You are on page 1of 3

Nama : Bayhaqi

NIM : 2108113066
Kelas :B
Mata kuliah : Cyber Culture
Dosen : DR. Arief Rachman, S. Soe, M. S. I

1. Pendapat saya tentang dunia kependidikan terkait Cyber Culture

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah begitu pesat, khususnya internet
yang merupakan basis media era baru yang telah mengubah sosiokultural masyarakat global.
Priyatna (2011:27) menyatakan bahwa sejak awal 1990-an telah banyak buku yang membahas
tentang kemunculan masyarakat yang ditopang internet dan implikasinya di bidang ekonomi,
budaya, dan masyarakat. Oleh karena itu secara umum dapat dibedakan ada dua pandangan besar
terkait peran internet dalam komunitas virtual. Pertama, Cyberphilia yang memandang internet
adalah segalanya.Melihat potensi positif yang dimiliki internet entah untuk tujuan positif atau
sekadar berbagi informasi untuk menghabiskan waktu luang dan bersenang-senang. Kedua,
Cyberphobia, yang memandang negatif dan selalu mengecam internet dari berbagai potensi negatif
yang bakal ditimbulkan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa temuan besar dalam dunia cyber (internet)
adalah media sosial karena mampu menciptakan koneksi virtual antarmanusia dengan berbagai
kepentingan. Menurut Jaffe dan Tapscott dalam Antoni(2012:8), perkembangan teknologi
komunikasi telah melahirkan NetGeneration. Generasi ini merasa mereka mempunyai waktu
terbatas dan harus melakukan banyak hal dalam keterbatasan tersebut. Demikianlah di era 2
teknologi dewasa ini telah mengubah secara revolusioner, baik dalam hal cara pandang, kinerja,
gaya hidup, dan interaksi sosial di dunia maya, khususnya menggunakan berbagai platform sosial

media.

2. Studi Cyber culture kritis yang menganalisis jangkauan


pendidikan terhadap akses siswa ataupun komunitas/kelompok dalam berinteraksi dalam
kajian cyber culture

Hasil penelitian cyber culture dalam 10 tahun terakhir, terbagi dalam tiga tingkatan generasi.
Tingkatan pertama ditandai dengan aktivitas jurnalistik yang deskriptif, dualisme terbatas dan
penggunaan internet. Tingkatan kedua berfokus pada komunitas virtual dan identitas
secara online dan keuntungan dari masukan-masukan akademis. Tingkatan ketiga, penelitian
cyberculture yang paling kritis, yaitu penjabaran cyberculture meliputi 4 area studi: interaksi
secara online, wacana digital, aksesbilitas terhadap internet dan desain antarmuka dari cyberspace.
Empat Hal ini dijabarkan untuk mencari hubungan dan ketergantungan antara keempat faktor
tersebut.

Pada akhir 1990 diadakan studi mengenai cyberculture. Banyak media-media akademis dan
populer mempublikasikan karangan, buku dan tulisan-tulisan yang khusus membahas perkembangan
cyberculture. Berkaca dari perkembangan ini, peneliti-peneliti baru mengambil sudut pandang luas
tentang apa yang menyusun suatu cyberculture. Tidak hanya sebatas pada komunitas virtual dan
identitas online, generasi ketiga penelitian atau yang disebut sebagai Studi Cyberculture Kritis telah
muncul. Peneliti beranggapan bahwa cyberculture terdiri dari empat area independen yang menjadi
fokus utama. Empat hal tersebut merupakan fondasi utama dari studi cyberculture. Yaitu:

 Studi cyberculture mencakup sosial, budaya, dan interaksi ekonomi yang bersifat online.
 Studi Cyberculture Kritis menjabarkan dan memeriksa hal-hal yang sifatnya interaktif.
 Studi Cyberculture Kritis menganalisis jangkauan sosial, budaya dan ekonomi terhadap akses
individu ataupun kelompok dalam berinteraksi.
 Studi Cyberculture Kritis memeriksa keputusan-keputusan teknologi dan proses pembentukan
yang akan diterapkan dan membentuk suatu interface antara jaringan dan penggunanya.

3. Masalah apa saja yang patut mendapat perhatian dalam kajian kependidikan di dalam cyber
culture

Beberapa peneliti khususnya di Indonesia mulai menyadari pentingnya suatu kontekstual


cyberculture. Tidak seperti peneliti kebanyakan yang menitikberatkan cyberculture sebagai dunia
baru, para peneliti mulai memiliki konsep kontekstual cyberspace dengan paradigma yang lebih
tradisional mengenai studi komunikasi dan komunitas cyber hingga meneliti
hubungan teknologi dan Feminisme.

Sistem keamanan siber harus dapat dibangun dengan terpadu dalam melawan ancaman

eksternal dan internal, maupun menghadapi tantangan yang terjadi di era revolusi Industri 4.0.

Tantangan ini terjadi pada aspek bisnis di segala bidang yang harus bersiap menghadapi

perubahan global dunia yang mengkombinasikan manufaktur tradisional dan praktik industri

dengan dunia teknologi. Berdasarkan Breach Level Index, 945 pelanggaran data publik

menyebabkan 4,5 miliar catatan data dikompromikan di seluruh dunia pada semester pertama
2018. Dibandingkan periode sama pada 2017, jumlah data yang hilang, dicuri atau

dikompromikan meningkat sebesar 133%. Oleh karena itu, berdasarkan beberapa penjelasan

tersebut maka sesuai dengan yang disampaikan oleh Zhou dkk (2015) bahwa secara umum ada

lima tantangan besar yang akan dihadapi yaitu aspek pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial,

dan politik [5].

Selain itu, guna menjawab tantangan tersebut, diperlukan usaha yang besar, terencana, dan

strategis baik dari sisi regulator (pemerintah), kalangan akademisi maupun praktisi. Kagermann

dkk (2013) menyampaikan diperlukan keterlibatan akademisi dalam bentuk penelitian dan

pengembangan untuk mewujudkan Industri 4.0. Menurut Jian Qin dkk (2016) roadmap

pengembangan teknologi untuk mewujudkan Industri 4.0 masih belum terarah. Hal ini terjadi

karena Industri 4.0 masih berupa gagasan yang wujud nyata dari keseluruhan aspeknya belum

jelas sehingga dapat memunculkan berbagai kemungkinan arah pengembangan

4. Bagaimana penerimaan materi pembelajaran oleh siswa


Materi yang saya sampaikan dengan menggunakan serta memanfaatkan teknologi cyber culture
justru membuat peserta didik menjadi lebih bersemangat dalam mengikuti kegiatan belajar.
Mereka akan jenuh jika pembelajaran hanya menggunakan metode ceramah atau hanya dengan
melihat buku paket atau LKS yang diberikan oleh guru. Dengan memanfaatkan teknologi cyber
culture, memanfaatkan fasilitas yang sudah ada di Madrasah saya ( wifi, infokus, layar ) maka
semangat peserta didik akan menjadi lebih bertambah, lebih termotivasi dalam mengikuti setiap
pembelajaran.
5. Bagaimana kesiapan infrastuktur sekolah dalam menghadapi penerapan pembelajaran
Karena di sekolah saya sudah ada internet yang mendukung ( wifi ) , infokus, layar,
computer/pc/ laptop maka saya mau pun para pendidik tinggal memanfaatkan fasilitas yang
sudah diberikan tersebut agar bisa dimanfaatkan untuk kegiatan belajar mengajar ( KBM ).

6. Bagaimana sikap dan perilaku siswa terkait cyber culture dan sejenisnya
Sikap dan perilaku peserta didik di sekolah saya terkait cyber culture dan sejenisnya
bervariasi. Ada yang memang benar- benar memanfaatkan teknologi tersebut untuk
menambah pengetahuan, namun tidak sedikit pula yang memanfaatkan teknologi tersebut
hanya untuk bermain game, ada pula yang tidak peduli dengan teknologi tersebut karena
konsisi sosial ekonomi orang tua yang beraneka ragam di sekolah saya/ tempat saya
mengajar.

You might also like