Professional Documents
Culture Documents
Fiqih Era Khulafaur Rosyidin Fiks
Fiqih Era Khulafaur Rosyidin Fiks
Dosen Pengampu :
Ana Achoita, M.Pd.
Disusun oleh :
1. Alfia Rahma Nur Kumala
2. Lailatul Khasanah
3. Husni Mubarok
Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah mendukung dalam proses pengerjaan makalah ini. Khususnya kedua
orang tua, serta teman – teman, dan Ibu Ana Achoita, M.pd. pengampu mata
kuliah Hadist/ Tarikh Tasyri’.
Dalam proses pengerjaan makalah ini, penyusun menemukan banyak
kekurangan. Dikarenakan keterbatasan ilmu serta wawasan yang dimiliki
penyusun. Dengan semua kekurangan yang dimiliki oleh penyusun, diharapkan
kepada para pembaca ini dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
untuk kemajuan kita bersama.
Makalah yang berjudul Fiqih Dalam Era Khulafaur Rosyidin ditulis
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadist/ Tarikh Tasyri’. Penyusun mohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat banyak kesalahan dalam penulisan
kata dan kalimat dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi
seluruh pembaca.
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan diantaranya :
1.3.1 Mahasiswa mampu memahami sumber-sumber fiqih pada periode
Khulafaur Rasyidin
1.3.2 Mahasiswa mampu memahami kedudukan ijtihad pada periode
Khulafaur Rasyidin
1.3.3 Mahasiswa mampu memahami ijtihad Khulafaur Rasyidin
1.3.4 Mahasiswa mampu memahami keadaan fiqih pada periode
Khulafaur Rasyidin
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
kamu boleh memilih antara berijtihad dengan pendapatmu sendiri atau
mengakhirkan keputusanmu.”
Oleh karena itu, selain Al-Qur’an dan Sunnah, ijtihad juga
merupakan sumber fiqih yang menjadi rujukan para fuqoha. Dengan
demikian kita dapat mengatakan bahwa sumber fiqih pada periode ini
adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Berikut perkembangan dua
sumber fiqih yang pertama yaitu:
2.1.1 Pengumpulan Al-Qur’an
Pada era kenabian telah dijelaskan pembahasan tentang sumber-
sumber fiqih pada periode pertama. Al-Qur’an turun secara bertahap dan
Nabi menghafal wahyu yang kemudian membacakannya kepada para
sahabat dan menyuruh penulis wahyu untuk menuliskannya. Sebelumnya
Al-Qur’an telah ditulis pada zaman Nabi, jadi Yang dilakukan Abu Bakar
bukan penulisan Al-Qur’an, tetapi pengumpulan ke dalam satu mushaf,
setelah sebelumnya tertulis dalam lembaran-lembaran daun. Kulit, dan
tulang yang terpisah.
Selanjutnya pada masa khalifah ketiga Utsman bin Affan muncul
perbedaan yang cukup tajam tentang bacaan Al-Qur’an. Sehingga
kekhawatiran akan munculnya perselisihan lebih tajam lagi mengilhami
Utsman bin Affan untuk berinisiatif menerbitkan bacaan Al-Qur’an.
Maka, Utsman minta kepada Hafsah, istri Nabi untuk menyerahkan
mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar dan menyuruh beberapa
penulis wahyu untuk menerbitkan bacaan Al-Qur’an. Setelah proses
penerbitan selesai, Utsman mengembalikan mushaf yang asli kepada
Hafshah dan mengirimkan mushaf yang sudah diterbitkan bacaannya ke
segala tempat.
2.1.2 Periwayatan Sunnah
Suatu fenomena yang sangat penting dalam perkembangan ini
adalah sikap yang baru terhadap Sunnah. Sikap yang dimaksud adalah
seleksi yang ketat terhadap periwayatan hadis. Jika ditelusuri lebih jauh,
ketatnya periwayatan hadis disebabkan dua alasan :
4
a. Kekhawatiran akan adanya kesalahan atau penyelewengan, karena
lupa misalnya, aytau kesalahan dalam menyampaikan riwayat.
b. Kekhawatiran akan masuknya kabar bohong ke dalam hadis yang
dilakukan oleh orang-orang yang sengaja ingin merusak Islam dari
dalam (Sirry, 1996)
5
menyesatkan” kata Umar. “Ini pendapat Umar. Apabila benar itu dari
Allah dan bila salah dari Umar sendiri. Kebenaran itu hanya datang dari
Allah dan Rasul-Nya, maka jangan jadikan suatu pendapat sebagai
Sunnah bagi umat.” Demikian tradisi ikhtilaf pada masa sahabat. Abu
Bakar setiap kali menjelaskan suatu persoalan yang tidak ada nash
hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah selalu menambahi dengan
pertanyaan: “Ini pendapatku, jika benar itu dari Allah, tetapi jika salah
itu dari pribadi saya sendiri”.
Kebebasan berpendapat, tanpa tendensi untuk kepentingan
pribadi atau kelompok, telah melahirkan suatu kekuatan moral Islam
yang secara sungguh-sungguh berusaha melihat relevansi Islam dengan
persoalan-persoalan yang terus berkembang dan senantiasa meminta
etika dan paradigma baru. Salah satu contoh yang akan memberikan
gambatran yang jelas tentang pernyataan diatas, yaitu:
Tentang Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya
Para fuqoha berbeda pendapat tentang bagaimana hukum seorang
wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum melakukan hubungan
suami istri, padahal belumjuga ditentukan kadar maskawinnya (mahar) ?
Menurut Ibnu Mas’ud, wanita itu berhak mengambil maskawin seperti
biasa dari harta peninggalan suaminya sebelum terjadi pada Barwa’ binti
Wasyik al-Aslamiyah di zaman Rosulullah.
Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan seperti ini merugikan
satu pihak. Karenanya, menurut Ali, wanita iru tidak berhak mengambil
mas kawin dari harta peninggalan suaminya sebelum terjadi hubungan
suami istri.”Kami tidak akan meninggalkan Al-Qur’an hanya karena
pernyataan orang” kata Ali.
Dari sini tampak bahwa Ali telah sampai pada penggunaan qiyas.
Sebab dalam Al-Qur’an tidak ada ketentuan tentang masalah ini, yang
ada adalah wanita yang ditalak oleh suaminya sebelum melakukan
hubungan suami istri. Dan, rupanya Ali mengqiyaskan wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya sebelum melakukan hubungan tadi dengan
wanita yang ditalak dalam keadaan sama
6
2.5 Ijitihad Khulafaur Rasyidin
Ada tiga hal pokok yang berkembang pada waktu itu sehubungan
dengan hukum Islam. Pertama, begitu banyaknya muncul kejadian baru
yang membutuhkan jawaban hukum secara lahiriah tidak dapat ditemukan
jawabannya dalam al-Qur‟an maupun penjelasan dari Sunnah Nabi. Kedua,
timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan
hukumnya dalam al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi, namun ketentuan itu
dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman
baru agar relevan dengan persoalan yang tengah dihadapi. Ketiga, yakni
dalam alQur‟an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas
dan terpisah. Bila hal itu berlaku di dalam kejadian tertentu, maka para
sahabat menemui kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
(Ermayani, 2006)
Pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap masalah yang pertama
timbul dalam Islam, yaitu tentang siapa pengganti Nabi Muhammad sebagai
khalifah atau kepala negara setelah beliau wafat. Menurut ijtihad sahabat
dalam bentuk musyawarah, ditetapkan bahwa Abu Bakar r.a. adalah sebagai
khalifah pertama setelah melalui diskusi yang serius. Kemudian muncul
masalah-masalah yang menjadikan ijtihad para sahabat dilakukan,
diantaranya yaitu:
1. Khalifah Abu Bakar al-Siddiq
Contoh dari keputusan hukum pada masa khalifah Abu Bakar
adalah memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Para sahabat
selalu diajak oleh Abu Bakar untuk bermusyawarah ketika menghadapi
suatu masalah yang berkenaan dengan hukum, terutama kepada sahabat
senior. Metode inilah yang kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah
selanjutnya.
Cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam memecahkan masalah
hukum yang muncul dalam masyarakat. Mula-mula pemecahan itu
dicarinya dalam wahyu Tuhan. Kalau tidak ditemukan, dicari dalam
Sunnah nabi. Kalau dalam Sunnah Rasulullah ini pemecahan masalah
tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang
7
dikumpulkannya dalam satu majelis. Mereka yang duduk dalam majlis
itu melakukan ijtihad bersama (jama’i) atau ijtihad kolektif. Timbullah
keputusan atau konsensus bersama yang disebut ijmak mengenai
masalah tertentu. Dalam masa pemerintahan Abu Bakar inilah sering
dicapai apa yang dinamakan dalam kepustakaan sebagai ijmak sahabat.
2. Khalifah ‘Umar bin Khattab
Contoh dari keputusan hukumnya yaitu tentang Ghanimah (Harta
rampasan perang) pada masa pemerintahan Umar hanya dibagikan harta
bergerak saja. Harta yang tidak bergerak seperti tanah tidak dibagi-
bagikan seperti yang dipraktekkan Nabi, akan tetapi tanah itu tetap
dibiarkan dipegang oleh penduduk setempat dengan mewajibkan pajak.
Ketika Umar menjadi khalifah ke-2, beliau membagi harta rampasan
perang berdasarkan jerih payah masing-masing orang dalam berjuang.
3. Khalifah ‘Usman bin ‘Affan
Perbedaan pendapat juga terjadi tentang masalah unta yang berke
liaran dan tidak diketahui pemiliknya, apakah boleh "diamankan" seperti
barang temuan lainnya atau tidak. Ikhtilaf itu terjadi karena ada hadis
yang menyebutkan bahwa unta-unta itu harus dibiarkan hingga
ditemukan oleh pemiliknya sendin. Ketika kondisi pemerintahan mulai
mengalami goncangan dan keamanan tidak terjamin, Utsman
berpendapat bahwa unta- unta itu sebaiknya diamankan. "Rasulullah
melarang untuk mengaman- kannya," kata Utsman, "karena tidak
mungkin ada yang mencurinya. Namun sekarang, dalam suasana
melemahnya ghirah keagamaan in unta-unta harus diamankan untuk
kemaslahatan. Kalau tidak ia akan di- curi orang," Sikap Utsman ini
bertentangan dengan kebijaksanaan Umar yang mengamalkan hadis Nabi
tadi. Di sini Utsman tampak menerapkan 'illah Umar melaksanakan nash
dari hadis karena adanya illah, yaitu "suasana aman". Ketika illah itu
tidak ada, maka nash tidak cukup syaratnya un tuk diterapkan. Jika tetap
diamalkan maka pengamalan nash itu tidak akan mewujudkan
kemaslahatan yang merupakan tujuan utama nash tadi."
8
4. Khalifah ‘Ali bin Thalib
Hukuman bagi pemabuk. Sebelum masa Khalifah Ali hukuman bagi
pemabuk yaitu cambukan 40 kali. Akan tetapi pada periode Khalifah Ali
hukuman tersebut bertambah dua kali lipat menjadi 80 kali. Karena Ali
menganggap para pemabuk belum cukup dibuat jera dengan hukuman 40
kali cambukan. (Ummu Awalia, 2022)
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangan pemikiran dalam bidang hukum Islam pada masa
sahabat Rasulullah merupakan suatu tatacara untuk menetapkan hukum
yang memerlukan suatu daya upaya yang sesuai dengan pemahamannya
terhadap keberadaan hukum Islam yang harus ditegakkan dan dilaksanakan
tanpa ada suatu tindakan maupun pandangan yang menyimpang atau
menjauhi dari tujuan hukum Islam sendiri dan dasar-dasar hukum di
dalamnya, yakni al-Qur‟an dan Sunnah.
Tidak jarang perbedaan selalu muncul di kalangan para sahabat,
namun itu tidak membuat suatu pertentangan yang berarti pada permusuhan,
tetapi ada hikmah di balik perbedaan tersebut, karena memang masing-
masing sahabat pada waktu itu juga memiliki dasar serta orientasi keilmuan
yang berbeda dan latar belakang pribadinya, yang tentunya semua itu
mendukung sekali terhadap keputusan hukum yang dipergunakan untuk
memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam dinamika kehidupan
masyarakat Islam di saat itu.
10
DAFTAR PUSTAKA
11