You are on page 1of 6

5/9/2018 Be ka l Da i - slide pdf.

c om

Bekal Dai (Zaadud-Da’iyah)

Oleh: Ahmad Mudzoffar Jufri, MA

Dakwah adalah aktivitas yang sangat mulia. Namun, kita juga harus sadar bahwa
dakwah adalah pekerjaan yang tidak ringan. Berbagai rintangan, hambatan dan
tantangan akan senantiasa menghadang para pendakwah. Untuk itulah, seorang
aktivis dakwah harus memiliki bekal-bekal yang diperlukan dalam berdakwah. Allah
Ta’ala berfirman,”“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa”
(QS.Al-Baqarah [2]: 197).

Berikut ini penjelasan singkat tentang bekal-bekal yang tidak bisa tidak harus
dimiliki oleh setiap aktivis dakwah.

Bekal Keimanan dan Aqidah (Az-Zaad Al-Imani Al-‘Aqadi)

Bekal keimanan dan aqidah meliputi dua aspek keimanan:

1. Aspek keimanan akal pikiran yang bersifat teoritis (Al-Iman Al-’Aqli An-Nadzari),
dengan mengimani seluruh prinsip aqidah dan dasar keimanan dalam Islam
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta sesuai dengan manhaj dan
pemahaman baku As-Salafus-Shalih. Dan sebagai konsekuensinya, sekaligus harus
memiliki dan menyatakan bara’ secara tegas terhadap setiap bid’ah aqidah dan
penyimpangan prinsipil yang ada dalam firqah-firqah sempalan yang sesat seperti:
Al-Khawarij, Ar-Rawafidh (Syi’ah), Al-Qadariyah (Mu’tazilah dan Al-Jabriyah), Al-
Jahmiyah, Al-Murji’ah dan lain-lain.

2. Aspek keimanan dan keyakinan hati yang bersifat praktis (Al-Iman Al-Qalbi
Al-’Amali), sebagaimana yang dimaksud dalam atsar Imam Al-Hasan Al-Bashri yang
berkata: “Bukanlah iman itu sekedar angan-angan (at-tamanni) maupun hiasan (at-
tahalli) belaka. Namun iman adalah keyakinan yang tertanam kuat di dalam hati
dan dibuktikan dengan amal nyata”. (Lihat QS. Al-Anfal [8]: 2-4; QS. Al-Hujurat [49]:
14-15).

Bekal keimanan dan aqidah merupakan sumber kekuatan yang paling utama bagi
setiap da’i dan da’iyah dalam menapaki jalan dakwah yang penuh dengan
beragam ujian, cobaan, godaan dan tantangan yang serba berat.

Bekal keimanan dan aqidah merupakan faktor dan bekal utama bagi setiap da’i dan
da’iyah untuk bisa tetap tegar, istiqamah dan tetap terus menerus serta kontinyu
(istimrar) dalam dakwahnya, dengan tanpa mengalami kekenduran semangat
(futur), penyimpangan (inhiraf ) atau sikap mutung (tasaquth).

Bekal Ilmu dan Tsaqafah (Az-Zaad Al-‘Ilmi Ats-Tsaqafi)

(Lihat QS. Yusuf [12]: 108 ; QS. An-Nahl [16]: 125, dan baca: Tsaqafatud-Da’iyah /
Bekal Keilmuan Seorang Da’i, karya DR.Yusuf Al-Qardhawi; Jundullah Tsaqafatan

http://slide pdf.c om/re a de r/full/be ka l-da i 1/6


5/9/2018 Be ka l Da i - slide pdf.c om

wa Akhlaqan, karya Sa’id Hawwa; Manhajul Mukmin Bainal ‘Ilmi Wat-Tathbiq, karya
Dr. ‘Adnan Ali Ridha An-Nahwi; Tsaqafatul Muslim, karya Abdul Hamid Buzuwainah;
Dan lain-lain)

Urgensi ilmu dan tsaqafah bagi da’i adalah sebagai berikut:

1. Keutamaan ilmu dan keistimewaan para ulama (lihat QS 3 : 18, 16 : 43, 21 : 7,


29 : 43, 35 : 28, 39 : 9, 47 : 19, 58 : 11.).

2. Ilmu merupakan asas dan syarat amal perbuatan (Al-’Ilmu qablal-qauli


wal-’amal: Ilmu dibutuhkan sebelum perkataan dan amal perbuatan). (lihat QS 11 :
112, 47 : 19, 67 : 2).

3. Ilmu merupakan asas dan syarat dalam berdakwah (lihat QS 12 : 108, 16 :


125).

4. Berdakwah tanpa ilmu lebih banyak kemadharatannya daripada


kemaslahatannya, baik bagi dakwah, ummat maupun bagi sang da’i atau da’iyah
sendiri. Karena berdakwah tanpa bekal ilmu yang benar dan memadai, seringkali
tidak memberikan solusi dan tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah
masalah dan memberikan “PR-PR” baru dalam dakwah. Sebagaimana tidak jarang,
sebagian juru dakwah justru dipermasalahkan oleh ummat, karena dirasa dan
dinilai telah menjadi problem yang harus dicarikan solusi untuknya. Padahal
semestinya, sang juru dakwahlah yang bertugas memberikan solusi bagi
problematika-problematika ummat dan masyarakat.

5. Sesungguhnya kita ini berdakwah (mengajak) kepada Islam. Maka jika kita
tidak mempunyai bekal ilmu yang memadai dan tidak memahami Islam itu sendiri
(dengan benar), lalu apa yang kita dakwahkan ? Sebagaimana berdakwah adalah
memberi, antara lain memberi ilmu, maka jika seorang juru dakwah tidak memiliki
wawasan ilmu, lalu apa yang akan ia berikan? Dan kata hikmah mengatakan:
Faaqidisy-syai’ laa yu’thiih (Orang yang tidak memiliki sesuatu, tidak akan bisa
memberikannya).

6. Ilmu merupakan imunitas, perisai dan sekaligus senjata ampuh bagi para da’i
dan da’iyah dalam menghadapi beragam serangan pemikiran (al-ghazwul fikri),
berbagai syubhat pemahaman dan bermacam-macam penyimpangan aqidah yang
semakin marak di tengah fenomena krisis kelemahan ilmu dan kelangkaan ulama
saat ini. Dan jika seorang da’i tidak berbekal ilmu dan tsaqafah yang benar serta
memadai, maka tidak jarang ia justru bingung (seperti ummat yang harus
didakwahinya) dalam menyikapi fenomena gencarnya al-ghazwul fikri, maraknya
syubhat pemahaman, dan merajalelanya bid’ah aqidah, atau bahkan ikut terkena
sebagian pengaruhnya, atau lebih-lebih lagi malah bisa menjadi salah satu penyeru
penyimpangan, tanpa disadarinya.

http://slide pdf.c om/re a de r/full/be ka l-da i 2/6


5/9/2018 Be ka l Da i - slide pdf.c om

7. Bahaya berdakwah dan berfatwa tanpa ilmu yang benar dan memadai.
Perhatikanlah kisah pembunuh sembilan puluh sembilan nyawa (lihat HR. Muttafaq
’alaih). Juga kisah sahabat yang kepalanya terluka lalu mandi besar sehingga
meninggal dunia (lihat HR.Abu Dawud). Dan perhatikan pula firman Allah Ta'ala:
”Dan barangsiapa yang berdakwah kepada kesesatan, maka ia akan menanggung
dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa-
dosa mereka sedikitpun” (HR. Muslim).

8. Dakwah kepada kebenaran Islam (al-haq) – agar bisa eksis dan unggul – wajib
ditopang oleh power dan kekuatan (al-quwwah). Dan salah satu pilar utama
kekuatan itu adalah kekuatan ilmu dan pengetahuan (lihat QS. Al-Anfaal [8]: 60; QS.
At-Taubah [9]: 32; QS. Al-Isra’ [17]: 81; QS. Ash-Shaf [61]: 9; Dan lain-lain).

Adapun ilmu dan tsaqafah yang harus dimiliki oleh seorang dai adalah sebagai

berikut:
Pertama, tsaqafah ilmu syar’i (ats-asaqafah al-syar’iyah/al-’uluum asy-syar’iyah)
dengan berbagai cabangnya yang meliputi: al-ushuul ats-tsalaatsah (tiga pilar
utama: ma’rifatullah, ma’rifaturrasul shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ma’rifatul-
Islam ; Al-Qur’an; Al-Hadits; aqidah (termasuk firqah-firqah sesat); fiqih dan ushul
fiqih; akhlaq dan tazkiyatunnafs; sirah dan tarikh; fiqih Dakwah; kajian-kajian Islam
kontemporer; dan bahasa Arab. Dan ini merupakan bekal dan modal keilmuan yang
paling utama dalam dakwah.

Berikut ini beberapa catatan yang penting diperhatikan oleh setiap da’i dan da’iyah

tentang bidang tsaqafah ilmu syar’i:


1. Setiap da’i dan da’iyah wajib membekali diri dengan ilmu syar’i sesuai dengan
metodologi dan manhaj pemahaman baku para ulama ahlussunnah waljama’ah.

2. Tidak ada syarat batasan tertentu yang mutlak untuk kadar tsaqafah dan ilmu
yang wajib dimiliki oleh seorang da’i atau da’iyah, tapi yang jelas setiap da’i harus
punya komitmen dan usaha riil untuk selalu menambah tsaqafah dan meningkatkan
kualitas serta kuantitas ilmu syar’inya.

3. Wajib bagi setiap da’i dan da’iyah untuk tahu dan menyadari batas
kemampuan tsaqafah dan ilmunya, serta membatasi diri dalam batas-batas
kemampuannya saja, dan tidak melampaunya.

4. Tapi tetap saja ada batas standar kemampuan syar’i minimal yang wajib
dimiliki oleh setiap da’i dan da’iyah.

5. Kafa-ah ilmu syar’i yang sempurna dan ideal meliputi tiga unsur, yaitu:
ma’rifatud-dalil (mengetahui dalil), ma’rifatul-istidlal (mengetahui dan memahami

http://slide pdf.c om/re a de r/full/be ka l-da i 3/6


5/9/2018 Be ka l Da i - slide pdf.c om

makna serta arti dalil secara benar dan proporsional), dan ma’rifatut-tathbiq
(mengetahui cara penerapan secara benar).

6. Setiap da’i dan da’iyah dituntut membaca dan mengkaji minimal satu buku
rujukan praktis yang mu’tabar (standar) dalam setiap bidang spesialisasi ilmu syar’i

yang disebutkan diatas.


Kedua, tsaqafah ilmu modern/kontemporer dan fikih realitas (ats-tsaqafah al-
mu’ashirah dan fiqhul waqi’).

Kita berdakwah untuk menyampaikan Islam sebagai solusi bagi persoalan-persoalan


dan problematikan-problematika masyarakat modern saat ini dalam berbagai aspek
kehidupannya. Oleh karenanya, memahami kadar tertentu dari tsaqafah keilmuan
modern dan kontemporer menjadi sebuah keniscayaan bagi para da’i dan da’iyah.

Fikih realita (fiqhul waqi’) adalah syarat pelengkap bagi fikih dalil (fiqhud dalil),
untuk mendapatkan dan menerapkan hukum syar’i tertentu yang benar, tepat dan
proporsional, disamping merupakan salah pilar dan asas utama fiqih dakwah.

Fikih realita (fiqhul waqi’) yang harus dimiliki meliputi: realita kondisi internal
ummat Islam, realita kondisi internal dakwah Islam, para da’i dan jamaah-jamaah
dakwah, dan realita kondisi ekternal, yaikni realita ummat non muslim (musuh-
musuh Islam).

Ketiga, tsaqafah ilmu spesialisasi (ats-tsaqafah at-takhash-shushiyah/at-ta’hiliyah)


yang sangat penting dimiliki oleh setiap da’i dan da’iyah untuk lebih optimalnya
dakwah yang dilakukannya.
Setiap da’i dan da’iyah semestinya memiliki bidang spesialisasi ilmu tertentu, baik
dalam bidang spesialisasi ilmu syar’i, atau spesialisasi ilmu umum, atau spesialisasi
keahlian, maupun spesialisasi dalam bidang dakwah.

Dan ilmu spesialisasi itu harus dimanfaatkan dan bahkan dioptimalkan


pemanfaatannya untuk kepentingan, kemaslahatan dan kemajuan dakwah.

Maka tidak benar dan tidak dibenarkan misalnya, jika ada seseorang yang memiliki
ilmu spesialisasi tertentu, meninggalkan bidang spesialisasinya untuk aktif

berdakwah di bidang yang lain.


Bekal Amal (Az-Zaad Al-‘Amali) Sampai Tingkat Kequdwahan

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, mengapa
kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. Amat besar kebencian dan
kemurkaan di sisi Allah bahwa, kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan” (QS. Ash-Saff [61]: 2-3).

http://slide pdf.c om/re a de r/full/be ka l-da i 4/6


5/9/2018 Be ka l Da i - slide pdf.c om

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Seseorang bakal dihadirkan pada


hari Kiamat, lalu ia dilemparkan ke dalam api Neraka, sehingga isi perutnyapun
terburai keluar, lalu ia berputar-putar dengannya sebagaimana seekor keledai
berputar-putar di penggilingan. Maka para penghuni Neraka berkumpul
mengelilinginya seraya bertanya: Hai Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu
kamu melakukan (dakwah) amar bil-ma’ruf dan nahi ’anil munkar? Ia menjawab:
Benar, dulu aku mengajak dan memerintahkan amal yang ma’ruf tapi aku sendiri
tidak melakukannya, dan dulu akupun melarang dan mencegah (orang lain) dari
perbuatan yang munkar, namun aku justru mengerjakannya” (HR. Muttafaq ’alaih).

Bekal amal yang dimaksud adalah meliputi:

1. Bekal amal ibadah sampai pada derajat ihsan: beribadah kepada Allah seakan-
akan melihat Allah atau dengan kesadaran penuh dilihat oleh Allah (lihat: Hadits
Jibril ‘alaihis salam riwayat Imam Muslim).

2. Komitmen
hatian syar’i asy-syar’i),
syar’i (al-wara’ (al-iltizam asy-syar’i) yangoleh
yang dilandasi baikilmu
sampai
syar’ipada tingkat
(al-‘ilmu kehati-
asy-syar’i)
yang memadai dan kepekaan/sensitivitas syar’i (al-hiss asy-syar’i) yang tinggi.

3. Memiliki keterlibatan riil (al-musyarakah al-‘amaliyah) dalam berbagai aktivitas


dalam kehidupan nyata, dan melakukan pembauran secara positif (al-mukhalathah
al-ijabiyah) di tengah-tengah masyarakat.

4. Secara aktif dan intensif melakukan dan mengikuti latihan-latihan serta


pelatihan-pelatihan praktek dakwah (at-tathbiq ad-da’awi) nyata di lapangan.

Bekal Akhlaq dan Moral (Az-Zaad Al-Akhlaqi)

Islam adalah agama akhlaq (dinul akhlaq), maka para pendakwahnya haruslah
orang-orang yang memiliki komitmen akhlaq yang tinggi dan menonjol. Sehingga
tidak ada tempat di dalam dakwah Islam ini bagi orang-orang yang berakhlaq
rendah. Karena, sebagaimana dalam sebuah kata hikmah Arab bahwa, orang yang
tidak memiliki sesuatu tidak akan bisa memberikannya kepada orang lain (faqidusy-
syai’ la yu’thihi). Yakni orang yang tidak memiliki ilmu, iman dan akhlaq misalnya,
tidak akan bisa memberikan itu semua kepada orang lain. Sebagaimana yang tidak
mempunyai uang tidak akan bisa memberikan uang kepada orang lain, demikian
seterusnya.

Tingginya komitmen akhlaq para da’i dan da’iyah memiliki pengaruh yang sangat
besar dan menentukan – setelah taufiq Allah – bagi keberhasilan dakwah, dan
begitu pula sebaliknya.

Beberapa bentuk akhlaq yang harus menempati skala prioritas dalam diri para da’i
dan da’iyah adalah sebagai berikut:

http://slide pdf.c om/re a de r/full/be ka l-da i 5/6


5/9/2018 Be ka l Da i - slide pdf.c om

1. Sabar dan kemampuan menahan diri (ash-shabr wal-hilm). Allah Ta’ala


berfirman (yang artinya): ”Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan
shalat sebagai (sarana dan faktor) penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-
orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah [2]: 153).

2. Keberanian
akhlaq dalam
dasar yang kebenaran
mutlak (asy-syaja’ah
harus dimiliki fil-haqq).
oleh para Ini merupakan
da’i dan salah para
da’iyah, karena satu
penyeru kebenaran (du’atul haqq) pasti akan berhadapan dengan para penyeru
kebatilan (du’atul bathil). Sehingga tanpa keberanian, tidak akan pernah ada satu
kebenaran yang bisa menang dan eksis, serta tidak akan ada satu kebatilanpun
yang bisa kalah dan lenyap.

3. Cinta dan kasih sayang (al-mahabbah war-rahmah). Dakwah wajib disampaikan


dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang untuk memberikan dan menyebarkan
hidayah kepada semua orang. Dan sebaliknya, dakwah tidak boleh disampaikan
dengan penuh rasa amarah dan kebencian! (Lihat QS. Al-Kahfi [18]: 6; QS. Asy-
Syu’ara’ [26]: 3).
4. Lemah lembut (ar-rifqu wal-liin). (Lihat QS. Ali ‘Imran [3]: 159).

5. Tawadhu’ (at-tawadhu’) yang merupakan salah satu akhlaq utama yang mutlak
diperlukan dalam dakwah, khususnya dalam ber-ta’awun dan ber-‘amal jama’i.

6. Kelapangan dada dan keluasan wawasan (sa’atush-shadr wal-ufuq), agar


dakwah para da’i dan da’iyah mampu merangkul dan menjangkau seluas mungkin
segmen dan lapisan masyarakat obyek dakwah dengan beragam sifat, karakter,
kecenderungan, latar belakang pendidikan, pemahaman, sosial, budaya, ekonomi,

politik dan lain-lain.


7. Rasa malu (al-hayaa’). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang
artinya): “Jika kamu sudah tidak memiliki rasa malu lagi, maka berbuatlah
semaumu” (HR. Al-Bukhari). Dan salah satu bencana moral terbesar zaman
sekarang ini adalah lemah dan hilangnya akhlaq malu ini dari kehidupan luas
masyarakat modern. Maka yang wajib menjadi salah satu konsentrasi dan issu
sentral dakwah saat ini adalah mengembalikan akhlaq malu ini ke dalam diri dan
kehidupan masyarakat, lebih-lebih lagi di kalangan kaum perempuan! Dan para da’i
dan da’iyah harus menjadi pelopor dan qudwah dalam hal ini. Wallahu Waliyyut-
taufiq!

Sumber: http://konsultasisyariah.net/content/view/71/123/

http://slide pdf.c om/re a de r/full/be ka l-da i 6/6

You might also like