You are on page 1of 18

REVITALISASI HUKUM HAM

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Makalah Mata Kuliah Hukum Dan Ham

Dosen: Dadang Ghandi, S.H., M.H.

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

1|Page
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang Hukum HAM.

Makalah ini telah kami susun semaksimal mungkin dan mendapatkan informasi dari
salah satu buku Hukum sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih dengan adanya buku tersebut bisa mempermudah
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Tangerang, 2021

Pen
ulis

2|Page
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................i

DAFTAR ISI .................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah .....................................................................................4


B. Rumusan Masalah ..............................................................................................5
C. Tujuan Penulis ...................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................................6

A. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia. ....................................................................


B. Hukum HAM .....................................................................................................6
C. Pelanggaran HAM Dan Pelanggaran Berat HAM .............................................8
D. Hukumnya Dalam Melakukan Tindakan Represifitas Dan Melanggar HAM....9
E. Merujuk Kepada Perbuatan Tindakan Pelanggaran HAM Terhadap Mahasiswa .
.............................................................................................................................11

BAB III PENUTUP ......................................................................................................13

A. Kesimpulan ........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................15

3|Page
ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Istilah hukum dalam bahasa latin juga disebut ius dari kata iubere, artinya mengatur
atau memerintah atau hukum. Perkataan mengatur dan memerintah bersumber pada
kekuasaan negara atau pemerintah. Istilah ius (hukum) sangat erat dengan tujuan hukum,
yaitu keadilan atau iustitia. Iustitia atau justitia adalah dewi ‘’keadilan’’ bangsa Yunani dan
Romawi kuno. Iuris atau juris (Belanda) berarti ‘’hukum’’ atau kewenangan (hak), dan jurist
(Inggris dan Belanda) adalah ahli hukum atau hakim. Istilah jurisprudence (Inggris) berasal
dari kata iuris merupakan bentuk jamak dari ius yang berarti ‘’hukum’’ yang di buat oleh
masyarakat atau sebagai hukum kebiasaan, atau berarti ‘’hak’’, dan ‘’prudensi’’ berarti
melihat ke depan atau mempunyai keahlian. Dengan demikian, Jurisprudence mempunyai
arti ilmu pengetahuan hukum, ilmu hukum, atau ilmu yang mempelajari hukum.
Istilah hukum di Indonesia berasal dari Bahasa Arab qonun atau ahkam atau hukm yang
mempunyai arti hukum. Menurut E. Utrecht hukum adalah petunjuk hidup, perintah, dan
larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh
masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu. 1
Hukum merupakan sebebuah aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur
masyarakat agar lebih baik serta memiliki kepribadian sosial yang mengetahui apa yang
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Yang nantinya timbul sebuah rasa
kesadaran dalam diri untuk lebih menjadi seorang manusia yang maju, berdaya, dan berkarya
untuk masa depan bangsa.
Dalam penegakan hukum juga harus berdasarkan kepada Hak Asasi Manusia (HAM),
di mana manusia pada dasarnya memiliki hak dalam hidup di dunia yang diberikan tuhan
kepadanya. Maka dari itu agar manusia tidak semena-mena terhadap dunia. Maka Tuhan juga
mengatur hambanya di dalam kitab sucinya. Seterusnya setelah manusia di dalam kandungan,
manusia itu sudah memiliki Hak nya di dalam kandungan ibunya. Sampai ia lahir ke dunia
sudah memiliki Hak Asasi Manusia tersebut. Tetapi Hak ini diatur dan di jaga oleh Hukum
agar si manusia jera dan takut ketika melakukan tindakan kriminal.
1
Umar Said Sugiarto, S.H., M.S., Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2017 hlm. 6-7.

4|Page
Istilah HAM juga dikenal dalam berbagai bahasa asing, anatara lain, seperti: human
rights, fundamental rights, des droits de l’homme, the rights of man, basic rights. Seluruh
istilah tersebut secara substansial adalah sama, hanya peristilahannya saja yang berbeda.
Adapun dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal
1 angka 1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM: “HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dapat disimpulkan bahwa HAM bersifat melekat (inherent) pada diri setiap manusia,
artinya HAM merupakan karunia dari Tuhan dan bukan pemberian dari manusia, penguasa
ataupun negara. HAM juga bersifat universal, artinya eksistensi HAM tidak dibatasi oleh
batas-batas geografis atau dengan perkataan lain HAM ada di mana ada manusia.2

F. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Hukum HAM Dalam Pengawasan Negara
B. Mengapa Pelanggaran HAM Sering Dilakukan Oleh Aparatur Pemerintah

G. TUJUAN PENULIS
A. Memahami Serta Menegtahui HAM Di Indonesia

BAB II
2
Andrey Sujatmoko, S.H., M.H., Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: Rajawali, 2020 hlm. 57.

5|Page
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat
atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai
manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-
hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu
juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami
oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi
manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu
melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.
Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas bersumber
dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari
teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh
ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui
tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas. Hugo de Groot --seorang ahli hukum
Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, atau yang lebih dikenal
dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas
dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran
sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya,
salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran
mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang
melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat
dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.
Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil Government
and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa
semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan
kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli
oleh negara. Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak
dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara
mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di
negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah

6|Page
yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka
eksistensi hak-hak individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat.
Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat
tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi
Perancis, adalah salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para
penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan
yang menakutkan mengenai persamaan manusia”. Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi
Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia
pada manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.”
Tetapi penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang
filsuf utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah
bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya.
Bagaimana mungkin mengetahui dari mana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan
apa isinya?
Bentham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan mengatakan:
“Bagi saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah anak kandung
hukum: dari hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari hukum imajiner; hukum kodrati
yang dikhayal dan direka para penyair, ahli-ahli pidato dan saudagar dalam rupa racun moral
dan intelektual lahirlah hak-hak rekaan. Hak-hak kodrati adalah omong kosong yang dungu:
hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari
omong kosong yang berbahaya!”. Lebih lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham
mengulang kembali cercaan sinisnya pada teori hak-hak kodrati. Ia menulis, “Bagi saya hak
dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi
saya adalah anak kandung hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak.
Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah”. Serangan dan
penolakan kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat oleh mazhab positivisme, yang
dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis
berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-
satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat.17 Ia tidak datang dari “alam”
atau “moral”.
Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis
tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan Bentham,
hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang
Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang mengilhami
7|Page
kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung internasional. Pengalaman buruk dunia
internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada
gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. “Setelah kebiadaban luar biasa terjadi
menjelang maupun selama Perang Dunia II, gerakan untuk menghidupkan kembali hak
kodrati menghasilkan dirancangnya instrument internasional yang utama mengenai hak asasi
manusia,” tulis Davidson. Hal ini dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) pada 1945, segera setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak
jiwa umat manusia itu. Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin
mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan
kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia,
terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan
kecil”.
Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah
masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur
pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of
achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh
masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan
oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human
Rights”.
Dari paparan di atas cukup jelas bahwa teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam
menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum
nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia internasional. Namun demikian,
kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak
sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak
yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung
dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John Locke). Kandungan hak dalam gagasan
hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga
mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya
bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam
konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.3

A. HUKUM HAM

3
Rhona K.M. Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.

8|Page
Istilah HAM juga dikenal dalam berbagai bahasa asing, anatara lain, seperti: human
rights, fundamental rights, des droits de l’homme, the rights of man, basic rights. Seluruh
istilah tersebut secara substansial adalah sama, hanya peristilahannya saja yang berbeda.
Adapun dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal
1 angka 1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM: “HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dapat disimpulkan bahwa HAM bersifat melekat (inherent) pada diri setiap manusia,
artinya HAM merupakan karunia dari Tuhan dan bukan pemberian dari manusia, penguasa
ataupun negara. HAM juga bersifat universal, artinya eksistensi HAM tidak dibatasi oleh
batas-batas geografis atau dengan perkataan lain HAM ada di mana ada manusia.4
Konsep negara hukum menempatkat ide perlindungan hak asasi manusia sebagai salah
satu elemen penting. Dengan mempertimbangkan urgensinya perlindungan hak asasi manusia
tersebut, maka konstitusi harus memuat pengaturan hak asasi manusia agar ada jaminan
negara terhadap hak-hak warga negara. Salah satu perubahan penting dalam Amandemen
UUD 1945 adalah pengaturan hak warga negara lebih komprehensif disbanding UUD 1945
(pra-amandemen) yang mengatur secara umum dan singkat. Catatan pelanggaran hak asasi
manusia yang buruk di era Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto memberi
pelajaran bahwa setidaknya pengaturan hak-hak warga negara harus lebih rinci di dalam
konstitusi. Amandemen UUD 1945 juga membuat pranata peradilan melalui Mahkama
Konstitusi untuk menggugat produk perundang-undangan yang melanggar hak-hak warga
negara sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Hak asasi manusia merupakan nilai-nilai universal yang telah diakui secara universal.
Berbagai instrumen internasional mewajibkan negara-negara peserta untuk memberikan
jaminan perlindungan dan pemenuhan hak warga negara. Indonesia merupakan hukum yang
memiliki sejarah panjang dalam perjuangan perlindungan hak asasi manusia. Sebagai negara
hukum yang demokratis, Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen hukum
internasional. Perubahan mendasar dalam politik penegakan hak asasi manusia setelah
reformasi 1998 tetapi tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan sebelumnya.
Gerakan reformasi politik yang bergulir pada tahun 1998 memunculkan ide pentingnya
pengaturan hak warga negara4 dalam UUD, karena kuatnya desakan keinginan rakyat untuk
4
Ibid. hlm. 57.

9|Page
menikmati kehidupan ketatanegaraan yang demokratis berdasarkan hukum. Keinginan rakyat
tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengalaman ketatanegaraan di bawah Presiden Soekarno
dan Presiden Soeharto. Pasca gerakan reformasi 1998, muncul gerakan dilakukannya
amandemen UUD 1945. Amandemen UUD 1945 tidak boleh memberikan peluang bagi
munculnya praktik penyelenggaraan negara dengan kekuasaan eksekutif sebagai pendulum
utama (executive heavy) seperti terjadi di masa lalu. Demikian pula harus dicegah praktik
ketatanegaraan dengan pendulum mengarah pada legislatif (legislative heavy). Amanden
UUD 1945 telah memasukkan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak warga negara
dalam konstitusi. Beberapa Pasal di dalam UUD NRI Tahun 1945 mengatur secara
komprehensif tentang hak-hak asasi warga negara dan sekaligus kewajiban negara.
Pengaturan dan implementasi hak-hak asasi warga negara dan kewajiban negara selayaknya
dua sisi mata uang. Beberapa Pasal yang dapat disebutkan adalah sebagai berikut: Pasal 26
(penduduk dan warga negara), Pasal 27 (jaminan persamaan di muka hukum dan
pemerintahan), Pasal 29 (kebebasan beragama), Pasal 30 (pertahanan negara), Pasal 31
(pendidikan), dan Pasal 32 (kebudayaan daerah). Perubahan mendasar dalam amandemen
UUD 1945 adalah pengaturan yang cukup komprehensif tentang jaminan hak warga negara
yang diatur pada Pasal 28, Pasal 28A–Pasal 28J (pengaturan rinci jaminan hak-hak warga
negara). a) Pasal 28A: hak untuk hidup dan hak mempertahankan hidup dan kehidupannya b)
Pasal 28B: (1) hak membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah, (2) hak melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah, (3) hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang, dan (4) hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. c) Pasal
28C: (1) hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,(2) hak mendapat
pendidikan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, (3)
hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan.5
HAM juga diakui oleh Negara termasuk di Indonesia dalam UUD 1945 sudah
terpampang nyata bahwasannya di Pasal 28 J ayat (1) menjelaskan “setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.” Serta dalam pasal 28 E ayat (3) menjelaskan bahwa “setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Dari
kedua pasal tersebut sudah jelas bahwa Negara Hukum sudah mengatur dalam peraturannya
masing-masing.
5
https://media.neliti.com., A. Muhammad Asrun, Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Cita Negara Hukum,
Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

10 | P a g e
B. PELANGGARAN HAM DAN PELANGGARAN BERAT HAM
“Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan para aparat petugas
keamanan, tetapi juga oleh massa yang beringas…Selain itu, terjadi juga pelanggaran HAM
berat yang dilakukan oleh massa, berupa penghilangan nyawa…atas pelanggaran tersebut,
sebanyak 28 orang telah diadili dan dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara
tahun 1985.”
Itulah kasus pelanggaran HAM yang terjadi dahulu. Bukan hanya dulu saja, hingga
sekarang sering terjadi pelanggaran HAM yang sangat tidak patut untuk dilakukan oleh
oknum Aparatur Pemerintah Negara yang dilakukan kepada manusia khusunya para
pendemonstran.
Keterangan di atas merupakan cerminan bahwa konsepsi HAM belum dipahami secara
benar dan persoalan HAM belum ditempatkan pada konteks yang sebenarnya. Celakanya,
kerancuan tersebut justru diformalkan dalam hukum positif kita. Hal tersebut dapat di baca
dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal tersebut
menyatakan bahwa yang dimaksud pelanggaran HAM adalahmeliputi perbuatan yang
dilakukan oleh individu atau kelompok individu terhadap orang lain, terlepas apakah
pelakunya terkait dengan kekuasaan atau pelakunya sedang menjalankan kewenagannya
sebagai aparatur negara.
Dengan perkataan lain, menurut pasal diatas yang dinamakan dengan pelanggaran
HAM secara pukul rata atau gebyah uyah merupakan setiap perbuatan yang dilakukan oleh
siapapun tanpa memandang latar belakang si pelaku, seperti institusinya, motifnya, maupun
korbannya. Sehingga hal tersebut tidak ada bedanya dengan kejahatan atau tindakan kriminal
(biasa) atau ordinary crime, seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, dan sebagainya.
Menurut penulis, hal yang secara sadar terlihat dihilangkan dalam definisi pelanggaran
HAM versi pasal tersebut adalah hilangnya aspek tanggung jawab negara. Sehingga,
konsekuensi logis yang timbul dari definisi tersebut adalah negara dapat menghindar dari
kewajiban untuk bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM.
Padahal, pelanggaran HAM pada hakikatnya merupakan kejahatan luar biasa. Aspek
luar biasa diindikasikan dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang
menyertai kejahatan tersebut. Hal ini dapat terjadi, terutama, apabila dilakukan oleh mereka
yang termasuk sebagai aparatur negara yang memiliki kewenangan tertentu dari negara.

11 | P a g e
Namun, dapat juga terjadi walaupun pelakunya bukan aparatur negara, tetapi si pelaku
bertindak atas nama negara.6
Memang masih banyak terjadi belakangan ini tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
oknum-oknum yang melanggar HAM tersebut. Hingga dari pemukulan, pembantinggan,
hingga ke perbuatan yang sadis yaitu pembunuhan. Sudah tidak asing lagi bagi kita bersama,
banyak sekali kasus-kasus HAM yang masih belum terselesaikan hingga saat ini. Miris
memang, padahal konstitusi kita sudah mengamanatkan kepada kita semua bahwa HAM
harus dihormati serta dijunjung tinggi keberadaannya. Apalagi yang melakukan pelanggaran
HAM yang luar biasa atau biasa adalah aparatur negara.
Menurut Muladi, pada hakikatnya pelanggaran HAM mempunyai nuansa khusus, yaitu
adanya penyalagunaan kekuasaan artinya para pelaku bertindak dalam konteks pemerintahan
dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah. Perbuatan tersebut dilakukan di dalam atau
berkaitan dengan kedudukannya.
Masalah pelanggaran HAM selalu berkaitan dengan kewajiban negara atau pihak-pihak
yang secara hukum berkewajiban untuk melindungi dan menghormati norma-norma HAM
Internasional. 7

C. HUKUMNYA DALAM MELAKUKAN TINDAKAN REPRESIFITAS DAN


MELANGGAR HAM
Hak Asasi Manusia sudah tidak asing lagi di telinga kita semuanya. Hak Asasi
Manusia melekat sejak dalam rahim seorang ibu yang memiliki hak mutlak dari yang maha
kuasa yaitu Allah SWT yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun dan negara pun telah
mengamatkan dalam konstitusi bahwasannya di dalam pasal 28 J ayat (1) menjelaskan
“setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.” Serta dalam pasal 28 E ayat (3) menjelaskan
bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.” Artinya bahwa manusia harus menghormati HAM dalam ruang lingkup apapun
itu, apalagi di pasal dasar tersebut sudah jelas konstitusi mengamanatkan kepada kita untuk
saling menjaga, melindungi, mendengar dan membantu satu sama lainnya. Kebebasan hak
yang telah di jelaskan dalam UUD tersebut sudah jelas manusia di muka bumi ini mempunyai
keinginan masing-masing dan pemikiran yang berbeda-beda sebagai makhluk sosial.

6
Andrey Sujatmoko, S.H., M.H., Op.,Cit., hlm. 30-31.
7
Ibid, hlm. 31.

12 | P a g e
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum dalam pasal 1 ayat (1) berbunyi:
“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk
menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Juncto pasal
18 ayat (1) berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat dimuka umum yang
telah memenuhi ketentuan Undang-Undang ini di pidana dengan penjara paling lama satu
tahun.” Serta Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (PERKAP) Nomor 9 Tahun
2008 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan Dan Penanganan Perkara
Penyampaian Pendapat Dimuka Umum dalam pasal 14 ayat (1) berbunyi: “Dalam
pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertugas untuk memberikan
perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka
umum.”
Banyak memang dalam konstitusi kita yang memberikan pembelaan terhadap HAM.
Dalam UUD pasal 28 D ayat 1 menjelaskan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.” Dari bunyi pasal tersebut sebenarnya kita sebagai manusia apalagi
mahasiswa sebagai penerus bangsa berhak atas semua ketentuan yang ada di dalam pasal
tersebut. Adanya pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum, serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Artinya setiap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh rakyat kecil
maupun aparat kepolisian itu harus sama dalam hal penegakannya di hadapan hukum.
Sehingga terjadi yang namanya adil dengan seadil-adilnya, tidak ada yang membeda-bedakan
antara si miskin dengan si kaya dan si lemah dengan si kuat dalam konteks berdemokrasi
yang sehat.
Hak Asasi Manusia di atur kembali dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang di jelaskan di BAB 1 di Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1)
menjelaskan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Dalam Undang-Undang ini manusia memiliki Hak Untuk Hidup, Hak Untuk Berkeluarga,
Hak Mengembangkan Diri, Hak Memperoleh Keadilan, Hak Atas Kebebasan Pribadi, Hak

13 | P a g e
Rasa Aman, Hak Atas Kesejahtraan, Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan, Hak Wanita,
Hak Anak. Itulah ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang tersebut.

D. MERUJUK KEPADA PERBUATAN TINDAKAN PELANGGARAN HAM


TERHADAP MAHASISWA

Sangat disayangkan di Hut ke-389 Kabupaten Tangerang terjadi peristiwa yang tidak
patut untuk dilakukan oleh aparat kepolisian saat mengamankan massa aksi di kantor Bupati
Kota Tangerang. Seharusnya di hari yang bersejarah ini Kabupaten Tangerang merayakannya
dengan kesenangan dan mendengarkan penyampaian aspirasi serta pendapat yang di
sampaikan oleh mahasiswa, agar supaya Kabupaten Tangerang kedepannya bisa lebih baik
lagi di dalam Pemerintahannya. Padahal aksi tersebut tidak adanya pembakaran ban apalagi
sampai merusak fasilitas yang dilakukan mahasiswa, tetapi tetap saja terjadi tindakan-
tindakan reprisifitas yang dilakukan oleh oknum kepolisian.
Sudah jelas dan nyata tindakan itu termasuk ke dalam penganiayaan yang dilakukan
oknum kepolisian terhadap mahasiswa. Di KUHP di BAB 10 tentang Penganiayaan di pasal
351 ayat (1) menjelaskan bahwa “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau denda empat ribu lima ratus rupiah.” Serta ayat (4) nya
menjelaskan bahwa “Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.” Juncto
pasal 354 ayat (1) menjelaskan bahwa “Barang siapa sengaja melukai berat orang lain,
diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun.”
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011
Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 1 ayat (1)
menjelaskan “Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri
adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Bagaimana pun Polri
harus menerapkan nilai-nilai Tribata dan Catur Prasetya dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang umum kepolisian. Ketentuan tersebut di atur dalam KEPP dalam pasal 2 (a) yang
kemudian harus di terapkan dan dimaknai lebih dalam lagi supaya tidak terjadi kembali
tindakan-tindakan represifitas. Sebagaimana tertera dalam Tribrata yaitu: senantiasa
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dan di Catur Prasetya yaitu: Menjaga
keselamatan jiwa raga harta benda dan hak azazi manusia. Itu adalah isi yang ada di Tribata

14 | P a g e
dan Catur Prasetya tersebut. Seharusnya polisi tetap menanamkan dan mengamalkan nilai-
nilai tersebut. Tetapi tidak pada tangal 13 Oktober 2021 yang di mana oknum polisi telah
melanggar KEPP yang sudah di jadikan dasar bagi para aparat kepolisian. Selebihnya itu
akan di selidiki kembali dan mengungkap fakta nya, ada serangkaian tindakan pemeriksaan
untuk melakukan audit investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan perkara guna mencari
faktanya yang sebenarnya terjadi di lapangan, supaya Propam bisa mengambil langkah yang
benar dan pasti.
Terkait persidangan yang akan dilakukan oleh Komisi Kode Etik Polri nantinya KKEP
inilah yang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh
anggota Polri. Lebih lanjutnya lagi jika terjadi pemberhentian terhadap oknum polisi tersebut
di atur lebih lanjut dalam pasal 12, 13, 14 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003
Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sudah jelas
dalam aturan tersebut. Serta pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang
Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang sudah jelas bahwa
ketika sudah melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oknum
kepolisian yang melakukan tindakan represifitas yang keluar dari KEPP tersebut dihukum
dengan seadil-adilnya dan bisa diberhentikan secara hormat maupun tidak dengan hormat. 8

8
Karya Tulis Penulis, Tindakan Represifitas Pelanggaran HAM Terhadap Pendemonstran Di Indonesia
Kembali Terjadi Kepada Mahasiswa Di Kabupaten Tangerang, Tragedi 13 Oktober 2021.

15 | P a g e
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa HAM bersifat melekat (inherent) pada diri setiap manusia,
artinya HAM merupakan karunia dari Tuhan dan bukan pemberian dari manusia, penguasa
ataupun negara. HAM juga bersifat universal, artinya eksistensi HAM tidak dibatasi oleh
batas-batas geografis atau dengan perkataan lain HAM ada di mana ada manusia.

Sudah jelas adanya dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM dan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM:
“HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Serta Pasal 28 J ayat (1) menjelaskan “setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
Serta dalam pasal 28 E ayat (3) menjelaskan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Dengan demikian, keterangan dari media massa seperti yang telah dikutip diatas yaitu
“massa melakukan pelanggaran HAM” adalah keliru. Ditinjau dari konteks HAM, tindakan
yang dilakukan oleh massa tersebut merupakan pelanggaran hukum pidana. Kemudian,
pelanggaran HAM akan timbul atau terjadi apabila negara tidak berbuat sesuatu atau lalai
untuk mencegah terjadinya tindak pidana tersebut sehingga yang terjadi adalah pelanggaran
HAM.
Rachel Bret menyatakan bahwa, menurut pandangan atau ajaran klasik HAM, hanya
pemerintahlah yang dapat dikatakan melakukan pelanggaran HAM. Adapun tindakan
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh individu adalah suatu kejahatan atau
pelanggaran hukum pidana, bukan pelanggaran HAM. Namun, perbuatan tersebut menjadi
pelanggaran HAM jika pelakunya adalah aparatur atau agen negara atau jika negara gagal

16 | P a g e
dalam melaksanakan kewajibannya untuk melindungi setiap individu maupun gagal untuk
menghukum para pelaku tindakan tersebut.
Pelanggaran HAM juga dapat terjadi manakala negara tidak mengambil tindakan
hukum apapun terhadap para pelaku yang merupakan aparatur negara atau pemerintah atau
malahan membiarkannya bebas tanpa dikenai hukuman apapun. Tindakan pembiaran
terhadap para pelaku tersebut dikenal dengan istilah impunitas. 9

Jadi tindakan-tindakan seperti itu seharunya tidak boleh terjadi apalagi massa aksi
mahasiswa di Kantor Bupati Tangerang tidak melakukan tindakan yang anarkis seperti
membakar ban dan lain sebagainya. Tindakan tersebut yang dilakukan oleh oknum kepolisian
harus di kawal oleh mahasiswa. Tetapi tidak hanya melakukan penekanan kepada pihak
Kepolisian dengan melakukan aksi kembali. Masih banyak yang harus di tabayyun kan
kembali oleh para mahasiswa. Jika memang aksi suatu hal yang efektif boleh-boleh saja.
Tetapi yang ditakutkan kembali adalah terjadi lagi hal seacam itu. Pada dasarnya kita
hanyalah manusia yang biasa, bisa melakukan kesalahan apapun saat kondisi tidak
memungkinkan yang diluar dari pemikiran kita selaku manusia.

Yang sudah dipaparkan di pembahasan di atas, sudah jelas memang aturannya serta
tindakannya masuk ke dalam delik yang sudah di tentukan di Undang-Undang kepada oknum
polisi tersebut. Seharusnya Polri tidak boleh melakukan tindakan represif terhadap siapapun
apalagi mahasiswa sebagai penyambung aspirasi masyarakat ke pemerintah. Khususnya kita
selaku mahasiswa hanya ingin yang terbaik untuk bangsa ini supaya tidak terjadi hal-hal yang
tidak di inginkan dalam pemerintahan.

Maka dari itu kami menginginkan tindakan tersebut tidak terjadi lagi di Indonesia,
bagaimanapun itu telah melanggar konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya. Semoga
Komnas HAM terus mengawal tindakan-tindakan represifitas yang di lakukan oleh aparat
kepolisian terhadap mahasiswa di Indonesia. Dan Propam pun harus menyelesaikan
permasalahan semacam ini dengan adil yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah serta
KKEP pun harus adil dengan seadil-adilnya dalam menangani kejadian penganiayaan yang
dilakukan oleh oknum-oknum kepolisian.

9
Andrey Sujatmoko, S.H., M.H., Loc.,Cit., hlm. 35.

17 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Sujatmoko Andrey. 2020. Hukum HAM dan Hukum Humaniter. Jakarta: Rajawali.

Sugiarto, Umar Said. 2017. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Asrun A. Muhammad. Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Cita Negara Hukum.
https://media.neliti.com. Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

Karya Tulis Penulis. Tindakan Represifitas Pelanggaran HAM Terhadap Pendemonstran


Di Indonesia Kembali Terjadi Kepada Mahasiswa Di Kabupaten Tangerang, Tragedi
13 . Oktober 2021.

Smith, K.M. Rhona, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII.

18 | P a g e

You might also like