You are on page 1of 19

Charles Sanders Peirce:

Filsafat Pragmatisme Kontemporer dan Aplikasinya dalam Studi Keislaman

Syukri Abubakar
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Sunan Giri Bima
Email, Syukri_ab@yahoo.com

Abstrak

Charles Sanders Peirce adalah salah seorang pencetus filsafat


pragmatisme awal abad 20 yang menjelaskan bahwa yang benar adalah segala
sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada
akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dia mencurahkan
perhatiannya pada pengetahuan dan keyakinan yang benar (belief) dan cara
mendapatkan keduanya (inquiry) serta teori tentang makna (meaning).
Kaum pragmatisme menolak perselisihan teoritis, pertarungan idiologis,
serta pembahasan-pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera
mungkin mengambil tindakan langsung. Kaum pragmatis juga mengabaikan peran
diskusi yang dijadikan wadah untuk mempertanggungjawabkan suatu masalah
yang dipecahkan. Begitu juga pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian
kebenaran sesuai dengan subjek penilai ide (individu, kelompok, masyarakat) dan
perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki
menurut pragmatisme akan dicapai sesuai dengan pragmatisme itu sendiri.
Jika dimplementasikan dalam kajian keislaman yang bersifat qath’i dan
dhanny, maka penerapan filsafat pragmatisme pada ajaran Islam yang bersifat
Qathi’i sangatlah sulit dipraktekkan, karena akan membongkar dasar-dasar asasi
syari’ah yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw. tapi
kalau diterapkan pada hal-hal yang bersifat dhanny, terutama berkaitan dengan
masalah mu’amalah, maka penerapan filsafat pragmatisme Charles Sander Peirce
sangat dimungkinkan untuk diadaptasi.

Kata Kunci: Filsafat Pragmatisme, Relativitas Kebenaran, Kajian Keislaman

1
Pendahuluan

Berkembangnya peradaban manusia, tidak terlepas dari peran ilmu


pengetahuan. Manusia dari waktu ke waktu mengalami perubahan, juga
disebabkan oleh adanya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Kalau mengikuti tahapan sejarah perkembangan ilmu (filsafat) yang
dikemukakan oleh Milton K. Muniz, umumnya sejarah filsafat dibagi menjadi
empat periode, yaitu periode klasik, periode pertengahan, periode modern dan
periode kontemporer.1
Periode klasik ditandai dengan munculnya filsafat Yunani dan Romawi
yang dimulai pada abad ke 6 SM dan berakhir pada tahun 529 M yang meliputi
filsafat pra-Socrates (Parmenides, Heraclitus, Anaximander, the Pythagoras dan
Democritus)2, Socrates, Plato, Aristoteles, Madzhab-madzhab besar,
Neoplatonisme, Patristika Yunani dan Patrisrika Latin. Periode pertengahan,
meliputi pemikiran Boethius, abad ke 6 M sampai Nicolaus Cusanos pada abad ke
15 M. Periode modern dimulai oleh pemikiran tokoh-tokoh Renaissance, yaitu
pada saat berkembangnya filsafat Rene Descartes tahun 1596–1650, Spinoza,
Leibniz, aliran Aufklarung, seperti Isaac Newton (1642-1727), Christian Wolf
(1679-1754) dan berakhir pada model filsafat optimisme JJ. Rousseau (1712-
1778). Periodisasi filsafat kontemporer, dimulai menjelang abad 19 M dan masih
berlangsung sampai sekarang, meliputi filsafat Jerman, Perancis, Inggris, Amerika
dan lain-lain.3
Salah seorang filsuf kontemporer adalah Charles Sander Peirce (1839–
1914), seorang filsuf Amerika yang hidup pada abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Dia dikenal sebagai pencetus filsafat pragmatisme, yaitu aliran filsafat yang

1
Milton K. Munitz, Contemporary Analytic Philosophy (New York: Macmillan
Publishing Co Inc, tt.),1. Yang membedakan keempat periode tersebut adalah dilihat dari metode
yang digunakan. Pada periode klasik, metode filsafat yang digunakan adalah metode silogistik dan
rasional. Pada periode pertengahan menggunakan metode empiris dan ekperimental dan pada
periode modern menggunakan topik-topik epistemologi sedangkan pada periode kontemporer
bergeser pada topik-topik logika linguistik.
2
Untuk lebih jelasnya mengenai pembagian ini, dapat dilacak dalam Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 21-84.
3
holhatul Choir, dkk., Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 3. Lihat juga, http://al-ibrah.com/index.php/alibrah/article/Filsafat
Pragmatisme Kontemporer: Ikhtiar Awal Memahami Teori Charles Sanders Peirce. Lihat juga
Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles Sander Peirce (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2007), 3.

2
mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya
sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang
bermanfaat secara praktis.4 Dia mencurahkan perhatiannya pada pengetahuan dan
keyakinan yang benar (belief) dan cara mendapatkan keduanya (inquiry) serta
teori tentang makna (meaning).

Kegelisahan Akademik dan Perior Research


Munculnya pemikiran Peirce tentang filsafat pragmatisme ini, diilhami
oleh pembacaannya terhadap teori-teori filsafat yang dilahirkan oleh tokoh-tokoh
klasik yang menurutnya tidak menambah sesuatu yang baru. Karena systemnya
yang tertutup dan kebenaran yang diklaimnya bersifat absolut dan kaku, praktis
filsafat tradisional tidak memberikan ruang untuk diadakan penelitian dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan di masa-masa mendatang.
Alasan berikutnya karena adanya berbagai kesulitan cara pemecahan
masalah yang biasa dikemukakan oleh pemikir modern yang diwakili oleh dua
aliran pemikiran, Empirisme dan Rasionalisme. Kedua aliran ini sama-sama
menemui kesulitan karena hanya bertumpu pada satu metode (monise), apalagi
dengan klaim mereka yang mempertahankan kebenaran masing-masing tanpa
kompromi. Peirce berupaya meninggalkan orientasi pembedaan subjek dan objek,
antara yang mengetahui (knower) dan yang diketahui (dunia eksternal) dalam
memahami hakikat pengetahuan dengan mengajukan pendekatan pragmatisme.
Peirce ingin menelaah tentang kebenaran dengan pola yang ia kembangkan yang
dimulai dengan belief, habit of mind, doubt, inquiry dan terakhir mendapatkan
meaning5.
Charles S. Peirce membaca tulisan-tulisan Alexander Bain yang
membicarakan tentang semiotika yang mempengaruhi dan mewarnai
pemikirannya. Peirce juga menelaah karya filsuf penggerak modernisme, seorang
rasionalis Perancis, Rene Descartes (1595-1650).6 Descartes dikenal sebagai sosok
yang secara metodis menyangsikan segala sesuatu yang ada. Dia meragukan

4
https://id.wikipedia.org/wiki/Pragmatisme, diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.
5
Yang dimaksud mendapatkan makna disini adalah ketika ia mengandung observation
statement. Artinya, sebuah ungkapan dikatakan bermakna jikalau berdasarkan observasi.
Pernyataan dikatakan benar jika pernyataan tersebut dapat diuji kebenarannya secara empiris.
6
Tholhatul Choir, dkk., Islam dalam, 6.

3
terlebih dahulu segala realitas yang dia ketahui, baik yang bersifat eksternal, alam
maupun yang bersifat internal, tubuh. Segala hal yang berasal dari tradisi dan
otoritas, juga ia tolak dengan menempatkan rasio subyek sebagai pijakan.
Menurutnya, tradisi juga tidak mampu membawa dirinya kepada keyakinan dan
juga mengantarkan kepada kesalahan.
Peirce juga membaca karya-karya filsus empiris semisal George
Berkeley, David Hume dengan filsafat positivismenya, dan Hegel dengan Filsafat
idealismenya. Selain itu, Peirce juga menelaah lebih dalam karya Immanuel Kant
yang berjudul “Critic of the Pure Reason”,7 dia tidak sepenuhnya setuju dengan
isi buku tersebut, bahkan tiap bagiannya banyak yang dia kritisi, terutama
berkaitan dengan pemikiran Kant yang meletakkan kebenaran pemikirannya atas
dasar rasionalitas dan empirisme.
Pemikiran Peirce ini memberikan dampak positif bagi perkembangan
ilmu pengetahuan karena memberi ruang yang lebih luas bagi pemikir untuk
berkreasi dalam rangka mendapatkan kebenaran karena kebenaran menurutnya
bersifat spekulatif dan tentative bukan bersifat absolut dan kaku.

Asal Usul Filsafat Pragmatisme


Pada era modern, kita mengenal sosok Rene Descartes (1596–1650)
sebagai penggerak modernisme. Descartes dikenal sebagai seorang filsuf yang
memiliki kesangsian metodis terhadap segala realitas yang datang padanya. Mula-
mula ia meragukan segala sesuatu yang dapat diindra, obyek yang sebenarnya
tidak mungkin diragukan. Dia meragukan badannya sendiri. Keraguan itu menjadi
mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada
pengalaman dengan ruh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. 8 Misalnya,
dalam mimpi, seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh
terjadi persis seperti tidak mimpi (jaga), begitu juga pada pengalaman halusinasi,
ilusi, dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga.
Akibatnya ia menyatakan bahwa ada satu yang tidak dapat diragukan, yaitu saya
ragu.

7
Milton K. Munitz, Contemporary, 24.
8
Amsal Bakhtiar, Filsafat,143.

4
Maka dia mengusung postulat yang cukup masyhur di kalangan ilmuan
yaitu cogito ergo sum. Postulat ini diciptakan dalam rangka menyanggah kaum
skeptis yang mengingkari realitas. Premis awalnya adalah “Saya ragu” lalu
dilanjutkan dengan “Ketika seorang ragu dia pasti berfikir”. Maka muncullah
proposisi “Ketika saya berpikir maka saya ada” atau cogito ergo sum.
Keraguannya bukanlan keraguan kaum skeptis yang menolak secara mutlak
pengetahuan yang sebenarnya dapat diraih oleh manusia. Namun sebaliknya,
keraguannya adalah untuk mendapatkan pemahaman yang meyakinkan dan tak
tergoyahkan.9
Pemikiran Rene Descartes tersebut, dikritik oleh tiga orang filsuf yang
datang kemudian, yang dikenal dengan filsuf empiris Anglo Saxon yaitu John
Locke, Berkeley, dan David Hume (1711-1776). Mereka menolak konsep fitrah
yang diyakini oleh kaum rasionalis, seperti Descartes. Mereka lebih menekankan
konsep-konsep yang bersumber dari indra dan pengalaman empiris. Ketegangan
antara rasionalisme dan empirisme tersebut kemudian diselesaikan dengan
positivisme oleh David Hume (1711-1776).10 Hume mengakui bahwa
pengetahuan manusia bisa didapat dengan rasio dan indra.
Selain mereka bertiga, muncul pula Immanuel Kant (1724-1804) dengan
filsafat kritisismenya, yakni aliran filsafat yang mencoba mensintesiskan secara
kritis Empirisme yang dikembangkan oleh John Locke yang bermuara pada
Empirisme David Hume, dengan rasionalisme dari Descartes. Menurut Kant, baik
rasionalisme maupun empirisme, keduanya ada ketimpangan atau berat sebelah. Ia
kemudian menjelaskan bahwa pengetahuan manusia merupakan sintesa antara
unsur apriori dan aposteriori. Kant menyelidi batas-batas kemampuan rasio dan
indrawi. Hal ini berbeda dengan pemikir rasionalis lainnya yang mempercayai
kemampuan rasio secara bulat. Kant juga, mempercayai empirisme dengan
mengatakan bahwa semua pengetahuan dimulai dari pengalaman. Obyek luar
ditangkap oleh indra, lalu rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh
dari pengalaman tersebut.
Menurut Kant, akal manusia tidak mungkin sampai kepada pengetahuan
fundamental tentang struktur realitas (pengetahuan fisika). Hal ini karena manusia
9
Tholhatul Choir, dkk., Islam,7.
10
Ibid.9.

5
tidak dapat mengetahui sesuatu di luar pengalaman sensorisnya. Kant
memperkenalkan dua istilah yang sangat terkenal, yakni phenomena dan
noumena. Phenomena adalah segala sesuatu yang tampak dan bisa kita persepsi
dengan indra kita. Sementara noumena adalah realitas yang tidak bisa dipersepsi,
tak bisa diketahui, tak bisa digambarkan dan tak bisa dicapai. Persoalan tentang
Tuhan dan persoalan-persoalan metafisika lainnya masuk dalam kategori ini.11
Dari kritisisme model Kant, kemudian muncullah Hegel (1770-1831).
Hegel mengembangkan filsafat kritisme ke dalam idealisme, yaitu filsafat yang
memfokuskan kajian pada fakta empirik berdasarkan ide-ide. Hegel dinilai
sebagai peletak dasar filsafat kontemporer (menjelang abad 19) hingga sekarang.
Atas gagasan idealisme Hegel, lahir filsafat pragmatisme, suatu gerakan filsafat
abad ke 19 dan ke 20 yang menekankan ide-ide melalui konsekuensi-
konsekuensinya. Filsafat pragmatisme, adalah filsafat yang selalu menekankan
nilai pengetahuan berdasarkan nilai kegunaannya (manfaat). Bagi pragmatisme,
pengetahuan dianggap benar jika punya asas manfaat. Pragmatisme selain diusung
dari Hegel, juga diambil dari Kant.12 Sebab Kant membedakan yang praktis (yang
berkaitan dengan kehendak dan tindakan) dari yang pragmatik (yang bertalian dari
ide-ide dan akibat-akibat), dari sinilah teori makna (meaning) Charles S. Peirce
lahir. Karena menurut Peirce kriteria makna adalah prinsip pragmatik. Selain
Peirce, peletak dasar filsafat pragmatisme lainnya adalah William James (1842-
1910) dan John Dewey (1859-1952)13. Setelah pragmatisme berkembang, maka
tema pemikiran mengarah ke filsafat analitis, yaitu filsafat yang memfokuskan
tema pada bahasa (linguistik) dan upaya untuk menganalisis pernyataan. (konsep-
konsep atau bentuk-bentuk logis).

11
Ibid. 11.
12
Istilah Pragmatisme ini memang awalnya diambil oleh Peirce dari Kant. Kant meyakini
bahwa manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tapi hanya bersifat kemungkinan
berlaku, seperti keyakinan seorang dokter yang memberikan resep untuk menyembuhkan penyakit
tertentu. Keyakinan itu baru pada pengguna obat. Sementara Peirce melihat bahwa keyakinan
seperti itu cocok untuk filsafat, karena ia tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah
atau eksperimental. Ia mengambil istilah itu untuk merancang suatu filsafat yang mau berpaling
pada konsekuensi praktis atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti atau faliditas idenya.
13
Walaupun ketiga filsuf tersebut merupakan tokoh Pragmatisme, tetapi mereka tersebar
dalam bidang masing-masing. Charles Sander Peirce dalam bidang filsafat ilmu, John Dewey di
bidang filsafat sosial dan pendidikan dan William James dalam bidang Filsafat Agama. Milton K.
Munitz, Contemporary, 15.

6
Biografi Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce lahir di Cambridge, Massachusetts, pada tanggal
10 September tahun 1839, anak kedua dari seorang bapak yang bernama
Benjamin Peirce dan Ibu yang bernama Sarah Peirce. Bapaknya merupakan
seorang professor dalam bidang Matematika dan Astronomi di Universitas
Harvard.14 Sejak kecil, Peirce telah menunjukkan bakat dan minatnya yang
luarbiasa dalam memperdalam ilmu pengetahuan sehingga bapaknya sejak awal
sangat memperhatikan pendidikannya terutama dalam bidang matematika.
Ayahnya juga mengajari Peirce dengan cara membuat suatu kasus atau problem,
kemudian ayahnya meminta jawaban dari sang anak atas kasus tersebut. Cara
pembelajaran seperti ini sangat membekas dalam pikiran Peirce dan membantu
dalam mengembangkan pemikirannya di kemudian hari.15 Sehingga tidak
mengherankan, ketika berumur 13 tahun, dia telah menguasai Elements of Logic
yang berasal dari teori Archibishop Whately. Dia juga, sebagaimana yang
dijelaskan di atas, mendalami karya filsuf kenamaan Immanuel Kant yang
berjudul Critic of The Pure Reason. Buku ini dia baca dua jam sehari selama tiga
tahun. Menurut pengakuannya, dia telah menguasai isi buku tersebut dan
memberikan kritik pada tiap bagiannya.16
Sebelum memasuki Harvard, dia telah mengikuti training di laboratorium
Kimia selama sepuluh tahun. Lalu pada tahun 1855, Peirce baru memasuki
perkuliahan di Harvard College dengan konsentrasi filsafat dan ilmu logika
hingga selesai pada tahun 1859. Dia mendapatkan gelar MA pada tahun 1862, dan
mendapatkan gelar B.Sc. (Bachelor of Science) pada tahun 1863 dalam bidang
Kimia dengan peringkat summa cum laude. Pada tahun 1861 Peirce bekerja pada
US Coast and Geodetic Survey, khusus mensurvey dan investigasi geodesi.
Pada tahun 1862, Peirce menikah dengan Marriet Melunisia Inadequasies
seorang feminis pertama Amerika yang biasa dipanggil Zina. Ia menceraikannya
pada tahun 1883, lalu menikah untuk kedua kalinya dengan Juliette. Dengan
dialah Peirce menghabiskan masa tuanya di Milford, Pennsylvania dan akhirnya

14
Ibid, 17.
15
http://plato.stanford.edu/entries/peirce/#stud, pertama kali dipublis pada tanggal 22 Juni
2001.
16
Milton K. Munitz, Contemporary, 24.

7
meninggal akibat kanker yang dideritanya pada tanggal 19 April 1914. 17 Peirce
menulis banyak artikel membahas berbagai macam persoalan, dan kebanyakan
artikelnya berkaitan dengan logika. Pada masa hidupnya, tulisan-tulisannya itu
tidak pernah dibukukan. Namun berkat kegigihan William James, seorang kawan
dekatnya, maka tulisan-tulisannya itu dibukukan dan disebarluaskan di kalangan
masyarakat cendekia sehingga dikenal oleh semua orang sampai saat ini.
Adapun beberapa karya yang pernah ditulis oleh Peirce diantaranya
adalah; Pertama, The Collected Paper’s of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited
by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press,
Cambridge, Massachusetts, 1931-1958); Kedua, The Essential Peirce, 2 vols.
Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce Edition Project
(Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992, 1998); Ketiga, The New
Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I Arithmatic, Volume II
Algebra and Geometry, Volume III/1 and III/2 Mathematical Miscellanea,
Volume IV Mathematical Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mounton
Publishers, The Hague, 1976); Keempat, Pragmatism as a Principle and Method of
Right Thinking: the 1903 Harvard Lectures on Pragmatism by Charles Sanders
Peirce. Edited by Patricia Ann Turrisi (State University of New York Press,
Albany, New York, 1997); Kelima, Reasoning and the Logic of Things: the
Cambridge Conferences Lectures of 1898. Edited by Kenneth Laine Ketner
(Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts,1992); Keenam, Writings
of Charles S. Peirce: a Chronological Edition, Volume I 1857-1866, Volume II
1867-1871, Volume III 1872-1878, Volume IV 1879-1884, Volume V 1884-1886.
Edited by the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington,
Indiana, 1982, 1984, 1986, 1989, 1993).18

Kebenaran Menurut Charles Sanders Peirce


Menurut Peirce, kebenaran itu ada dua. Pertama, kebenaran
transcendental (trancedental truth), yaitu kebenaran yang menetap pada benda itu
sendiri. Singkatnya, letak kebenaran suatu hal adalah pada “things as things”.

17
Ibid.
18
Gunawan (ed.) http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/18/kajian-epistemologi-
charles-sanders-pierce- 1839-1914. dipublikasi pertama kali pada tanggal 18 Desember 2008.

8
Kedua, kebenaran kompleks (complex truth), yaitu kebenaran dalam pernyataan.
Kebenaran kompleks terbagi menjadi dua, yaitu kebenaran etis atau psikologis
yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diyakini pembicara, dan kebenaran
logis atau literal, yaitu keselarasan antara pernyataan dengan realitas yang
didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini harus diuji dengan konsekuensi
praktis melalui pengalaman. Artinya suatu proposisi itu benar bila pengalaman
membuktikan kebenarannya. Proposisi itu keliru apabila bertentangan dengan
realitas yang diucapkannya, bertentangan dengan pengalaman realitas.
Di bawah ini beberapa tawaran pemikiran Peirce untuk mendapatkan
keyakinan yang benar, diantaranya:

1. The Nature of Belief


Untuk memahami pandangan Peirce tentang kebenaran, maka kita perlu
memahami terlebih dahulu adanya tiga sifat dasar yang terdapat pada keyakinan
(the nature of belief)19, yaitu;
Pertama, proposisi (dalil/hujjah). Setiap proposisi secara mendasar
memiliki dua komponen: subjek dan predikat. Peirce menulis: “setiap keyakinan
adalah keyakinan terhadap sebuah proposisi. Setiap proposisi memiliki predikat
(yang mengungkapkan sesuatu yang diyakini), juga memiliki subjek (yang
menjelaskan apa itu sesuatu yang diyakini)”. Seseorang yang menyatakan
proposisi sebagai yang benar, maka ia sepakat mendukung proposisi sebagai yang
benar dan ia harus konsekwen dengan kebenaran yang ia utarakan.
Kedua, kebiasaan dalam pikiran (habit of mind). Keyakinan sebagai
sebuah kebiasaan (habit) bukan sebuah kesadaran yang temporal, seperti rasa sakit
yang akan hilang atau seperti melihat kilatan cahaya. Keyakinan selalu ada
sepanjang waktu. Seseorang yang memiliki keyakinan akan selalu mengulang-
ulang dengan sengaja suatu tindakan yang sama sesuai dengan apa yang
diyakininya. Hal ini berlaku bagi setiap jenis atau tipe keyakinan, baik yang
sifatnya teoritis maupun praktis.20

19
Milton K. Munitz, Contemporary, 27.
20
Aguk Irawan MN., Filsafat Pragmatisme Kontemporer; Ikhtiar Awal Memahami Teori
Charles Sanders Peirce, dalam Jurnal al-‘Ibrah. Vol. 10, No. 1 September 2013. hal. 9.

9
Ketiga, Doubt and Belief. Peirce membedakan antara keyakinan dan
keraguan. Keyakinan adalah pernyataan sebuah proposisi yang dipegang teguh
oleh seseorang sebagai sebuah kebenaran. Sedangkan keraguan adalah sikap
mental yang tidak siap menerima proposisi tersebut sebagai sebuah kebenaran.
Oleh karenanya, Peirce melihat bahwa antara orang yang yakin dengan orang
yang ragu dapat dibedakan dari dua hal, yaitu feeling (perasaan) dan behavior
(tindakan)-nya orang tidak nyaman. Jadi orang yang ragu selalu merasa tidak
nyaman dan berupaya untuk menghilangkan keraguan dalam rangka menemukan
keyakinan yang benar. Karena itu, keraguan doubt harus dibedakan dari
ketidaktahuan ignorance atau kekurangsadaran tentang proposisi21.
Lebih lanjut Peirce menjelaskan bahwa perbedaan doubt dengan belief
dapat diketahui dalam beberapa segi; Perbedaan dalam sensasi awal atau perasaan
awal yang mengiringi keduanya (doubt dan belief) dan perbedaan dalam pikiran
yang terlibat. Peirce menjelaskan bahwa keraguan adalah sesuatu yang secara
murni dirasakan, bersifat aktif, ketidakpastian yang betul-betul sedang dialami
oleh seseorang; ketidakpastian yang dalam tingkatan tertentu mendorong
seseorang untuk mempertanyakan proposisi.22
Peirce juga membedakan antara murni keraguan (genuine doubt) dan
keraguan yang artifisial (artificial doubt). Apa yang ia maksud dengan keraguan
sebagai lawan dari keyakinan adalah murni keraguan (genuine doubt) bukan
keraguan yang artifisial. Oleh sebab itu, Peirce mengklaim bahwa metode
keraguan Descartes harus ditolak sebagai teknik yang salah dalam filsafat. Karena
metode keraguan Descartes itu menganjurkan penggunaan metode yang
meningkatkan keterlibatan keraguan artifisial. Oleh sebab itu, metode Descartes
menganjurkan kita untuk meragukan hal-hal yang normalnya tidak ada alasan
untuk kita ragukan.23
Peirce mengatakan, bahwa kita semua ini dibekali dengan banyak
keyakinan yang pasti, yaitu keyakinan yang secara asli kita tidak bisa
meragukannya, kapanpun saja, bahkan kita tidak dapat dan tidak merasakan harus

21
Milton K. Munitz, Contemporary, 31.
22
Ibid. 32.
23
Ibid.

10
meragukannya. Misalnya keyakinan bahwa setiap kehidupan pasti mengalami
kematian.24

2. Teory Inquiry
Charles Sander Peirce menggunakan berbagai istilah untuk Inquiry
seperti investigation dan reasoning. Teori inquiry ini bertitik tolak dari keyakinan
belief dan keraguan doubt. Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang pasti
dialami oleh manusia. Adakalanya yakin sepenuh hati dan pikiran terhadap
sesuatu dan adakalanya manusia itu ragu terhadap sesuatu. Peirce mencetuskan
teori inquiry ini bertitik tolak dari klaim Descartes atas keyakinan dan keraguan.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai teori inquiry ini,
maka kita kaji terlebih dahulu konsep Descartes mengenai keyakinan dan
keraguan itu. Descartes sangat radikal dalam memahami keraguan sebagai satu-
satunya cara untuk mengantarkan manusia pada keyakinan akan kebenaran yang
sesungguhnya. Rodliyah Khuza’i menjelaskan:
Ia (Descartes) menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan.
Salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan
ialah melihat seberapa jauh bisa diragukan. Keraguan bila diteruskan sejauh-
jauhnya, akhirnya akan membuka tabir yang tidak bisa diragukan, kalau hal itu
ada. Prosedur yang disarankan Descartes disebut “keraguan universal” karena
direntang tanpa batas atau sampai keraguan itu membatasi diri; disebut metodik
karena keraguan ini merupakan cara yang digunakan oleh penalar reflektif untuk
mencapai kebenaran sebagai usaha yang dilakukan budi.25

Keraguan universal (universal doubt) didasarkan pada suatu ungkapan


Descartes sendiri, yaitu cogito ergo sum artinya aku berpikir maka aku ada.
Descartes ingin mencari kebenaran dengan meragukan segala hal. Ia meragukan
keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan
dirinya sendiri. Descartes berpikir bahwa dengan meragukan segala hal termasuk
dirinya sendiri itu, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang
mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Jadi ada semacam kekuatan yang
tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu
mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.

24
Aguk Irawan MN., Filsafat Pragmatisme, Ibid.11.
25
Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi, 83.

11
Jadi, Inquiry adalah suatu metode yang mengkaji kenyataan-kenyataan
tentang sesuatu, atau metode untuk menyelidiki dan mengumpulkan informasi
mengenai sesuatu. Maka dengan pengertian ini, inquiry identik dengan suatu
metode untuk meneliti sasaran tertentu. Atau dalam arti yang luas, yaitu suatu
kegiatan ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang
benar.

Bagi Peirce, kebenaran sebuah teori betapapun baiknya, haruslah tetap


diterima secara tentative, dalam arti kebenarannya dapat diterima sepanjang
belum ditemukan teori lain yang lebih powerfull. Prinsip bahwa sebuah teori tidak
boleh diperlakukan mutlak, a priori dan hanya bersifat tentative, dikenal dengan
prinsip fallibilism.26 Peirce sering menekankan bahwa pengetahuan ilmiah bukan
sesuatu yang pasti sempurna dan melampaui pencapaian obyeknya. Ilmu
pengetahuan tidak pernah mencapai formulasi yang final absolut mengenai alam
semesta. Pengakuan batas yang niscaya dari pengetahuan ilmiah inilah yang
disebut oleh Peirce dengan fallibilism, yaitu sikap hati-hati terhadap ilmu
pengetahuan yang dengan sengaja menyembunyikan komitmen yang sempurna
dan final terhadap perolehan metode ilmiah, tetapi disatu sisi ada semangat
kepercayaan terhadap ilmu dan jaminan bahwa ilmu benar-benar bertemu dengan
kebenaran.27

3. Teori of Meaning

Untuk memperoleh keyakinan yang hakiki, salah satu upayanya adalah


dengan melakukan penelitian ilmiah. Hal demikian, Charles menamainya dengan
teori pemaknaan pragmatis (Pragmatic Theory of Meaning), yaitu teori makna
yang operatif.28 Peirce bermaksud dengan pragmatisme ini adalah untuk membuat
pikiran biasa menjadi ilmiah. Dia juga menekankan penerapan pragmatisme ini
pada lingkup bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga
diperoleh kejelasan konsep dan logika symbol (bahasa). Dengan mengajukan teori
ini, dia dianggap sebagai bapak semiotika modern.29

26
Milton K. Munitz, Contemporary, 26.
27
Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi, 125.
28
Ibid., 118.
29
Milton K. Munitz, Contemporary, 48.

12
Semiotika yaitu ilmu yang mempelajari komunikasi melalui lambang-
lambang (tanda-tanda). Menurut Peirce, tanda “is something which stands to
somebody for something in some respect or capacity. Artinya, tanda adalah
sesuatu yang berarti untuk seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau
kapasitas.

Robert Audi lebih jauh menjelaskan mengenai teori makna ini, bahwa:

Peirce mengasalkan teori makna dari ide ini. Kriteria makna adalah
prinsip pragmatik; simaklah apa akibat-akibat yang mempunyai sangkut
paut praktis yang dapat dibayangkan, maka kita membayangkan obyek
yang akan dimiliki oleh konsepsi kita. Nah, konsepsi kita tentang akibat-
akibat ini meerupakan konsepsi kita tentang obyek itu. Dia menjadikan
teori ini sebagai sentral filsafatnya.30
Berdasarkan keterangan di atas, dapat menarik suatu kesimpulan bahwa
ide, gagasan atau konsepsi yang baik adalah yang sesuai dengan konsekuensinya
(akibat-akibatnya). Suatu ucapan atau ungkapan dikatakan bermakna ketika ia
mengandung observation statement. Artinya, sebuah ungkapan dikatakan
bermakna jikalau berdasarkan observasi. Pernyataan dikatakan benar jika
pernyataan tersebut dapat diuji kebenarannya secara empiris.

Metode Mempengaruhi penyelesaian Opini

Kadang kala suatu waktu, manusia dihinggapi oleh rasa was-was atau
ragu-ragu dalam menyikapi suatu persoalan. Perasaan ini muncul ketika
menghadapi persoalan yang tidak ditemukan kepastiannya. Dari sudut pandang
psikologi, bahwa jiwa yang memiliki keyakinan itu lebih nikmat rasanya dari pada
jiwa yang ragu-ragu.31
Untuk mengatasi keraguan dan mengantarkan seseorang memperoleh
keyakinan, Peirce melakukan eksperimen dengan membuat metode yang disebut
dengan Effecting a Settlement of Opinion, yakni bertujuan untuk meneguhkan
keyakinan fixation of belief. Terdapat empat tawaran metode yang bisa digunakan,
diantaranya;32

30
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 878.
31
Milton K. Munitz, Contemporary, 34.
32
Ibid., 34-42.

13
1. Metode pertahanan (The method of tenacity), adalah sebagai cara memperoleh
pengetahuan dengan meyakini sesuatu secara terus menerus, dan mengulang-
ulang kayakinan itu, meski bisa jadi apa yang diyakininya belum tentu benar.
Adanya keyakinan ini disebabkan karena hal yang diyakini tersebut umum terjadi.
2. Metode otoritas (The method of authority). Pengetahuan diterima dari berbagai
sumber yang dipandang memiliki otoritas dalam menyampaikan informasi
tersebut. Artinya, pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui otoritas pemegang
kekuasaan, seperti sultan atau pejabat pemerintahan.
3. Metode a priori (The method of a priori), metode ini dapat ditemukan dalam
sejarah filsafat metafisika. Kebenaran diterima semata-mata karena intuisi/rasa.
Menurut metode ini, seseorang dapat menerima pandangan apapun jika sesuai
dengan pikirannya tanpa harus dibuktikan dengan fakta-fakta empiris yang dapat
diamati. Hal ini berbeda dengan posteriori yang merupakan lawannya, yaitu
mengacu pada ketentuan terdahulu sebelum pengalaman indrawi
4. Metode sains (The method of science), yang juga disebut sebagai metode
investigasi, metode penyelidikan atau metode rasio. Menurut Peirce, metode ini
adalah metode yang paling penting dan realistis 33. Karena mencakup seluruh
tindakan, pikiran dan pola kerja dan teknis kerja untuk mendapatkan pengetahuan
baru atau mengembangkan pengetahuan yang sudah ada.
Menurut Peirce, manfaat utama dan yang sangat penting dalam metode
investigasi adalah ketika metode ini mendorong kita menuju pada kebenaran, pada
ilmu pengetahuan tentang realitas. Inilah yang terpenting bagi Peirce. Logika
adalah doktrin tentang kebenaran normatif, ciri-ciri dasarnya, dan jalan untuk
mengungkapkan kebenaran. Nilai penting teori makna dalam pragmatisme adalah
bahwa ia merupakan sebuah fase yang dengan lebih luas dapat mengelaborasi
bagaimana manusia menerima kebenaran34.

Selanjutnya dalam sebuah tulisan yang terbit pada tahun 1878, yang
berjudul How to Make Our Ideas Clear, Peirce menyatakan bahwa kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan realitas. Suatu pernyataan adalah benar apabila

33
Ibid, 42.
34
Ibid., 44. Lihat juga Aguk Irawan MN., Filsafat Pragmatisme, Ibid.13.

14
pernyataan atau kosekuensi dari pernyataan tersebut dipercaya mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.35 Untuk mengetahui kegunaan praktis
tersebut, diperlukan investigasi atau penyelidikan lebih lanjut. Disinilah fungsinya
teori investigasi atau inquiry tersebut.

Memperkuat pemikiran Peirce tersebut di atas, William James (1842-


1910) salah seorang karib Peirce yang juga tokoh filsafat pragmatisme,
mengemukakan dalam bukunya The Meaning of Truth bahwa tiada kebenaran
mutlak, yang berlaku umum, bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal
yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap
benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah. Hal ini
disebabkan karena dalam perkembangannya ia dapat dikorekasi oleh pengalaman
berikutnya.36

Begitupun John Dewey, mengatakan bahwa tak ada sesuatu yang tetap.
Manusia itu selalu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia
mengalami kesulitan maka ia akan segera menghadapi kesulitan dengan mencari
solusinya. Kegiatan berpikir tersebut merupakan salah satu kegiatan untuk
merubah keadaan sebelumnya menuju keadaan berikutnya.37

Aplikasi Teori Kebenaran Peirce dalam Studi Islam

Muncul pertanyaan bagaimana jika teori kebenaran yang digagas oleh


Charles Sander Peirce ini dikaitkan dengan Studi Islam di lingkungan PTKIN?
Bisakah teori tersebut diaplikasikan dalam studi keislaman?. Untuk menjawab hal
tersebut, coba kita cermati penjelasan berikut ini.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa teori kebenaran yang diajarkan


oleh Charles Sander Peirce adalah sesuatu pernyataan itu dikatakan benar jika
memiliki kegunaan dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, kebenarannya
menjadi relative dan tidak mutlak.

35
Tholhatul Choir, dkk., Islam,18.
36
Ali Maksum, Pengantar Filsafat; Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 373.
37
Ibid.

15
Jika dikaitkan dengan ajaran pokok Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an
dan hadist Nabi Muhammad Saw. bahwa terdapat ajaran Islam yang bersifat
bersifat Qath’i dan terdapat ajaran Islam yang bersifat dhanny, maka penerapan
filsafat pragmatisme dalam bingkai ajaran Islam yang bersifat Qathi’i sangatlah
sulit diwujudkan, karena akan membongkar dasar-dasar asasi syari’ah yang sudah
ditetapkan oleh Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw. misalnya menganggap
bahwa kebenaran rukun Islam dan rukun Iman itu bersifat relative. Lain halnya,
jika digunakan pada masalah-masalah yang dhanny (yang tidak dijelaskan secara
shorih dalam al-Qur’an dan Hadist Nabi), khususnya yang berkaitan dengan
masalah mu’amalah, maka Nabi Muhammad Saw. sendiri mengatakan “Kalian
lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Masalah mu’amalah ini diserahkan
sepenuhnya kepada kaum muslimin. Maka penerapan filsafat pragmatisme
Charles Sander Peirce dalam masalah mu’amalah ini dimungkinkan untuk
diadaptasi.

Sebagaimana dimaklumi bahwa masalah mu’amalah erat kaitannya


dengan hal-hal di luar masalah ibadah mahdhoh, sebagai contoh masalah
penafsiran yang beragam terhadap ayat-ayat yang terkait dengan hukum,
pendidikan, budaya, dakwah, dan lain-lain. Misalnya dalam bidang hukum
kewarisan Islam, Munawir Sjadzali mengkampanyekan pembaruan metode
berfikir dalam memahami ayat-ayat tentang waris yang selama ini dipahami
secara tekstual oleh para ahli hukum, sehingga dipandang merugikan kaum
perempuan.

Munawir selalu menerima laporan dari para hakim di berbagai daerah


yang kuat keislamannya seperti di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan
ditemukan tindakan masyarakat yang menyimpang terhadap ketentuan al-Qur’an
tentang pembagian 2:1. Dalam praktek di masyarakat, para ahli waris tetap
meminta fatwa tentang ketetapan hukum waris sesuai dengan fara’id Islam yang
didalamnya menetapkan kalkulasi bagian anak laki-laki dan anak perempuan 2:1
tapi dalam pelaksanaannya kerapkali para ahli waris tidak melaksanakan fatwa
ketetapan hakim Pengadilan Agama tersebut. Malah mereka melakukan
pembagian yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam yaitu 1:1 antara anak

16
laki-laki dengan anak perempuan. Cara seperti ini tidak hanya dilakukan oleh
orang awam saja tapi juga dilakukan oleh tokoh-tokoh organisasi yang cukup
menguasai ilmu-ilmu keislaman.38 Oleh karena itu, ia menawarkan agar ayat-ayat
tentang waris dipahami secara kontekstual sehingga kemaslahatan yang menjadi
tujuan pokok syari’ah benar-benar dapat diwujudkan.

Hal ini sesuai dengan kaedah fiqh yang ditawarkan oleh Ibnu Qoyyim al-
Jauziyah yang menyatakan bahwa “Perubahan suatu fatwa disebabkan oleh
berubahnya waktu, tempat, situasi, niat dan adat kebiasaan”. 39 Ini menandakan
bahwa pandangan atau pendapat ulama terdahulu tidak serta merta benar secara
absolut yang tidak dapat diganggu gugat, tapi kebenarannya bersifat relatif karena
pada suatu saat atau pada kondisi tertentu pandangan tersebut tidak dapat
dipraktekkan, kalaupun dipraktekkan akan bertentangan dengan nilai-nilai
kemaslahatan yang hidup dalam masyarakat.

Begitupun dalam bidang pendidikan. Banyak perkembangan baru yang


dicetuskan oleh para ahli dalam memahami ayat-ayat terkait pendidikan, karena
mereka mengerti bahwa dunia pendidikan itu bersifat dinamis mengikuti
perkembangan jaman. Jika tidak, dunia pendidikan akan mengalami kemunduran,
ketinggalan zaman sehingga ditinggalkan oleh peminatnya. Dunia pendidikan
yang baik adalah dunia pendidikan yang mampu merespon kebutuhan
masyarakatnya karena cermin maju dan mundurnya suatu masyarakat adalah
dinilai dari maju dan mundurnya dunia pendidikan masyarakat yang
bersangkutan.

Catatan Akhir
Dari paparan di atas, kita dapat mengetahui bahwa filsafat pragmatisme
merupakan filsafat bertindak dalam menjawab berbagai kemelut persoalan yang
bersifat epistimologi, psikologis, metafisis maupun religius dalam meraih makna

38
Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), 88.
39
Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Abubakar Ibn Qayyim al-Jauziyah, A’lam al-
Muwaqi’in An Rab al-Alamain, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 11.

17
(the meaning) dan (truth) kebenaran. Karenanya kaum pragmatis selalu
menganjurkan pemikiran harus berhubungan langsung dengan aksi; sementara
kebenaran dan arti gagasan-gagasan harus terus dikaitkan dengan konsekuensi-
konsekuensinya.
Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat,
rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuaensi praktis.
Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsep, melainkan
hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai
prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau
strategi terbukti benar apabila dapat memcahkan masalah yang ada, mengubah
situasi yang penuh dengan keraguan dan keresahan sedemikian rupa sehingga
keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Jadi dari segi positifnya, kaum pragmatisme menolak perselisihan
teoritis, pertarungan idiologis, serta pembahasan-pembahasan nilai-nilai yang
berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Sementara segi negatifnya, kaum pragmatis mengabaikan peran diskusi yang
dijadikan wadah untuk mempertanggungjawabkan suatu masalah yang
dipecahkan. Begitu juga pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian
kebenaran sesuai dengan subjek penilai ide (individu, kelompok, masyarakat) dan
perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki
menurut pragmatisme akan dicapai sesuai dengan pragmatisme itu sendiri.
Jika dikaitkan dengan ajaran pokok Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an
dan Sunnah, dimana terdapat ajaran Islam yang bersifat qath’i dan dhanni, maka
penerapan filsafat pragmatisme dalam bingkai ajaran Islam yang qathi’i sangat
sulit diwujudkan, karena akan membongkar dasar-dasar asasi syari’ah yang telah
mapan sebagaimana ditetapkan oleh Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw.
seperti menganggap kebenaran rukun Islam dan rukun Iman bersifat relative.
Lain halnya, jika digunakan pada masalah-masalah yang bersifat dhanni (yang
tidak dijelaskan secara shorih dalam al-Qur’an dan Hadist Nabi), berkaitan
dengan masalah mu’amalah, maka Nabi Muhammad Saw. sendiri menyerahkan
sepenuhnya kepada kaum muslimin untuk mengaturnya. Maka penerapan filsafat

18
pragmatisme Charles Sander Peirce dalam masalah mu’amalah ini dimungkinkan
untuk diadaptasi.● Wallahu a’lamu Bisshowab.

Daftar Pustaka

Aguk Irawan MN., http://al-ibrah.com/index.php/alibrah/article/Filsafat


Pragmatisme Kontemporer; Ikhtiar Awal Memahami Teori Charles
Sanders Peirce, dalam Jurnal al-‘Ibrah. Vol. 10, No. 1 September 2013.
diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.

Ali Maksum, Pengantar Filsafat; Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme,


Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Gunawan (ed.) http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/18/kajian-


epistemologi-charles-sanders-pierce- 1839-1914. dipublikasi pertama kali
pada tanggal 18 Desember 2008. Diakses 12 Oktober 2015.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pragmatisme, diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.

http://plato.stanford.edu/entries/peirce/#stud, pertama kali dipublis pada tanggal


22 Juni 2001., diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.

Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996

Milton K. Munitz, Contemporary Analytic Philosophy, New York: Macmillan


Publishing Co Inc, tt.

Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1995.

Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles Sander Peirce,


Bandung: PT. Refika Aditama, 2007.

Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Abubakar Ibn Qayyim al-Jauziyah,


A’lam al-Muwaqi’in An Rab al-Alamain, vol. 2, Beirut: Dar al-Fikr,
1993.

Tholhatul Choir, dkk., Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

19

You might also like