada kelompok 2 (masing-masing p = 0,042, p = 0,013, p =

0,019, dan p = 0,0001). Di sisi lain, kadar WBC dan limfosit sebelum operasi dari

kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p = 0,32, p =

0,28) (Tabel 2).

Perubahan pada kadar NLR dan ELR sebelum operasi pada kelompok 1

secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan pada kelompok 2 (Gambar 1,

2).

PEMBAHASAN

Poliposis hidung di hidung atau sinus paranasal dikarakteristikkan dengan

peradangan kronis yang menyebabkan edema stroma. Meskipun frekuensi

6
poliposis hidung di Amerika dan Eropa adalah sekitar 4,3%, namun penyebab

kondisi tersebut belum teridentifikasi. Telah dikemukakan bahwa banyak faktor

eksogen dan endogen yang menghasilkan pembentukan polip hidung termasuk

infeksi bakteri dan virus.

Meskipun prevalensi polip hidung adalah 1-4%, sebuah penelitian otopsi

endoskopi telah menunjukkan bahwa nilai ini dapat meningkatkan hingga 32%.

Poliposis hidung mengenai orang dewasa dalam sebagian besar kasus dan

umumnya diamati terjadi pada subyek yang berusia lebih tua dari 20 tahun.

Meskipun poliposis hidung diamati tidak sering terjadi pada anak-anak di bawah

usia 10 tahun, gangguan silia seperti cystic fibrosis dapat dipertimbangkan ketika

kondisi tersebut diamati terjadi pada kelompok usia ini. Satu dari tiga pasien

dengan polip hidung juga didiagnosis dengan asma, tetapi hanya 7% pasien asma

yang didiagnosis dengan polip hidung.

Sebuah penelitian mendeteksi 60-70% kehadiran Staphylococcus aureus di

sampel musin yang diperoleh dari pasien yang didiagnosis dengan poliposis

hidung. Eksotoksin staphylococcus dan staphyloccal menyebabkan hiperplasia

klonal dalam limfosit dengan menunjukkan aktivitas super antigen, dan

imunoglobulin E (IgE) meningkat dalam serum terhadap toksin-toksin ini. Secara

khusus, peningkatan sel T helper tipe 1 (Th-1) dan sel T helper tipe 2 (Th-2),

sitokin-sitokin yang diproduksi oleh limfosit menyebabkan kerusakan mukosa

hidung dan mereka meningkatkan peradangan poliposis hidung. Baru-baru ini

telah difokuskan bahwa NLR merupakan suatu prediktor independen untuk

mortalitas pada pasien dengan gagal jantung akut. NLR didefinisikan sebagai

7
suatu penanda potensial baru untuk menentukan peradangan pada gangguan

jantung dan non-jantung. NLR diciptakan sebagai suatu penanda untuk

lama/waktu mortalitas setelah penyakit ginjal kronis dan intervensi koroner

perkutan pada pasien;. namun, lebih banyak NLR dikaitkan dengan tingkat

survival/kelangsungan hidup yang lebih rendah pada pasien yang memiliki bypass

grafting arteri koroner. Menurut beberapa penelitian yang berfokus pada survival

kanker, NLR dapat menjadi faktor penting yang menentukan tingkat survival

penyakit tertentu dan tingkat survival semua pasien kanker. Inflamasi sistemik

juga ditemukan menjadi penentu utama lainnya dalam survival pasien kanker. Hal

ini masih menjadi pertanyaan perdebatan apakah inflamasi sistemik terkait dengan

keganasan itu sendiri atau disebabkan oleh salah satu kondisi komorbiditas yang

menyertainya. Menurut penelitian-penelitain terbaru yang mencari suatu

biomarker yang handal, telah diusulkan bahwa survival umumnya difokuskan

pada inflamasi sistemik.

NLR dapat secara sederhana dihitung dari jumlah limfosit dan neutrofil

dari pengukuran CBC rutin tanpa biaya tambahan tidak seperti biomarker

peradangan lainnya seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin 6 (IL-

6), IL-1α dan sitokin inflamasi lainnya di mana jumlah limfosit dikaitkan dengan

stres dan kondisi nutrisi/gizi tubuh, sedangkan jumlah neutrofil menunjukkan

status inflamasi. Beberapa penelitian menerima NLR sebagai suatu biomarker

yang dapat diandalkan dalam memprediksi outcome-outcome klinis yang

merugikan dalam onkologi dan kardiologi (gagal jantung, sindrom koroner akut

dan prosedur revaskularisasi koroner). Selain itu, NLR juga merupakan suatu

8
biomarker yang signifikan untuk beberapa penyakit lain seperti Alzheimer yang

disertai peradangan/inflamasi sistemik.

Sel epitel polip hidung menghasilkan berbagai sitokin inflamasi dan

hormon pertumbuhan termasuk IL-8, granulocyte-macrophage colony stimulating

factor (GM-CSF), IL-6 dan IL-1β, tumor necrosis factor TNF-α dan vascular

endothelial growth factor (VEGF). Sitokin-sitokin ini menyebabkan eosinofilia

dengan meningkatkan sirkulasi eosinofil perifer. Mediator-mediator, yang

disembunyikan oleh eosinofil, menghasilkan peningkatan waktu hidup eosinofilia

dan agregasi eosinofil di lokasi yang sama.

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, telah terdeteksi bahwa inhibitor

protein kinase C tidak terdapat pada poliposis hidung yang mengatur apoptosis

eosinofil. Protein kinase C menyebabkan infiltrasi eosinofil dengan menghalangi

apoptosis eosinofil. Oleh karena itu, protein kinase C meningkatkan sintesis

kolagen yang membentuk matriks selain mengakibatkan peradangan eosinofil dan

memberikan kontribusi untuk pengembangan polip. Vogel dkk. memeriksa nilai

serum IgE total dan eosinofil pada 39 pasien dan 11 orang sehat, menunjukkan

bahwa nilai serum IgE total dan eosinofil lebih tinggi pada kelompok pasien

dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat, dan bahwa perbedaan antara

kedua kelompok ini secara statistik signifikan. Di Lorenzo dkk. menunjukkan

dalam penelitian mereka bahwa nilai eosinofil serum pada pasien dengan

poliposis hidung secara signifikan lebih tinggi daripada orang yang sehat.

Matsuwaki dkk. menyatakan bahwa jumlah eosinofil darah perifer yang tinggi

dikaitkan dengan rekurensi rinosinusitis kronis. Dalam penelitian kami, kami

9
mengamati bahwa nilai eosinofil serum dan ELR secara signifikan lebih tinggi

pada pasien poliposis hidung berulang dibandingkan dengan kelompok poliposis

hidung non-berulang (Tabel 2).

Steroid adalah obat yang dikenal paling efektif untuk polip hidung. Steroid

topikal atau sistemik memblokir sinyal peradangan yang akan diaktifkan oleh

mediator-mediator vasoaktif. Steroid menurunkan eosinofilia dengan mengurangi

sintesis GMCSF dan meningkatkan apoptosis eosinofil. Pengobatan poliposis

hidung memerlukan waktu yang lama, sehingga pasien perlu diamati dan diobati

dengan ketat. Rekurensi poliposis terlihat sering terjadi setelah pengobatan medis

atau operasi. Untuk alasan ini, kami bertujuan sini untuk menunjukkan hubungan

antara NLR dan ELR pada poliposis hidung berulang.

Kami adalah suatu penelitian pendahuluan yang menjelaskan hubungan

antara NLR dan ELR dan poliposis hidung berulang. Keterbatasan utama dari

penelitian kami adalah kurangnya protein C-reaktif dan penanda peradangan yang

sudah dikenal lainnya sebagai suatu referensi untuk perbandingan. Penelitian-

penelitian yang lebih besar yang menggabungkan penanda inflamasi akan

menjelaskan tambahan tentang hal ini. Nilai NLR pasca operasi akan berharga

untuk menentukan peran poliposis hidung dalam inflamasi sistemik.

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa peningkatan NLR dan ELR

sebagai suatu konsekuensi dari respon inflamasi sistemik pada poliposis hidung

berulang. Kami percaya penelitian ini adalah yang pertama dalam literatur yang

mengungkapkan nilai yang signifikan dari NLR dan ELR dalam kasus poliposis

hidung berulang.

10
Kami menunjukkan NLR dan ELR lebih tinggi pada pasien dengan

poliposis hidung berulang bila dibandingkan dengan poliposis hidung non-

berulang. Sepengetahuan kami, ini adalah penelitian pertama yang menunjukkan

hubungan antara kadar NLR dan ELR yang tinggi dan polyposis hidung berulang.

Rasio neutrofil terhadap limfosit dan perhitungan ELR dapat digunakan sebagai

alat yang mudah dan tersedia tanpa biaya tambahan dan dapat berhasil digunakan

dalam kasus-kasus poliposis hidung berulang untuk menentukan pemilihan waktu

intervensi bedah dan untuk follow-up kekambuhan pasca operasi. Penelitian lebih

maju diperlukan untuk memperjelas sepenuhnya mekanisme NLR dan ELR pada

poliposis hidung berulang.

11

You might also like