Professional Documents
Culture Documents
PDF LP CKD Etc HTHD
PDF LP CKD Etc HTHD
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik.
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah
yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
• Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
• Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
• Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila
bercampurdengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
• Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal beradandapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
• Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat
diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia
biasanya muncul pada stadium ini.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
• Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
• Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
• Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.
• Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
• Kehilangan nafsu makan
• Nausea, sakit kepala, merasa lelah
• Tidak mampu berkonsentrasi.
• Gatal – gatal, kram otot, perubahan warna kulit
• Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
• Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
1.3 ETIOLOGI
Salah satu penyebab dari penyakit chronic kidney desease (CKD) adalah tekanan
darah tinggi/hipertensi. Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90
mmHg (Smith Tom, 1995). Berikut adalah hal yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya hipertensi adalah:
• Usia.
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada yang
berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden panykit arteri dan kematian
premature.
• Jenis Kelamin.
Berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi daripada
wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat,
sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.
• Ras.
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit
putih.
• Pola Hidup.
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan
kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insiden
hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama.
Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit arteri
koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor – faktor utama
untuk perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.
Selain itu, hal lain yang dapat menyebabkan chronic kidney desease (CKD)
adalah :
• Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis, diabetes melitus, hipertensi dan ginjal polikistik (Roesli,
2008).
a. Glomerulonefritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri / infeksi sehingga terjadi peradangan sedangkan glomerulonefritis sekunder
apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan
dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2006).
b. Diabetes mellitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai
kemudian orang tersebut
maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan
gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang
mendasari dan usia pasien.
a. Sistem integument
Gejala pada kulit sering menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, seperti kulit
menjadi pucat dan adanya pigmentasi urokrom. Kulit yang kering dan bersisik
terjadi akibat atropinya kelenjar minyak, menyebabkan gangguan penguapan
sehingga terjadi penumpukan kristal urea di kulit. Akibatnya kulit menjadi terasa
gatal (pruritus). kuku dan rambut juga menjadi kering dan pecah-pecah sehingga
mudah rusak dan patah. Perubahan pada kuku tersebut merupakan ciri khas
kehilangan protein kronik.
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal tersebut terjadi akibat
gagal ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun, sehingga
berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi akibat perubahan
psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ reproduksi dan kehilangan hasrat
seksual.
h. Sistem muskuloskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut
osteodistrofi renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata merah
akibat terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva juga bisa
mengalami edema akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat penimbunan
sampah metabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf dan
menyebabkan restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan salah satu
bentuk gangguan tidur dan penyebab insomnia pada pasien hemodialisis. Pasien
gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis sering mengalami gangguan tidur
berupa kesulitan memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur dan bangun terlalu
dini.
Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR
menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan
menderita sindrom uremik, yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau
berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal. Manifestasi sindrom
uremik dapat dilihat pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3 Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis
Saluran cerna Anoreksia, mual, muntah, napas bau amoniak, mulut kering,
perdarahan saluran cerna, diare stomatitis, parotis.
infeksi.
d. Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas.
e. Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histoligis.
f. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
g. EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa
1.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Barre, 2008).
Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal
sedini mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk menghilangkan
gejala yang mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup secara normal.
Yang
d. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan
yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Aturan yang dipakai
untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin yang dikeluarkan
selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan
berat badan pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi adalah 1-2
kg selama periode intradialitik.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-
anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien
dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati
diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah suatu terapi
definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu keadaan gagal ginjal yang
sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini adalah pencangkokan
ginjal sehat ke dalam tubuh pasien. Permasalahan yang paling sering dihadapi dalam
cangkok ginjal adalah adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien sebagai resepien
terhadap ginjal baru yang dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaannya harus dipilih ginjal yang paling cocok sehingga memberikan reaksi
penolakan yang paling minimal. Setelah pelaksanaan transplantasipun, resepien juga
masih harus minum obat imunosupresan seumur hidupnya untuk menekan reaksi
penolakan oleh tubuhnya terhadap ginjal baru dalam tubuhnya (Aziz, 2008).
2. Hubungan Hipertensi sebagai Penyebab CKD
2.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah presisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan diastoliknya dia atas 90 mmHg. Pada populasi lansia
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90
mmHg (Smeltzer, 2002).
Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95-104
mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya 105-114 mmHg, dan hipertensi
berat apabila tekanan diatoliknya lebih dari 115 mmHg. Pembagian ini berdasarkan
peningkatan tekanan diastolik karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik
(Smith Tom, 1995)
Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada yang
berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden panykit arteri & kematian
dini.
• Jenis Kelamin.
Berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi daripada
wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat,
sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.
• Pola Hidup.
Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan
kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insiden
hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama.
Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit arteri
koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor – faktor utama
untuk perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.
Selain itu, gagal ginjal muncul untuk memicu peningkatan aktivitas dari sistem saraf
simpatik, menyebabkan sesuatu seperti gelombang adrenalin.
Mekanisme hormonal juga memainkan peran penting dalam hubungan antara CKD
dan hipertensi, terutama melalui sistem renin-angiotensin. Hormon ini bisa dilepaskan
sebagai respons terhadap kerusakan kronis dan jaringan parut pada ginjal, dan dapat
memberikan kontribusi untuk hipertensi pasien dengan merangsang baik retensi garam,
serta penyempitan pembuluh darah. Hormon lain yang dapat meningkatkan tekanan darah
dan telah meningkatkan jumlah dengan CKD memajukan adalah hormon paratiroid (PTH).
PTH ini menimbulkan kalsium dalam darah, yang juga dapat menyebabkan penyempitan
pembuluh darah, mengakibatkan hipertensi.
Sebuah kondisi yang dapat menyebabkan CKD dan hipertensi arteri stenosis ginjal
(penyempitan pembuluh darah yang mendukung ginjal). Ketika penyempitan menjadi
cukup parah, kurangnya aliran darah dapat menyebabkan hilangnya fungsi ginjal. Jika
suplai darah ke kedua ginjal dipengaruhi, atau aliran darah ke ginjal berfungsi tunggal,
seperti setelah penghapusan ginjal akibat kanker, terganggu, pasien akan mengembangkan
CKD. Penurunan aliran darah memicu sistem renin angiotensin, menyebabkan hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada
arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh darah.
Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal, arteriosklerosis
akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat
langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri
dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh
nefron rusak. Terjadilah gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar 90% hipertensi
bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium, sementara < 10%
bergantung pada renin. Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan
tahanan perifer. Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga meningkatkan
curah jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah. Selain itu, kerusakan nefron akan
memacu sekresi renin yang akan mempengaruhi tahanan perifer sehingga semakin
meningkat.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun
penyakit ginjal kronik, baik pada kelainan glumerolus maupun pada kelainan vaskular.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam :
• Penyakit glumerolus akut
Hipertensi terjadi karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemik.
Retensi natrium terjadi karena adanya peningkatan reabsorbsi natrium di duktus
koligentes. Peningkatan ini dimungkankan abibat adanya retensi relatif terhadap
Hormon Natriuretik Peptida dan peningkatan aktivitas pompa Na – K – ATPase di
duktus koligentes.
• Penyakit vaskuler
Keadaan ini terjadi iskemi kemudian merangsang sistem renin angiotensin aldosteron.
• Gagal ginjal kronik
Hipertensi yang terjadi karena adanya retensi natrium, peningkatan system.
• Renin Angiotensinogen Aldosteron
Akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, aktifitas saraf simpatik meningkat
akibat kerusakan ginjal, hiperparatiroidit sekunder, dan pemberian eritropoetin.
• Penyakit glumerolus kronik Sistem
Renin-Angiotensinogen-Aldoteron (RAA) merupakan satu system hormonal
enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalm naiknya tekanan darah,
pangaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.
Dengan terjadinya kegagalan ginjal berpengaruh terhadap nefron-nefron. Sebagian
nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak
(hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh akan mengalami hipertrofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat dan disertai reabsorpsi walaupun dalam
keadaan penurunan GFR / daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–
nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa
direabsorpsi sehingga berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya
karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak maka oliguri timbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% -
90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian, nilai kreatinin clearance turun sampai 15
ml/menit atau lebih rendah dari itu (Barbara C Long, 1996).
Dengan menurunnya fungsi renal, maka produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah, sehingga Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner &
Suddarth, 2001).
3. Hemodialisa
3.1. Definisi
Menurut Price dan Wilson (2005) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan
air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen
cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua
tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama
yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap
perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai
pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel
(dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan
sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana
tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan
perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk
pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien,
hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut
dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang
dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk
membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
maka dibuat
suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui
pembedahan (NKF, 2006).
3.2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang
lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
3.3. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan
biasanya dimulai
apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati
perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat
dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada
wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak
boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan
sehari- hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan
konvensional gagal mempertahankan rft normal. Crf, ketika pengobatan konvensional
tidak cukup, Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa:
O Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari,
O Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
O Hiperkalemia,
O Overload cairan yang parah,
O Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
O Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%,
O Asidosis metabolik yang parah.
3.4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses
vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa
yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom
hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI,
2003).
3.5. Proses
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi
mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah
melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat
dan sirkuit
kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh,
kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga
terbentuk
dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer,
dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui
drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran
semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan
meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan
meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum
dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan
tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi
solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9
%, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin
cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau
mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood
(QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik.
Heparin secara terus-
menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan
darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk
menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-
monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 1995).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2
kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB 200–
300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3 –
5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari diantara
hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa
ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam
proses hemodialisa.
3.6. Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
• Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi
pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
• Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan
kelebihan tambahan berat cairan.
• Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium,
magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap
aritmia pada pasien hemodialisa.
• Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari
osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari
darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-
kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam
otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya
terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
• Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
• Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa
juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
• Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan
sakit kepala.
• Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum
pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di kenal dengan gejala uremik.
• Pertimbangan medikasi.
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien
yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan agar
kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa
menimbulkan akumulasi toksik.
4. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien CKD et causa Hipertensi dan Hemodialisa
4.1. Pengkajian
1) Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.
3) Riwayat penyakit
a) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.
b) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi & tatalaksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik
sehingga menimbulkan persepsi negatif terhadap dirinya dan kecenderungan
untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan & perawatan yang lama, oleh
karena itu perlu adanya penjelasan yang benar & mudah dimengerti pasien.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah & rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang & mudah lelah. Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya gangguan
nutrisi & metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi)
anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan
diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
memori, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
c) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine,
(pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
d) Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
e) Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot,
kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
f) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran).
g) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat
dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.
N Indikator 1 2 3 4 5
o
1 Tekanan darah
2 Berat badan
3 Edema
4 Pusing
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
2 : moderate / gangguan berat
3 : subtantial / gangguan sedang
4 : mild / gangguan ringan
5 : no deviation / tidak ada gangguan
O NIC : Fluid Management
1. kaji intake dan output cairan,
2. timbang berat badan secara rutin
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
4. monitor hasil lab terkait retensi cairan
5. Kaji lokasi dan berat edema
6. Kolaborasi tindakan dialisis
7. monitor BB pasien setelah dialisis
2. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai O2 dan kebutuhan
O Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x4 jam, diharapkan klien dapat
melakukan ADL dengan bantuan minimal
O Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
O NOC : Activity Tolerance
No Indikator 12345
1 Jarak berjalan kelelahan
kemampuan beraktivitas sehari hari
nyeri otot
2
3
Keterangan :
1 : severe / gangguan parah
O
Kriteria Hasil
Didapatkan skor NOC sesuai target
O NOC : Respiratory Status : Gas Exchange
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. PaO2
2. PaCO2
3. pH arteri
4. SaO2
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. Melaporkan nyeri
2. Lama nyeri
3. Ekspresi wajah saat nyeri
4. Menangis
5. RR
6. TD
Keterangan :
1. Gangguan parah/severe deviation
2. Gangguan berat/subtantial deviation
3. Gangguan sedang/moderate deviation
4. Gangguan ringan/mild deviation
5. Tidak ada gangguan/no deviation
O NIC : Pain Management
1. Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
2. Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
3. Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
4. Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman.
5. Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi.
6. Kolaborasi dalam:
7. Pemberian oksigen.
8. Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Warna kulit sekitar insersi
2 Suhu disekitar insersi
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3.
Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI