You are on page 1of 3

Millennium Development Goals (MDGs) merupakan sebuah paket berisi tujuan yang mempunyai

batas waktu dan target terukur untuk menanggulangi kemiskinan, kelaparan, pendidikan,
diskriminasi perempuan, kesehatan ibu dan anak, pengendalian penyakit, dan perbaikan kualitas
lingkungan.

Pada pertemuan Raker II ini dibahas Rencana Tindak Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs
dalam sidang kelompok yang dipimpin oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Prof. Armida
Alisjahbana, MA, yang mencakup 7 (tujuh) tujuan, yaitu (1) memberantas kemiskinan dan
kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu;
(6) mengendalikan HIV dan AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; dan (7) menjamin
kelestarian lingkungan hidup.

Secara umum, perkembangan yang telah dicapai sampai saat ini menunjukkan kemajuan yang
menggembirakan. Beberapa indikator MDGs secara nasional telah tercapai dan sebagian besar
target MDGs secara nasional diperkirakan akan tercapai (on track). Pemerintah mendapatkan
apresiasi dari PBB atas capaian sampai saat ini dan komitmennya untuk mencapai sasaran
MDGs pada akhir tahun 2015.

Untuk itu, Prof. Armida mengatakan, pencapaian sasaran MDGs di tingkat nasional perlu
didukung capaian di tingkat daerah, dan seluruh pemangku kepentingan yang terdiri dari
Pemerintah, dunia usaha, masyarakat luas termasuk masyarakat madani, serta para tokoh
agama. Meskipun beberapa sasaran MDGs telah tercapai dan on track, upaya-upaya khusus
perlu tetap dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja capaian MDGs. Selain
itu, diperlukan upaya-upaya yang lebih keras lagi untuk mencapai sasaran MDGs seperti untuk
penurunan angka kematian ibu melahirkan, pencegahan HIV/AIDS dan peningkatan tutupan
lahan. Sementara itu, kesenjangan antardaerah dalam pencapaian sasaran MDGs perlu terus
diperkecil, antara lain dengan memberikan perhatian yang lebih besar bagi daerah-daerah yang
kinerja pencapaian MDGs-nya masih di bawah rata-rata nasional. Seluruh upaya untuk
mencapai sasaran MDGs tersebut perlu didukung dengan penguatan sinergi
antarkementerian/lembaga dan antara pusat dan daerah

Deklarasi Pembangunan Millenium berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar manusia yang
mengarah kepada peningkatan kualitas hidup. Dideklarasikan di New York oleh 189 negara
anggota PBB pada bulan September 2000.

MDGs menetapkan 8 tujuan pembangunan yang diuraikan menjadi 18 target dan 48 indikator
untuk pemantauan yang akan dicapai dalam kurun waktu 1990-2015, dan setiap negara telah
komit untuk melaksanakannya menjadi bagian program pembangunan nasional.

Buku kecil ini berisi penjabaran dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator dari MDGs serta
penjelasannya. Selamat menikmati.

Daftar Isi:

Tentang MDGs

1.
SDGs dan Penegakan Hukum

Berbagai pemimpin dunia dan kelompok masyarakat sipil bergeliat dengan pengesahan Target
Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals [SDGs] pada 25 September 2015
di New York, Amerika Serikat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berbagai
pemimpin dunia, hadir menyatakan dukungan, berlomba memberikan catatan untuk
pelaksanaan SDGs 15 tahun kedepan, dimulai pada 1 Januari 2016 hingga sampai 2030.
Meskipun beberapa di antaranya merengek soal ketidakmampuan pembiayaan untuk program
global ini. Pada angka 16 dari SDGs tercantumkan agenda Perdamaian, Keadilan dan
Akuntabilitas. Agenda ini, dengan agenda lainnya, sangat relevan bagi Indonesia dan bagi dunia.
Namun demikian, SDGs ini masih penting untuk dikawal lebih jauh agar tidak menjadi agenda
kosmetik saja.

SDGs adalah kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang sudah diterapkan
sejak tahun 2000, 15 tahun lalu. Namun, SDGs sekaligus kritik atas MDGs. Ketika berakhir,
2015, MDGs masih gagal menjawab persoalan kemiskinan, buta huruf, kematian pada Ibu saat
melahirkan. Negara-negara berkembang masih dijadikan tempat sampah bagi negara maju.
Pengambilan alihan lahan masyarakat adat makin meluas oleh perusahaan-perusahaan, kecil
maupun besar. Pangan menjadi komoditi bisnis dan para perusahaan. Negara-negara
berkembang tidak berdaulat atas ketahanan pangan, akses air bersih dan keberlanjutan
lingkungan hidup. Perang masih berkecamuk, migrasi massal tak terhindarkan, hingga Eropa
dan Amerika Serikat menuai imbasnya. Ketimpangan ini menjulur pada ketimpangan ekonomi,
informasi dan akses keadilan yang semakin buruk. MDGs gagal menanggulangi kondisi
kemanusiaan.

Dalam perspektif hak asasi manusia, terdapat satu prinsip yang tercantum dalam Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya, bernama Progressive Realisation. Dalam prinsip ini, singkatnya,
bahwa upaya pemenuhan atau realisasi hak asasi haruslah beranjak maju dan membaik.
Sumber-sumber daya yang dikuasai oleh negara harus digunakan secara baik dan bijaksana
untuk menopang pembangunan manusia. Bukan untuk kekayaan hanya segelintir orang saja
apalagi sampai merusak. Indonesia sendiri dan juga banyak negara lain sudah meratifikasi
Kovenan diatas. Akan tetapi masih saja MDGs berujung gagal. Prinsip hak asasi manusia, tidak
diakomodatif dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia.

Lalu, kedepannya akankah Indonesia berkontribusi pada adanya kesuksesan SDGs? Apakah
SDGs akan memperbaiki kondisi kemanusiaan di Indonesia?

SDGs adalah agenda bersama negara-negara, yang tergabung dalam PBB, untuk melakukan
pembangunan yang berorientasi pada upaya penyusutan ketimpangan diberbagai sektor
(Ekonomi, Sosial, Hukum dan lain-lain). SDGs berisi 17 butir (dengan 169 target) program untuk
menyusutkan ketimpangan. Program-program tersebut memerangi kemiskinan, kelambatan
pendidikan bagi orang miskin, akses air, problem lingkungan hidup, dan lain-lain. Dengan daftar
besar ini, diatas kertas kita perlu optimis bahwa SDGs bisa menjawab persoalan-persoalan
pembangunan yang tidak tepat, sewenang-wenang, koruptif dan tidak melibatkan masyarakat.
Namun demikian kehati-hatian tetap perlu ditempatkan secara berimbang. Misalnya, mengambil
catatan evaluasi atas program MDGs, bahwa program-program ini diadopsi hanya melalui
sebuah resolusi, bukan sebuah instrumen pengikat secara hukum yang bisa memaksa dan
menghukum atas perilaku buruk dalam pelaksanaan program. Atau, sebagai pemaksa untuk
mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan program pembangunan.

Menarik untuk melihat agenda nomor 16, soal Keadilan dan Akuntabilitas. Agenda nomor 16 ini
bisa diadopsi berkat proses partisipasi masyarakat selama masa penyusunannya. Masyarakat
sipil mendapatkan ruang di tingkat global untuk masuk dalam evaluasi, kritik dan menambahkan
poin-poin soal akuntabilitas ini.

Agenda 16 menyatakan komitmen bahwa “Mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif
untuk pembangunan yang berkelanjutan, ketersediaan access ada keadilan bagi semua orang
dan membangun institusi yang efektifitas, akuntabel dan inklusif di segala tingkatan”. Agenda ini
memiliki 10 target; yang bisa dikategorikan kedalam tiga hal, pertama, soal menurunkan
kejahatan dan jumlah korbannya serta kebijakan yang salah; kedua, menegaskan jaminan hak
dasar setiap orang dan aturan main hukum serta pelaksanaannya; ketiga, memperkuat kapasitas
institusi negara menjadi akuntabel, transparan dan responsif.

Pembangunan hukum ditingkat nasional menjadi penting mengingat SDGs memiliki bakat
kegagalan yang sama dalam kacamata hukum international, yaitu berbasis resolusi (Adopsi
SDGs ini dituangkan dalam bentuk resolusi PBB, A/RES/70/1 dengan judul “Transforming our
world: the 2030 Agenda for Sustainable Development”) tanpa kekuatan mengikat. Untuk
menguji komitmen, pemerintah Indonesia harus menegaskan di tingkat nasional aturan main
hukum dan penegakannnya.

Agenda nomor 16 diatas adalah bagian dari program SDGs, dimana pemerintah Indonesia juga
sudah berkomitmen melaksanakannya, sebagaimana pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla
dalam sidang PBB “Adopsi Agenda Pembangunan paska 2015”, “[…] Indonesia siap untuk
bekerja bersama dalam memastikan agenda pembangunan paska 2015 tidak hanya sebagai
mimpi, akan tetapi menjadi kenyataan” [Oktober 2015]. Untuk itu, tidak ada kata lain untuk
memastikan program pembangunan adalah pembangunan hukum yang juga mengandung arti
sebaliknya, bahwa hukum juga harus diterapkan untuk menghakimi kesalahan pembangunan
dari SDGs ini. seperti perampasan tanah rakyat, perusakan lingkungan, pemusnahan komunitas
adat, pemiskinan perempuan, penurunan kualitas pendidikan, dan lain-lain.

Sebaliknya, jika Indonesia resisten dan mengingkari pernyataan Wakil Presiden, menolak SDGs
ini atau memandang sebelah mata, patut diduga bahwa Indonesia memang hanya bersolek di
mata Internasional, tapi khawatir dengan muatan SDGs yang pro pada kemanusiaan dan
keadilan. Walhasil Indonesia bisa menjadi satu barisan dengan negara-negara miskin dan
bermentalitas miskin mengatasnamakan anti negara barat, hanya mengkritik SDGs tanpa
melaksanakan.

You might also like