You are on page 1of 3

MEMBANGUN SMART AND GOOD

CITIZEN DI ERA DIGITAAL MELALUI


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

TUGAS 1 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


Nama : Syifa Maudy Kurnia
NIM : 051596385

A.Pendahuluan

Era digital telah mengubah cara kita hidup, berinteraksi, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi telah membuka pintu bagi akses informasi yang tak terbatas dan interaksi yang lebih cepat. Namun, dengan
keuntungan tersebut, muncul tantangan baru dalam membentuk warga negara yang cerdas (smart) dan baik (good). Pendidikan
kewarganegaraan memiliki peran sentral dalam mengatasi tantangan ini dan membentuk generasi yang sadar hak dan kewajiban mereka
dalam masyarakat.

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pendidikan kewarganegaraan dapat membantu membangun smart and good citizen di era
digital. Kami akan menjelaskan konsep- konsep utama dalam pendidikan kewarganegaraan, mengkaji dampak era digital pada masyarakat
dan politik, serta memberikan saran untuk perbaikan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia.

B. Karakter Bangsa dalam Masyarakat Multikultural Indonesia

Negara bangsa Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain yang masing-masing plural
(jamak) dan sekaligus juga heterogen (aneka ragam) (Kusumohamidjojo, 2000:45). Realitas pluralitas dan heterogenitas tersebut tergambar
dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Hefner (2007:16) mengilustrasikan Indonesia sebagaimana juga Malaysia memiliki warisan dan
tantangan pluralisme budaya (cultural pluralism) secara lebih mencolok, sehingga dipandang sebagai “lokus klasik” bagi bentukan baru
“masyarakat majemuk” (plural society). Kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, pertama
secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuankesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta
perbedaan kedaerahan, dan kedua secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan- perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah
yang cukup tajam (Nasikun, 2007:33). Namun demikian, kenyataan empirik tersebut tidak diikuti oleh kebijakan yang menggambarkan
kemajemukan itu. Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan, khususnya pada masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dan
masa Orde Baru Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokulturalisme (Azra, 2006:152). Dalam politik ini,
yang diberlakukan bukannya penghormatan terhadap keragaman (kebhinnekaan atau multikulturalisme), tetapi sebaliknya adalah
keseragaman (monokulturalisme) atas nama stabilitas untuk pembangunan (Azra, 2006:152).

C. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pembangunan Karakter Bangsa

Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, berbagai krisis yang dikemukakan di atas disinyalir sebagai bagian dari kegagalan
pendidikan karakter dalam masyarakat yang multikultural. Mempertegas hal itu, Hidayatullah (2011) menyebutkan dua sebab gagalnya
pendidikan karakter bagi warga negara. Pertama, sistem pendidikan yang kurang menekankan pembangunan karakter tetapi lebih
menekankan pengembangan intelektual, seperti sistem evaluasi pendidikan yang menekankan aspek kognitif/akademik dalam bentuk ujian
nasional. Kedua, kondisi sosial yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik. Berdasarkan kerangka di atas, selanjutnya
bagaimana peranan dan strategi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam pembangunan karakter bangsa? Secara terminologis,
Zamroni(dalam ICCE, 2003) berpendapat bahwa PKn adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat
berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk
kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan
memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan
politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Cholisin (Samsuri,
2011) yang mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang fokus materinya peranan warga negara dalam
kehidupan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan
UUD 1945 agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Sistem pendidikan Indonesia mengatur bahwa
kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksudkan
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945. (Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Ketentuan ini sesungguhnya menunjukkan
bahwa PKn menempati kedudukan yang strategis dalam upaya pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Secara
paradigmatik Winataputra (2001), mengemukakan bahwa PKn memiliki tiga domain, yakni 1) domain akademis; 2) domain kurikuler; dan
3) domain aktivitas sosial-kultural, yang secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan warga negara yang
baik (good citizens) yang memiliki pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), nilai, sikap dan watak kewarganegaraan (civic
disposition), dan keterampilan kewarganegaraan (civic skill). Domain akademis adalah berbagai pemikiran tentang PKn yang berkembang
di lingkungan komunitas keilmuan. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis PKn dalam dunia pendidikan formal dan nonformal.
Domain sosial cultural adalah konsep dan praksis PKn di lingkungan masyarakat (Wahab dan Sapriya, 2011:97). Sebagai program kurikuler,
mata kuliah PKn di perguruan tinggi adalah bentuk revisi dari Pendidikan Kewiraan. Sejak tahun 2000-an, substansi mata kuliah Pendidikan
Kewiraan sebagai Pendidikan Pendahuluan Bela Negara direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi PKn berdasarkan Keputusan
Dirjen Dikti No.267/Dikti/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Perubahan ini dilakukan karena mata kuliah Pendidikan Kewiraan terlalu condong atau lebih berorientasi pada aspek bela negara dalam
konteks memenuhi kebutuhan pertahanan. Dalam analisis Cipto, et all (2002:ix) metode pengajaran yang diterapkan dalam Pendidikan
Kewiraan lebih bersifat indoktrinatif yang hanya menyentuh aspek kognitif, sedangkan aspek sikap dan perilaku berlum tersentuh.
Memperjelas pandangan tersebut, Tukiran, dkk (2009:12) memerinci kekurangberhasilan Pendidikan Kewiraan yang disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, secara substantif, Pendidikan Kewiraan tidak secara terencana dan terarah mencakup materi dan pembahasan yang
lebih terfokus pada pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Materi-materi yang ada umumnya terpusat pada pembahasan yang
idealistik, legalistik, dan normatif. Kedua, kalaupun materi-materi yang ada pada dasarnya potensial bagi pendidikan demokrasi dan PKn,
potensi itu tidak berkembang karena pendekatan dan pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif.
Ketiga, ketiga subjek itu lebih bersifat teoretis daripada praktis. Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan
dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-
rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi merupakan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) yang memiliki
visi, misi, dan standar kompetensi sebagai berikut:
a.Visi kelompok MPK: sebagai sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna
mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
b. Misi kelompok MPK: membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai
dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.
c. Standar Kompetensi kelompok MPK yang wajib dikuasasi mahasiswa meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan
kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir
kritis: bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang berkeadaban.

D. Menurut Para Ahli

Membangun smart and good citizen di era digital melalui pendidikan kewarganegaraan adalah tantangan yang kompleks, dan berbagai para
ahli dalam bidang pendidikan, ilmu politik, dan sosiologi telah memberikan pemahaman yang berharga tentang topik ini. Di bawah ini, kami
akan merangkum pandangan beberapa ahli terkemuka dalam hal ini:

1. Dr. Audrey Osler: Dr. Audrey Osler adalah seorang pakar dalam bidang pendidikan kewarganegaraan. Dia menekankan
pentingnya pendidikan untuk kewarganegaraan yang inklusif dan mendidik siswa tentang keberagaman, hak asasi manusia, dan
tanggung jawab sosial. Menurutnya, pendidikan kewarganegaraan harus memberdayakan siswa untuk menjadi aktor aktif dalam
membangun masyarakat yang lebih adil.

2. Martha Nussbaum: Profesor Martha Nussbaum adalah seorang filosof terkemuka yang telah berbicara tentang kebijakan
pendidikan dan pembentukan karakter warga negara. Dia mengemukakan bahwa pendidikan kewarganegaraan harus mencakup
pembelajaran etika, pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai demokrasi, serta kemampuan untuk berpikir kritis dan
reflektif.

3. Michael Apple: Michael Apple, seorang ilmuwan pendidikan, telah menyoroti pentingnya analisis kritis dalam pendidikan
kewarganegaraan. Dia menganggap penting untuk mengajarkan siswa cara mengidentifikasi ketidaksetaraan sosial dan politik
serta bagaimana mereka dapat berkontribusi dalam mengatasi ketidakadilan tersebut.

4. Hanna Arendt: Hanna Arendt adalah seorang filsuf politik yang vokal tentang isu-isu kewarganegaraan. Dia menyoroti
pentingnya ruang publik yang sehat di mana warga negara dapat berdiskusi, bertukar ide, dan berpartisipasi dalam politik.
Pendidikan kewarganegaraan harus memberikan pemahaman tentang peran penting ruang publik dalam demokrasi.

5. Charles Taylor: Charles Taylor adalah seorang filsuf sosial dan politik yang telah meneliti multikulturalisme dan identitas dalam
masyarakat yang beragam. Dalam pendidikan kewarganegaraan, Taylor menekankan perlunya memahami dan menghormati
keragaman budaya, etnis, dan agama.

6. Marilyn Cochran-Smith: Marilyn Cochran-Smith adalah seorang pendidik yang fokus pada pengembangan guru. Dia menyoroti
pentingnya pelatihan guru dalam pendidikan kewarganegaraan, termasuk bagaimana mengintegrasikan isu-isu kewarganegaraan
dalam kurikulum dan pengajaran sehari-hari.

7. Nel Noddings: Nel Noddings adalah seorang filsuf pendidikan yang menekankan pentingnya etika kasih sayang dalam
pendidikan. Dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, Noddings memandang bahwa nilai-nilai seperti empati, perhatian, dan
kasih sayang harus menjadi bagian penting dari pembentukan karakter warga negara yang baik.

Semua pandangan ini memiliki kontribusi berharga dalam memahami dan mengimplementasikan pendidikan kewarganegaraan yang efektif
untuk membentuk smart and good citizen di era digital. Pendekatan holistik yang mencakup literasi digital, nilai-nilai demokrasi, etika, dan
partisipasi aktif dalam masyarakat adalah kunci untuk mempersiapkan generasi yang dapat berkontribusi pada perkembangan masyarakat
yang adil dan berkeadilan di dunia digital yang terus berubah.

E. KajianPustaka

a. Konsep Pendidikan Kewarganegaraan: Pendidikan kewarganegaraan merupakan pendidikan yang bertujuan untuk membentuk
warga negara yang cerdas dan bertanggung jawab. Ini melibatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam masyarakat,
pemerintahan, dan politik. Pendidikan ini mempromosikan nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan partisipasi aktif dalam proses
politik.

b. Era Digital dan Tantangannya: Era digital telah mengubah dinamika sosial dan politik. Kemudahan akses informasi melalui
internet dan media sosial telah meningkatkan kesadaran politik tetapi juga menghadirkan risiko penyebaran berita palsu,
radikalisasi, dan polarisasi. Pendidikan kewarganegaraan harus mengajarkan keterampilan literasi digital untuk mengatasi
tantangan ini.

c. Partisipasi Masyarakat di Era Digital: Masyarakat kini memiliki lebih banyak peluang untuk berpartisipasi dalam politik, seperti
melalui petisi online, kampanye sosial, dan aksi protes. Pendidikan kewarganegaraan harus mengajarkan pentingnya partisipasi
aktif dalam masyarakat dan bagaimana melakukannya secara efektif.
d. Etika di Era Digital: Penggunaan media sosial dan teknologi digital juga melibatkan pertimbangan etika. Pendidikan
kewarganegaraan harus memasukkan pembelajaran tentang etika online, perlindungan privasi, dan tanggung jawab dalam
berbagi informasi.

e. Peran Sekolah dalam Pendidikan Kewarganegaraan: Sekolah memiliki peran kunci dalam membentuk smart and good citizen.
Guru harus diberdayakan untuk memberikan pembelajaran yang relevan, serta menciptakan lingkungan belajar yang
mempromosikan diskusi dan refleksi.

F. Pembahasan

1. Menguatkan Materi Pendidikan Kewarganegaraan: Kurikulum pendidikan kewarganegaraan perlu diperkaya dengan materi-
materi yang relevan dengan era digital, termasuk literasi digital, media literacy, dan etika online.

2. Mendorong Partisipasi Aktif: Sekolah harus mendorong partisipasi aktif siswa dalam berbagai kegiatan sosial dan politik, baik di
dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Ini dapat melibatkan pelibatan dalam proyek sosial, kunjungan ke lembaga
pemerintah, atau kegiatan sosial lainnya.

3. Pelatihan Guru: Guru perlu diberikan pelatihan yang memadai dalam hal literasi digital dan pembelajaran kewarganegaraan yang
efektif. Mereka harus mampu mengajarkan siswa untuk berpikir kritis, memahami isu-isu sosial dan politik, dan berpartisipasi
secara aktif dalam masyarakat.

4. Kolaborasi dengan Komunitas: Sekolah dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga masyarakat sipil, organisasi pemuda, dan
lembaga pemerintah dalam upaya membentuk smart and good citizen.

G. Penutup

Dalam era digital yang penuh dengan informasi dan teknologi, penting bagi pendidikan kewarganegaraan untuk memainkan peran sentral
dalam membentuk smart and good citizen. Pendidikan kewarganegaraan harus mengajarkan keterampilan literasi digital, etika online, dan
pentingnya partisipasi aktif dalam masyarakat. Ini akan membantu mengatasi tantangan dan risiko yang ada dalam era digital dan
memastikan bahwa warga negara memiliki pemahaman yang mendalam tentang hak dan kewajiban mereka dalam masyarakat. Melalui
upaya kolaboratif antara pemerintah, sekolah, dan komunitas, kita dapat membangun generasi yang cerdas dan bertanggung jawab yang
akan membantu membangun masa depan yang lebih baik untuk Indonesia.

H. Daftar Pustaka

Lasiyo (2022), Pemdidikan Kewarganegaraan (BMP); 1-9 / MKDU4111 / 3 SKS

Arif, D.B. (2008). ”Kompetensi Kewarganegaraan untuk Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia”. Acta Civicus: Jurnal
Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 1 (3) Oktober 2008
.
Azra, A. (2006). “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme”. Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan
Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.

Blum, L.A. (2001). “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat
Multikultural”. Dalam May, Larry, Shari Collins-Chobanian, and Kai Wong (Eds). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural.
Terjemahan oleh Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Budihardjo, E. (2011). “Mengembalikan Bangsa Indonesia yang Cinta Damai di Tengah Krisis Multidimensi: Suatu Pendekatan Budaya”.
Bahan tayangan disampaikan dalam Pentaloka Doswar se-Jawa Tengah dan DIY di Dodik Bela Negara Resimen Kodam IV/Diponegoro
Magelang, 12 April 2011.

Cipto, B. at all. (2002). Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Yogyakarta: LP3 UMY.

Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional

You might also like