You are on page 1of 5

“Analisis Dampak Kebijakan Pemberentian Ekspor Minyak Curah Sawit

Oleh Pemerintah (President) RI”


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Analisa Kebijakan Publik
Dosen : Dr H. M. Riban Satia, S.Sos., M.Si.

Disusun Oleh:

Chindi Laras (19.11.021363)

PROGRAM STUDIADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PALANGKA RAYA
2022
Dampak Kebijakan Pemberentian Ekspor Minyak Curah Sawit Oleh President RI
Pada laman online Seketariat Kabinet Republik Inonesia yang dipublikasi 27 April 2022 oleh
Humas menyatakan bahwa tanggal 28 April 2022, Pemerintah berlakukan larangan ekspor CPO
dan turunannya. Pemerintah resmi menerapkan kebijakan pelarangan ekspor produk minyak
sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO), minyak sawit merah atau red palm oil (RPO), palm
oil mill effluent (POME), serta refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein dan used
cooking oil. Pemerintah juga akan menindak tegas pihak-pihak yang melanggar aturan ini. Pada
wawancaranya bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekon), Airlangga
Hartanto, “Pelarangan ekspor sementara minyak goreng ini merupakan komitmen kuat
pemerintah untuk memprioritaskan masyarakat. Oleh sebab itu setiap pelanggaran yang terjadi
akan ditindak dengan tegas. Pemerintah akan tegas menindak siapa saja yang melanggar
keputusan tersebut,” sesuai dengan arahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan
memperhatikan pandangan serta tanggapan masyarakat, agar tidak menjadi perbedaan
interpretasi maka kebijakan pelarangan ekspor didetailkan berlaku untuk semua produk CPO,
RPO, POME, RBD palm olein, dan used cooking oil. Kebijakan ini diatur dengan Peraturan
Menteri Perdagangan (Permendag). Kebijakan pelarangan ini diterapkan hingga tersedianya
minyak goreng curah di masyarakat seharga Rp14 ribu per liter yang merata di seluruh wilayah
Indonesia. “Kebijakan ini diberlakukan untuk memastikan bahwa produk CPO dapat
didedikasikan seluruhnya untuk ketersediaan minyak goreng curah dengan harga Rp14 ribu per
liter terutama di pasar-pasar tradisional dan untuk UMK (usaha mikro kecil),”.

Sebelumnya pemerintah telah menerapkan kebijakan terkait minyak goreng curah, namun
kebijakan ini dianggap belum efektif karena di beberapa tempat masih ditemui minyak goreng
curah dengan harga di atas Rp14 ribu per liter. Airlangga menegaskan, Direktorat Jenderal Bea
Cukai, Kementerian Keuangan dan Polri melalui Satuan Tugas Pangan akan menerapkan
pengawasan yang ketat dalam pelaksanaan kebijakan ini. Pengawasan akan dilakukan secara
terus-menerus termasuk dalam masa libur Idulfitri. “Evaluasi akan dilakukan secara terus-
menerus atas kebijakan pelarangan ekspor ini. Setiap pelanggaran akan ditindak tegas sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan dalam hal dianggap perlu, maka akan dilakukan
penyesuaian kebijakan dengan situasi yang ada,” ujarnya. Selain itu, dalam mempercepat
distribusi minyak goreng curah ke masyarakat pemerintah melakukan percepatan pembayaran
subsidi harga melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tanpa
mengurangi good governance-nya. Pemerintah juga menugaskan Perum BULOG untuk
melakukan distribusi minyak goreng curah ke masyarakat, terutama di pasar-pasar tradisional.
Larangan ini berlaku sampai harga minyak goreng curah turun menjadi Rp 14.000 per liter.

Larangan ekspor produk RBD palm olein dilakukan pada tiga jenis HS code, yaitu 15119036,
15119037, dan 15119039. Pengusaha diharapkan membeli tandan buah segar (TBS) kelapa sawit
dari petani dengan harga yang wajar. "Jadi sekali lagi ditegaskan yang dilarang adalah RBD
Palm olein yang HS-nya ujungnya 36,37, dan 39. Untuk yang lain ini tentunya diharapkan para
perusahaan masih tetap membeli TBS dari petani sesuai dengan harga yang wajar. Yang dilarang
adalah RBD palm olein HS ujung 36,37,39,"

Dampak dan bagaimana tanggapannya ?


Tidak membuat harga minyak turun
Sejumlah ahli ekonom justru menyayangkan keputusan larangan ekspor minyak goreng Presiden
Jokowi tersebut. "Sebenarnya kalau hanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tidak perlu stop
ekspor," ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira
kepada Kompas.com, Sabtu (23/4/2022). Bhima menjelaskan, larangan ekspor minyak goreng
merupakan tindakan pengulangan kesalahan stop ekspor mendadak komoditas batubara yang
pernah dilakukan pemerintah pada Januari 2022 lalu. "Apakah masalah selesai? Kan tidak, justru
diprotes oleh calon pembeli di luar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan," Menurutnya,
permasalahan kelangkaan minyak goreng justru berasal dari pendistribusian dan pengawasan.
"Selama ini problem ada pada sisi produsen dan distributor yang pengawasannya lemah," kata
Bhima. Selain itu, Bhima kembali menegaskan bahwa larangan ekspor minyak goreng tidak
membuat harga minyak goreng di pasaran menjadi turun. "Apakah harga minyak goreng akan
turun? Belum tentu," ungkapnya. "Harga akan otomatis turun kalau tidak dibarengi dengan
kebijakan HET di minyak goreng kemasan," imbuh Bhima. Baca juga: Jadi Tersangka Kasus
Minyak Goreng, Ini Profil dan Harta Kekayaan Dirjen Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana
Justru kehilangan devisa hingga 3 milliar dollar AS Bhima mengatakan bahwa pada Maret 2022,
jumlah ekspor minyak sawit di Indonesia mencapai 3 milliar dollar AS atau setara dengan Rp 43
triliun dihitung dari kurs Rp 14.436 per dollar AS. "Jadi estimasinya bulan Mei apabila
asumsinya pelarangan ekspor berlaku 1 bulan penuh, (pemerintah) kehilangan devisa sebesar 3
miliar dollar AS. Angka itu setara 12 persen total ekspor nonmigas," jelas Bhima. Sebaliknya,
Bhima menyarankan agar pemerintah kembali memberlakukan kebijakan domestic market
Obligation (DMO) CPO 20 persen dari total produksi. "Kemarin saat ada DMO kan isunya soal
kepatuhan produsen yang berakibat pada skandal gratifikasi. Pasokan 20 persen dari total ekspor
CPO untuk kebutuhan minyak goreng lebih dari cukup," terang Bhima. "Sekali lagi tidak tepat
apabila pelarangan total ekspor dilakukan," tegasnya. Ia mengungkapkan bahwa kebijakan
larangan ekspor minyak goreng tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap
perekonomian di Indonesia. "Menurut saya keputusan itu secara ekonomi tidak terlalu
bermanfaat ya. Tapi mungkin secara politik bermanfaat karena meredakan protes dan keresahan
sosial lainnya," ujarnya terpisah.

Tidak Mengatasi Kelangkaan Minyak Goreng


Eddy menambahkan, keputusan larangan eskpor tidak serta merta dapat mengatasi kelangkaan
minyak goreng. Pasalnya, tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia masih di bawah total
produksi minyak yang dihasilkan. Artinya, secara produksi, jumlah tersebut masih mencukupi
kebutuhan masyarat terhadap minyak goreng. Selama ini minyak goreng sawit merupakan
minyak goreng yang paling sering digunakan oleh masyarakat di Indonesia. Badan Pusat
Statistika mencatat, produksi minyak sawit di Indonesia pada 2020 mencapai 47.034 juta ton. Di
tahun berikutnya yakni 2021, produksi minyak sawit mencapai 46.888 juta ton. Dari total
produski minyak sawit tersebut, konsumsi minyak sawit di Indonesia pada 2021 hanya 18.422
juta ton. Adapun produksi minyak sawit yang diekspor ke luar negeri, sebagaimana
diberitakan Kompas.com adalah 20,36 juta ton. Data tersebut menunjukkan bahwa produksi
minyak goreng sawit di Indonesia masih mampu memenuhi keseluruhan konsumsi nasional.
"Kalau kita lihat data dari tahun lalu kan domestik enggak kekurangan minyak goreng karena
diekspor," kata dia. Sebaliknya, akar masalah kelangkaan minyak goreng berawal dari penetapan
Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang mengakibatkan adanya penimbunan oleh
sejumlah pihak sehingga ketersediaan minyak goreng menjadi langka. Eddy menegaskan, bahwa
pelarangan ekspor minyak goreng yang bertujuan untuk mengatasi kelangkaan itu tidak membuat
harga minyak goreng menjadi turun. "Kalau (harga minyak goreng) yang non-curah itu harganya
mengikuti pasar dan tidak diatur pemerintah," jelasnya. Lebih lanjut, larangan ekspor minyak
sawit justru akan menghilangkan pendapatan Indonesia lantaran turunnya kinerja ekspor minyak
sawit di Indonesia.

Kesimpulannya :
Pada hakikatnya kebijakan atas larangan Pemerintah RI guna menurunkan kelangkaan terhadap
minyak dan jika kelangkaan tersebut ada oknum yang memanfaatkan keadaan. Tentunya ada sisi
positif dan negativnya dengan adanya kebijakan tersebut.

You might also like