You are on page 1of 10

EKONOMI ISLAM DI INDONESIA DALAM MENYIKAPI TANTANGAN ARUS GLOBALISASI

Nurul Ain Safrizon NIM. 2330401055

Email : nurul05ain@gmail.com

PENDAHULUAN

Perbankan syariah merupakan sistem perbankan yang menjunjung tinggi dengan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap
transaksinya dan mengedepankan unsur maslahat. Keberadaan bank syariah dilegalisasi oleh Undang-undang Nomor 07
Tahun 1992 sebagai jenis bank yang boleh beroperasi di Indonesia, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 sebagai petunjuk operasional atau menjelaskan prinsip bagi hasil yang ada dalam
Undang-undang Nomor 07 Tahun 1992.

Legalisasi bank syariah juga didukung oleh lembaga Majelis Ulama Indonesia, Sjahdaini (2009) penelitiannya
menyebutkan bahwa Fatwa MUI No. 27 tahun 1990 secara jelas menyatakan bahwa bunga bank adalah haram. Sebagai
bank dengan prinsip syariah yang beroperasi dinegara yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam, bank syariah
seharusnya bisa berkembang lebih pesat dan mendominasi pangsa pasar perbankan nasional.

Kuartal pertama tahun 2021 perbankan syariah hanya mampu meraup sekitar 9,96% dari total keseluruhan
nasabah perbankan nasional, selebihnya masih dikuasai oleh bank konvensional.

Faktor keterbatasan kemampuan SDM pengelola bank syariah, minimnya sosialisasi dan edukasi tentang visi dan
praktek perbankan syariah kepada masyarakat umum yang menjadikan kurangnya pemahaman masyarakat tentang
perbankan syariah dan rendahnya minat untuk melakukan transaksi melalui bank syariah, serta keterbatasan layanan
terhadap nasabah oleh bank-bank syariah menjadi hambatan bagi bank syariah. Untuk itu diperlukan adanya terobosan-
terobosan yang dapat menjadi solusi dan membantu perkembangan perbankan syariah di era globalisasi sekarang ini.

Globalisasi ekonomi sebenarnya sudah terjadi sejak lama, masa perdagangan rempahrempah, masa tanaman
paksa (cultuur stelsel) dan masa dimana modal swasta Belanda zaman kolonial dengan buruh paksa. Pada ketiga manufaktur.
betapapun sederhananya, telah berlangsung lama.

Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem
ekonomi internasional, Seperti pada waktu yang lalu, untuk mengatasi krisis, perusahaan multinasional mencari pasar baru
dan memaksimalkan keuntungan dengan mengekspor modal dan reorganisasi struktur produksi. Pada tahun 1950 an,
investasi asing memusatkan kegiatan penggalian sumber alam dan bahan mentah untuk pabrik-pabriknya. Tiga puluh tahun
terakhir ini, perusahaan manufaktur menyebar keseluruh dunia. Dengan pembagian daerah operasi melampaui batas-batas
negara, perusahaan-perusahaan tak lagi memproduksi seluruh produk disatu negara saja. Manajemen diberbagai benua,
penugasan personel tidak lagi terikat pada bahasa, batas negara dan kewarganegaraan.

Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk export import dan penanaman modal. Kini transaksi
menjadi beraneka ragam dan rumit seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, “turnkey project,” alih
teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas financial, dan lain-lain. Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling
ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati batasbatas negara.
meningkatkan intensitas persaingan. Gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi teknologi. Dampak
dari globalisasi sangat kompleks, meliputi liberalisasi dalam sistem perdagangan dunia, peningkatan mobilitas tenaga kerja
dan modal, pembentukan blok perdagangan dan penyebarluasan teknologi serta komunikasi.7 Kwakwa menyatakan bahwa
efek terpenting globalisasi adalah munculnya pergeseran dari sistem ekonomi nasional yang berbedabeda, ke arah ekonomi
internasional dimana produksi menjadi mendunia dan modal serta uang bergerak secara cepat dan tidak terelakkan,
melintasi batas Negara-negara. Globalisasi yang terjadi pada perusahaan dan pasar juga menggerogoti hukum nasional, dan
dalam kasus tertentu dapat menyebabkan konflik antara kebijakan nasional dan kepentingan internasional. Sektor privat di
wilayah internasional (diwakili oleh perusahaan-perusahaan transnasional) memainkan peran yang semakin signifikan
dalam penentuan kebijakan ekonomi baik di tingkat nasional maupun global. Santos menyatakan bahwa besarnya arus
import di negara-negara maju, serta aliran investasi asing (Foreign Direct Investment) ke negara-negara tersebut telah
mengakibatkan peningkatan ketidakmerataan pendapatan, kehilangan pekerjaan dan rendahnya upah bagi pekerja kurang
terampil. Sedangkan di negaranegara berkembang, globalisasi memberikan legitimasi bagi internasional untuk menekan
Negara berkembang agar melakukan proses penyesuaian dan restrukturisasi kebijakan dan dengan demikian menerima
hegemoni kapital internasional dalam wilayah Negara.8 Kekhawatiran pada dampak globalisasi ekonomi tersebut,telah
memicu para aktivis dunia melakukan aksi penentangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan, karena
dikhawatirkan akan memperbesar kesenjangan Dampak dari globalisasi sangat kompleks, meliputi liberalisasi dalam sistem
perdagangan dunia, peningkatan mobilitas tenaga kerja dan modal, pembentukan blok perdagangan dan penyebarluasan
teknologi serta komunikasi.

Kwakwa menyatakan bahwa efek terpenting globalisasi adalah munculnya pergeseran dari sistem ekonomi
nasional yang berbedabeda, ke arah ekonomi internasional dimana produksi menjadi mendunia dan modal serta uang
bergerak secara cepat dan tidak terelakkan, melintasi batas Negara-negara. Globalisasi yang terjadi pada perusahaan dan
pasar juga menggerogoti hukum nasional, dan dalam kasus tertentu dapat menyebabkan konflik antara kebijakan nasional
dan kepentingan internasional. Sektor privat di wilayah internasional (diwakili oleh perusahaan-perusahaan transnasional)
memainkan peran yang semakin signifikan dalam penentuan kebijakan ekonomi baik di tingkat nasional maupun global.

Santos menyatakan bahwa besarnya arus import di negara-negara maju, serta aliran investasi asing (Foreign Direct
Investment) ke negara-negara tersebut telah mengakibatkan peningkatan ketidakmerataan pendapatan, kehilangan
pekerjaan dan rendahnya upah bagi pekerja kurang terampil. Sedangkan di negaranegara berkembang, globalisasi
memberikan legitimasi bagi internasional untuk menekan Negara berkembang agar melakukan proses penyesuaian dan
restrukturisasi kebijakan dan dengan demikian menerima hegemoni kapital internasional dalam wilayah Negara.

Kekhawatiran pada dampak globalisasi ekonomi tersebut,telah memicu para aktivis dunia melakukan aksi
penentangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan, karena dikhawatirkan akan memperbesar kesenjangan
ekonomi, yang justru menciptakan petaka kemanusiaan. Pada sisi lain, berbagai pihak berharap pula agar WTO yang
beranggotakan 147 negara, akan mampu menjaga kepentingan anggotanya dari negara-negara berkembang sebagaimana
ditegaskan dalam Putaran Doha, Qatar, tahun 2001.

Putaran Doha menekankan perdagangan dunia yang lebih berimbang dengan memberikan akses lebih besar
kepada negara-negara berkembang. Sebab jika perdagangan dunia berlangsung tidak seimbang, liberalisasi perdagangan
akan menciptakan malapetaka ekonomi bagi negara-negara berkembang. Malapetaka ekonomi yang dikhawatirkan itu
dapat saja terjadi, terutama karena kebanyakan negara berkembang saat ini belum siap menghadapi persaingan global.
Perhatian pemerintah Negara-negara berkembang saat ini masih banyak tersedot ke berbagai persoalan dan kesulitan
domestik. Kendatipun terdapat kekhawatiran bahwa liberalisasi perdagangan kurang lebih merupakan bentuk imperialisme
baru (neoimperialism), dalam arti bahwa keterlibatan negara-negara sedang berkembang dalam aktivitas perdagangan
bebas mengandung resiko yang sangat besar, namun keharusan ikutserta dalam dunia ekonomi global dan perdagangan
bebas merupakan sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan tanpa resiko terkucilkan dalam percaturan kehidupan dunia.
Sedangkan Negara-negara maju dapat memaksakan pendapatnya yang merugikan negara-negara berkembang, sehingga
muncul penilaian bahwa liberalisasi perdagangan tidak lebih merupakan bentuk penjajahan baru Negara-negara utara atas
negara-negara selatan.

Fenomena kebangkrutan perusahaan besar di Amerika Serikat membuktikan bahwa mereka hanya mengejar
keuntungan dengan menghalalkan segala cara. Kasus Enron dan Arthur Andersen, memanipulasi akuntansi laporan
keuangan untuk meningkatkan keuntungan, ternyata berdampak pada kehancuran raksasa tersebut.

Krisis ekonomi kapitalis telah terjadi berulangkali. Dari Rusia sampai ke Venezuela dalam kurun waktu 50 tahun
terakhir ini, menyebabkan penderitaan ekonomi, pendapatan menurun, kelaparan, kerusuhan, dan meningkatnya
kriminalitas. Bila diperhatikan visi ekonomi kapitalis ternyata lebih mengutamakan pemilik modal, memperlakukannya
sebagai motor penggerak, inisiator, leader dan otomatis akan menjadi penerima berkah. Di sisi lain, pekerja dan profesional
sebegai pelengkap penderita saja. Kapitalisme mengabaikan aspek transendental, moral dan ketuhanan. Dasar filosofi
rasionalisme sekuler inilah yang menyebabkan ketidakseimbangan yang berdampak pada kerusakan alam, kemiskinan,
kerusuhan sosial, hingga menimbulkan berbagai krisis berkelanjutan.

Fondasi Kapitalisme adalah monetary based economy bukan real based economy, sehingga rente ekonomi yang
diperoleh bukan berdasarkan hasil investasi produktif, namun dari investasi spekulatif. Kenyataan bahwa uang yang beredar
melalui transaksi di Wall Street adalah US$ 3 triliun/hari, dimana 90% kegiatannya spekulatif tanpa kontribusi dalam
perluasan lapangan kerja dan rakyat kecil. Sehingga uang sebesar itu tidak menyentuh pada rakyat kecil.

Ekonomi kapitalis tidak pro-UMKM. Perusahaan kecil tetap saja kecil sesuai hukum Deminishing Marginal Return.
Perusahaan-perusahaan besar yang mempengaruhi perekonomian dunia antara lain Protecter & Gamble, Ford General
Motors (GM), Westing House & General Electric (GE) serta Siemens & AEG. Dari 200 Multi National Corporation menguasai
25% pasar dunia, namun hanya menyerap 1% tenaga kerja.

Presiden George Bush pada Maret 2008 mengakui kelemahan sistem kapitalis dan setuju mengatur kembali semua
lembaga keuangan. Pada pertemuan G-8 tahun 2008, di DavosSwiss, George Soros menegaskan gejolak pasar keuangan
global tidak bisa diatasi dengan Sejarah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak tahun
1911, yaitu sejak berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para entrepreneur dan para tokoh Muslim
saat itu. Bahkan jika kita menarik sejarah jauh ke belakang, jauh sebelum tahun 1911, peran dan kiprah para santri (umat
Islam) dalam dunia perdagangan cukup besar. Banyak penelitian para ahli sejarah dan antropologi yang membuktilan fakta
tersebut.

Clifford Geertz, antropolog AS terkemuka, menyatakan bahwa di Jawa, para santri reformis mempunyai profesi
sebagai pedagang atau wirausahawan dengan etos entrepreneurship yang tinggi. Sementara dalam buku “The Religion of
Java” (1960), Geertz menulis, Pengusaha santri (muslim) adalah mereka yang dipengaruhi oleh etos kerja Islam yang hidup
di lingkungan di mana mereka bekerja. Fakta ini merupakan hasil studi, Clifford Geertz, dalam upaya untuk menyelidiki siapa
di kalangan muslim yang memiliki etos entrepreneurship seperti “Etik Protestantisme”, sebagaimana yang dimaksud oleh
Max Weber. Geertz menemukan, bahwa etos itu ada pada kaum santri yang ternyata pada umumnya memiliki etos kerja
dan etos kewiraswastaan yang lebih tinggi dari kaum abangan yang dipengaruhi oleh elemenelemen ajaran Hindu dan
Budha.

Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No.
10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank
Indonesia (BI) mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu membentuk
satuan kerja khusus pada April 1999. Satuan kerja khusus ini menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim
Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal
bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi menjadi Direktorat Perbankan
Syariah Bank Indonesia sejak Agustus 2003.

Semakin banyakya jumlah bank syariah, struktur pasar syariah pun berubah dari monopoli menjadi oligopoli, yang
menyebabkan semakin tingginya tingkat persaingan diantara bank syariah. Sehingga, agar mampu bersaing dengan bank
konvensional, bank inipun mengubah strateginya. Sampai dengan Desember 2003,pemain dalam industri perbankan syariah
terdiri dari 2 bank umum syariah (BUS) dan 8 unit usaha syariah (UUS) dari bank umum konvensional (BUK) yang seluruhnya
memiliki jaringan kantor berjumlah 119 KCS (Kantor Cabang Syariah), serta 84 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah).
Peningkatan jumlah pemain dalam industri perbankan syariah terlihat cukup pesat bila dibandingkan keadaan akhir tahun
1998 yang hanya berjumlah 1 BUS dengan 8 KCS dan 78 BPRS.

Minat investor untuk membuka kantor bank syariah tidak hanya terbatas di pulau Jawa tetapi juga telah menyebar
ke pulau lainnya, antara lain: Sumatera (Banda Aceh,Medan, Padang, Palembang dan Pekanbaru); Kalimantan (Balikpapan
dan Banjarmasin); Sulawesi (Makasar); Madura (Pamekasan); dan Irian Jaya (Jayapura).

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa berat sekali kalau negara-negara berkembang seperti Indonesia harus
menghadapi globalisasi kapitalisme dengan cara melawannya. Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia yang telah
berlangsung sejak lama, pembagian kerja di dunia sudah berubah dan bangsa-bangsa di dunia harus pandai-pandai
meninjau kembali siasat yang dipilihnya dalam rangka perubahan
PEMBAHASAN

Ekonomi secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan atau tingkah laku untuk pemenuhan kebutuhan
(rumah tangga), sedangkan syariah merupakan konsep yang merujuk pada ajaran agama tertentu yang dalam hal ini adalah
agama Islam. Konsep syariah ini berlandaskan pada dua sumber hukum utama dalam ajaran agama Islam yakni Al Qur’an
dan Hadits.

Jaharuddin dan Sutrisno (2019) mendefinisikan ekonomi syariah sebagai penerapan konsep-konsep Al Qur’an dan Hadits,
baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam kegiatan perekonomian. Dalam konsep sistem ekonomi syariah kegiatan
ekonomi tidak hanya sekadar memandang kepada unsur untung atau rugi dalam suatu transaksi, akan tetapi lebih melihat
pada keabsahan atau kesesuaian transaksi tersebut dalam ajaran agama Islam.

Menurut Prasetyo (2018) penelitiannya menyebutkan ada beberapa karakteristik ekonomi syariah:

a. Ekonomi Ketuhanan
Ekonomi syariah berasal dari wahyu Allah SWT dalam bentuk syariat Islam, ekonomi syariah ini adalah bagian dari
pengamalan ajaran agama Islam.
b. Ekonomi Pertengahan
Ekonomi syariah ini mempunyai keseimbangan antara berbagai aspek sehingga sering di istilahkan dengan
ekonomi pertengahan. Ekonomi pertengahan ini memandang keseimbangan antara hak invidu dan masyarakat,
keseimbangan antara jiwa dan raga serta keseimbangan antara dunia dan akhirat.
c. Ekonomi berkeadilan
Ekonomi syariah sangat memperhatikan aspek keadilan bagi semua pihak yang terkait dalam praktek ekonomi
syariah. Hal ini turunan dari karakteristik ekonomi syariah pada poin pertama yakni ekonomi ketuhanan.

Lembaga Perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. dimana bank berfungsi sebagai lembaga
keuangan yang menjadi tempat bagi perorangan, badan-badan usaha swasta, badan usaha milik pemerintah, bahkan
menjadi lembaga-lembaga pemerintah menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan/pembiayaan
serta berbaga jasa yang diberikan.

Kasmir (2001) mendefinisikan bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.

Nurhasanah & Adam (2017) penelitiannya menyatakan bank melayani kebutuhan permodalan serta melancarkan
mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.

Ismail (2013) menyebutkan perbankan syariah yaitu segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha
syariah, mencakup kelembagaan, usaha, serta tata cara dan proses didalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Bank Syariah menurut Sugihantoro (2011) adalah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang
berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana, baik untuk kegiatan usaha maupun kegiatan lainnya sesuai dengan
hukum Islam.

Ali (2008) penelitiannya mendefinisikan bank syariah sebagai sistem perbankan yang dalam operasionalnya tidak
menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maysir), dan ketidakpastian (gharar).
Tantangan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi Masa Depan Indonesia di Era Globalisasi

Ekonomi syariah berpotensi menggantikan posisi ekonomi konvensional, namun dalam penerapannya banyak
kendala dan tantangan yang dihadapi antara lain masih diberlakukannya pajak ganda di perbankan syariah; belum siapnya
dukungan SDM ekonomi syariah; tidak ada kurikulum ekonomi syariah di sekolah umum, sehingga pemahaman, kesadaran
serta kepedulian masyarakat rendah; persepsi negatif sekelompok muslim dan non-muslim yang takut mengaplikasikan
hukum syariah secara kafah; belum kuatnya dukungan parpol Islam untuk menerapkan ekonomi syariah; meningkatnya
apresiasi masyarakat dan kegairahan memperluas pasar ekonomi syariah belum diikuti dengan edukasi yang memadai;

Menurut identifikasi Bank Indonesia, yang disampaikan pada Seminar Akhir Tahun Perbankan Syariah 2005,
kendala-kendala perkembangan Bank Syariah di samping imbas kondisi makro ekonomi, juga dipengaruhi oleh hal-hal
sebagai berikut. Pertama, jaringan kantor pelayanan dan keuangan Syariah masih relatif terbatas; kedua, sumber daya
manusia yang kompeten dan professional masih belum optimal; ketiga, pemahaman masyarakat terhadap Bank Syariah
sudah cukup baik, namun minat untuk menggunakannya masih kurang; keempat, sinkronisasi kebijakan dengan institusi
pemerintah lainnya berkaitan dengan transaksi keuangan, seperti kebijakan pajak dan aspek legal belum maksimal; kelima,
rezim suku bunga tinggi pada tahun 2005; dan keenam, fungsi sosial Bank Syariah dalam memfasilitasi keterkaitan antara
voluntary sector dengan pemberdayaan ekonomi marginal masih belum optimal.

Untuk mengantisipasi kendala jaringan kantor pelayanan Bank Syariah, pihak BI yelah membuat regulasi tentang
kemungkinan pembukaan layanan Syariah pada counter-counter Unit Kovensional Bank-Bank yang telah mempunyai Unit
Usaha Syariah melalui PBI No.8/3/ PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006. Dengan demikian, diharapkan masalah jaringan
pelayanan dan keuangan Syariah dapat diatasi karena masyarakat dapat dilayani dimana saja saat membutuhkan transaksi
Bank Syariah. diatasi. Hal tersebut diyakini karena peluang yang besar dan dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut.
Pertama, respon masyarakat yang antusias dalam melakukan aktivitas ekonomi dengan menggunakan prinsip-prinsip
Syariah; kedua, kecenderungan yang positif di sektor non-keuangan/ ekonomi, seperti sistem pendidikan, hukum dan lain
sebagainya yang menunjang pengembangan ekonomi Syariah nasional; ketiga, pengembangan instrumen keuangan Syariah
yang diharapkan akan semakin menarik investor/ pelaku bisnis masuk dan membesarkan industri Perbankan Syariah
Nasional; dan keempat, potensi investasi dari negara-negara Timur Tengah dalam industri Perbankan Syariah Nasional.

Berkaitan dengan tantangan ekonomi syariah yang harus di hadapi oleh bangsa Indonesia untuk menuju kemajuan
ekonomi syariah adalah sistem kapitalis khususnya, terlanjur mendominasi sistem perekonomian di dunia bahkan banyak
Negara yang notabene berpenduduk Islam cenderung menggunakan sistem kapitalis walaupun dalam penerapannya
terdapat modifikasi; secara ekonomi dan politik tidak Negara Islam yang di pandang kuat sehingga sulit untuk membuktikan
bahwa sistem perekonomian Islam lebih unggul daripada kapitalis dan sosialis; dan di antara para ahli sendiri masih silang
pendapat tentang pengertian Sistem Perekonomian Islam.

Hal-hal yang perlu diperhatikan ekonomi syariah dalam menghadapi masa depan Indonesia di Era Globalisasi,
diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, penguasaan teknologi. Menurut sebagian ekonom perkembangan teknologi
merupakan bagian yang paling penting dari determinan-determinan suatu pembangunan ekonomi.

Lebih jauh lagi Schumpter mengatakan bahwa “Economic Growth does not follow a gradual, historical and
continuous process; it occurs by discontinuous spurts in dynamic world. This dynamism and discontinuous process is
facilitated by innovation leading to technological change

Islam menganjurkan adanya Inovasi dan perkembangan teknologi. Hanya saja Islam lebih menekankan
Appropritate Technology bukan

Bank Indonesia dan para stakeholder yang terlibat lainnya yakin bahwa pengembangan Bank Syariah dianggap
masih mempunyai prospek yang tinggi, jika kendala jaringan dapat sophisticated technology. Suatu hal yang kurang
dipahami oleh kebanyakan Negara muslim sehingga mereka banyak dirugikan oleh teknologi bukan mengambil
kemanfaatan darinya.

Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam konsep technological change dari sudut pandang Islam, yaitu (a)
Rasulullah SAW perbah bersabda, ”barangsiapa melakukan suatu inovasi sehingga menemukan sesuatu yang baik maka
baginya pahala dan orang yang mengambil manfaat darinya”; (b) Islam menyeru untuk melakukan eksplorasi dari apa yang
ada di langit dan di bumi untuk kepentingan manusia. Dalam Qur’an terdapat tanda-tanda (S. AlJaatsiyah (25) : 13, ”dan dia
menundukkan untukmu apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat ) dari-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”; dan
(c) Islam memberikan proteksi dalam setiap inovasi yang diniati untuk kebaikan. Hal ini sesuai dengan semangat hadis:
“Barang siapa berijtihat dan benar, maka baginya dua pahala, dan apabila ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu

pahala.”

Kedua, pengembangan UKM yang berbasis syariah. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam ajaran Islam adalah ajaran yang
sangat memperhatikan kepentingan kaum lemah. Dalam QS 59 ayat 7 Allah SWT melarang berputarnya harta (modal) hanya
dikalangan orangorang kaya saja. Berdasarkan ayat ini, maka kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya aktivitas
perekonomian hendaknya melibatkan partisipasi aktif dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah, yang notabene
mereka adalah mayoritas di suatu negara. Tidak hanya didominasi kelompok-kelompok elite saja.

Pengembangan UKM sebagai institusi yang mampu mengaktifkan partisipasi masyarakat harus mendapat
perhatian kita semua. Jika kita melihat kenyataan, maka pada umumnya negara-negara muslim di dunia saat ini berada
dalam kategori negara berkembang, dimana mereka memiliki surplus jumlah tenaga kerja, kekurangan modal dan alat tukar
perdagangan luar negeri, serta minimnya infrastuktur pendidikan dalam pengembangan teknologi. Dengan kondisi tersebut,
maka pilihan untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan pilihan yang sangat tepat dalam rangka
mereduksi pengangguran dan menyerap angkatan kerja yang ada dengan membuka lapangan pekerjaan baru. Bahkan
menurut Imam Hasan al-Bana, dalam diskusinya tentang reformasi ekonomi dalam ajaran Islam, usaha kecil dan menengah
ini akan mampu membantu menyediakan lapangan kerja produktif bagi keluarga miskin, dan kemudian akan meminimalisir
tingkat kemiskinan yang ada.

Muhammad Yunus pun menegaskan bahwa upah pekerjaan bukanlah jalan `bahagia` dalam mereduksi kemiskinan,
tetapi mengembangkan usaha sendiri lebih memiliki potensi untuk mengembangkan basis aset seseorang. Fakta juga
membuktikan bahwa strategi industrialisasi dalam skala besar ternyata belum mampu menyelesaikan problematika
pengangguran dan kemiskinan secara global. Bahkan dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Michigan State University,
Amerika Serikat, di sejumlah negara, ternyata ditegaskan bahwa UKM telah memberikan kontribusi nyata yang sangat
berharga didalam menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan.

Di samping itu, UKM ini pun mampu mengembangkan eksport dan mengoptimalkan SDM yang ada, walaupun
dengan akses kredit yang sangat minim baik dari pemerintah maupun perbankan. Dalam studi tersebut, juga disimpulkan
bahwa UKM ini telah secara konsisten mampu menghasilkan output per unit modal, lebih besar dengan dari apa yang telah
dihasilkan oleh industri skala besar. UKM ini telah menjadi alat yang efektif didalam meningkatkan kontribusi sektor privat
baik dalam pertumbuhan maupun pemerataan yang obyektif di negara-negara berkembang. Jika kita melihat pengalaman
Jepang misalnya, maka salah satu kunci keberhasilan ekspor Jepang yang luar biasa tersebut adalah karena kemampuannya
didalam membangun persaingan domestik di antara perusahaan-perusahaan yang memberikan sub kontrak pekerjaan
mereka kepada industri UKM. Industri UKM di Jepang telah mampu menghasilkan 50 % dari total keseluruhan output
industrinya, dan menyerap 75 % angkatan kerja Jepang. Begitu pula dengan bisnis retailnya, yang 75 persennya dikelola oleh
usaha toko keluarga yang dilindungi oleh hukum.

Di Jerman sendiri pun, kesadaran untuk mengembangkan usaha kecil menengah semakin besar, karena ternyata industri
rumah tangga mampu memainkan peran signifikan dalam perekonomian Jerman. Tetapi jika kita melihat kondisi Indonesia,
maka kita akan sangat miris melihat kenyataan bahwa UKM ini belum mendapatkan perhatian yang memadai dari
pemerintah, padahal angka pengangguran kita sangat tinggi, yaitu 40 juta orang atau 18 % dari total keseluruhan jumlah
penduduk.

FENOMENA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Pelaku sistem ekonomi syariah yang dominan di Indonesia adalah sektor perbankan. Bank dengan segenap sistem
dan fasilitas yang ditawarkan mampu menjadi aktor utama dalam transaksi ekonomi syariah. Dasar hukum (Legal standing)
untuk landasan operasi bank syariah pertama kali adalah Undang-undang No. 07 Tahun 1992 tentang perbankan. Dengan
adanya dasar hukum untuk perbankan dengan sistem syariah tersebut, maka pada tahun yang sama berdirilah Bank
Muamalat sebagai pioneer dalam menawarkan konsep syariah kepada konsumen yang pada saat itu masih melakukan
transaksi di bank-bank konvensional.

Pada tahun 1998 pemerintah memperbaharui regulasi perbankan syariah dengan menerbitkan Undang-undang
No.10 Tahun 1998 tentang perbankan, disini semakin jelas dinyatakan bahwa dua sistem perbankan yang diakui oleh
pemerintah yakni sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Pada tahun 2008 pemerintah republik
Indonesia kembali mengeluarkan undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang ditujukan untuk
menyempurnakan undangundang sebelumnya. Nurhasanah dan Adam (2017) menyatakan regulasi terbaru ini semakin
menegaskan eksistensi perbankan syariah didalam bisnis perbankan di

Indonesia.

Dengan semakin jelasnya regulasi tentang sistem perbankan syariah ini, pelaku perbankan nasional semakin
bergairah untuk membentuk bank umum syariah, BPR syariah ataupun memdirikan unit usaha syariah (UUS) pada bank
konvensional yang sudah berdiri sebelumnya. Hal ini ditandai dengan berdirinya beberapa bank umum yang menjalankan
operasionalnya dengan sistem syariah. Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadi salah satu faktor
penyebab pihak perbankan melirik sistem perbankan yang menganut prinsip syariah. Bank dengan sistem konvensional
identik dengan unsur ribawi, sementara praktek riba ini dilarang menurut keyakinan ajaran agama Islam.

Persentase pangsa pasar perbankan syariah pada kuartal pertama tahun 2021 menurut Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) tercatat sebesar 9,96%, sementara pada akhir tahun 2017 jumlah persentase pengguna layanan perbankan syariah ini
tercatat sebesar 5,78%. Angka ini menunjukkan peningkatan yang lumayan pesat namun belum signifikan jika dibandingkan
dengan komposisi penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Dengan kata lain masih banyak terdapat warga
negara Indonesia yang beragama Islam yang masih menggunakan layanan perbankan konvensional. Hal ini merupakan
tantangan tersendiri bagi perbankan syariah. Oleh karena itu dalam jurnal ini akan dibahas problematika dan dinamika
perbankan syariah di era globalisasi saat ini.

Secara umum ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan perbankan syariah di Indonesia, yaitu:

1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia

Manan (2012) penelitiannya menyebutkan sumber daya manusia merupakan faktor utama yang memiliki peran penting
dalam perkembangan bank syariah. Maraknya pertumbuhan bank syariah tidak di imbangi kualitas SDM yang memadai,
terutama yang khusus mengusai disiplin ilmu perbankan syariah. Bank syariah memang sudah lama dikenal di Indonesia
akan tetapi lembaga atau perguruan tinggi yang khusus memberikan pendidikan ekonomi atau perbankan syariah
masih terbatas. Hal yang turut mempengaruhi kualitas SDM adalah adanya transisi dari pegawai bank konvensional
menjadi pegawai bank syariah, ini biasanya terjadi ketika bank konvensional mendirikan unit usaha syariah (UUS) akan
tetapi tidak merekrut pegawai baru yang berlatar belakang disiplin ilmu ekonomi syariah melainkan hanya mengalih
fungsikan pegawai dari bank konvensional yang sudah ada ke unit usaha syariah tersebut.

Berdasarkan data dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tahun 2018, dari baru 10 prodi ekonomi
syariah yang terakreditasi A, yang terakreditasi B berjumlah 99 prodi dan yang mendapatkan akreditasi C sebanyak 10
prodi. Dari pemaparan data statistik perbankan syariah, diketahui bahwa 38% pegawai bank syariah merupakan sarjana
ekonomi konvensional, hanya 9,1% berasal yang memiliki latar belakang ekonomi syariah.

2. Minimnya sosialiasi dan edukasi tentang perbankan syariah

Sosialiasi adalah suatu proses untuk mengkomunikasikan kebudayaan baru kepada masyarakat. Sosialisasi ini
merupakan elemen yang sangat penting dalam memperkenalkan sesuatu hal kepada publik atau calon kosumen.
Pembuatan iklan dan reklame merupakan salah bentuk sosialisasi kepada masyarakat selain sosialisasi yang dilakukan
secara langsung dalam bentuk seminar, kajian dan pertemuan tatap muka lainnya. Sosialiasi dan edukasi ini tidak bisa
hanya ditumpukan kepada bankir syariah akan tetapi ini juga patut menjadi perhatian bagi semua pihak (stakeholder)
yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan perbankan syariah, seperti pemerintah, institusi pendidikan,
maupun lembaga dan komunitas Islam (MUI, MES, Komunitas Masyarakat Anti Riba, dan lain-lain).
Hidayatinaa (2018) dalam penelitiannya menulis bahwa signifikansi pengaruh sosialisasi terhadap minat menabung
masyarakat (studi kasus pada Bank Syariah Aceh) adalah sebesar 45,1%, sisanya berasal dari faktor lain yakni kualitas
pelayanan, lokasi dan promosi.

Ramdan (2010) dalam penelitian tesisnya menyatakan bahwa minimnya sosialisasi menjadi penyebab kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap keuangan dan perbankan syariah, hal ini terlihat dari belum banyaknya masyarakat
yang mengakses layanan perbankan syariah.

3. Faktor layanan bank syariah yang belum optimal.

Faktor layanan merupakan faktor internal perbankan syariah. Bank merupakan lembaga keuangan yang bergerak
dibidang jasa pelayanan, sehingga pelayanan ini menjadi faktor krusial untuk menarik minat calon pelanggan.

Junaidi et al, (2012) penelitiannya menyatakan persepsi kepuasan nasabah terhadap pelayanan bank syariah dibentuk
atas 3 hal, yakni ; a. tersedianya jaringan ATM, b. tersedianya fasilitas phone banking dan mobile banking, c. adanya
call center yang renponsif untuk menampung keluhan nasabah.

Contoh lain yang menjadi kekurangan dalam hal pelayanan adalah keterbatasan jaringan kerjasama bank syariah untuk
pemanfaatan fasilitas kartu debit atau kredit, dikarenakan bank syariah ini masih tergolong sebagai pendatang baru
sehingga jaringan vendor (toko) dan merchant yang dimiliki pun belum sebanyak bank-bank konvensional. Kondisi ini
sedikit banyak menyulitkan nasabah-nasabah yang memerlukan layanan bank syariah, sehingga ada nasabah yang
mengeluh ketika kartu debit atau kredit bank syariah yang dimilikinya tidak bisa digunakan di kotakota besar diluar
negeri seperti yang ditawarkan oleh bank-bank konvensional.

SOLUSI MENGATASI PROBLEMATIKA PERBANKAN SYARIAH

Penggunaan nama “syariah” tidak dapat dipungkiri merupakan senjata yang cukup ampuh untuk meraih minat calon
nasabah khususnya dari kalangan umat Islam. Produk dan layanan juga dikemas sedemikian rupa dengan nama-nama
berbau Islam. Akan tetapi penggunaan embel-embel syariah itu saja tidak cukup. Agar sistem perbankan syariah ini
berkembang di Indonesia secara signifikan dan mampu bersaing dengan sistem dengan perbankan konvensional maka harus
memperhatikan beberapa hal, diantaranya:

1. Korelasi institusi pendidikan

Untuk mencetak SDM yang handal dan memilki kompetensi dalam bidang perbankan syariah diperlukan adanya
peranan atau campur tangan dari institusi pendidikan. Mengingat sektor perbankan syariah adalah salah satu sektor
usaha yang sangat potensial dan saat ini sedang berkembang, kedepannya akan membutuhkan banyak tenaga kerja
profesional. Maka institusi pendidikan perlu mempersiapkan SDM berkualitas yang siap terjun ke dalam bisnis
perbankan syariah. Peran institusi pendidikan ini dimulai dari membangun jurusan atau program pendidikan yang
khusus mempelajari ekonomi syariah.

Institusi pendidikan juga diharapkan dapat menambah literasi yang membahas tentang perbankan syariah, disamping
untuk mengedukasi masyarakat juga sebagai referensi bank syariah dalam menentukan arah kebijakan produk dan
layanan.

2. Optimalisasi peran pemerintah

Pemerintah merupakan leading sector dalam upaya pengembangan perbankan syariah, peran pemerintah terlihat
dalam pembuatan regulasi yang menjadi payung hukum bagi bank syariah dalam menancapkan eksistensinya.
Disamping sebagai regulator, pemerintah juga diharapkan banyak melakukan edukasi tentang perbankan syariah
kepada masyarakat agar mereka lebih memahami dan mengenal dunia perbankan syariah. Edukasi ini bisa berupa
kegiatan sosialisasi yang dilakukan secara langsung kepada masyarakat, ataupun dengan penyebaran iklan layanan
masyarakat tentang perbankan syariah melalui pemanfaatan media. Kegiatan edukasi ini bisa dilaksanakan secara
langsung oleh pemerintah atau dilakukan dengan menggandeng institusi pendidikan, organisasi keagamaan dan
bahkan dengan pihak perbankan syariah itu sendiri.
Pemerintah juga perlu memberi pemahaman terhadap kelompok yang anti dengan penerapan ekonomi syariah karena
dianggap berafiliasi dengan ajaran agama tertentu, ada semacam kekhawatiran oleh kelompok ini bahwa sistem yang
berasal dari agama Islam lambat laun akan menggantikan dasar negara Indonesia. Padahal sejarah mencatat bahwa
umat Islam Indonesia adalah umat yang berjiwa besar dan telah berbesar hati menerima penghapusan klasusul sila
pertama yakni “kewajiban menjalanan syariat Islam bagi pemeluknya”. Perlu dijelaskan bahwa sistem ekonomi Islam
lebih bersahabat daripada sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis, karena sistem ekonomi Islam itu sendiri lebih
mengedepankan unsur maslaha dan manfaat daripada pengerukan keuntungan.

3. Peningkatan layanan oleh perbankan syariah

Kualitas pelayanan merupakan kunci utama dalam menarik minat calon nasabah, bank syariah harus lebih peka
terhadap kebutuhan nasabahnya.

Layanan ini bisa dalam bentuk fasilitas produk, jaringan kantor dan ATM serta merchant tempat penggunaan fasilitas
dari bank syariah.

Pemanfaatan teknologi untuk keperluan bertransaksi juga perlu diperhatikan, sebab sekarang adalah saat dimana
manual banking system tidak lagi menjadi opsi utama untuk melakukan transaksi. Mobilitas yang tinggi, gaya hidup dan
faktor kebutuhan membuat transaksi perbankan dapat dilakukan dimana saja, otomatis bank harus bisa menyesuaikan
diri dengan ritme tersebut. Dalam hal peningkatan layanan ini bank syariah harus bersifat adaptif terhadap kebutuhan
nasabah serta lebih inovatif dalam membuat terobosan-terobosan baru untuk memanjakan nasabah.

KESIMPULAN

Untuk bertahan dan berkembang di era globalisasi bank syariah harus mampu menjawab tantangan pasar, bank syariah
harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai keislaman secara utuh dan bukan hanya menjadi bank konvensional yang
berbaju syariah, serta bersikap adaptif dan inovatif terhadap perkembangan yang terjadi pada pasar perbankan syariah.
Upaya kongkrit yang perlu dilakukan untuk membantu perkembangan bank syariah antara lain;

a. Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) perbankan syariah.

b. Peningkatan peran pemerintah dalam rangka penguatan kelembagaan bank syariah.

c. Optimalisasi edukasi masyarakat tentang perbankan syariah.

d. Pengembangan (ekstensifikasi/ intensifikasi) produk dan pelayanan bank syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Perbankan

Syariah. Sinar Grafika. Jakarta.

Basri, Hasan. 2014. Using Qualitative Research In Accounting And Management Studies, Not A New Agenda. Journal
of US-China Public Administration, 11(10), p. 831-838.

Hidayatinaa, 2018. Pengaruh Sosialisasi Perbankan Syariah terhadap Minat Menabung Nasabah (Studi Kasus Pada PT.
Bank Aceh Syariah cabang Lhokseumawe). Laporan Penelitian. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Ismail. 2013. Perbankan Syariah. Penerbit Kencana Prenada Media Group.

Jakarta.
Jaharuddin dan Sutrisno, Bambang. 2019. Pengantar Ekonomi Islam. Salemba

Diniyah. Jakarta.

Junaidi, Achmad Taviv., Hadiwijoyo., Troena, Eka Afnan., & Triyuwono, Iwan. 2012. Analisis Pengaruh Kualitas
Layanan, Keadilan dan Kepuasan Nasabah Terhadap Loyalitas Nasabah Bank Syariah (Studi pada Nasabah Bank
Syariah di Propinsi Riau). JAM Jurnal Aplikasi Manajemen, 10(1), p. 161-176.

Kasmir. 2001. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Edisi Revisi 2001). PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Manan, Abdul. 2012. Hukum Ekonomi Syariah: dalam Prekspektif Kewenangan Peradilan Agama.

Kencana. Jakarta.

Mohamed, Z M., Abdul Majid, A H,. & Ahmad, N. 2010. Tapping New

Possibility In Accounting Research, In Qualitative Research, Malaysian Case, Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Kuala Lumpur.

Nurhasanah, Neneng., & Adam, Panji. 2017. Hukum Perbankan Syariah: Konsep dan Regulasi. Sinar Grafika. Jakarta.

Prasetyo, Yoyok. 2018. Ekonomi Syariah. Aria Mandiri Group. Bandung.

Ramdan, Edi. 2010. Pengaruh Minimnya Sosialisasi Terhadap Minat Masyarakat Memilih Bank Syariah. Tesis.

Sjahdaini, Sutan Remy. 2009. Perbankan

Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.

Subandi. 2012. Problem dan Solusi Perbankan Syariah Kontemporer di Indonesia. Jurnal At Tahrir, 12(1), p. 1-19.

Sugihantoro. 2011. Peluang Bank Syariah Dalam Pemberdayaan Ekonomi

Ummat. STAIN Press Ponorogo.

You might also like