You are on page 1of 11

MAKALAH

GANGGUAN FISIK (TUNADAKSA)


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Dosen Pengampu: Eka Oktavianingsih, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 3:


1. Ainun Jennah (220651100041)
2. Noor rabia al adawia (220651100043)
3. Putri salsabila (220651100056)
4. Rosa puspa amanda (220651100059)
5. Yasmin muntaz (220651100060)

PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyusun tugas makalah ini dengan baik serta
tepat waktu. Walaupun demikian, penyusun berusaha dengan semaksimal mungkin demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini . Saran dan kritik yang sifatnya membangun begitu
diharapkan oleh penyusun demi kesempurnaan makalah ini. Dalam kesempatan ini, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Eka Oktavianingsih, M.Pd selaku dosen
pengampu mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus yang sudah memberikan materi
yang dapat saya terapkan dalam menyusun makalah ini.

Akhir kata, penyusun berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bangkalan,31 Agustus 2023


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................I

DAFTAR ISI...........................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................2
2.1 Definisi Tunadaksa.....................................................................................................2
2.2 Faktor Penyebab Tunadaksa.....................................................................................2

2.3 Klasifikasi Tunadaksa................................................................................................2

2.4 Strategi Pembelajaran Pada Tunadaksa..................................................................4

BAB III PENUTUP..............................................................................................................................7


3.1 Kesimpulan................................................................................................................7
3.2 Sarana.........................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Anak penyandang disabilitas fisik sering disebut sebagai penyandang disabilitas,
penyandang disabilitas fisik, dan penyandang disabilitas ortopedi. Kata disabilitas berasal
dari kata tuna yang berarti kehilangan atau kekurangan dan daksa yang berarti badan.
Tuma Daksa adalah anak dengan cacat anggota tubuh yang tidak lengkap, sedangkan
istilah cacat dan cacat fisik dimaksudkan untuk anak cacat anggota tubuh, bukan cacat
panca indra. Selain itu, istilah disabilitas ortopedi diterjemahkan dari bahasa Inggris
sebagai penyandang cacat ortopedi. Tindakan ortopedi yang berhubungan dengan otot,
tulang dan sendi. Jadi kesalahan ortopedinya ada pada otot. tulang dan sendi, atau bisa
juga akibat kelainan pada sistem kendali pusat otot, tulang, dan sendi.

Anak penyandang disabilitas dapat diartikan sebagai seseorang yang mempunyai


kelainan atau kecacatan pada sistem muskuloskeletal, tulang, dan sendi, yang dapat
mengakibatkan terganggunya perkembangan koordinasi, komunikasi, adaptasi,
mobilisasi, dan integritas pribadi. Salah satu definisi anak penyandang disabilitas
menyatakan bahwa anak penyandang disabilitas adalah kecacatan fisik yang diwujudkan
dalam bentuk kelainan tulang, otot, sendi, dan saraf. Disabilitas mempunyai pengertian
yang sama dengan perkembangan istilah-istilah seperti cacat, cacat jasmani, cacat
jasmani, cacat anggota tubuh, cacat ortopedi, cacat dan cacat ortopedi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a) Apa yang dimaksud definisi tunadaksa?
b) Apa saja faktor penyebab tunadaksa?
c) Apa saja klasifikasi pada tunadaksa?
d) Bagaimana strategi pembelajaran pada tunadaksa?

1.3 TUJUAN MASALAH


a) Mengetahui definisi tunadaksa
b) Mengetahui faktor-faktor penyebab tunadaksa
c) Mengetahui klasifikasi pada tunadaksa
d) Mengetahui strategi pembelajaran pada tunadaksa

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Tunadaksa
Anak Tunadaksa sering disebut dengan anak cacat tubuh,cacat fisik dan ortopedi
(tulang,sendi,otot). Istilah Tunadaksa berasal dari kata “Tuna yang berarti kurang dan Daksa
berarti tubuh”. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh yang tidak
sempurna,sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat
pada anggota tubuhnya,bukan cacat indranya. Istilah cacat ortopedi dalam bahasa Inggris
orthopedically handicapped orthopedic. Mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang
dan persendian.
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan pada sistem otot,
tulang dan persendian yang mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi,
mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Definisi mengenai anak tunadaksa
menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada
kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya..
Amin dan Ina Yusuf Kusumah (1991: 3) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak tuna
daksa jika kondisi fisik atau kesehatan mengganggu kemampuan anak untuk berperan aktif
dalam kegiatan sehari-hari, sekolah atau rumah. Contoh, anak yang mempunyai lengan palsu
tetapi ia dapat mengikuti kegiatan sekolah, seperti pendidikan jasmani atau ada anak yang
minum obat untuk mengendalikan gangguan kesehatannya maka anak-anak jenis itu tidak
termasuk penyandang gangguan fisik. Tetapi jika kondisi fisik tidak mampu memegang pena,
atau anak sakit-sakitan (mengidap penyakit kronis) sering kambuh sehingga ia tidak dapat
bersekolah secara rutin maka anak itu termasuk penyandang gangguan fisik (tunadaksa).

2.2. Faktor Penyebab Tunadaksa


Penyebab tunadaksa yaitu penyakit yang berpengaruh pada otak, serta adanya demam
tinggi. Keracunan dan kondisi dapat menyebabkan otak kekurangan oksigen, maupun kepala,
leher, dan tulang belakang yang sering menyebabkan pola gerak yang tidak biasa. Kesehatan
tubuh dapat menjadi salah satu pemicu munculnya tunadaksa. Seperti kondisi hambatan fisik
dapat terjadi apabila masalah kesehatan kronis muncul berkali-kali dan jarang terjadi pada masa
awal kanak-kanak. Delphie (2006) menjelaskan 2 penyebab utama tunadaksa sebagai berikut:
1) Adanya kelainan pada sistem serebral dan kelainan pada sistem otot dan rangka.
2) Adanya cacat fisik serta kerusakan syaraf pusat dikarenakan pertumbuhan sel syaraf yang
kurang atau adanya luka pada sistem syaraf pusat.. Kelainan syaraf utama menyebabkan cerebral
palsy, epilepsi, spina bifida, dan kerusakan otak lainnya. Cedera pada syaraf tulang belakang
menyebabkan kehilangan perasaan atau sensasi, tidak mampu mengontrol gerakan.

2.3. Klasifikasi Tunadaksa


Klasifikasi tunadaksa bermacam-macam salah satunya dapat dilihat dari sistem kelainannya
yang terdiri dari:
(1) kelainan pada sistem cerebral (cerebral system).
(2) kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).
Penyandang kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak pada sistem saraf pusat, seperti
cerebral palsy atau kelumpuhan otak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang
disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan adanya kerusakan atau cacat pada
masa perkembangan otak.
Cerebral palsy diklasifikasikan sebagai berikut :
(1) ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat
menolong diri
(2) sedang, dengan ciri-ciri yaitu membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan,
mengurus diri, dan alat-alat khusus.
(3) berat, dengan ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam bicara, dan menolong
diri.
Sedangkan menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dapat dibedakan
atas:
(1) spastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya
(2) dyskenisia, yaitu penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol, pada seluruh tubuh
sehingga sulit dibengkokkan,atau tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan
atau pada kepala
(3) Ataxia yaitu adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan
tidak berfungsi
(4) jenis campuran yaitu seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas.
Golongan anak tunadaksa ini bisa belajar bersama dengan anak normal dan banyak ditemukan
pada kelas-kelas biasa. Penggolongan anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan
rangka tersebut adalah sebagai berikut:

1.Poliomyelitis
Suatu infeksi pada sum-sum tulang belakang yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya
menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak yang disebabkan oleh
kerusakan system saraf pada tubuh. Dapat dibedakan menjadi:
a. tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
b. tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi ditandai adanya
gangguan pernapasan.
c. tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair;
d. encephalitis yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-
kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan
atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil (atropi) karena
kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan anggota gerak, tulang
belakang melengkung ke salah satu sisi, seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang
membengkok ke luar atau ke dalam, dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut
melenting ke belakang (genu recorvatum).
2. Muscle Dystrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang
sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
3. Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau 3
ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya,
fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu
pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai
dengan ketunagrahitaan (Black, 1975).

2.4 Implementasi Pembelajaran


1. Pendidikan Integrasi (Terpadu)
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur sekolah
khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian
D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti pendidikan di
sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di sekolah umum harus
mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan
kebutuhannya. Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah terutama dalam
mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000).
Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa
apabila ditempatkan di sekolah umum adalah sebagai berikut.
a. Penempatan di kelas reguler
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
1) Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa untuk
bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu agak besar sehingga
anak dapat menggunakan kursi roda;
2) Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak sering
tidak masuk sekolah;
3)Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat masalah
fisiknya secara langsung;
4) Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan yang
lebih parah.
b. Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas reguler karena ia sakit-sakitan
diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid yang datang ke ruang sumber
tergantung pada materi pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa yang
mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami kelainan fisik tingkat sedang dengan
inteligensia normal. Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas
khusus sebagai persiapan anak untuk memasuki kelas reguler karena selama anak di kelas khusus
ia sering bermain, ke kantin, dan upacara bersama dengan anak normal (siswa kelas reguler).
2. Pendidikan Segregasi (Terpisah)
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang ditempatkan di tempat khusus, seperti
sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Anak Tunadaksa 1994
(SK Mendikbud, 1994).
Perangkat Kurikulum Pendidikan Luar Biasa 1994 terdiri atas komponen berikt:.
a. Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan yang
dijadikan acuan dan pedoman dalam pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan
pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran, lama pendidikan dan
susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan penilaian, serta pengembangan
kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan di tingkat nasional dan daerah.
b. Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat:
pengertian dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran, pokok bahasan,
tema dan uraian tentang kedalaman dan keluasan, alokasi waktu, rambu-rambu pelaksanaannya,
dan uraian/cara pembelajaran yang disarankan.
c. Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar,
rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah, dan pedoman penilaian kegiatan dan
hasil belajar.
3. Penataan lingkungan belajar
Pelaksanaan pendidikan tidak luput dari lingkungan belajar. Dalam hal ini diperlukan
penataan lingkungan belajar untuk anak tunadaksa yang membutuhkan perlengkapan khusus
dalam lingkungan belajar anak tunadaksa. Lingkungan belajar seperti gedung sekolah yang perlu
dilengkapi sarana yang dapat membantu proses belajar anak. Bangunan yang dibangun harus
memudahkan anak, baik untuk keluar masuk, mudah bergerak di dalam ruangan, serta mudah
mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada di ruangan sehingga mudah digunakan.
Adapun kondisi khusus mengenai gedung yang digunakan anak tunadaksa diantaranya:
(1) Macam-macam ruangan khusus (ruang poliklinik atau UKS, ruang latian bina gerak
(physiotherapy), ruang bina bicara (speech therapy), ruang bina diri, terapi okupasi, dan ruang
bermain, serta lapangan.19
(2) Jalan masuk menuju sekolah dibuat keras dan rata sehingga dapat memungkinkan anak
tunadaksa yang memakai alat bantu ambulansi (kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain
sebagainya. Sehingga dapat bergerak dengan aman.
(3) Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai.
(4) Lantai bangunan baik yang berada di luar dan dalam gedung sebaiknya dibuat dari bahan
yang tidak begitu licin.
(5) Pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintu dibuat mengatup ke
dalam.
(6) Disediakan lorong (koridor) yang lebar yang ada pegangan di tembok untuk menghubungkan
bangunan atau kelas satu dengan kelas yang lain sehingga anak dapat mandiri.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anak Tunadaksa sering disebut dengan anak cacat tubuh,cacat fisik dan ortopedi
(tulang,sendi,otot). Penyebab tunadaksa yaitu penyakit yang berpengaruh pada otak, serta adanya
demam tinggi. Keracunan dan kondisi dapat menyebabkan otak kekurangan oksigen, maupun
kepala, leher, dan tulang belakang yang sering menyebabkan pola gerak yang tidak biasa.
Kesehatan tubuh dapat menjadi salah satu pemicu munculnya tunadaksa.
Klasifikasi tunadaksa bermacam-macam salah satunya dapat dilihat dari sistem
kelainannya yang terdiri dari, kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan kelainan pada
sistem otot dan rangka (musculus skeletal system). Dalam pembelajaran untuk anak tunadaksa
dapat dilakukan strategi sebagai berikut; Pendidikan Integrasi (Terpadu), Pendidikan Segregasi
(Terpisah),dan penataan lingkungan belajar.

3.2 Saran
Apa yang dijelaskan penulis dalam makalah hanya sedikit tentang penjelasan materi
Gangguan Fisik (Tunadaksa). Oleh karena itu , bagi para pembaca yang sudah membaca makalah
ini diharapkan membaca sumber lain yang berhubungan dengan materi Gangguan Fisik
(Tunadaksa).

DAFTAR PUSTAKA
Assjari, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunadaksa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTA.
Salim, A. (1996). Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTA.
Sugiarmin, M. (1996). Ortopedi dalam Pendidikan Anak Tunadaksa. Jakarta: Depdikbud Dirjen
Dikti PPTG.
Suharso. (1982). Ortopedi 2. Surakarta: Rehabilitasi Centrum.
Oki Dermawan, “Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Di SLB,” Jurnal
Ilmiah Psikologi Vol. VI, No.2 Desember (2013): 894, Diakses pada 17 Februari 2020,

You might also like