You are on page 1of 7

“PENARI”

Pesta di Balai Desa semalam telah usai. Yang tersisa sekarang tinggallah rasa letih, juga
pegal-pegal yang mendera sekujur tubuh ini. Darah yang mengalir dalam sendi-sendi
pun bak tersendat, tidak mengalir deras dan lancar. Ingatan akan kejadian semalam itu
juga masih terbayang sampai pagi ini. Insiden kecil yang membuat balai desa semalam
menjadi ramai dan sedikit kacau. Padahal itu cuma disebabkan oleh masalah sepele.
Hanya perang mulut antara dua warga yang dipengaruhi sedikit oleh minuman keras.
Usut punya usut, ternyata masing-masing dari mereka adalah para simpatisan dari dua
partai yang berbeda. Mulanya memang mereka turut meramaikan pesta yang diadakan
oleh balai desa tersebut. Mereka juga masuk kedalam gerombolan warga-warga yang
tengah menari mengikuti irama gendang, juga terhipnotis oleh tubuhku yang semakin
molek ketika sedang menari diatas panggung itu. Namun sebelum aku mengakhiri
setiap gerakan tari nan gemulai itu, terjadi keributan dari arah penonton. Aksi saling
dorong-mendorong tak terelakkan waktu itu. Seketika suasana pun berubah menjadi
kekacauan. Diriku yang tengah menari pun tidak dihiraukan lagi. Kini para warga serasa
malah terhipnotis oleh dua orang simpatisan partai yang perang mulut itu. Semua yang
hadir dalam pesta itu, larut dalam keributan tersebut. Hantam kiri-hantam kanan, sikut
kiri-sikut kanan. Melihat kondisi yang sudah tak terkendali, akupun memilih untuk
menghentikan tarianku dan pergi berlari dari atas panggung menuju kedalam balai desa
itu untuk mengambil barang-barang bawaanku. Tanpa berpamitan kepada siapapun
dalam balai desa itu, aku bergegas pulang ke rumah dengan berjalan terburu-buru serasa
dihantui oleh bayang-bayang jahat yang mengikutiku di belakang. Aku memilih jalan
keluar lain dari balai desa itu agar tidak masuk dalam keributan itu. Untungnya di balai
desa itu ada sebuah pintu samping yang menghubungkannya langsung dengan jalanan.
Aku pun berhasil keluar dari tempat itu. Dari kejauhan aku lihat keributan itu masih
berlangsung, malah semakin kacau. Memang sedari tadi pihak keamanan yag berjaga
sangatlah minim. Mungkin mereka tak mampu mencegah emosi yang tumpah
berlebihan dari warga-warganya. Biarlah, aku beranjak dari tempat itu dengan
menggunakan angkutan umum. Entah itu hari keberuntunganku atau bukan, karena
masih ada angkutan umum ketika malam sudah sampai puncaknya. Waktu pada saat itu
menunjukkan pukul 23.10 WIB. Mau dibilang beruntung juga, tapi aku baru saja
merasakan kejadian yang sedikit membuat batinku terguncang. Di dalam perjalanan itu
aku masih termangu membayangi kejadian tadi. Hanya satu yang aku pikirkan, entah
kenapa politik itu sangatlah kejam. Aku sering mendengar kabar-kabar tentang politik
di televisi atau dari teman-temanku. Semuanya mengabarkan kekacauan akan politik.
Entahlah, aku serasa tidak mau terlalu ambil pusing dengan hal satu ini. Hanya
membuat diriku ini semakin tak menyukai semua yang berbau politik.

Aku bangun sedikit terlambat. Dari jendela, matahari sudah ambil bagian dari bumi ini.
Sinar hangatnya masuk melalui celah-celah jendela dalam kamarku. Diluar burung-
burung mulai bersemangat menghibur pagi yang cerah ini. Gerak daun-daun yang
tertiup anginlah yang menjadi pengiring musiknya. Mau tidak mau aku harus segera
beranjak dari tempat tidurku, memberi tepuk tangan atas sajian bumi yang megah ini.
Tapi hari itu masih terasa berat untukku untuk mulai membuka mata secara penuh.
Untunglah aku sudah tamat dari Sekolah Menengah Atas 2 tahun lalu. Jadi sudah tidak
harus terburu-buru ketika pagi datang. Ya setelah lulus itulah aku memutuskan untuk
tidak melajutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dan lebih memilih menjadi penari desa.
Itu sudah menjadi impianku sewaktu kecil. Dulu aku sering melihat tetanggaku menari
dalam suatu acara-acara tertentu. Dari atas panggung aku melihat gemulai gerakannya
semakin menambah kecantikan dan kesolekannya itu. Bahkan bisa terlihat lebih awet
muda. Disamping itu, bayaran yang diterima setelah menari dalam acara itupun boleh
terbilang cukup memuaskan dan bisa menjamin hidup nanti. Karena itulah aku tertarik
ingin menjadi penari seperti para tetanggaku. Ditambah dengan parasku yang cantik dan
tubuhku yang menggeliat diatas rata-rata, itu semakin memperkuat aku untuk menjadi
seorang penari yang sempurna. Dari kecilpun aku mulai mempelajari segala macam
tarian. Aku terus berlatih sekuat mungkin agar kelak aku menjadi seorang penari yang
diidam-idamkan. Dan akhirnya kini aku bisa menikmati semua itu. Walau ada sedikit
yang menghalangi aku dalam pilihan hidupku ini. Ya, Ayahku sangatlah tidak setuju
anaknya menjadi seorang penari. Ia hanya takut anaknya kenapa-kenapa dan menjadi
bahan mainan oleh orang-orang diluar sana.
“Aku bisa menjaga diriku sendiri yah, aku sudah dewasa dan aku bisa memilih jalur
hidupku sendiri yah !”

Aku menangis diatas tempat tidur setelah tamparan tangan Ayah mendarat manis di
pipiku.

“Lasmi, sudah berapa kali Ayah bilang. Ayah tetap tidak mau dan tidak setuju kalau
kamu jadi penari. Apa-apaan kamu menjual tubuhmu itu untuk dilihat orang banyak
diluar sana !”

Geramnya Ayah semakin diperkuat oleh bola matanya yang membesar menuju ke arah
mataku.

Setelah kejadian yang membuat hatiku teriris itu, Ayah masih tidak mengizinkan aku
untuk menari. Dan tamparannya itu semakin memperjelas alasannya itu bukan. Bahkan
sampai sekarang aku masih sembunyi-sembunyi jika ada panggilan menari diluar. Atau
bahkan sampai berbohong kepada Ayahku untuk mendapatkan izin keluar dari rumah.

Pintu kamarku terbuka secara perlahan. Kulihat sosok sang Ayah yang masuk kedalam
kamarku itu. Aku siap jika harus menerima tamparan untuk yang kesekian kalinya lagi.
Karena apa yang aku pilih dan sudah menjadi jalan hidupku pasti akan ada halangannya.
Dan jika ini resiko yang harus kuterima setiap hari, aku sungguhlah siap. Walau batin
sangat teriris. Bagaimana tidak, ini adalah Ayahku sendiri. Akupun tak kuasa untuk
melawannya. Karena mau bagaimanapun dia adalah orang tua kita sendiri. Pintu
semakin sempurna terbuka, dan sosok tegak Ayah semakin jelas terlihat. Tapi ada yang
beda dari Ayah. Wajahnya sama sekali tak menampakkan kemarahan ataupun mata
bolanya yang membesar. Kali ini wajah Ayah sangatlah damai dan senyum meronalah
yang muncul. Bahkan Ayah menyampaikan salam selamat pagi kepada anaknya ini.
Sungguh hal yang diluar dugaan. Berbeda jauh apa yang tadi aku pikirkan, dan
berbanding terbalik dengan sikap Ayah yang biasanya dilakukan kepadaku. Ayah
menghampiriku dan duduk diatas kasurku yang sedikit berantakan, bersebalahan
denganku. Sungguh ada yang tidak beres, kataku demikian. Ada apakah gerangan
dengan ayahku kali ini. Ia membelai rambutku, seperti ia membelaiku ketika aku masih
kanak dulu. Ketika aku harus sudah ditinggal kasih sayang Ibu untuk selamanya. Hanya
Ayah yang aku punya saat itu.

“Kapan kau menari lagi Las?”

Pertanyaan Ayah yang membuatku sangat tercengang.

“Aku belum tau Yah, sampai saat ini belum ada acara yang memanggilku.”

Aku menjawabnya dengan tergagap dan ragu. Takut jika Ayah akan marah besar
nantinya. Dan memang ternyata ada yang berbeda dari Ayah kali ini. Tak sedikitpun
kegeraman muncul dari Ayah.

“Oh, kalau begitu baguslah Las.”

“Bagus? Maksud Ayah apa? Lasmi tidak mengerti. Ayah tidak marah? Lasmi semalam
habis menari di balai desa Yah. Lasmi telah berbohong lagi kepada Ayah. Lasmi minta
maaf Yah!”

Aku menangis menutup mata karena merasa malu dan bersalah kepada Ayah.

“Sudahlah lupakan saja hal itu. Ayah sadar itu memang sudah menjadi pilihan hidupmu.
Nah sekarang Ayah minta kamu nanti malam datang ke alamat ini. Ayah yang
mengundang kamu nanti malam tampil menari dalam acara tersebut. Jangan sampai
tidak datang ya Las, Ayah tunggu!”

Ayah langsung pergi dan menutup pintu kamarku. Akupun semakin bingung dengan
sikap Ayah yang seperti itu. Hatiku terus bertanya-tanya. Selembar kertas bertuliskan
sebuah alamat inilah yang akan menjadi jawabannya nanti. Hanya ini yang aku pegang.
Mungkin Ayah memang telah terbuka hatinya untuk mengizinkan aku untuk menari,
dan lebih terbuka oleh pilhan hidup anaknya ini. Baiklah aku tidak mau mengecawakan
Ayah. Aku akan datang ke tempat itu nanti malam. Walau kegamangan masih ada
dalam benakku. Apa yang akan terjadi disana nanti? Seraya menjadi pertanyaan inti.

Malam akhirnya sampai. Bulan dan bintang pun telah memadu kasih di peraduan sana.
Sinarannya sama sekali membuat malam ini tidak gelap. Udara dingin memaksa masuk
kedalam celah-celah tubuhku. Utunglah aku memakai jaket yang dulu dibelikan Ayah.
Tidak lupa aku membawa barang-barang bawaanku untuk menari nanti. Jelas
dandananku sangatlah sempurna, untuk mengundang decak kagum dari Ayahku sendiri.
Aku ingin tampil cantik dan sempurna didepan ayahku sendiri. Inilah pembuktianku
bahwa aku bisa Yah.

Aku sampai dilokasi. Alamat yang diberikan Ayah pada secarik kertas itu jelas
membuat anaknya ini tidak terlalu susah menemukan dirinya yang sudah lebih dulu
pergi kesitu. Tempat itu seperti rumah besar yang sudah dihiasi dengan ornamen warna
yang selaras. Mungkin itu adalah pendukung acara tersebut. Juga ditambah sudah
terpampang sebuah panggung megah dihalamannya. Sungguhkan aku akan tampil di
panggung semegah itu? Suasana pun sudah tampak ramai oleh orang-orang yang
memakai baju selaras dan seragam. Sosok tinggi dan tegap sudah menungguku didepan
pagar. Itu Ayahku.

“Akhirnya kau datang juga Las. Orang-orang sudah menunggumu sedari tadi” Ucapnya
menyambutku.

Tanpa membalas ucapan sang Ayah aku langsung mengikutinya kedalam rumah
tersebut. Didalamnya aku banyak melihat foto-foto sesorang yang sering aku lihat di
televisi, khususnya di acara berita-berita politik. Setelah mengganti pakaianku dengan
kostum penari, aku langsung naik keatas panggung dan menghibur acara tersebut. Saat
menari, aku melihat Ayah beridiri di sisi panggung, tengah mengobrol dengan
seseorang yang aku lihat di foto tadi. Siapakah dia? Aku bertanya-tanya saat menari.
Hingga konsentrasiku sedikit hilang dan hampuir terpeleset. Untunglah orang-orang
yang menontonku hanya fokus pada parasku yang cantik. Tiba-tiba Ayah menghentikan
tarianku sejenak dan mengambil alih panggung itu, lalu berbicara di depan khalayak
umum yang datang saat itu. Aku pun agak meminggir ke belakang panggung sebentar.
Mengikuti ucapan Ayah yang dilontarkan kepada penonton tersebut.

“Hadirin sekalian, para teman-teman sejawatku. Hari ini kita berkumpul untuk satu
nama. Untuk keberhasilan partai kita nantinya. Untuk itu silahkan nikmati suguhan yang
telah kami berikan. Silahkan nikmati malam ini sepuas kalian, senyaman kalian. Dan
kalian boleh lakukan apa saja terhadap suguhan kami ini. Asalkan nantinya kalian bisa
menjamin partai kita mencapai keberhasilan dan sukses!”

Aku sangat kaget mendengar ucapan Ayah barusan. Aku baru sadar sekarang. Ternyata
Ayah adalah seorang simpatisan dan orang kepercayaan dari partai ini. Dan orang tadi
yang berbicara dengan Ayah dan juga ada di foto itu adalah seorang Caleg dari partai
tersebut. Dan aku sekarang mejadi bahan permainan dari mereka. Bahkan oleh Ayahku
sendiri.

“Ayah! Aku semakin membenci politik.”

Fajrin Yuristian, S.S.


Biodata Penulis

Fajrin Yuristian, S.S., alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia - Fakultas Bahasa
dan Seni - Universitas Negeri Jakarta angkatan 2012. Menulis puisi dan cerpen. Aktif di
kegiatan teater kampus (Teater ZAT) dan teater umum (Rawamangun Project), serta
aktif di kegiatan musik indie dengan band Zathera. No HP. 087885877553.

You might also like