You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis dalam pembangunan

suatu bangsa. Banyak kajian menyatakan tentang besarnya suatu bangsa

dikarenakan pendidikan. Terdapat kuatnya hubungan antara pendidikan

sebagai sarana pengembang sumber daya manusia dengan kualitas dan

kemajuan suatu bangsa yang adil dan makmur. Pendidikan yang

mengembangkan dan memfasilitasi perubahan yaitu pendidikan yang merata,

bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

UU No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3

tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional mengatakan bahwa:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.

Dari penjelasan di atas jelas bahwa peran pendidikan sangat dibutuhkan

manusia sejak ia lahir hingga meninggal (life long education). Selain itu

peran pendidikan sangat besar dalam memajukan suatu bangsa untuk

mendapatkan sumber daya manusia yang cerdas dan mandiri.

Tujuan pendidikan yang mulia tersebut hendaknya dijadikan cita-cita

pendidikan yang ideal. Dalam hal ini perlu adanya kerjasama antara

stakeholder yang peduli akan pendidikan dengan pemerintah. Pemerintah

1
memegang peranan sangat penting dalam pengembangan pendidikan karena

pemerintah sebagai aktor utama dalam pembuatan kebijakan pendidikan.

Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam mengatasi

pemerataan pendidikan adalah kebijakan tentang program sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif.

Pendidikan inklusif adalah suatu kebijakan pemerintah dalam

mengupayakan pendidikan yang bisa dinikmati oleh setiap warga negara agar

memperoleh pemerataan pendidikan tanpa memandang anak berkebutuhan

khusus maupun normal agar bisa bersekolah dan memperoleh pendidikan

yang layak dan berkualitas untuk masa depan kehidupannya. Sekolah inklusi

berusaha untuk mengatasi masalah pemerataan kesempatan pendidikan untuk

anak berkebutuhan khusus supaya bisa belajar di sekolah reguler. Sebagai

pembaharuan pendidikan, pendidikan inklusif lahir karena banyaknya anak

berkebutuhan khusus yang semakin bertambah dan akses pendidikannya

terbatas, karena lokasi SLB pada umumnya berada di Ibu Kota Kabupaten.

Padahal anak-anak berkebutuhan khusus tersebar tidak hanya di Ibu Kota

Kabupaten tetapi hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa). Akibatnya,

sebagian anak berkebutuhan khusus, karena faktor ekonomi terpaksa tidak

disekolahkan oleh orang tuanya karena lokasi SLB jauh dari rumah,

sedangkan SD terdekat tidak bisa menerima karena merasa tidak mampu

melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD

terdekat, namun kerena ketiadaan pelayanaan khusus bagi mereka, akibatnya

mereka berpotensi tinggal kelas yang pada akhirnya akan putus sekolah.

2
Akibat lebih lanjut, program wajib belajar pendidikan dasar akan sulit

tercapai (Direktorat PLB, 2003: i).

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pada Pasal 5 Ayat 1 dan 2

menyebutkan bahwa:

Ayat satu menyebutkan bahwa, setiap warga negara mempunyai hak

yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ayat dua

menyebutkan bahwa, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,

mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 11 ayat 1 dan 2 tentang hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah

daerah sebagai berikut:

“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan


kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”
“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia 7-15 tahun”.

Undang-Undang di atas menunjukkan bahwa semua anak usia sekolah

harus memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu, serta pendidikan

untuk semua (education for all). Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari

bagaimana proses pendidikan yang ada di dalamnya kemudian tertuang dalam

kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil dalam penyelenggaraan

pendidikan.

Salah satunya adalah anak berkebutuhan khusus yang harus mendapat

perlakuan sama dalam memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu.

Dalam perkembangannya pendidikan anak berkebutuhan khusus telah

banyak mengalami perubahan yaitu pada awalnya pendidikan anak

3
berkebutuhan khusus bersifat segregasi atau terpisah dari masyarakat pada

umumnya. Dalam pelaksanaan pendidikannya seperti sekolah SLB yang di

dalamnya terdapat spesialisasi-spesialisasi terhadap anak berkebutuhan

khusus sesuai dengan hambatanya seperti: SLB-A untuk sekolah anak tuna

netra, SLB-B untuk sekolah anak tunarungu, SLB-C untuk sekolah anak

tunagrahita, SLB-D untuk sekolah anak tunadaksa. Selanjutnya menuju pada

pendidikan integratif, atau dikenal dengan pendekatan terpadu yang

mengintegrasikan anak luar biasa masuk ke sekolah reguler, namun masih

terbatas pada anak-anak yang mampu mengikuti kurikulum di sekolah

tersebut dan kemudian inklusif yaitu konsep pendidikan yang tidak

membedakan keragaman karakteristik individu.

Pengertian umum dari sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang

dikeluarkan oleh Walikota Yogyakarta dalam Peraturan Walikota Yogyakarta

Nomor. 47 Tahun 2008 adalah: “Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

adalah satuan pendidikan formal, reguler jenjang pendidikan usia dini,

pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, yang memiliki peserta didik

tanpa membeda-bedakan latar belakang, kondisi sosial, ekonomi, politik,

suku, bahasa, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, serta perbedaan kondisi

fisik maupun mental dan telah menyelenggarakan proses pembelajaran yang

inklusif”.

Menurut Tarmansyah (2007: 12) pendidikan inklusif hadir dengan

sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berupaya menjangkau

semua kondisi psikologis dan fisik anak tanpa terkecuali. Dengan hadirnya

4
pendidikan inklusif maka hak-hak anak berkebutuhan khusus memperoleh

pendidikan yang layak dan bermutu senantiasa akan terkabul dan memberikan

hal positif bagi anak berkebutuhan khusus untuk terus berkembang dan

tumbuh menjadi dewasa yang mandiri dan cerdas.

Hal ini juga tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

nomor 70 tahun 2009 pasal 2 tentang pendidikan inklusif yang bertujuan

untuk:

(a) “memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik


yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau
memiliki potensi kecardasan dan/atau bakat istimewa untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan bakat dan
kemampuannya.”
(b) “mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik
sebagaimana yang dimaksud pada huruf a”.

Sesuai dengan UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 mengenai wajar 9

tahun yaitu setiap warga negara usia sekolah berhak memperoleh pemerataan

pendidikan yang layak dan bermutu, sehingga pemerintah kini lebih bijak

dengan memberi perhatian bagi masyarakat yang berkebutuhan khusus agar

bisa belajar sejajar dengan mereka yang normal dengan menyelenggarakan

pendidikan inklusif, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia No.70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik

yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat

istimewa serta Sekolah ini merupakan sekolah yang menerima anak

berkebutuhan khusus untuk dapat belajar bersama dengan peserta didik yang

normal. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor: 47 tahun 2008 Tentang

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, dan Keputusan Kepala Dinas

5
Pendidikan Kota Yogyakarta No. 188/Des/0026 tentang Petunjuk Teknis

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kota Yogyakarta.

Manajemen sekolah akan efektif dan efisien apabila didukung oleh

sumber daya manusia yang professional untuk mengoperasikan sekolah,

kurikulum yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan karakteristik siswa,

kemampuan dan task commitment (tanggung jawab terhadap tugas) tenaga

kependidikan yang handal, sarana prasarana yang memadai untuk mendukung

kegiatan belajar mengajar, dana yang cukup untuk menggaji staf sesuai

dengan fungsinya, serta partisipasi masyarakat yang tinggi. Apabila salah satu

hal di atas tidak sesuai dengan yang diharapkan dan/atau tidak berfungsi

sebagaimana mestinya, maka efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah

kurang optimal. Manajemen sekolah, memberikan kewenangan penuh kepada

kepala sekolah untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan,

mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi komponen-komponen

pendidikan suatu sekolah yang meliputi input siswa, tenaga kependidikan,

sarana prasarana, dana, manajemen, lingkungan, dan kegiatan belajar-

mengajar (Direktorat PLB, 2007: 6).

Dalam pengambilan keputusan atau kebijakan maka pasti terdapat pro

dan kontra tentang pelaksanaan kebijakan tersebut tidak terkecuali sekolah

inklusi. Seperti yang tercantum dalam pedoman umum penyelenggaraan

pendidikan inklusif (2007: 7-8) tentang pro dan kontra pendidikan inklusif

menyatakan bahwa meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh

dunia sebagai salah satu upaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi

6
setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan

yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra

pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai

negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon

secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif.

Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan

kontra pendidikan inklusif.

Pro Pendidikan Inklusif menyatakan bahwa: 1) Belum ada bukti

empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk

pendidikan anak berkebutuhan khusus; 2) Biaya penyelenggaraan SLB jauh

lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular; 3) Banyak anak

berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di

SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau; 4) SLB (terutama

yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan

sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih „menyatukan‟ anak

dengan kehidupan nyata; 5) Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak

berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai; 6)

Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak „cacat‟ yang dapat

menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB; 7)

Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat

agar menghargai adanya perbedaan.

7
Kontra Pendidikan Inklusif menyatakan bahwa: 1) Peraturan

perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak

berkebutuhan khusus; 2) Hasil penelitian masih menghendaki berbagai

alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus; 3) Banyak orangtua

yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler; 4) Banyak sekolah

reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena

menyangkut sumberdaya yang terbatas; 5) Sekolah khusus/SLB dianggap

lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.

Program kebijakan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta sendiri sudah

banyak sekolah yang ditunjuk Dinas Pendidikan untuk menyelenggarakan

pendidikan inklusif seperti: TK ABA Nitikan, SD Tumbuh, SD TD Ibu

Pawiyatan, SD Tamansari 1, SD Karanganyar, SD Giwangan, SD

Muhammadiyah Pakel, SD Bangunrejo 2, SD IT Bias, SD Muhammadiyah

Miliran, SMP Muhammadiyah 5, SMP TD Ibu Pawiyatan, SMK

Muhammadiyah 3, SMK Muhammadiyah 4, SMK Muhammadiyah 2. Dari

sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai penyelenggara pendidikan inklusif

peneliti tertarik pada SDN Giwangan, karena SDN Giwangan pada awalnya

adalah sebagai uji coba sekolah yang menampung peserta didik dengan

berkebutuhan khusus atau sekolah terpadu. Pada tahun 1985 SDN Giwangan

ditunjuk sebagai sekolah terpadu yaitu sekolah yang dapat menampung anak

berkebutuhan khusus yang dapat belajar bersama dengan kurikulum sama

dengan anak umumnya namun masih terbatas pada anak-anak yang mampu

mengikuti kurikulum di sekolah tersebut. Pada tahun 2003 SDN Giwangan

8
dipercaya sebagai sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif yaitu

lanjutan dari pendidikan terpadu yang sebelumnya sudah terlaksana.

Namun dalam pelaksanaannya program sekolah penyelenggaraan

pendidikan inklusif masih terdapat beberapa masalah di antaranya yaitu

kurangnya tenaga pendidik, kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam

pelaksanaan pendidikan inklusif, kurang efektif dalam pelaksanaan sekolah

inklusi, kurangnya sarana prasarana yang mendukung proses pembelajaran,

kurangnya perencanaan manajemen dalam pelaksanaan pendidikan inklusif,

evaluasi dan monitoring yang kurang dilakukan oleh pihak dinas terkait,

masih rendahnya prestasi belajar siswa, serta metode pembelajaran yang

belum sesuai dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Oleh karena itu, peneliti ingin menggali informasi dan meneliti

efektivitas program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di SDN

Giwangan Yogyakarta. Dalam penelitian ini efektivitas dilihat dari tenaga

pendidik, sarana dan prasarana, kurikulum, monitoring dan evaluasi, yaitu

untuk melihat efektivitas program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

di SDN Giwangan.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka beberapa permasalahan yang

dapat diidentifikasi dalam penelitian ini, yaitu :

1. Belum adanya kesadaran orang tua dalam pendidikan inklusif.

2. Belum sesuainya program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.

9
3. Kurangnya perencanaan manajemen dalam pelaksanaan pendidikan

inklusif.

4. Masih rendahnya prestasi belajar siswa.

5. Metode pembelajaran yang belum sesuai dengan penyelenggaraan

pendidikan inklusif.

C. Batasan Masalah

Mengingat luasnya bahasan dalam penelitian ini, maka peneliti

membatasi penelitian ini pada aspek kajian efektivitas program sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif di SDN Giwangan.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, dapat dirumuskan

permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian pada penelitian ini yaitu:

Bagaimana efektivitas program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di

SDN Giwangan?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui efektivitas program sekolah penyelenggara

pendidikan inklusif di SDN Giwangan yang diantaranya meliputi: tenaga

pendidik, sarana dan prasarana, kurikulum, monitoring dan evaluasi.

10
F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini bermanfaat sebagai masukan terkait dengan efektivitas

program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif untuk memperkaya

referensi terutama yang terkait dengan penelitian tentang program sekolah

inklusi.

2. Bagi Sekolah

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan, dan referensi

dalam meningkatkan pemahaman akan program sekolah penyelenggaraan

pendidikan inklusif, untuk meningkatkan kualitas pendidikan di

masyarakat.

3. Bagi Pemerintah

Penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam penyelenggaraan

pendidikan inklusif sesuai dengan tujuan pendidikan nasional khususnya

pendidikan inklusif di Indonesia.

11

You might also like