You are on page 1of 20

Nama : Faradila Nandya An Nazwa

Kelas : A2 PAI

Matkul : Ulumul Quran

Bab III

AMBIGUITAS DAN DISTINGSI

Dialektika ambiguitas (ghumudh) dan distingsi (wudhah) merupakan karakteristik teks yang
paling penting dalam kajian-kajian kritis kontemporer sebab yang membedakan antara teks yang
berwatak "informatif" murni dengan teks sastra terletak pada kemampuan teks sastra menciptakan
sistem semantiknya yang unik di dalam sistem semantik umum dalam kebudayaan di mana ia terkait
dengannya. Teks-teks "informatif" murni mengandalkan aspek "kejelasan" sebagai ukuran tinggi dan
rendahnya teks. Ukuran ini dalam teks-teks sastra berbeda-beda sesuai dengan perbedaan watak teks
dan genre sastra yang terkait dengannya. Selain itu, salah satu karakteristik teks-teks sastra yang
terpenting adalah bahwa teks dapat berbeda dengan dirinya sendiri, tidak hanya berbeda dengan teks-
teks lainnya:

"Sesungguhnya, perbedaan teks dari (teks-teks lainnya) bukan unsur yang menyebabkan dirinya
istimewa atau yang menentukan identitasnya yang unik, tetapi cara teks dalam membedakan diri dari
dirinya (inilah yang membuatnya istimewa). Perbedaan ini tidak dapat dicapai kecuali melalui tindak
pembacaan. Cara inilah yang menjadikan

semantik teks menjadi tak terbatas (inifinite)...melalui pengulangan (répétition). Proses pengulangan
bukan berarti mengulang proses kembali sesuatu yang sama, tetapi sesuatu yang berbeda. Dengan kata
lain, perbedaan (difference) bukan unsur yang membedakan sebuah teks dari teks lainnya. Perbedaan
itu bukan perbedaan antara (dua eksistensi yang otonom), tetapi perbedaan dalam (teks itu sendiri)."

Dalam konteks Al-Qur'an, kami telah membicarakan, dalam pasal j bagaimana teks
membedakan diri dari teks-teks lainnya, baik pada tataran teks ataupun tataran tindak pembacaan
menurut ulama. Bagaimana teks membedakan diri dari dirnya sendiri melalui sejumlah taraf, sebagian
telah kami bicarakan pada bab-bab sebelumnya. Hal itu dapat dilihat pada makki dan madani, baik pada
tataran isi/kandungan ataupun pada tataran bahasa dan formulasi. Dapat pula dilihat melalui "nasikh
dan mansükh" dalam membedakan hukum. Jika masalah-masalah "makki dan madani" dan "nasikh dan
mansukh" menunjukkan teks membedakan dirinya dari dirinya sendiri karena pengaruh keterkaitan dan
dialektikanya dengan realitas maka teks mempunyai mekanisme lain dalam membedakan diri dari
dirinya sendiri Mekanisme ini tidak terkait langsung dengan dialektikanya bersama realitas, tetapi lebih
banyak terkait denga dialektikanya realitas dengannya (teks) melalui tindak pembacaan.

Perbedaan antara dialektika teks dengan realitas, dan dialektika realitas dengan teks hanya
perbedaan prioritas saja. Pada fase pembentukan teks dan kebudayaan, kebudayaan menjadi agent
sementara teks affect, meskipun aktivitas teks di sini melalui mekanisme-mekanisme bahasa. Pada fase
pembentukan kebudayaan oleh teks, teks berubah menjadi agent, sementara kebudayaan af- fect. Di
sini, kebudayaan tidak membentuk teks, tetapi membaca ulang teks Dengan demikian, kebudayaan
merekonstruksi makna teks, bukan merekonstruksi data-data bahasa teks. Dalam konteks dialektis
antara "teks" dengan "kebudayaan", mekanisme "ambiguitas dan distingsi" sebagai salah satu karakter
teks dapat diungkapkan. Teks sendiri menunjukkan karakteristik tersebut pada ayat yang mengatakan
bahwa:

* Dialah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur'an) kepadamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang
muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al- Qur'an, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang yang
dalam hatinya pada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari ta'wil-nya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wil-nya selain
Allah. Dan, orang-orang yang mendalami ilmunya berkata: "Kami beriman pada ayat-ayat yang
mutasyäbihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya)
melainkan orang- orang yang berakal"

"Ayat muhkam" dipahami sebagai yang jelas dan nyata, tidak memerlukan wil, sementara "ayat
mutasyabih" dipahami sebagai yang "ambigu", membutuhkan ta'wil. Aturan yang disepkati oleh para
ulama adalah yang matasyahih harus dikembalikan kepada yang muhkam. Maksudnya, tafsir atas "yang
ambigu" didasarkan pada "yang jelas". Aturan ini berarti bahwa ulama-meskipun berbeda-berbeda
ideologi mengenai persoalan ini dan persoalan-persoalan lainnya-sepakat bahwa yang menjadi kriteria
adalah eks itu sendiri. Yang jelas muhkam menjadi "panduan" untuk menafsirkan dan memahami yang
ambigu mutasyabih. Bagian-bagian teks saling menafsirkan satu sama lainnya. Seorang mufassir tidak
dituntut untuk menggunakan kriteria- kriteria eksternal di dalam mengurai dan mencari kejelasan
makna teks yang samar. Dalam bahasa kritik sastra, dapat dikatakan bahwa teks mengandung bagian-
bagian yang dapat dianggap sebagai "kunci-kunci" semantik yang memungkinkan pembaca dapat
memasuki dunia teks, dan menangkap hal-hal yang rahasia dan samar, bahwa teks memuat yang ambigu
dan yang distingsi, merupakan mekanisme teks yang penting untuk mentransfer tindak pembacaan
menjadi tindak positif yang dapat memberikan sumbangan dalam produksi makna teks. Dengan
demikian, memproduksi makna merupakan tindakan bersama antara teks dan pembaca, dan kerenanya
tindakan tersebut berubah- ubah menurut jumlah pembaca pada satu sisi, dan menurut "situasi"
pembaca pada sisi lain.

Dalam buku lain kami telah membicarakan perselisihan ulama mengenai "al-Muhkam dan al-
Mutasyabih" dari sudut pandang ta'wil." Di sini kami hanya memberikan fokus perhatian pada
bagaimana ulama kuno memahami mekanisme teks dalam memproduksi makna melalui dialektika "al-
Ghumüdh dan al-Wudhuh". Oleh karena itu berbagai macam aspek yang dijadikan sarana oleh mereka
untuk memahami mekanisme tersebut harus diulas, yaitu aspek- aspek yang sejumlah ilmu Al-Qur'an
selain ilmu al-Muhkam dan al-Mutasyabih.

A. Yang Tersurat dan Tersirat

Dalam membicarakan hubungan antara sisi tersurat teks dengan sisi tersiratnya, yang muncul
dari sisi tersurat, ulama kuno nyaris mengkristalkan konsep teks yang diparalelkan dengan yang distings;
mash menjadi struktur bahasa di mana antara yang tersurat dengan tersirat benar-benar sesuai dan
sama. Akan tetapi, mereka menyadari bahwa teks-teks semacam ini sangat jarang lantaran sifat
simbolisme bahasa yang didasarkan pada dua potensinya, yaitu potensi abstraksi dan generalisasi. Atas
dasar ini, mereka membagi struktur bahasa menjadi empat pola sesuai dengan mekanisme hubungan
antara yang tersurat dan yang tersirat. Pola pertama adalah nash, yaitu penanda yang menunjuk pada
makna tanpa mengandung makna yang lain. Kedua, zhöhir, yaitu penanda yang menunjukkan dua
makna, makna zhahir adalah makna yang diunggulkan. Ketiga, ta' wil, yaitu penanda yang menunjukkan
dua makna ataupun di mana makna yang diunggulkan adalah makna yang tidak zhahir. Pola ini
bertentangan dengan pola yang kedua. Keempat adalah "ambiguitas" (ghumidh), yang mengandung dua
makna, baik secara hakiki metaforis, makna mana yang dimaksudkan sulit dipastikan. Yang ambigu ini
kadang-kadang mereka sebut dengan nama mujmal. Semua pola ini secara khusus merupakan hubungan
antara ungkapan struktur bahasa dengan makna atau semantiknya:

"Yang tersurat adalah apa yang ditunjukkan oleh kata ketika dinyatakan. Jika ia mengandung arti yang
tidak memiliki kemungkinan makna lain maka disebut nash, seperti: Maka puasa tiga hari pada saat haji -
dan tujuh hari setelah kamu pulang. Jumlah harinya sepuluh hari penuh... Dan, jika mengandung
kemungkinan makna lain yang tidak diunggulkan (marjuh) maka disebut dengan zhahir, seperti: maka,
barangsiapa yang terpaksa secara tidak aniaya dan tidak melampaui batas. Kata baghi bisa berarti tidak
mengetahui dan melampaui batas. Makna yang terakhir makna yang paling jelas dan umum, seperti:
Dan, janganlah kamu mendekati wanita- wanita haid sampai mereka suci. Kata "suci" dapat berarti
berhenti haid dan dapat pula wudhu dan mandi besar, makna yang kedua lebih tepat. Jika diartikan
dengan makna yang tidak diunggulkan karena ada dalil maka disebut dengan fa'wil dan makna ang tidak
diunggulkan namun dipilih disebut mu'awwal, seperti: Dan, Dia bersamamu di mana pun kamu berada.
Adalah tidak mungkin mengartikan kebersamaan (ma'a) dengan arti dekat dengan dzat, karena itu
maknanya harus dibelokkan dari makna tersebut, dan diartikan dengan kekuasaan, pengetahuan,
penjagaan, dan perhatian. Seperti: Dan, rendahkanlah sayapmu terhadap mereka berdua dengan penuh
kasih sayang. Ayat tersebut tidak mungkin diartikan menurut lahiriahnya karena manusia tidak mungkin
memiliki sayap. Oleh karena itu, ayat tersebut diartikan dengan tunduk dan bersikap baik. Dan,
terkadang yang tersurat menunjukkan dua makna yang sama secara hakiki atau yang satu hakiki dan
lainnya metafor (majaz), dan kedua makna tersebut dapat dibenarkan sehingga ungkapan tersebut
dapat diartikan dengan kedua makna tersebut, apakah kita berpendapat kata tersebut dapat bermakna
dua ataupun tidak.

Munculnya dua makna ini bisa jadi satu kata dikemukakan dua kali: pertama dimaksudkan
dengan satu makna, dan sekali lagi dimaksudkan dengan yang lainnya. Salah satu contoh: Dan, janganlah
antara penulis dan aksi saling menyulitkan. Ayat ini dapat diartikan dengan "hendaklah penulis dan saksi
tidak menyulitkan orang yang benar dan berbuat curang dalam menulis dan memberikan kesaksian",
atau diartikan dengan keduanya tidak akan dibuat sulit oleh orang yang benar dengan membebani
keduanya sesuatu yang bukan tugasnya dan memaksa keduanya untuk menulis dan memberi kesaksian.
Kemudian, bila ketepatan makna kata tergantung pada sesuatu yang disembunyikan" maka maknanya
disebut dengan makna iqtidha, seperti "bertanyalah kepada kampung", maksudnya penduduk kampung.
Jika tidak tergantung demikian dan kata-katanya menunjukkan arti yang tidak dimaksudkan dengan kata
itu sendiri maka namanya makna isyarah, seperti makna yang terdapat dalam firman Allah: Pada malam
hari berpuasa dihalalkan bagi kamu berkumpul dengan istri-istri kamu. Ayat tersebut menunjukkan
puasa orang yang pagi harinya dalam keadaan berhadats besar (junub) adalah sah sebab jika suami-istri
berkumpul sampai terbit fajar, diperkenankan, berarti pada sebagian siang yang bersangkutan dalam
keadaan hadats besar (junub)."

Empat pola tersebut didasarkan pada pola gradasi dari yang distingsi ke ambigu. Nash adalah
yang paling jelas karena tidak mengandung kemungkinan makna kecuali satu makna, Berlawanan
dengan nash adalah mujmal, dua makna yang memiliki kemungkinan sama dan salah satunya sulit di-
tarjih. Zhâhir lebih dekat dengan nash karena makna yang diunggulkan (dipilih) adalah makna yang
dekat, sementara mu'awwal lebih dekat dengan mujmal karena makna yang diunggulkan (dipilih) adalah
makna yang jauh. Ini berarti bahwa ada dua kutub "distingsi" dan "ambigu", di bawah masing-masing
kutub diisi nash dan mujmal. Di antara keduanya terdapat wilayah bagi zhahir dan mu'awwal. Di dalam
klasifikasi empat poros ini, muhkam terletak di wilayah tengah-tengah antara nash dan zhahir,
sementara mutasyäbih terdapat di antara mu'awwal dan mujmal. Akan tetapi, hubungan antara yang
tersurat dengan makna, tidak terbatas hanya pada klasifikasi empat poros tersebut. Yang tersurat
terkadang tidak bermakna dan ia memerlukan sesuatu yang tersembunyi, dan juga terkadang yang
tersurat melampaui maknanya yang langsung ke makna "indikatif (dhimaiyyah). Persoalannya akan
menjadi semakin kompleks ketika kita melihat makna yang tersirat, yaitu makna yang muncul dari
makna yang tersurat. Makna yang tersurat dapat memunculkan yang tersirat melalui makna kata-kata,
tetapi yang tersirat dari kata-kata tersebut terkadang menunjukkan makna lain yang berada di baliknya.
Makna ini bisa terjadi melalui persesuaian (maafaqal dan kebalikannya (mukhalafah), Contoh makna
persesuaian adalah firman Al- lah: Maka, janganlah berkata kepada keduanya dengan "uff". Yang
tersurat menunjukkan larangan mengatakan uff kepada kedua orang tua. Melalui inti titah (fahwa al-
khitab) makna tersebut menunjukkan larangan memukul keduanya. Hal itu karena jika bersikap kesal
kepada orang tua dengan uff maka menyakiti keduanya lebih dilarang. Makna yang kedua muncul bukan
dari ungkapan, tetapi dari makna ungkapan atau dari "yang tersirat". Contoh lain adalah firman Allah:
Sesungguhnya, orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya sebenarnya mereka
memakan api di dalam perutnya, dan mereka akan dimasukkan dalam neraka yang membakar. Yang
tersurat menunjukkan hukuman bagi orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya. Makna yang
muncul dari yang tersurat, melalui pemahaman terhadap titah lahn al- khitab, menunjukkan bahwa
membakar harta diharamkan karena membakar sama dengan memakan, karena sama-sama merusak.

Jenis kedua dari makna yang tersirat adalah makna melalui kebalikan (mukhilafah), apabila yang
tersurat menunjukkan pengertian yang secara bahasa dibatasi oleh keterangan sifat, keterangan
keadaan, keterangan tempat/waktu, atau jumlah sehingga pengertian yang terbatas tersebut
menunjukkan di luar makna tersebut dinafikan, menafikan di luar yang diterangkan, melalui
kebalikannya, seperti firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu didatangi oleh orang
fasik dengan membawa berita maka carilah kejelasan. Yang dapat dipahami dari yang tersurat adalah
keharusan dalam mencari kejelasan dalam kaitannya dengan berita yang datang dari orang yang fasik.
Pemahaman ini menunjukkan "bahwa berita yang datang dari orang yang tidak fasik tidak harus
dikonfirmasi maka berita dari orang yang adil harus diterima"."

Ini berarti bahwa makna ujaran teks tidak berputar di antara distingsi dan ambigu saja, tetapi juga
berbeda-beda dari segi pemaknaannya. Terkadang, ada dalalah langsung, dan ini disebut oleh ulama
kuno dengan dalalah manthüq ada pula dalalah iqtidha, seperti pada kasus penyembunyian (idhmär),
dan ada dalalah isyarah, seperti kesimpulan puasa orang yang peda waktu paginya dalam keadaan junüb
adalah sah. Makna yang keempat adalah dalalah mafhum yang terbagi ke dalam persamaan
(muwafaqah) dan pembalikan (mukhilafah).

Kemajemukan prosedur pemaknaan secara bahasa ini merefleksikan apa yang dirasakan oleh
para ulama kuno bahwa prosedur pemaknaan secara bahasa berbeda dengan prosedur pemaknaan lain,
seperti perbedaan bahasa dengan yang lainnya. Dari sini, kita dapat memahami mengapa mereka
membatasi pengertian nash sebagai struktur bahasa yang dari redaksinya menunjukkan secara jelas dan
gamblang terhadap maknanya. Dan pada saat yang sama juga menunjukkan pemahaman mereka bahwa
pola makna (nash) ini sangat langka. Dan, inilah yang mereka katakan sebagai "kelangkaan nasir"
(nudrah an-nash).
"Diriwayatkan dari sekelompok mutakallimin yang berpendapat bahwa dalam al-Kitab dan as-Sunnah
sangat jarang sekali terdapat an- nash. Imam al-Haramain dan lainnya berusaha keras menolak
pendapat. mereka, ia mengatakan bahwa tujuan dari nash adalah makna dihasilkan secara independen
dan pasti, menutup ta'wil dan berbagai kemungkinan. Hal ini meskipun sulit didapati berasal dari bentuk
bahasa itu sendiri, namun betapa banyak jumlahnya bila dikaitkan dengan konteks situasional dan
ungkapannya."

Pendapat yang mengatakan bahwa nash masih langka, bersumber dari sifat bahasa yang mengandalkan
potensi abstraksi dan generalisasi dalam memproduksi makna. Ini berarti produksi makna dalam bahasa
pada umumnya, dan khususnya dalam teks-teks unggulan, tidak terlepas dari dialektika teks/pembaca.
Menetapkan makna yang tidak diunggulkan daripada makna yang diunggulkan dalam zhahir atau
mu'awwal tergantung pada wawasan dan akal pembaca. Menetapkan makna yang dibuang dan yang
tersimpan dalam dalalah iqtidha' juga membutuhkan pembaca. Jika kita beralih dari dalalah manthug
(makna dari yang tersurat) ke taraf dalalah mafhum (makna dari yang tersirat) maka makna tidak dapat
dipisahkan dari tindak pembacaan termasuk ta'wil. Semua ini merupakan konsep makna yang sangat
dekat dengan konsep modern yang mengatakan bahwa tindak pembacaan-berarti ta'wil- tidak
berangkat dari data bahasa teks, maksudnya dari yang tersurat, tetapi pertama sekali berangkat dari
kerangka kultural yang mempresentasikan wawasan pembaca yang menjalankan tindak pembacaan
terhadap teks"

B. Mujmal

Posisi mujmal terhadap nash berada dalam kutub lain, yaitu kutub ambigu (ghaidh), seperti telah
dijelaskan sebelumnya. Contoh yang diberikan adalah Struktur firman ini mengandung dua ." ‫وال يضار‬
‫ "كاتب وال شهید‬firman-Nya kemungkinan bacaan, dan karenanya mengandung dua pengertian, yaitu kata
yulhärra mengikuti bentuk aktif (yudhariru), dan mengikuti bentuk pasif (yudhiraru), Kedua bentuk
bacaan tersebut dimungkinkan oleh struktur ayat tersebut. Akan tetapi yang harus diperhatikan adalah
bahwa ijmal di sini merupakan bentuk ambiguitas yang membuat teks menerima dua interpretasi yang
tidak bertentangan, baik itu larangan kepada penulis dan saksi untuk tidak menyulitkan pihak yang
benar, ataupun pihak yang benar hendaknya jangan menyulitkan penulis dan saksi. Yang pasti bahwa
ayat tersebut merupakan larangan mencatat transaksi utang yang menyebabkan kesulitan (medharaf).
Jika ijmal di sini muncul karena bentuk morfologis (sharf) kata kerja maka para ulama menyebutkan
bentuk-bentuk ijmal yang melahirkan ambiguitas, seperti isytirak (kata bermakna dari satu),
hadzf(penghilangan kata), ikhtilaf marji" ad-ithamir (perbedaan acuan kata ganti), kemungkinan athaf
dan istinaf (kata sambung atau bukan), gharabah (kata asing), nudrah al-isti mäl (kata yang jarang
digunakan dalam struktur bahasa), at-taqdim wa ta'khir (mendahulukan dan mengakhirkan), qalb al-
manqul (pengganti kata yang sudah umum), dan takrir al-qathi'u li wasli al-kalam (pengulangan yang
menjadikan hubungan kalimat terputus). Bentuk-bentuk ini merupakan gejala bahasa dan
stilistika yang ada dalam teks Al-Qur'an. Ulama menunjukkan beberapa contoh kata-kata "asing" yang
maknanya samar bagi generasi pertama kaum muslimin:

"Abu Ubaidah dalam kitab al-Fadhil meriwayatkan dari Ibrahim at-Taimi bahwa Abu Bakar as-Shiddiq
ditanya tentang firman Allah yang berbunyi wa fakihatan wa abba, ia menjawab: 'Langit manakah yang
akan memayungiku dan bumi manakah yang dapat aku injak kalau aku sampai mengatakan apa yang
tidak aku ketahui mengenai Kitab Allah. la meriwayatkan dari Anas bahwa Umar bin Khattab membaca
ayat di atas mimbar yang berbunyi wa fäkihatan wa abba. Kemudian, ia berkata: 'Kata fikihatan ini kami
kenal, namun apa arti abba?" Kemudian, ia sadar dan berkata: "Sebenarnya ini merupakan pemaksaan,
hai Umar."

Diriwayatkan melalui Mujahid, ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas, la berkata: Dulu saya tidak mengetahui
apa arti fathir as-samawat, sampai saya didatangi oleh dua orang Badui yang berselisih mengenai dua
sumur, baru saya mengerti. Salah seorang di antara mereka berkata: Saya yang membuatnya, ia
mengatakan saya yang memulainya.

Ibnu Juraih meriwayatkan dari Said bin Jubair bahwa ia pernah ditanya tentang firman Allah wa hananan
min ladunna, kemudian ia menjawab: 'Saya pernah bertanya hal itu kepada Ibnu Abas, namun

sedikitpun ia tidak menjawab."

Melalui Ikrimah, ia meriwayatkan dai Ibnu Abbas, ia berkata: 'Demi Allah, aku tidak mengetahui apa arti
hananan. Al-Faryani meriwayatkan Kami diberitahu oleh Israil, kami diberitahu oleh Sammak bin Harb,
dari Ikrimah. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: 'Semua kata-kata Al-Qur'an saya ketahui kecuali empat kata,
yaitu ghislin, hananan, awwahu, dan ar- ragim.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Qatadah, ia berkata bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan:
'Aku tidak mengetahui firman Allah rabbana-ftah bainana wa baina gaumina bi al-haqq, sampai aku
mendengar ucapan binti dzi Yazn: ta'al ufatihka, maksudnya kesinilah, aku akan menyelesaikan
masalahmu."
Melalui Mujahid, ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Aku

tidak mengetahui apa itu ghislin, akan tetapi aku kira itu tumbuhan

zagum."

10

Fenomena "ambiguitas" bagi generasi pertama kaum muslimin ini tidak hanya terbatas pada "kata
asing" saja, tetapi juga terjadi pada struktur bahasa. Oleh karena itu, teks pada fase ini membutuhkan
interpretasi terhadap beberapa bagian teks:

"Seperti pertanyaan mereka tatkala turun wahyu: wa lam yalbasú imanahum bi zhulmin. Mereka
bertanya, siapakah di antara kami yang tidak berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Kemudian,
Rasulullah menafsirkan (kata zhulm) dengan kemusyrikan. Beliau mendasarkan pada firman Allah: inna
asy-syirka la zhulmun 'azhim. Dan seperti 'Aisyah mengenai perhitungan yang ringan (al-hisab al-yasir),
beliau menjawab: 'Memperlihatkan sesuatu, barangsiapa yang perhitungannya dipermasalahkan, ia
disiksa'. Dan, seperti cerita Adi bin Hatim mengenai benang yang ia letakkan di bawah kepalanya, dan
cerita-cerita lain mengenai pertanyaan-pertanyaan mereka.""

Barangkali salahsatu fenomena "ambiguitas" yang terpenting adalah perselisihan seputar muhkam dan
mutasyäbih bukan hanya pada dataran makna dan masalah yang terkait dengannya, yaitu penentuan
makna muhkam dan makna mutasyabih, tetapi juga pada dataran bacaan dalam menetapkan posisi
wwwu dalam ayat: wa ar-rasyikhina... 'inda rabbini, apakah huruf wawu dalam ayat tersebut wawu
'athaf (penghubung) atau waou istinaf (permulaan). Apabila wawu athaf, berarti ar-rasyikhina fi-ilmi
dihubungkan dengan nama agung (Allah) pada wa ma ya lamu ta wilaha illa Allah sehingga ar-rasyikhina
termasuk dalam lingkungan yang mengetahui ta'wil. Dan, atas dasar bacaan ini kalimat yaqilina amanna
bhi terpisah dari konteks, kecuali apabila di-ta'wil-kan sebagai khabar (predikat) dari mubtada (subjek)
yang terbuang. Apabila wawu tersebut dianggap istinaf maka ar-rasikhina fi al-'ilmi berada diluar mereka
mengetahui ta'wil, dan kalimat tersebut berkedudukan sebagai subjek sementara predikatnya yagülüna
amanna bihi 12
Prinsip yang dilontarkan para mufassir adalah bahwa ambiguitas yang berasal dari ijmal, maknanya
dapat diraih dengan kembali pada teks itu sendiri di tempat lain. Sebab, sebuah ayat yang mujmal di
suatu tempat, mempunyai penjelasannya ditempat lain. Penafsiran Rasulullah terhadap kala zhulm
dengan arti syirik merupakan penafsiran teks dengan teks itu sendiri. Teks melalui sistem bahasa dan
semantiknya membentuk leksikografinya yang khas dan memberikan dasar penafsiran terhadap yang
ambigu dalam beberapa bagiannya:

"Ulama mengatakan: Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Qur'an maka pertama sekali ia harus
mencarinya dalam Al-Qur'an. Apa yang mujmal dalam satu tempat, penafsirannya terdapat ditempat
lain, dan apa yang disingkat di satu tempat, ditempat lain diperluas."

Bukti paling jelas yang menunjukkan bahwa teks membentuk bahasanya sendiri adalah dalalah
syar'iyyah yang diintrodusir oleh teks pada beberapa kata, seperti kata shalat, zakat, puasa dan haji.
Bahkan kata-kata seperti "Is- lam", "Al-Qur'an", "wahyu", "syara"", dan "sunnah" termasuk dalam
bingkai kata-kata yang oleh teks diberi makna yang sebelumnya tidak ada dalam bahasa (Arab). Inilah
yang membedakan antara dalalah syar'iyyah dan dalalah wadh'iyyah (konvensional, bahasa) kata-kata
tersebut. Karena begitu terasa ada perubahan semantik yang dibuat teks pada beberapa kata sehingga
ada ulama yang menganggap bahwa kata-kata tersebut mujmal yang memerlukan penjelasan:

"Di antaranya (ayat-ayat mujmal) adalah ayat-ayat yang di dalamnya terdapat istilah-istilah syar'iyyah,
seperti: 'Dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan barang siapa yang melihat diantara kamu
bulan maka puasalah, dan untuk Allah diwajibkan atas manusia untuk menunaikan haji. Dikatakan
bahwa ayat-ayat tersebut adalah mujmal karena kata-kata shlalat mengandung makna semua doa,
puasa semua bentuk pengekangan dan haji semua bentuk tujuan. Maksud dari kata- kata tersebut tidak
ditunjukkan oleh bahasanya dan membutuhkan penjelasan. Ada yang mengatakan: Tidak (demikian),
kata-kata tersebut dimaknai menurut redaksinya, kecuali apabila ada dalil yang men- takhshish-nya."

Penjelasan terhadap mujmal dan upaya menyingkapkan makna kata yang ambigu dengan cara kembali
pada konteks teks pada bagian-bagian lain merupakan sesuatu yang penting, khususnya dalam rangka
menghasilkan hukum syar'iyyah-fiqhiyyah dari teks. Akan tetapi, banyak bagian dari teks yang antiasa
mengandung banyak kemungkinan bacaan, dan karenanya banyak interpretasi, khususnya pada tataran
struktur dan stilistika (gaya bahasa), gelain perbedaan "cara pandang" yang menjadi pijakan pembaca
dan mufassir. Ayat dalam "Surat Ali Imran" merupakan bukti yang paling tepat dalam hal ini
C. Perbedaan yang Menimbulkan Anggapan Adanya Kontradiksi Dalam banyak bagian teks terjadi
semacam perbedaan yang muncul melalui "pengulangan" (répétition), tetapi bukan pengulangan hal
yang sama, melainkan pengulangan yang memunculkan sesuatu yang baru. Ketika membandingkan teks-
teks "yang diulang-ulang" dan melihat adanya "perbedaan" (différence) di antara teks-teks itu, ulama
kuno berusaha menjelaskan bahwa "perbedaan" tersebut tidak menyebabkan ambiguitas atau
kontradiksi makna teks. Tepatnya, dapat dikatakan bahwa perbedaan tersebut menunjukkan ke-i'jaz-an,
dalam arti bahwa teks menunjukkan kemampuannya dalam mengolah dan menata tanpa terjerumus ke
dalam pengulangan secara literal. Kisah Al-Qur'an, umpamanya, muncul berulang-ulang dalam berbagai
Surat, tetapi pengulangan tersebut senantiasa memberikan sesuatu yang baru. Kisah Nabi Musa
bersama keluarganya ketika ia melihat api dalam perjalanan pulang menuju Mesir, muncul dalam setiap
surat dengan pola yang berbeda- beda dan memberikan sesuatu yang baru. Dalam Surat an-Naml kisah
tersebut diceritakan bahwa:

"Musa melihat api, kemudian ia berkata kepada keluarganya: Aku melihat api. Aku kelak akan membawa
kepadamu kabar dari padanya, atau aku akan membawa kepadamu suluh api supaya kamu sekalian
dapat menghangatkan badan. Dalam Surat Thaha dikisahkan: Mudah-mudahan aku dapat

membawa sedikit dari padanya untukmu atau aku akan mendapatkan

petunjuk di tempat api.

Tekstualitas Al-Qur'an

Dalam surat lain dikatakan bahwa: Mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita padamu dari
tempat apt itu, atau membawa sesuluh api agar kamu dapat menghangatkan badan.

Allah mengemasnya secara variatif dan mengisahkannya dengan berbagai cara untuk memberitahukan
kepada mereka bahwa mereka tidak mampu membuat seluruh variasi itu. Oleh karena itu, Allah
berfirman: Buatlah cerita yang sebanding dengannya. Firman ini ditujukan untuk lebih memperlihatkan
ketidakmampuan mereka dan mem- pertegas argumentasi kepada mereka."

Oleh karena itu, Allah mengulang cerita Musa dalam beberapa surat dengan cara berbeda, dengan
fashilah-fashilah yang berbeda namun pesan sama.
Berkaitan dengan adanya fenomena perbedaan di antara bagian-bagian teks, ulama kuno tidak hanya
memberikan "alasan" itu saja. Bahkan, mereka juga berusaha menafsirkan perbedaan tersebut, yang
didasarkan pada sebuah penting, yaitu menafikan perbedaan yang menimbulkan anggapan kontradiksi.
Menafikan perbedaan yang menimbulkan kontradiksi ini tidak menafikan perbedaan itu sendiri, tetapi
menafikan kontradiksi yang dapat ditimbulkan (diasumsikan) oleh perbedaan tersebut. Teks sendiri
menafikan

adanya "perbedaan" yang menimbulkan anggapan kontradiksi pada dirinya:

"Al-Ghazali pernah ditanya tentang pengertian firman Allah: (Andaikata Al-Qur'an itu berasal dari selain
Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalamnya perbedaan yang besar), ia memberikan jawaban
sebagai berikut: Perbedaan merupakan kata musytarak yang mempunyai banyak makna. Maksudnya,
bukan menafikan perbedaan (perselisihan) manusia mengenai Al-Quran, tetapi menafikan perbedaan
dari Al- Qur'an sendiri. Apabila ada ungkapan: Ujaran ini berbeda-beda, maksudnya ke-fashih-an ujaran
tersebut dari awal sampai akhir tidak sama (tidak serasi) sebab ia berbeda-beda, maksudnya
sebagiannya menyeru kepada agama dan yang lainnya menyeru kepada dunia. Atau ujaran tersebut
susunannya berbeda-beda, sebagiannya teratur mengikuti aturan puisi, sebagian lainnya datar,
sebagiannya mengikuti

kemurnian gaya tertentu, yang lain mengikuti gaya lain yang bertentangan. Kalam Allah bersih dari
perbedaan-perbedaan seperti itu sebab ia mengikuti satu sistem susunan yang bagian awalnya seirama
dengan bagian akhirnya. Tingkat ke-fashih-annya berada dalam satu tingkatan yang sama, ia tidak
mengandung kata kotor. Al-Qur'an ditujukan pada satu pesan, yaitu menyeru makhluk kepada Allah,
memalingkan mereka dari dunia ke agama. Ujaran manusia mengandung perbedaan-perbedaan seperti
ini... Rasulullah adalah ma- nusia yang selalu berubah-ubah kondisinya maka andaikata Al-Qur'an itu
memang ujarannya atau ujaran manusia lainnya maka niscaya akan ditemukan di dalamnya banyak
perbedaan. Sementara perbedaan manusia adalah perbedaan pendapat mereka, bukan perbedaan
dalam Al-Qur'an itu sendiri. Apakah memang seperti ini maksudnya, sementara Allah berfirman: Dengan
Al-Qur'an la menyesatkan dan memberi petunjuk kepada banyak orang (manusia). Di dalam Al-Qur'an
disebutkan bahwa di dalam dirinya tidak ada perbedaan, namun bersamaan dengan itu ia merupakan
sebab bagi munculnya perbedaan manusia, yang tersesat dan mendapatkan petunjuk."

Perbedaan dalam pandangan al-Ghazali adalah sebuah fenomena yang dimunculkan oleh teks di
kalangan manusia. Manusia berselisih pendapat mengenai teks, dalam menafsirkan dan men-ta'wil-
kannya, tetapi teks itu sendiri tidak mengandung perbedaan; baik dalam tataran susunan, gaya, maupun
isi dan maknanya. Akan tetapi, interpretasi semacam itu mengabaikan kenyataan bahwa perbedaan
manusia di seputar interpretasi teks bersandar pada berbagai macam bagian teks. Argumen yang telah
diajukan al-Ghazali dengan menggunakan firman Allah: Dengan Al-Qur'an la menyesatkan dan memberi
petunjuk kepada banyak orang, pada dasarnya didasarkan pada ta'wil yang mengambil ayat menurut
lahiriahnya sebagai ayat muhkam yang maknanya didasarkan pada lahiriahnya. Argumen tersebut sama
sekali tidak disetujui oleh para pemikir Mu'tazilah mana pun yang menempatkan ayat tersebut dalam
wilayah mutasyabih, memerlukan ta'wil yang menghindarkan ayat tersebut dimaknai secara lahiriah.
Dalam menghadapi argumen melalui teks yang diajukan oleh kelompok Asy'ari, kelompok Mu'tazilah
mengajukan argumen dalam bentuk bagian lain dari teks yang dipandang sebagai "yang muhkam" yang
lahiriahnya menunjukkan makna yang bertentangan dengan teks yang dikutip oleh kelompom Asy'ari.

Perselisihan manusia mengenai teks dalam satu sisi karena "perbedaan" teks itu sendiri, yaitu
perbedaan yang menimbulkan anggapan kontradiksi. Dari sini, ulama berusaha keras menghilangkan
anggapan tersebut, dan dari sini pula muncul kesepakatan di antara berbagai macam madzhab untuk
menafikan kontradiksi dari Al-Qur'an. Men-ta'wil-kan yang mutaysabih dengan cara mengembalikannya
pada yang muhkam sebenarnya upaya menghilangkan anggapan adanya "kontradiksi" dari berbagai
macam teks. Ini berarti bahwa semua madzhab menerima, dengan satu atau lain cara, adanya semacam
perbedaan di antara bagian-bagian teks, tetapi perbedaan tersebut tidak menimbulkan kontradiksi. Di
sisi lain, perbedaan tersebut dikarenakan watak bahasa teks. Dengan bahasa modern kita katakan
perbedaan yang disebabkan oleh mekanisme teks dalam menentukan wataknya yang unik. Mekanisme
yang unik inilah, sebagaimana telah disinggung, yang menjadikan tindak pembacaan-berarti interpretasi-
sebagai bagian dari mekanisme teks. Ulama kuno mengungkapkan adanya keterkaitan antara
"mekanisme teks" dengan tindak pembacaan" ketika mereka menangkap bahwa perbedaan itu muncul
dari sifat bahasa, dan pembacaan dapat terjadi melalui "yang rasional", di mana yang manqúl atau teks
tidak dibenarkan bertentangan dengan yang rasional.

"Yang mendorong mereka untuk melakukan ta'wil adalah karena ujaran bertentangan dengan
pengertian yang sebenarnya. Adanya mutasyabih dan anthropomorphism terhadap hak Tuhan, dan
karena masuk ke dalam persoalan seperti ini sangat berbahaya. Antara yang rasional dan yang mangul
secara prinsipil tidak ada perbedaan; perbedaan terletak pada kata-kata dan pemakaian metaforis
(majaz) dalam bahasa Arab. Saya katakan, antara keduanya secara prinsipil tidak ada pertentangan
karena berdasarkan dalil diketahui bahwa akal tidak mendustakan kebenaran syard. Siapa saja yang
banyak pengalaman dalam ilmu pengetahuan dan banyak menyelami lautannya kemungkinan keduanya
akan dikacaukan, ia tidak akan terlepas dari salah satu dari dua hal: mungkin ta'wil yang tidak dapat
dipahami, atau situasi di mana sisi ta'til menjadi tidak jelas karena ketidakmampuan pemahaman untuk
menangkap hakikat, sementara keinginan kuat untuk menerima dan membaurkan semua yang ada,
merupakan tujuan yang tidak mungkin." 16
Jika perbedaan, ketika dibaca melalui "yang rasional", melenyapkan anggapan adanya kontradiksi maka
perbedaan menjadi semacam variasi yang tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa "teks" tunggal
dan sumbernya satu. Jika berbagai pendapat dan ideologi saling berbeda maka "yang rasional", yang
tidak bertentangan dengan teks, akan berbeda-beda antara satu kelompok kelompok lainnya dalam satu
masa dan dalam satu masyarakat, dan akan berbeda-beda antara masyarakat satu dengan masyarakat
lainnya dalam Dan, perbedaan itu akan semakin berbeda seiring dengan perubahan waktu, kemajuan
zaman dan perkembangan masyarakat. Teks, melalui satu masa mekanisme perbedaannya, tetap
menjadi teks yang dapat dibaca, ditafsirkan, dan di-ta'wil-kan

"Andaikata seluruh Al-Qur'an itu muhkam, niscaya ia hanya akan cocok bagi satu golongan saja, dengan
jelas ia tidak akan mengakui semua hal kecuali yang berasal dari golongan tersebut. Ini ditolak oleh
golongan yang lain. Akan tetapi, apabila memuat yang muhkam dan yang mutasyabih maka masing-
masing pengikut dari suatu golongan akan berusaha untuk mendapatkan di dalamnya sesuatu yang
menguatkan golongannya dan mendukung pendapatnya. Maka, semua pengikut golongan-golongan
tersebut akan meneliti dan me- mikirkannya. Dan, apabila mereka bersikap berlebih-lebihan dalam hal
ini maka yang muhkamåt akan menafsirkan yang mutasyabihat."

Teks dengan perbedaannya ini tidak saja menentukan identitasnya dan membedakan dirinya dari teks-
teks lainnya, tetapi lebih dari itu, teks menjadikan dirinya sebagai poros kebudayaan melalui
akseptabilitasnya untuk ditafsirkan dan di-ta'wil-kan secara beraneka ragam dalam berbagai tempat dan
waktu. Teks-teks yang bermakna sempit adalah teks-teks yang memiliki fungsi informatif murni, yang
fungsinya hanya sebatas menguraikan kode pesan, dan mengantarkan penerima pesan pada isi dan
kandungannya secara lengkap dan final. Teks-teks semacam ini tunduk pada data-data bahasa biasa,
teks- teks yang tidak mampu menciptakan bahasanya yang khas. Hal ini berbeda sekali dengan teks-teks
unggulan. Dalam Al-Qur'an kita menemukan berbagai tataran bahasa yang berkisar antara "informasi"
murni-teks-teks semacam ini sangat sedikit-dan bahasa "sastra" yang penuh dengan makna yang secara
kreatif menciptakan mekanisme yang khas.

D. Penggalan Huruf pada Awal Surat

Jika penafsiran terhadap yang mujmal ditemukan dalam bagian lain teks, dan jika "yang diperselisihkan"
ditafsirkan oleh yang mutasyábih dalam perspektif yang muhkam maka huruf-huruf penggalan pada
awal surat tidak termasuk di dalam dua pola tersebut. Ia cukup dimasukkan ke dalam salah satu aspek
makna yang telah dibicarakan dalam "yang tersurat" dan "yang tersirat". Yang tersurat dalam kaitannya
dengan huruf-huruf yang terpenggal tidak memberikan makna. Maksudnya, ia tidak mempunyai
pengertian langsung maupun tidak langsung. Tidak disangsikan bahwa inilah y mendorong sebagian
ulama untuk menjadikan huruf-huruf tersebut sebagai yang "yang mutasyabih", yang hanya diketahui
Allah. Mereka membaca ayat tersebut-berdasar ta'wil terhadap pengertian mutasyäbih-sebagai ayat
permulaan bukan sebagai athaf

"Ibnu Abbas mengatakan: Allah menurunkan Al-Qur'an menurut empat aspek halal dan haram, aspek
yang harus diketahui semua or ang aspek yang diketahui bangsa Arab, dan aspek ta'wil yang hanya
diketahui oleh Allah."

Banyak teks yang ditempatkan dibawah aspek yang hanya diketahui oleh Allah. Secara tersurat teks-teks
tersebut menunjukkan pengetahuan tentang beberapa aspek yang tidak diketahui manusia, seperti
kiamat, turunnya hujan dan apa yang ada di dalam rahim dan roh, hanya monopoli pengetahuan Tuhan..

"Aspek tersebut masuk dalam kategori yang gaib, seperti ayat-ayat yang berkenaan dengan soal
terjadinya kiamat, turunnya hujan, apa yang ada dalam rahim, interpretasi terhadap roh, dan huruf-
huruf penggalan. Semua yang mutasyäbih dalam Al-Qur'an bagi ahli haqq, tidak ada tempat bagi ijtihad
untuk menafsirkannya dan tidak ada jalan untuk ke sana, kecuali dengan jalan mengikuti salah satu dari
tiga hal: mungkin dari teks wahyu, atau penjelasan dari Nabi Saw, atau kesepakatan umat atas
interpretasinya. Apabila tidak ada keterangan yang bersifat taufiqi dari tiga sisi tersebut maka kita
ketahui bahwa tafsirnya hanya diketahui oleh Allah semata,"

Oleh karena teks-teks yang berkaitan dengan hari kiamat, kebangkitan, apa yang ada dalam rahim dan
roh adalah teks-teks yang secara tersurat menunjukkan bahwa semua itu hanya diketahui oleh Allah
maka teks-teks tersebut tidak dapat di-ta'wil-kan. Teks-teks itu memiliki makna tersendiri, masuk dalam
kategori muhkam, dan ia tidak memiliki hubungan dengan yang mutasyabih atau ambiguitas. Ini berarti
bahwa pengetahuan tentang huruf-huruf penggalan dan ayat-ayat mutasyabihat hanya dimiliki oleh
Allah. Manusia tidak berhak men-ta'wil-kannya.

Berbagai riwayat dari Ibnu Abbas mendorong para pendukung ta'wil untuk menggunakan riwayat-
riwayat lain dari Ibnu Abbas, juga yang menolak adanya sesuatu dalam Al-Qur'an yang tidak dapat
dipahami dan di- ta wil manusia: "Bukankah Anda mengetahui bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan:
"Saya termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya'. Dan, ketika membawa firman Allah yang
berkenaan dengan cerita ashhab alkali: Tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali sedikit, ia
mengatakan: 'Saya termasuk mereka y yang sedikit."
Mujahid berkata: 'andaikata orang yang mendalam ilmunya tidak mendapatkan bagian untuk
mengetahui yang mutasyäbihat, selain hanya mengatakan: kami hanya percaya, berarti mereka tidak
ada bedanya dengan orang yang bodoh sebab semuanya (bodoh dan pandai) akan mengatakan itu. Kami
sendiri melihat, sampai batas ini, para mufassir tidak menahan diri dalam menghadapi sesuatu dari Al-
Qur'an, mereka tidak mengatakan: Ini termasuk yang mutasyabik, hanya Allah saja yang mengetahui,
malahan mereka tetap menafsirkannya, bahkan mereka menafsirkan huruf-huruf penggalan.""

Sebenarnya, penafsiran terhadap huruf-huruf penggalan dan usaha untuk sampai pada misterinya
bersumber pada masa turunnya teks, dan pada perdebatan orang-orang Yahudi terhadap Nabi Saw
mengenai Islam dan Al- Qur'an. Apakah riwayat ini sebab turunnya ayat dari Surat Ali Imran, atau hanya
sekadar "peristiwa" yang tidak ada kaitannya dengan turunnya ayat, tetapi manfaatnya bagi penafsiran
huruf-huruf penggalan tersebut tetap penting. Orang-orang Yahudi berusaha menafsirkan huruf-huruf
tersebut berdasarkan penafsiran atas angka-angka. Mereka mempunyai anggapan bahwa angka- angka
itu akan dapat menyingkapkan berapa lama dominasi dan hegemoni Islam secara politis. Ibnu Ishaq
meriwayatkan dari Ibnu Abbas:

"Abu Yasir bin Akhtab pernah melewati Rasulullah yang sedang membaca pembukaan Surat al-Baqarah:
Alif Lam Mim, dzâlika al-Kitab lä raiba fihi. Kemudian, ia mendatangi saudaranya Hayy bin Akhtab yang
sedang berkumpul dengan orang-orang Yahudi lainnya. Ia berkata: "Ketahuilah, demi Allah, aku telah
mendengar Muhammad membaca sebagian dari wahyu yang diturunkan kepadanya: Alif Lam Mim,
dzalika al-Kitab... Mereka bertanya: Apakah kamu telah mendengarnya?' la menjawab: 'Ya. Kemudian
Hayy bin Akhtab berjalan bersama dengan orang-orang Yahudi tersebut menuju Rasulullah Saw. Mereka
berkata kepada Muhammad: 'Hai Muhammad, bukankah engkau telah menyebutkan kepada kami
bahwa engkau membacakan sebagian dari yang diturunkan padamu, Alif Lam Mim, dzâlika al-Kitab?'
Rasulullah Saw menjawab: "Ya, benar. Mereka berkata: 'Apakah itu yang dibawa oleh Jibril dari Allah
untukmu?' Beliau menjawab: 'Ya'. Mereka berkata: 'Al- lah menurunkan sebelum kamu beberapa nabi.
Apa yang kami ketahui, menjelaskan berapa lama kekuasaan seorang nabi dan rezeki dimakan umatnya.
Namun terhadapmu kami tidak mengetahui. Kemudian, Hayy bin Akhtab berkata, seraya menghadap
orang-orang vang bersamanya: alif (bernilai) satu, lam tiga puluh, dan mim empat puluh, ini berarti tujuh
puluh satu tahun. Maka, apakah kalian akan memasuki sebuah agama yang masa kekuasaannya dan
rezeki umatnya hanya berlangsung dalam waktu 71 tahun?" Kemudian, ia menghadap Rasulullah Saw,
dan berkata: "Hai Muhammad, apakah ada yang lainnya?" Beliau menjawab: "Ya'. la bertanya: "Apa itu?'
Beliau menjawab: Alif Lam. Mim, Shad. Ia berkata: Demi Allah, ini lebih berat dan panjang. Alif satu, Lam
tiga puluh, Mim empat puluh, dan Shad sembilan puluh, jumlahnya 161 tahun. Apakah masih ada yang
lainnya, hai Muhammad?" Beliau menjawab: "Ya, Alif, Lâm, Ra Ia berkata: Demi Allah, ini lebih berat dan
lebih lama lagi. Alif satu, Lâm tiga puluh, dan Ra itu dua ratus, berarti jumlahnya 231. Apakah masih ada
lagi hai Muhammad?' Beliau menjawab: "Ya, Alif, Lâm, Mim, Ra la berkata: 'Demi Allah, ini lebih berat
dan lebih lama lagi. Alif satu, Lâm tiga puluh, Mim empat puluh, dan Ra itu dua ratus, berarti jumlahnya
271 tahun. Kemudian ia berkata: 'Misimu ini membingungkan kami, hai Muhammad, hingga kami tidak
mengetahui yang diberikan padamu banyak atau sedikit?" Kemudian mereka meninggalkan nabi. Abu
Yasir kemudian berkata kepada saudaranya, Hayy bin Akhtab dan pendeta-pendeta Yahudi lainnya:
"Mengapa kalian tidak menjumlah kan semuanya untuk masa kekuasaan Muhammad; 71, 161, 231, dan
271, semuanya menjadi 734 tahun?' Mereka menjawab: "Misi Muhammad ini membingungkan kita'."23
yang

Interpretasi ini tampaknya dijadikan pegangan oleh kebanyakan ulama salaf dalam menyingkap masa
keberlangsungan dunia atau alam. Di antara mereka adalah as-Suhaili dalam kitabnya, seperti yang
dikatakan oleh Ibnu Khaldun:

"Dan dialah (as-Suhaili) orang yang menjumlahkan huruf-huruf penggalan di permulaan surat setelah
huruf-huruf yang diulang-ulang dibuang (dihitung satu). Ia mengatakan jumlahnya 14 huruf, dan dapat la
dikumpulkan dalam ungkapan Alam Yasti' Nashshu Haqqi Karihin. Kemudian, ia menjumlahkannya
menurut perhitungan "Jumal", jumlahnya 703. Jumlah ini ditambah dengan jumlah seribu tahun terakhir
sebelum nabi diutus. Jumlah ini merupakan usia agama. Ia mengatakan: 'Hal ini tidak menutup
kemungkinan kalau memang demikian maksud dari huruf-huruf tersebut'. Saya katakan: 'Bahwa hal itu
tidak menutup kemungkinan, tidak mesti dan tidak harus dipegang." Ibnu Khaldun sampai pada
kesimpulan menolak interpretasi semacam itu dengan mengajukan dua alasan, pertama, bahwa huruf-
huruf itu dimaknai dengan angka", tidak natural atau rasional, pemaknaan tersebut bersifat furfiyyah
(konvensi) dan arbritrer. Kedua, bahwa orang-orang Yahudi yang memaknai seperti itu adalah orang
yang tak terpelajar dan buta huruf secara kultural. Oleh karena itu, pendapat dan ijtihad mereka tidak
dapat dipegang dalam menghadapi persoalan s semacam ini. Ibnu Khaldun mengatakan:

"Cerita (mengenai orang-orang Yahudi) tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan dalil dalam
memperkirakan usia agama sebab huruf- huruf tersebut dimaknai dengan angka-angka tidak natural dan
tidak pula rasional. Itu hanya konvensi yang mereka sebut dengan hisab al- jumal. Memang benar bahwa
hal semacam itu telah lama ada dan populer, namun konvensi yang lama itu tidaklah dapat dijadikan
hujjah. Abu Yasir dan saudaranya, Hayy, bukan termasuk orang yang pendapatnya dijadikan pegangan
dalam hal ini, dan juga bukan termasuk ulama Yahudi sebab mereka tinggal di pedalaman Hijaz yang
tidak pernah memikirkan kreativitas dan ilmu pengetahuan, bahkan terhadap kitab dan syari'at agama
mereka sekalipun. Mereka hanya menelan begitu saja perhitungan semacam ini, seperti orang awam
menelan mentah- mentah agama mereka."25

Jika orang-orang Yahudi menafsirkan huruf-huruf tersebut dengan menggunakan angka maka Ibnu
Abbas mengaitkan huruf-huruf tersebut dengan nama dan sifat-sifat Allah. Setiap huruf merujuk pada
sebuah nama atau sifat- Nya, sebagai singkatan (dalalah al-juz' 'ala al-kulli) dalam konteks seperti ini.
sebuah huruf dapat menunjuk lebih dari satu nama atau sifat:

"Huruf Alif (singkatan) dari Allah, Lâm dari Lathif Mim dari Majid, atau Alif dari 'karunia-Nya', Lâm dari
'kelembutan-Nya, Mim dari 'kebesaran-Nya'."2

Boleh jadi pula bahwa huruf-huruf pembuka pada setiap surat tersebut

merupakan singkatan. Sehingga maknanya

"Dalam firman Allah: Alif Lam Mim singkatan dari Ana Allahu Alam Dalam Alif Lam Mim Shad berarti And
Allahu Afdhalu, Alif Lam Mim Rá adalah Ana Allahu Ara, dan lain-lain singkatan seperti itu."

Tidak dapat disangsikan bahwa interpretasi yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas mengalami
perkembangan di kemudian hari, khususnya di kalangan Syi'ah dan sufi, menjadi ilmu yang berdiri
sendiri. Dalam ilmu ini, huruf-huruf pada umumnya dan huruf-huruf pada permulaan surat nya, memiliki
dimensi dan makna yang bermacam-macam yang mengacu pada imam kalangan Syi'ah dengan berbagai
sektenya, atau mengacu pada hakikat wujud dan teks bagi kalangan sufi. Semua ini merupakan
penyerapan lebih dalam terhadap kecenderungan-kecenderungan "gnostisisme" dalam menafsirkan dan
men-ta'wil teks.

Kebalikan dari kecenderungan interpretasi mistis ini, kita temukan kecenderungan yang lain yang
memperlakukan huruf-huruf tersebut sebagai kenyataan yang tidak memiliki makna dalam dirinya
sendiri, melainkan sebagai bagian dari sistem bahasa yang menjadi sandaran teks. Keberadannya yang
terepencar-pencar seperti itu di dalam teks memiliki makna umum, yaitu "penegasan" bahwa "teks"
yang susunannya merupakan mukjizat itu, tersusun dari huruf-huruf yang sama dengan huruf yang
mereka (bangsa arab) per- gunakan dalam teks-teks mereka, namun tingkatan teks-teks mereka tidak
mampu menyentuh cakrawala teks (Al-Qur'an). Ini berarti bahwa kesamaan antara teks dengan teks-
teks yang lain terletak pada kesamaan sistem suara, dan ini, menurut al-Baqillani, merupakan salah satu
bentuk pengertian i'jáz:

"Yaitu bahwa huruf-huruf yang membentuk kalam (ungkapan) Arab berjumlah 29 huruf. Surat yang
dimulai dengan huruf-huruf tersebut berjumlah 28 surat dan jumlah huruf yang tidak disebutkan pada
permulaan surat ada setengahnya, yaitu 14 huruf. Apa yang disebutkan ini dimaksudkan untuk mewakili
huruf yang lainnya, dan dimaksudkan pula agar mereka mengetahui bahwa kalam (Al-Qur'an) ini disusun
dari huruf-huruf yang mereka pergunakan dalam kalam mereka sehari- hari."

Huruf-huruf yang berjumlah 14 dalam permulaan berbagai surat, yang dari segi hitungan berjumlah
separo dari jumlah huruf yang ada (dalam bahasa Arab), dari sisi lain merepresentasikan seluruh
fenomena suara (bunyi) yang ada dalam bahasa, yaitu hams, jahr, syiddah, rakhawah, infitah, dan
ithbâq. Selain itu, ia juga representasi dari pembagian huruf, dari segi makhraj-nya, menjadi huruf
faringal dan nonfaringal. Ini berarti bahwa pemilihan huruf-huruf tersebut untuk mengawali berbagai
surat tidak serampangan, bersifat serba kebetulan, tetapi pilihan yang bermakna bahwa huruf-huruf itu
representasi dari fenomena-fenomena bunyi yang ada dalam bahasa. Huruf yang termasuk dalam
kelompok hams atau mahmúsah adalah: shid, kaf, qaf, sin, la, dan tha. Yang termasuk dalam jahr atau
majhurah adalah: alif, lam, mim, ra, ha, 'ain, ya', dan nun. Kelompok syiddah adalah: alif, kaf, tha', dan
gaf. Huruf-huruf rakhawah adalah: ra', shad, ha', 'ain, sin, ha, ya, dan nun. Yang termasuk huruf-huruf
ithbag adalah: shad dan tha, sementara yang termasuk huruf-huruf infitih adalah: alif, lam, mim, ra', kaf,
ha', 'ain, sin, ha, qaf, ya', dan nun. Selain itu, ada huruf qalgalah, yaitu gaf dan tha'. Yang termasuk huruf-
huruf halq, yaitu: ha, ha, dan ain.

"Ada beberapa pembagian yang dilakukan oleh ahli bahasa Arab dalam mengklasifikasi huruf-huruf
tersebut, dan atas dasar huruf-huruf tersebut mereka menetapkan aspek-aspeknya. Di antaranya, ada
yang membaginya ke dalam kelompok huruf mahmüsah dan majhurah. Huruf yang termasuk ke dalam
kelompok huruf mahmüsah ada sepuluh, yaitu: ha, ha(?), kha', kaf, syin, tsa, fa, ta', shad, dan sin... Selain
huruf tersebut termasuk ke dalam huruf-huruf majhurah. Separo dari huruf-huruf mahmusah
disebutkan sebagai permulaan surat. Demikian pula separo dari huruf-huruf majhurah disebutkan secara
sama persis.">

Pembagian lain yang dilakukan oleh para ahli bahasa adalah bahwa huruf-huruf tersebut dibagi menjadi
dua bagian, yang salah satunya adalah huruf-huruf halq, ada enam yaitu 'ain, ha, hamzah(?), ha, kha'(?),
dan ghain(?). Separo dari huruf ini dijadikan sebagai permulaan surat. Begitu pula separo dari huruf yang
bukan hala disebutkan dengan cara yang sama.

Selain itu, huruf-huruf tersebut juga dibagi menjadi dua bagian, yang salah satu adalah huruf ghairu
syiddah, dan huruf-huruf siddah, yaitu huruf yang tidak memungkinkan suara dapat mengalir. Di
antaranya adalah hamzah, qaf, kaf, jim,(?) zha', dzal, ta, dan ya. Separo dari huruf-huruf ini
dipergunakan sebagai permulaan surat.
Selain huruf-huruf itu, ada yang disebut dengan huruf mutabbaqah yang jumlahnya ada empat, yaitu:
tha', zha, dhad, dan shad. Selain empat huruf ini disebut huruf munfatihah. Separo dari huruf-huruf ini
termasuk dalam huruf-huruf yang ada dalam permulaan surat.

Ahli bahasa mengklasifikasikan huruf-huruf tersebut menjadi beberapa bagian seperti itu dengan tujuan
melakukan sistematisasi bahasa Arab dan membakukannya dalam waktu yang relatif lama sejak zaman
Nabi Saw. Mereka melihat bangunan bahasa Arab seperti itu. Al-Qur'an melalui huruf-huruf yang
disebut pada permulaan surat, mengajukan sesuatu yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas. Hal ini
tentunya menunjukkan bahwa posisi huruf- huruf tersebut yang setelah memakan waktu panjang
menjadi konvensi, dapat terjadi hanya karena berasal dari Allah sebab semacam itu termasuk dalaty
yang kategori masalah yang gaib. Meskipun dulunya yang mereka sadari adalah apa yang pada dasarnya
mendasari bahasa. Mereka sama sekali tidak memiliki andil dalam klasifikasi Yang memberikan pengaruh
hanyalah Dzat yang membuat asal-usul bahasa. Hal ini juga merupakan keajaiban menunjukkan bahwa
asal-usul huruf-huruf tersebut merupakan hikmah yang tidak dapat dijangkau oleh bahasa. Jika asal-usul
bahasa merupakan sesuatu yang taugifi (yang natural, ditetapkan) maka persoalannya semakin jelas.
Apabila soalnya konvensi sosial maka hal itu juga ajaib sebab tidaklah mungkin berbagai macam
kepentingan menjadi satu seperti itu kecuali apabila karena izin Allah. Semua ini meniscayakan
konfirmasi atas penyebutan huruf-huruf yang sedemikian itu sehingga menjadi salah satu aspek
kemukjizatan.

Dalalah yang ditambahkan oleh al-Baqillani yang menunjukkan bahwa ada huruf-huruf tersebut dalam
teks, sama dengan dalalah "penyampaian berita-berita yang gaib" yang menjadi bukti kemukjizatan teks.
Akan tetapi, kita harus ingat bahwa dalalah ini dimasukkan oleh kebudayaan setelah studi kebahasaan
mengalami perkembangan. Tidaklah bermaksud mengurangi dalalah tersebut apabila pembagian suara
(fonologi) berbeda dengan pembagian ahli bahasa lama yang hanya mengandalkan pengamatan
langsung, selain adanya perkembangan beberapa vokal dalam bahasa modern."

Ada interpretasi lain yang berusaha memasukkan makna lain mengenai huruf-huruf tersebut, di
antaranya, sebagai contoh bahwa huruf-huruf itu dianggap sebagai nama bagi surat yang diawali oleh
huruf tersebut. Akan tetapi, legalitas interpretasi ini tidak didukung oleh banyaknya surat yang diawali
oleh huruf-huruf mutasyabihat ini, seperti: Alif Lam Mim yang menjadi awal Surat al-Baqarah, Ali Imrân,
al-Ankabut, ar-Rúm, Luqman, dan as-Sajdah. Atau, Alif Lam Ra yang menjadi awal Surat Yunus, Hüd,
Yusuf, ar-Räd, Ibrahim, dan al-Hijr. Selain itu juga kasus surat-surat yang diawali dengan Tha Sin dan Hå
Mim. Tampak bahwa kegigihan ulama Al-Qur'an membela interpretasi semacam ini sangat rancu. Hal itu
karena mereka berpendapat bahwa:
"Terkadang terjadi kesesuaian antara dua nama untuk dua individu, namun kemudian dibedakan dengan
sebuah atribut yang ada, seperti dikatakan nama Zaid dan Zaid, kemudian keduanya dibedakan dengan
mengatakan: Zaid yang ahli fiqh, dan Zaid yang ahli nahwu. Demikian pula dalam kasus seseorang
membaca Alif Lam Mim, dzálika al-Kitabu yang dibedakan dari Alif Lam Mim, Allahu la ilaha huwa al-
hayyu al

Akan sangat panjang jika kita ingin membicarakan semua interpretasi yang berkenaan dengan huruf-
huruf tersebut. Para ulama Al-Qur'an menyebutkan hingga 13 macam interpretasi. Sebagian ulama ada
yang sampai pada kesimpulan menerima semuanya dan menjadikannya sebagai satu interpretasi:

"Dikatakan Allah mengawali beberapa surat dengan huruf- huruf tersebut dengan tujuan menunjukkan
setiap hurufnya memiliki berbagai macam makna, bukan hanya satu makna sehingga huruf-huruf itu
menjadi penghimpun bahwa huruf-huruf tersebut sebagai kunci pembuka; masing-masing huruf
tersebut diambil dari salah satu nama Allah; Allah menempatkannya pada posisi tersebut, kemudian
menamakannya dengan itu; bahwa setiap hurufnya berkenaan dengan ajal satu masyarakat dan rezeki
masyarakat lainnya, meskipun demikian huruf-huruf itu diambil dari sifat-sifat Allah dalam memberikan
karunia, nikmat, dan kebesaran-Nya; huruf-huruf tersebut dijadikan pembuka sebagai motivasi untuk
mendengarkan Al-Qur'an bagi orang yang tidak mau mendengarnya; bahwa di dalam huruf-huruf
tersebut terkandung maklumat untuk bangsa Arab; bahwa Al-Qur'an yang menjadi bukti kenabian
Muhammad Saw melalui huruf-huruf ini, dan bahwa ketidakmampuan mereka untuk membuat yang
sepadan dengannya melalui huruf-huruf yang sudah mereka kenal, menjadi bukti akan kekafiran,
keingkaran, dan kekerasan kepala mereka; bahwa semua bilangan huruf itu apabila jatuh pada awal
setiap surat, menjadi nama bagi surat terkait."

Tidak disangsikan bahwa semua interpretasi di atas, dengan satu atau lain cara, mempertegas
sensitivitas ulama kuno bahwa "ambiguitas" makna huruf-huruf tersebut membentuk salah satu aspek
karakteristik teks. Ambiguitas tersebut mempertegas "perbedaan" antara Al-Qur'an dengan teks-teks
lain. Dari sini, huruf-huruf penggalan tersebut berbeda dengan fenomena-fenomena ambiguitas yang
telah kami paparkan dalam bagian sebelumnya. Fenomena ini merupakan fenomena ambiguitas
semantik yang dapat dan diungkap oleh bagian teks lain. Dengan demikian, fenomena tersebut
merupakan fenomena ambiguitas yang memunculkan perbedaan teks secara internal. Demikianlah teks
membedakan antara dirinya dengan teks-teks lainnya pada satu sisi, dan membedakan antara bagian-
bagiannya pada sisi lain. Perbedaan ini sebenarnya salah satu mekanisme teks. Melalui mekanisme ini,
teks dapat mewujudkan keistimewaannya, dan berarti dapat mewujudkan kemampuannya untuk
berinteraksi dengan kebudayaan dalam ruang dan waktu.

You might also like