Professional Documents
Culture Documents
Makalah Quran Kel 6
Makalah Quran Kel 6
Dosen Pembimbing :
HANAFI LUBIS, M. PD
Disusun oleh:
Kelompok 6
AKUNTANSI SYARIAH
2021
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu
apapun. Tak lupa pula kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Akhirul kalam, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar
harapan kami agar pembaca berkenan memberikan masukan berupa kritik dan saran.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.
Kelompok 6
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kelompok ayat pertama, yang telah jelas maksudnya itu disebut dengan Muhkam,
sedangkan kelompok ayat yang kedua yang masih samar-samar disebut dengan
Mutasyabih, kedua macam ayat inilah yang akan menjadi pembahasan pada makalah ini.
Pada sisi lain Al-Qhaththan menyatakan bahwa Al-Qur’an seluruhnya muhkam dan
juga mutasyabih. Pendapat ini karna memandang muhkam dan mutasyabih secara umum.
Seluruh Al-Qur’an adalah muhkam jika kata muhkam itu berarti kokoh, kuat,
membedakan antara yang hak dengan yang bathil, yang benar dan yang salah. Dan Al-
Qur’an itu seluruhnya adalah mutasyabih jika mutasyabih itu berarti kesempurnaan dan
kebaikan. Al-Qur’an satu ayat dengan ayat lainnya saling menyempurnakan dan
memperbaiki ajaran-ajaran yang salah yang selalu dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggaung jawab.
Dalam penyusunan makalah ini kami merumuskan beberapa masalah yang akan dikaji
sebagai berikut :
1
• Hikmah dan nilai-nilai pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
• Bagaimana pandangan ulama dalam menghadapi ayat-ayat Al-Mutasyabih
1.3 Tujuan
Semoga makalah ini dapat berguna sebagai salah satu informasi atau bahan tinjauan
pustaka untuk mengetahui dasar-dasar ayat Al-Qur’an secara singkat. Makalah ini juga
dapat digunakan untuk menambah pengetahuan kita dalam pengetahuan dasar ilmu Al-
Qur’an dan dasar pengembangan untuk materi Al-Qur’an lainnya.
2
BAB II
Menurut etimologi (bahasa), muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna
lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam Al murad bib ‘an al-tabdil wa at-
taghyir). Adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar (ma
khafiya bi nafs Al-lafzh).1
1
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Ulum Al-Quran (Bandung : Pustaka setia, 2007), hlm. 120-121.
2
Ibid, hlm. 121
3
6. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa
penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan penakwilan untuk
mengetahui maksudnya.
7. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang lafazh-lafazhnya tidak berulang-ulang,
sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.
8. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan
janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan
perumpamaan-perumpamaan.
9. Ibn Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari 'Ali bin Abi Thalib dari Ibn
'Abbas yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang menghapus
(nasikh), berbicara tentang halal-haram, ketentuan-ketentuan (hudud), kefarduan,
serta yang harus diimani dan diamalkan. Adapun ayat-ayat mutasyabih adalah ayat
yang dihapus (mansukh), yang berbicara tentang perumpamaan-perumpamaan
(amtsal), sumpah (aqsam), dan yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
10. Abdullah bin Hamid mengeluarkan sebuah riwayat dari Adh-Dhahak bin Al
Muzahim (w. 105 H.) yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat
tidak dihapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang dihapus.
11. Ibn Abi Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Muqatil bin Hayyan yang
mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah seperti alif lam mim, alif lam ra',
dan alif lam mim ra'.
12. Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa 'Ikrimah (w. 105 H.), Qatadah bin Di`amah (w,
117 H.), dan lainnya mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus
diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang harus
diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
13. Menurut As-Suyuthi Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas artinya, sedangkan
Mutasyabih adalah sebaliknya.3
14. Menurut Imam Ar-Razi Muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik
maksud maupun lafaznya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang
dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan ta’wil, dan sulit dipahami.4
3
As-Suyuthi, Al-Itqan fi ulumul Qur’an, juz 2, Dar Al-Fikr, hlm. 2.
4
Muhammad Al-Bakr Ismail, Dirasat fi Ulum Al-Qur’an, cet 1, Dar Al-Manar, 1991, hlm. 211.
4
15. Menurut Manna’ Al-Qaththan Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat
diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan
Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada
ayat lain.5
Ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya, tidak kita bahas terlalu jauh. Karna bila
kita membacanya kita langsung dapat memahami kandungan isinya. Akan tetapi, yang
perlu kita bahas lebih jauh lagi adalah ayat ayat mutasyabihat agar kita dapat mengetahui
persoalannya.
Mutasyabih dari segi lafaz ini dapat pula dibagi dua macam :
5
Manna’ Al-Qaththan, loc., cit.
6
Dar Al-Subhi Soleh, Terjemahan Pustaka Firdaus, Mabahist fi ulumul Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta,
1993, hlm. 372.
7
Muhammad Bakr Ismail, op. Cit, hlm. 213.
5
a.
Yang dikembalikan kepada lafaz yang tunggal dan sulit pemaknaannya, seperti األَب
dan َ يَ ِزفُّ ْون.8 Dan yang dilihat dari segi gandanya lafaz itu dalam pemakaiannya, seperti
lafaz اليَدdan العَيْن.9
b.
Lafaz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya, yang seperti ini ada
tiga macam :
1) Mutasyabih karna ringkasan kalimatnya, seperti firman Allah Ta’ala :
َليسَ ك ِمثلَِِه شيء niscaya akan lebih mudah dipahami jika diungkapkan dengan
َاب وَ لَ َيعلَ ل َهُ ِعو ًجا ق يِ ًم ِ َِأن زلَ على عب ِده
َ الكت akan mudah dipahami bila
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan
kapan terjadinya. Semua sifat yang demikian tidak dapat digambarkan secara konkret
karena kejadiannya belum pernah dialami oleh siapapun.10
8
Ibid
9
Ibid
10
As-Suyuthi, op. Cit, hlm. 5.
6
Mutasyabih dari segi ini, menurut As-Suyuthi, ada lima macam, yaitu :
a. Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafaz yang umum dan khusus :
َٰ اِتَ ُقوا
الل ح َق تُقاتَِِه
d. Mutasyabih dari segi tempat dan suasana dimana ayat itu diturunkan, misalnya:
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih ialah
karena Allah Ta’ala menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat-ayat yang
Muhkam dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat
yang Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an ialah
karna adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami
umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karna bisa dita’wilkan dengan
bermacam-macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan
7
hal-hal yang pengetahuannya hanya diketahui oleh Allah Ta’ala saja. Adapun adanya ayat
Mutasyabihat dalam Al-Qur’an disebabkan empat hal :
1. Kesamaran lafal :
• Kesamaran lafal mufrad gharib. Contoh: Lafal pada ayat 31 surah Abasa :
kata Abban ()و أَبًّا
َ jarang terdapat dalam Qur’an, sehingga asing. Kemudian
dalam ayat selanjutnya, ayat 32: َاعا لَ ُكمَ وَ ِِلن ع ِام ُكم
ً “ متuntuk kesenangan
kamu dan binatang-binatang ternakmu” sehingga jelas yang dimaksud
Abban adalah rerumputan.
• Kesamaran lafal mufrad yang bermakna ganda. Kata Al-Yamin bisa
bermakna tangan kanan, keleluasaan atau sumpah.
Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karna lafal yang Murakkab
terlalu ringkas, terlalu luas, atau karna susunan kalimatnya kurang tertib. Contoh tasyabuh
(kesamaran) dalam lafal Murakkab terlalu ringkas, terdapat didalam surah An-Nisa ayat
3:
“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi dua, tiga, atau empat”.
Ayat diatas sulit diterjemahkan. Karna takut tidak dapat berlaku adil terhadap
anak yatim, lalu mengapa disuruh nikahi wanita yang baik-baik dua, tiga, atau empat.
Kesukaran itu terjadi karna susunan kalimat ayat tersebut terlalu singkat.
8
Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat-ayat yang menerangkan sifat-sifat
Allah, seperti sifat Rahman Rahim-Nya, atau sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat-sifat
lainnya. Dan seperti makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan
sebagainya. Manusia bisa mengerti maksud ayatnya, tetapi mereka tidak pernah
melihatnya.
Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu ringkas, juga
terjadi pula pada maknanya, karna termasuk adat kebiasaan khusus orang Arab. Hingga
dalam memahami ayat ini akan sulit bagi orang-orang yang bukan termasuk orang Arab.
Dan sejatinya ayat ini adalah diperuntukkan untuk orang yang sedang melakukan ihram
baik haji maupun umrah.
Jika dikatakan apa hikmah mengetahui atau penyebutan masalah Al-Muhkam dan Al-
Mutasyabih, maka sesungguhnya ada beberapa hikmah didalamnya antara lain :
1. Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui hal-hal
yang Mutasyabih seperti perkara hari kiamat supaya mereka bersemangat dalam
hidup ini dan tidak bermalas-malasan sekedar duduk ibadah mempersiapkan
datangnya hari kiamat, hal ini juga membuat manusia tidak stress, gundah dan
selalu gelisah ketika mereka mengetahui hakikat kematian, kiamat, dan lain-lain.
2. Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu yang ghaib
hanya dengan berita yang dibawa syari’at.
9
3. Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar
kemampuan yang sesuai dengan yang di dakwahi.
4. Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.
5. Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tidak dapat kita bayangkan
jika semua ayat itu Muhkam maka tidak akan ada madzhab kecuali hanya satu
pendapat saja.11
ف العِل َِم ي ُقولُونَ ءامنَا بَِِه ُكلَ َِمنَ ِعن َِد ربِنا وما ي َذ َك َُر إََِّل أُولُوا
َ ِ َاللُ والَر ِاس ُخون
َٰ َت ِوي لَهُ إََِّل
َِ اِللب
اب
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi) nya ada
ayat-ayat yang Muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebagian ayat-ayat Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
11
Az-Zarqaniy, Manahil al-Qur’an, hal. 235-236, jilid 2.
12
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya. Toha Putra, Semarang, 1989, hlm. 76.
10
mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah
Ta’ala. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-
ayat yang Mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Dari ayat diatas, para ulama berbeda pendapat yang berawal dari lafaz ن ِ والَر
َ اس ُخو
Berangkat dari sinilah muncul silang pendapat di kalangan ulama. Menurut Ibnu
Abbas dan Mujahid (dari kalangan sahabat) berpendapat bahwa manusia dapat
mengetahui arti dan ta’wil ayat-ayat Mutasyabihat. Mereka beralasan lafaz َالَر ِاس ُخون
diathofkan kepada lafaz هللا. Menurut mereka jika hanya Allah yang mengetahui dan tidak
Walaupun ada ulama yang mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih itu dapat di
ta’wil kan oleh manusia, namun menurut sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat-
ayat Mutasyabih itu tidak dapat diketahui oleh seorangpun kecuali Allah. Menurut ulama
ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cari ta’wil tentang ayat-ayat
Mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata.14
13
Subhi Soleh, op. Cit., hlm. 373.
14
Subhi Soleh, op. Cit., hlm. 372.
11
Dari dua pendapat yang kelihatannya kontradiksi diatas, ada lagi ulama yang
berpendapat lain. Dalam hal ini Ar-Raghib Al-Asfahani dia mengambil jalan tengah dari
kedua pendapat diatas. Ar-Raghib membagi ayat-ayat Mutasyabih menjadi tiga bagian :15
1. Ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, seperti waktu
tibanya hari kiamat.
2. Ayat Mutasyabih yang dapat diketahui oleh manusia (orang awam) dengan
menggunakan berbagai sarana terutama kemampuan akal pikiran.
3. Ayat-ayat Mutasyabih yang khusus hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-
orang yang ilmunya dalam dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain
mereka.
Dari ayat diatas muncul kisah dimana pada suatu hari Imam Malik ditanya tentang
makna Istiwa’ (bersemayam), lalu ia menjawab: “Lafaz Istiwa’ dapat dimengerti, tetapi
tentang bagaimananya tidaklah dapat diketahui oleh seorangpun selain Allah”. Bahkan
Imam Malik mengatakan bahwa pertanyaan seperti itu adalah bid’ah.16
15
Ibid., hlm. 373.
16
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, o., cit., hlm. 476.
12
pengertian yang layak bagi zat Allah, golongan ini dinamakan juga dengan golongan
Mu’awwilah.17
Dari kedua pendapat tentang ayat-ayat Mutasyabih mengenai sifat Allah dapat
disimpulkan bahwa kaum Salaf mensucikan Allah dari makna lahir lafaz dan
menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Lain halnya dengan kaum Khallaf, mereka
mengartikan bahwa kata Istiwa’ dengan maha Berkuasa Allah dalam menciptakan segala
sesuatu tanpa susah.
Untuk melengkapi pembahasan ini ada baiknya dipaparkan tentang beberapa ayat
Al-Qur’an yang menyebutkan sifat-sifat Mutasyabihat-Nya seperti :
5. َ ِ عي
QS. Thaha ayat 39 : ن لِتُصنعَ علىartinya : “Agar engkau diasuh diatas mata-
Ku”.
17
Subhi Soleh, op. Cit., hlm. 376.
13
ِ
7. QS. Ali Imran mengenai ayat 28 : ُوَ ُُيذ ُرُك َُم ٰاللَُ ن فسَه artinya : “Allah
Kata-kata tersebut menunjukkan keadaan, tempat, dan anggota yang layaknya dipakai
bagi makhluk yang baru, misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan yang
Qadim (Allah) maka sulit dipahami akan maksud yang sebenarnya. Itulah sebabnya ayat-
ayat tersebut dinamakan Mutasyabihah. Jika ditanya apakah maksud yang sebenarnya
dari ayat tersebut?
1. Madzhab Salaf
2. Madzhab Khallaf
Kelompok ini adalah kelompok ulama yang menakwilkan lafaz yang makna
lahirnya itu mustahil kepada makna yang lain yang sesuai dengan zat Allah.
Kelompok ini lebih dikenal dengan nama Muawwilah atau madzhab ta’wil.17 Mereka
mena’wilkan semua sifat-sifat yang terdapat pada ayat-ayat Mutasyabihah di atas
dengan ta’wilan yang rasional. Istiwa’ mereka ta’wilkan dengan pengendalian Allah
18
Subhi Sholih, Op. Cit., hlm. 284.
14
terhadap alam ini tanpa merasa kesulitan. Kedatangan Allah mereka artikan dengan
kedatangan perintahNya. Allah berada diatas hambaNya diartikan dengan Allah maha
Tinggi, bukan berada pada suatu tempat. Kata sisi mereka artikan hak Allah. Wajah
mereka artikan dengan zat Allah. Mata mereka artikan dengan pengwasan. Tangan
mereka artikan kekuasaan Allah. Diri mereka artikan dengan siksaanNya.19
19
Ibid. Hlm. 284-285.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya,
sedangkan ayat Mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu dita’wilkan, dan setelah
dita’wilkan barulah kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
2. Ayat-ayat Mutasyabih merupakan salah satu kajian dalam ilmu Al-Qur’an yang
para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam,
yaitu pendapat ulama Salaf dan Khallaf.
3. Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur’an itu Muhkam jika maksud
Muhkam disana adalah kuat dan kokoh, tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa
semua ayat itu adalah Mutasyabih jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan
ayat-ayatnya dalam hal balaghah dan i’jaznya.
3.2 SARAN
Melalui makalah ini kami menyarankan agar pembaca tidak berhenti sampai disini
saja menggali ilmu tentang ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an. Kami
berharap agar pembaca terus menggali ilmu dan mengetahui problematika pada
pembelajaran khususnya Al-Qur’an, mengingat peran pendidik bagi mahasiswa sangatlah
dipandang penting untuk perkembangan pendidikan di negara Indonesia tercinta ini.
Makalah ini masih banyak memiliki kekurangan dalam hal penyajiannya, maka
dari itu kita harus giat belajar agar dapat menjadi lebih baik lagi. Segala saran yang
bersifat membangun kami sangat menunggunya untuk perbaikan makalah ini. Akhir kata
kami ucapkan terimakasih.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Muhammad Al-Bakr. (1991). Dirasat fi Ulum Al-Qur’an. Mesir : Dar Al-Manar.
Soleh, Dar Al-Subhi. (1993). Terjemahan Pustaka Firdaus, Mabahist fi ulumul Qur’an.
Jakarta : Pustaka Firdaus.
Az-Zarqani, Muhammad. (2001). Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Mesir : Isa al-
Babi al-Halabi.
Departemen Agama RI. (1989). Alquran dan Terjemahannya. Semarang : Toha Putra.
17