You are on page 1of 10

ILMU FIKIH: SEJARAH, TOKOH DAN MAZHAB UTAMA

Fakhrurrazi Ismail
fakhrurrazi@stit-rh.ac.id
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan

Abstrak
Ilmu fikih menjadi satu lingkup studi Islam yang menarik ilmuwan atau cendekiawan
Timur dan Barat. Tulisan ini bermaksud memperkenalkan ilmu tersebut dari sisi
sejarah, tokoh dan mazhabnya. Dari penelusuran terhadap pustaka yang ada, sejarah
ilmu fikih membentang dari periode Rasul, sahabat, tadwīn, dan taqlīd. Periode Rasul
bisa dibagi kepada periode Makkah, Madinah. Periode sahabat adalah periode
lengkapnya sumber hukum dengan keberadaan ijmā’ dan qiyās. Periode tadwīn, ilmu
fikih dikumpulkan dan disistematisasi hingga dihafal. Periode taqlīd menjadi periode
akhir perkembangan ilmu fikih. Tokoh dan mazhab utamanya, sebagaimana populer
adalah, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80 H-150 H), Imam Malik bin Anas (93
H-179 H), Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) dan Imam Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal (164 H-241 H). Empat tokoh tersebut yang menjadi imam dari
Mazhab-Mazhab utama yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Kata kunci: Ilmu Fikih, Sejarah, Tokoh, Mazhab Utama.

A. Pendahuluan

S
atu di antara ragam kajian yang menjadi lingkup studi Islam, baik di Timur
maupun Barat adalah ilmu fikih atau hukum Islam. Arif menuturkan bahwa
perbedaan mendasar yang dilakukan masyarakat dari dua wilayah tersebut
adalah pendekatan yang digunakan. Jika di Timur, dilakukan pendekatan dengan
menguasai substansi materi dan penguasaan atas khazanah keislaman klasik, maka di
Barat, kajiannya diorientasikan terhadap realitas atau fenomena sosial Islam sehingga
ranah diskusi atasnya berada pada kawasan yang menyejarah, meruang dan
mewaktu.1
Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi secara sederhana mengenai ilmu fikih
yang dikaji tersebut di atas. Elaborasi diarahkan pada sejarah, tokoh dan mazhab-
mazhab utama yang terdapat padanya. Sebagai pendahuluan, fikih yang dimaksud
dalam tulisan ini adalah jurisprudence atau islamic doctrine2, dengan definisi berbunyi
ilmu mengenai hukum syariah –baik yang bersifat pembebanan (taklifi) maupun

1Mohammad Arif, Studi Islam dalam Dinamika Global (Kediri: STAIN Kediri Press, 2017), h.26
2 Qutb Mushtafa Sanu, Mu’jam Mushtalahat Usul Fiqh: ‘Arabi: Injilizi (Damaskus: Darul Fikr,
2000), 323
70 | Fakhrurrazi Ismail

pertimbangan (wad’i), -yang bersifat amali dan digali dari dalil-dalil yang terperinci (al-
tafshili).3 Bagi kalangan muslim, kedudukannya memiliki peranan yang signifikan. Itu
karena ia merupakan instrumen hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat
secara menyeluruh.4 Tidak meragukan bila kemudian dalam pembagiannya, Ulama
menyebutkan empat pembahasan utama, yaitu:5
1. Fiqh Ibadah, yang meliputi hukum-hukum tentang ibadah seperti thaharah,
shalat, puasa, zakat dan haji.
2. Fiqh Muamalat, yang meliputi hubungan timbal-balik yang ditangani
seseorang dalam kehidupannya, seperti kontrak jual beli (‘aqd al-bai’),
penyewaan (ijarah), agensi (wakalah), jaminan (kafalah), peminjaman (qord), gadai
(rahn), produksi (istishna’), perdamaian (salam), kerjasama (syarikah), kontrak
(muqawalat) atau spekulasi (mudharabah).
3. Fiqh Ahwal al-Syakhsiyah, yang meliputi hukum pernikahan (zuwaj),
perceraian (thalaq), pembatalan pernikahan (fasakh), gugat (khulu’), hukum
kewarisan (faraidh), pengasuhan (hadhanah) dan lain sebagainya.
4. Fiqh ‘Uqūbah, yaitu fiqh yang membahas mengenai aturan hukum pidana baik
itu hudūd, qishās, ta’zīr, dan hal terkait dengannya.

B. Sejarah Ilmu Fiqh


Abdul Wahhab Khallaf membagi perkembangan sejarah fikih Islam atau al-
Tārikh al-Tasyrī’ menjadi empat periode, yaitu periode Rasul, sahabat, tadwīn, dan
taqlīd.6
Periode Rasul
Ash-Shiddiqiey menuturkan bahwa secara hakikat, pertumbuhan dan
perkembangan fikih Islam telah terjadi di masa Nabi. Hal itu karena Ia adalah pribadi
yang mempunyai wewenang atas dasar wahyu guna pembentukan formulasi hukum.
Pelaksanaannya berakhir hingga wafatnya Nabi.7 Pada Masa itu, fiqh Islam mulai
tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yang
ada pada masa ini ialah Al-quran. Sunnah Rasul menjadi penjelas, penegas dan
penerang wahyu Ilahi yang diturunkan. Dengan demikian, sunnah telah juga menjadi
sumber hukum saat itu, dengan pemaknaan segala tindak-tanduk Nabi saw. Semua
hukum dan keputusan hukum didasarkan pada Nabi. Walaupun berusia tidak terlalu
panjang, namun masa ini meninggalkan bekasan dan kesan serta pengaruh penting

3 Majduddin al-Fairuz Abadi, al-Qāmūs al-Muhīth (Kairo: Darul Hadis, 2005), h.1250.
4 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: University Press, 1996), h.1
5 Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Khatib al-Syarbaini al-Syafi’i, Mughni al-Muhtaj Ila

Ma’any Alfazh al-Minhaj, Juz I (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1994 M/ 1415 H), h.114
6 Abdul Wahhab Khallaf, Khulashah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1971), h.8
7 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, h.32-33.

Bahsun Ilmy: Jurnal Pendidikan Islam


Ilmu Fikih: Sejarah, Tokoh dan Mazhab Utama | 71

bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat keseluruhan dan
dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi masalah
dan peristiwa yang tidak ada nash-nya.8
Periode Rasul ini dapat pula dipahami dalam dua periode yang masing-masing
mempunyai corak tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.
Periode Mekkah
Periode Makkah, yakni masa menetap dan berkedudukannya Rasul di Makkah,
yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi
hingga beliau berhijrah ke Madinah. Dalam masa ini, umat Islam masih sedikit dan
masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai
kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan Tauhid ke dalam jiwa
masing-masing individu dalam masyarakat Arab sehingga memalingkan mereka dari
penghambaan diri kepada berhala. Di samping itu, beliau Yang Mulia juga menjaga
diri dari aneka rupa gangguan bangsanya. Masa ini belum banyak hal-hal yang
mendorong Nabi saw untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu
tidak ada di dalam surat Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya
sin dan Al Furqon. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah berbicara mengenai aqidah
kepercayaan, akhlak dan sejarah.9
Periode Madinah
Periode Madinah diawali dari peristiwa hijrah Nabi ke Madinah, dan
berlangsung selama Ia menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya.
Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus
menerus bertambah. Sejak itu, Nabi membentuk suatu masyarakat Islam yang
berkedaulatan. Karena itu, diperlukan pengadaan syari’at dan peraturan untuk
mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya dan
perhubungan mereka dengan umat yang lainnya, baik dalam masa damai ataupun
dalam masa perang.10
Dalam hubungan ini, disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq, wasiat,
jual beli, sewa, hutang-piutang, dan sermua transaksi. Demikian juga yang
berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya
hukum kriminil dan lain sebagainya individu dan sebagai masyarakat dalam
hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, antara seantero manusia di dunia.
Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’,
Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah, An-Nur, Al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat
hukum di samping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain.11

8 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra,1999), h.31
9 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, h.33
10 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, h.34
11 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, h.34

Vol.01, No.01, 2020


72 | Fakhrurrazi Ismail

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selama Periode Makkah hampir


tidak didapatkan indikasi yang berarti mengenai hukum karena masa ini merupakan
masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan tentunya
terkait dengan aqidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang
hukum dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat
lebih jelas.12
Periode Sahabat
Periode kedua ini berkembang pada masa wafatya Nabi Muhammad saw. dan
berakhir sejak Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai kholifah pada tahun 41 H.
Pada periode ini hidup sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera
Dakwah Islam.13 Pada masa ini, Islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya
masalah yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul. Oleh karena
itu, tidak mengherankan apabila pada periode sahabat ini pada bidang hukum
ditandai dengan penafsiran pada sahabat dan ijtihadnya dalam kasus-kasus yang tidak
ada nashnya, di samping itu juga terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu
perpecahan masyarakat islam yang bertentangan sacara tajam.14
Diperiode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at
yang sempurna berupa Alquran dan hadis Rasul. Kemudian dengan ijma’ dan qiyās,
diperkaya dengan adat istiadat dan peraturan peraturan berbagai daerah yang
bernaungan di bawah Islam. Dapat ditegaskan bahwa zaman khulafa’ al-Rasyidin,
dalil-dalil tasyri’ Islam telah lengkap.
Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash-nash hukum dari al-
Qur’am maupun hadist, uang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan
menjelaskan nash-nash selain itu para sahabat memberi fatwa- fatwa dalam berbagai
masalah terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nash yang jelas mengenai masalah
itu, yang kemudian menjadi dasar ijtihad.
Periode Tadwin
Pemerintah Islam pasca keruntuhan Daulah Umayyah segera digantikan oleh
Daulah Abbasiah. Masa Abbasiah ini disebut juga masa Mujahidin dan masa
pembukuan fikih, karena pada masa ini terjadi pembekuan dan penyempurnaan fikih.
Pada masa Abbasiyyah, yang dimulai dari pertengahan adab ke-2 H sampai
peretngahan abad ke-4 ini, muncul usaha-usaha pembukuan al-Sunnah, fatwa-fatwa
sahabat, dan tabi’in dalam bidang fikih, tafsir, ushul al-fiqh. Pada masa ini pada lahir
para tokok dalam istinbat dan perundangan-undangan Islam.
Masa ini disebut Masa Keemasan Islam yang ditandai dengan berkembangannya
ilmu pengetahuan yang pengaruhnya dapat dirasakan hingga sekarang. Pada masa ini
muncul pula mazhab-mazhab fikih yang banyak mempengaruhi perkembangan

12 Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012) , h. 31


13 Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar, (Jakarta: Risalah Gusti 1995), h.33
14 Syarifuddin, Amair, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), h.240

Bahsun Ilmy: Jurnal Pendidikan Islam


Ilmu Fikih: Sejarah, Tokoh dan Mazhab Utama | 73

hukum Islam. Diantaranya : Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syaf’i, Ahmad Bin
Hambal.15
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah
berkembanganya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembangnya ilmu
pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, adanya
penterjemahan buku-buku Yunani, persia, Romawi, dan sebagainya, ke dalam bahasa
Arab. Faktor lain yang mempengaruhi berkembanganya pemikiran adalah luasnya
ilmu pengetahuan. Faktor lainnya adalah adanya upaya umat Islam untuk
melestarikan al-Qur’an, baik yang dicatat, termasuk yang dikumpulkan dalam satu
mushaf, maupun yang dihafal.
Periode Taqlid
Sejak akhir pemerintahan Abbasiah, tampaknya kemunduran berijtihad sehingga
sikap taklid berangsur-angsur tumbuh merata di kalangan umat Islam. Yang di
maksud dengan masa taklid adalah masa ketika semangat (himmah) para ulama untuk
melakukan ijtihad mutlak mulai melemah dan mereka kembali kepada dasar tasyri’
yang asasi dalam peng-istinbath-an hukum dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sebab-Sebab Taqlid
Secara umum, sikap taklid disebabkan oleh keterbelangguan akal pikiran sebagai
akibat hilangnya kebebasan berfikir. Sikap taklid disebabkan pula oleh adanya para
ulama saat itu yang kehilangan kepercayaan diri untuk berijtihad secara mandiri.
Mereka menganggap para pendiri mazhab lebih cerdas ketimbang dirinya. Sikap
taklid juga disebabkan oleh banyaknya kitab fikih dan berkembangnya sikap
berlebihan dalam melakukan kitab-kitab fikih. Hilangnya kecerdasan individu dan
merajalelanya hidup materialistik turut mempertajam munculnya sikap taklid.16
Aktifitas Ulama di Masa Taqlid
Masa taklid disebut juga masa para fuqaha mempropagandakan mazhab dan
aliran mereka masing-masing. Mereka menulis kitab-kitab yang menjelaskan
keistimewaan imam mereka masing-masing dan memberi fatwa pula bahwa orang
yang bertaklid (muqalli) tidak boleh pindah dari mazhab satu ke mazhab lainnya.
Pada masa ini kitab-kitab para ulama mazhab dapat dikategorikan kepada tiga
kelompok, yaitu matan, syarh, dan hasyiyah. Matan adalah kumpulan masalah-
masalah pokok yang disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah. Syarh
merupakan komentar dari kitab matan. Adapun hasyiyah adalah komentar dari syarh.

15 Manna al-Qotahn, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, (Qohiroh : Maktabah Wambah ), h. 323


16 Manna al-Qotahn, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, h. 323

Vol.01, No.01, 2020


74 | Fakhrurrazi Ismail

C. Tokoh dan Mazhab Utama


Madzhab adalah kumpulan pandangan (al-Arā’) dan penelaahan (nazhariyāt)
yang dilakukan oleh para imam mujtahid dengan ikatan metodologi dan nalar berpikir
yang sama dan membentuk satu kesehubungan yang terstruktur dan terorganisir. Ia
juga disebut pandangan imam mujtahid yang diikuti dalam berbagai masalah ataupun
ikhtilaf dengan tujuan menyatukan pandangan-pandangan tersebut.17 Wahbah al-
Zuhaily mendefinisikannya lebih terperinci dengan sebutan pendapat seorang tokoh
fiqh tentang hukum dalam masalah ijtihadiyah. 18
Mazhab utamanya ada empat, yaitu yang merujuk kepada Imam Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit (80 H-150 H), Imam Malik bin Anas (93 H-179 H), Imam
Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) dan Imam Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal (164 H-241 H). Empat tokoh tersebut yang dapat disebut sebagai pelopor
mazhab. Perkenalan atasnya adalah sebagai berikut:
Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80 H-150 H)
Nama lengkapnya adalah an-Nu’man bin Tsabit bin Zutha bin Mahmuli
Taymillah bin Tsa’labah. Hidup di Baghdad pada masa kekhalifahan Abdullah bin
Marwan dan meninggal pada masa khalifah Abu Ja’far alMansur pada tahun 105 H, 19
ia dikenal sebagai ulama ahl ra’yi. Meskipun beliau pernah bermukim di Mekkah dan
mempelajari hadis-hadis Nabi, serta ilmu-ilmu lain dari para tokoh yang beliau
jumpai, akan tetapi pengalaman yang beliau peroleh digunakan untuk memperkaya
koleksi hadis-hadisnya sehingga metodologi kajian fiqhnya mencerminkan aliran Ahli
Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam Hammad, dengan Alquran dan hadis/sunnah
sebagai sumber pertama dan kedua. Apabila beliau tidak menemukan ketentuan yang
tegas tentang hukum persoalan yang dikajinya dalam Alquran dan hadis/sunnah,
maka beliau mempelajarinya dari perkataan sahabat baik dalam bentuk ijma’ maupun
fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan secara eksplisit tentang persoalan-persoalan
tersebut, maka beliau mengkajinya melalui qiyas dan istihsan, atau melihat tradisi-
tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang dipegang oleh mereka (‘urf).20
Dengan demikian, pendekatan Imam Abu Hanifah adalah rasional (ra’yi) melalui
Alquran, hadis/sunnah, ijma’, qoul shahabi, qiyas, ihtihsan dan urf.

17 Qutb Mushtafa Sanu, Mu’jam Mushtalahat Usul Fiqh, h. 399


18 Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz I (Suriah: Darul Fikr, tt), h.32
19 Ahmad Asy-Syurbasyi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, (Jakarta: Penerbit Amzah,

2001), h. 14
20 Abdurrahman Kasdi, Metode Ijtihad dan Karakteristik Fiqh Abu Hanifah dalam Yudisia, Vol. 5,

No. 2, Desember 2014, h. 216-235

Bahsun Ilmy: Jurnal Pendidikan Islam


Ilmu Fikih: Sejarah, Tokoh dan Mazhab Utama | 75

Imam Malik bin Anas (93 H-179 H)


Nama lengkapnya Imam Malik adalah Abu Abdillah Malik bin Anas As Syabahi
Al Arabi bin Malik bin Abu ‘Amir bin Harits. Imam Malik terdidik di kota Madinah
pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Bani Umayah.21
Dikenal sebagai ahl Hadis, karena lingkungannya yang sangat mendukung untuk itu –
kota Madinah, juga tetap terpengaruh dengan penggunaan rasio dalam berijthad. Hal
ini dibuktkan dengan penggunaan ‘amal ahli Madinah (praktek masyarakat Madinah),
fatwa sahabat, Qiyas, Al-maslahah mursalah, Syad al-Zariah, al-‘Urf (adat istadat) dalam
pengambilan hukum Islam. Imam Malik pun juga sepert mazhab lain menjadikan
Alquran dan hadis/sunnah sebagai sumber utama dalam hukum Islam.22
Dengan demikian, pendekatan Imam Abu Hanifah adalah rasional (ra’yi) melalui
Alquran, hadis/sunnah, ijma’, Qiyas, amal ahli Madinah, al-Mashlahah al-Mursalah, Syad
al-Zariah, al-Urf.
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin al-
Saib bin Abdu-Yazid bin Hasim. Ia merupakan seorang muntaqil ras Arab asli dari
keturunan Quraiys dan berjumpa nasab dengan Rasullulah pada Abdu Al-Manaf
dengan sumber ijtihad Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Perkataan Sahabat, Qias, Istishab.23
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i dikenal dengan qoul qodim dan qoul jadid yang seolah
membuktikan bahwa suatu pemikiran tidak akan lahir dari ruang hampa. Ia akan
muncul sebagai refleksi dari seting sosial yang melingkupinya. Sedemikian besar
pengaruh kondisi sosial terhadap pemikiran, sehingga wajar jika dikatakan bahwa
pendapat atau pemikiran seseorang merupakan buah dari zamannya. Dalam sejarah
Imam Syafi’i menyerap pelbagai karakteristik (aliran) fiqh yang berbeda-beda dari
pelbagai kawasan, Mekkah, Yaman, Irak dan Mesir. Penyerapan tersebut pada
akhirnya memengaruhi alur pemikiran dan penerapan produk hukum yang
dihasilkannya.24
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (164 H-241 H)
Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal
ibn Asad al Syaibaniy al-Bagdady.25 Sosoknya dalam sejarah perkembangan fikih Islam
menempati tempat tersendiri dikarenakan penempatan posisinya dalam pembidangan
ilmu; Apakah dia muhaddis saja, atau juga seorang faqih. Pengaruh besarnya terebut

21 Imam Malik Ibn Annas, Al-Muwatta’, terj. Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Raja Grafndo Persada,
1992), h. vi
22 Danu Aris Setiyanto, Pemikiran Hukum Islam Imam Malik bin Anas; Pendekatan Sejarah Sosial

dalam Al-Ahkam; Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 1, No. 2, 2016, h. 103-114
23 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996), h.151
24 Khairul Akhyar, Qoul Qodim wa Qoul Jadid Imam Syafi’i: Kemunculan dan Refleksinya di Indonesia

dalam Nizham, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni, 2015, h.124-155


25 Manna' Kholil Qaththan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islami: Tarikhan wa Manhajan: (Mesir: Dar al-

Maarif, 1989), h.239

Vol.01, No.01, 2020


76 | Fakhrurrazi Ismail

berdampak pada studi fiqh yang dilakukannya, maupun usul fiqhnya sehingga
mazhabnya dijuluki dengan mazhab fiqh al-sunnah. Selain itu, kebijakannya melarang
pencatatan fatwa-fatwanya mengakibatkan kurang berkembangya mazhab fiqhnya.26
Pendekatan ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal adalah Alquran dan
Hadis/Sunnah (marfu'ah), fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka,
fatwa sahabat yang diperselisihkan di antara mereka, Hadis/Sunnah Mursal dan
Hadis/Sunnah dha'if, dan Qiyas.27

D. Kesimpulan
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah ilmu fikih
membentang dari periode Rasul, sahabat, tadwīn, dan taqlīd. Periode Rasul bisa dibagi
kepada periode Makkah, Madinah. Periode sahabat adalah periode lengkapnya
sumber hukum dengan keberadaan ijmā’ dan qiyās. Periode tadwīn, ilmu fikih
dikumpulkan dan disistematisasi hingga dihafal. Periode taqlīd menjadi periode akhir
perkembangan ilmu fikih. Tokoh dan mazhab utamanya, sebagaimana populer adalah,
Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80 H-150 H), Imam Malik bin Anas (93 H-179
H), Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) dan Imam Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal (164 H-241 H). Empat tokoh tersebut yang menjadi imam dari
Mazhab-Mazhab utama yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

E. Referensi
Mohammad Arif, Studi Islam dalam Dinamika Global (Kediri: STAIN Kediri Press, 2017)
Qutb Mushtafa Sanu, Mu’jam Mushtalahat Usul Fiqh: ‘Arabi: Injilizi (Damaskus: Darul
Fikr, 2000)
Majduddin al-Fairuz Abadi, al-Qāmūs al-Muhīth (Kairo: Darul Hadis, 2005).
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: University Press, 1996)
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Khatib al-Syarbaini al-Syafi’i, Mughni al-Muhtaj
Ila Ma’any Alfazh al-Minhaj, Juz I (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1994 M/ 1415
H)
Abdul Wahhab Khallaf, Khulashah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Kuwait: Dar al-Qalam,
1971)
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra,1999)
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012)
Muhammad Yusuf, dkk, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga,2005)
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar, (Jakarta: Risalah Gusti 1995)

26 Marzuki, Ahmad bin Hanbal; Pemikiran Fiqh dan Usul Fiqhnya dalam Jurnal Hunafa, Vol. 2, No.
2, Agustus 2005, h. 107-118
27 Marzuki, Ahmad bin Hanbal..., h. 107-118

Bahsun Ilmy: Jurnal Pendidikan Islam


Ilmu Fikih: Sejarah, Tokoh dan Mazhab Utama | 77

Syarifuddin, Amair, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)


Manna al-Qotahn, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, (Qohiroh: Maktabah Wambah)
Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz I (Suriah: Darul Fikr, tt)
Ahmad Asy-Syurbasyi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, (Jakarta: Penerbit
Amzah, 2001)
Abdurrahman Kasdi, Metode Ijtihad dan Karakteristik Fiqh Abu Hanifah, dalam Yudisia,
Vol. 5, No. 2, Desember 2014
Imam Malik Ibn Annas, Al-Muwatta’, terj. Dwi Surya Atmaja, (Jakarta: Raja Grafndo
Persada, 1992)
Danu Aris Setiyanto, Pemikiran Hukum Islam Imam Malik bin Anas; Pendekatan Sejarah
Sosial dalam Al-Ahkam; Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 1, No. 2, 2016
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996)
Khairul Akhyar, Qoul Qodim wa Qoul Jadid Imam Syafi’i: Kemunculan dan Refleksinya di
Indonesia dalam Nizham, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni, 2015
Manna' Kholil Qaththan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islami: Tarikhan wa Manhajan (Mesir:
Dar al-Maarif, 1989)
Marzuki, Ahmad bin Hanbal; Pemikiran Fiqh dan Usul Fiqhnya dalam Jurnal Hunafa, Vol.
2, No. 2, Agustus 2005

Vol.01, No.01, 2020


78 | Fakhrurrazi Ismail

Bahsun Ilmy: Jurnal Pendidikan Islam

You might also like