You are on page 1of 8

Bacalah cerpen berikut dengan cermat!

Meja Makan yang Menggigil


Mashdar Zainal (Media Indonesia, 7 September 2014)

LUBANG kunci di pintu kamarku seperti kamera yang merekam segalanya. Semenjak Ayah
mengunciku di dalam kamar, mataku selalu menempel di lubang kunci itu. Menelisik ruang
makan di balik pintu.

Dari lubang kunci itu, aku bisa mengintai sebuah meja makan berbentuk persegi panjang
dengan hiasan taplak renda-renda yang begitu memesona. Meja makan yang selalu tampak
menggigil. Meja makan itu memiliki empat kursi di masing-masing sisinya. Dan di salah satu
kursi itulah, Ibu sering terduduk dengan tangan gemetar, memandangi aneka menu yang haram disentuh, tetapi
telah terhidang di tengah meja.

Acap kali aku dan Ibu menonton bagaimana sup-sup dengan aroma rempah itu mengepulkan asap yang
melambai-lambai menggelitik perut. Nasi dalam mangkuk besar pun mendadak berkeringat dan kemudian
menjadi dingin.

Aneka puding dengan saus yang sangat legit sudah mulai didatangi semut-semut. Daging panggang yang
kecokelatan pun mulai kehilangan aromanya. Dan kami hanya diam, menonton bagaimana makanan-makanan
itu kelelahan merayu kami untuk menyantapnya.

“Mengapa kita tidak segera memulai makan malamnya?” aku benar-benar tak tahan menyaksikan aneka
hidangan lezat itu mendingin sia-sia.

“Kita harus menunggu ayahmu dulu,” jawab Ibu.

“Tapi aku sudah tidak sabar, Bu, aku sudah sangat lapar.”

“Tunggulah sebentar lagi, ayahmu sedang dalam perjalanan pulang.”

“Mengapa kita harus selalu menunggu Ayah setiap kali mau makan malam?”

“Bukankah Ibu pernah bilang, ayahmu adalah kepala keluarga, jadi ia yang harus membuka makan malam kita.
Tanpa ayahmu, makan malam ini bukanlah makan malam keluarga. Ibu harap kau paham.”

“Tapi aku sudah lapar sekali, Bu.”

“Ibu juga berharap kau diam!” suara Ibu sedikit meninggi.

Aku bungkam, menyimak bunyi keroncongan dari dalam perutku sendiri. Di sisi-sisi meja, piring, sendok, dan
garpu menjadi hening. Ibu menatapku dengan tatapan meminta maaf.

“Bagaimana kalau kau bermain boneka dulu sambil menunggu ayahmu datang?” ujar Ibu kemudian.

Rasa lapar membuat tubuhku sedikit lemas, hingga aku tak kuasa membalas kata-kata Ibu. Aku memilih
tertunduk, menyandarkan kening di bibir meja. Sedikit lama. Seperti tertidur. Kami sama-sama diam dan suara
detak jarum jam tiba-tiba merajalela. Setelah bosan menundukkan kepala ke bibir meja dan pura-pura tidur, aku
kembali menatap sup jamur yang tak lagi mengepulkan asap. Juga mangkuk nasi yang telah berkeringat. Ayah
belum juga datang.

“Mengapa Ayah lama sekali,” aku tak tahan untuk tidak merengek lagi.

“Sebentar lagi ayahmu pasti datang.”

“Mengapa Ayah tidak bekerja di siang hari saja supaya kita bisa segera memulai makan malam.”

“Pekerjaan ayahmu memang harus dilakukan di malam hari, jadi ia harus bekerja di malam hari.”
“Aku benar-benar sudah lapar, perutku sudah berkeriuk-keriuk.”

Ibu terdiam sejenak, menatapku dengan tatapan iba, “Apa kau benar-benar sudah sangat lapar?”

Aku mengangguk ringan. Dan, anggukan itu membuat Ibu beranjak dari kursinya, meraih piringku dan
mengisinya dengan beberapa sendok nasi. Ibu menuangkan sup jamur dan mengiris beberapa potong daging
panggang.

“Apa kau mau bawang goreng?”

Aku menggeleng.

“Makanlah dulu, maaf Ibu sudah membentakmu tadi,” Ibu menuangkan air putih ke dalam gelas, dan aku mulai
menyantap sepiring nasi itu dengan lahap. Ibu tersenyum menatapku, tetapi matanya tidak, dan tangannya masih
saja gemetar.

“Mengapa Ibu tidak ikut makan?”

“Ibu akan menunggu ayahmu.”

“Apa Ibu belum lapar?”

“Ibu belum lapar.”

Nasi di dalam piringku tinggal beberapa suapan lagi ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan.
Ketukan yang bertubi-tubi.

“Mungkin itu ayahmu,” ibu berlari menyongsong ketukan di pintu depan.

Ayah berjalan begitu dingin menuju ruang makan sambil melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke Ibu. Di
depan meja makan Ayah terdiam menatapku. Tubuhnya seperti bongkahan batu yang tiba-tiba jatuh dari atap
ruang makan, sedangkan matanya seperti sepasang senter yang membuat mataku sakit.

Secepat yang bisa kulihat, Ayah menggebrak meja kuat-kuat, membuat sup jamur dalam mangkuk berguncang
dan sebagian kuahnya ruah ke atas meja. Aku ketakutan dan berhenti mengunyah.

“Apa yang sudah kukatakan padamu tentang makan malam keluarga?”

“Tak ada yang boleh menyentuh hidangan makan malam sebelum kau datang,” jawab Ibu dingin.

“Lantas mengapa kau tidak membiarkan dia menungguku?”

“Dia sudah kelaparan menunggumu, dan kau tak pulang-pulang, aku tak tega,” Ibu lirih membela.

“Sejak kapan kau berani membantahku,” Ayah menyeret taplak meja berenda itu dengan sangat kasar hingga
semua makanan—termasuk makanan dalam piringku yang belum habis—terlempar berantakan. Piring-piring
dan mangkuk berserak ke lantai dan patah-rekah menjadi beling. Aku mulai tergugu karena takut. Ibu ternganga
menatap semuanya. Dan tubuh gemetarnya semakin nyata.

Ayah berjalan mendekatiku, dan mulai menyeretku mendekati nasi dan sup yang telah ruah bercampur jadi satu,
“Sekarang kau makan itu, bukankah kau sudah sangat kelaparan?”

“Kau sudah gila!” Ibu berusaha merebutku dari tangan ayah, tetapi ibu malah mendapatkan tamparan di
pelipisnya. Ibu tak menyerah, ia terus berusaha merengkuhku dari tangan Ayah, hingga Ayah mendorong Ibu
kuat-kuat sampai Ibu terjengkang ke lantai. Ibu berguncang-guncang karena isakan, Ayah silih menyeretku
menuju kamar dan mengunciku dari luar. Di ruang makan

Ayah kembali meneriaki Ibu, “Kalau kau sampai berani macam-macam, membukakan pintu atau memberinya
makan tanpa sepengetahuanku, ia akan mendapatkan hukuman yang lebih dari ini.”

Sejak hari itulah aku kerap menempelkan mata di lubang kunci. Aku akan berlari menjauhi lubang kunci bila
ayah datang, memasukkan batang kunci, membuka pintu, dan melemparkan sepiring nasi ke lantai, dan
kemudian menguncinya kembali. Dari lubang kunci itu, aku masih sering melihat ayah meneriaki Ibu,
menggebrak meja, atau menumpahkan makanan ke lantai. Ibu tak melawan, hanya gemetar. Setelah itu Ibu baru
menuntaskan makan malamnya dengan tubuh berguncang, dengan pandangan lurus terarah ke lubang kunci.

Setiap kali tiba waktu makan, Ibu tak henti-henti membujuk Ayah supaya membukakan pintu kamarku, dan
membiarkanku turut makan bersama. Tapi Ibu tak mendapatkan apa pun kecuali bentakan. Hingga suatu malam,
sebelum Ayah pulang, Ibu menyiapkan hidangan makan malam lebih cepat daripada yang seharusnya. Wajah
Ibu tampak sedikit berseri. Dan dari balik lubang kunci itu, Ibu memanggilku dan berbisik padaku.

“Tenanglah, Ibu akan segera mengeluarkanmu dari situ.”

Detak jarum jam di ruang makan terdengar sampai di kamarku. Dan, mataku masih terus menempel di lubang
kunci itu. Dari balik lubang kunci itu, aku menyaksikan Ibu tersenyum aneh sambil melarutkan serbuk ke dalam
gelas minum Ayah. Beberapa menit berikutnya, Ibu sudah berlari ke ruang depan.

Ayah datang. Suara ketukan sepatu Ayah semakin nyaring. Di meja makan itu Ayah melepaskan jaketnya dan
menggantungnya di punggung kursi. Sementara Ibu mulai mengambilkan nasi dan sayur ke piring ayah. Malam
itu, wajah Ibu memang lebih berseri. Sesekali ia melirik lubang kunci tempat mataku terkunci.

Ayah begitu lahap menyantap makan malamnya. Ibu tak ikut makan. Hanya menunggu sampai Ayah
menghabiskan makan malamnya dan kemudian meneguk air putih dalam gelas minumnya, sampai habis.

“Airnya sedikit aneh, agak sepat,” komentar Ayah. Ibu tidak menyahut. Ibu silih mengambil piring dan memulai
makan malamnya sendiri.

Dari lubang kunci itu, aku melihat Ibu memulai suapan pertama ke mulutnya. Ibu mengunyah makanannya
dengan sangat tenang. Sementara Ayah mulai tertunduk-tunduk dan terbatuk-batuk sambil mencengkeram
lehernya sendiri. Ibu masih terus melanjutkan makan malamnya dengan tenang. Sesekali ia tersenyum menatap
Ayah yang tiba-tiba menyungkurkan kepala ke bibir meja. Sekilas, suasana menjadi hening. Dan meja makan itu
tampak menggigil karena keheningan.

Ketika Ayah sudah tertidur pulas dan tidak berkutik lagi, Ibu beranjak merogoh saku celana Ayah dan
mendapati sebuah kunci. Ibu melangkah anggun menuju kamarku. Aku menjauhkan mataku dari lubang kunci
yang sudah terisi oleh batang kunci yang kemudian berputar. Daun pintu terempas ringan. Menyibak kamarku
yang pengap. Aku melihat tubuh Ibu tak lagi gemetar.

“Ibu mau melanjutkan makan malam, sebaiknya kau ikut,” Ibu meraih tanganku dan menuntunku ke meja
makan, dengan senyum yang begitu lumat.

“Apa Ayah tak akan marah?”

“Ayahmu tak akan marah.”

Malam itu kami menuntaskan makan malam yang paling damai. Tanpa teriakan Ayah. Tanpa gebrakan di meja
makan.

Dan, tanpa makanan yang tercecer sia-sia. Sementara Ayah masih saja menundukkan kepala di bibir meja.
Mungkin Ayah hanya pura-pura tidur. Persis seperti yang kulakukan ketika aku menahan lapar. (*)

Bacalah kutipan berikut untuk menjawab pertanyaan nomor 1-3!


LUBANG kunci di pintu kamarku seperti kamera yang merekam segalanya. Semenjak Ayah mengunciku di
dalam kamar, mataku selalu menempel di lubang kunci itu. Menelisik ruang makan di balik pintu.

Dari lubang kunci itu, aku bisa mengintai sebuah meja makan berbentuk persegi panjang dengan hiasan taplak
renda-renda yang begitu memesona. Meja makan yang selalu tampak menggigil. Meja makan itu memiliki
empat kursi di masing-masing sisinya. Dan di salah satu kursi itulah, Ibu sering terduduk dengan tangan
gemetar, memandangi aneka menu yang haram disentuh, tetapi telah terhidang di tengah meja.

Acap kali aku dan Ibu menonton bagaimana sup-sup dengan aroma rempah itu mengepulkan asap yang
melambai-lambai menggelitik perut. Nasi dalam mangkuk besar pun mendadak berkeringat dan kemudian
menjadi dingin.
Aneka puding dengan saus yang sangat legit sudah mulai didatangi semut-semut. Daging panggang yang
kecokelatan pun mulai kehilangan aromanya. Dan kami hanya diam, menonton bagaimana makanan-makanan
itu kelelahan merayu kami untuk menyantapnya.

“Mengapa kita tidak segera memulai makan malamnya?” aku benar-benar tak tahan menyaksikan aneka
hidangan lezat itu mendingin sia-sia.

“Kita harus menunggu ayahmu dulu,” jawab Ibu.

“Tapi aku sudah tidak sabar, Bu, aku sudah sangat lapar.”

“Tunggulah sebentar lagi, ayahmu sedang dalam perjalanan pulang.”

“Mengapa kita harus selalu menunggu Ayah setiap kali mau makan malam?”

“Bukankah Ibu pernah bilang, ayahmu adalah kepala keluarga, jadi ia yang harus membuka makan malam kita.
Tanpa ayahmu, makan malam ini bukanlah makan malam keluarga. Ibu harap kau paham.”

Pertanyaan
1. Mengapa tokoh aku dikunci di dalam kamar? Siapa yang menguncinya? Apa
kesalahannya?

Seorang anak yang tidak bersalah yang dikunci oleh ayahnya di dalam kamar, anak
itu dikuncikan oleh ayahnya hanya karena tidak menunggu ayah terlalu lama hingga
makanan di meja yang tadinya panas mulai mendingin secara perlahan lahan dengan
waktu yang sangat lama.

2. Dalam cerpen yang berjudul Meja Makan yang Menggigil, Ayah memiliki hak
istimewa di meja makan. Siapa pun tidak boleh menyentuh makanan sebelum ayah.
Apakah dalam kehidupan sehar-hari, kalian pernah menemukan keluarga yang
memiliki aturan seperti itu? Ceritakan jika kalian pernah menemukannya!

Tidak pernah

3. Bagaimana jika aturan itu terjadi pada keluarga kalian. Tuliskan perasaan kalian!
Jika saja peraturan itu terjadi di rumah saya, pastinya akan sangat bersedih dan yang
pastinya merasa sangat tidak bebas, saya akan berusaha agar itu tidak terjadi di
rumah saya. Saya akan membuat taktik agar bisa makan terlebih dahulu tanpa
meninggalkan jejak sedikitpun
Bacalah kutipan berikut untuk menjawab pertanyaan nomor 4-6!
Nasi di dalam piringku tinggal beberapa suapan lagi ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan.
Ketukan yang bertubi-tubi.

“Mungkin itu ayahmu,” ibu berlari menyongsong ketukan di pintu depan.

Ayah berjalan begitu dingin menuju ruang makan sambil melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke Ibu. Di
depan meja makan Ayah terdiam menatapku. Tubuhnya seperti bongkahan batu yang tiba-tiba jatuh dari atap
ruang makan, sedangkan matanya seperti sepasang senter yang membuat mataku sakit.

Secepat yang bisa kulihat, Ayah menggebrak meja kuat-kuat, membuat sup jamur dalam mangkuk berguncang
dan sebagian kuahnya ruah ke atas meja. Aku ketakutan dan berhenti mengunyah.

“Apa yang sudah kukatakan padamu tentang makan malam keluarga?”

“Tak ada yang boleh menyentuh hidangan makan malam sebelum kau datang,” jawab Ibu dingin.

“Lantas mengapa kau tidak membiarkan dia menungguku?”

“Dia sudah kelaparan menunggumu, dan kau tak pulang-pulang, aku tak tega,” Ibu lirih membela.

“Sejak kapan kau berani membantahku,” Ayah menyeret taplak meja berenda itu dengan sangat kasar hingga
semua makanan—termasuk makanan dalam piringku yang belum habis—terlempar berantakan. Piring-piring
dan mangkuk berserak ke lantai dan patah-rekah menjadi beling. Aku mulai tergugu karena takut. Ibu ternganga
menatap semuanya. Dan tubuh gemetarnya semakin nyata.

Ayah berjalan mendekatiku, dan mulai menyeretku mendekati nasi dan sup yang telah ruah bercampur jadi satu,
“Sekarang kau makan itu, bukankah kau sudah sangat kelaparan?”

Pertanyaan
4. Bentuk kekerasan apa saja (kekerasan fisik, kekerasan verbal (kata-kata) yang
dilakukan ayah pada anak dan isterinya pada kutipan di atas? Deskripkan secara rinci!

Ayahnya melakukan banyak kekarasan fisik mualai dari mendorong ibu, menarik
taplak meja makan hingga makanan dia atas meja melebur di lantai bersamaan
dengan beling, menggebrak meja hingga si anak ketakutan dan masih banyaak
kekerasan yang dilakukan oleh sang ayah terhadap keluarga kecilnya itu, kekerasan
verbal pun kerap terjadi. Ayahnya benar-benar seorang ayah yang keras bagaikan
pembunuh yang sedang melakukan aksi kejahatannya, aku harap anak dan istrinya
tidak gila akan perbuatannya.
5. Dalam kehidupan sehari-hari, pernahkah kalian menemukan perilaku ayah yang kasar
seperti dalam cerpen di atas? Ceritakan jika pernah menemukannya!

Tidak pernah

6. Bagaimana perasaan kalian jika kalian menjadi anak yang mengalami kekerasan dari
ayah yang seharusnya melindungi dan menyayangi kalian? Ekspresikan perasaan
kalian!
Jika aku menjadi anak tersebut mungkin pada awalnya aku akan menjadi frustasi,
depresi dan sedikit mengalami gangguan jiwa tapi pada akhirnya aku menjadi orang
yang introvert dan memiliki pengalaman menyedihkan yang akan menghantui ku
secara terus menerus. Kejadian itu tidak akan pernah menghilang dari kepalaku
hingga membbuat hari-hariku menjadi kelam dan sangat menyedihkan

Bacalah kutipan berikut untuk menjawab pertanyaan nomor 7-10!


Detak jarum jam di ruang makan terdengar sampai di kamarku. Dan, mataku masih terus menempel di lubang
kunci itu. Dari balik lubang kunci itu, aku menyaksikan Ibu tersenyum aneh sambil melarutkan serbuk ke dalam
gelas minum Ayah. Beberapa menit berikutnya, Ibu sudah berlari ke ruang depan.

Ayah datang. Suara ketukan sepatu Ayah semakin nyaring. Di meja makan itu Ayah melepaskan jaketnya dan
menggantungnya di punggung kursi. Sementara Ibu mulai mengambilkan nasi dan sayur ke piring ayah. Malam
itu, wajah Ibu memang lebih berseri. Sesekali ia melirik lubang kunci tempat mataku terkunci.

Ayah begitu lahap menyantap makan malamnya. Ibu tak ikut makan. Hanya menunggu sampai Ayah
menghabiskan makan malamnya dan kemudian meneguk air putih dalam gelas minumnya, sampai habis.

“Airnya sedikit aneh, agak sepat,” komentar Ayah. Ibu tidak menyahut. Ibu silih mengambil piring dan memulai
makan malamnya sendiri.

Dari lubang kunci itu, aku melihat Ibu memulai suapan pertama ke mulutnya. Ibu mengunyah makanannya
dengan sangat tenang. Sementara Ayah mulai tertunduk-tunduk dan terbatuk-batuk sambil mencengkeram
lehernya sendiri. Ibu masih terus melanjutkan makan malamnya dengan tenang. Sesekali ia tersenyum menatap
Ayah yang tiba-tiba menyungkurkan kepala ke bibir meja. Sekilas, suasana menjadi hening. Dan meja makan itu
tampak menggigil karena keheningan.

Ketika Ayah sudah tertidur pulas dan tidak berkutik lagi, Ibu beranjak merogoh saku celana Ayah dan
mendapati sebuah kunci. Ibu melangkah anggun menuju kamarku. Aku menjauhkan mataku dari lubang kunci
yang sudah terisi oleh batang kunci yang kemudian berputar. Daun pintu terempas ringan. Menyibak kamarku
yang pengap. Aku melihat tubuh Ibu tak lagi gemetar.

“Ibu mau melanjutkan makan malam, sebaiknya kau ikut,” Ibu meraih tanganku dan menuntunku ke meja
makan, dengan senyum yang begitu lumat.

“Apa Ayah tak akan marah?”

“Ayahmu tak akan marah.”


Malam itu kami menuntaskan makan malam yang paling damai. Tanpa teriakan Ayah. Tanpa gebrakan di meja
makan.

Pertanyaan
7. Serbuk apakah kira-kira yang dimasukkan ibu ke gelas ayah? Berikan alasan untuk
mendukung jawaban kalian!
Istrinya memasukkan racun pembunuh ke dalam minuman si ayah, mungkin ada
beberapa bukti yang membuatku berpikir bahwa yang ibu masukkan itu adalah racun
pembunuh, ada kalimat yang menyatakan ketika ayah sudah tertidur pulas dan tidak
berkutik lagi

8. Apa tujuan ibu memasukkan serbuk ke gelas ayah?


Ibu memasukkan serbuk itu karena sudah bebal dengan perbuatan ayah yang selama
ini menindasnya, mungkin ibu sudah merencanakan semua ini, bahkan perasaan ibu
lega setelah melakukannya

9. Setujukah kalian dengan tindakan ibu? Berikan alasan!


Aku tidak setuju dengan perbuatan mereka di satu sisi ayah memang salah tapi ibu
juga melakukan tindakan kriminal yang seharusnya tidak ia lakukan walaupun ayah
melakukan tindakan kekerasan tapi bukan tidak seharusnya ibu membunuh bahkan
ibu telah melakukan penyalahgunaan bahan kimia

10. Tradisi yang menganggap status perempuan lebih rendah dan status laki-laki (ayah)
lebih tinggi, yang harus diistimewakan, dinomorsatukan, dilayani, apakah masih patut
dilestarikan? Berikan pendapat kalian disertai alasannya!
Tindakan diskriminasi wanita seharusnya wanita tidak diperlakukan seperti itu, ada
kalaanya perempuan punya hak untuk melakukan suatu hal tanpa harus direndahkan
dan diremehkan

You might also like