You are on page 1of 16

MAKALAH ILMIAH INTERAKSI SOSIAL DAN HUKUM

“PERTENTANGAN PULAU REMPANG DI KOTA BATAM”

Penyusun:

Kelompok 1

Arviando Prakoso Keliduan (302021048)

Elsa Apriliani (3023210077)

Fadiah Lestari (3023210081)

English Chelvin (3023210079)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PANCASILA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua kehendaknya, kami
berhasil menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu yang berjudul “Pertentangan Pulau
Rempang Di Kota Batam.” Dalam penyusunan makalah ilmiah ini, semua isi ditulis berdasarkan
buku-buku dan jurnal referensi yang berkaitan dengan materi Interaksi Sosial dan Hukum.
Penulis berharap, pemaparan dalam isi makalah ilmiah sederhana ini bisa mempermudah
pembaca untuk memahami masalah Pertentangan Pulau Rempang Di Kota Batam

Penulis menyadari bahwa hasil makalah ilmiah yang dibuat masih jauh dari kata sempurna, dan
memiliki kekurangan dari berbagai aspek. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk diperbaiki selanjutnya.

Jakarta, Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
1.2Permasalahan
1.3Kerangka Konsep
1.4Metode Penelitian

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Studi Kasus

2.2 Analisis Kasus

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pulau Rempang terletak di wilayah pemerintahan kota Batam di provinsi Kepulauan Riau,
sebuah kelompok pulau besar. Ketika kawasan industri Pulau Rempang dibangun di Kota Batam,
terjadi sengketa tanah antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha. Pulau
Rempang adalah salah satu dari banyak pulau besar yang terletak di wilayah pemerintahan kota
Batam di provinsi Kepulauan Riau. Pembentukan kawasan industri di Pulau Rempang, Kota
Batam, menyebabkan konflik tanah antara penduduk, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha.

Program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap
Singapura tersebut justru berujung bentrok akibat ketidak pastian hukum atas tanah. Warga
menolak pengukuran dan relokasi tanah, yang menimbulkan ketegangan dan konflik di Pulau
Rempang. Mereka percaya bahwa mereka adalah penduduk asli desa dan tidak akan
meninggalkannya.

Ketegangan dan konflik tersebut menarik perhatian publik dan media massa. Pemberitaan
tentang Rempang menjadi sangat ramai di media nasional. Di tengah ketegangan ini, banyak
aktivis, ormas besar, tokoh nasional, dan publik secara keseluruhan diundang untuk
menyuarakan pendapat mereka.

Di Rempang, terdapat dua kelompok masyarakat yang terlibat dalam konflik, yaitu
penduduk asli dan pendatang. Penduduk asli adalah orang-orang yang telah lama tinggal di
wilayah tersebut dan memiliki hak adat atas tanah. Sedangkan pendatang adalah kelompok
yang datang kemudian dan memiliki kepentingan ekonomi tertentu di Rempang, seperti sektor
industri atau pariwisata.

Konflik bermula dari perselisihan terkait hak atas lahan di Rempang. Penduduk asli
mengklaim kepemilikan dan hak adat atas lahan tersebut, sementara pendatang mengklaim
bahwa lahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi yang lebih luas.
Ketidaksesuaian persepsi dan klaim hak-hak ini memicu ketegangan antara kedua kelompok.
Pada dasarnya, konflik PSN Rempang memiliki beberapa implikasi yang dapat dilihat dari
perspektif sosial, ekonomi, dan politik. Beberapa implikasi yang dapat dicermati antara lain:

1. Tersendatnya Pembangunan:

Konflik berdampak pada tersendatnya pembangunan di wilayah Rempang. Ketegangan dan


perselisihan antara dua kelompok masyarakat membuat pemangku kepentingan dan
pemerintah kesulitan untuk mengambil keputusan dan melaksanakan proyek pembangunan di
area tersebut.

2. Ketidakstabilan Sosial:

Ketegangan dalam konflik dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial. Konflik tersebut


berdampak pada hubungan antarpenduduk dan terkadang memicu konflik fisik antara
kelompok-kelompok yang berselisih. Hal ini dapat merusak tatanan sosial di Rempang.

3. Kerugian Ekonomi:

Implikasi ekonomi yang timbul dari konflik PSN Rempang adalah kerugian bagi sektor
industri dan pariwisata. Konflik tersebut membuat investor ragu untuk berinvestasi di wilayah
tersebut dan menghambat pertumbuhan ekonomi lokal.

4. Perlunya Penyelesaian yang Berkelanjutan:

Konflik ini menunjukkan perlunya penyelesaian yang berkelanjutan dan adil untuk
menyelesaikan perselisihan dan memulihkan hubungan antara kedua kelompok. Perlunya
keterlibatan pihak-pihak terkait, seperti pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat,
dalam merumuskan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.

1.2 PERMASALAHAN

1. Apa yang menyebabkan konflik dipulau rempang?


2. Mengapa masyarakat yang tinggal dipulau rempang tidak terima wilayahnya dibangun
Proyek Rempang Eco City?
3. Apa tujuan pemerintah dan investor membangun Rempang Eco City?
4. Bagaimana pemerintah menyelesaikan permasalahan dipulau rempang mengenai rumah
warga yang terdampak penggusuran?

1.3 KERANGKA KONSEP

HUKUM ADAT

JENIS HUKUM

HUKUM PERDATA

FUNGSI

PERTENTANGAN PULAU INTERAKSI


HUKUM REMAPANG DI KOTA SOSIAL
BATAM

1. Melindungi kepentingan
bersama
2. Menyelesaikan pertikaian
3. Mewujudkan keadilan
sosial KONFLIK BENTUK KONFLIK
4. Menciptakan ketertiban ANTAR BERDASARKAN CIRI
KELOMPOK PENGELOLAANNYA

BENTUK KONFLIK
SOSIAL
SOLUSI KONFLIK
BERDASARKAN
KONSETRASI
AKTIVITAS MANUSIA
MEDIASI ARBITRAS
KONSILIAS E
I KONFLIK SOSIAL
VERTIKAL

KONFLIK
EKONOMI
1.5 METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan judul makalah ini adalah “Pertentangan Pulau Rempang Di Kota Batam”
Pertentangan bukanlah sesuatu yang dapat didefinisikan atau diukur dengan angka.
Pertentangan hanya bisa dijelaskan melalui kata-kata. Maka dari itu, metode penelitian
yang cocok untuk menganalisis fenomena ini adalah Kualitatif.
Jenis penelitian Kualitatif yang digunakan adalah Studi Dokumen. Jenis penelitian yang
didasarkan pada dokumen tertulis untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Dokumen
tersebut berupa teks, surat kabar, naskah, artikel, dan jurnal.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 STUDI KASUS

Pembangunan kawasan industry di pulau Rempang, Kota Batam, telah mencetuskan


konflik sengketa tanah yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura,
yang justru telah menyebabkan pertikaian karena ketidakpastian hukum tentang kepemilikan
tanah. Masyarakat memandang tanah ini sebagai warisan leluhur yang ada sebelum
kemerdekaan. Di sisi lain, pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada sebuah perusahaan
membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat.

Menurut Evander Nathanael Ginting, seorang praktisi hukum spesialis properti dan
sumber daya manusia, "konflik di pulau Rempang melibatkan isu-isu seperti Hak Atas Tanah,
hak asasi manusia, dan kepentingan investasi pemerintah." Dalam situasi seperti ini, diharapkan
masyarakat adat meninggalkan wilayah mereka untuk memberikan ruang bagi proyek seperti
Rempang Eco City, yang akan mencakup berbagai bisnis seperti pabrik dan properti. Namun,
Masyarakat adat menolak tawaran karena mereka pikir itu adalah tindakan yang tidak adil dan
melanggar hak asasi mereka.

Konflik ini mencakup setidaknya dua masalah penting. Pertama, pulau Remapang telah
dihuni oleh masyarakat adat dari berbagai suku, termasuk Suku Melayu, Suku Laut, dan lainnya,
selama lebih dari dua abad. Selama periode tersebut, tanah di pulau Rempang dianggap sebagai
milik masyarakat adat secara keseluruhan. Namun, sebuah perusahaan diberi Hak Guna Usaha
(HGU) terhadap tanah di Batam antara tahun 2001 dan 2002 Ironisnya, investor tidak pernah
mengunjungi atau mengelola tanah tersebut hingga sebelum konflik muncul.

Kedua, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
(BP Batam) bertanggung jawab atas manajemen lahan di Batam. Namun, batas-batas yang jelas
antara wilayah yang dimiliki oleh BP Batam dan tanah adat milik masyarakat tidak jelas, yang
menyebabkan tumpang tindih dalam kepemilikan tanah. Batam terletak di dekat negara-negara
seperti Singapura dan Malaysia, dan memiliki Kawasan Ekonomi Khusus (ZEK), yang
menawarkan fasilitas dan insentif fiskal untuk investor. Ini menunjukkan bahwa berinvestasi atau
berdagang di Batam memiliki keunggulan khusus.

Jika proyek Rempang Eco City selesai, Pulau Batam menawarkan banyak peluang
investasi dan berjanji untuk mempekerjakan masyarakat. Akibatnya, masyarakat terbagi menjadi
dua kelompok, kelompok pendatang yang mendukung proyek ini dan kelompok adat yang sangat
menentang pembangunan.

Peran utama pemerintah adalah menentukan bagaimana mengatur kebijakan yang bisa
menciptakan kesepakatan di antara semua pihak yang terlibat. Selain hukum konstitusional,
Indonesia sebagai negara yang kaya multikultural juga memiliki hukum adat dan hukum agama
sebagai bagian dari keragaman masyarakat. Pengakuan terhadap eksistensi hukum adat,
masyarakat adat, dan tanah adat adalah kunci penting dalam upaya menemukan solusi untuk
mengatasi konflik pulau Rempang.

2.2 ANALISIS KASUS

Konflik sengketa tanah di Pulau Rempang, Kota Batam, adalah sebuah permasalahan yang
kompleks dan multi-dimensional yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat,
pemerintah, dan perusahaan swasta. Untuk memahami lebih lanjut kasus ini, kita perlu
mempertimbangkan beberapa aspek kunci.

1. Konflik Kepemilikan Tanah: Pertama, konflik ini berakar pada masalah kepemilikan
tanah. Masyarakat di Pulau Rempang menganggap tanah tersebut sebagai warisan leluhur
yang memiliki makna historis dan kultural yang sangat penting. Namun, pemerintah telah
memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan swasta, PT. Makmur Elok
Graha, yang memicu pertentangan antara pemilik adat dan investor. Ini mencerminkan
perdebatan umum di berbagai negara berkembang di mana hak kepemilikan adat
bertentangan dengan kepentingan investasi dan pembangunan.

2. Hak Asasi Manusia: Konflik ini juga mencakup aspek hak asasi manusia. Masyarakat
adat memiliki hak untuk hidup di tanah mereka dan menjalani tradisi serta budaya
mereka. Pembangunan industri dapat mengancam hak-hak ini. Selain itu, terdapat potensi
dampak negatif terhadap hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat adat, seperti akses
mereka terhadap sumber daya alam.

3. Kepentingan Investasi Pemerintah: Pemerintah memiliki kepentingan kuat dalam


mempromosikan investasi dan pembangunan ekonomi, terutama di wilayah-wilayah
seperti Batam yang memiliki potensi untuk menjadi pusat bisnis dan investasi. Proyek
Rempang Eco City adalah contoh upaya pemerintah untuk meningkatkan daya saing
Indonesia terhadap negara-negara tetangga seperti Singapura. Konflik ini mencerminkan
tantangan dalam mencapai keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan
kepentingan masyarakat adat.

4. Ketidakpastian Hukum: Salah satu masalah mendasar adalah ketidakpastian hukum


terkait kepemilikan tanah. Penetapan batas antara wilayah yang dimiliki oleh BP Batam
dan tanah adat milik masyarakat tidak jelas, yang menjadi akar tumpang tindih dalam
kepemilikan tanah. Ketidakpastian hukum semacam ini seringkali memicu konflik dan
harus diatasi agar dapat menciptakan lingkungan hukum yang stabil.

5. Peran Pemerintah: Pemerintah memiliki peran sentral dalam menyelesaikan konflik ini.
Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman budaya dan hukum, penting untuk
mengakui eksistensi hukum adat dan masyarakat adat. Dibutuhkan pendekatan yang
bijaksana dan berkeadilan yang mempertimbangkan semua pihak yang terlibat.
Penyusunan kebijakan yang menghormati hak masyarakat adat sambil merangsang
investasi dan pertumbuhan ekonomi adalah suatu tantangan besar.

6. Potensi Dampak Ekonomi: Pulau Batam memiliki potensi besar untuk investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Jika proyek Rempang Eco City berhasil, ini dapat memberikan
peluang pekerjaan dan meningkatkan pendapatan daerah. Namun, penting untuk
memastikan bahwa dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek ini
diatur secara efektif dan bahwa manfaatnya disebarluaskan kepada masyarakat setempat.

Mengatasi konflik sengketa tanah di Pulau Rempang akan membutuhkan pendekatan yang
inklusif, menghormati hak masyarakat adat, dan memastikan ketegasan hukum. Solusi terbaik
mungkin melibatkan dialog dan negosiasi antara semua pihak yang terlibat untuk mencapai
kesepakatan yang adil dan berkelanjutan. Dalam hal ini, penting juga untuk mempertimbangkan
pengalaman dan pelajaran yang bisa diambil dari kasus serupa di berbagai tempat di dunia.

Penggusuran rumah warga yang terdampak adalah isu sosial yang kompleks dan memerlukan
pendekatan yang cermat dan komprehensif oleh pemerintah. Untuk menjelaskan bagaimana
pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan penggusuran di Pulau Rempang, kita perlu
mempertimbangkan beberapa langkah dan prinsip penting.

1. Ketentuan Hukum dan Hak Asasi Manusia: Pemerintah harus memastikan bahwa
seluruh proses penggusuran berada dalam kerangka hukum yang jelas dan mematuhi hak
asasi manusia. Ini mencakup mematuhi prosedur hukum yang ada, memberikan
pemberitahuan yang cukup kepada warga yang terdampak, serta memberikan kompensasi
yang adil bagi mereka yang harus kehilangan tempat tinggal mereka.

2. Dialog dengan Warga: Penting untuk berkomunikasi secara terbuka dengan warga yang
terdampak penggusuran. Pemerintah harus mendengarkan keprihatinan dan masukan
mereka, serta melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan sejauh mungkin.

3. Penyediaan Alternatif Tempat Tinggal: Salah satu langkah penting adalah


menyediakan alternatif tempat tinggal bagi warga yang terdampak. Hal ini bisa berupa
perumahan yang sesuai atau kompensasi yang memadai untuk memungkinkan mereka
untuk membeli atau menyewa tempat tinggal baru.

4. Pengembangan Wilayah: Pemerintah harus mempertimbangkan pengembangan wilayah


yang lebih luas untuk memastikan bahwa penggusuran memberikan manfaat jangka
panjang bagi masyarakat setempat. Ini bisa mencakup infrastruktur baru, seperti jalan,
listrik, air bersih, dan fasilitas pendidikan.

5. Perencanaan yang Berkelanjutan: Dalam kasus penggusuran, perlu ada perencanaan


yang berkelanjutan untuk mengatasi masalah ini. Ini termasuk kebijakan dan tindakan
yang mencegah penggusuran yang tidak perlu di masa depan.

6. Kerjasama dengan LSM dan Masyarakat Sipil: Pemerintah bisa bekerja sama dengan
LSM dan kelompok masyarakat sipil yang peduli tentang hak-hak warga untuk
memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penggusuran.
7. Edukasi dan Pelatihan: Pemerintah dapat memberikan pelatihan dan bantuan kepada
warga yang terdampak untuk membantu mereka mendapatkan pekerjaan baru atau bisnis
yang berkelanjutan.

8. Pemantauan dan Evaluasi: Penting untuk memantau dan mengevaluasi dampak


penggusuran, baik jangka pendek maupun jangka panjang, untuk memastikan bahwa
tindakan yang diambil benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat.

9. Rekonsiliasi dan Pemulihan Sosial: Pemerintah harus mendukung upaya rekonsiliasi


dan pemulihan sosial di antara warga yang terdampak penggusuran. Ini bisa mencakup
program psikososial dan dukungan bagi mereka yang mengalami trauma akibat
penggusuran.

10. Keterbukaan dan Transparansi: Pemerintah harus menjalankan proses penggusuran


dengan keterbukaan dan transparansi, sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang
jelas tentang apa yang terjadi.

Penggusuran rumah warga adalah tugas yang kompleks dan harus dilakukan dengan penuh
perhatian terhadap keadilan, hak asasi manusia, dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harus
bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan untuk menyelesaikan masalah ini dengan
cara yang paling baik bagi semua pihak yang terlibat.

BAB III

PENUTUP
3.1 SIMPULAN

Konflik sengketa tanah di Pulau Rempang, Kota Batam, menggambarkan tantangan yang rumit
dalam mengintegrasikan pembangunan ekonomi, hak-hak masyarakat adat, dan ketegasan
hukum. Kasus ini menciptakan perselisihan serius antara masyarakat yang melihat tanah sebagai
warisan leluhur yang tidak bisa diganggu gugat, pemerintah yang berusaha memajukan investasi
dan pertumbuhan ekonomi, dan perusahaan swasta yang memiliki izin untuk mengelola tanah
tersebut. Konflik ini memunculkan pertanyaan tentang kepemilikan tanah, hak asasi manusia,
dan kepentingan investasi pemerintah. Ketidakpastian hukum terkait batas kepemilikan antara
BP Batam dan masyarakat adat juga menjadi masalah sentral. Solusi untuk konflik ini tidak akan
mudah ditemukan, tetapi harus mencakup pendekatan yang inklusif dan berkeadilan, serta
pengakuan terhadap hukum adat dan hak masyarakat adat. Penting untuk memastikan bahwa
dampak ekonomi yang dihasilkan dari proyek pembangunan di Pulau Rempang dibarengi dengan
perlindungan hak-hak masyarakat adat dan pengaturan lingkungan yang efektif. Kasus ini adalah
pengingat penting bahwa pembangunan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan
kepentingan semua pihak yang terlibat, dan bahwa penyelesaian konflik seringkali memerlukan
keseimbangan yang rumit antara berbagai aspek sosial, ekonomi, dan hukum.

Dalam konteks kasus Pulau Rempang, pemerintah memiliki peran utama dalam menyelesaikan
konflik ini. Ini bukan hanya masalah hukum konstitusional, tetapi juga melibatkan pengakuan
terhadap hukum adat yang kaya dan keragaman masyarakat Indonesia. Langkah pertama yang
perlu diambil adalah menciptakan lingkungan hukum yang jelas dan stabil, yang akan
mengurangi ketidakpastian dan tumpang tindih kepemilikan tanah. Hal ini dapat dicapai melalui
pengkajian ulang peraturan-peraturan terkait kepemilikan tanah, serta melalui perundingan antara
masyarakat adat, pemerintah, dan investor.

Penting juga untuk menciptakan platform dialog yang inklusif di mana semua pihak dapat duduk
bersama dan membagikan pandangan serta kepentingan mereka. Dialog semacam ini dapat
membantu membangun pemahaman yang lebih baik antara masyarakat adat, pemerintah, dan
perusahaan swasta. Kesepakatan yang dicapai melalui negosiasi adil dan berkeadilan adalah
kunci untuk mencapai solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Selain itu, harus ada mekanisme pengawasan yang kuat untuk memantau pelaksanaan proyek
Rempang Eco City. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa dampak sosial, lingkungan, dan
ekonomi diukur, diatur, dan dikelola dengan baik. Dalam hal ini, peran organisasi non-
pemerintah, lembaga pemantau hak asasi manusia, dan lembaga-lembaga independen dapat
membantu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek.

Kasus Pulau Rempang juga menyoroti pentingnya pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman
konflik serupa di seluruh dunia. Melihat contoh-contoh sukses dan kegagalan dalam
menyelesaikan konflik serupa dapat memberikan wawasan berharga tentang cara mengatasi
konflik tanah yang kompleks.

Akhirnya, solusi yang paling berkelanjutan adalah yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi,
sosial, dan lingkungan secara seimbang. Pembangunan yang berkelanjutan harus
memperhitungkan kebutuhan masyarakat adat, menjaga lingkungan alam, dan mempromosikan
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, konflik sengketa tanah di Pulau Rempang tidak hanya
merupakan tantangan, tetapi juga peluang untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara
pembangunan dan pelestarian hak-hak masyarakat adat serta lingkungan hidup.

3.2 SARAN

Berikut adalah beberapa saran untuk mengatasi dan meresolusi konflik sengketa tanah di Pulau
Rempang:

1. Penciptaan Forum Dialog Inklusif: Mendorong pemerintah, masyarakat adat, perusahaan


swasta, dan kelompok-kelompok terkait lainnya untuk bergabung dalam forum dialog
inklusif. Dalam forum ini, semua pihak dapat berbicara tentang kepentingan,
kekhawatiran, dan pandangan mereka. Ini adalah langkah awal untuk mencapai
pemahaman bersama dan mencari solusi yang dapat diterima semua pihak.

2. Revisi Peraturan Kepemilikan Tanah: Pemerintah harus mempertimbangkan ulang


peraturan kepemilikan tanah di Pulau Rempang dan memastikan bahwa batas-batas
kepemilikan antara BP Batam, masyarakat adat, dan investor swasta menjadi lebih jelas.
Ini akan membantu mengurangi ketidakpastian hukum yang telah memicu konflik.
3. Pengakuan dan Perlindungan Hukum Adat: Pentingnya pengakuan hukum adat dalam
penyelesaian konflik ini tidak boleh diabaikan. Pemerintah harus mengakui eksistensi
hukum adat dan masyarakat adat sebagai pemegang hak atas tanah mereka. Hal ini dapat
dicapai melalui penyusunan kebijakan yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan
menjamin perlindungan hukum mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Rosyadi, K. (2017). Kewenangan Badan Pengusahaan Batam pada Pengelolaan Lahan di Pulau
Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang. Journal of Law and Policy
Transformation, 1(1), 1-27.

Chaerudin, M. A. Y. C. (2023). PERLINDUNGAN HAK TINGGAL BAGI MASYARAKAT


PULAU REMPANG TERHADAP PENGGUSURAN PROYEK STRATEGIS
NEGARA. Jurnal Socia Logica, 3(3), 385-395.

Manurung, R., Haryanti, D., & Efritadewi, A. (2023). UPAYA KEPOLISIAN DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOTO GELAP (TOGEL) DI
WILAYAH KOTA BATAM TAHUN 2021 (STUDI KASUS POLRESTA
BARELANG) (Doctoral dissertation, Universitas Maritim Raja Ali Haji).

Rahman, A. A., Rusli, A. M., & Irwan, A. L. (2021). Analisis Regulasi Kewenangan Bidang
Pertanahan dI Kota Batam. GOVERNMENT: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 14(1), 54-65.

DHARMAWATI, S. A. (2008). IMPLIKASI KETIDAK SINKRONAN PERATURAN


PEMERINTAH NOMOR 63 TAHUN 2003 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 44
TAHUN 2007 TERHADAP PENGENAAN PPN DAN PPnBM DI PULAU
BATAM (Doctoral dissertation, UAJY).

Riyanto, A., & Jamba, P. (2017). Peran Negara Dalam Penyelesaian Konflik Agraria (Studi
Kasus Kampung Tua/Nelayan Di Atas Hak Pengelolaan Badan Pengusahaan
Batam). Jurnal Selat, 5(1), 105-122.

You might also like