You are on page 1of 59

CASE REPORT STUDY

BANGSAL ANAK
“GASTROENTRITIS AKUT, DEMAM TIFOID, HIPOKALEMIA
RINGAN”
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. MUHAMMAD HATTA BUKITTINGGI
Periode 26 Juni – 19 Agustus 2023

OLEH :

KELOMPOK 1

NABILA ARWENI PUTRI 2230122449


NURHALIMAH 2230122452
RAHMADIA MILLENIA LARASATI 2230122456

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
PADANG
2023

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang1,2,3,4

Gastroenteritis akut adalah peradangan pada lambung dan usus dengan gejala

diare, mual dan muntah kurang dari 14 hari. Gastroenteritis akut merupakan

penyakit yang memiliki prevalensi kejadian cukup tinggi baik dinegara maju

maupun berkembang. Ini dibuktikan dengan epidemiologi dari gejala

gastroenteritis akut yaitu diare, dimana diperkirakan diseluruh dunia tercatat tiga

sampai lima miliar kasus setiap tahunnya.1 Diare akut merupakan salah satu

penyebab utama morbilitas dan mortalitas pada anak di negara berkembang.

Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak, yaitu disebabkan oleh virus,

bakteri atau parasite dan termasuk sindroma malabsorpsi. Diare juga erat

hubungannya dengan kejadian kurang gizi dan dehidrasi.2

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut sistem pencernaan yang

disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Demam

tifoid merupakan penyakit infeksi global dimana diperkirakan 26,9 juta kasus

demam tifoid ditemukan diseluruh dunia. Demam tifoid banyak terjadi terutama

di negara-negara berkembang karena berkaitan dengan sanitasi yang kurang baik.

Manifestasi klinis demam tifoid yang timbul dapat bervariasi dari gejala ringan

hingga berat. Gejala demam tifoid yang sering ditemukan adalah demam, malaise,

nyeri perut dan konstipasi. Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan gold

standard dalam menegakkan diagnosis demam tifoid. Namun pemeriksaan ini

jarang dilakukan. Pilihan terapi lini pertama dari demam tifoid adalah

kloramfenikol. Namun seiring dengan meningkatknya resistensi bakteri terhadap


1
kloramfenikol, maka pilihan terapi utama dari demam tifoid adalah antibiotik

golongan fluoroquinolone.3

Gangguan elektrolit merupakan akibat suatu proses penyakit yang mendasari,

salah satunya adalah hipokalemia. Hipokalemia adalah keadaan konsentrasi

kalium darah di bawah 3,5 mEq/L yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah

kalium total tubuh atau adanya gangguan perpindahan ion kalium ke dalam sel.4

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah obat yang diberikan untuk pasien anak dengan gastroenteritis akut,

demam tifoid, dan hypokalemia ringan telah sesuai dengan indikasi ?

2. Apakah ditemukan tanda/gejala yang berhubungan dengan ROTD ?

3. Apakah terdapat masalah terkait obat yang digunakan untuk terapi pada

pasien anak dengan gastroenteritis akut, demam tifoid, dan hipokalemia

ringan ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui apakah obat-obatan yang diberikan telah sesuai indikasi

dari penyakit, dan untuk mengetahui ada atau tidaknya tanda/gejala yang

berhubungan dengan ROTD.

1.4 Manfaat

Diharapkan laporan ini dapat dijadikan salah satu sumber informasi dalam

rangka menunjang pengobatan gastroenteritis akut, demam tifoid, dan

hipokalemia ringan pada pasien anak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gastroenteritis Akut

2.1.1 Definisi1,2

Gastroenteritis akut adalah peradangan pada lambung dan usus dengan

gejala diare, mual dan muntah kurang dari 14 hari. 1 Diare akut adalah buang air

besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi

tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari

satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya

lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih

bersifat fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal

tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa sementara

akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Kadang – kadang pada

seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair,

keadaan ini sudah dapat disebut diare.2

2.1.2 Etiologi2

Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kumankuman

patogen telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 80 % pada kasus

yang datang disarana kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan di masyarakat.

Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme

yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi. Penyebab infeksi utama

timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe

3
dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan

inflammatory.

Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi

enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh

parasit, perlekatan dan / atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory

diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus secara langsung

atau memproduksi sitotoksin.

Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia

adalah sebagai berikut :

Golongan Bakteri :

1. Aeromonas 8. Salmonella
2. Bacillus cereus 9. Shigella
3. Campylobacter jejuni 10. Staphylococcus aureus
4. Clostridium perfringens 11. Vibrio cholera
5. Clostridium defficile 12. Vibrio parahaemolyticus
6. Escherichia coli 13. Yersinia enterocolitica
7. Plesiomonas shigeloides

Golongan Virus:

1. Astrovirus 5. Rotavirus
2. Calcivirus (Norovirus, Sapovirus) 6. Norwalk virus
3. Enteric adenovirus 7. Herpes simplex virus
4. Coronavirus 8. Cytomegalovirus

Golongan Parasit:

1. Balantidium coli 5. Giardia lamblia


2. Blastocystis homonis 6. Isospora belli
3. Cryptosporidium parvum 7. Strongyloides stercoralis
4
4. Entamoeba histolytica 8. Trichuris trichiura

Menurut Depkes RI, berdasarkan jenisnya Diare dibagi lima yaitu:

1. Diare akut yaitu, Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya

kurang dari 7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi

merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.

2. Diare Disentri yaitu, Diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri

adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan kemungkinan

terjadinnya komplikasi pada mukosa.

3. Diare persisten, yaitu Diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus

menerus. Akibat Diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan

metabolisme.

4. Diare dengan masalah lain (Diare akut dan Diare persisten) mungkin juga

disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit

lainnya.

5. Diare watery adalah diare yang berisi air.

Penyebab diare dapat dilihat berdasarkan warna feses, yaitu:

1) Cokelat, Feses manusia yang berwarna cokelat adalah bentuk kotoran yang

paling lazim ditemukan. Warna ini dihasilkan oleh bilirubin yang

merupakan hasil penghancuran sel darah merah dan sumsum tulang. Saat

kandungan besi pada sel darah merah bercampur dengan bilirubin, lalu

bercampur dengan kotoran, warna kotoran akan menjadi kecokelatan.

5
2) Cokelat Muda, Warna cokelat yang sangat muda pada kotoran

menandakan banyaknya kandungan lemak atau kurangnya serat dalam

makanan yang dikonsumsi. Warna ini juga bisa disebabkan oleh gangguan

hati atau gangguan penyerapan nutrisi di usus.

3) Putih, Kotoran yang berwarna pucat menandakan kurangnya jumlah

bilirubin di dalamnya. Warna kotoran pucat dicurigai akibat sumbatan

pada saluran empedu yang bisa disebabkan oleh perlengketan, batu, atau

lainnya. Beberapa obat, seperti bismuth atau obat diare juga dapat

menyebabkan warna kotoran pucat.

4) Hijau, Jika baru saja konsumsi makanan yang berwarna hijau, seperti

sayuran, feses akan ikut berwarna hijau. Namun, bukan hanya pengaruh

dari makanan, kotoran berwarna hijau juga bisa jadi indikasi tubuh

mengalami diare, dan makanan terlalu cepat melewati saluran pencernaan

5) Merah Terang, Umumnya, warna merah terang pada kotoran manusia

disebabkan oleh adanya perdarahan di saluran pencernaan bagian bawah.

Pada penderita ambeien, darah juga bisa menetes setelah kotoran

dikeluarkan.

6) Hitam, Feses berwarna hitam atau sering disebut dengan melena. Ini

identik dengan perdarahan saluran pencernaan atas. Berbeda dengan

perdarahan saluran pencernaan bawah, perdarahan pada saluran

pencernaan atas (lambung) akan membuat darah yang dihasilkan

bercampur dengan asam lambung.

2.1.3 Epidemiologi2

6
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang

termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan

kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak

6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian

tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai gambaran 17% kematian anak di

dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil Riskesdas 2007

diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak

yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab

kematian karena diare 25,2% dibanding pneumonia 15,5%

2.1.4 Patofisiologi5

Diare adalah ketidak seimbangan dalam penyerapan dan sekresi air dan

elektrolit. Ini mungkin terkait dengan penyakit tertentu pada saluran

gastrointestinal (GI) atau dengan penyakit di luar saluran GI.

• Empat mekanisme patofisiologi umum mengganggu keseimbangan air dan

elektrolit, menyebabkan diare;

(1) Perubahan transpor ion aktif baik dengan penurunan penyerapan natrium

atau peningkatan sekresi klorida,

(2) Perubahan motilitas usus,

(3) Peningkatan osmolaritas luminal

(4) Peningkatan tekanan hidrostatik jaringan. Mekanisme ini telah dikaitkan

dengan empat kelompok diare klinis yang luas: Sekretori, osmotik, eksudatif,

dan perubahan transit usus.

7
• Diare sekretori terjadi bila ada zat perangsang (misalnya vasoaktif usus

peptide, pencahar, atau toksin bakteri) meningkatkan sekresi atau

menurunkan penyerapan konsumsi air dan elektrolit dalam jumlah besar.

• Penyakit peradangan pada saluran GI dapat menyebabkan diare eksudatif

dengan keluarnya lendir, protein, atau darah ke dalam usus. Dengan transit

usus yang berubah, motilitas usus diubah oleh berkurangnya waktu kontak

di usus kecil, pengosongan prematur usus besar, atau pertumbuhan bakteri

yang berlebihan.

2.1.5 Diagnosis6

1. Anamnesis

- Lama diare berlangsung, frekuensi diare sehari, warna dan konsistensi tinja,

lendir dan/darah dalam tinja

- Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air kecil

terakhir, demam,sesak, kejang, kembung

- Jumlah cairan yang masuk selama diare

- Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare, mengonsumsi

makanan yang tidak biasa

- Penderita diare di sekitarnya dan sumber air minum

2. Pemeriksaan Fisik

- Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital

- Tanda utama: keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma,

rasa haus, turgor kulit abdomen menurun

8
- Tanda tambahan: ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa bibir,

mulut, dan lidah

- Berat badan

- Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit,seperti napas cepat

dan dalam (asidosis metabolik), kembung (hipokalemia), kejang (hipo atau

hipernatremia)

Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai dengan kriteria berikut :

 Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan <5% berat badan)

- Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan

- Keadaan umum baik, sadar

- Ubun ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada , mukosa

mulut dan bibir basah

- Turgor abdomen baik, bising usus normal

- Akral hangat

 Dehidrasi ringan sedang/ tidak berat (kehilanagn cairan 5-10% berat badan)

- Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda tambahan

- Keadaan umum gelisah atau cengeng

- Ubun ubun besar sedikut cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang,

mukosa mulut dan bibir sedikit kering

- Turgor kurang, akral hangat

 Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)

9
- Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah dengan 2 atau lebih tanda

tambahan

- Keadaan umum lemah, letargi atau koma

- Ubun-ubun sangat cekung,mata sangat cekung, air mata tidak ada,mukosa

mulutdan bibir sangat kering

- Turgor sangat kurang dan akral dingin

- Pasien harus rawat inap

3. Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila ada

tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis

- Hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja :

 Makroskopis : konsistensi, warna, lendir, darah, bau

 Mikroskopis : leukosit, eritrosit, parasit, bakteri

 Kimia: pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)

 Biakan dan uji sensitivitas tidak dilakukan pada diare akut

 Analisis gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya
gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit

2.1.6 Penatalaksanaan6

1. Cairan

Tanpa Dehidrasi

- Cairan rehidrasi oralit dengan menggunakan NEW ORALIT diberikan 5-10

mL/kgBB setiap diare cair atau berdasarkan usia, yaitu umur < 1 tahun
10
sebanyak 50- 100 mL,umur 1-5 tahun sebanyak 100-200 mL, dan umur di

atas 5 tahun semaunya. Dapat diberikan cairan rumah tangga sesuai

kemauan anak. ASI harus terus diberikan.

- Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain

(tidak mau minum, muntah terus menerus, diare frekuen dan profus)

Dehidrasi ringan-sedang

- Cairan rehidrasi oral (CRO) hipoosmolar diberikan sebanyak 75 mL/kgBB

dalam 3 jam untuk mengganti kehilangan cairan yang telah terjadi dan

sebanyak 5-10 mL/ kgBB setiap diare cair.

- Rehidrasi parenteral (intravena) diberikan bila anak muntah setiap diberi

minum walaupun telah diberikan dengan cara sedikit demi sedikit atau

melalui pipa nasogastrik. Cairan intravena yang diberikan adalah ringer

laktat atau KaEN 3B atau NaCl dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan

berat badan. Status hidrasi dievaluasi secara berkala.

 Berat badan 3-10 kg : 200 mL/kgBB/hari

 Berat badan 10-15 kg : 175 mL/kgBB/hari

 Berat badan > 15 kg : 135 mL/kgBB/hari

 Pasien dipantau di Puskesmas/Rumah Sakit selama proses rehidrasi

sambil memberi edukasi tentang melakukan rehidrasi kepada

orangtua

Dehidrasi berat

11
- Diberikan cairan rehidrasi parenteral dengan ringer laktat atau ringer asetat

100 mL/kgBB dengan cara pemberian:

 Umur kurang dari 12 bulan: 30 mL/kgBB dalam 1 jam pertama,

dilanjutkan 70 mL/ kgBB dalam 5 jam berikutnya

 Umur di atas 12 bulan: 30 mL/kgBB dalam ½ jam pertama,

dilanjutkan 70 mL/kgBB dalam 2,5 jam berikutnya

 Masukan cairan peroral diberikan bila pasien sudah mau dan dapat

minum, dimulai dengan 5 mL/kgBB selama proses rehidrasi

Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit (lihat PPM PGD)

- Hipernatremia (Na >155 mEq/L)

Koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan pemberian cairan

dekstrose 5% ½ salin. Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10 mEq

per hari karena bisa menyebabkan edema otak.

- Hiponatremia (Na <130 mEq/L)

Kadar natrium diperiksa ulang setelah rehidrasi selesai, apabila masih

dijumpai hiponatremia dilakukan koreksisbb: Kadar Na koreksi (mEq/L) =

125 – kadar Na serum x 0.6 x berat badan; diberikan dalam 24 jam

- Hiperkalemia (K >5 mEq/L)

Koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10% sebanyak 0.5-

1 ml/ kg BB i.v secara perlahan-lahan dalam 5-10 menit; sambil dimonitor

irama jantung dengan EKG. Untuk pemberian medikamentosa dapat dilihat

PPM Nefrologi.

- Hipokalemia (K <3,5 mEq/L)


12
Koreksi dilakukan menurut kadar Kalium.

- Kadar K 2,5-3,5 mEq/L, berikan KCl 75 mEq/kg BB per oral per hari

dibagi 3 dosis

- Kadar K <2,5 mEq/L, berikan KCl melalui drip intravena dengan dosis :

 3,5 - kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam dalam


4 jam pertama

 3,5 - kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB dalam 20


jamberikutnya

2. Seng/Zink

Seng terbukti secara ilmiah terpercaya dapat menurunkan frekuensi buang air

besardan volume tinja sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi

pada anak. Seng Zink elemental diberikan selama 10-14 hari meskipun anak telah

tidak mengalami diare dengan dosis:

a. Umur di bawah 6 bulan: 10 mg per hari

b. Umur di atas 6 bulan: 20 mg per hari

3. Nutrisi

ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur tetap

diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan dan sebagai pengganti nutrisi

yang hilang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Anak

tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering (lebih

kurang 6 x sehari), rendah serat, buah buahan diberikan terutama pisang.

4. Medikamentosa

a. Tidak boleh diberikan obat anti diare

13
b. Antibiotik

Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri (diare berdarah) atau

kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mengganggu keseimbangan

flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium difficile

akan tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian

antibiotik yang tidak rasional dapat mempercepat resistensi kuman terhadap

antibiotik. Untuk disentri basiler, antibiotik diberikan sesuai dengan data

sensitivitas setempat, bila tidak memungkinkan dapat mengacu kepada data

publikasi yang dipakai saat ini, yaitu kotrimoksazol sebagai lini pertama,

kemudian sebagai lini kedua. Bila kedua antibiotik tersebut sudah resisten maka

lini ketiga adalah cefixime.

c. Antiparasit

Metronidazol 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis merupakan obat pilihan untuk

amuba vegetative.

5. Edukasi

Orangtua diminta untuk membawa kembali anaknya ke Pusat Pelayanan

Kesehatan bila ditemukan hal sebagai berikut: demam, tinja berdarah, makan atau

minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3

hari. Orangtua dan pengasuh diajarkan cara menyiapkan oralitsecara benar.

Langkah promotif/preventif :

(1) ASI tetap diberikan

(2) Kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan

(3) Kebersihan lingkungan, buang air besar di jamban

14
(4) Immunisasi campak

(5) Memberikan makanan penyapihan yang benar

(6) Penyediaan air minum yang bersih

(7) Selalu memasak makanan.

2.2 Demam Tifoid

2.2.1 Definisi7

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan

oleh infeksi sistemik Salmonella typhi. Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi

pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Sembilan puluh

enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan

oleh S. paratyphi. Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati

lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus

sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman ikut aliran

limfe mesenterial kedalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai jaringan

RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami

bakteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ

lain (intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari.

2.2.2 Epidemiologi8

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di

berbagai negera sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di

dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala

dengan spectrum klinisnya sangat luas. Salmonella typhi dapat hidup di dalam

tubuh manusia. Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat

15
mengeksresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka

waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia

dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau

kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi Salmonella typhi hanya

dapat hidup kurang dari 1 mingguu pada raw sewage, dan mudah dimatikan

dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63℃).

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui

minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau

pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja.

2.2.3 Etiologi8

Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri

Gramnegatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,

fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari

oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen

(K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida

kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan

resistensi terhadap multipel antibiotik.

2.2.4 Patofisiologis8

Pada Buku Ajar infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua dijelaskan bahwa

jalur masuknya Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke

dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam

(pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria,

16
gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H., inhibitor pompa

proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri

yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada

sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus,

tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer's

patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel

limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang

melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa.

Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di

dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.

2.2.5 Diagnosis Demam Tifoid9

a. Anamnesis

Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir

minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering

mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare

atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai

penurunan kesadaran, kejang dan icterus.

b. Pemeriksaan Fisis

Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.

Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu

di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali

lebih sering dijumpai dari pada splenomegali. Kadang-kadang terdengar rongki

pada pemeriksaan paru.

17
c. Pemeriksaan Penunjang

1. Darah Tepi Perifer :

- Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang,

defisiensi Fe, atau perdarahan usus

- Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul

- Limfositosis relative

- Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat

2. Pemeriksaan Serologi

- Serologi Widal : kenaikan titer S.Typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4

kali titer fase akut ke fase konvalesens

- Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)

3. Pemeriksaan biakan Salmonella

- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit

- Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4

4. Pemeriksaan Radiologik

- Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.

- Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti

perforasi usus atau perdarahan saluran cerna.

- Pada perforasi usus tampak : distribusi udara tak merata, airfluid level,

bayangan radiolusen di daerah hepar udara dan bebas pada abdomen

2.2.6 Tatalaksana10

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah

baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta

18
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit

agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan

timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik

merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi

Salmoneella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.

1. Terapi Farmakologi

 Terapi Antibiotik

Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak

di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.

Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan

pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang. Hal

ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah pilihan

golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau

gatifloksasin. Berikut adalah pemilihan terapi antibiotik pada demam tifoid

menurut sumber IDAI

a. Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita

demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam

4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam

turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat

diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielits akut, dan 4

minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah

tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut jarang

dilaporkan.

19
b. Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila

dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200

mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena.

c. Amoksilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian

per oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun

penurunan demam lebih lama.

d. Kombinasi Trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil

yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah

TMP 10 mg/kg/hari atau SMZ 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis Di

beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten

terhadap kloramfenikol. Di India resistensi ganda terhadap kloramfenikol,

Ampisilin, dan TMP-SMZ terjadi sebanyak 49 83%. Strain yang resisten

umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga.

e. Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti:

- Seftriakson 100 mg/kg/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4

gram/hari) salama 5-7 hari atau

- Sefotaksim 150-200 mg/kg/ hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada

isolat yang rentan. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk

anak.

- Cefixime oral 10-15 mg/KgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan

sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/ μl atau

dijumpai resistensi terhadap S.typhi.

2. Terapi suportif dapat dilakukan dengan :


20
- Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi.

- Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun

parenteral.

- Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah

serat.

- Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas.

2.3 Hipokalemia11,12

2.3.1 Definisi11

Hipokalemia adalah keadaan konsentrasi kalium darah di bawah 3,5 mEq/L

yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total tubuh atau adanya

gangguan perpindahan ion kalium ke dalam sel.

Derajat Hipokalemia :

- Hipokalemia ringan: kadar serum 3-3,5 mEq/L.

- Hipokalemia sedang: kadar serum 2,5-3 mEq/L.

- Hipokalemia berat: kadar serum < 2,5 mEq/L. Hipokalemia <2 mEq/L

biasanya sudah disertai kelainan jantung dan mengancam jiwa.

2.3.2 Etiologi12

Berbagai etiologi dapat menyebabkan hypokalemia. Etiologi ini dapat

ditempatkan kedalam kategori berikut:

1. Penurunan asupan kalium

2. Pergeseran transluler (peningkatan serapan intraseluler)

3. Peningkatan kehilangan kalium (kehilangan kulit, gastrointestinal, dan

ginjal)
21
2.3.3 Epidemiologi12

Secara umum, hipokalemia dikaitkan dengan diagnosis penyakit jantung,

gagal ginjal, malnutrisi, dan syok. Hipotermia dan peningkatan produksi sel darah

(misalnya, leukemia) merupakan faktor risiko tambahan untuk mengembangkan

hipokalemia. Ada himpunan bagian dari pasien yang rentan terhadap

perkembangan hipokalemia. Misalnya, pasien psikiatri berisiko hipokalemia

karena terapi obat mereka. Hipokalemia juga lazim terjadi pada pasien rawat inap,

khususnya pasien anak-anak, mereka yang mengalami demam dan mereka yang

sakit kritis. Selain itu, di negara berkembang, peningkatan risiko kematian diamati

pada anak-anak ketika hipokalemia berat dikaitkan dengan diare dan malnutrisi

berat.

2.3.4 Patofisiologi12

Kalium didominasi intraseluler di mana itu adalah kation yang paling

melimpah dan terlibat dalam regulasi sel dan beberapa proses seluler. Fraksi

kalium dalam cairan ekstraseluler kecil. Oleh karena itu, kadar plasma atau serum

bukan merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk simpanan kalium total

tubuh. Homeostasis kalium dipertahankan melalui kombinasi penyesuaian dalam

pergeseran seluler akut antara kompartemen cairan ekstraseluler dan intraseluler,

ekskresi ginjal dan, pada tingkat yang lebih rendah, kehilangan gastrointestinal.

Hipokalemia dapat terjadi sebagai akibat dari penurunan asupan kalium,

pergeseran transelular (peningkatan penyerapan intraseluler) atau peningkatan

kehilangan kalium (kehilangan kulit, gastrointestinal, dan ginjal). Penurunan

asupan kalium, secara terpisah, jarang menyebabkan hipokalemia karena

22
kemampuan ginjal untuk meminimalkan ekskresi kalium secara efektif. Namun,

asupan yang berkurang dapat menjadi kontributor hipokalemia dengan adanya

penyebab lain, seperti malnutrisi atau terapi diuretik. Penyerapan seluler kalium

dipromosikan oleh alkalemia, insulin, stimulasi beta-adrenergik, aldosteron dan

xantin, seperti kafein. Sebagian besar kasus hipokalemia disebabkan oleh

gangguan gastrointestinal (GI) atau ginjal. Kehilangan kalium ginjal berhubungan

dengan peningkatan stimulasi reseptor mineralokortikoid seperti yang terjadi pada

hiperreninisme primer dan aldosteronisme primer. Peningkatan pengiriman

natrium dan/atau ion yang tidak dapat diserap (terapi diuretik, defisiensi

magnesium, sindrom genetik) ke nefron distal juga dapat menyebabkan

pemborosan kalium ginjal. Kehilangan GI adalah penyebab umum hipokalemia

dengan diare berat atau kronis menjadi penyebab hipokalemia ekstrarenal yang

paling umum.

2.3.5 Diagnosis13

Anamnesis harus berfokus pada obat-obatan (khususnya obat pencahar,

diuretic, antibiotic), diet, kebiasaan makan, dan gejala yang mengarah pada

etiologi tertentu (misalnya kelemahan periodic, muntah, dan diare). Pemeriksaan

fisik harus memberi perhatian khusus pada tekanan darah dan tanda-tanda

tertentu, misalnya hipertiroidisme dan sindrom cushing. Evaluasi penunjang

mencakup pemeriksaan elektrolit, BUN, kreatinin, oosmolalitas serum, kadar

Mg2+, kadar Ca2+, pemeriksaan darah lengkap, pH urin, osmolalitas, kreatinin,

dan elektrolit.

2.3.6 Tatalaksana

23
a. Cara Pemberian Kalium

• Oral. Penggantian kalium secara oral paling aman tetapi kurang

ditoleransi karena iritasi lambung. Pada hypokalemia ringan (kalium 3-

3,5 mEq/L) dapat diberikan KCl oral 20 mEq/L 3-4 kali sehari, dan

edukasi diet kaya kalium. Makanan mengandung cukup kalium dan

menyediakan 60 mmol kalium. Kalium fosfat dapat diberikan pada

pasien hypokalemia gabungan dan hipofosfatemia. Kalium bikarbonat

atau kalium sitrat harus dipertimbangkan pada pasien dengan penyulit

asidosis metabolic.

• Jalur intravena harus dibatasi hanya pada pasien yang tidak dapat

menggunakan jalur enteral atau dalam komplikasi berat (contohnya

paralisis dan aritmia). K-Cl harus selalu diberikan dalam larutan garam,

bukan dektrosa, karena peningkatan insulin yang diindikasi dektrosa

dapat memperburuk hypokalemia. Pemberian dektrosa bisa menyebabkan

penurunan sementara kalium serum sebesar 0,2-1,4 mmol/L karena

stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa.

Menurut Pedoman Pelayanan Medis ed.II tahun 2011:14

a) Koreksi penyebab, pemberian kalium, dan koreksi alkalosis.

b) Bila kalium >3mEq/L dan/atau penderita asimtomatik, berikan kalium

oral 2-4 mEq/ kg/hari.

c) Pada alkalosis metabolik: kalium diberikan enteral (oral atau lewat

NGT) 2-4 mEq/ kg/hari.

24
d) Bila kalium <3 mE/L dan asimtomatik, diberikan IV dosis rumatan

tinggi

e) Bila mengancam jiwa dikoreksi dengan perhitungan deficit

menggunakan nilai pH

f) Bila terdapat asidemia, koreksi diberikan sebelum koreksi pH.

BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas Pasien

Nomor RM : 0016XXXX

Nama : An. K

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 2 Tahun 9 Bulan

Ruangan : Panorama Anak Melati 1

Diagnose : Gastroenteritis Akut, Demam Tifoid,

Hipokalemia Ringan.

Mulai Perawatan : 20 Juli 2023 pukul 14.55 WIB

Keluar Rumah Sakit : 25 Juli 2023

Dokter yang Merawat : dr. Yelli, Sp. A

3.2 Anamnesis

3.2.1. Keluhan Utama

Muntah dan mencret 4 hari SMRS


25
3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

- Muntah 4 hari SMRS . Frekuensi muntah kurang lebih 2 x dan cukup

banyak yang dimuntahkan.

- Mencret 3 hari SMRS, konsistensi BAB encer, dengan frekuensi kurang

lebih 4 x .

- Penurunan nafsu makan 3 hari SMRS karena setiap makan selalu

dimuntahkan kembali.

- Minum agak kurang, BAK juga kurang.

3.2.3. Riwayat Penyakit Keluarga

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu pasien, keluarga pasien tidak

memiliki Riwayat penyakit.

3.2.4. Riwayat Pengobatan

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu pasien, An. K dibawa ke

klinik pada Senin (17/07) pagi karena muntah, diberikan obat muntah. Pada

Selasa (18/07) malam dibawa ke klinik kembali karena demam dan diberikan

Paracetamol.

3.2.5. Riwayat Alergi

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu pasien, An. K tidak memiliki

Riwayat alergi obat maupun makanan.

3.3 Hasil Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sedang

Tekanan Darah :/

Nadi : 86 kali/menit

26
Pernafasan : 20 kali/menit

Suhu : 37⁰C

Berat Badan : 10 kg

Kesadaran : Komposmentis (sadar penuh)

Glassglow Coma Scale (GCS) : Eye (E) : 4; Motorik (M) : 6; Verbal

(V) : 5.

Pupil : Isokor (besarnya sama)

Konjungtiva : Anemis (-)

Sklera : Ikterik (-)

Wajah : Plika nasolabialis simetris

Jantung : Irama regular, bising (-)

Paru-paru : Suara nafas Vesikular, Rhonki (-),

Wheezing (-).

Abdomen (perut) : Bising Usus (+)

Nyeri Tekan : Tidak ada

Ekstremitas (anggota gerak) : Akral hangat, CRT <2s

3.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium ( IGD )


Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 20 Juli 2023

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Jenis Pemeriksaan : Hematologi
Hemoglobin 13.3 g/dL 10.8 – 12.8
Leukosit 3.64 103/µL 6 – 17
Hematokrit 35.6 % 35 – 43
Jumlah rata-rata Hb 29.3 pg 23 – 31
27
Neutrophil 45.0 % 25 – 60
Trombosit 280 103/µL 229 – 553
Ukuran rata-rata 78.5 fL 73 – 101
eritrosit
Konsentrasi rata-rata 37.4 g/dL 26 – 34
Hb dalam eritrosit
Eosinophil 0.4 % 1–3
Limposit 42.1 % 20 – 40
Basophil 1.8 % 0-1
Monosit 10.7 % 2 –8
Jenis Pemeriksaan : Kimia Darah
Natrium, Kalium, Clorida
Clorida 102 mmol/L 97 - 111
Natrium 134 mmol/L 136 – 145
Kalium 3.3 mmol/L 3.5 – 5.1
Gula Darah (Random)
Random 137 mg/dL < 200

3.5 Diagnosis Awal ( IGD )

Diagnose Utama : Gastroenteritis akut

Diagnose Sekunder : Hipokalemia ringan dan Gizi Kurang

3.6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium (Rawat Inap)

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 21 Juli 2023

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Jenis Pemeriksaan : KIMIA DARAH
Antibody Tifoid / TUBEX
Antibodi Tifoid / Tubex Positif ( Skala 6 ) Negatif ( Skala <2)

3.7 Diagnosa (Rawat Inap )


28
Diagnose Utama : Gastroenteritis Akut

Diagnose Sekunder : Hipokalemia Ringan dan Demam Tifoid

3.8 Pengobatan

Obat di IGD sebagai berikut :

a. IVFD KaEN 1B + KCl 10 mEq 500 mL 11 tetes/menit makro

b. Paracetamol 120 mg/5 mL syrup, 4 x 1 cth (p.o KP)

c. Zink 20 mg, 1 x 1 tablet (p.o)

d. Domperidone 2,5 mg, 3 x 1 (p.o KP)

Obat di Rawat Inap sebagai berikut :

a. IVFD KaEN 1B + KCl 10 mEq 500 mL 11 tetes/menit makro

b. Zink 20 mg, 1 x 1 (p.o)

c. Ceftriaxone 1 gram, 1 x 1 (i.v)

d. Kalium (KSR) 275 mg, 3 x 1 (p.o)

e. Domperidone 2,5 mg, 3 x 1 (p.o KP)

f. Paracetamol 120 mg/5 mL syrup, 4 x 1 cth (p.o KP)

29
30
3.9 Lembar Penggunaan Obat

Tanggal Pemberian Obat


Nama Obat Frekuensi / 20-07-2023 21-07-2023 22-07-2023 23-07-2023 24-07-2023 25-07-2023
Rute P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M P S S M
IVFD KaEN 1B 11 tpm/iv √ √ √ √ √ √ √ √ √
+ KCl 10 mEq
500 mL
Ceftriaxone 1 1 x 1 √ √ √ STOP
gram ampul/iv
Zink 20 mg 1 x 1 √ √ √ √ √
tab/PO
Kalium (KSR) 3 x 1 (PO) √ √ √ √ √ √ √ √ √
275 mg
STOP
Domperidone 2,5 3 x 1 (PO) √ √
mg KALAU PERLU
Paracetamol 120 4 x 1 cth √ √
mg/5 mL syrup (PO) KALAU PERLU KALAU PERLU

31
32
3.10 Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

SOAP Keterangan
20 Juli 2023 ( 15 ; 36 WIB) Perawat
S Mencret 1 x per hari selama 3 hari, Riwayat muntah (+) penurunan
nafsu makan (+) minum agak kurang. Demam (-) batuk (-) sesak (-)
keluhan lain tidak ada. Intake terakhir dalam 24 : susu saja 2 x 90
cc
O Pemeriksaan fisik :
TD : /
BB : 10 kg
Nadi :86 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
A Suhu : 37⁰C
P Diare deficit nutrisi
Setelah dilakukan Tindakan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan
diare berkurang dan nutrisi meningkat.
20-07-2023 ( 22:49 WIB ) Perawat
S Mencret 1 x perhari selama 3 hari, Riwayat muntah (+) penurunan
nafsu makan (+) minum agak kurang. Demam (-) batuk (-) sesak (-)
keluhan lain tidak ada.
Pemeriksaan fisik :
O TD : /
BB : 10 kg
Nadi :86 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5

33
Suhu : 37⁰C
Diare Defisit Nutrisi
A Setelah dilakukan Tindakan keperawatan 2 x 24 jam diharapkan
P diare berkurang dan nutrisi meningkat.
21-07-2023 ( 07 : 25 WIB ) Dokter Ruangan

S Mencret 1 x perhari selama 3 hari, Riwayat muntah (+) penurunan


nafsu makan (+) minum agak kurang. Demam (-) batuk (-) sesak (-)
keluhan lain tidak ada.
Pemeriksaan fisik :
O TD : /
BB : 10 kg
Nadi :86 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
Suhu : 37⁰C
A Diare
P Sesuai advis DPJP
21-07-2023 ( 08 : 32 WIB ) Dokter DPJP
S Mencret 1 x perhari selama 3 hari, Riwayat muntah (+) berulang +
penurunan nafsu makan (+) minum agak kurang. Satu hari sebelum
dirawat makan - , minum 2 x 90 cc susu. Demam (-) hari ini, batuk
(-) sesak (-) keluhan lain tidak ada.
Pemeriksaan fisik :
O TD : /
BB : 11,4 kg
TB : 90 cm
BB/U = antara 0 – (-2) (UNDERWEIGHT)
TB/U = antara 0 – (-2) (Kemungkinan stunted)

34
BB/TB = antara -1 – (-2) (wasted)
Nadi : 90 x/menit
Kesadaran : Komposmentis
Frekuensi : 24 x/menit
Suhu : 36,4⁰C
GCS : E : 4 M : 6 V : 5
Turgor kurang
A Gastroenteritis akut Low Intake gizi kurang Hipokalemia ringan
Albumin, globulin, LED Tubex Montoux test
P IVFD KAEN 1B + KCl 10 mEq kolf 11 gtt/menit makro
Zink 1 x 20 mg
ML DSC 1100 kkal
Parasetamol 4 x 1 cth KP
Domperidone 3 x 2,5 mg KP
Kalium 3 x 275 mg
21-07-2023 ( 09 : 08 WIB ) Perawat
S Mencret (-), Riwayat muntahh (-) penurunan nafsu makan (+)
minum agak kurang. Demam (-) batuk (-) sesak (-) keluhan lain
tidak ada.
O Pemeriksaan fisik :
TD : /
BB : 11,4 kg
Nadi :86 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
A Suhu : 36,⁰C
P Defisit nutrisi
Setelah dilakukan Tindakan keperawatan 2 x 24 jam nutrisi
meningkat

35
21-07-2023 ( 09 : 13 WIB ) Nutrisionis
S BB : 11,4 kg, status gizi : kurus tingkat berat, IMT < 17, Gula darah
: 137, klinik/fisik mencret, muntah, penurunan nafsu makan, pola
makan 3x/hari minum susu balita 3x/hari. Suka ngemil makanan
ringan
D Asupan kurang berkaitan mual dan penurunan nafsu makan ditandai
asupan kurang dari 80% kebutuhan
Kebutuhan gizi : energi : 1000, protein : 20, lemak : 30,
I karbohidrat : 210, diit : seimbang. Bentuk makanan lunak. 3x
makanan utama 1x selingan. Cara pemberian oral
E Asupan gizi
M Makanan RS dapat dihabiskan
21-07-2023 ( 21 : 20 WIB ) Perawat
S Penurunan nafsu makan (+) minum agak kurang. Pasien Riwayat
mencret.
O Pemeriksaan fisik :
TD : /
BB : 11,4 kg
Nadi : 98 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
Suhu : 36,6⁰C
A Defisit nutrisi
P Setelah dilakukan Tindakan keperwatan 2 x 24 jam nutrisi
meningkat
22-07-2023 ( 10:02 WIB ) Dokter DPJP
S Nafsu makan (+) minum mulai banyak. Mencret (-) muntah (-)
Pemeriksaan fisik :

36
O TD : /
BB : 10,9 kg
Nadi : 90 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
Suhu : 36,5⁰C
Tubex +6
LED 25/jam
A Gastroenteritis akut, low intake gizi kurang, hipokalemia ringan,
demam tifoid
Besok cek elektrolit
P IVFD KAEN 1B + KCl 10 mEq kolf 11 gtt/menit makro
Zink 1 x 20 mg
ML DSC 1100 kkal
Parasetamol 4 x 1 cth KP
Domperidone 3 x 2,5 mg KP
Kalium 3 x 275 mg
Ceftriaxone 1 x 1 gr/iv
22-07-2023 ( 12 : 38 WIB ) Farmasi
S Nafsu makan (+) minum mulai banyak. Pasien Riwayat mencret
Pemeriksaan fisik :
O TD : /
BB : 10,9 kg
Nadi : 90 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
Suhu : 36,5⁰C
Natrium 134 mmol/L

37
Kalium 3.3 mmol/L
Tubex +6
IVFD KAEN 1B + KCl 10 mEq kolf 11 gtt/menit makro
Zink 1 x 20 mg
ML DSC 1100 kkal
Parasetamol 4 x 1 cth KP
Domperidone 3 x 2,5 mg KP
Kalium 3 x 275 mg
Ceftriaxone 1 x 1gr/iv
A Terapi saat ini sudah sesuai indikasi
P Pantau efektivitas obat, pantau gejala yang berhubungan dengan
ROTD
22-07-2023 ( 21 : 21 WIB ) Perawat
S Nafsu makan (+) minum mulai banyak. Pasien Riwayat mencret.
Pemeriksaan fisik :
O TD : /
BB : 10,9 kg
Nadi : 90 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
Suhu : 36,5⁰C
A Resiko defisit nutrisi
P Setelah dilakukan Tindakan keperawatan 2 x 24 jam nutrisi
meningkat
23-07-2023 ( 10:58 WIB ) Perawat
S Nafsu makan (+) minum mulai banyak. Mencret (-), demam (-)
Pemeriksaan fisik :
O TD : /
BB : 10,9 kg

38
Nadi : 92 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
Suhu : 36,8⁰C
A Resiko defisit nutrisi
P Setelah dilakukan Tindakan keperawatan 2 x 24 jam nutrisi
meningkat
24-07-2023 ( 08 : 33 WIB ) Dokter ruangan
S Nafsu makan (+) minum mulai banyak. Mencret (-), demam (-)
Pemeriksaan fisik :
O TD : /
BB : 11,3 kg
Nadi : 96 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
Suhu : 36,8⁰C
A GEA Hipokalemia
P Sesuai advis DPJP
24-07-2023 ( 09 : 29 WIB ) Dokter DPJP
S Nafsu makan (+) minum mulai banyak. Mencret (-), demam (-),
BAB 3 hari
O Pemeriksaan fisik :
TD : /
BB : 11,3 kg
Nadi : 96 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5

39
Suhu : 36,2⁰C
Abdomen : hipertimpani (+), bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Montoux test (-)
Gastroenteritis akut, low intake gizi kurang, hipokalemia ringan,
A demam tifoid.
Terapi dilanjutkan.
P KSR stop
24-07-2023 ( 21 : 41 WIB ) Perawat
S Nafsu makan (+) minum mulai banyak. Mencret (-), demam (-)
Pemeriksaan fisik :
O TD : /
BB : 11,3 kg
Nadi : 96 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 24 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
Suhu : 36,5⁰C
A Resiko defisit nutrisi
P Setelah dilakukan Tindakan keperawatan 2 x 24 jam nutrisi
meningkat
25-07-2023 ( 09 : 20 WIB ) Dokter DPJP
S Nafsu makan (+) minum mulai banyak. Mencret (-), demam (-),
O Pemeriksaan fisik :
TD : /
BB : 10,9 kg
Nadi : 100 x/ menit
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi nafas : 26 x/menit
GCS : E : 4 : M : 6 : V : 5
Suhu : 36,3⁰C

40
Lain-lain tidak ditemukan kelainan
A Gastroenteritis akut, low intake gizi kurang, hipokalemia ringan,
demam tifoid.
P Boleh pulang.

41
3.11 Analisis DRPs (Drug Related Problems)

No. Jenis DRP Assesment Ada/Tidak Keterangan Rekomendasi


ada Masalah
1. Korelasi antara Adakah pemberian obat Tidak ada 1. IVFD KAEN1B + KCl 10 mEq 500 ml
terapi obat tanpa indikasi? masalah  mengembalikan cairan tubuh
dengan masalah 2. Paracetamol 125 mg/5 mL syrup 
medis Apakah ada obat yang menurunkan panas.
tidak dikenali? 3. Ceftriaxon 1 gram  membunuh bakteri
(termasukobat yang gram negatif
dibawa pasien dari 4. Zinc 20 mg  mencegah / mengatasi
rumah) kekurangan zinc
5. KSR 275 mg  membantu
Apakah ada kondisi yang meningkatkan kadar kalium dalam tubuh
tidak diterapi 6. Domperidone 2,5 mg  meredakan mual
dan muntah
2. Ketepatan Apakah ada obat yang Tidak ada Pemilihan obat sudah tepat
Pemilihan obat lebih efektif? masalah
Apakah ada obat yang
lebih aman?

42
Apakah pemilihan obat
sudah
mempertimbangkan
kondisi pasien?
3. Regimen Apakah dosis yang Tidak ada 1. IVFD Kaen 1B + KCL 10 mEq 500
pemberian obat diberikan sudah tepat masalah ml
atau mempertimbangkan Jumlah Cairan x Faktor tetes
Tts/menit=
kondisi klinis pasien? waktu ( jam ) x 60 menit
500 ml x 20 tts/mnit
11 tts/mnit =
Waktu( jam)x 60 menit
Apakah rute, bentuk
Waktu (jam) x 660 tts/mnit = 10.000
sediaan serta cara
tts/mnit
pemberian sudah tepat
10.000tts /mnit
dengan Waktu (jam) =
660 tts/mnit
mempertimbangkan = 15,15 Jam
efikasi, keamanan serta 2. Ceftriaxon 1 x 1 gram
kenyamanan pasien? 50 - 100 mg/kgBB/Hari
Apakah jadwal Dosis : 50 – 100 mg x 10 kg
pemberian obat sudah = 500 – 1000 mg
mempertimbangkan

43
optimalisasi efek terapi, 3. Zinc 1 x 20 mg
meminimalkan efek Umur > 6 bulan 20 mg/hari
samping serta kepatuhan 4. Domperidon 3 x 2,5 mg
pasien? Dosis anak : 0,2 – 0,5 mg/kg, 4 – 8 jam
Dosis : 0,2 – 0,5 mg x 10 kg
Apakah lama pemberian = 2 – 5 mg
obat sudah tepat ? 5. Paracetamol 120 mg/5 mL sirup, 4 x
1 cth
Dosis anak : 10-15 mg/kgBB/kali tiap 4-6
jam (3-4 kali)
Dosis maksimal : 120 – 250 mg
( Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan
Anak)
Dosis : 10 – 15 x 10 kg
= 100 – 150 mg
6. KSR 3 x 275 mg

4. Duplikasi Terapi Apakah ditemukan Tidak ada


duplikasi terapi? masalah

44
5. Alergi Obat atau Apakah pasien alergi atau Tidak ada Pasien tidak memiliki alergi atau tidak dapat
Intoleransi tidak dapat mentoleransi masalah mentoleransi obat yang diberikan
obat yang diberikan?
6. Efek Samping Apakah pasien Tidak ada Pasien tidak memiliki gejala atau masalah
Obat mengalami gejala atau masalah medis yang diinduksi obat atau yang
masalah medis yang berhubungan dengan obat yang diberikan
diinduksi obat atau yang
berhubungan dengan obat
yang diberikan ?
7. Interaksi obat Apakah ditemukan Tidak ada Tidak ada interaksi obat dengan obat,
interaksi obat? apakah masalah maupun obat dengan makanan.
signifikan secara klinis?

Apakah ditemukan obat


yang dikontraindikasikan
dengan keadaan pasien
saat ini atau penyakit
terdahulu?
Apakah ditemukan
interaksi obat-makanan?

45
Apakah signifikan secara
klinis?

Apakah ditemukan
interaksi obat dengan
hasil pemeriksaan
laboratorium? Apakah
signifikan secara klinis?
8. Penyalahgunaan Apakah pasien Tidak ada Pasien tidak memiliki riwayat
obat mempunyai riwayat masalah penyalahgunaan obat dan tidak ditemukan
penyalahgunaan obat? gejala putus obat
Apakah ditemukan gejala
putus obat?
9. Kegagalan Apakah pasien gagal Tidak ada Tidak ada penghalang pasien untuk
memperoleh memproleh obat akibat masalah mendapatkan obat
obat kesalahan sistem atau
kepatuhan?
Apakah ditemukan
penghalang pasien untuk

46
mendapatkan obat ?
10. Permasalahan Apakah obat yang dipilih Tidak ada Obat yang dipilih sudah cost effective
keuangam sudah cost effective masalah Pasien mampu membayar biaya obatnya
Apakah pasien mampu
membayar biaya
obatnya?
11. Pengetahuan Apakah pasien mengerti Tidak ada Pasien mengerti tentang obat yang dipakai
dan tentang obat yang dipakai masalah
kepatuhanpasien (cara penggunaan dan
trekait obat efek samping potensial)
yang digunakan Apakah pasien dapat
memanfaatkan alat bantu
belajat (melalui tulisan ,
alat peraga atau alat
pengingat minum obat)
Apakah pasien patuh
minum obat ?

3.12 Rencana Asuhan Kefarmasian

47
Masalah Medis Tujuan Obat yang dipilih Parameter Nilai yang Monitoring
Farmakoterapi Monitor diinginkan Frekuensi
Gastroenteritis Menghentikan diare Zinc 20 mg Konsistensi dan Frekuensi BAB Setiap 1 x 24 jam
akut frekuensi BAB max 3 x sehari
Hipokalemia Kadar kalium KSR 275 mg Kadar kalium Kalium : 3,5 – 5,1 Setiap hari
memenuhi rentang mmol/L
normal
Demam tifoid Eradinasi bakteri  Ceftriaxon Nilai leukosit Kadar Leukosit Setiap hari
Salmonella thypii injeksi i.v memenuhi rentang normal :
(antibiotik) normal 6 – 17 103/µL
Untuk mengatasi  Paracetamol Suhu tubuh Suhu tubuh Setiap 6 jam
demam syr 4 x 1 cth normal
(120 mg/5 mL)
(antipiretik)
Mual dan Mengatasi mual dan  Domperidon 3 Frekuensi muntah Tidak muntah Setiap hari
muntah muntah x 2,5 mg

3.13 Pemantauan Efek Terapi Obat

48
No. Tujuan Rekomendasi Parameter Nilai yang 20 Juli 21 Juli 22 Juli 23 Juli 24 Juli 25 Juli

Farmakoterapi Terapi Monitor diinginkan 2023 2023 2023 2023 2023 2023

1 Gastroenteritis Zinc 20 mg Konsistensi dan Frekuensi BAB 1x 1x - - - -

akut frekuensi BAB max 3 x sehari sehari sehari

2 Hipokalemia KSR 275 mg Kadar kalium Kalium : 3,5 – 3,3 - - 4,1 - -

ringan memenuhi 5,1 mmol/L mmol/L mmol/L

rentang normal

3 Demam tifoid Cefrtiaxone Eradikasi Jumlah 36⁰C 36,4⁰C 36,5⁰C 36,8⁰C 36,2⁰C 36,3⁰C

injeksi 1 x 1 bakteri leukosit

gram Salmonella

thypii

Paracetamol Suhu tubuh Suhu tubuh

syr 4 x 1 cth normal

(120 mg/5

mL)

49
(antipiretik)

4 Mual dan Domperidon Frekuensi mual Kejadian mual Muntah Muntah - - - -

muntah 3 x 2,5 mg dan muntah dan muntah 2x 1x

3.14 Lembar Pemantauan Efek Samping

No Nama Obat Regimen Manifestasi ESO Cara Mengatasi Evaluasi

50
. Dosis ESO Tanggal Uraian
1 IVFD KAEN1B 11 Nyeri, kulit terkelupas, infeksi, Obat diganti/dosis 20 Juli Pasien
+ KCl 10 mEq tts/menit yang dapat ditandai dengan luka diturunkan/diberi 2023 tidak
500 ml lama sembuh, dan bernanah, obat yang dapat mengalami
kelebihan cairan, Hiperkalsemia. mengatasi ESO efek
samping
2 Ceftriaxone 1 gram Reaksi hematologi, gangguan Obat diganti/dosis 22 Juli Pasien
saluran cerna, reaksi kulit. diturunkan/diberi 2023 tidak
obat yang dapat mengalami
mengatasi ESO efek
samping
3 Zinc 20 mg Penggunaan dosis tinggi pada Obat diganti/dosis 20 Juli Pasien
jangka lama dapat menyebabkan diturunkan/diberi 2023 tidak
penurunan absorbsi tembaga. obat yang dapat mengalami
Mual, muntah, rasa pahit pada mengatasi ESO efek
lidah. samping
4 KSR 275 mg Perut kembung, nyeri perut, mual, Obat diganti/dosis 20 Juli Pasien
muntah, dan diare diturunkan/diberi 2023 tidak
obat yang dapat mengalami
mengatasi ESO efek

51
samping
5 Domperidon 2,5 mg Kram perut ringan. Peningkatan Obat diganti/dosis 20 Juli Pasien
kadar prolaktin serum, diturunkan/diberi 2023 tidak
menyebabkan galaktore dan obat yang dapat mengalami
ginekomastia; mulut kering, sakit mengatasi ESO efek
kepala, diare, ruam kulit, rasa samping
haus, gangguan cemas (ansietas)
dan gatal
6 Paracetamol syr 120 mg/5 Reaksi alergi, ruam kulit berupa Obat diganti/dosis 20 Juli Pasien
mL aritema atau urtikaria, kelainan diturunkan/diberi 2023 tidak
darah, hipotensi, kerusakan hati obat yang dapat mengalami
mengatasi ESO efek
samping

52
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien anak berinisial K berumur 2 tahun 9 bulan masuk Rumah Sakit

Otak Dr. Drs. M. Hatta Bukittinggi. Pasien datang ke IGD pada tanggal 20 Juli

2023 pada pukul 14.55 WIB, dengan keluhan utama yaitu pasien muntah pada

hari minggu malam, dan keesokan harinya anak mengalami mencret. Berdasarkan

wawancara dengan orang tua pasien (Ibu) An. K mengalami diare dan muntah

sejak tanggal 16 Juli 2023, dan sempat berobat ke klinik terdekat namun tidak ada

perbaikan. Pada tanggal 20 Juli 2023 An. K dibawa ke IGD dengan tampak visual

fisik lesu, dan lemas. Pasien An. K kurang makan dan minum karena setiap

makan dimuntahkan kembali. Pasien juga mengalami penurunan berat badan dari

12 kg menjadi 10 kg.

Kondisi umum pasien anak sedang, dengan berat badan 10 kg. Diagnose

saat di IGD yaitu Diarrhea and gastroenteritis. Terapi yang didapatkan pasien

berupa IVFD KAEN1B + KCl 10 mEq kolf 11 gtt/menit makro, lalu zinc 1 x 20

mg, paracetamol syrup 4 x 1 cth, domperidone 3 x 2,5 mg, KSR 3 x 275 mg.

Setelah dapat penanganan dari IGD, pasien dirujuk untuk menuju ruang rawat

inap. Pada saat pasien sudah berada dirawat inap dilakukan assasment selanjutnya

dan guna untuk perbaikan dari keadaan pasien anak yang belum membaik. Pada

assasment hari pertama tanggal 21 Juli 2023 masih sama dengan keluhan pada

saat di IGD tidak ada keluhan yang lain, tetapi akan dilakukan cek Tubex untuk

mengetahui apakah pasien terinfeksi bakteri S. thypii sebagai penyebab demam

tifoid didapatkan hasil pada pemeriksaan tubex yaitu positif skala 6 dan diberikan
53
terapi Ceftriaxon injeksi 1 x 1 gram. Pemberian injeksi ceftriaxone 1 x 1 gram

diberikan kepada pasien anak yang mana ceftriaxone ini merupakan antibiotic

yang berfungsi untuk mengobati berbagai macam infeksi bakteri, termasuk

demam tifoid akibat bakteri Salmonela thypii.Pemilihan ceftriaxone pada pasien

anak adalah antibiotic yang tepat dibandingkan penggunaan kloramfenikol karena

efek samping kloramfenikol pada anak yaitu dapat menyebabkan anemia dan

baby grey syndrome.

Terapi untuk mengatasi diare pada pasien An. K diberikan zinc 20 mg.

Zinc dapat menurunkan frekuensi buang air besar dan volume tinja sehingga dapat

menurunkan resiko terjadinya dehidrasi pada anak. Pemberian zinc diberikan

selama 10 – 14 hari meskipun anak tidak mengalami diare. Dengan regimen dosis

untuk umur anak dibawah 6 bulan yaitu 10 mg/hari. Sedangkan untuk umur anak

diatas 6 bulan yaitu 20 mg/hari.

Terapi lain yang didapatkan pasien anak di IGD sebelumnya adalah IVFD

KAEN1B + KCl 10 mEq 11 gtt/menit 500 mL secara intravena. Ini diberikan

untuk membantu mengganti cairan dan elektrolit pada kondisi dehidrasi pada

pasien yang kekurangan akan kebutuhan karbohidrat oral, dan dapat dikatakan

sebagai terapi awal terhadap kehilangan cairan elektrolit pada pasien anak.

Pada tanggal 22 Juli 2023, pasien sudah tidak mengalami mencret dan

muntah, tetapi untuk nafsu makan masih kurang. Dan direncanakan untuk cek

elektrolit karena kadar kalium pada pasien itu 3,3 mmol/L dibawah rentang

normal yang menyebabkan pasien mengalami hipokalemia ringan dan diberikan

terapi yaitu KSR 3 x 275 mg. Hasil pengecekan elektrolit pada tanggal 23 Juli

54
2023 kadar kalium sudah masuk kedalam rentang normal yaitu 4.1 mmol/L

sehingga pemberian terapi KSR diberhentikan. Untuk keluhan mual dan muntah

sudah tidak lagi sehingga pemberian terapi untuk mengatasi mual dan muntah

yaitu domperidone diberhentikan.

Pada tanggal 24 Juli 2023 pasien An. K sudah tidak lagi mencret, mual

dan muntah juga sudah tidak lagi, konsistensi BAB juga sudah normal. Tetapi

nafsu makan An. K masih kurang, untuk terapi tetap lanjut dan ditambahakan

dengan asupan pisang. Pada tanggal 25 Juli 2023 nafsu makan sudah meningkat,

berat badan An. K dari awal masuk RS 10 kg menjadi 10,9 kg sehingga harus

tetap ditingkatkan lagi untuk makannya. Mual dan muntah sudah tidak lagi, BAB

sudah normal dan pasien sudah diperbolehkan pulang.

Dari semua pemberian obat yang diberikan tidak ditemukan DRP yang

mana obat-obatan yang diberikan sesuai indikasi dan terapi yang dibutuhkan.

Hubungan antara terapi obat dengan masalah medis sudah tepat, kesesuaian terapi

sudah tepat, regimen obat tidak ada masalah, tidak ada duplikasi terapi, tidak ada

efek samping obat pada pasien anak, tidak ada kegagalan untuk menerima terapi

dan pasien.

55
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

a. Pengobatan pasien anak dengan gastroenteritis akut, demma tifoid, dan

hipokalemia ringan sudah sesuai dengan indikasi.

b. Tidak ditemukan tanda/gejala yang berhubungan dengan ROTD

c. Tidak terdapat masalah terkait obat yang digunakan untuk terapi pada

pasien anak.

5.2 SARAN
Disarankan kepada tenaga kefarmasian khususnya Apoteker untuk dapat

melakukan konseling dan terus memantau ketepatan pengobatan pasien.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Saputra, Wayan A. dkk. 2021. “Karakteristik Penyakit Gatsroenteritis Akut

Pada Pasien di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2018”. Jurnal Medika

Udayana, Vol.10 No.4.

2. Sabagyo. Bambang, Santoso.N.B. 2009. Buku Ajar Gastroenterologi-

Hepatologi. Diare Akut. Ukk Gastroenterologi-Hepatologi. IDAI

3. Levani, Yelvi, And Aldo Dwi Prastya. 2020. “Demam Tifoid : Manifestasi

Klinis, Pilihan Terapi Dan Pandangan Dalam Islam.” Al-Iqra Medical

Journal : Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran 3(1): 10–16.

4. Nathania, M. CDK-273/Vol. 46 no.2 th. 2019. Hipokalemia-Diagnosis dan

Tatalaksana

5. Wells, Barbara G, Dipiro, Joseph T, Scgwinghammer, Terry L, Dipiro, Cecily

V. Diarrhea. In: J.T. DiPiro (Eds.). Pharmacotherapy Handbook, Ed, 9th, Mc

Graw Hil Medicall., pp. 200

6. Pudjiadi, Antonius. H. dkk. 2009 Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter

Anak Indonesia. Diare Akut. IDAI

7. Soedarmo, S. dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Demam Tifoid. IDAI.

8. Soedarmo, Sumarmo S Poorwo Et Al. 2008. “Buku Ajar Infeksi & Pediatri

Tropis.” In Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 338-340.

57
9. Pudjiadi, Antonius. H. dkk. 2009. Demam Tifoid: Pedoman Pelayanan Medis

Ikatan Dokter Anak Indonesia. IDAI

10. Soedarmo, Sumarmo S Poorwo Et Al. 2008. “Buku Ajar Infeksi & Pediatri

Tropis.” In Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 344.

11. Nathania, M. CDK-273/Vol. 46 no.2 th. 2019. Hipokalemia-Diagnosis dan

Tatalaksana

12. Castro D, Sharma S. Hipokalemia. [Diperbarui 2023 Mar 18]. Di dalam:

StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2023 Jan.

Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482465/

13. Nathania, M. CDK-273/Vol. 46 no.2 th. 2019. Hipokalemia-Diagnosis dan

Tatalaksana, 106-108

14. Pudjiadi, Antonius. H. dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter

Anak Indonesia. Ed II Gangguan Elektrolit. IDAI.

58

You might also like