You are on page 1of 23

CORAK-CORAK PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Makalah disampaikan pada Mata Kuliah


Qur’anic Exegesis

Tim Dosen:
Prof. Dr. Tibb Raya, MA.
Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.
Dr. Faizah Sibromalisi, MA.

Ditulis oleh:
Hamam Faizin
NIM. 31161200000034

Program Doktoral Pengkajian Islam


Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2016

1
CORAK-CORAK PENAFSIRAN AL-QUR’AN

)30 ‫َو َقاَل الَّر ُس وُل َيا َر ِّب ِإَّن َقْو ِم ي اَّتـَخ ُذ وا َه َذ ا اْلُقْر آَن َم ْه ُج وًر ا (الفرقان‬

A. Pendahuluan
Penafsiran al-Qur’an (Qur’anic Exegesis/Interpretation) telah menjadi pusat
bagi perkembangan intelektual dan aplikasi praktis ajaran-ajaran Islam sejak masa awal
Islam pada abad ke-17 M hingga sekarang. Dalam sepanjang zaman, para sarjana
muslim telah mengembangkan beragam prinsip dan metode untuk menafsirkan dan
memaknai al-Qur’an.1 \
Usaha-usaha untuk menafsirkan al-Qur’an ini terus berkembang hingga
sekarang dan menghasilkan produk kitab-kitab tafsir dengan keragamannya. Berbagai
metode, pendekatan, gaya penulisan, dan perangkat ilmu lainnya diterapkan untuk
mengkaji dan menemukan makna-makna dan pesan-pesan ayat-ayat al-Qur’an.
Sejarah perkembangan tafsir apabila ditinjau dari perspektif the history of idea,
maka akan tampak apa yang disebut dengan perubahan (change), keberlanjutan
(continuity) dan keragaman (diversity) dari masing-masing waktu atau kurun. Hal ini
menegaskan kepada kita bahwa tafsir merupakan produk pemikiran yang
mencerminkan ‘anak zamannya’ sehingga meniscayakan adanya perubahan, pergeseran
dan oerkembangan sesuai dengan semangat zaman.2
Jadi, perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan baru dalam
metodologi3 tafsir pasti terjadi. Namun, sebagian dari perkembangan tafsir juga masih
menginduk atau meneruskan tradisi-tradisi yang lama (continuity). Nah, perubahan dan
keberlanjutan tersebutpun akhirnya akan melahirkan keragaman (diversity) dalam
penafsiran, termasuk corak atau nuansa penafsiran. Nah, makalah ini akan mengulas
corak-corak penafsiran al-Qur’an yang selama ini berkembang dan yang telah
dipetakan oleh sejumlah sarjana baik yang muslim maupun non-muslim.

B. Mendefinisikan Kata “Corak”


Sebelum mendedahkan corak-corak penafsiran, rasanya ada sebuah pertanyaan
yang perlu dijawab: apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata “corak” dalam kajian
tafsir al-Qur’an. Pertanyaan ini rasanya perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum kita
jauh berdiskusi tentang corak-corak penafsiran. Tujuannya adalah untuk membangun
pemahaman yang sama sehingga diskusi tentang hal ini (baca: corak penafsiran) tidak
membingungkan, atau malah menambah kesalahpahaman.
Kita tahu bahwa kata merupakan unsur terkecil dalam sebuah bahasa. Dan,
bahasa merupakan sebuah alat untuk menyampaikan pengertian. 4 Apabila pilihan kata

1
Abdullah Saeed, The Qur’an an Introduction, (London and New York: Routledge, 2008), h. 178
2
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 30.
3
Metodologi adalah cara dalam penelitian untuk memperoleh “pengetahuan” dan “pemahaman” dari
objek yang diteliti serta bagaimana pengetahuan dan pemahaman tersebut memenuhi tujuan penelitian.
Metodologi dapat dilihat dari tiga tataran: 1) paradigma yang digunakan, 2) metode yang dipilih, 3) teknik
yang dipakai. Lihat, Benny H. Hood, Semiotik dan Dinamika Budaya Sosial, (Depok: Komunitas Bambu,
2014), h. 19.
4
Bagja Hidayat, “Bahasa Gado-gado,” dalam Tempo, 25 September 2016, h. 50.
2
(diksi) yang digunakan tidak tepat, maka bisa jadi pengertiannyapun salah. Nah, untuk
menghindari pengertian yang salah, rasanya cukup penting untuk menguraikan apa
sebenarnya yang dimaksud dengan kata “corak”dalam makalah ini.
Penjelasan ini menjadi sangat penting, sebab dalam beberapa buku Ulumul
Qur’an, acapkali ditemukan kerancuan atas penggunaan kata corak dalam
mengidentifikasi jenis-jenis atau ragam penafsiran. Sebagian ada yang menyamakan
kata corak dengan metode. Sebagian lagi menyamakan corak dengan pendekatan atau
sifat penafsiran.
Rasanya sulit untuk melacak siapa pertama kali yang menggunakan kata corak
dalam penjelaskan ragam penafsiran. Seandainya bisa dilacak, pasti kita akan
menemukan jawaban dari maksud kata corak tersebut. Meskipun begitu, sebetulnya
kita juga bisa melacak maksud istilah corak penafsiran dari sejumlah buku-buku
Ulumul Qur’an yang ada.
Namun, sebagai langkah awal, penulis akan merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Di dalam KBBI disebutkan bahwa kata corak berarti 1) bunga atau
gambar (ada yang berwarna-warna) pada kain (tenunan, anyaman, dan sebagainya).
2) berjenis-jenis warna pada warna dasar (tentang kain, bendera, dan sebagainya): 3)
sifat (paham, macam, bentuk) tertentu.5 Sayangnya, contoh-contoh penggunaan kata
corak di KBBI tidak ada yang digandengan dengan kata penafsiran (seperti corak
penafsiran). Kata corak hanya digandengkan dengan kata kain (corak kain), dan politik
(corak politik). Jadi, KBBI belum pernah menggunakan kata corak yang disandingkan
dengan kata penafsiran. Dengan demikian, kita belum bisa mengambil maksud yang
pasti dari kata corak, kecuali menghubungkannya dengan jenis, sifat, macam dan
bentuk. Jadi, di KBBI kata corak erat hubungannya atau sama dengan jenis, sifat,
macam dan bentuk.
Setelah mendapatkan informasi tentang arti corak dalam KBBI, berikut akan
dirujuk beberapa buku Ulumul Qur’an berbahasa Indonesia yang menggunakan kata
corak. M. Quraish Shihab pernah menggunakan kata corak untuk menyebut metode,
yakni corak Ma’tsur.6 Sedangkan Nashruddin Baidan mencoba mengidentifikasi tafsir-
tafsir Indonesia periode klasik, pertengahan, pramodern dan modern ke dalam kategori
bentuk, metode dan corak tafsir. Kategori bentuk yang dimaksud di sini adalah apakah
tafsir tersebut mengacu pada bi al-Ma’s\u>r atau bi ar-Ra’yi>. Sedangkan metode
yang dimaksud oleh Nashruddin Baidan adalah metode ijmali>, tah}lili>, muqaran
atau maud{ui>.7 Nah, terkait dengan corak ini, Nashruddin Baidan tidak menjelaskan
apa yang dimaksud dengan istilah corak tafsir itu sendiri. Meskipun begitu, ia sempat
menyebut corak-corak tafsir adalah fiqih, tasawuf, filsafat dan al-ada>b bi al-Ijtima’i>
Lugawi> dan lain-lain.8
Sedangkan Said Aqil Husin Al Munawar dalam Al-Qur’an Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki, tidak menjelaskan apa itu corak penafsiran. Namun di dalam buku
tersebut dicantumkan bab Corak Penafsiran al-Qur’an yang isinya menjelaskan
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka/Kemendikbud, 2008) h. Lihat juga di
http://kbbi.web.id/corak
6
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), cet. Ke-3, h. 83
7
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai, 2003)
h.37, 54, 92, 105.
8
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, h. 68.
3
tentang tafsir Tah}li>li> (dengan subbab tafsi>r al-Ma’s\u>r, tafsi>r bi al-Ra’yi>,
tafsi>r Su>fi>, tafsi>r Fiqhi>, tafsi>r Falsafi, tafsi>r ‘Ilmi>), tafsi>r Ijmali>, tafsi>r
Muqaran, tafsir Maud}u>’i>. 9
Berbeda dengan sebelumnya, Abdul Mustaqim dengan tegas menjelaskan
bahwa corak tafsir adalah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna
tersendiri terhadap sebuah penafsiran, seperti nuansa kebahasaan, teologi, sosial-
kemasyarakatan, psikologis dan lain-lain. 10 Corak tafsir—yang diartikan dengan
nuansa khusus atau sifat khusus—ini kemudian digunakan oleh Islah Gusmian dalam
mengidentifikasi tafsir Indonesia tahun 1990-2000 berdasarkan nuansa kebahasaan,
nuansa sosial kemasyarakatan, nuansa teologis, nuansa sufistik, dan nuansa
psikologis.11 Istilah nuansa tafsir juga dipakai oleh M. Nurdin Zuhdi yang turut
melanjutkan penelitian Islam Gusmian dengan mengidentifikasi tafsir Indonesia tahun
2000-2010.12 Tampaknya, menurut Islah dan Nurdin, diksi nuansa13 lebih tepat dan
enak didengar ketimbang diksi corak.
Penjelasan tambahan lagi tentang corak penafsiran—yang semakin memperjelas
maksud definisi penafsiran—diungkapkan Anshori (w. 2015) dalam Ulumul Qur’an:
Kaidah-kaidah dalam memahami al-Qur’an. Di dalam buku tersebut disebutkan
tentang Macam-Macam Corak Tafsir. Anshori mendefinisikan corak sebagai
kecenderungan atau spesifikasi keilmuan seorang mufassir yang lahir karena pengaruh
latar belakang pendidikan, lingkungan dan akidahnya,14 yang kemudian mewarnai—
secara dominan—penafsiran al-Qur’an itu sendiri.
Di atas adalah penjelasan tentang penggunakan kata corak penafsiran sebagai
istilah teknis dalam kajian al-Qur’an di Indonesia. Kata corak dalam kajian kitab-kitab
Ulumul Qur’an berbahasa Arab seringkali disebut dengan istilah Laun (jamak:
alwa>n)15 yang artinya warna. Amin Al-Khu>li (1895-1966 M)16 dan Muhammad Ali
9
Said Aqil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Ciputat: Ciputat
Press, 2003), cet. Ke-3, h. 70-77
10
Abdul Mustaqim, Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasih hingga
Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), 81.
11
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS,
2013).
12
M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi,
(Yogyakarta: Kaukaba, 2014).
13
Dalam KBBI, kata nuansa diartikan dengan perbedaan yg sangat halus tentang suara, warna, dsb);
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1079.
14
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2013), h. 217. Definisi ini diambil Anshori dari al-Mufassiru>n: H}aya>tuhum wa Manhajuhum, karya
Muh}ammad Ali> Iya>zi>, sedangkan Ali Iya>zi> mengambil dari Ami>n al-Khu>li dalam Mana>hij
Tajdid. Hal senada juga ada di dalam Hal senada juga sebutkan dalam Alimin Mesra (ed). Ulumul Qur’an,
(Jakarta: PSW UIN Jakarta dan IAIN Indonesia Social Quity Project / IISEP), h. 232-233. Dalam buku ini
dikatakan bahwa corak adalah kecenderungan seorang mufassir yang tergambar di dalam karya tafsir mereka.
Setiap orang mempunyai keahlian dan disiplin masing masing dan keahlian itu turut mewarnai penjelasan
mereka dalam menganalisasi sesuatu atau mewarnai tulisan mereka dalam berkarya (bercorak Fiqhi>, Ada>b
al-Ijtimi>/sastra budaya, ‘ilmi>, sufistik, filsafat dan lain-lain).
15
Kata Lawnun (jamak: Alwa>n) diartikan warna atau corak. Lihat, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi
Mukhdor, Qa>mu>s Kerapyak Al-‘As}ri>, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), h.1569.
16
Nama lengkapnya adalah Ami>n Ibn Ibrah}im Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-
Khu>li lahir 1 Mei 1895 di sekitar Menoufya, sebuah kota kecil di Mesir. Ia berasal dari keluarga petani
4
Iya>zi17 menggunakan kata ini dalam buku mereka. Al-Khu>li mengatakan bahwa
setiap orang yang menafsirkan teks pasti memberikan warna (yulawwanu) terhadap teks
tersebut—tak terkecuali teks sastra—dengan penafsiran dan pemahamannya. Sebab,
orang yang memahami suatu ungkapan sebenarnya dialah—melalui kepribadiannya
(syakhsiyyah)—yang menentukan taraf pemikiran ungkapan tersebut. Dialah yang
menentukan seberapa jauh cakrawala intelektualitas dari makna dan tujuan ungkapan
itu. Cakrawala intelektualitas dari kepribadian seorang mufasir ini bisa mewarnai
penafsirannya. Pewarnaan tersebut dipengaruhi oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang
dipakai mufassir untuk menangani teks dan digunakan untuk mengungkapkan makna. 18
Jadi, dari penjelasan di atas, kiranya bisa disimpulkan bahwa corak penafsiran
adalah nuansa penafsiran yang dibentuk oleh mufassir dari dalam dirinya sendiri
karena kekhususan yang dimilikinya, semisal spesialisasi atau kecenderungan
keilmuannya, mazhabnya, kondisi sosial-budaya dan politik yang melingkupinya,
sehingga unsur-unsur tersebut sangat dominan mewarnai penafsirannya. Oleh sebab itu,
corak atau nuansa tafsir bisa jadi sangat banyak dan berkembang terus menerus, tidak
terbatas pada yang disebutkan di atas tadi, dan sangat tergantung pada perkembangan
keilmuan, metodologi serta pendekatan yang digunakan mufassir, bisa jadi kelak akan
adat tafsir bercorak iqtis}adi>, dan sebagainya. Dominasi nuansa penafsiran tersebutlah
yang kemudian menjadi semacam identitas yang melekat pada mufassir ataupun kitab
tafsirnya.

C. Pembagian corak-corak Penafsiran


Jelaslah sudah bahwa yang dimaksud dengan corak penafsiran adalah nuansa
atau sifat yang menjadi dominan sebuah penafsiran karena kepribadian mufassirnya
yang dipengaruhi oleh ilmu, pengetahuan, dan kondisi sosial-budaya-politiknya serta
orientasi penafsirannya.19 Corak-corak penafsiran ini biasanya mengikuti trend
pemikiran atau trend intelektualisme yang berkembang saat itu. Satu trend pemikiran
dengan trend pemikiran yang lain sangat berkaitan.20

gandum yang berpegang ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia memiliki wacana yang luas terhadap
peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya. Ia menempuh pendidikan formal di Sekolah Tinggi
Hakim Agama pada tahun 1920, kemudian di Eropa menjadi imam ekspedisi ilmiah dan Atase Agama
Kedutaan Besar Mesir di Roma dan Berlin, Jerman. Sepulang dari Eropa, ia ditunjuk menjadi dosen di
universitas Mesir dan mengajar ilmu Balaghah, Tafsir, dan Sastra Mesir. Di Al-Azhar, ia menjadi guru besar
Filsafat dan Perbandingan Agama pada Fakultas Ushuluddin, lihat Lihat M. Aunul Abied Shah, Amin al Khuli
dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah Biografi Intelektual, (Bandung : Mizan, 2001) h. 131
17
Dalam menjelaskan lawn, Muhammad ‘Ali> Iya>zi> mengutip penjelasan dari Amin al-Khuli, lihat
al-Mufassiru>n H}aya>tuhum wa manhajuhum, (Teheran: Muassasah at-T}iba’ah wa an-Nasyr Wizara>t as\-
S|aqafah wa al-Irsya>d al-Islami>, 1313 H), h.33
18
Amin al-Khu>li>, At-Tafsi>r: Nasy’atuhu Tadarrujuhu Tat}awwuruhu, (Beirut: Da>r al-Kita>b al-
Lubna>ni, 1982), h. 65. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lihat Amin Al-Khuli dan
Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, terj. Khairon Nahdiyyin (Yogyakarta: Adabpress, 2004).
19
Abdulllah Saeed membagi orientasi arus intelektual pada masa klasik yang berpengaruh pada
penafsiran al-Qur’an pada masa berikutnya, yakni orientasi politik-keagamaan, orientasi teologis, orientasi
mistik dan orientasi legal (hukum). Lihat, Abdullah Saeed, Qur’an an Introduction, h. 16-18
20
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa secara tradisional terdapat tiga cabang ilmu pengetahuan
Islam, yaitu Kalam, fikih dan tasawuf. Ketiganya lahir hampir secara sendiri-sendiri tetapi saling terkait. Lihat
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektualisme Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 3
5
Untuk membuat pembagian atau klasifikasi corak penafsiran bukanlah hal
mudah, sebab kita harus mengoleksi seluruh tafsir yang pernah ada di dunia ini. Namun
untuk memudahkan pembahasan, penulis akan mengambil corak-corak penafsiran yang
sudah pernah diklasifikasikan oleh para sarjana al-Qur’an. Pembagian corak-corak
penafsiran ini dilakukan secara arbitrer (semena-mena) tidak didasarkan oleh misalnya
waktu (kronologis munculnya corak tersebut) ataupun lainnya. Dan yang perlu
ditegaskan di sini adalah bahwa setiap pengkaji al-Qur’an memiliki pandangannya
sendiri-sendiri dalam melihat karya tafsir (tafsir sebagai produk). Biasa jadi seorang
pengkaji al-Qur’an menggolongkan kitab tafsir A ke dalam corak A. Namun, pengkaji
al-Qur’an lainnya menggolongkan kitab tafsir A ke dalam corak B. Begitu juga dengan
istilah-istilah yang digunakan dalam mengelompokkan kitab-kitab tafsir tersebut.
Misalnya, Abdullah Saeed menggolongkan kitab tafsir Fi Z|ila>l al-Qur’an
karya Sayyid Qutb ke dalam corak penafsiran sosial-politis (Sosio-political exegesis). 21
Sedangkan Mossimo Campannini menggolongkan kitab tafsir Fi Z|ila>l al-Qur’an ke
dalam corak penafsiran yang radikal (Islamic Radical Exegesis).22 Dan tentu, masih
banyak contoh yang lainnya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila muncul
beragam kategori atau pengelompokkan, sebab setiap pengelompokan memiliki
alasannya masing-masing. Dan tentu saja, setiap pengelompokkan masih bisa
dipertanyakan ulang, direview dan dikritik. Toh, pengelompokan tersebut juga
merupakan produk pimikiran seseorang sesuai dengan semangat zamannya.23
Dalam makalah ini akan dijelaskan corak-corak penafsiran dan setiap corak—
agar lebih fokus—akan disebutkan awal mula perkembangannya, serta dispute yang
mengitarinya, dan kitab-kitab tafsir yang mewakili coraknya dan sekaligus contoh
penafsirannya:

1) Corak Bahasa (Tafsir Lughawi/Grammatical and Philological Exegesis)


Penafsiran dengan model corak kebahasaan merupakan ragam penafsiran al-
Qur’an pada periode awal. Yang dimaksud dengan kebahasaan di sini adalah
berfokus pada kajian filologi dan ilmu-ilmu gramatikal. Tafsir dengan corak bahasa
(Tafsir al-Lughawi), yang menonjol atau mendominasi biasanya adalah
pembahasan tentang s}araf dan istiqa>q, nah}wu, argumen-argumen dari bahasa
Arab (seperti Syair), uslub-uslub bahasa Arab.24 Kitab tafsir dengan corak bahasa

21
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, h 211.
22
Massimo Campanini, The Basic The Qur’an (English: Routledge, 2007), h. 116. Massimo dengan
tegas menyatakan bahwa kitab tafsir ini menjadi sumber utama tindakan-tindakan kekerasan. Tentu saja,
penyataan Massimo sangat bisa dikritik. Baca juga Massimo Campannini, The Qur’an Modern Muslim
Interpretation, (USA: Routledge, 2011), h. 91-95.
23
Misalnya orientalis John Wansbrough mengemukakan lima tipologi atau corak utama penafsiran
al-Qur’an, yakni penafsiran narrative (dimana penafsiran terhadap ayat diusahakan menjadi jelas dengan
memberikan bahan-bahan ulasan di sekitar konteks turunnya ayat, contoh tafsir karya Sulaiman Ibn Muqatil
(w. 767 H)), legal (tafsir yang sangat ketal dengan nuansa hukum), textual (tafsir yang lebuh forkus kepada
uraian tentang aspek leksikon, gramatika, kosa kata, ragam bacaaan, seperti karya al-Farra (w. 822 M)),
rethorical (yaitu tafsir yang lebih menonjolkan retorika dan sastra al-Qur’an, seperti karya Abu Ubaydah
(w.824)) dan allegorical (jenis tafsir yang mengungkapkan makna simbolik al-Qur’an seperti tafsir sufistik at-
Tustari (w. 898 M). Lihat, John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation, trans. Andrew Rippin, (New York: Promentheus Book, 2004).
6
ini biasanya berjudul tidak jauh dari kata Maja>z al-Qur’an, Ma’a>ni al-Qur’an,
Garib al-Qur’an dan Musykil al-Qur’an.
Corak ini untuk periode awal penafsiran (periode formatif) diwakili (yang
masyhur) di antaranya adalah:
a. Ma’a>ni> al-Qur’a>n karya Abi> Zakariyya Yah}ya Ibn Ziya>d Al-Farra>’
(w. 207 H/822M).
b. Maja>z al-Qur’an karya Abu> Ubaydah Ma’mar Ibn al-Mas\na> (w. 210
H/825 M)
c. Ma’a>ni> al-Qur’an karya Abi> H}asan Sa’id Ibn Mas’ad, terkenal dengan al-
Akhfas (w. 215 H)
d. Gari>b al-Qur’a>n dan Ta’wi>l Musyki>l al-Qur’a>n karya Abi>
Muh}ammad Abdillah Ibn Muslim Ibn Qutaibah (w. 276 H)25

Berikut adalah contoh-contoh model corak bahasa dalam penafsiran al-Qur’an:


Ketika menafsirkan firman Allah La> fa>rid} wa la> bikr ‘awa>nun baina
z}alik (tidak tua, tidak muda, pertengahan antara itu), al-Farra menjelaskan bahwa
wa al-‘awanah laisa bi na’ti lil al-bikr (kata ‘awan bukanlah sifat dari kata al-bikr,
karena yang dimaksud dengan ‘awan (diantara) itu bukanlah yang sudah uzur
(haramah) dan bukanpula yang masih muda (sya>bbah). Kemudian al-Farra juga
menjelaskan kata al-Bikr dengan kasrah huruf ba>’ jika yang dimaksud adalah
muda untuk perempuan, namun jika fathah huruf ba>’nya maka itu perawan untuk
unta.

Ketika menafsirkan La> yarju>na liqa>’ana (orang-orang itu tidak


mengharapkan pertemuan dengan Kami), Al-Farra>’ mengatakan La>
yakha>fu>na liqa>’ana> (mereka tidak takut bertemu Kami). Ini merupakan
bahasa Tihamiyyah (menaruh pengharapan pada dengan rasa takut karena
dosa/kesalahan), oleh sebab itu di ayat lain disebut ma> lakum la tarju>na lillahi
waqa>ran (mengapa mereka tidak takut akan kebesaran Allah), yang artinya la
takhafuna lahu uzmatan (mereka tidak takut akan Kebesaran Allah)

24
Musa’ad Ibn Sulaima>n ibn Nasi>r at-T}ayya>r, At-Tafsi>r al-Lugawi> li al-Qur’a>n al-Kari>m,
(t.t: Da>r Ibn Al-Jauzi, 1422 M), h.
25
Untuk lebih lengkapnya tentang kitab-kitab tafsir klasik yang bercorak bahasa lihat Musa’ad Ibn
Sulaiman ibn Nas}i>r at-T}ayya>r, At-Tafsi>r al-Lugawi> li al-Qur’a>n al-Kari>m, h. 125-127.
7
Corak penafsiran ini memang sangat tekstualis—dalam arti sangat tergantung pada
teks. Corak ini membantu kita untuk menelusuri makna-makna asal sebuah kata
serta penggunaan awalnya dan menentukan posisi kata.

2) Corak Teologis/Kalam
Sejumlah trend pemikiran muncul di kalangan umat Islam pada abad I dan II
Hijriyah. Pada saat itu, trend tersebut belum menjadi semacam mazhab, namun
trend pemikiran ini merefleksikan konsen-konsen intelektual tentang isu-isu penting
pada saat itu. Yang diperdebatkan saat itu adalah isu tentang siapakah sebenarnya
yang disebut dengan muslim, orang beriman, kasih dan pendosa. Pendefinisian
tentang itu semua sangat beragam tergantung pada trend pemikiran dan kelompok
politik-keagamaannya. Persoalan lain yang diperdebatkan pada abad-abad 1 dan
kedua Hijriyah adalah apa yang terjadi bagi seorang muslim yang melakukan dosa
dan kemudian meninggal, akankan dia berakhir di neraka selamanya? Apakah
perbuatan manusia sebelumnya ditentukan oleh Tuhan? Apakah manusia bebas
memilih antara yang benar dan salah. Di antara mereka menjawab kehendak bebas
(free will), sedangkan sebagian yang lain menjawab kehendak Tuhan. Tiga aliran
utama teologi muncul dalam perdebatan itu, yakni Mu’tazilah, Asy’ariyah dan
Tradisionalis. Mu’tazilah adalah aliran rasionalis yang berorientasi dan berargumen
tentang free will (kehendak bebas), sedangkan tradisionalis berposisi dan
menegaskan tentang kehendak Tuhan. Sedangkan Asy’ariyah berposisi di antara
kedua aliran tersebut.26
Aliran teologis inilah kemudian memberikan warna dalam pemikiran-
pemikiran sejumlah tokoh berikutnya dalam menafsirkan al-Qur’an, yang disebut
dengan tafsir teologis/kalam. Tafsir teologis adalah satu bentuk penafsiran al-
Qur’an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu,
tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela
sudut pandang teologis tertentu. 27 Sehingga dalam pembahasan model
penafsiran ini lebih banyak membicarakan tema-tema teologis
dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur’an. Pendeknya, tafsir
teologis adalah tafsir yang muatannya mengandung suatu kepentingan
subjektifitas penafsir yang sangat mencolok. Dalam perkembangannya, bias
ideologi dari beberapa aliran yang ada pada waktu itu sudah muncul, seperti
Sunni, Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabbariyah, dan Qadariyah. Sehingga
kebenaran tafsir diukur sesuai dengan aliran teologis tertentu yang cenderung

26
Abdullah Saeed, Qur’an an Introduction, h. 16
27
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: Ponpes LSQ Ar-Rahmah,
2012), h. 131-132.
8
mengenyampingkan aliran lainnya. Akibatnya, produk tafsir ketika itu tidak
bisa terlepas dari almameter penafsirnya.28
Tentu saja penafsiran yang semacam ini banyak mendpaat kritikan dari para
sarjana muslim, seperti Manna>’ al-Qat}t}a>n. Dia mengatakan bahwa itulah implikasi
dari pemahaman yang cenderung subjektif tanpa memperhatikan maksud dari teks. Al-
Qat}t}an juga menambahkan bahwa penafsiran tersebut cenderung memberikan celah
yang luas bagi para penafsir untuk dengan sesuka hati menafsirkan teks.29
Berikut adalah beberapa contoh tafsir teologis:
a. Fakhruddin Ar-Ra>zi> (w. 1209 M) dalam Mafa>ti>h} al-Ghaib. Ketika
menafsirkan surah al-Fatihah ayat ke-6 dan 7
‫ِذ‬ ‫ِق ِص‬ ‫ِا ِد‬
‫ َر اَط اَّل يَن َأنَعْم َت َعَلْيِه ْم َغيِر اْلـَم ْغُضْو ِب َعَلْيِه ْم‬، ‫ْه َنـ ــا الِّص َر اَط الـُمْس َت يَم‬
‫َو َال الَّض اِّليْـَن‬
Al-Razi memahami ayat tersebut sebagai legitimasi atas diangkatnya Abu Bakar
sebagai khalifah pertama. Melalui ayat tersebut, Abu Bakar dianggap sebagai
satu-satunya pihak yang layak untuk menggantikan Muhammad SAW. dan itu
adalah sebuah petunjuk langsung dari Allah.
Tanpa diberi penjelasan lebih lanjut, hal tersebut sudah lebih dari cukup
untuk menunjukan betapa terlihatnya tendensi al-Razi untuk membela sektenya
melalui penafsiran Quran. Tampak sekali dalam penafsirannya yang terkesan
menyambung-nyambungkan bahwa dalam menafsirkan ayat tersebut, tujuan al-
razi bukan hanya untuk memahami ayat tersebut, tetapi untuk membela sekte.
Atau bahkan justru total membela sekte dan menghilangkan unsur pemahaman
ayatnya. Meskipun pengaruh ideologi adalah sebuah hal yang niscaya dalam
menafsirkan Quran—yang sering disebut sebagai horison penafsir—tetap saja
hal ini keterlaluan.
b. Az-Zamakhsyari (w. 538 H) dalam al-Kasya>f ‘an H}aqa>’iq at-Tanzil wa
‘Uyu>n al-Aqa>wil fi Wuju>h at-Ta’wi>l menafsirkan bahwa ayat 22-23 surah
al-Qiya>mah, wuju>hun yaumaidin na>z\irah ila> rabbiha na>z\irah (wajah-
wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannyalah mereka
melihat), dipahami tidak secara literal tetapi secara kiasan bahwa melihat di situ
bukan berarti melihat dengan mata telanjang. Itu adalah ungkapan simbolik
betapa bahagianya seorang mukmin pada saat itu. Na>z\irah oleh Zamakhsari
juga diartikan dengan ar-raja (mengharap). Sebenarnya, ayat ini berbicara
tentang kemampuan manusia untuk melihat Allah pada hari kiamat. Namun, al-
Zamakhsyari dalam menafsirkan ayat ini dipengaruhi oleh salah satu prinsip
mazhab Mu’tazilah yang dianutnya, yaitu prinsip at-tauhid. Dalam prinsip al-
tauhid kaum Mu‟tazilah menolak adanya tajsim (penyerupaan terhadap sifat
makhluk). Hal ini berimplikasi pada penafsirannya bahwa melihat Tuhan adalah
suatu hal yang mustahil. Sehingga jika lafaz na>z\irah dimaknai sebagai
“melihat”, tentu penafsiran semacam ini akan menyalahi dan merusak paham at-
tauhid yang ia yakini. Karena itulah, kata nazhirah yang bermakna melihat, ia
28
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 22
29
Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}is\ fi> Ulu>m al-Qur’an>, (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th), h.
9
palingkan maknanya kepada makna lain, yaitu al-raja (mengharap). Dengan
penafsiran seperti ini, ia telah menafsirkan ayat al-Qur‟an tanpa menyalahi
prinsip dasar mazhab mu‟tazilah.30

3) Corak Sufi
Banyak sebutan untuk corak penafsiran ini. Ada yang menyebutnya dengan
corak sufi, mystical exegesis, allegorical exegesis, tafsir Isyari (allusion), tafsir
bat}ini, tafsir esoteris, dan juga ta’wil.31 Kemunculan corak penafsiran ini seiring
dengan lahirnya sufism, atau mistisism Islam sebagai sebuah gerakan yang terpisah
pada abad II Hijriyah atau VIII M, yang secara bertahap, berkembang menjadi
ordo-ordo sufi yang berada di seluruh wilayah muslim. Berbeda dengan kelompok
muslim lainnya saat itu, para sufi cenderung akomodatif terhadap perbedaan di
kalangan masyarakat muslim dan juga lebih menerima tradisi-tradisi agama lain.
Pandangan-pandangan ini, dan interpretasi-interpretasi esoterik sufi, biasanya tidak
populer di antara kalangan sarjana non-sufi dan biasanya mengakibatkan persekusi 32
terhadap pimpinan sufi tersebut.33
Muhammad ‘Ali> Iya>zi> mencoba mendefinisikan penafsiran corak sufi.
Menurutnya, penafsiran corak Sufi adalah corak penafsiran yang dilakukan oleh
para Arif-Sufi melalui rasa (zauq) dan sentimen (rasa yang dalam) yang dibangun
melalui latihan batin (riyad}ah) sehingga mampu menyingkap tirai batin dan hati
tanpa harus bergubungan dengan sisi external teks. Metode para sufi itu berbicara
dengan lisan-batin dan meninggalkan aspek eksternal yang biasanya digeluti oleh
orang awam. Para sufi itu menafsirkan al-Qur’an dengan secara Isyarat bukan tafsir.
Dari penjelasan ini, bahwa ada dua tafsir al-Qu’an yakni tafsir baya>ni
sebagaimana yang dilakukan pada ulama z\ahir dan tafsir bat}ini> sebagaimana
yang dilakukan oleh ahl- kasyf, ahlu h}aqiqat dan ini juga ilmu dari Allah sebab
mereka menyatakan bahwa mereka memperileh dengan metode kasyaf dan
syuhu>d dari Rasulullah atau dari Allah sendiri.34
Mistisisme Islam atau sufi muncul sebagai reaksi atau gerakan tandingan atas
komunitas muslim yang lebih luas yang lebih menekankan pada aspek kehidupan
30
Dara Humairah dan Khairun Nisa, Unsur I’tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf (Kajian Kritis
Metodologi Al-Zamakhsyari), makalah disampaikan pada Call for Paper FUAH IAIN Purwokerto, h. 12
31
Kata ta’wil muncul beberapa kali di dlaam al-Qur’an yang tidak hanya berkaitan dengan
penafsiran al-Qur’an tetapi juga berkaitan dengan penafsiran yang buku al-Qur’an, seperti mimpi,
sebagaimana dalam QS. Yusuf. Diskusi tentang perbedaan antara tafsir dan ta’wil memang sangat panjang.
Namun secara umum, ta’wil merupakan textual hermeneutics berdasarkan pada akal (reason) yang merdeka
dan pendapat personal yang otoritatif. Dalam tradisi Islam, Ta’wil merupakan penafsiran esoterik atau
spekulatif. Dalam sistem sufism, karya-karya tafsir esoterik ini berasal dari refleksi terhadap kata-kata dan
konsep-konsep kunci. Mereka menerapkan multilayered textual meaning (makna tekstual yang berlapis-lapis)
sebagai prinsip penafsirannya. Pendekatan ini memandang kata-kata dan konsep-konsep kunci, bersama
spektrum makna, dari eksoteris ke esoteris, lihat Anna M. Gade, The Qur’a>n: an Introduction, (England:
Oneworld Oxford, 2010), h. 88 dan 96.
32
Pesekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan
disakiti, dipersusah, atau ditumpas, lihat KBBI, http://kbbi.web.id/persekusi.
33
Abdullah Saeed, Qur’an an Introduction, h. 16-17.
34
Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassirun, h. 60.
10
material, politis dan berfaksi (berkelompok). Para tetokoh penafsiran sufi ini
menekankan aspek spiritual Islam ketimbang dimensi politik, hukum dan duniawi.
Para sufi seringkali lebih suka mengekplorasi pertanyaan-pertanyaan terkait
pengetahuan tentang Tuhan, alam, eksistensi manusia dan hubungannya dengan
ketuhanan. Mereka mempercayai bahwa kiasan-kiasan mistik di dalam ayat-ayat al-
Qur’an sangat terkait dengan kondisi spiritual manusia dan sangat tidak mungkin
dipahami melalui pembacaan yang superfisial atau melalui kacamata hukum atau
teologi. Jadi, di dalam corak sufi ini, makna-makna spiritual dan batin al-Qur’an
menjadi perimbangan utama. Tokoh utama sufi pada periode awal adalah Hasan al-
Basri (w.110/728), Ja‘far al-S}a>diq, Sahal Ibn Abdullah at-Tustari (w.283/896) dan
Sulami (d.412/1021). Fokus pada spiritualitas di dalam tafsir sufi ini merupakan
bukti nyata munculnya karya-karya tafsir yang bercorak sufistik, seperti karya As-
As-Sulami dengan judul Haqaiq at-Tafsir. Tokoh sufi terkenal lainnya yang juga
memiliki kitab tafsir bercorak sufitik adalah Ibn Arabi (w.638/1240), yang terkenal
dengan Shaykh al-Akbar. Ibn Arabi termasuk sufi yang memberikan kontribusi
besar terhadap tradisi penafsiran corak sufistik. 35 Berikut adalah tiga contoh
penafsiran sufistik:
a. Imam Ja’far al-S}adiq. Ketika menafsirkan kata Bismi (atas nama), ia
mengatakan bahwa ba>’ adalah baqa’, si>n adalah asma> (nama-nama) dan
mi>m adalah mulk (kerajaan). Keimanan seorang mukmin—zikirnya melalui
keabadiannya. Seorang hamba salik—zikirnya melalui nama-namanya. Dan
orang yang alim lulus dari kerajaan melalui rajanya.
b. At-Tustari. Ketika menafsirkan QS. Ar-Rum [30]: 41, zahara al-fasadu fi al-
barri wa al-bahri (Telah tampaklah kerusakan di darat dan laut), At-Tustari
mengatakan bahwa Allah membuat bumi/daratan ini sebagai ibarat anggota
tubuh manusia, sedangkan lautan itu sama seperti hati manusia. Lautan, yakni
hati memiliki manfaat yang besar (a’amm naf’an) dan juga lebih berbahaya
(akhtar khat}aran).36
c. An-Naisaburi. Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]:67, wa iz qala musa li
qaumihi innallaha ya’murukum an tazbahu baqarah (ketika Musa berkata
kepadakaumnya, sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk
mmenyembelih sapi). Ayat ini oleh an-Naisaburi dita’wilkan begini:
menyembelih sapi merupakan isyarat untuk ‘menyembelih” nafsu binatang
(isyaratan ila zabhi an-nafs al-bahimah), karena sesungguhnya di dalam
‘penyembelihan’ nasfu tersebut akan hidup hati yang bersifat ruhaniyyah, dan
ini adalah al-Jihad al-Akbar (mu>tu> qabla an tamu>tu>).37

Sejumlah ulama masih memperselisihkan validitas corak penafsiran ini.


Sebagai usaha kehati-hatian, Ali> As}-S}a>bu>ni>, misalnya membuat kriteria-
kriteria atau ciri-ciri tafsir corak sufi yang bisa diterima: 1) adanya konsistensi atau

35
Abdullah Saeed, h. 206.
36
Tafsir at-Tustari telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, lihatTafsi>r at-Tustari>, terj.
Annabel Keeler dan Ali Keeler, (Canada: Royal Aal al-Bait Institute for Islamic Thought, 2011), h. 151.
37
Muh}ammad Abdul Az\i>m As-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid 2
(Kairo: Da>r al-Hadis, 2001) h. 80.
11
hubungan dengan makna zahir, 2) tidak adanya klaim bahwa yang dimaksud adalah
satu-satunya makna yang benar, 3) pentakwilannya tidak terlalu jauh sehingga
terkesan bodoh (tidak nyambung), 4) tidak bertentangan dengan syariat dan akal, 5.
Tidak mengganggu (mengacak-acak) pemahaman manusia.38 Sedangkan Az-Zarqani
menambahi satu kriteria lagi, yakni 6) harus ada syahid (bukti-bukti) syar’i untuk
menguatkan penafsiran.39

4) Corak Fiqhi (legal exegesis)


Pada awal tahun 200 H, mazhab pemikiran fiqih awal juga berkembang. Ada
lima mazhab yang sampai sekarang masih ada adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali. Mazhab Hanafi didirikan oleh Abu Hanifah (w.150/767), yang hidup di
Irak. Mazhab Hanafi ini memainkan peran penting terutama dalam hal penggunaan
akal dalam menafsirkan hukum. Sampai sekarang, mazhab Hanafi termasuk
memiliki pengikut yang banyak terutama di India, Asia Tengah dan Turki. Berbeda
dengan Abu Hanifa, Malik Ibn Anas (w.179/795), yang kepada mazhab Maliki
disandarkan, tidak begitu menekankan pada penggunaan akal dalam memahami
huku, Islam, namun menyandarkan secara penuh terhadap teks al-Qur’an dan hadis.
Malik ibn Anas juga mementingkan praktik/tradisi orang-orang Madinah di mana
Nabi dan muslim awal hidup di sana. Sedangkan Mazhab Syafii didirikan oleh
Muhammad ibn Idris al-Shafi‘i (w.204/820), seorang ulama yang telah melanglang
buana untuk mencari pengetahuan/ilmu. Imam Syafi’i mengembangkan sejumlah
prinsip-prinsip hukum Islam terkait dengan pertanyaan seperti penafsiran teks dan
otoritas sunnah. Kemudian Ahmad ibn Hanbal (w.240/855), yang kemudian
mendirikan mazhab Hanbali adalah murid dari Imam Syafii. Ahmad Ibn Hanbal
terkenal sebagai ahli fiqih dan pengumpul hadis. Hanbali sangat ketat dan
pergegang teguh pada teks (Qur’an dan sunna) dan pendapat sahabat dalam
menafsirkan hukum. Para pengikut Hanbali seringkali dinilai literalis dan agak
intoleran kepada mereka yang berbeda pendapatnya.40 Mazhab-mazhab fiqih di atas
kemudian berpengaruh atau mewarnai penafsiran-penafsiran al-Qur’an pada
periode-periode berikutnya.
Tafsri fiqhi adalah tafsir al-Qur’an yang di dalamnya banyak sekali
menjelaskan tentang hukum-hukum cabang (al-Ah}kam al-Far’iyyah) hingga
nuansa hukumnya itu menjadi dominan, meskipun tafsir ini juga menjelaskan ayat-
ayat al-Qur’an secara umum. Tafsir fiqhi ini juga bermacam-macam tergantung
pada mazhabnya. Para fuqaha’ Syiah menafsirkan al-Qur’an yang memuat hukum-
hukum fiqih mazhabnya. Khawarij juga memiliki kitab fiqihnya sendiri, begitu juga
dengan Dhahiriyyah, dan Ahlussunnah. 41
Berikut adalah beberapa contoh tafsir yang bercorak fiqhi:42

38
Muh}ammad Ali As-Sa>buni>, At-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Ala>m al-Kutub,
1985), h. 188
39
Muh}ammad Abdul Az\i>m As-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfa>n, jilid 2, h. 68
40
Abdullah Saeed,
41
Musa> La>hi>n Sya>hi>n, Al-La’al>i al-Hisa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Da>r as-Syuru>q,
1968), h. 333.
42
Ibid, h. 335-336
12
a) Tafsir al-Khams Mi’ah Ayah fi al-Amr wa an-Nahy wa al-Halalwa al-Haram,
karya Muqatil Ibn Sulaiman (w. 150 H). Hukum-hukum yang disebutkan di
dalam kitab ini tidak berdasarkan pada tartib mushaf.43
b) Ah}ka>m al-Qur’a>n karya Abu Bakr Ahmad ibn Ali ar-Razi atau yang
terkenal dengan al-Jas}s}a>s} (305-370 H). Kitab tafsir ini merupakan kitab
penting dalam tafsiri fiqih Hanafiyyah. Kitab ini ditulis berdasarkan tartib
mushaf dan tafsir ini ditulsi berdasarkan asas pengkaitkan ayat-ayat al-Qura’n
dengan hukum-hukum fiqih dan banyak membahasa persoalan-persoalan fiqih
furuiyyah.
c) Ah}kam al-Qur’a>n, karya Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Ali At-
Tabari, yang terkenal dengan nama Al-Kaya> al-Hara>si> (450-504 H). Kitab
ini merupakan kitab tafsir corak fiqhi yang cukup penting dalam mazhab Imam
Syafi’i.
d) Ahkam al-Qur’an karya Muhammad Ibn Abdillah Ibn Muhammad al-Andalusi
atau yang terkenal dengan Ibn al-‘Arabi (468-543 H). Kitab ini menafsirkan
seluruh ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan banyak membahas ayat-ayat
hukum.
e) Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Imam Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi
Bakr Ibn Farh al-Ansari al-Khuzraji al-Andalusi atau terkenal dengan al-Qurtubi
(w. 671 H).
Berikut adalah contoh penafsiran bercorak fiqhi dari kitab Ahkam al-Qur’an karya
al-Jas}s}a>s ketika menafsirkan QS.al-‘Ara>f [7]:31, ya> bani> adama khuz\u
zi>natakum ‘inda kulli masjidin (wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang
indah di setiap (memasuki) masjid).
“Ayat ini menunjukkan kewajiban menutup aurat dalam shalat. Para ulama
berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Hanifah, Zafar, Abu Yusuf,
Muhammad Ibn al-Hasan dan al-Hasan Ibn Ziyad berkata Ayat ini
menunjukkan kewajiban (mengenakan pakaian) dalam shalat, jika
ditinggalkan maka rusak (baca: batal) shalatnya......”
“Ayat ini menunjukkan bahwa mengenakan pakaian adalah sunnah ketima
masuk ke masjid dengan mengenakan pakaian yang bersih. Pernah
diriwayatkan dari Nabi Muhammad, sesungguhnya Nabi berkata,
disunnahkan untuk mengenakan pakain bersik ketika Jumat dan Hari Raya),
sebagaimana diperintahkan untuk mandi pada hari raya (fitri maupun adha)
dan mengenakan wewangian.”44

5) Corak Sosial-Politik-Pergerakan (Adab-ijtima’i-siyasi-haraki)


Seiring dengan munculnya modernisasi di mana ruang-ruang publik (seperti
sosia-politik dan pergerakan) menjadi konsen bersama, maka muncullah tafsir
dengan nuansa sosial dan politik yang kental. Tafsir corak ini adalah tafsir yang
berisi tentang perilaku-perilaku manusia, lingkungan dan komunitasnya serta sikap-

43
Muhammad Ibn Bakar Ibrahim Al Abid menyebutkan bahwa Muqatil Ibn Sulaiman termasuk
tokoh awal yang menulis kitaf tafsir bernuansa fiqh, Dira>sa>t fi> Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
(Madinah: tp, tth) h. 95
44
Al-Imam al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n, Jilid ke-3, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993), h. 49-51.
13
sikap sosial dan politik lainnya. Dalam tafsir ini, perilaku manusia dianalisis dan
kemudian diarahkan dengan pengunakan piranti-piranti keilmuan sosial, sejarah,
politik dan budaya.45
Fahad Abdurrah}man ibn Sulaima>n ar-Ru>mi> memberikan contoh tafsir
dengan corak ijtima’i, yakni Tafsir al-Mana>r karya Muh}ammad Abduh, Tafsir
al-Maraghi karya Ahmad Must}afa al-Maraghi, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya
Mah}mud Syaltut, Sofwat al-Asa>r wa al-Mafa>him karya Abdurrah}man Ibn
Muh}ammad Ad-Dawsari dan Fi> Z|ila>l al-Qur’a>n karya Sayyid Qutb.46
Menurut Abdullah Saeed, tafsir corak politik dikembangkan oleh sarjana
Mesir, Sayyid Qutb (w. 1966). Qutb adalah pemimpin Ikhwanul Muslimin, salah
satu gerakan politik Islam di abad 21. Dia dieksekusi mati pada tahun 1966 oleh
otoritas setempat. Qutb masih menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang mencari
hubungan antara Islam dan negara. Pendekatan tafsir yang dilakukan oleh Qutb
cukup bernuansa politik dan sejumlah pendapatnya kontroversial. Diantara
pendapat yang kontroversial adalah bahwa banyak aspek kehidupan modern
termasuk muslim modern, adalah jahiliyyah. Dia juga mengemukakan harga mati
bahwa Islam harus menjadi petunjuk dan kekuatan politik-negara yang didukung
oleh mayoritas umat Islam.47
Ketika menafsirkan QS. Al-Kafirun [109]:1-5, Sayyid Qutb mengatakan di
dalam tafsirnya: Islam itu berbeda dengan Jahiliyyah. Salah satu cara untuk
memisahkan keduanya adalah dengan cara menghilangkan Jahiliyyah secara
sempurna dengan menggantikan semua hukum-hukumnya, nilai-nilainya, standar-
standarnya dan konsep-konsepnya yang bertentangan dengan Islam. Langkah
pertama yang harus diambil dalam hal ini adalah dengan cara dakwah kepada
orang-orang bahwa memeluk Islam itu berarti berpisah dengan Jahiliyyah.... Setiap
persetujuan atau hubungan antara dia dengan Jahiliyyah pati tidak akan mungkin
muncul kecuali dan hingga orang-orang jahiliyyah itu masuk Islam secara
sempurna: tidak ada (hanya sekadar) pembauran, tidak ada pengukuran yang
separuh-separuh...Basis utama personalitas seseorang yang mengajak orang lain
untuk masuk Islam adalah.....keyakinan dia yang kuat untuk berbeda secara radikal
dengan mereka....tugasnya adalah untuk mengarahkan mereka sehingga mereka
bisa mengikuti langkahnya tanpa kecurangan atau kepura-puraan. Jika gagal
dalam hal ini, dia harus menarik diri secara sempurna, meneliti dirinya dari
kehidupannya dan secara terbuka menyatakan: Anda memiliki agama anda sendiri
dan aku memiliki agamaku.”48
Untuk di Indonesia, Islah Gusmian menggolongkan beberapa tafsir masuk
dalam corak atau nuansa ini, yakni Tafsir al-Hijri karya Didin Hafiuddin, Al-
Qur’an dan Tafsirnya, Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dan sebagainya.
49

45
Muh}ammad ‘Ali> Iya>zi>, al-Mufassiru>n, h. 53.
46
Fahad Ibn Abdurrah}man Ibn Sulaima>n ar-Ru>mi, Bu>h}u>s fi> Us}u>l at-Tafsi>r wa
mana>hijuh, (Riya>d: Maktabah at-Taubah, 1413 H), h. 105.
47
Abdullah Saeed, The Qur’an an Introduction, h.212.
48
Abdullah Saeed, The Qur’an an Introduction, h. 212
49
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h.260.
14
6) Corak Sastrawi (Literary) atau Tafsir al-Adabi>.50
Corak Penafsirsan Sastrawi (literary exegesis) ini bisanya dihubungkan oleh
tokoh perintisnya, yakni Amin Al-Khuli (w. 1966 M). Amin Al-Khuli memandang
bahwa al-Qur’an merupakan kitab sastra terbesar ( Tujuan metode penafsiran sastra
ini adalah menguji dan menemukan makna al-Qur’an secara utuh yang jauh dari
kepentingan individu maupun ideologi. Al-Khuli mengusulkan dua tahap untuk
metode ini, yakni dirasah ma haula al-Qur’an dan dirasah ma fi al-Qur’an nafsih.
Yang pertama berkaitan dengan background turunnya al-Qur’an, awal pewahyuan,
proses, perkembangan, dan sirkulasi masyarakat Arab sebagai objek pewahyuan.
Aspek sosial-historis, politik dan geografi juga menjadi amatan yang penting.
Kajian yang kedua difokuskan pada investigas setiap kata secara individu,
penggunaan kata tersebut dan perkembangannya, susunan kalimat berdasarkan tata
bahasa Arab dan juga balaghah.51
Dua hal ini dilakukan untuk menemukan makna yang tepat, ma’na dan
signifikansi (maghza). Setelah itu, al-Khuli juga menyarankan agar ada langkah
berikutnya, yakni menerapkan metode tematik,52 mengumpulkan ayat-ayat atau
kata-kata yang setema sesuai dengan tartib al-nuzul-nya. Setelah itu, memahami
dalalat al-fadz dengan menyadari bahwa al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab.
Karena Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam al-Quran, maka untuk
memahami arti kata-kata yang termuat dalam al-Quran, kata-kata tersebut
digunakan pada saat wahyu digunakan dalam berbagai penggunannya, baik hakiki
atau majazi. Dan yang terakhir memahami pernyataan-pernyataan yang sulit dalam
naskah susunan al-Quran untuk mengetahui maksudnya, baik bentuk lahir maupun
semangat teksnya.
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana hasil corak
penafsiran sastrawi ala Amin Al-Khuli, berikut akan diberikan contohnya. Di dalam
kitabnya, yang berjudul Min Hadi al-Qur’an Misaliyya la Mazhabiyya, yang bersal
dari seri serian di Mesir, al-Khuli memberikan contoh melalui analisis sejumlah
yaat al-Qur’an yang berbicara tentang harta. Di antaranya adalah Q.S. al-Baqarah
[2]: 143, 251, 254 dan 268; QS. Al-Isra’ [17]:7; Q.S. Asy-Syura [42]:19; QS. Az-
Zukhruf [43]:32; QS. Al-Ah}qaf [46]:19 dan QS. Al-H}adi>d [57]:7. Dari ayat-ayat
tersebut, al-Khu>li mengambil kata al-Qard (pinjaman bebas tanpa batas waktu
yang ditentukan) atau qard}an hasanan, sebagai tema umumnya, yang secara
leksikal berbeda dengan dayn (hutang). Kata al-Qard atau qard hasanan seringkali
digunakan did alam al-Qur’an seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]:245’ QS. Al-
Hadid [57]:11 dan 18; dan QS. Al-Mujadilah [58}]:17 dan sebagainya, untuk
merepresentasikan harta atau bahkan kekayaan. Dengan menggunakan metode ini,
al-Khuli mulai menafsirkan bahwa qard hasanan yang merepresentasikan istilah
50
J.J.G. Jansen menyebut corak ini dengan Tafsir al-Adabi-Filologi, Lihat, JJG. Jansen, Diskursus
Tafsir Modern, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 89. Fahad Abdurrahman ibn Sulaiman ar-Rumi
menyebutnya sebagai Tafsir Baya>ni>, lihat Fahad Abdurrahman ibn Sulaiman ar-Rumi, Buh}us\ fi> Us}u>l
at-Tafsi>r, h. 106.
51
M. Nur Kholis Setiawan, “Literary Interpretation of the Qur’a>n: A Study of Ami>n al-Khuli>’s
Thought” dalam Jurnal al-Jamiah, No. 61/1998, h. 93-94.
52
Ibid, h. 94.
15
umum untuk kekayaan, mengimplikasikan sosial responsibility seseorang atas harta
yang diperolehnya.53
Corak penafsiran ini kemudian diteruskan oleh muridnya dan sekaligus
istrinya Amin al-Khuli, yakni Aisyah Abdurrahman Bintu As-Syati’ dengan
sejumlah karya-karyanya seperti at-tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, Maqal fi
Insan: Dirasah Qur’aniyyah, dan lain-lain.54

7) Corak Feminis
Selama paruh kedua abad ke-21, para mufassir perumpuan (muslim feminist
exegesis) mulai muncul. Mereka mulai mengkritik produk tafsir-buatan mufassir
laki-laki. Mereka berargumen bahwa tafsir-tafsir tersebut bias, penuh dengan
kepentingan laki-laki. Berbeda dengan para feminis yang sekoler, feminis muslim
tidak menolak Islam. Mereka merujuk al-Qur’an dan Sunnah, namun perlu
ditafsirkan ulang lagi. di antara mereka adalah Qasim Amin (w. 1908), Huda
Sha’rawi (w. 1947), Nabawiyya Musa (w. 1951), Malak Hifni Nasif (w. 1918),
Fatima Mernissi, Amina Wadud and Asma Barlas.55
Salah satu contoh karya Asma Barlas yang memfokuskan karyanya untuk
menguji cara-cara di mana muslim ‘menafsirkan dan menghidupkan” ajaran al-
Qur’an. Khususnya dia menghasilkan sejumlah karya yang menguji tradisi
patriarkhal dalam penafsiral al-Qur’an. Barlas berargumen bahwa gagasan
ketidaksetaraan dan patriarkhi dipaksakan untuk membaca al-Qur’an supaya bisa
menjustifikasi struktur sosial yang ada. Di dalam bukunya: ‘Believing Women’ in
Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an, Barlas menguji ulang
sejumlah persoalan dan menghasilkan kesimpulan bahwa ajaran-ajaran di dalam al-
Qur’an tidaklah mendukung tradisi patriarkhi, namun mendukung egaliterian.56
Contoh lainnya adalah Amina Wadud yang mengkritik pembagian waris
untuk laki-laki dan perempuan, 2:1. Menurutnya penafsiran ini merupakan rumusan
matematis yang tidak benar. Sebab setelah ia teliti satu persatu, ternyata rumuasan
2:1 hanya merupakan salah satu ragam model pembagian waris laki-laki dan
perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu anak perempuan, maka
bagiannya sepruh dari keseluruhan harta waris. Oleh sebab itu, Amina Wadud
mengusulkan agar di dalam pembagian waris perlu mempertimbangkan asas
manfaat dan keadilan. Selain waris, Amina Wadud juga menawarkan konsep
nusyuz secara lain, bahwa nusyuz itu tidak hanya terjadi bagi perempuan tapi juga
laki-laki dan nusyuz merupakan kondisi tidak harmonis (a state of disorder betwee
the merried couple)57

8) Corak ‘Ilmi> (scientific exegesis)


53
Lihat M. Nur Kholis Setiawan, “Literary Interpretation of the Qur’a>n: A Study of Ami>n al-
Khuli>’s Thought”, h. 95.
54
Lihat Fahad Ibn Abdurrah}man Ibn Sulaima>n ar-Ru>mi, Bu>h}u>s fi> Us}u>l at-Tafsi>r wa
mana>hijuh, h. 110
55
Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-First Century, A Contextualist Approache,
(New York: Routledge, 2014), h. 39
56
Abdullah Saeed, The Qur’an an Introduction, h. 213.
57
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi..., h. 161
16
Tafsir yang bercorak sains ini adalah tafsir yang menilai temuan-temuan
ilmiah menurut al-Qur’an.58 Atau dengan bahasa lain, tafsir yang mencoba
mengkonfirmasi temuan-temuan ilmiah dengan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu,
tafsir ilmi ini dibangun di atas asumsi bahwa semua penemuan sains modern telah
diantisipasi oleh al-Qur’an dan banyaknya referensi yang membingungkan tentang
sains tersebut bisa ditemukan di dalam ayat-ayat al-Qur’an .59
Pertanyaan tentang bagaimana al-Qur’an dan sains saling berhubungan telah
menjadi subjek perdebatan yang terus menerus terjadi. Sejumlah sarjana muslim
telah membahas hal ini sejak awal-awal tahun Hijriyah, dan kontroversi tersebut
semakin intensif dan masif di era modern,60 yakni abad ke-18 M.
Carak penafsiran ini kemudian sangat berpengaruh di abad ke-21 ini,
meskipun gagasan awalnya bisa ditemukan pada periode pra-modern. Misalnya
ulama Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111M) bisa dinilai sebagai penggagas “tafsir
‘ilmi”. Hal ini terlihat dari pendapatnya yang mengatakan bahwa al-Qur’an memuat
seluruh pengetahuan.61 Jauh sebelum itu, Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) juga telah
mengekspresiakan gagasan-gagasan saintifik di dalam al-Qur’an. Ar-Razi mencoba
mendeteksi pengetahuan-pengetahuan astronomi dalam al-Qur’an.62
Tampaknya, bentuk awal tafsir ilmi pada abad ke-20 berusaha untuk
merekonsiliasikan nilai-nilai al-Qur’an dengan pengetahuan sains. Namun ada juga
sejumlah ulama yang mengkritiknya.63 Di antara yang mengkritik adalah
Muhammad Rashid Rida, Amin Al-Khuli, Mahmud Syaltut dan Sayyid Qutb.
Penolakan mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Kurang tepat mengatributkan kosa kata-kosa kata al-Qur’an dengan makna-
makna modern.
2) Tafsir corak ini mengacuhkan konteks kata atau frase di dalam nas al-Qur’an
dan secara umum asbab an-Nuzul.
3) Tafsir corak ini mengacuhkan fakta bahwa untuk memahami al-Qur’an sesuai
dengan pemahaman audien pertama, maka kata-kata di dalam al-Qur’an harus
dikonfirmasi dengan cakrawala atau horison bahasa dan intelektuan orang Arab
zaman dahulu, pada masa Nabi Muhammad,
4) Pengetahuan sains dan teori sains tidak selalu sempurna dan selesai. Oleh sebab
itu, turunan dari pengetahuan dan teori saintifik pada dasarnya memberikan efek
pembatasan pada validitas ayat-ayat tersebut hanya pada waktu dimana temuan
sains itu terjadi.

58
Amin Al-Khuli, at-Tafsir., h. 49.
59
Routraud Wielandt, “Exegesis of Qur’an : Eraly Modern and Contemporery” dalam Encyclopedia
of teh Qur’an, ed. Jane Dammen McAuliffe, (Leiden: Brill, 2001) Vol. 2, h. 124.
60
Bustami Mohamed Khoir, “The Qur’an and Science: The Debate on the Validity of Scientific
Interpretation,” dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 2 No. 2 (2002), h. 21.
61
Abdullah Saeed, The Qur’an an Introduction, h. 210.
62
Routraud Wielandt, “Exegesis of Qur’an : Eraly Modern and Contemporery” dalam Encyclopedia
of the Qur’an, h. 130.
63
Abdullah Saeed, The Qur’an an Introduction, h. 210.
17
5) Yang paling penting lagi adalah adanya kekagalan dalam memahami bahwa al-
Qur’an bukanlah buku sains, namun ia kita agama yang didesain untuk manusia
yang berisi doktrin dan nilai-nilai moral.64
Meskipun ditolak, sejumlah sarjana seperti Ibnu Asyur masih mempercayai
bahwa tafsir ilmi ini bisa dilanjutkan, paling tidak sebagai metode tambahan
khsusunya untuk membuktikan i’jaz al-Qur’an kepada mereka yang tidak
mengetahui bahasa Arab dan mereka yang tidak mau mengapresiasi style keajaiban
al-Qur’an. Dan sampai kini sudah terbukti banyak sekali buku-buku yang
mendiskusikan tentang temuan-temuan saintifik yang dikaitkan dengan ayat-ayat al-
Qur’an.65
Amin al-Khuli memberikan contoh buku-buku atau kitab tafsir yang
membahas tentang hal ini, seperti:
1. Kasyf al-Asrar an-Nuraniyyah al-Qur’aniyyah fi ma yata’allaqu bi al-ajram as-
Samawiyyah wa al-Ardiyyah wa al-Hayawanat wa an-Nabatat wa al-Jawahir
al-Madaniyyah (1880)66 dan Tibyan al-Asrar ar-Rabbaniyyah fi an-Nabat wa
al-Ma’adin wa al-Khawwash al-Hayawaniyyah karya Muhammad bin Ahmad
Al-Iskandariy at-Tabib. Dia merupakan penulis pertama yang berhasil
mempublikasikan karyanya yang menerapkan tafsir ilmi di zaman modern,
yakni menemukan referensi teks al-Qur’an bagi temuan-temuan saintifik
modern.
2. Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh (w. 1905 M)67 Namun, Routraud
Wielandt mencatat bahwa Abduhpun juga menerapkan penemuan-penemuan
modern dalam tafsirnya, sebagaimana ketika ia manafsirkan Jinn sebagai

64
Routraud Wielandt, “Exegesis of Qur’an : Eraly Modern and Contemporery” dalam Encyclopedia
of teh Qur’an, h. 131.
65
Untuk menyebut di antara tokoh-tokohnya adalah Zaglul Najja>r, Harun Yahya dan Ali Mansour
Kayali. Di Indonesia, kita tafsir ilmi ini juga laris manis. Pelopor tafsir Ilmi untuk Indonesia bisa jadi adalah
Achmad Baiquni yang menulis buku al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997). Bahkan Kementerian Agama RI melalui kerjasama antara Lajnah Pentashih al-
Qur’an Badan Litbang dan Diklat dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menerbitkan
beberapa jilid kitab tafsir ilmi (2011) yang diterbikan sesuai dengan tema, seperti Air dalam Perspektif Al-
Qur’an dan Sains (2011), Hewan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains (2012), Penciptaan Manusia dalam
Perspektif Al-qur’an dan Sains (2010), Kiamat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains (2011), Penciptaan Jaga
Raya dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains (2010). Dalam pengantar Tafsir Ilmi Kementerian Agama, Abdul
Djamil menyatakan bahwa menurut pakar, tafsir ilmi bisa menjadi “ilmu kalam baru: yang dapat
memperteguh keimanan manusia modern khusunya di era ilmu pengetahauan dan teknologi seperti sekarang
ini. Kalau dulu para ulama menjelaskan ilmu-ilmu ketuhanan yang menjadi objek ilmu kalam dengan
penekatan filosofis, maka di era modern ini, tafsir ilmi dapat menjadi model baru dalam mengenalkan Tuhan
kepada akal manusia modern. Beberapa penerbit di Indonesia juga menerbitkan ensiklopedia-ensiklopedia
saintifik yang dikaitkan dengan al-Qur’an, seperti Hisham Thalbab et.al., Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an
dan Hadis, terj. Syarif Hade Masya et.al (Jakarta:Bekasi: PT. Sapta Sentosa, 2008). Buku ini terjemahan dari
Al-‘Ijaz al-‘Ilmi fi Al-Qur’an wa as-Sunnah., Baca juga Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta Sisi-sisi Al-
Qur’an yang terlupakan, (Bandung: Mizan, 2014).
66
Routraud Wielandt, “Exegesis of Qur’an : Early Modern and Contemporery” dalam Encyclopedia
of teh Qur’an, h. 130.
67
Amin al-Khuli tidak memasukkan Tafsir al-Manar ke dalam corak ‘ilmi.
18
mikroba dan “burung Ababil yang melempar/mengirim batu untuk menyerang
tentara Abrahah” adalah Allah mengirim penyakit kepada mereka.68
3. Al-Jawahir fi tafsir al-Qur’an al-Karim, karya T}anta>wi> Jauhari (w. 1940
M).

D. Sikap atas Berbagai Corak Penafsiran


Banyaknya corak penafsirnya, di satu sisi mampu memperkaya wawasan kita
dan memberikan beragam alternatif dalam memahami al-Qur’an, namun di sisi lain
juga membuat kita bingung, apalagi jika corak penafsiran tersebut terasa aneh dan
ganjil dalam common sense kita.
Kritik atas corak-corak tersebut memang cukup banyak dan kencang
dilancarkan baik oleh sarjana-sarjana terdahulu maupun kotemporer, terutama corak-
corak teologis, sufistik dan scientifik. Taufiq Adnan Amal dan Samsu Rizal
Panggabean mengkritik keras atas tafsr corak teologis, sufistik dan scientifik.
Penafsiran teologis umumnya telah mendekati al-Qur’an secara atomistik dan parsial
serta terlepas dari konteks kesejarahan dan kesusastraan dalam membela sudut pandang
tertentu.69
Dan bahkan usaha-usaha untuk memaksakan prakonsepsi ke dalam al-Qur’an
masih tetap berlanjut hingga periode modern Islam. Muhammad Abduh yang
menafsirkan Jin sebagai mikroba, Ahmad Khan yang menafsirkan (fa awhayna ila
musa an idrib bi asaka al-bahra fan falaqa/pergilah melalui laut, bersandar pada
tingkatmu maka laut itupun terbelah, yakni ada sebuah arungan) kata Idrib dengan
berlari atau bepergian seperti ungkapan Arab d}araba fi> al-Ardi—memperlihatkan
secara jelas bagaimana gagasan-gagasan telah dipaksakan ke dalam al-Qur’an dengan
mengabaikan konteks kesejarahan dan sastranya. 70
Oleh sebab itu, harus academic respons atas berbagai corak tersebut. Menurut
Abdul Mustaqim, ada dua sikap yang harus dimiliki ketika menghadapi berbagai corak
penafsiran:71
1. Bersifat kritis dalam melihat produk-produk tafsir tersebut. Apakah ada hidden
interst di balik penafsirannya? Apakah ada penyimpangan? Dan apakah
penafsirannya benar-benar didukung oleh argumentasi yang kuat?
2. Jika memang argumentasinya kuat maka kita harus menghormati pendapat mereka,
meskipun mungkin tidak harus mengikutinya. Sebab dimungkinkan sekali berbagai
corak itu memiliki kebenaran, setidak-tidaknya kebenaran partikular-relatif-
tentatif.
Tentu saja, pembaca masih memiliki tambahan sikap-sikap lainnya untuk merespons
beragam corak penafsiran di atas. Apalagi tidak menutup kemungkinan, corak-corak

68
Routraud Wielandt, “Exegesis of Qur’an : Eraly Modern and Contemporery” dalam Encyclopedia
of teh Qur’an, h. 129.
69
Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: Sebuah
Kerangka Konseptual, (Bandung, Mizan, 1989), h. 17
70
Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: Sebuah
Kerangka Konseptual, h. 22.
71
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, h. 60
19
tersebut akan terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, sosial, politik dan budaya. Wallahu ‘alam bis}s}awa>b.

‫إذا مت األمر بدا نقصه‬

20
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: Ponpes LSQ Ar-
Rahmah, 2012)
__________, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010)
__________, Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasih
hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).
__________, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Abdullah Saeed, The Qur’an an Introduction, (London and New York: Routledge, 2008)
Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-First Century, A Contextualist
Approache, (New York: Routledge, 2014).
Achmad Baiquni yang menulis buku al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,
(Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).
Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta Sisi-sisi Al-Qur’an yang terlupakan, (Bandung: Mizan,
2014).
Al-Imam al-Jas}s}a>s}, Ah}ka>m al-Qur’a>n, Jilid ke-3, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993).
Alimin Mesra (ed). Ulumul Qur’an, (Jakarta: PSW UIN Jakarta dan IAIN Indonesia Social
Quity Project / IISEP)
Amin al-Khu>li>, At-Tafsi>r: Nasy’atuhu Tadarrujuhu Tat}awwuruhu, (Beirut: Da>r al-
Kita>b al-Lubna>ni, 1982),
__________ dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, terj. Khairon Nahdiyyin
(Yogyakarta: Adabpress, 2004).
Anna M. Gade, The Qur’a>n: an Introduction, (England: Oneworld Oxford, 2010), h. 88
dan 96.
Annabel Keeler dan Ali Keeler (transl), Tafsi>r at-Tustari>, terj. Annabel Keeler dan Ali
Keeler, (Canada: Royal Aal al-Bait Institute for Islamic Thought, 2011).
Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2013)
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mukhdor, Qa>mu>s Kerapyak Al-‘As}ri>, (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2003).
Aunul Abied Shah, Amin al Khuli dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah Biografi
Intelektual, (Bandung : Mizan, 2001)
Bagja Hidayat, “Bahasa Gado-gado,” dalam Tempo, 25 September 2016, h. 50.
Benny H. Hood, Semiotik dan Dinamika Budaya Sosial, (Depok: Komunitas Bambu, 2014),
h. 19.
Bustami Mohamed Khoir, “The Qur’an and Science: The Debate on the Validity of
Scientific Interpretation,” dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 2 No. 2 (2002).
21
Dara Humairah dan Khairun Nisa, Unsur I’tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf (Kajian Kritis
Metodologi Al-Zamakhsyari), makalah disampaikan pada Call for Paper FUAH IAIN
Purwokerto
Fahad Ibn Abdurrah}man Ibn Sulaima>n ar-Ru>mi, Bu>h}u>s fi> Us}u>l at-Tafsi>r wa
mana>hijuh, (Riya>d: Maktabah at-Taubah, 1413 H).
Hisham Thalbab et.al., Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an dan Hadis, terj. Syarif Hade
Masya et.al (Jakarta:Bekasi: PT. Sapta Sentosa, 2008).
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi,
(Yogyakarta: LkiS, 2013).
JJG. Jansen, Diskursus Tafsir Modern, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 89.
John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation,
trans. Andrew Rippin, (New York: Promentheus Book, 2004).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka/Kemendikbud, 2008)
M. Nur Kholis Setiawan, “Literary Interpretation of the Qur’a>n: A Study of Ami>n al-
Khuli>’s Thought” dalam Jurnal al-Jamiah, No. 61/1998.
M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi hingga
Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Kaukaba, 2014).
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), cet. Ke-3.
Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hi>s fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Maktabah Wahbah,
t.th)
Massimo Campanini, The Basic The Qur’an (English: Routledge, 2007)
_________, The Qur’an Modern Muslim Interpretation, (USA: Routledge, 2011), h. 91-95.
Muh}ammad Abdul Az\i>m As-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n,
Jilid 2 (Kairo: Da>r al-Hadis, 2001)
Muh}ammad Ali As-Sa>buni>, At-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Ala>m al-
Kutub, 1985)
Muhammad ‘Ali> Iya>zi>, al-Mufassiru>n H}aya>tuhum wa manhajuhum, (Teheran:
Muassasah at-T}iba’ah wa an-Nasyr Wizara>t as\-S|aqafah wa al-Irsya>d al-Islami>,
1313 H).
Muhammad Ibn Bakar Ibrahim Al Abid, Dira>sa>t fi> Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
(Madinah: tp, tth)
Musa’ad Ibn Sulaima>n ibn Nasi>r at-T}ayya>r, At-Tafsi>r al-Lugawi> li al-Qur’a>n al-
Kari>m, (t.t: Da>r Ibn Al-Jauzi, 1422 M).
Musa> La>hi>n Sya>hi>n, Al-La’al>i al-Hisa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Da>r as-
Syuru>q, 1968),
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai,
2003)
22
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektualisme Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 3
Routraud Wielandt, “Exegesis of Qur’an : Eraly Modern and Contemporery” dalam
Encyclopedia of teh Qur’an, ed. Jane Dammen McAuliffe, (Leiden: Brill, 2001) Vol.
2.
Said Aqil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Ciputat:
Ciputat Press, 2003), cet. ke-3.
Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: Sebuah
Kerangka Konseptual, (Bandung, Mizan, 1989)

23

You might also like